Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu nyeri “akut’’ dan ‘’kronik’’.
Nyeri akut merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial
atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (internasional assciation
for the study of pain); awitan yang tiba-tiba atau lamabat dari intensitas ringan
sehingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan
berlangsung kurang dari 6 bulan. Sedangkan nyeri kronik merupakan
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang munul akibat
kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan dalam hal
kerusakan sedemikin rupa (internasional assciation for the study of pain); awitan
yang tiba-tiba atau lamabat dari intensitas ringan sehingga berat, terjadi secara
konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan
berlangsung kurang lebih 6 bulan.
Adanya nyeri dapat mengakibatkan terganggunya rasa aman dan nyaman,
nyeri kronis dan gangguan pola tidur. Hal inilah yang melatar belakangi kami
untuk membahas tentang gangguan rasa nyaman nyeri dan cara pemberian
asuhan keperawatan pad klien nyeri dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep gangguan rasa nyaman nyeri ?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan nyeri ?
3. Bagaimana gambaran umum asuhan keperawatan untuk klien yang
mengalami gangguan rasa nyaman nyeri ?

C. Tinjauan Penulisan
1. Tujuan umum
Memahami tentang konsep nyeri dan gambaran umum asuhan keperawatan
pada klien nyeri.
2. Tujuab khusus
Penulis mampu :
a. Memahami konsep dari gangguan rasa nyaman nyeri
b. Memahami konsep asuhan keperawatan nyeri
c. Memahami gambar umum asuhan keperawatan untuk klien yang
mengalami gangguan rasa nyaman nyeri

1
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Penulis dapat mengetahui tentang konsep dari gangguan rasa nyaman nyeri,
konsep asuhan keperawatan nyeri, dan memahami gambaran umum tentang
asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan nyeri.
2. Bagi institusi stikes bali
Untuk menambah refrensi di bidang ilmu kesehatan khususnya dalam bidang
ilmu keperawatan
3. Bagi mahasiswa keperawatan
Sebagai refrensi pembuatan asuhan keperawatan gangguan rasa nyaman nyeri
serta untuk meningkatkan kwalitas asuhan keperawatan khususnya pada
gangguan rasa nyaman nyeri.

E. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan khusus ini secara garis besar dibagi menjadi 4 BAB.
Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut: BAB I Pendahuluan,
menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan dan sistematika penulisan. BAB II: merupakan konsep
teoritus yang menguraikan tentang definisi nyeri, klasifikasi nyeri, fisiologis
nyeri, faktor-faktor mempengaruhi nyeri, pengukuran nyeri, penatalaksanaan
nyeri, an asuhan keperawatan teoritis nyeri. BAB III: mencakup tinjauan
kasus yang menguraikan tentng pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. BAB IV penutup, yang mencakup
simpulan dan saran.

2
BAB II
KONSEP TINJAUAN TEORI DAN KASUS TEORITIS
1. TINJAUAN TEORI
A. Definisi Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri,
2007).
Menurut InternationalAssociation for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat
terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

B. Klasifikasi Nyeri
a. Berdasarkan sumbernya
 Cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit/ jaringan
subkutan. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar)
ex: terkena ujung pisau atau gunting
 Deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari
ligament, pemb. Darah, tendon dan syaraf, nyeri menyebar & lbh
lama daripada cutaneus
ex: sprain sendi
 Visceral (pada organ dalam), stimulasi reseptor nyeri dlm rongga
abdomen, cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme
otot, iskemia, regangan jaringa
b. Berdasarkan penyebab:
 Fisik
Bisa terjadi karena stimulus fisik (Ex: fraktur femur)
 Psycogenic

3
Terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi,
bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari. (Ex:
orang yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya)

Biasanya nyeri terjadi karena perpaduan 2 sebab tersebut

c. Berdasarkan lama/durasinya
 Nyeri akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera, atau
intervensi bedah dan memiliki awitan yan cepat, dengan
intensitas bervariasi dari berat sampai ringan. Fungsi nyeri ini
adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya cidera atau
penyakit yang akan datang. Nyeri ini terkadang bisa hilang
sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada
area yang rusak. Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga
kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri.
Nyeri akut secara serius mengancam proses penyembuhan klien,
untuk itu harus menjadi prioritas perawatan. Rehabilitasi bisa
tertunda dan hospitalisasi bias.
 Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas
bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan.
Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena
pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain.
Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian.Pada nyeri
kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien
yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi
(gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi
(keparahan meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan
respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.

4
Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik dan
psikologis.Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi
membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada
depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan
timbul perasaan yan gtidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa
yang akan dirasakannya dari hari ke hari.

C. Komplikasi Nyeri
1. Gangguan pola istirahat tidur
Suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan
jumlah/kualitas pola tidur dan istirahat sehubungan dengan keadaan biologis
atau kebutuhan emosi. Keadaan nyeri dapat mempengaruhi kualitas pola tidur
individu.individu yang sangat membutuhkan waktu tidur yang lebih banyak
dari pada orang normal dimana siklus bangun tidur selama sakit juga
mengalami gangguan sehingga istirahat tidur yang adkuat dapat mengurangi
intensitas nyeri dimana istirahat dapat meningkatkan normalisasi fungsi
organ.
2. Syok neurogenic
Kondisi medis yang titandai dengan ketidak cukupan aliran darah ke
tubuh yang disebebkan karena gangguan system saraf yang mengendalikan
kontriksi dari pembuluh-pembuluh darah dimana lebih banyak darah
terakumulasi pada system vena dari pada mrngalir ke jantung sehingga
menurunkan jumlah darah yangdipompakan keluar jantung dan menyebabkan
tekanan darah rendah. Keadaan ini mengakibatkan vasodilatasi dimana
rangsangan saraf parisimpatis ke jantung memperlambat kecepatan denyut
jantung dan menurunkan rangsangan simpatik ke pembuluh darah. Hal ini
dapat menimbulkan rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa
nyeri pada faktur tulang.
3. Edema pulmonal

5
Pembengkakan atau penumpukan cairan dalam paru-paru dimana
dapat menyebabkan gagal nafas hal ini dapat menyebabkan timbulnya nyeri
sekitar daerah thorax, karena organ paru-paru mengalami hipoksia jaringan
akibat kontraksi atau spasme pembuluh darah.
4. Kejang
Suatu keadaan dimana semua gerakan yang dikendalikan oleh otak
mengalami gangguan atau ke abnormalan. Otot-otot tubuh dapat berkontraksi
secara tidak terkendali. Keadaan nyri dapat ditimbulkan dalam hal ini
dikarenankan otot yang semua rileks kemudian mengalami kontraksi akibat
suatu gerakan yang terjadi.
5. Masalah Mobilisasi
Kemampuan dimana seorang tidak dapat bergerak bebas, dan teratur
sehingga membatasi segala aktivitas sehingga mempengaruhi kegiatan dalam
memenuhi kebutuhan hidup akan hidu sehat. Dalam hal ini nyeri biasa timbul
akibat otot telah lama mengalami istirahat total sehingga melakukan aktivitas
seperti berjalan dapat menyebabkan nyeri, itu dikarenakan ketidak sanggupam
otot untuk bekerja maka perlu dilakukan latihan seperti range of mation untuk
mengembalikan fungsi kineja otot.
6. Hipertensi
Kondisi medis kronis dimana tekanan darh di arteri mengalami
peningkatan. Keadaan ini dapat dikatakan dengan timbulnya rasa sakit kepala
dimna berasal dari pembuluh darah dijaringan bawah tenggorokan.
7. Syok hipovolemik
Semua keadaan dimana terjadi kehilangan cairan tubuh atau darah
yang menyebabkan jantung tidak mampu memompa cukup darah ke seluruh
tubuh sehingga perfusi jaringan tubuh menjadi terganggu. Kehilangan cairan
tubuh dapat disebabkan oleh dilatasi (pelebaran) pembuluh darah akibat cidera
pada saraf yang mengontrol pembuluh darah sehingga menyebabkan
pembuluh darah mengalami dilatasi, obat-obat dapat menyebabkan

6
vasodilitasi seperti anthihipertensi. Dimana jal ini nyeri dapat menyebabkan
syok hipovolemik.
8. Hipertermi
Suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami peningkatan
suhu tubuh. Peningkatan suhu tubuh menyebabkan fase dilatasi semua
pembuluh darah. Salah satu penyebabnya adalah peradangan seperti rasa nyeri
karena msuknya suatu virus atau bakteri tertentu kedalam tubuh.

D. Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri.Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak.Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic),
dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri
yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang
apabila penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Perupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat
tumpul dan sulit dilokalisasi.

7
E. Mekanisme Terjadinya Nyeri
Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu
nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral,
eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara
stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat
proses tersendiri : tranduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen
menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls
nosiseptif.Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu
serabut A-beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal
terhadap stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar
nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor,
juga terlibat dalam proses transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang
tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator inflamasi.
Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu
dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak.
Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal
elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis
dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal.
Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain
related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula
spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor
opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem
nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis,
hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula
oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi
desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal
nosiseptif di kornu dorsalis.
Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi
merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek

8
psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ
tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang
berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari
syaraf aferen.

F. Pengukuran Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual
dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda
oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri
dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan
respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran
dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri
itu sendiri (Tamsuri, 2007)
1. Face Pain Rating Scale
Menurut Wong dan Baker (1998) pengukuran skala nyeri untuk anak usia
pra sekolah dan sekolah, pengukuran skala nyeri menggunakan Face Pain
Rating Scale yaitu terdiri dari 6 wajah kartun mulai dari wajah yang
tersenyum untuk “tidak ada nyeri” hingga wajah yang menangis untuk
“nyeri berat”.

9
2. W
o
rd Grapic Rating Scale
Menggunakan deskripsi kata untuk menggambarkan intensitas nyeri,
biasanya dipakai untuk anak 4-17 tahun (Testler & Other, 1993; Van
Cleve & Savendra, 1993 dikutip dari Wong & Whaleys, 1996).

3. Skala Intensitas Nyeri Numerik


4. Skala nyeri menurut Bourbanis
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi

10
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat
diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut.Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan
nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah.Namun, makna istilah-istilah
ini berbeda bagi perawat dan klien.Dari waktu ke waktu informasi jenis ini
juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale,
VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang
tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta
klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga
menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa
jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan.Alat VDS ini memungkinkan
klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.Skala
penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai
pengganti alat pendeskripsi kata.Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10.Skala paling efektif digunakan saat mengkaji
intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik.Apabila

11
digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10
cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel
subdivisi.VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri
yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya.Skala ini
memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri.VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih
sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari
pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan
dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila
klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan
lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji
tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi
klien.Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi
lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau
peningkatan (Potter, 2005).

G. Factor yang Mempengaruhi Nyeri


a. Pengalaman Nyeri Masa Lalu
Lebih berpengalarnan individu dengan nyeri yang dialami, makin
takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan
diakibatkan oleh nyeri tersebut. Individu ini mungkin akan lebih sedikit
mentoleransi nyeri; akibatnya, ia ingin nyerinya segera reda dan sebelum
nyeri tersebut menjadi lebih parah Reaksi ini hampir pasti terjadi jika
individu tersebut mencrima peredaan nyeri yang tidak adekuat di masa
lalu. Individu dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui
ketakutan peningkatan nyeri dan pengobatannva tidak adekuat (Smeltzer
& Bare).Beberapa pasien yang tidak pernah mengalami nyeri hebat,
tidak menyadari seberapa hebatnya nyeri yang akan dirasakan nanti.

12
Umumnya, orang yang sering mengalami nyeri dalam hidupnya,
cenderung mengantisipasi terjadinya nyeri yang lebih hebat (Taylor &
Le Mone).
b. Kecemasan
Toleransi nyeri, titik di mana nyeri tidak dapat ditoleransi lagi,
beragam diantara individu. Toleransi nyeri menurun akibat keletihan,
kecemasan, ketakutan akan kematian, marah, ketidakberdayaan, isolasi
sosial, perubahan dalarn identitas peran, kehilangan kemandirian dan
pengalarnan masa lalu (Smeltzer & Bare).Kecemasan hampir selalu ada
ketika nyeri diantisipasi atau dialami secara langsung. Ia cenderung
meningkatkan intensitas nyeri yang dialami. Ancaman dari sesuatu yang
tidak diketahui lebih mengganggu dan menghasilkan kecemasan
daripada ancaman dari sesuatu yang telah dipersiapkan. Studi telah
mengindikasikan bahwa pasien yang diberi pendidikan pra operasi
tentang hasil yang akan dirasakan pasca operasi tidak mencrima banyak
obat-obatan untuk nyeri dibandingkan orang yang mengalami prosedur
operasi yang sama tetapi tidak diberi pendidikan pra operasi. Nyeri
menjadi lebih buruk ketika kecemasan, ketegangan dan kelemahan
muncul (Taylor & Le Mone).Umumnya diyakini bahwa kecemasan akan
meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua
keadaan. Namun, kecemasan yang relevan atau berhubungan dengan
nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri (Smeltzer &
Bare).Ditinjau dari aspek fisiologis, kecemasan yang berhubungan
dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Secara
klinik, kecemasan pasien menyebabkan menurunnya kadar serotonin.
Serotonin merupakan neurotransmitter yang memiliki andil dalam
memodulasi nyeri pada susunan saraf pusat.Hal inilah yang
mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri (Le Mone & Burke).Serotonin
merupakan salah satu neurotransmitter yang diproduksi oleh nucleus
rafe magnus dan lokus seruleus.Ia berperan dalam sistem analgetik otak.

13
Serotonin menyebabkan neuron-neuron lokal medulla spinalis
mensekresi enkefalin. Enkefalin dianggap dapat menimbulkan hambatan
. Jadi,dpresinaptik dan postsinaptik pada serabut-serabut nyeri tipe C
dan A sistem analgetika ini dapat memblok sinyal nyeri pada tempat
masuknya ke medulla spinalis (Guyton).Selain itu keberadaan endorfin
dan enkefalin juga membantu menjelaskan bagaimana orang yang
berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari stimuli yang sama.
Kadar endorfin beragam di antara individu, seperti halnya faktor-faktor
seperti kecemasan yang mempengaruhi kadar endorfin. Individu dengan
endorfin yang banyak akan lebih sedikit merasakan nyeri. Sama halnya
aktivitas fisik yang berat diduga dapat meningkatkan pembentukan
endorfin dalarn sistem kontrol desendens (Smeltzer & Bµ,re,).

c. Umur
Umur dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah waktu hidup atau
ada sejak dilahirkan (Poerwadarminta). Menurut Ramadhan (2001),
umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai
saat berulang tahun. Umumnya lansia menganggap nyeri sebagai
komponen alamiah dari proses penuaan dan dapat diabaikan atau tidak
ditangani oleh petugas kesehatan. Di lain pihak, normalnya kondisi nycri
hebat pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai keluhan ringan pada
dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami perubahan neurofisiologi dan
mungkin mengalami penurunan persepsi sensori stimulus serta
peningkatan ambang nyeri.Selain itu, proses penyakit kronis yang lebih
umum terjadi pada dewasa tua seperti penyakit gangguan,
kardiovaskuler atau diabetes mellitus dapat mengganggu transmisi
impuls saraf normal (Le Mone & Burke).Menurut Giuffre, dkk. (1991),
cara lansia bereaksi terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara bereaksi
orang yang lebih muda. Karena individu lansia mempunyai metabolisme
yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap massa otot lebih besar

14
dibanding individu berusia lebih muda, oleh karenanya analgesik dosis
kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri pada lansia. Persepsi
nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan
patologis berkaitan dengan beberapa penyakita (misalnya diabetes), akan
tetapi pada individu lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak
berubah (Smeltzer & Bare).Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua
mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat
menyebabkan nyeri.Lansia cenderung mengabaikan lama sebelum
melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan karena sebagian dari
mereka menganggap nyeri menjadi bagian dari penuaan
normal.Sebagian lansia lainnya tidak mencari perawatan kesehatan
karena mereka takut nyeri tersebut menandakan penyakit yang serius.
Penilaian tentang nyeri dan ketepatan pengobatan harus didasarkan pada
laporan nyeri pasien dan pereda ketimbang didasarkan pada usia
(Smeltzer & Bare).
d. Jenis Kelamin
Menurut Oakley (1972) jenis kelarnin (sex) merupakan perbedaan
yang telah dikodratkan Tuhan, oleh sebab itu, bersifat permanen.
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak sekadar bersifat
biologis, akan tetapi juga dalam aspek sosial kultural. Perbedaan secara
sosial kultural antara laki-laki dan perempuan merupakan dampak dari
sebuah proses yang membentuk berbagai karakter sifat gender.
Perbedaan gender antara manusia berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya
perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh berbagai faktor terutarna
pembentukan, sosialisasi, kemudian diperkuat dan dikonstruksi baik
secara sosial kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Ahyar
& Anshari).Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat
keterpaparan dan tingkat kerentanan memegang peranan
tersendiri.Berbagai penyakit tertentu ternyata erat hubungannya dengan

15
jenis kelatnin, dengan berbagai sifat tertentu.Penyakit yang hanya
dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang berhubungan erat
dengan alat reproduksi atau yang secara genetik berperan dalam
perbedaan jenis kelarnin (Noor).Anak-anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang berbeda dapat belajar dengan cepat untuk mengabaikan
nyeri daripada mengeksploitasi nyeri untuk rnemperoeh perhatian dan
pelayanan dari anggota keluarga.Anak-anak mungkin belajar bahwa
terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam
mengekspresikan nyeri.Anak perempuan boleh pulang ke rumah sambil
menangis ketika lututnya terluka, sedangkan anak laki-laki diberitahu
untuk berani dan tidak menangis. Laki-laki dan perempuan dewasa
mungkin berpegang pada pengharapan gender ini sehubungan dengan
komunikasi nyeri (Taylor & Le Mone). Dalam banyak budaya, laki-laki
merupakan figur yang dominan. Dalam budaya yang menganut paham
ini, laki-laki membuat keputusan untuk anggota keluarga lain seperti
halnya untuk dirinya sendiri. Dalam budaya dimana laki-laki merupakan
figur dominan, maka perempuan cenderung untuk pasif. Dalam keluarga
Afrika-Amerika pada banyak keluarga caucasian, perempuan sering
menjadi figur yang dominan (Taylor & Le Mone).Pengetahuan tentang
anggota keluarga yang dominan sangat penting sebagai bahan
pertimbangan untuk rencana keperawatan. Jika anggota keluarga
dominan yang sakit maka kemungkinan anggota keluarga lain akan
menjadi cemas dan bingung. Jika anggota keluarga non dominan yang
sakit, maka ia akan meminta pertolongan secara verbal (Taylor & Le
Mone).Pada tahun 1995, Vallerand meninjau penelitian tentang nyeri
pada wanita dan mengusulkan implikasi untuk praktik klinik.Meskipun
penelitian tidak menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam mengekspresikan nyerinya, pengobatan ditemukan lebih sedikit
pada perempuan.Perempuan lebih suka mengkomunikasikan rasa

16
sakitnya, sedangkan laki-laki menerima analgesik opioid lebih sering
sebagai pengobatan untuk nyeri (Taylor & Le Mone).

e. Sosial Budaya
Karena norma budaya mempengaruhi sebagian besar sikap, perilaku,
dan nilai keseharian kita, wajar jika dikatakan budaya mempengaruhi
reaksi individu terhadap nyeri. Bentuk ekspresi nyeri yang dihindari
oleh satu budaya mungkin ditunjukkan oleh budaya yang lain (Taylor &
Le Mane).Menurut Zatzick dan Dimsdale (1990), budaya dan etniksitas
mempunyai pengaruh pada cara seseorang bereaksi terhadap nyeri
(bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons
terhadap nyeri). Namun, budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi
nyeri (Smeltzer & Bare).Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki
seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai
kebudayaan lainnya membantu kita untuk menghindari mengevaluasi
perilaku pasien berdasarkan pada harapan dan nilai budaya seseorang.
Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai
pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat
dalam rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku terhadap nyeri juga efektif
dalarn menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer & Bare)

f. Nilai Agama
Pada beberapa agama, individu menganggap nyeri dan penderitaan
sebagai cara untuk membersihkan dosa. Pemahaman ini membantu
individu menghadapi nyeri dan menjadikan sebagai sumber kekuatan.
Pasien dengan kepercayaan ini mungkin menolak analgetik dan metode
penyembuhan lainnya; karena akan mengurangi persembahan mereka
(Taylor & Le Mane).

17
g. Lingkungan dan Dukungan Orang Terdekat
Lingkungan dan kehadiran dukungan keluarga juga dapat
mempengaruhi nyeri seseorang. Banyak orang yang merasa lingkungan
pelayanan kesehatan yang asing, khususnya cahaya, kebisingan,
aktivitas yang sama di ruang perawatan intensif, dapat menambah nyeri
yang dirasakan. Pada beberapa pasien, kehadiran keluarga yang dicintai
atau teman bisa mengurangi rasa nyeri mereka, namun ada juga yang
lebih suka menyendiri ketika merasakan nyeri.Beberapa pasien
menggunakan nyerinya untuk rnemperoleh perhatian khusus dan
pelayanan dari keluarganya (Taylor & Le Mone).
H. Penatalaksanaan Nyeri
Secara umum, penatalaksanaan nyeri dikelompokkan menjadi dua, yaitu
penatalaksanaan nyeri secara farmakologi dan non farmakologi.
1. Penatalaksanaan nyeri secara farmakologi
Dalam penatalaksanaan nyeri, WHO menganjurkan tiga langkah
bertahap dalam penggunaan analgesik.
Langkah 1 : digunakan untuk nyeri ringan dan sedang seperti obat
golongan nonopioid seperti aspirin, asetaminofen, atau
AINS, obat ini diberikan tanpa obat tambahan lain. Jika
nyeri masih menetap atau meningkat.
Langkah 2 : ditambah opioid, untuk non opioid diberikan dengan atau
tanpa obat tambahan lain. Jika nyeri terus menerus atau
intensif.
Langkah 3 : meningkatkan dosis potensi opioid atau dosisnya sementara
dilanjutkan non opioid dan obat tambahan lain. Dosis
tambahan yang onsetnya cepat dan durasinya pendek
digunakan untuk nyeri yang menyerang tiba-tiba.VAS
nyeri 1-3 disebut nyeri ringan, 4-7 disebut nyeri sedang,
dan di atas 7 dianggap nyeri hebat.

18
Klasifikasi obat analgesik menurut intensitas nyeri yang menjadi
sasarannya, terbagi dalam 2 kelompok:
a. Analgetika non-narkotik (non-opioid) dengan kerja perifer
b. Analgetika narkotik dengan kerja sentr
2. Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi
a. Stimulasi dan masase kutaneus.
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering
dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik
menstimulasi reseptor tidak nyeri pada bagian yang sama seperti
reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem kontrol
desenden. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena
menyebabkan relaksasi otot (Smeltzer dan Bare, 2002).
b. Terapi es dan panas
Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat
sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera
dengan menghambat proses inflamasi. Penggunaan panas mempunyai
keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan
kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat
penyembuhan.Baik terapi es maupun terapi panas harus digunakan
dengan hati-hati dan dipantau dengan cermat untuk menghindari
cedera kulit (Smeltzer dan Bare, 2002).

c. Trancutaneus electric nerve stimulation


Trancutaneus electric nerve stimulation (TENS) menggunakan
unit yang dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang dipasang
pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau
mendengung pada area nyeri.TENS dapat digunakan baik untuk nyeri
akut maupun nyeri kronis (Smeltzer dan Bare, 2002).
d. Distraksi

19
Distraksi yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada
sesuatu selain pada nyeri dapat menjadi strategi yang berhasil dan
mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap
teknik kognitif efektif lainnya. Seseorang yang kurang menyadari
adanya nyeri atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri akan
sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi terhadap nyeri.
Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan
menstimulasi sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih
sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak (Smeltzer dan Bare,
2002).
e. Teknik relaksasi
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri.Hampir semua
orang dengan nyeri kronis mendapatkan manfaat dari metode
relaksasi.Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk
melawan keletihan dan ketegangan otot yang terjadi dengan nyeri
kronis dan yang meningkatkan nyeri (Smeltzer dan Bare, 2002).
f. Imajinasi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah mengggunakan imajinasi seseorang
dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek
positif tertentu. Sebagai contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi
dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan napas
berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi dan
kenyamanan (Smeltzer dan Bare, 2002).
g. Hipnosis
Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah
analgesik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Keefektifan
hipnosis tergantung pada kemudahan hipnotik individu

20
2. TINJAUAN ASKEP TEORITIS NYERI AKUT
1. Pengkajian
a. Nyeri Akut
Batasan karakteristik :
 Data Subjektif :
a. Laporan secara verbal atau melaporkan nyeri dengan isyarat
 Data Objektif :
a. Posisi untuk menghindari nyeri
b. Perubahan tonus otot (dengan rentang dari lemas tidak bertenaga
sampai kaku)
c. Perubahan selera makan
d. Bukti nyeriyang dapat diamati
e. Berfokus pada diri sendiri
f. Fokus menyempit (gangguan persepsi waktu,gangguan proses
berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
g. Perilaku distraksi, contoh : mondar-mandir, mencari orang
dan/atau aktivitas lain, aktivitas berulang-ulang)
h. Respon autonomik (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah,
perubahan pernafasan, nadi dan dilatasi pupil)
i. Perilaku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis,
kewaspadaan berlebihan, peka terhadap rangsang, nafas
panjang/berkeluh kesah)
j. Wajah topeng (nyeri)
k. Perilaku menjaga atau sikap melindungi
l. Gangguan tidur (mata terlihat kuyu, gerakan tidak teratur atau
tidak menentu, dan menyeringai)

21
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut
Faktor yang berhubungan:
a. Berdasarkan proses keganasan,cemas berdasarkan nyeri yang dirasakan.
b. Kerusakan mobilitas fisik nyeri muskoluskeletal, resiko injuri
c. Kekurangan persepsi terhadap nyeri
d. Perubahan pola tidur low back pain
3. Intervensi

a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,


karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
c. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
d. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
e. Kurangi faktor presipitasi nyeri
f. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
g. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi,
kompres hangat/ dingin
h. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...
i. Tingkatkan istirahat
j. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama
nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
k. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama
kali

22
4. Implementasi

Tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana asuhan keperawatan


yang telah disusun sebelumnya berdasarkan tindakan yang telah dibuat
dimana tindakan yang dilakukan mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi.

5. Evaluasi
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
e. Tanda vital dalam rentang normal

23
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat
sangat subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala
atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelakan atau
mengevaluasi nyeri yang dialaminya. Adapun mekanisme nyeri terjadi pada empat
tahap : Transduksi, Transmisi, Modulasi, dan Persepsi. Nyeri yang dialami
seseorang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari seseorang tersebut.
B. Saran
Diharapkan dengan adanya laporan pendahuluan dengan Gngguan Rasa
Nyaman Nyeri dapat membantu dalam membuat asuhan keperawatan khususnya
pada pasien dengan gangguan rasa nyaman nyeri dan memperbanyak pengetahuan
dari berbagai referensi lainnya.

24
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito. Lynda Juall. (2013). Diagnosa Keperawatan. Edisi 6. Jakarta : EGC
Carpenito. Lynda Juall. (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 13. Jakarta
Nanda Internasional, 2014. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta:
EGC

25

Anda mungkin juga menyukai