Anda di halaman 1dari 2

KOMNAS PEREMPUAN

perkawinan anak juga bentuk pemaksaan bagi anak perempuan untuk memikul tanggung jawab
secara fisik atau psikologis dimana kondisi mereka sesungguhnya tidak siap. Sehingga,
perkawinan anak bentuk pelanggaran hak-hak anak, terutama anak perempuan yang dalam UU
Perkawinan diperbolehkan melangsungkan perkawinan jika sudah mencapai 16 tahun atau
masih dalam usia anak.

“Padahal, atas kerentanan itu negara telah memberi perlindungan melalui Pasal 28B ayat (2)
UUD 1945 dan lebih lanjut dijabarkan oleh UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,”
ujar wanita yang juga menjabat Ketua Komnas HAM ini.

Setidaknya, hak-hak yang dilanggar dalam perkawinan anak yaitu hak tumbuh kembang, hak
pendidikan, hak atas sumber penghidupan, hak sosial-politik, hak bebas dari kekerasan.
Misalnya, ketika terhentinya hak pendidikan juga akan terhentinya hak penghidupan yang layak
ketika hanya suami yang mencari nafkah lantaran perempuan (hanya lulusan SMP) tidak siap
bersaing dalam pasar kerja.

“Kebergantungan ekonomi menjadi salah satu penyebab rentannya perempuan menjadi target
korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),” ujar ahli yang sengaja dihadirkan pemohon
ini.

Dampak KDRT bagi perempuan, lanjut dia, mereka kerap terusir dari rumah, hilang hak
properti, tidak ada jaminan hidup, sulit masuk dunia kerja, anak-anak cenderung memilih ikut
ibunya. Efeknya, perempuan muda harus bertarung melanjutkan hidup sebagai single parent.

“Membiarkan anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun sama dengan negara
menghilangkan jaminan bagi anak perempuan untuk terbebas dari kekerasan dan diskriminasi.
Ini sama saja memperluas jumlah perempuan yang menjadi korban KDRT baik berupa
kekerasan fisik, psikis, seksual maupun penelantaran ekonomi,” paparnya.

Komnas Perempuan tahun 2013 mencatat korban KDRT kebanyakan perempuan sebagai istri
yang mencapai 64 persen dari total 279.760 kasus pada 2013. Data Badan Peradilan Agama
MAD menunjukkan angka perceraian akibat perkawinan di bawah umur mencapai 827 kasus
pada tahun 2013.

Ahli pemohon lainnya, Maria Ulfah Anshori berpendapat jika pernikahan di bawah usia 18 tahun
bagi perempuan harus diartikan perkawinannya tidak sah. Sebab, perkawinan itu telah
mengandung pelanggaran hak-hak anak yang dijamin Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan UU
Perlindungan Anak.

“Jika negara tidak melakukan kewajibannya, kerugian langsung dialami anak akibat perkawinan
anak yakni kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan anak yang dijamin Pasal
28B ayat (2) dan UU Perlindungan Anak,” ujar Maria.
Karena itu, menurut Komisioner KPAI ini frasa “16 (enam belas) tahun” dalam Pasal 7 ayat (1)
UU Perkawinan adalah pelanggaran terhadap hak-hak anak yang seharusnya dilindungi
konstitusi. “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua, bertanggung jawab untuk
mencegah terjadinya perkawinan anak agar seluruh hak anak terpenuhi,” harapnya.

Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin dan Koalisi Indonesia untuk
Penghentian Perkawinan Anak mempersoalkan batas usia perkawinan bagi wanita, yakni 16
tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat (1), (2) UU Perkawinan. Mereka berpandangan norma
Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi karena menjadi landasan dan
dasar hukum dibenarkannya adanya perkawinan anak dalam hal ini anak perempuan yang
belum mencapai 18 tahun.

Padahal, usia kedewasaan jika seseorang sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Pasal 26 UU
Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) khususnya frasa “16
(enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai atau dibaca “18
tahun (delapan belas) tahun”. Namun, pemohon Koalisi Indonesia meminta MK membatalkan
Pasal 7 ayat (2) karena bertentangan UUD 1945

Anda mungkin juga menyukai