Meningkatkan Minat Baca Melalui TBM
Meningkatkan Minat Baca Melalui TBM
Oleh
B.P. Sitepu
Pendahuluan
Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 serta diatur lebih lanjut dalam Pasal 31, maka Pemerintah telah
melakukan pembangunan di bidang pendidikan baik melalui jalur pendidikan
formal maupun pendidikan nonformal. Di samping pembangunan gedung-
gedung sekolah, pengadaan guru serta sarana/prasarana pendidikan lainnya,
upaya peningkatan mutu bangsa Indonesia dilakukan secara nasional dengan
menerapkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Enam
Tahun mulai tahun 1984 dan ditingkatkan menjadi Wajar Dikdas Sembilan
Tahun dalam tahun 1994. Di lain pihak, dilakukan pula gerakan pemberantasan
buta huruf terhadap mereka yang berusia 10 tahun ke atas dan yang tidak
memperoleh kesempatan belajar di jalur pendidikan formal karena berbagai
kendala. Program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) ini dilanjutkan pula
dengan Program Kejar Paket A dan Keaksaraan Fungsional (KF).
Berbagai seruan dan bentuk pencanangan yang telah dilakukan oleh para
pemimpin bangsa Indonesia menunjukkan kepedulian dan kesungguhan
Pemerintah dalam menyikapi pentingnya memasyarakatkan kegiatan
membaca sebagai salah satu kegiatan belajar sepanjang hayat. Di samping
Pemerintah, semua agama juga menganjurkan membaca dan mempelajari
ajaran agama dengan tekun dan benar agar memiliki iman yang teguh dan
hidup yang saleh dan berakhlak mulia. Semua agama mempunyai kitab suci
untuk dibaca, dipelajari, dihayati, dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-
hari.
Sebagai contoh, dalam agama Islam, keharusan membaca itu dinyatakan
secara eksplisit. Wahyu pertama yang diturunkan ialah pada surat Al Alaq yang
berisikan perintah membaca (Iqra’!). Setiap umat Islam diwajibkan membaca
Al-Quran. Wanita yang mengandung pun dianjurkan membaca ayat-ayat Al-
Quran sehingga diharapkan keluarganya dianugerahi anak yang sholeh dan
sholehah. Dengan demikian, sejak dalam kandungan pun anak itu telah
diperkenalkan dengan membaca. Di samping itu ditegaskan pula dalam Hadits
Rasulullah yang berbunyi “…uthlubul ilma mina mahdi ilallahdi” yang
bermakna ”Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”
Sekalipun demikian, budaya baca tulis masyarakat Indonesia masih belum
berkembang secara menggembirakan. Warisan budaya lisan yang
masih menganggap penyampaian pesan yang diucapkan lebih penting dan
lebih menarik daripada yang tertulis, masih hidup di tengah-tengah
masyarakat. Kenyataan ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, baik di
masyarakat perkotaan maupun di masyarakat pedesaan. Untuk mengetahui
secara tepat apakah kegiatan membaca di kalangan masyarakat Indonesia
sudah dapat dikatakan sebagai suatu kebutuhan hidup, maka ada baiknya
dilakukan pengamatan secara singkat tentang kebiasaan hidup masyarakat
Indonesia dalam berbagai situasi atau kejadian.
Berdasarkan hasil pengamatan singkat dapatlah dikatakan bahwa
kecenderungan yang dilakukan oleh anggota masyarakat Indonesia, baik
sebagai individu maupun kelompok, apabila sedang berada (a) di tempat
penantian (ruang tunggu), seperti: di stasiun kereta api, terminal atau halte bus,
di rumah sakit/praktek dokter/apotik, (b) dalam perjalanan, misalnya di kereta
api, bus atau pesawat udara, atau (c) dalam keadaan santai di tempat rekreasi,
adalah pada umumnya cenderung menikmati pemandangan alam sekitar,
berdiam diri, atau mengobrol dengan orang yang berada di dekatnya,
menyibukkan diri dalam permainan elektronik melalui telepon genggam, atau
bahkan tenggelam da;am lamunan.
Keadaan masyarakat seperti yang digambarkan di atas ternyata terlihat juga di
lingkungan kampus yang semestinya memperlihatkan budaya baca yang
tinggi. Waktu senggang para mahasiswa ketika menunggu jam kuliah atau
ketika dosen belum datang atau berhalangan hadir cenderung digunakan untuk
mengobrol dan bukan melakukan kegiatan membaca atau berdiskusi dengan
sesama mahasiswa tentang bahan perkuliahan yang telah atau yang akan
dipelajari. Apabila keadaan yang demikian tidak diubah, agak sulit untuk
mengharapkan perguruan tinggi menghasilkan sumber daya manusia yang
akan belajar secara terus menerus dalam kehidupannya serta mampu
membangun dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Indikator lain dapat juga dilihat dari jumlah dana yang digunakan untuk
membeli buku. Berdasarkan sumber yang sama (Litbang Kompas, 2005),
sebagian besar (88%) responden tidak menyediakan dana untuk membeli buku.
Hanya sebagian kecil responden (12%) yang menyediakan dana kurang dari
Rp100.000 per bulan untuk membeli buku. Dengan demikian, membeli buku
tampaknya masih belum merupakan prioritas bagi sebagian besar responden.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau sedikit sekali dari responden (14,3
%) yang memiliki perpustakaan pribadi di rumah dan bahkan menjadi anggota
perpustakaan pun jumlahnya sedikit (23%).
Budaya baca diawali dari minat baca (reading interest) dan kemampuan
membaca (reading ability) yang kedua-duanya pada umumnya dibentuk di
lembaga pendidikan dan lingkungan. Akan tetapi lembaga pendidikan
khususnya di SD belum mampu memberikan kemampuan dan keterampilan
membaca yang memadai. Hal ini terlihat dari hasil studi Vincent Greannary
yang dikutip oleh World Bank (1998) yang menunjukkan bahwa kemampuan
membaca siswa kelas VI SD Indonesia hanya mencapai nilai 51,7 dan berada
pada urutan paling akhir setelah Filippina (52,6), Thailand (65,1), Singapura
(74,0), dan Hongkong (75,5).
Landasan Hukum dan Kebijakan
Bangsa Indonesia pada hakikatnya telah lama menyadari pentingnya
pendidikan dalam usaha meninggalkan ketrbelakangan dan mengejar
kemajuan. Sedangkan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar
serta keggiatan belajar itu sendiri berintikan membaca. Dengan demikian,
membaca adalah salah satu kegiatan dalam proses belajar yang
merupakan bagian dari pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan individu,
masyarakat, dan bangsa. Pemahaman ini telah dimiliki sejak awal oleh para
pendiri bangsa Indonesia serta generasi berikutnya, sebagaimana yang
dituangkan dalam:
1. Sistem Pembelajaran
2. Kondisi Sosial-Budaya
4. Kondisi Ekonomi
5. Kemampuan Membaca
6.Keterampilan Membaca
7. Sikap Masyarakat
8. Sumber Bacaan
Kurangnya jumlah dan jenis bahan bacaan yang dapat dengan mudah diakses
masyarakat dengan harga yang terjangkau di satu sisi dan penyebaran bahan
bacaan yang belum dapat menjangkau semua masyarakat serta isi bahan
bacaan di sisi yang lain, belum dapat menumbuhkembangkan minat dan
kegemaran membaca masyarakat.
Secara teoritis terdapat hubungan yang timbal balik antara minat, kemampuan,
keterampilan, dan kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca dianggap sebagai
syarat terbentuknya budaya baca dalam masyarakat. Apabila budaya baca ini
dikembangkan secara terus-menerus, maka akan bermuara akhirnya pada
terbentuknya masyarakat yang gemar membaca (reading society) dan
sekaligus juga masyarakat yang gemar belajar (learning society). Untuk dapat
mewujudkan masyarakat yang berbudaya baca dalam pengertian gemar
membaca dan gemar belajar sepanjang hayat, perlu
dirumuskan kebijakan strategis sebagai landasan dalam menyusun rencana
aksi (action plan) serta program kerja yang operasional. Dalam rangka
merumuskan kebijakan strategis dalam pengembangan budaya baca, dituntut
adanya analisis situasi budaya baca yang berkembang dewasa ini.
Yang dimaksudkan dengan budaya baca adalah suatu kebiasaan yang telah
menjadi bagian dari cara hidup seseorang atau masyarakat dalam memperoleh
informasi dari media cetak atau tulis dengan menggunakan aksara tertentu.
Kegiatan membaca sebagai salah satu unsur kebudayaan merupakan kegiatan
yang bersifat rutin dan teratur dilaksanakan guna mempertahankan dan
meningkatkan kualitas hidupnya secara lebih bermakna. Dengan demikan,
budaya baca akan dapat terwujud apabila kegiatan membaca sudah dirasakan
sebagai suatu kebutuhan dan telah mempola sebagai kebiasaan yang dilakukan
secara berkelanjutan. Membaca adalah dasar untuk belajar dan kemampuan
membaca merupakan kemampuan yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari karena berfungsi sebagai kunci untuk mendapatkan berbagai jenis
informasi. Yang menjadi cakupan budaya baca dalam hal ini adalah minat
baca, kemampuan membaca dan menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia.
i. Melek aksara.
ii. Kemampuan membaca.
iii. Keterampilan membaca.
iv. Penggunaan waktu senggang.
v. Pengeluaran biaya untuk pembelian buku.
vi. Keangotaan perpustakaan, TBM, dan klub buku.
vii. Jumlah buku yang dibaca.
viii. Profesi penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur.
b. Lingkungan
i. Lembaga pendidikan.
ii. Industri buku.
2. Situasi Sekarang
a. Individu dan Kelompok
1. Melek Aksara
Kemampuan membaca aksara (melek aksara) adalah kemampuan dasar
membaca menuju kebiasaan membaca (reading habit) dalam mewujudkan
masyarakat membaca dan belajar (reading and learning society) sebagai salah
satu ciri dari masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Data
menunjukkan bahwa 83% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas telah
melek aksara dan menurut Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional
tahun 2005-2009 (RPJMN 2005-2009), prosentase jumlah penduduk yang
melek aksara telah meningkat menjadi 95%. Kemudian, sesuai dengan
kesepakatan Dakar, jumlah penduduk Indonesia yang melek aksara akan
mencapai 100% pada tahun 2015. Kemampuan membaca aksarawan lama dan
baru ini merupakan modal untuk mewujudkan masyarakat yang berbudaya
baca.
Di sisi lain, laporan Education for All Global Monitoring Report 2005,
mengungkapkan bahwa terdapat sekitar 18,4 juta penduduk buta aksara.
Jumlah penduduk buta aksara yang besar ini menjadi hambatan dalam
pengembangan budaya baca secara nasional. Di samping itu, meningkatnya
jumlah aksarawan lama dan baru sebagai hasil dari Gerakan Pemberantasan
Buta Aksara dan ditambah lagi dengan besarnya jumlah siswa putus sekolah
dari pendidikan dasar, membutuhkan pembinaan agar mereka tidak menjadi
buta aksara kembali (relapse illiteracy).
2. Keterampilan Membaca
Kegiatan belajar tidak dapat dipisahkan dari kegiatan membaca. Bahkan lebih
jauh lagi, Harry Maddox (1964) mengemukakan bahwa membaca
merupakan “the most important skill in the study”. Tampaklah betapa
pentingnya kegiatan membaca dalam proses pendidikan seseorang
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ralph C. Staigner (1973) “reading has
frequently been regarded as a tool facilitating many other types of learning”.
Kebiasaan membaca akan dapat lebih meningkat apabila didukung oleh
kemampuan atau keterampilan berbahasa atau membaca yang tinggi di
samping tersedianya dan terjangkaunya buku-buku. Sebaliknya juga bahwa
setinggi apapun kemampuan dan ketrampilan membaca seseorang tidak akan
berfungsi atau banyak manfaatnya apabila tidak didukung oleh ketersediaan
buku-buku bacaan secara memadai.
Untuk dapat memperoleh informasi dan belajar dengan baik, kemampuan
membaca perlu ditingkatkan sehingga tidak hanya dapat membaca aksara,
kata, dan kalimat saja, tetapi terampil memahami makna yang tersurat dan
tersirat secara cepat dan tepat. Dengan semakin, tingginya angka partisipasi
dan retensi anak usia sekolah serta semakin tingginya tingkat pendidikan
sebagian masyarakat akan memberikan peluang untuk memiliki keterampilan
membaca yang baik. Semakin terampil masyarakat membaca, maka
masyarakat akan semakin merasakan manfaat dan kenikmatan dari hasil
membaca sehingga menjadi gandrung dan candu membaca. Prilaku yang
seperti inilah yang menjadi salah satu ciri masyarakat gemar dan berbudaya
membaca.
Apabila dilihat dari berbagai gejala yang ada, maka keterampilan membaca
masyarakat Indonesia pada umumnya belum menggembirakan. Hal ini
terungkap dari hasil penelitian tentang kemampuan membaca (reading
literacy) anak-anak Indonesia yang relatif rendah apabila dibandingkan
dengan negara-negara berkembang lainnya, bahkan dalam kawasan ASEAN
sekali pun. Dalam sebuah studi yang dilaksanakan oleh International
Association for Evaluation of Education (IEA) pada tahun 1992 tentang
kemampuan membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV yang
mengikutsertakan 30 negara di dunia, maka terungkap bahwa Indonesia
menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela yang menempati peringkat
terakhir pada urutan ke 30. Sedangkan hasil penelitian yang lebih mutakhir
yang dilakukan oleh tim Program for International Student Assessment (PISA)
dari Unesco pada tahun 2003 menunjukkan, kemampuan membaca anak-anak
Indonesia yang berusia 15 tahun (SLTP/SMU/SMK) berada di urutan 39 dari
41 negara yang diteliti. Sebesar 37,6 % dari jumlah yang diteliti hanya bisa
membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8% hanya bisa mengambil
satu kesimpulan pengetahuan.
Data yang ditampilkan di atas memang relatif sudah lama, tetapi kondisinya
tampak tidak banyak berubah. Temuan penelitian Ki Supryoko di desa-desa
yang ada di wilayah Sulawesi Selatan (2005) misalnya, menunjukkan bahwa
dari sekitar 2.000 kasus yang ada, sekitar 30-an atau 1,5% anak lulusan SD
tidak lancar membaca. Kalau keterampilan membaca di lembaga-lembaga
pendidikan masih seperti yang digambarkan ini, maka keterampilan membaca
aksarawan baru dan lama yang dihasilkan melalui Gerakan Pemberantasan
Buta Aksara dikhawatirkan juga akan relatif rendah. Rendahnya keterampilan
membaca ini tentu akan merupakan hambatan dalam mengembangkan budaya
baca.
Apabila setiap orang mampu membeli bahan bacaan setiap bulan, maka akan
terjadi konsumsi buku secara besar-besaran dan secara ekonomi akan
menghidupkan dan memajukan industri buku di Indonesia secara cepat.
Kemampuan masyarakat membeli bahan bacaan akan memungkinkan keluarga
memiliki perpustakaan di rumah dan tentunya keadaan yang demikian akan
menjadi kondusif untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang berbudaya
baca.
Tingginya jumlah penduduk yang melek huruf di satu sisi dan tersedianya
bahan bacaan di perputakaan dan TBM di sisi yang lain, akan memungkinkan
setiap orang yang telah melek huruf itu memperoleh kesempatan membaca
buku setidak-tidaknya satu buku satu minggu. Akan tetapi data buku beredar
menunjukkan bahwa jumlah rata-rata buku yang dibaca tidak sampai satu buku
buku bulan.
2. Lingkungan
1. Lembaga Pendidikan
Sesuai dengan fungsinya, lembaga-lembaga pendidikan formal dan non-formal
berdasarkan kurikukum yang dimiliki, perpustakaan yang ada, serta proses
belajar-membelajarkan yang terjadi, diharapkan dapat menggugah,
mendorong, memberikan bimbingan dan latihan untuk pengembangan
kemampuan dan meningkatkan keterampilan membaca di samping penguasaan
ilmu pengetahuan lainnya. Para lulusan diharapkan telah memiliki kebiasaan
membaca yang dapat bertahan dan berkembang menjadi budaya baca. Mereka
juga diharapkan dapat menjadi contoh/tauladan dan penggerak dalam
pengembangan minat dan kegemaran membaca di tengah-tengah masyarakat.
2. Industri Buku
Industri buku didukung oleh (a) pencipta gagasan/ide, seperti
pengarang/penulis, penerjemah, penyadur, dan ilustrator, (b) penerbit, (c)
percetakan, (d) distributor seperti toko buku dan perpustakaan, dan (e)
masyarakat pembaca. Berdasarkan besarnya jumlah penduduk dan sumber
daya yang ada, industri buku di Indonesia dapat dikatakan sangat potensial
untuk berkembang dengan pesat dan maju. Jumlah dan jenis judul bahan
bacaan yang dihasilkan seharusnya sangat banyak dalam jumlah tiras yang
besar pula. Bahan bacaan seharusnya mudah diperoleh di seluruh wilayah
Indonesia karena sarana transportasi sudah relatif memadai.
Akan tetapi dalam kenyataannya, buku baru yang diterbitkan oleh sekitar 630
penerbit di Indonesia hanya berjumlah sekitar 6.000 judul buku baru dengan
tiras rata-rata 3.000 eksemplar setiap tahun. Keadaan yang demikian ini berarti
bahwa posisi Indonesia masih jauh berada di bawah Malaysia yang telah
mencapai sekitar 12.000 judul, apalagi dibandingkan dengan Korea dan
Jepang yang telah mencapai rata-rata 40.000 judul setiap tahun.
Hampir 85% dari jumlah penerbit berlokasi di Jawa dan terbanyak di Jakarta
sehingga penulis atau calon penulis di luar Jawa mengalami kesulitan untuk
menerbitkan naskahnya. Percetakan yang mampu mencetak buku juga masih
sedikit jumlahnya. Dari sekitar 7.000 angota PPGI, ternyata tidak sampai 5%
yang secara profesional mampu mencetak buku. Sebagian besar dari jumlah
percetakan yang profesional ini terdapat di Jawa. Sedangkan toko buku yang
berfungsi sebagai distributor bahan bacaan belum menjangkau sampai semua
kecamatan. Berdasarkan data GATBI (2005), jumlah toko buku di Indonesia
tidak lebih dari 3.000 dan pada umumnya terbanyak berlokasi di kota-kota
besar. Kurangnya toko buku ini mengakibatkan bahan bacaan di daerah-daerah
tertentu sulit diperoleh. Sementra itu, perpustakaan dan TBM juga belum
menjangkau semua kecamatan apalagi desa atau kelurahan.
******