Anda di halaman 1dari 27

MENINGKATKAN BUDAYA BACA MELALUI TBM

Oleh

B.P. Sitepu

Pendahuluan
Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 serta diatur lebih lanjut dalam Pasal 31, maka Pemerintah telah
melakukan pembangunan di bidang pendidikan baik melalui jalur pendidikan
formal maupun pendidikan nonformal. Di samping pembangunan gedung-
gedung sekolah, pengadaan guru serta sarana/prasarana pendidikan lainnya,
upaya peningkatan mutu bangsa Indonesia dilakukan secara nasional dengan
menerapkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Enam
Tahun mulai tahun 1984 dan ditingkatkan menjadi Wajar Dikdas Sembilan
Tahun dalam tahun 1994. Di lain pihak, dilakukan pula gerakan pemberantasan
buta huruf terhadap mereka yang berusia 10 tahun ke atas dan yang tidak
memperoleh kesempatan belajar di jalur pendidikan formal karena berbagai
kendala. Program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) ini dilanjutkan pula
dengan Program Kejar Paket A dan Keaksaraan Fungsional (KF).

Sampai dengan tahun 2006, upaya Pemerintah bersama-sama masyarakat


dalam memberantas buta aksara telah berhasil menurunkan tingkat buta aksara
pada berbagai kelompok umur. Oleh karena besarnya jumlah penduduk
Indonesia, gerakan pemberantasan buta aksara akan terus ditingkatkan dari
waktu ke waktu. Berdasarkan data Education for All Global Monitoring
Report tahun 2005, populasi buta huruf di Indonesia masih berkisar 18,4 juta
orang yang berarti merupakan negara yang ke-8 dengan populasi buta huruf
terbesar di dunia. Dengan program dan gerakan yang terencana dan terpadu,
Pemerintah bersama semua unsur masyarakat diharapkan dapat bekerja sama
melaksanakan gerakan pemberantasan buta aksara sehingga tuntas dalam
beberapa tahun yang akan datang.
Keberhasilan Pemerintah dan masyarakat memberantas buta aksara dan
meningkatkan jumlah penduduk Indonesia yang memiliki kemampuan
membaca, menulis, dan berhitung perlu terus dibina dan ditingkatkan,
khususnya bagi mereka yang merupakan aksarawan baru dan yang sudah
keluar dari jalur pendidikan formal. Ketiga kemampuan dasar itu sangat
diperlukan untuk memperoleh dan mengembangkan penguasaan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni serta meningkatkan akhlak manusia sepanjang
hidupnya. Ketiga kemampuan itu juga merupakan modal dasar bagi setiap
orang untuk dapat belajar secara mandiri membangun dirinya sendiri
memperbaiki tingkat kehidupannya sehingga dapat hidup layak, sehat dan
mempunyai harapan hidup yang lebih panjang.
Membaca merupakan salah satu cara manusia untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai bidang untuk memperbaiki
mutu hidupnya sesuai dengan perbaikan dan kemampuan intelektual dan
spiritualnya. Berbagai tokoh dan ilmuwan memperoleh keberhasilan dalam
hidupnya melalui membaca berbagai sumber. Membaca menjadi salah satu
kebutuhan yang perlu dipenuhi dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia yang ingin berkembang cepat dan maju, baik secara spiritual,
intelektual, maupun fisik.
Mengingat pentingnya kegiatan membaca dalam kehidupan sehari-hari,
Presiden Soekarno dalam pertengahan tahun 1960-an menyerukan kepada
segenap bangsa Indonesia untuk membiasakan diri membaca agar dapat
menambah ilmu pengetahuan. Pentingnya kegiatan membaca dalam kehidupan
sehari-hari juga diserukan kembali oleh Presiden Soeharto dalam penetapan
Bulan Mei sebagai Bulan Buku Nasional pada tgl 2 Mei 1975 di
Pontianak, penetapan Bulan September sebagai Bulan Gemar Membaca dan
Hari Kunjung Perpustakaan pada tgl 14 September 1995 di Istana Negara,
Jakarta, penetapan Gerakan Wakaf Buku Nasional pada tgl 7 Desember 1995
di Pusat Konvensi Hilton Jakarta, dan peresmian Perhimpunan Masyarakat
Gemar Membaca (PMGM) pada tgl 31 Mei 1996. Hari Aksara, Hari Kunjung
Perpustakaan, Bulan Membaca, dan Wakaf Buku tahun 1995, Di samping itu
diselenggarakan pula Kongres Perbukuan Nasional yang diselenggarakan tgl
29 s.d. 31 Mei 1995 di Jakarta. Pencanangan, peresmian, dan kongres itu
dimaksudkan agar segenap bangsa Indonesia memberikan perhatian terhadap
membaca sebagai suatu unsur dari budaya bangsa. Kemudian, Presiden
Megawati Soekarnoputri menyerukan kepada segenap komponen bangsa
Indonesia untuk mensukseskan Gerakan Membaca Nasional pada tahun 2003.
Terakhir pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Pemberdayaan
Perpustakaan di Masyarakat pada tanggal 12 Mei 2006.
Pembudayaan masyarakat menjadi tidak hanya gemar bahkan gandrung
membaca memerlukan upaya yang sungguh-sungguh baik dari pihak
Pemerintah maupun masyarakat sendiri. Mengembangkan dan meningkatkan
kegemaran membaca terkait dengan bahan pustaka sehingga gerakan nasional
gemar membaca menjadi tugas dan tanggung jawab Perpustakaan Nasiona
(RUU Perpustakaan, Pasal 17). Akan tetapi belajar untuk mampu dan terampil
membaca sehingga menjadi kebiasaan individual serta pada gilirannya menjadi
budaya masyarakat tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran di
lembaga pendidika formal dan nonformal. Oleh karena itu dalam
pengembangan organisasi Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2005,
Pemerintah membentuk unit kerja di lingkungan Ditjen Pendidikan Luar
Sekolah yang bertugas mengembangkan budaya baca masyarakat melalui
Taman Bacaan Masyarakat (TBM) sebagai sumber informasi dan pusat
pembelajaran masyarakat, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah
pedesaan dan kawasan miskin perkotaan. Sedangkan satuan pendidikan formal
berperan membina dan mengembangkan kegemaran membaca peserta didik
melalui perpustakaan yang ada di satuan pendidikan itu.

Berbagai seruan dan bentuk pencanangan yang telah dilakukan oleh para
pemimpin bangsa Indonesia menunjukkan kepedulian dan kesungguhan
Pemerintah dalam menyikapi pentingnya memasyarakatkan kegiatan
membaca sebagai salah satu kegiatan belajar sepanjang hayat. Di samping
Pemerintah, semua agama juga menganjurkan membaca dan mempelajari
ajaran agama dengan tekun dan benar agar memiliki iman yang teguh dan
hidup yang saleh dan berakhlak mulia. Semua agama mempunyai kitab suci
untuk dibaca, dipelajari, dihayati, dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-
hari.
Sebagai contoh, dalam agama Islam, keharusan membaca itu dinyatakan
secara eksplisit. Wahyu pertama yang diturunkan ialah pada surat Al Alaq yang
berisikan perintah membaca (Iqra’!). Setiap umat Islam diwajibkan membaca
Al-Quran. Wanita yang mengandung pun dianjurkan membaca ayat-ayat Al-
Quran sehingga diharapkan keluarganya dianugerahi anak yang sholeh dan
sholehah. Dengan demikian, sejak dalam kandungan pun anak itu telah
diperkenalkan dengan membaca. Di samping itu ditegaskan pula dalam Hadits
Rasulullah yang berbunyi “…uthlubul ilma mina mahdi ilallahdi” yang
bermakna ”Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”
Sekalipun demikian, budaya baca tulis masyarakat Indonesia masih belum
berkembang secara menggembirakan. Warisan budaya lisan yang
masih menganggap penyampaian pesan yang diucapkan lebih penting dan
lebih menarik daripada yang tertulis, masih hidup di tengah-tengah
masyarakat. Kenyataan ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, baik di
masyarakat perkotaan maupun di masyarakat pedesaan. Untuk mengetahui
secara tepat apakah kegiatan membaca di kalangan masyarakat Indonesia
sudah dapat dikatakan sebagai suatu kebutuhan hidup, maka ada baiknya
dilakukan pengamatan secara singkat tentang kebiasaan hidup masyarakat
Indonesia dalam berbagai situasi atau kejadian.
Berdasarkan hasil pengamatan singkat dapatlah dikatakan bahwa
kecenderungan yang dilakukan oleh anggota masyarakat Indonesia, baik
sebagai individu maupun kelompok, apabila sedang berada (a) di tempat
penantian (ruang tunggu), seperti: di stasiun kereta api, terminal atau halte bus,
di rumah sakit/praktek dokter/apotik, (b) dalam perjalanan, misalnya di kereta
api, bus atau pesawat udara, atau (c) dalam keadaan santai di tempat rekreasi,
adalah pada umumnya cenderung menikmati pemandangan alam sekitar,
berdiam diri, atau mengobrol dengan orang yang berada di dekatnya,
menyibukkan diri dalam permainan elektronik melalui telepon genggam, atau
bahkan tenggelam da;am lamunan.
Keadaan masyarakat seperti yang digambarkan di atas ternyata terlihat juga di
lingkungan kampus yang semestinya memperlihatkan budaya baca yang
tinggi. Waktu senggang para mahasiswa ketika menunggu jam kuliah atau
ketika dosen belum datang atau berhalangan hadir cenderung digunakan untuk
mengobrol dan bukan melakukan kegiatan membaca atau berdiskusi dengan
sesama mahasiswa tentang bahan perkuliahan yang telah atau yang akan
dipelajari. Apabila keadaan yang demikian tidak diubah, agak sulit untuk
mengharapkan perguruan tinggi menghasilkan sumber daya manusia yang
akan belajar secara terus menerus dalam kehidupannya serta mampu
membangun dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.

Akan tetapi nampaknya mewujudkan masyarakat berbudaya baca bukan


semata-mata masalah yang dihadapi Indonesia. Mengacu pada hasil
temuan Asia Pacific Cultural Centre for UNESCO (ACCU) pada tahun 1988
bahwa ada 28 (dua puluh delapan) masalah serius dalam proses budaya baca
di negara-negara Asia Pasifik termasuk Indonesia, tersebut di bawah ini:
i. Dalam pendidikan formal, guru tidak memotivasi peserta didik untuk
membaca buku-buku di luar buku teks sekolah.
ii. Dalam pendidikan keluarga, para orang tua tidak mendorong anak-
anaknya banyak membaca.
iii. Para guru dan orang tua tidak memahami secara tepat atas pemilihan
buku-buku bacaan yang sesuai, disukai, dan dibutuhkan oleh anak-
anaknya.
iv. Para guru, pustakawan, dan atau pendamping tidak mendapatkan
pelatihan yang tepat dan kurang mendapatkan motivasi untuk
mendampingi mereka yang membutuhkan dalam rangka mendukung
kebiasaan membaca.
v. Kurangnya koordinasi antara pemerintah dan pelaku industri buku dalam
kegiatan promosi tentang kebiasaan membaca yang terus menerus.
vi. Kurangnya kegiatan promosi yang agresif dalam hal kegiatan membaca
melalui stasiun-stasiun televisi dan surat-surat kabar.
vii. Tarip iklan yang sangat tinggi yang ditetapkan oleh industri surat kabar
yang menyebabkan para pelaku industri penerbitan buku enggan
mempromosikan buku-buku terbaru yang mereka terbitkan. Oleh
karenanya, masyarakat tidak mengetahui judul-judul terbaru yang
diluncurkan oleh pelaku industri buku.
viii. Terbatasnya kegiatan yang mendorong masyarakat untuk membaca
buku.
ix. Membaca bukanlah hal yang utama dalam kegiatan sehari-hari.
x. Ungkapan-ungkapan negatif seperti ”kutu buku” yang menyebabkan
kegiatan membaca tidak ”gaul” seperti kegiatan lainnya.
xi. Kondisi-kondisi sosial yang tidak mendukung masyarakat untuk
membaca.
xii. Tidak adanya waktu yang cukup di sekolah formal untuk kegiatan
membaca.
xiii. Kurangnya kualitas buku baik dari segi isi maupun jenis kertas buku
yang tidak sebanding dengan harga buku.
xiv. Terbatasnya bahan-bahan bacaan yang sesuai yang tersebar di
masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan membaca.
xv. Sebagian besar materi buku sekolah membosankan para peserta didik.
Salah satunya disebabkan kurangnya ilustrasi yang menarik.
xvi. Terbatasnya jumlah para pelaku industri buku yang profesional.
Kebanyakan dari para pelaku industri perbukuan hanya bertujuan
mencetak uang/keuntungan.
xvii. Terbatasnya jumlah penulis yang piawai.
xviii. Buku-buku untuk anak-anak yang berkualitas tinggi memiliki harga
yang sangat mahal.
xix. Biaya produksi buku yang tinggi menghalangi proses membaca sebagai
suatu kebiasaan.
xx. Terbatasnya lahan untuk perpustakaan dan fasilitas sejenisnya di daerah
pedesaan, pedalaman, pinggiran dan kurangnya pemahaman akan fungsi
perpustakaan dan sejenisnya.
xxi. Fasilitas pada perpustakaan atau sejenisnya yang terbatas terutama di
daerah pedesaan.
xxii. Pustakawan tidak terlatih untuk mempromosikan bahwa kebiasaan
membaca sebagai kegiatan yang membawa kenikmatan atau
menyenangkan.
xxiii. Kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan yang tidak mewadahi
perkembangan intelektual dan kecintaan akan ilmu pengetahuan.
xxiv. Sistem pendidikan yang hanya menekankan pada lulus tidaknya peserta
didik. Akibatnya, pihak sekolah tidak memberikan waktu yang cukup
untuk melakukan kegiatan promosi kebiasaan membaca.
xxv. Kemampuan membaca yang masih rendah
xxvi. Banyaknya jumlah buta aksara dan aksarawan baru namun akhirnya
putus sekolah.
xxvii. Rendahnya tingkat koordinasi dalam hal pendistribusian bahan bacaan
terutama ke daerah-daerah pedesaan, pedalaman.
xxviii. Permasalahan transportasi
Persoalan-persoalan serius yang ditemukan oleh ACCU secara fakta
ditemukan dari hasil survei Litbang Kompas (2005) yang berkaitan dengan
intensitas membaca, anggaran yang dipergunakan untuk membeli buku, dan
perpustakaan pribadi/keluarga. Perlu dicatat bahwa survei yang melibatkan
786 responden berusia minimal 17 tahun tersebut bukan mewakili seluruh
masyarakat Indonesia, tetapi hasilnya dapat memberikan gejala tentang
kegiatan membaca di Indonesia. Hasil survei itu menunjukkan antara lain
bahwa jumlah responden yang melakukan kegiatan membaca setiap hari masih
rendah termasuk mereka yang tergolong berpendidikan tinggi (35,5%).
Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, maka semakin rendah pula
frekwensi membacanya. Bahkan cukup banyak, khususnya yang
berpendidikan rendah, yang menyatakan tidak mempunyai kebiasaan
membaca. Intensitas membaca untuk mereka yang baru melek huruf atau
aksarawan baru mungkin akan lebih memprihatinkan, dan tidak tertutup
kemungkinan mereka kembali menjadi buta aksara apa bila tidak diikuti
dengan pembinaan lebih lanjut.

Indikator lain dapat juga dilihat dari jumlah dana yang digunakan untuk
membeli buku. Berdasarkan sumber yang sama (Litbang Kompas, 2005),
sebagian besar (88%) responden tidak menyediakan dana untuk membeli buku.
Hanya sebagian kecil responden (12%) yang menyediakan dana kurang dari
Rp100.000 per bulan untuk membeli buku. Dengan demikian, membeli buku
tampaknya masih belum merupakan prioritas bagi sebagian besar responden.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau sedikit sekali dari responden (14,3
%) yang memiliki perpustakaan pribadi di rumah dan bahkan menjadi anggota
perpustakaan pun jumlahnya sedikit (23%).

Kondisi tersebut di atas akan lebih memprihatinkan lagi bagi kalangan


masyarakat yang tergolong miskin atau berada di bawah garis kemiskinan serta
mereka yang tinggal di daerah terpencil dan jauh dari kemungkinan mendapat
bahan bacaan. Sungguhpun hasil survei tersebut tidak dapat digeneralisasikan
untuk seluruh masyarakat Indonesia, namun data yang diperoleh dapat
dijadikan sebagai gejala atau indikasi tentang belum berkembangnya kegiatan
dan kebiasaan membaca menjadi salah satu unsur budaya bangsa.

Budaya baca diawali dari minat baca (reading interest) dan kemampuan
membaca (reading ability) yang kedua-duanya pada umumnya dibentuk di
lembaga pendidikan dan lingkungan. Akan tetapi lembaga pendidikan
khususnya di SD belum mampu memberikan kemampuan dan keterampilan
membaca yang memadai. Hal ini terlihat dari hasil studi Vincent Greannary
yang dikutip oleh World Bank (1998) yang menunjukkan bahwa kemampuan
membaca siswa kelas VI SD Indonesia hanya mencapai nilai 51,7 dan berada
pada urutan paling akhir setelah Filippina (52,6), Thailand (65,1), Singapura
(74,0), dan Hongkong (75,5).
Landasan Hukum dan Kebijakan
Bangsa Indonesia pada hakikatnya telah lama menyadari pentingnya
pendidikan dalam usaha meninggalkan ketrbelakangan dan mengejar
kemajuan. Sedangkan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar
serta keggiatan belajar itu sendiri berintikan membaca. Dengan demikian,
membaca adalah salah satu kegiatan dalam proses belajar yang
merupakan bagian dari pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan individu,
masyarakat, dan bangsa. Pemahaman ini telah dimiliki sejak awal oleh para
pendiri bangsa Indonesia serta generasi berikutnya, sebagaimana yang
dituangkan dalam:

i. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang antara lain


menyebutkan bahwa salah satu tujuan membentuk pemerintahan
Negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa secara
menyeluruh.
ii. Pasal 28C UUD 1945 (hasil amandemen) menyebutkan bahwa salah
satu Hak Azasi Manusia adalah hak mendapatkan pendidikan dan
mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat
manusia.
iii. Pasal 31 UUD 1945 secara khusus mengatur tata cara mencerdaskan
kehidupan bangsa melalui pendidikan .
iv. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional sebagai pengaturan lebih lanjut tentang sistem pendidikan
nasional yang dituntut dalam ayat (3) pasal 31 UUD 1945.
v. Pasal 4 UU No 20 Tahun 2003 yang mengatur tentang prinsip
penyelenggaraan pendidikan menyebutkan antara lain dalam ayat (5)
bahwa pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
vi. Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009, yang salah satunya
mengenai Program Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan
Perpustakaan.
vii. Deklarasi Dakar yang juga menjadi kebijakan Pemerintah Indonesia:
 menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda terpenuhi
melalui akses yang adil pada program-program belajar kecakapan
hidup yang sesuai.
 mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa
menjelang tahun 2015 terutama bagi kaum perempuan.
 menghapus disparitas gender dan mencapai persamaan gender
menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan
dengan akses penuh dan sama pada prestasi pendidikan dengan lebih
baik.
 memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin
keunggulan sehingga hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat
diraih oleh semua dalam keaksaraan dan kecakapan hidup.
Masalah
Sungguhpun Indonesia telah merdeka lebih dari setengah abad, berbagai
masalah atau kendala yang dihadapi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa
melalui pendidikan antara lain adalah yang berkaitan dengan (1) pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan yang merupakan salah satu hak azasi
setiap warga negara Indonesia, (2) mutu dan relevansi pendidikan yang masih
harus terus-menerus ditingkatkan sehingga mampu memenuhi kebutuhan
dunia kerja dan mampu bersaing serta berkolaborasi di dunia internasional, dan
(3) manajemen pendidikan yang oleh karena keberanekaragaman jenis dan
jenjangnya, luasnya wilayah dan sebaran serta kemajemukan masyarakat
Indonesia memerlukan pengelolaan yang efektif dan efisien.

Masalah pendidikan nasional seperti yang dikemukakan di atas adalah


sekaligus juga merupakan penyebab sejumlah masalah yang dihadapi dalam
menumbuh-kembangkan minat, kegemaran, dan kebiasaan membaca sehingga
membudaya di kalangan masyarakat. Membaca itu dapat dianggap telah
membudaya apabila kegiatan membaca telah menjadi kebiasaan yang
dilakukan secara berkelanjutan dan bagian dari kebutuhan hidup sehari-hari.

Belum meratanya kesempatan memperoleh layanan pendidikan


mengakibatkan belum meratanya juga kesempatan mengembangkan
kemampuan membaca, yang berarti juga belum dapat menjadikan membaca
menjadi suatu kegiatan apalagi kebiasaan. Kemampuan dan keterampilan
membaca mempunyai pengaruh yang sangat berarti terhadap hasil belajar.
Dengan demikian, rendahnya mutu pendidikan menunjukkan indikasi
rendahnya kemampuan dan keterampilan membaca peserta didik. Pengelolaan
pendidikan yang kurang profesional dapat mengakibatkan penyediaan dana,
sarana dan prasarana pendidikan tidak efektif dan tidak efisien. Buku adalah
bagian dari sarana pendidikan yang sangat diperlukan sebagai sumber bacaan.
Kurangnya jumlah dan jenis buku di lembaga-lembaga pendidikan
memberikan pengaruh negatif terhadap pengembangan minat membaca
peserta didik.

Belum berkembangnya budaya membaca di kalangan masyarakat Indonesia


antara lain dapat disebabkan oleh masalah-masalah berikut.

1. Sistem Pembelajaran

Proses belajar dan membelajarkan di lembaga-lembaga pendidikan belum


mampu memberikan kemampuan dan keterampilan membaca yang unggul
serta membentuk peserta didik yang gandrung membaca. Akibatnya, kegiatan
membaca yang seyogianya merupakan salah satu ciri kepribadian seorang
lulusan, ternyata masih belum tampak setelah peserta didik menyelesaikan
kegiatan studinya dan meninggalkan lembaga pendidikan.

2. Kondisi Sosial-Budaya

Pada umumnya, masyarakat masih lebih terbiasa berkomunikasi secara lisan.


Atau dengan kata lain, masyarakat masih lebih banyak menggunakan bahasa
lisan atau tutur dalam pergaulan hidup sehari-hari. Penggunaan bahasa tulis
atau budaya menulis dan membaca masih belum menjadi salah satu kebutuhan
hidup sehari-hari.

3. Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi

Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang berkembang begitu cepat


dengan potensinya yang mampu menyajikan berbagai informasi dalam
tampilan pandang dengar yang menarik sehingga sangat berpeluang untuk
menjauhkan minat banyak masyarakat dari kegiatan membaca sebagai cara
untuk memperoleh informasi. Minat dan kegemaran membaca masih belum
tumbuh dan berkembang secara mapan di saat teknologi komunikasi pandang
dengar mulai berkembang pesat merasuk ke tengah-tengah kehidupan
masyarakat.

4. Kondisi Ekonomi

Keadaan ekonomi masyarakat secara umum masih belum memungkinkan


untuk menyediakan dana khusus pembelian bahan-bahan bacaan. Masih
banyak anggota masyarakat yang berada dalam garis kemiskinan sehingga
yang menjadi prioritas adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup.

5. Kemampuan Membaca

Masih cukup banyak masyarakat yang masih buta aksara.

6.Keterampilan Membaca

Keterampilan membaca yang belum memadai sehingga kegiatan membaca


masih cenderung dianggap sebagai beban yang mengakibatkan belum
berkembangnya inisiatif untuk dapat menikmatinya.

7. Sikap Masyarakat

Masyarakat belum menganggap kegiatan membaca sebagai salah satu kegiatan


belajar yang dapat mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan
keterampilan untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

8. Sumber Bacaan

Kurangnya jumlah dan jenis bahan bacaan yang dapat dengan mudah diakses
masyarakat dengan harga yang terjangkau di satu sisi dan penyebaran bahan
bacaan yang belum dapat menjangkau semua masyarakat serta isi bahan
bacaan di sisi yang lain, belum dapat menumbuhkembangkan minat dan
kegemaran membaca masyarakat.

9. Layanan Perpustakaan dan Taman Bacaan Masyarakat

Jumlah dan sebaran perpustakaan serta Taman Bacaan Masyarakat (TBM)


belum menjangkau semua desa/kelurahan sehingga masih banyak masyarakat
yang tidak mempunyai akses terhadap layanan bahan bacaan. Di samping itu,
koleksi bahan bacaan di perpustakaan dan TBM belum dapat memenuhi
berbagai kebutuhan masyarakat penggunanya.

10. Promosi Gandrung Membaca


Upaya pemerintah dan masyarakat masih kurang gencar dalam
mempromosikan pengembangan budaya baca ke seluruh lapisan masyarakat
secara berkesinambungan melalui berbagai media komunikasi.

Berbagai masalah/hambatan yang dikemukakan itu merupakan tantangan yang


perlu ditanggapi dan diatasi dalam meningkatkan minat baca masyarakat
sehingga menjadi suatu kebiasaan yang kemudian menjadi gandrung
membaca. Kompleksnya masalah memerlukan pendekatan multidisiplin yang
sistemik sehingga dapat diatasi secara tuntas. Uapaya atau pemecahan maslah
secara parsial dan kurang terencana nampaknya tidak akan dapat mengatasi
masalah secara tuntas.

Selaras dengan cita-cita mulia kemerdekaan Republik Indonesia yang menjadi


salah satu amanat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu meningkatkan
kecerdasan bangsa Indonesia maka Pemerintah bekerja sama dengan
masyarakat diharapkan berupaya mewujudkan bangsa Indonesia yang terdidik
(educated society) yang gemar membaca (reading society) dan gemar
belajar (learning society). Dalam masyarakat yang demikian membaca dan
belajar menjadi kebutuhan yang perlu dipenuhi secara terus menerus. Dengan
ciri masyarakt yang demikian, bangsa Indonesia diharapkan dapat duduk
bersanding sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya.
Pembahahasan

Secara teoritis terdapat hubungan yang timbal balik antara minat, kemampuan,
keterampilan, dan kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca dianggap sebagai
syarat terbentuknya budaya baca dalam masyarakat. Apabila budaya baca ini
dikembangkan secara terus-menerus, maka akan bermuara akhirnya pada
terbentuknya masyarakat yang gemar membaca (reading society) dan
sekaligus juga masyarakat yang gemar belajar (learning society). Untuk dapat
mewujudkan masyarakat yang berbudaya baca dalam pengertian gemar
membaca dan gemar belajar sepanjang hayat, perlu
dirumuskan kebijakan strategis sebagai landasan dalam menyusun rencana
aksi (action plan) serta program kerja yang operasional. Dalam rangka
merumuskan kebijakan strategis dalam pengembangan budaya baca, dituntut
adanya analisis situasi budaya baca yang berkembang dewasa ini.
Yang dimaksudkan dengan budaya baca adalah suatu kebiasaan yang telah
menjadi bagian dari cara hidup seseorang atau masyarakat dalam memperoleh
informasi dari media cetak atau tulis dengan menggunakan aksara tertentu.
Kegiatan membaca sebagai salah satu unsur kebudayaan merupakan kegiatan
yang bersifat rutin dan teratur dilaksanakan guna mempertahankan dan
meningkatkan kualitas hidupnya secara lebih bermakna. Dengan demikan,
budaya baca akan dapat terwujud apabila kegiatan membaca sudah dirasakan
sebagai suatu kebutuhan dan telah mempola sebagai kebiasaan yang dilakukan
secara berkelanjutan. Membaca adalah dasar untuk belajar dan kemampuan
membaca merupakan kemampuan yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari karena berfungsi sebagai kunci untuk mendapatkan berbagai jenis
informasi. Yang menjadi cakupan budaya baca dalam hal ini adalah minat
baca, kemampuan membaca dan menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia.

Berdasarkan batasan pengertian budaya baca seperti yang telah diuraikan,


maka pengembangan budaya baca merupakan serangkaian kegiatan yang
diarahkan untuk mendorong masyarakat menjadikan kegiatan membaca
sebagai bagian dari kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang berorientasi pada
penyegaran pikiran (entertainment) maupun untuk perluasan atau pengayaan
wawasan pengetahuan (knowledge building) sehinga masyarakat secara
mandiri dapat meningkatkan mutu kehidupannya, baik secara rohani maupun
jasmani. Pengembangan budaya baca juga mencakup upaya untuk
mewujudkan lingkungan dan berbagai sarana yang kondusif untuk
menumbuhkembangkan kebiasaan membaca bagi semua lapisan masyarakat
tanpa diskriminasi, baik dari segi gender maupun status sosial ekonominya.
Budaya baca dinilai penting untuk dikembangkan di Indonesia karena:

i. melalui budaya baca dan belajar diharapkan wawasan, pengetahuan,


kreativitas, motivasi untuk maju dan mengatasi rintangan meningkat
serta tidak mudah putus asa,
ii. dilihat dari kualitas insan Indonesia, 67% tingkat pendidikan angkatan
kerja baru adalah tamatan dan tidak tamat SD dan SMP,
iii. rata-rata lama pendidikan penduduk Indonesia hanya 7 tahun (sampai
kelas 8), dan
iv. produktivitas nasional masih rendah.
Analisis situasi budaya baca merupakan proses telaahan yang objektif,
logis, dan sistematis tentang keadaan minat, kegemaran, dan kebiasaan
membaca masyarakat serta sarana/prasarana yang mendukung kegiatan
membaca yang tersedia dewasa ini. Analisis ini dapat memberikan gambaran
nyata tentang berbagai aspek yang mempengaruhi tinggi rendahnya kebiasaan
membaca masyarakat serta berbagai kekuatan, kelemahan, peluang dan
tantangan dalam pengembangan budaya baca. Oleh karena itu, analisis situasi
budaya baca perlu didukung dengan data kuantitatif atau kualitatif yang
terpercaya. Hasil analisis ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan
target, kebijakan strategis, dan rencana aksi untuk mengembangkan budaya
baca.

Uraian sebelumnya telah menunjukkan betapa luasnya cakupan dan sasaran


pengembangan budaya baca. Oleh karena itu, pengembangan budaya baca
tidak terbatas hanya menjadi tugas dan tanggung jawab Kementerian
Pendidikan Nasional saja selaku penanggungjawab penyelenggaraan
pendidikan formal dan nonformal, tetapi juga semua lembaga/instansi
pemerintah dan swasta, individu dan kelompok. Akan tetapi, analisis situasi
budaya baca ini difokuskan pada aspek-aspek yang berkaitan dengan
pendidikan non-formal dan secara lebih khusus lagi yang berkaitan dengan
pengembangan budaya baca melalui pemberdayaan Taman Bacaan
Masyarakat (TBM). TBM merupakan lembaga yang menyediakan bahan
bacaan yang dibutuhkan masyarakat, tempat penyelenggaraan pembinaan
kemampuan membaca dan belajar, tempat bagi masyarakat untuk
mendapatkan informasi, dan sekaligus juga sebagai tempat pengembangan seni
dan budaya.

Analisis Situasi Budaya Baca


Secara rinci, tujuan dari analisis situasi budaya baca ini adalah untuk
menemukenali:

i. indikator budaya baca,


ii. situasi dan kondisi budaya baca sekarang,
iii. situasi dan kondisi budaya baca yang diinginkan,
iv. faktor-faktor pendukung dan penghambat pengembangan budaya baca,
v. arah kebijakan pengembangan minat baca melalui jalur pendidikan luar
sekolah,
vi. sasaran dan target pengembangan budaya baca, dan
vii. rencana aksi.
1. Indikator Budaya Baca
Yang dimaksudkan dengan indikator umum budaya baca adalah bahwa ketika
kegiatan membaca sudah dirasakan sebagai suatu kebutuhan hidup sehari-hari
dan menjadi kebiasaan yang dilakukan secara berkelanjutan. Dengan
demikian tampaklah bahwa budaya baca itu melibatkan unsur manusia dan
lingkungannya. Manusia adalah pelaku dan yang berkepentingan, sedangkan
unsur lingkungan merupakan pendukung untuk memungkinkan manusia
melakukan kegiatan membaca sebagai suatu kebiasaan yang brkelanjutan
sepanjang hidupnya. Atas dasar pemikiran yang demikian ini, maka indikator
budaya baca dapat dikenali sebagai berikut.

a. Individu atau kelompok

i. Melek aksara.
ii. Kemampuan membaca.
iii. Keterampilan membaca.
iv. Penggunaan waktu senggang.
v. Pengeluaran biaya untuk pembelian buku.
vi. Keangotaan perpustakaan, TBM, dan klub buku.
vii. Jumlah buku yang dibaca.
viii. Profesi penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur.
b. Lingkungan

i. Lembaga pendidikan.
ii. Industri buku.
2. Situasi Sekarang
a. Individu dan Kelompok
1. Melek Aksara
Kemampuan membaca aksara (melek aksara) adalah kemampuan dasar
membaca menuju kebiasaan membaca (reading habit) dalam mewujudkan
masyarakat membaca dan belajar (reading and learning society) sebagai salah
satu ciri dari masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Data
menunjukkan bahwa 83% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas telah
melek aksara dan menurut Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional
tahun 2005-2009 (RPJMN 2005-2009), prosentase jumlah penduduk yang
melek aksara telah meningkat menjadi 95%. Kemudian, sesuai dengan
kesepakatan Dakar, jumlah penduduk Indonesia yang melek aksara akan
mencapai 100% pada tahun 2015. Kemampuan membaca aksarawan lama dan
baru ini merupakan modal untuk mewujudkan masyarakat yang berbudaya
baca.
Di sisi lain, laporan Education for All Global Monitoring Report 2005,
mengungkapkan bahwa terdapat sekitar 18,4 juta penduduk buta aksara.
Jumlah penduduk buta aksara yang besar ini menjadi hambatan dalam
pengembangan budaya baca secara nasional. Di samping itu, meningkatnya
jumlah aksarawan lama dan baru sebagai hasil dari Gerakan Pemberantasan
Buta Aksara dan ditambah lagi dengan besarnya jumlah siswa putus sekolah
dari pendidikan dasar, membutuhkan pembinaan agar mereka tidak menjadi
buta aksara kembali (relapse illiteracy).
2. Keterampilan Membaca
Kegiatan belajar tidak dapat dipisahkan dari kegiatan membaca. Bahkan lebih
jauh lagi, Harry Maddox (1964) mengemukakan bahwa membaca
merupakan “the most important skill in the study”. Tampaklah betapa
pentingnya kegiatan membaca dalam proses pendidikan seseorang
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ralph C. Staigner (1973) “reading has
frequently been regarded as a tool facilitating many other types of learning”.
Kebiasaan membaca akan dapat lebih meningkat apabila didukung oleh
kemampuan atau keterampilan berbahasa atau membaca yang tinggi di
samping tersedianya dan terjangkaunya buku-buku. Sebaliknya juga bahwa
setinggi apapun kemampuan dan ketrampilan membaca seseorang tidak akan
berfungsi atau banyak manfaatnya apabila tidak didukung oleh ketersediaan
buku-buku bacaan secara memadai.
Untuk dapat memperoleh informasi dan belajar dengan baik, kemampuan
membaca perlu ditingkatkan sehingga tidak hanya dapat membaca aksara,
kata, dan kalimat saja, tetapi terampil memahami makna yang tersurat dan
tersirat secara cepat dan tepat. Dengan semakin, tingginya angka partisipasi
dan retensi anak usia sekolah serta semakin tingginya tingkat pendidikan
sebagian masyarakat akan memberikan peluang untuk memiliki keterampilan
membaca yang baik. Semakin terampil masyarakat membaca, maka
masyarakat akan semakin merasakan manfaat dan kenikmatan dari hasil
membaca sehingga menjadi gandrung dan candu membaca. Prilaku yang
seperti inilah yang menjadi salah satu ciri masyarakat gemar dan berbudaya
membaca.

Apabila dilihat dari berbagai gejala yang ada, maka keterampilan membaca
masyarakat Indonesia pada umumnya belum menggembirakan. Hal ini
terungkap dari hasil penelitian tentang kemampuan membaca (reading
literacy) anak-anak Indonesia yang relatif rendah apabila dibandingkan
dengan negara-negara berkembang lainnya, bahkan dalam kawasan ASEAN
sekali pun. Dalam sebuah studi yang dilaksanakan oleh International
Association for Evaluation of Education (IEA) pada tahun 1992 tentang
kemampuan membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV yang
mengikutsertakan 30 negara di dunia, maka terungkap bahwa Indonesia
menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela yang menempati peringkat
terakhir pada urutan ke 30. Sedangkan hasil penelitian yang lebih mutakhir
yang dilakukan oleh tim Program for International Student Assessment (PISA)
dari Unesco pada tahun 2003 menunjukkan, kemampuan membaca anak-anak
Indonesia yang berusia 15 tahun (SLTP/SMU/SMK) berada di urutan 39 dari
41 negara yang diteliti. Sebesar 37,6 % dari jumlah yang diteliti hanya bisa
membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8% hanya bisa mengambil
satu kesimpulan pengetahuan.
Data yang ditampilkan di atas memang relatif sudah lama, tetapi kondisinya
tampak tidak banyak berubah. Temuan penelitian Ki Supryoko di desa-desa
yang ada di wilayah Sulawesi Selatan (2005) misalnya, menunjukkan bahwa
dari sekitar 2.000 kasus yang ada, sekitar 30-an atau 1,5% anak lulusan SD
tidak lancar membaca. Kalau keterampilan membaca di lembaga-lembaga
pendidikan masih seperti yang digambarkan ini, maka keterampilan membaca
aksarawan baru dan lama yang dihasilkan melalui Gerakan Pemberantasan
Buta Aksara dikhawatirkan juga akan relatif rendah. Rendahnya keterampilan
membaca ini tentu akan merupakan hambatan dalam mengembangkan budaya
baca.

3. Penggunaan Waktu untuk Membaca


Masyarakat Indonesia dapat dikatakan masih belum menjadi masyarakat yang
gemar membaca (reading community). Keadaan yang demikian dapat terlihat
dari penggunaan waktu luang masyarakat yang cenderung bukan diisi dengan
kegiatan membaca. Masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki waktu
luang yang cukup banyak, baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Di
daerah perkotaan, terdapat waktu senggang ketika menungu atau berada di
kendaraan umum, hari libur, dan sore serta malam hari. Di daerah pedesaan,
waktu senggang masyarakat pada umumnya terdapat pada waktu sore dan
malam hari sesudah bekerja seharian sebagai buruh atau petani. Waktu
senggang tersebut sebenarnya masih dapat dipergunakan untuk kegiatan
membaca, baik membaca bahan-bahan bacaan yang dimiliki sendiri maupun
membaca bahan-bahan bacaan yang ada di perpustakaan atau TBM.
Dalam kenyataannya, pemanfaatan waktu senggang untuk membaca di
lingkungan lembaga-lembaga pendidikan dan di masyarakat, belum
menggejala. Waktu senggang cenderung digunakan untuk mengobrol,
bermain, atau berangan-angan sehingga tidak bermakna untuk mewujudkan
masyarakat yang gemar membaca. Gejala ini juga terlihat di kalangan orang
yang sudah memperoleh pendidikan formal yang relatif memadai seperti yang
diungkapkan hasil survei Litbang Kompas (2005). Walaupun terdapat
pengaruh tingkat pendidikan terhadap intensitas membaca, hanya 35,5% dari
responden yang berpendidikan tinggi menyatakan setiap hari mereka
membaca. Angka ini tentu jauh lebih rendah untuk mereka yang baru melek
aksara. Sikap dan prilaku masyarakat yang demikian ini merupakan hambatan
dalam pengembangan budaya baca.

4. Pengeluaran untuk buku


Berdasarkan data yang diungkapkan Bisnis Indonesia (8 Feb. 2006), 17,8 %
penduduk Indonesia masih dalam keadaan prasejahtra (di bawah garis
kemiskinan). Data ini berarti sisanya ( 82,2 sudah dapat memenuhi kebutuhan
pokoknya atau bahkan sudah melebihi kebutuhan pokok. Dengan demikian, di
samping kemudahan memperoleh buku dari perpustakaan dan TBM, maka
masyarakat tentunya telah memiliki kemampuan keuangan untuk membeli
bahan bacaan hiburan atau yang sifatnya untuk menambah ilmu pengetahuan.

Apabila setiap orang mampu membeli bahan bacaan setiap bulan, maka akan
terjadi konsumsi buku secara besar-besaran dan secara ekonomi akan
menghidupkan dan memajukan industri buku di Indonesia secara cepat.
Kemampuan masyarakat membeli bahan bacaan akan memungkinkan keluarga
memiliki perpustakaan di rumah dan tentunya keadaan yang demikian akan
menjadi kondusif untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang berbudaya
baca.

Data tentang pengeluaran dana masyarakat untuk membeli buku secara


nasional belum dapat diperoleh, tetapi hasil survei yang ada dapat dijadikan
petunjuk bahwa nampaknya bahan bacaan belum menjadi prioritas kebutuhan.
Hal ini terlihat dari jawaban 88% dari responden menyatakan tidak
menyediakan anggaran khusus untukmembeli buku . Jumlah dana yang
disediakan oleh responden yang mengalokasikan dana untuk membeli buku
pun,yang kurang dari Rp 100.000. per bulan yang berarti hanya dapat
membeli 2 atau 3 buku saja. Dengan kemampuan daya beli masyarakat belum
diarahkan pada bahan bacaan maka jumlah keluarga yang memiliki
perpustakaan pun masih sangat sedikit sekali dan sikap serta situasi ini jelas
tidak mendukung pengembangan budaya baca.

5. Keanggotaan Perpustakaan, TBM, atau Klub Buku


Berbagai jenis perpustakaan tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan data
Perpustakaan Nasional yang tertera dala RUU Perpustakaan (2006), pada
tahun 2002 terdapat 13.908 unit perpustakaan yang terdiri atas 12.620 unit
perpustakaan sekolah, 519 unit perpustakaan perguruan tinggi, dan 769 unit
perpustakaan umum kabupaten/kota. Jumlah ini sangat kecil (5,04%)
dibandingkan dengan jumlah instansi/lokasi yang secara keseluruhan adalah
275.869. Pada tahun 1990-an, perpustakaan desa pernah dikembangkan secara
nasional akan tetapi nampaknya tidak berkembang seperti yang dharapkan.
Kecilnya jumlah perpustakaan itu menunjukkan bahwa jumlah anggotanya pun
aka sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia.

Di samping berbagai jenis perpustakaan, TBM yang berawal dari Taman


Pustaka Rakyat pada tahun 1950-an, telah dikembangkan secara nasional sejak
tahun 1992. Sampai tahun 2005 terdapat 2.681 TBM yang tersebar di seluruh
Indonesia. TBM ini diharapkan dapat berkembang menjangkau semua lapisan
masyarakat di perkotaan dan di pedesaan serta berfungsi sebagai sumber
informasi, tempat memperoleh bahan bacaan, serta tempat berbagai kegiatan
belajar dan seni. Sementara itu, masyarakat juga memprakarsai pendirian
berbagai klub yang berkaitan dengan kegiatan membaca, seperti klub pencinta
buku dan klub gemar membaca.

Ketersediaan perpustakaan, TBM, dan berbagai klub itu diharapkan


memberikan berbagai kemudahan untuk mendapatkan bahan bacaan bagi
masyarakat yang sudah melek aksara sehingga mereka dapat meningkatkan
kemampuan dan keterampilan membacanya sampai pada tingkat gemar
membaca. Sedangkan bagi mereka yang sudah memperlakukan kegiatan
membaca sebagai kebutuhan hidup sehari-hari, maka sarana yang ada dapat
dijadikan sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan membaca dengan cara
menjadi anggota. Keangotaan perpustakaan, TBM dan klub buku dapat
mendorong seseorang untuk mengunjungi perpustakaan, TBM atau klub buku
untuk membaca atau meminjam bahan bacaan.

Oleh karena membaca belum menjadi kebutuhan hidup sehari-hari bagi


kebanyakan anggota masyarakat, maka jumlah anggota perpustakaan, TBM,
dan klub-klub buku itu nampaknya masih relatif rendah. Hasil survei Kompas
(2005) menunjukkan hanya 23% dari responden yang sebagai anggota
perpustakaan dan mereka tersebut kemungkinan menjadi anggota karena
kewajiban sebagai siswa atau mahasiswa. Di lain pihak, sepinya jumlah
pengunjung ke perpustakaan, TBM atau klub baca menunjukkan bahwa tingkat
kasadaran masyarakat akan pentingnya kegiatan membaca untuk
meningkatkan keterampilan hidup masih relatif rendah.

7. Jumlah Buku yang Dibaca

Tingginya jumlah penduduk yang melek huruf di satu sisi dan tersedianya
bahan bacaan di perputakaan dan TBM di sisi yang lain, akan memungkinkan
setiap orang yang telah melek huruf itu memperoleh kesempatan membaca
buku setidak-tidaknya satu buku satu minggu. Akan tetapi data buku beredar
menunjukkan bahwa jumlah rata-rata buku yang dibaca tidak sampai satu buku
buku bulan.

8. Profesi Pengarang/Penulis, Penerjemah, dan Penyadur


Besarnya jumlah penduduk Indonesia merupakan pasar yang baik untuk bahan
bacaan dan sekaligus juga menjadi daya tarik yang besar untuk
mengembangkan profesi sebagai pengarang/penulis, penerjemah, atau
penyadur. Hal ini didukung oleh besarnya jumlah lulusan perguruan tinggi
setiap tahunnya. Untuk menghasilkan tulisan yang baik, apalagi tulisan ilmiah,
didahului dengan banyak membaca berbagai acuan.

Di Indonesia, beberapa di antara organisasi profesi pengarang/penulis adalah


Ikatan Pengarang Indonesia (IPINDO), Himpunan Pengarang Aksara, dan
Wanita Pengarang Indonesia (WPI) yang jumlah anggotanya secara
keseluruhan sekitar 300 orang. Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI)
memiliki angota tidak mencapai 70 orang. Rendahnya jumlah anggota
organisasi profesi pengarang/penulis ini menunjukkan rendahnya minat orang
yang memiliki kemampuan menulis untuk menjadi pengarang/penulis,
penerjemah, atau penyadur. Para penulis/penerjemah tidak semuanya bernaung
di dalam organisasi profesi pengarang/penulis, sebab ada juga yang berprofesi
lain seperti guru dan dosen yang juga melakukan kegiatan penulisan atau
penerjemahan buku.

2. Lingkungan
1. Lembaga Pendidikan
Sesuai dengan fungsinya, lembaga-lembaga pendidikan formal dan non-formal
berdasarkan kurikukum yang dimiliki, perpustakaan yang ada, serta proses
belajar-membelajarkan yang terjadi, diharapkan dapat menggugah,
mendorong, memberikan bimbingan dan latihan untuk pengembangan
kemampuan dan meningkatkan keterampilan membaca di samping penguasaan
ilmu pengetahuan lainnya. Para lulusan diharapkan telah memiliki kebiasaan
membaca yang dapat bertahan dan berkembang menjadi budaya baca. Mereka
juga diharapkan dapat menjadi contoh/tauladan dan penggerak dalam
pengembangan minat dan kegemaran membaca di tengah-tengah masyarakat.

Menurut Peoples (Peoples, 1988), informasi/pengetahuan yang diperoleh


melalui (a) indera penglihatan adalah sekitar 75%, (b) indera pendengaran
adalah sekitar 13%, dan (c) indera peraba/perasa, pembau dan pengecap adalah
sekitar 12%. Hal ini berarti bahwa apabila masyarakat Indonesia dapat
mengoptimalkan pemanfaatan waktunya untuk membaca teks atau gambar
(indera penglihatan), maka masyarakat Indonesia akan mampu memperoleh
sekitar 75% informasi/pengetahuan yang dibaca/dipelajarinya. Peranan
guru/dosen sangat penting dalam menciptakan iklim kegiatan belajar-mengajar
yang kondusif bagi peserta didik untuk senantiasa termotivasi mengoptimalkan
indera penglihatannya dalam kegiatan belajarnya sehingga
menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca para peserta didik.
Kurikulum yang dikembangkan, perpustakaan yang dikelola dan dibina, dan
proses pembelajaran yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan tampaknya
masih belum berhasil menghasilkan siswa atau mahasiswa yang memiliki
keterampilan dan kebiasaan membaca yang dapat diandalkan. Perpustakaan
lembaga pendidikan pada umumnya masih tergolong miskin koleksi dan
sarana yang dimiliki tampak masih belum sepenuhnya kondusif mendorong
pengembangan minat dan kegemaran membaca para pengunjungnya. Data
Perpustakaan Nasional (2002) yang dirujuk sebelumnya menunjukkan bahwa
hanya 7,2 % sekolah yang memiliki perpustakaan yang memnuhi syarat dan
hanya 35,59% perguruan tinggi yang memiliki perpustakaan yang dianggap
layak.

2. Industri Buku
Industri buku didukung oleh (a) pencipta gagasan/ide, seperti
pengarang/penulis, penerjemah, penyadur, dan ilustrator, (b) penerbit, (c)
percetakan, (d) distributor seperti toko buku dan perpustakaan, dan (e)
masyarakat pembaca. Berdasarkan besarnya jumlah penduduk dan sumber
daya yang ada, industri buku di Indonesia dapat dikatakan sangat potensial
untuk berkembang dengan pesat dan maju. Jumlah dan jenis judul bahan
bacaan yang dihasilkan seharusnya sangat banyak dalam jumlah tiras yang
besar pula. Bahan bacaan seharusnya mudah diperoleh di seluruh wilayah
Indonesia karena sarana transportasi sudah relatif memadai.

Akan tetapi dalam kenyataannya, buku baru yang diterbitkan oleh sekitar 630
penerbit di Indonesia hanya berjumlah sekitar 6.000 judul buku baru dengan
tiras rata-rata 3.000 eksemplar setiap tahun. Keadaan yang demikian ini berarti
bahwa posisi Indonesia masih jauh berada di bawah Malaysia yang telah
mencapai sekitar 12.000 judul, apalagi dibandingkan dengan Korea dan
Jepang yang telah mencapai rata-rata 40.000 judul setiap tahun.

Rendahnya produksi buku di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh masih


rendahnya minat dan kegemaran membaca masyarakatnya sehingga
buku belum menjadi kebutuhan pokok serta belum menjadi barang komersial
yang menarik. Keadaan ini juga mengakibatkan jumlah pengarang/penulis,
penerjemah dan penyadur kurang berkembang dan jumlah naskah yang
dihasilkan juga sangat sedikit. Sungguhpun jumlah penerbit cukup banyak
(628 penerbit berdasarkan data IKAPI pada tahun 2005), namun sebarannya
tidak merata di seluruh Indonesia.

Hampir 85% dari jumlah penerbit berlokasi di Jawa dan terbanyak di Jakarta
sehingga penulis atau calon penulis di luar Jawa mengalami kesulitan untuk
menerbitkan naskahnya. Percetakan yang mampu mencetak buku juga masih
sedikit jumlahnya. Dari sekitar 7.000 angota PPGI, ternyata tidak sampai 5%
yang secara profesional mampu mencetak buku. Sebagian besar dari jumlah
percetakan yang profesional ini terdapat di Jawa. Sedangkan toko buku yang
berfungsi sebagai distributor bahan bacaan belum menjangkau sampai semua
kecamatan. Berdasarkan data GATBI (2005), jumlah toko buku di Indonesia
tidak lebih dari 3.000 dan pada umumnya terbanyak berlokasi di kota-kota
besar. Kurangnya toko buku ini mengakibatkan bahan bacaan di daerah-daerah
tertentu sulit diperoleh. Sementra itu, perpustakaan dan TBM juga belum
menjangkau semua kecamatan apalagi desa atau kelurahan.

Di samping budaya baca masyarakat yang belum berkembang, harga buku


masih di luar jangkauan daya beli kebanyakan masyarakat, maka buku bagi
mereka yang telah memiliki daya beli belum menjadi prioritas kebutuhan yang
harus dipenuhi. Keadaan industri buku di Indonesia seperti yang telah
diuraikan belum kondusif untuk mendukung pengembangan budaya baca
secara nasional.

3. Situasi yang Diinginkan


Sebagaimana tertera pada rumusan visi pendidikan non-formal, maka
diharapkan masyarakat Indonesia memiliki budaya baca yang tinggi sehingga
mampu belajar secara mandiri sepanjang hayatnya. Agar dapat tercipta
masyarakat yang berbudaya baca tinggi dan gemar belajar, maka dibutuhkan
berbagai kondisi yang mendukung, yaitu antara lain adalah sebagai berikut:

 Kebijakan pemerintah yang kondusif dalam memasyarakatkan budaya


baca dan gemar belajar serta membudayakan kegiatan membaca dan
gemar belajar.
 Kegiatan membaca dan belajar yang terus meningkat sehingga pada
akhirnya menjadi kebiasaan dan kebutuhan pokok hidup sehari-hari
masyarakat.
 Ketersediaan bahan-bahan bacaan yang berkualitas dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat yang mudah diperoleh melalui toko buku,
perpustakaan dan TBM di wilayah-wilayah pemukiman penduduk.
 Harga bahan-bahan bacaan yang terjangkau oleh kebanyakan anggota
mayarakat.
 Keluarga yang memiliki perpustakaan dan kegiatan membaca bersama
dikembangkan secara terus-menerus sehingga menjadi salah satu tradisi
dalam keluarga.
 Meningkatnya jumlah dan kualitas perpustakaan dan TBM yang
menyenangkan dan dibutuhkan masyarakat serta yang didukung oleh
pelayanan yang memotivasi pengunjung/ pengguna untuk semakin
gemar membaca dan belajar.
 Industri buku yang berkembang maju dan mampu bersaing serta
berkolaborasi dengan industri buku di berbagai negara.
4. Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan/Peluang, dan Tantangan
Berdasarkan analisis situasi yang telah dilakukan, maka dalam pengembangan
budaya baca dapat diidentifikasi kekuatan (strength), kelemahan (weakness),
kesempatan/peluang (opportunity), dan tantangan (treath) sebagai berikut.
a. Kekuatan
 Landasan hukum yang kuat untuk mencerdaskan bangsa antara lain
melalui pengembangan budaya baca.
 Kemampuan membaca yang dimiliki oleh 83% usia 15 tahun ke atas.
 Sistem pendidikan yang demokratis.
 Anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD.
 Lembaga-lembaga penididikan di jalur pendidian formal dan non formal.
 Perpustakaan dan TBM yang tersebar di berbagai tempat.
 Industri buku yang sudah ada.
 Teknologi Informasi dan Komunikasi yang terus berkembang.
b. Kelemahan

 Budaya lisan yang masih kuat.


 Keterampilan membaca yang belum memadai.
 Minat dan kegemaran membaca masih rendah.
 Harga buku yang belum terjangkau kebanyakan anggota masyarakat.
 Perpustakaan dan TBM belum menjangkau semua masyarakat.
 Pelayanan perpustakaan dan TBM belum kondusif untuk terciptanya
masyarakat gemar membaca dan gemar belajar.
 TIK belum didayagunakan secara optimal untuk promosi budaya baca.
c. Kesempatan/Peluang

 Kebijakan Pemerintah (tiga pilar kebijakan) mengatasi masalah


pendidikan nasional dapat memberikan dampak positif terhadap
pengembangan budaya baca secara nasional.
 Otonomi daerah mendorong pembangunan industri buku ke semua
kabupaten/kota sehingga menghasilkan buku dan bahan bacaan lainnya
yang jenis dan isinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
 Globalisasi di tingkat regional dan internasional berakibat persaingan
dan kerja sama di bidang sumber daya manusia semakin ketat sehingga
memacu Indonesia meningkatkan mutu sumber daya manusianya antara
lain dengan pengembangan budaya baca.
 Jumlah dana untuk penyelenggaraan pendidikan memungkinkan
pengembangan perpustakaan dan TBM menjadi pusat-pusat informasi
dan pusat-pusat belajar.
 Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk memperbaiki
tingkat kehidupan merupakan salah satu dasar untuk
menumbuhkembangkan budaya baca.
 Teknologi informasi dan komunikasi dapat digunakan untuk untuk
mempromosikan pengembangan budaya baca serta untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan membaca.
d. Tantangan

 Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang belum merata serta


belum menjangkau kebanyakan masyarakat dapat membuat masyarakat
lebih mendahulukan pemenuhan kebutuhan sandang, papan, dan pangan
daripada membaca dan belajar.
 Globalisasi dalam berbagai segi dapat mengakibatkan bangsa Indonesia
menjadi konsumen negara lain sehingga daya saing semakin melemah
dan memberikan dampak negatif terhadap pengembangan budaya baca
dan belajar.
 Teknologi informasi dan komunikasi melalui media pandang dengar
yang maju cepat dapat memperlemah minat dan kebiasaan membaca.

Pengembangan Budaya Baca


Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya,
dengan memperhatikan analisis situasi yang telah diuraikan maka strategi
yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut:

a. Strategi Jangka Panjang

i. Meningkatkan peranserta semua lembaga/instansi pemerintah dan


pemerintah daerah.
ii. Memberdayakan semua unsur masyarakat.
iii. Mendorong pertumbuhan industri buku di setiap wilayah.
iv. Meningkatkan promosi gemar membaca dengan melalui berbagai media
secara terus menerus.
v. Memberikan pelayanan informasi melalui pemanfaatan TIK
b. Strategi Jangka Menengah

i. Membangun TBM di desa sesuai dengan tipologi dan karakteristik


masyarakat.
ii. Mengembangkan TBM berbasis TIK di setiap kabupaten/kota.
iii. Mengintegrasikan program pendidikan dengan pengelolaan TBM.
iv. Melakukan kerjasama dengan organisasi keagamaan.
v. Menyediakan bahan bacaan bagi masyarakat yang sesuai dengan
kebutuhan.
vi. Melakukan peningkatan kapasitas tenaga pengelola TBM.
vii. Memotivasi masyarakat untuk menumbuhkan minat baca.
viii. Memberikan penghargaan kepada TBM yang kreatif, inovatif dan
berprestasi.
Penutup

TBM berada di tengah-tengah masyarakat, tumbuh dan berembang pada


umumnya atas swadaya masyarakat serta diperuntukkan untuk masyarakat
umum. Oleh karena itu, sesuai dengan namanya, Taman Bacaan Masyarakat,
sesungguhnya merupakan wadah belajar yang akrab serta benar-benar
menyatu dengan masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah. Wadah ini
dapat dikembangkan menjadi pusat belajar masyarakat dengan berbagai
kegaiatan belajar yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat
di lingkungannya. Selain menyediakan bahan bacaan dan tempat membaca,
TBM dapat (a)menyelenggarakan kursus-kursus singkat untuk berbagai jenis
keterampilan, (b) diskusi-diskusi berbagai topik yang aktual di tengah-tengah
masyarakat, (c) dan penyuluhan tentang berbagai kebutuhan masyarakat.

Oleh karena sasaran TBM pada umumnya masyarakat menengah ke bawah,


maka yang diperlukan adalah sarana dan prasarana adalah yang praktis dan
berfaedah secara langsung dan dikelola secara sederhana. Untuk
perkembangan lebih lanjut usaha swadaya masyarakat ini perlu ditingkatkan
dan dipacu dengan bantuan Pemerintah berupa bimbingan teknis pengelolaan
dan pengembangannya serta bantuan dana dan tenaga yang memadai sehingga
TBM dapat berkembang dari tempat membaca menjadi tempat belajar dengan
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi maju. Dengan
demikian TMB dapat berfungsi sebagai sumber belajar yang andal dan
menunjukkan denyut-denyut kegiatan belajar yang aktif sepanjang hayat.

******

Anda mungkin juga menyukai