media cetak, telah menginformasikan adanya perubahan arah yang terjadi pada
industri pangan di Indonesia. Perubahan tersebut ditandai dengan bertumbuhnya
industri pangan fungsional dan pangan suplemen. Pangan fungsional adalah pangan
yang tidak hanya memberikan zat-zat gizi esensial pada tubuh manusia, melainkan
juga memberikan efek perlindungan terhadap tubuh bahkan untuk penyembuhan
terhadap beberapa gangguan penyakit. Pertumbuhan pangan fungsional ini
didorong oleh meningkatnya kesadaran konsumen yang berhubungan erat dengan
makanan, gizi dan kesehatan. Disamping hal tersebut, tuntutan kehidupan modern
sekarang ini telah mengakibatkan konsumen menjadi sangat sibuk. Motif inilah yang
digunakan oleh para produsen pangan untuk menggencarkan produk suplemen
makanan. Artikel Purwiyatno Hariyadi, Gizi dan Kesehatan, Mencermati Label dan Iklan Pangan,
diunduh pada tanggal 28 Mei 2013 dari situs
http://google.com/pelabelanprodukpangan/bloggerpurwiyatno/gizidankesehatanmencermatilabelda
niklanpangan.
Penggunaan iklan pangan juga diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1996
tentang Pangan. Menurut Undang-Undang No.7 Tahun 1996, pemerintah
berkewajiban mengatur, mengawasi dan melakukan tindakan yang diperlukan agar
iklan mengenai pangan yang diperdagangkan, tidak memuat keterangan yang
menyesatkan. Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 33 UU No. 7 Tahun 1996
menyatakan, setiap label dan/atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan,
harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak
menyesatkan. N.H.T. Siahaan, Op.cit., hal.140.
Khusus yang berkaitan dengan keyakinan atau agama, Pasal 34 UU No. 7 Tahun
1996 menentukan, setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa
pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau
kepercayaan tertentu, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan
agama atau kepercayaan tersebut. Pasal ini mengacu kepada pencantuman label
halal sesuai dengan Hukum Islam. Ibid
Pelabelan produk pangan menjadi penting karena merupakan sarana informasi dari
produsen kepada konsumennya mengenai produk yang akan dijualnya. Sehingga
konsumen benar-benar mengetahui bahan-bahan apa saja yang digunakan,
termasuk perisa yang ditambahkan pada produk yang akan dikonsumsinya.
Pelabelan yang benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan membantu
terciptanya perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab, dimana semua pihak
akan memperoleh informasi yang benar mengenai suatu produk. Sehingga akan
memudahkan dalam pengawasan keamanan pangan dan melindungi konsumen dari
terciptanya persepsi yang salah.
Setiap produk pangan yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai dengan
informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai
mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan/atau jasa. Informasi ini
dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui
iklan berbagai media atau mencantumkannya dalam atau diluar kemasan produk
pangan (label pangan). Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.34.
Akan tetapi dalam praktiknya, standar pelabelan produk pangan seringkali dilanggar
oleh pelaku usaha. Akibatnya, banyak konsumen yang menderita kerugian hingga
menjadi korban yang menghilangkan nyawa konsumen yang mengkonsumsi produk
pangan tersebut. Kendatipun para konsumen ada yang memprotesnya secara
terang-terangan, tetapi lebih banyak yang berdiam diri dan tetap menjadi silent
victim.
Di dalam Pasal 2 PP No. 69 Tahun 1999 mengenai Label Pangan secara umum
ditentukan bahwa:
1. Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke
dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label
pada, di dalam, dan atau di kemas pangan.
2. Pencantuman label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah
luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah
untuk dilihat dan dibaca.
Kemudian pada Pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan mengenai
standar isi dari label pangan bahwa:
Ditinjau dari fungsinya, merek berfungsi sebagai tanda pengenal untuk membedakan
hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-
sama atau badan hukum dengan produksi seseorang/beberapa orang atau badan
hukum lain, sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksinya
cukup dengan menyebut mereknya serta sebagai jaminan atas mutu
barangnya.Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal.89. Merek yang kuat ditandai dengan dikenalnya
suatu merek dalam masyarakat, asosiasi merek yang tinggi pada suatu produk,
persepsi positif dari pasar dan kesetiaan konsumen memakai merek yang tinggi.
Merek dapat diperjelas ke dalam 3 (tiga) hal berikut:
1. Nama (brand name): Aqua, Rinso, LG, Samsung, Acer, Windows, Gucci,
Versace, Calvin Klein (Ck), Sony, dan sebagainya.
2. Simbol (mark): gambar beruang pada susu Bear Brand, gambar kereta kuda
pada California Fried Chicken (cfc), gambar orang tua berjenggot pada brand
orang tua (ot) dan Tango, simbol bulatan hijau pada Sony Ericsson, simbol
sayap pada motor Honda, dan masih banyak contoh- contoh lainnya yang
dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Karakter Dagang (trade character): si domar pada Indomaret, burung dan
kucing pada produk makanan Gery, dan sebagainya.
Dari ketiga hal ini, telah jelas bahwa label dan merek sangat berbeda. Merek lebih
difungsikan sebagai tanda pengenal, pembeda, alat promosi suatu produk,
sedangkan label sebagai sumber informasi yang lebih lengkap bagi konsumen
karena di dalamnya termuat representasi, peringatan, maupun instruksi dari suatu
produk.
Pada dasarnya informasi merupakan data yang penting yang dapat memberikan
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat. Suatu informasi tersebut berguna atau
tidak tergantung kepada:
Diperlukan representasi yang benar terhadap suatu produk, karena salah satu
penyebab terjadinya kerugian terhadap konsumen adalah terjadinya mis-
representasi terhadap produk tertentu. Kerugian yang dialami oleh konsumen di
Indonesia dalam kaitannya dengan mis-representasi banyak sekali disebabkan
karena tergiur oleh iklan-iklan atau brosur-brosur produk tertentu, sedangkan iklan
atau brosur tersebut tidak selamanya memuat informasi yang benar karena pada
umumnya hanya menonjolkan kelebihan produk yang dipromosikan, sebaliknya
kelemahan produk tersebut ditutupi. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.cit., hal.54-55.
Informasi yang diperoleh konsumen melalui brosur tersebut dapat menjadi alat bukti
yang dipertimbangkan oleh Hakim dalam gugatan konsumen terhadap produsen.
Bahkan tindakan produsen yang berupa penyampaian informasi melalui brosur-
brosur secara tidak benar yang merugikan konsumen tersebut, dikategorikan
sebagai wanprestasi. Karena brosur dikategorikan sebagai penawaran dan janji-janji
yang bersifat perjanjian, sehingga isi brosur tersebut dianggap diperjanjikan dalam
ikatan jual-beli meskipun tidak dinyatakan secara tegas.
Peringatan juga sama pentingnya dengan instruksi penggunaan suatu produk yang
merupakan informasi penting bagi konsumen, walaupun keduanya memiliki fungsi
yang berbeda yaitu instruksi terutama telah diperhitungkan untuk menjamin efisiensi
penggunaan produk konsumen, sedangkan peringatan digunakan untuk menjamin
keamanan penggunaan produk tersebut. Peringatan yang juga bagian dari
pemberian informasi kepada konsumen adalah bagian pelengkap dari proses
produksi. Peringatan yang diberikan kepada konsumen memegang peranan penting
dalam kaitannya dengan keamanan penggunaan suatu produk.Endang Sri Wahyuni,
Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2003), hal.73. Dengan demikian produsen (pabrikan) yang
memproduksi produk tersebut wajib menyampaikan peringatan kepada konsumen.
Dalam hal ini berarti tugas produsen tidak berakhir hanya dengan menempatkan
suatu produk dalam pasar.
Suatu produk pangan konsumen yang dibawa ke pasaran tanpa petunjuk cara
pemakaian/petunjuk penggunaan dan peringatan yang sangat kurang/tidak memadai
menyebabkan suatu produk dikategorikan sebagai produk yang cacat instruksi. Hal
ini berlaku bagi peringatan yang sederhana, misalnya saja “simpan ditempat yang
sejuk dan hindarkan dari jangkauan anak-anak” dan berlaku juga terhadap
peringatan mengenai efek samping setelah pemakaian suatu produk tertentu.
Peringatan tersebut maupun petunjuk-petunjuk penggunaannya harus disesuaikan
dengan sifat produk dan kelompok pemakai produk.
Instruksi juga ditujukan untuk menjamin efisiensi penggunaan produk juga penting
untuk mencegah timbulnya kerugian bagi konsumen. Pencantuman informasi bagi
konsumen berupa instruksi suatu produk juga merupakan kewajiban
produsen/pelaku usaha agar produknya tidak dianggap cacat karena ketiadaan
informasi. Begitu juga dengan konsumen wajib membaca atau mengikuti
petunjuk/prosedur pemakaian dan peringatan atau pemanfaatan barang dan/atau
jasa demi keamanan dan keselamatan dari konsumen sendiri.
Hak untuk mendapatkan informasi adalah salah satu hak konsumen yang paling
mendasar. Melalui informasi yang benar dan lengkap inilah konsumen dapat
menentukan/memilih produk pangan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Memberikan informasi yang salah, menyesatkan dan tidak jujur melalui label adalah
melanggar hak konsumen. Melanggar hak orang lain berarti pula melakukan
perbuatan melanggar hukum. Oleh karena itu, memberikan informasi yang benar
mengenai produk berarti membantu konsumen menentukan pilihannya secara benar
dan bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhannya. Ini berarti juga
memberikan kesempatan kepada konsumen mempergunakan haknya yang lain,
yakni hak untuk memilih.
Pangan yang aman, bermutu, dan bergizi merupakan syarat utama yang harus
terpenuhi dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia yang berharkat,
bermartabat dan berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan
unsur terpenting dan tujuan utama dalam pembangunan nasional Indonesia. Dalam
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas ditentukan dengan tingkat
konsumsi pangan/makanan yang bergizi serta tidak mengandung zat-zat kimia yang
membahayakan manusia serta menjamin ketersediaan pangan yang memadai dan
terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Agar pangan yang aman dan bergizi tersedia secara memadai, diperlukan upaya
mewujudkan suatu sistem pangan yang dapat memberikan perlindungan kepada
masyarakat yang mengkonsumsi produk pangan tersebut. Maka produk pangan
yang beredar dikalangan masyarakat harus memenuhi persyaratan keamanan
pangan yang telah ditentukan dan diatur oleh undang-undang. Satu- satunya
standar yang berlaku secara nasional di Indonesia adalah SNI (Standar Nasional
Indonesia). SNI dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh Badan
Standarisasi Nasional. Agar SNI dapat diterima oleh para stakeholder, maka SNI
menganut 6 (enam) asas, yaitu:
1. Asas Keterbukaan,
2. Asas Transparansi,
3. Asas Konsensus dan Tidak Memihak,
4. Asas Efektif dan Relevan,
5. Asas Koheren, dan
6. Asas Berdimensi Pembangunan.
Pada dasarnya, produk pangan yang beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat
melalui suatu proses yang meliputi produksi, penyimpanan, pengangkutan,
peredaran sampai produk pangan tersebut ada ditangan konsumen. Agar proses-
proses tersebut memenuhi syarat keamanan, mutu dan gizi makanan perlu
diaplikasikan suatu sistem pengaturan, pembinaan dan pengawasan yang efektif.
Tanpa adanya informasi yang jelas tersebut akan timbul kecurangan- kecurangan
yang merugikan para konsumen pangan. Permasalahan pangan di Indonesia yang
banyak terjadi adalah para pelaku usaha yang tidak mengindahkan ketentuan
tentang pencantuman label, sehingga merugikan masyarakat.
Informasi yang benar dan tidak menyesatkan yang ada dalam label pangan inilah
yang hendaknya diartikan sama, baik oleh pemerintah bagi kepentingan
pengawasan, pelaku usaha/produsen bagi keperluan persaingan usaha yang sehat
dan konsumen guna keperluan menentukan pilihannya dalam pemenuhan
kebutuhannya.
Oleh karena itu, informasi yang tercantum dalam label harus dikaji dan dievaluasi
berdasarkan prinsip ilmiah yakni bersandar pada fakta dan data ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal tersebut sangat penting dalam
perdagangan bebas yang menyangkut dunia internasional. Akan tetapi, fakta dan
data ilmiah tersebut bisa berubah setiap waktu. Maka diperlukan transparansi dan
pengharmonisasian informasi.
Bentuk informasi yang lebih komprehensif dan benar pada label dan iklan pangan
dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur komersialisasi memberikan
pendidikan kepada konsumen. Makin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat,
maka makin tinggilah penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya
memberikan pendidikan kepada konsumen tidak harus melewati jenjang pendidikan
formal, tetapi dapat juga melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya
masyarakat.Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal. 40-41. Sehingga hak-hak dari konsumen
dapat terlindungi dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Meskipun pengaturan mengenai produk pangan begitu banyak, akan tetapi, yang
mengatur secara spesifik dan lengkap mengenai pelabelan produk pangan terdapat
dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Sesuai dengan PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, produsen
dan importir pangan wajib untuk memberikan keterangan dan/atau pernyataan yang
benar dan tidak menyesatkan mengenai produk pangan dalam label tersebut.
Pasal 1 dan Pasal 2 PP No. 69 Tahun 1999 menginstruksikan agar label dalam
produk pangan harus wajib dicantumkan baik di dalam dan/atau di kemasan pangan.
Akan tetapi, perlu diperhatikan pencantuman label tersebut harus dilakukan
sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasan, tidak luntur atau rusak,
dan diletakkan pada bagian kemasan produk pangan yang mudah untuk dilihat
dan dibaca oleh konsumen. Hal ini dilakukan agar terpenuhinya asas manfaat, asas
keamanan, dan keselamatan konsumen sehingga meminimalisir terjadinya
kecurangan-kecurangan yang telah dikaji oleh Badan Perlindungan Konsumen
Nasional (BPKN) yang mana banyak ditemukan penyimpangan terhadap peraturan
pelabelan yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan dan informasi yang
menyesatkan konsumen.
Dalam Pasal 3 ayat (2) point a, c, dan d merupakan bagian utama dari label. Bagian
utama yang dimaksud yaitu bagian yang memuat keterangan paling penting untuk
diketahui oleh konsumen. Nama produk pangan sangat penting karena nama produk
tersebut menunjukkan identitas mengenai produk tersebut. Bagian utama produk
pangan ini juga harus memberi penjelasan mengenai produk tersebut, dan
menunjukkan sifat dan/atau keadaaan yang sebenarnya produk. Begitupun gambar
yang terdapat pada label produk tersebut juga menunjukkan keadaan sebenarnya.
Penggunaan suatu nama produk pangan tertentu yang terdapat dalam Standar
Nasional Indonesia (SNI), diberlakukan wajib melalui Keputusan Menteri Teknis.
Nama produk berbeda dengan nama dagang. Nama dagang merupakan merek.
Merek merupakan suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf,
angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur yang merupakan
tanda pembeda produk yang satu dengan produk lainnya. Contoh, nama produk :
Mentega, nama dagang/merek : Blue Band.
Daftar bahan yang digunakan (ingredient list) merupakan daftar yang memuat setiap
jenis bahan yang diformulasi dalam produk pangan, kecuali vitamin, mineral, dan zat
penambah gizi lainnya. Pencantuman bahan-bahan yang digunakan harus secara
berurutan dimulai dari bahan yang dominan digunakan berdasarkan berat bahan.
Dalam hal menyebutkan nama bahan baku harus dalam nama umum atau yang
lazin digunakan atau nama yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia
(SNI). Dengan pencantuman bahan-bahan yang digunakan pada label,
konsumen dapat mengetahui apakah produk tersebut aman untuk dikonsumsi dan
sesuai dengan kebutuhannya.
Secara umum, informasi gizi perlu diberikan kepada konsumen sehingga konsumen
bisa berhitung seberapa besar kontribusi produk pangan tersebut pada dietnya
secara keseluruhan. Karena itulah maka informasi gizi ini perlu diperbandingkan
dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG), yaitu angka atau dosis keperluan akan zat
gizi, terutama untuk lemak, lemak jenuh, kolesterol, karbohidrat, protein, serat,
sodium, dan potassium, vitamin dan mineral esensial.
Di Indonesia, angka kecukupan gizi ini biasanya dievaluasi, dibahas dan ditetapkan
melalui Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. Namun sayangnya, standarisasi
pencantuman informasi gizi ini belum dilakukan. Hal ini menyebabkan informasi gizi
yang dicantumkan pada label sangat beragam.
Berat bersih atau isi bersih merupakan pernyataan yang memberikan keterangan
mengenai kuantitas atau jumlah produk pangan yang terdapat di dalam kemasan
atau wadah. Penggunaan ukuran isi (liter, milliliter (ml), dan sejenisnya) untuk
makanan dan minuman cair, ukuran berat (kg, gram, dan sejenisnya) untuk
makanan padat dan makanan semi padat atau kental. Khusus pangan yang
menggunakan medium cair maka berat bersih harus diukur dengan medium cair
setelah ditiriskan (drained weight), yang disebut berat tiris.
Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam
wilayah Indonesia juga merupakan bagian utama dari label. Pihak yang
memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia berbeda dengan pihak yang
mengedarkan produk pangan. Nama dan alamat pihak yang mengedarkan
(distributor) produk pangan yang berisi informasi nama jalan, nama kota, kode pos,
dan nama negara juga harus dicantumkan dalam label produk pangan tersebut. Hal
tersebut sangatlah penting untuk mempermudah konsumen jika suatu waktu produk
pangan yang dihasilkan tersebut menimbulkan suatu kerugian terhadap konsumen.
Produk-produk makanan dan minuman yang beredar di warung, toko, pasar, dan
supermarket, makan nomor pendaftaran yang terdapat dibagian depan label produk
pangan terdiri atas kode SP, MD atau ML yang diikuti dengan sederetan angka.
Adapun pembagian penomoran kode pendaftaran tersebut, yaitu:
Produsen yang memiliki beberapa lokasi pabrik produksi yang berlainan tempat,
tetapi memproduksi produk yang sama, diberikan penomoran dengan kode MD
berdasarkan kode lokasi produk. Maka sering dijumpai suatu produk pangan yang
sama, tetapi memiliki nomor kode MD yang berbeda karena lokasi produksi berbeda.
Hal ini dapat meringankan produsen jika terjadi kasus terhadap suatu produk
pangan dari merek tertentu, yang mengakibatkan produksi dari produk tersebut
harus dihentikan. Penghentian produksi hanya didasarkan pada lokasi yang
memproduksi produk dengan kode MD yang bermasalah.
Nomor pendaftaran ini tetap berlaku sepanjang tidak adanya perubahan yang
menyangkut komposisi produk pangan, perubahan proses produksi dan lokasi pabrik
produksi dan lain-lain. Jika terjadi perubahan, maka produsen produk pangan
tersebut harus melaporkan perubahan tersebut kepada Badan POM. Apabila
perubahan tersebut dinilai terlalu besar, maka produk tersebut harus diregistrasi
ulang ke Badan POM dan mendapatkan kembali nomor dan kode produksi yang
baru sesuai dengan perubahannya.
1. Penilaian Umum adalah untuk semua produk yang beresiko tinggi dan produk
baru yang belum pernah mendapatkan nomor pendaftaran.
2. Penilaian ODS (One Day Service) adalah untuk semua produk yang beresiko
rendah dan produk sejenis yang pernah mendapatkan nomor pendaftaran.
Pada Pasal 15 dan Pasal 16 PP No. 69 Tahun 1999 mengatur keterangan pada
label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan Bahasa Indonesia, angka Arab, dan
huruf Latin. Penggunaan bahasa dalam label juga harus jelas dan mudah dibaca.
Penggunaan bahasa dalam label bukan hanya bahasa Indonesia, Arab dan Latin,
tetapi juga disesuaikan dengan bahasa asal produk bila produk tersebut merupakan
produk import. Hal ini dilakukan sejak adanya implementasi liberalisasi perdagangan
dalam kerangka perdangan bebas Asean China (Asean China Free Trade
Agreement/ACFTA).
Pelabelan produk pangan terdiri atas 2 (dua) bagian, label utama produk dan label
tambahan produk pangan. Pelabelan tambahan produk pangan disebut pelabelan
perisa. Sesuai dengan SNI 01-7152-2006 tentang Bahan Tambahan Pangan:
Persyaratan Perisa (tambahan produk pangan) dan Penggunaan dalam Produk
Pangan, pelabelan perisa yang digunakan dalam suatu produk pangan adalah
sekurang-kurangnya mencantumkan nama kelompok perisa dalam komposisinya.
Dalam SNI tersebut, jenis perisa dibagi ke dalam 4 kelompok yaitu perisa alami,
perisa identik alami, perisa artifisial dan perisa hasil proses panas. Jadi, jika suatu
produk pangan menggunakan perisa alami jeruk, maka dalam komposisinya dapat
dinyatakan sebagai berikut:
Adapun pelabelan bagi sediaan perisa yang dijual secara ritel, maka pelabelannya
sama dengan bahan tambahan pangan secara umum yaitu harus sesuai dengan
Permenkes No. 722/MENKES/PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan, PP
No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan ketentuan lain seperti
Keputusan Kepala Badan POM RI No. 00.05.52.4321 Tahun 2003 tentang
Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan.Sofhiani Dewi, Direktorat Standarisasi Produk
Pangan, Badan POM RI, “Pelabelan Perisa Produk Pangan”, diakses tanggal 21 April 2013, dari situs
: http://sofhianidewi.blogspot.com/pelabelanperisaprodukpangan. Pada kemasan sediaan
perisa tersebut harus dicantumkan keterangan sebagai berikut:
Dengan keterangan yang lengkap mengenai identitas dan cara penggunaan sediaan
perisa yang dijual secara ritel, dapat memudahkan konsumen dalam
menggunakannya dengan benar, baik untuk keperluan Industri Rumah Tangga
Pangan maupun untuk keperluan rumah tangga. Sehingga diharapkan tidak terjadi
penggunaan bahan tambahan pangan yang salah, termasuk perisa oleh konsumen
yang dapat mengakibatkan makanan atau minuman yang diproduksinya menjadi
tidak aman.
Dengan demikian, pelabelan produk pangan, baik label utama produk pangan dan
label perisa tambahan produk pangan memberikan suatu informasi yang berdampak
signifikan dalam meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk dan
meningkatkan kesetiaan konsumen terhadap penggunaan suatu produk pangan
yang juga memberikan keuntungan bagi para produsen/pelaku usaha pangan. Juga
meningkatkan kinerja pengawasan Pemerintah melalui Badan POM dan YLKI dalam
mewujudkan produk pangan yang ama dan bergizi sehingga dapat meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (SDM) generasi muda Indonesia.