Anda di halaman 1dari 17

Makalah Seminar Kasus II Modul Neurologi

KELOMPOK 3

Disusun oleh:

ANINDYA CITRA MAHESWARI 030001700010


ANISA ANASTASIA 030001700011
ANNISA FITRI CAHYARINI 030001700012
AULIA RANA HAERANI 030001700016
AYU OKTAVIANA 030001700020
BELLA ALPRIDA 030001700021
BILAL NURDIANSYA 030001700022
BIMO WAHYU PRABOWO 030001700023
BRIZZY BARCA BAYYINA PADARI 030001700024
CANDRA YUNIOR LISEPHANO 030001700025

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, SEPTEMBER 2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah perubahan fungsi otak atau terdapat bukti patologi
pada otak yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal. Cedera kepala
dapat diakibatkan oleh trauma mekanik pada kepala baik secara langsung atau
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa
gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikososial secara sementara maupun
permanen. Cedera kepala merupakan kasus kegawatdaruratan karena jika tidak
ditangani dengan cepat dan tepat akan menyebabkan kematian.
Menurut RISKESDAS tahun 2018, cedera kepala (11,9%) menempati
urutan ke 3 proporsi bagian tubuh yang paling sering terkena cedera, setelah
cedera anggota gerak bawah (67,9%) dan anggota gerak atas (32,7%). Kejadian
cedera kepala sering terjadi dan cenderung meningkat yang dapat
menyebabkan kematian dan kecacatan di banyak negara di dunia. Prevalensi
nasional cedera kepala menurut Riskesdas 2018 adalah 9,2%, meningkat 1%
dibandingkan tahun 2013. Sebanyak 72,7% cedera kepala diakibatkan oleh
kecelakaan motor. Menurut kelompok usia, cedera kepala lebih banyak terjadi
pada pasien dengan usia produktif dan lebih di dominasi oleh laki-laki
dibandingkan perempuan.
BAB II
KASUS

SKENARIO KASUS II MODUL NEUROLOGI


TOPIK: NEUROTRAUMATOLOGI

Hilang ingatan setelah cedera kepala


Seorang laki-laki berusia 20 tahun dibawa ke UGD karena jatuh dari motor 1 jam
yang lalu. Pasien tidak menggunakan helm. Pasien gelisah dan mengeluh sakit
kepala hebat serta muntah. Menurut pembawa pasien, dalam perjalanan ke RS
pasien kejang 1 menit tetapi setelah sampai UGD pasien sadar kembali. Terdapat
luka robek di dahi. Pada pemeriksaan, pasien bias membuka mata spontan, tak bias
menjawab pertanyaan. Bicaranya kacau serta tak bias melakukan apa yang diminta.
Pasien tampak gelisah. Pupil isokor dan reflex cahaya dari kedua mata normal. Dari
telinga kanan pasien keluar darah.
CT Scan kepala non kontras: menunjukan beberapa perdarahan kecil di lobus
frontalis dan temporalis kiri.
Setelah beberapa hari pasien sadar, namun pasien tidak mengingsat kejadian
sebelumnya, tidak tahu kenapa berada di RS dan tidak ingat identitasnya serta
banyak hal tentang dirinya. Dokter kemudian menyimpulkan pasien mengalami
amnesia pasca cedera kepala.

KATA KUNCI: Cedera kepala, amnesia pasca cedera kepala, kejang pada trauma.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Meningens

1. Dura mater encephali


Dura mater encephalitebal, kuat, penutup terluar encephalon. Struktur ini
terdiri dari lamina externa/lapis periosteal di bagian luar dan lamina
interna/lapis meningeal di sebelah dalam
2. Arachnoid mater
Arachnoid mater adalah membrana avaskuler yang tipis, yang melapisi, tetapi
tidak melekat ke, permukaan dalam dura mater Dari permukaan dalamnya,
tonjolan tipis atau trabeculae membentang ke bawah, melintasi cavitas
subarachnoidea, dan bersinambungan dengan pia mater. Tidak seperti pia,
arachnoid tidak memasuki sulci atau fissura encephalon, kecuali pada fissura
longitudinalis cerebri di antara kedua hemispherium cerebri.
3. Pia mater
Pia mater adalah, membrana halus tipis, yang membungkus rapat permukaan
encephalon (Gambar 8.21). Pia mater mengikuti kontur encephalon,
memasuki sulci atau fissura pada permukaan encephalon, dan membungkus
rapat pangkal nervi craniales pada tempat keluarnya.
4. Spatium meningeales
Ruangan potensial di antara dura mater dan tulang adalah spatium
extradurale. Normal, lamina externa dura mater melekat kuat pada tulang-
tulang di sekeliling cavitas cranii (Gambar 8.21).
5. Spatium subdulare
Secara anatomis. spatium subdurale tidak ada. Darah yang terkumpul pada
regio ini (hematoma subdurale) karena cedera rnewakili suatu sayatan lapisan
seluler perbatasan dura, yang merupakan lapisan paling dalam lamina interna
dura mater. Sel-sel perbatasan dura merupakan sel pipih yang dikelilingi oleh
spatium extracellulare berisi bahan-bahan amorfik. Walaupun sangat jarang
sekali. suatu cell junction terkadang dapat dilihat di antara sel-sel ini dan
lapisan arachnoid di bawahnya.
6. Cavitas subarachnoidea
Normal, sebelah dalam dari arachnoid mater terdapat satu-satunya cavitas
berisi cairan yang terkait dengan meninges. Cavitas ini terbentuk karena
arachnoid mater melekat pada permukaan dalam dura mater dan tidak
mengikuti kontur encephalon, sedangkan pia mater, yang berhadapan dengan
permukaan encephalon, mengikuti secara rapat sulci dan fissura pada
permukaan encephalon. Karena itu, terbentuk ruangan sempit (cavitas
subarachnoidea) di antara kedua membrana ini (Gambar 8.21).
Cavitas subarachnoidea mengelilingi encephalon dan medulla spinalis dan
pada lokasi-lokasi tertentu cavitas ini membesar menjadi area yang meluas
(cisternae subarachnoideae). Struktur ini berisi liquor cerebrospinalis (CSF)
dan pembuluh-pembuluh darah.
CSF dihasilkan oleh plexus choroideus, terutama pada ventriculi encephali.
Cairan ini jernih, tidak berwarna, tidak mempunyai komponen seluler,
bersirkulasi melalui cavitas subarachnoidea yang mengelilingi encephalon
dan medulla spinalis.
CSF kembali ke sistem vena melalui villi arachnoideales. Struktur ini
menonjol seperti tonjol-tonjol (granulationes arachnoideales) masuk ke
sinus sagittalis superior, yang merupakan sinus durae matris, dan perluasan
lateralnya, lacunae laterales.
B. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah perubahan fungsi otak atau terdapat bukti patologi
pada otak yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal. Cedera kepala dapat
diakibatkan oleh trauma mekanik pada kepala baik secara langsung atau tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa gangguan fisik,
kognitif, dan fungsi psikososial secara sementara maupun permanen.

C. Epidemiologi Cedera Kepala


Kejadian cedera kepala sering terjadi dan cenderung meningkat yang dapat
menyebabkan kematian dan kecacatan di banyak negara di dunia. Prevalensi
nasional cedera kepala menurut Riskesdas 2018 adalah 9,2%, meningkat 1%
dibandingkan tahun 2013. Sebanyak 72,7% cedera kepala diakibatkan oleh
kecelakaan motor. Menurut kelompok usia, cedera kepala lebih banyak terjadi pada
pasien dengan usia produktif dan lebih di dominasi oleh laki-laki dibandingkan
perempuan.

D. Etiologi Cedera Kepala


1. Trauma Tumpul
Disebabkan oleh mekanisme akselerasi atau deselerasi cepat pada kepala
dengan atau tanpa benturan. Tipe trauma ini umumnya terjadi pada kasus
kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian.
2. Trauma Tembus
Disebabkan oleh penetrasi tulang tengkorak oleh objek eksternal, misalnya
senapan peluru.
E. Patofisiologi Cedera Kepala

Akselerasi timbul karena kepala yang bergerak, sedangkan deselerasi muncul


sebegai akibat dari kepala yang †erbentur. Saat kepala yang sedang bergerak lalu
terbentur, terjadi kombnasi antara akselerasi translasi dan rotasi pada deselerasi.
Pergerakan akibta proses akseleresi dan deselerasi ini yang menimbulkan tarikan
dan regangan pada otakdan gesekan antra otak dengan tengkorak, sehingga
bermanifestasi klinis dan terlihat kelainan pada pencitraan.
Saat benturan kepala terjadi, neuron mengalami regangan dan tarikan yang
termasuk dalam cedera otak. Peristiwa ini mengganggu intergritas dsn kerja pompa
ion membrane sel, terjadi perpindahan ion natriun dan kalsium ke intrasel dan ion
kalium ke eksrtasel. Hal ini kan meningktakan konsentrasi ion kalsium intrasel yang
kemudian memiliki konsekuensi yaitu aktivasi calpain yang bisa mendegradasi
protein sitoskeletal dan menginduksi penglepasan glutamate yang akhirnya
mengkativasi reseptor N-mertil-n-aspartat (NMDA)
Selanjutnya, terjadi konsentrasi ion kalsium di mitokondria, sehingga terbentuk
banyak radikal bebas (reactive oxygen species/ros), aktivasi kaspase apoptosis
neuron, dan fosforilasi oksidatif inefisien. Konsekuensi terakhir ini selanjutnya
akan menybebakan metabolism anaerob dan pada akhirnya kegaglan energi. Inilah
yang menjadi permasalahan karena neuron membutuhkan energy yang cukup pada
kondisi cedera. Neuron dengan kegagalan energy tidak dapat berfungsi normal dan
selanjutnya terjadi asidosis, edema dan iskemia yang menambah berat kerusakan
otak.

F. Klasifikasi Cedera Kepala


1. Berdasarkan Mekanisme:
 Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.
 Cedera kepala tajam, biasanya disebabkan oleh luka tusukan atau luka
tembak.

2. Berdasarkan Patologi:
 Komosio serebri
Komosio serebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang
berlangsung kurang lebih 30 menit. Setelah it, terjadi pemulihan hingga
seperti sebelum terjadi nya cedera kepala. Namun, umumnya pasien akan
mengalami amnesia pasca trauma.
 Kontusio serebri
Pada kontusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan di dalam jaringan
otak tanpa adanya robekan jaringan, meskipun neuron-neuron mengalami
kerusakan atau terputus.
 Laserasi serebri
Kerusakan yang disertai dengan robekan piamater. Laserasi dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Laserasi langsung
Disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda
asing atau penetrasi fragmen fraktur teruma pada fraktur depressed
terbuka.
b. Laserasi tidak langsung
Disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan
mekanis.

3. Berdasarkan Lokasi Lesi:


 Lesi difus
a. Cedera Aksonal Difus
Cedera yang disebabkan oleh akselerasi atau deselerasi cepat kepala,
terutama jika terdapat gesekan rotasional atau koronal. Umumnya
terjadi pada kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari ketinggian. Dicirikan
dengan kerusakan akson dan ptekie.
b. Cedera Vaskuler Difus
Cedera yang disebabkan oleh dominasi keterlibatan pembuluh darah.
c. Edema Otak Dan Iskemia Cerebral
Edema otak adalah gambaran umum yang ditemukan pada cedera
kepala, terutama anak-anak dan dewasa. Edema otak akan
meningkatkan TIK dan menurunkan perfusi otak, sehingga
menyebabkan kerusakan otak akibat iskemia.
 Lesi Fokal
a. Kontusio dan laserasi serebri
Robekan (laserasi) pada piamater seringkali berhubungan dengan jejas
pada otak (kontusio). Pada kontusio serebri, parenkim otak mengalami
edema dan perdarahan.
b. Cedera scalp
Cedera fokal pada scalp dalam bentuk laserasi dan abrasi dapat menjadi
penanda penting untuk menentukan tempat terjadinya benturan dan
dapat memberikan gambaran obyek yang mengenainya.
c. Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii dapat menjadi indikasi besarnya energi mekanik
yang mengenai kepala. Energi mekanik yang mengenai daerah yang
luas pada tengkorak mengakibatkan fraktur kominutif, sedangkan pada
daerah yang sempit mengakibatkan fraktur impresi. Dapat juga
mengakibatkan bocornya cairan serebrospinal dan mengisi sinus-sinus,
sehingga dapat menjadi sumber infeksi
d. Perdarahan intrakranial
a) Perdarahan epidural (EDH)
Lebih sering terjadi pada pasien usia muda (10-30 tahun). Hal ini
disebabkan adanya fraktur linear tengkorak, terutama di tulang
temporal pars skuamosa yang menyebabkan robeknya arteri
meningea media
b) Perdarahan subdural/SDH
Merupakan perdarahan akibat robekan vena jembatan (bridging
vein) terutama yang berdekatan dengan sinus sagital superior.
Umumnya disebabkan oleh akselerasi dan deselerasi kepa dengan
atau tanpa benturan.
c) Perdarahan subaraknoid (SAH)
Akumulasi darah di subaraknoid dapat terjadi setelah cedera
kepala, terutama yang berhubungan dengan kontusio dan
laserasi. Perdarahan subakaraknoid karena cedera kepala
biasanya terdistribusi di sulcus-sulcus serebri di sekitar verteks
dan tidak mengenai sisterna basalis.
d) Perdarahan intraventrikuler
Perdarahan intraventrikuler pada cedera kepala biasanya akibat
sekunder dari perdarahan intraserebral pada daerah ganglia basal
atau kontusio serebri.
e) Perdarahan intraserebral
Dapat muncul secara sekunder degan kontusio atau berhubungan
dengan cidera akson difus. Perdarahan ini umunya terbentuk di
daerah ganglia basal, talamus, dan substansia alba bagian
parasagital.

4. Berdasarkan Tingkat Kesadaran (GCS):


 Cedera kepala tertutup ringan/CKR, jika GCS: 13 – 15
Gejala klinis : pingsan <10 menit, defisit neurologik (-), CT scan
normal
 Cedera kepala tertutup sedang/CKS, jika GCS: 9 – 12
Gejala klinis : pingsan >10 menit s/d ≤ 6 jam, defisit neurologik (+),
CT scan abnormal
 Cedera kepala tertutup berat/CKR, jika GCS: ≤ 8
Gejala klinis : pingsan >6 jam, defisit neurologik (+), CT scan
abnormal

G. Tatalaksana
Dasar tatalaksana awal untuk cedera kepala bertujuan untuk menjaga
kestabilan hemodinamik, sebagai penanganan segera akibat cedera primer,
mencegah cedera jaringan otak sekunder dengan cara mencegah munculnya
faktor-faktor komorbid seperti hipotensi dan hipoksia, serta mendapatkan
penilaian neurologis yang akurat.

1. Prinsip Tatalaksana Awal (ABCD)


 A-Airway (jalan napas)
Prinsipnya adalah memastikan jalan napas tidak mengalami sumbatan
Apabila diperlukan dapat digunakan alat bantu seperti oropharyngeal
airway (OPA)
 B-Breathing (pernapasan adekuat)
Prinsip pernapasan adekuat adalah dengan memperhatikan pola
napas,gerak dinding perut, dan kesetaraan pengembangan dinding dada
kanan dan kiri Apabila alat tersedia, diharapkan saturasi oksigen di atas
92 %.
 C-Circulation (sirkulasi)
 D-Disability (melihat adanya disabilitas)
Berdasarkan konsensus Perhimpunan Dokter Saraf Seluruh Indonesia
(PER DOSSI), disabilitas mengacu pada ada tidaknya lateralisasi dan
kondisi umum dengan memeriksa status umum dan fokal neurologis
Sebagai tambahan, perlu dilakukan imobilisasi tulang belakang karena
cedera kepala seringkali dibarengi dengan adanya cedera pada medula
spinalis, Imobilisasi dilakukan sampai didapatkan bukti tidak terdapat
cedera tulang belakang

2. Tatalaksana Farmakologis
Hipotensi adalah salah satu prediktor mortalitas pada cedera kepala
berat, Oleh karena itu, perlu dilakukan resusitasi dengan cepat begitu tanda-
tanda syok ditemukan. Banyak pusat trauma merekomendasikan kristaloid
isotonik sebagai cairan pengganti. Cairan hipotonik harus dihindari karena
dapat mengeksaserbasi edema serebral. Untuk mempertahankan tekanan
perfusi serebral sebesar 50mmHg dibutuhkan tekanan darah arteri rerata
(mean arterial pressure/MAP) sekitar 70mmHg.
Dalam penanganan cedera kepala, diperhatikan adanya tanda-tanda
peningkatan TIK, karena harus diturunkan segera Berdasarkan mekanisme
hipoksia yang terjadi pada cedera, maka edema yang terjadi adalah edema
sitotoksik, sehingga digunakan manitol 20%. Terapi ini menggunakan
prinsip osmosis diuresis. Manitol memberikan efek ekspansi plasma yang
dapat menghasilkan gradien osmotik dalam waktu cepat. Cairan ini dapat
meningkatkan aliran darah serebral dan tekanan perfusi serebral akan
meningkatkan suplai oksigen.
Dosis pemberian manitol dimulai dari 1-2g/kgBB dalam waktu ½-1 jam tetes
cepat. Setelah 6 jam pemberian dosis pertama dilanjutkan dengan dosis
kedua 0,5g/kg8 dalam waktu 0,5-1 jam tetes cepat. Selanjut nya 12 jam dan
24 jam kemudian diberikan 0,25g/kgBB selama 0,5-1 jam tetes cepat.

3. Tatalaksana Operatif
Tindakan operatif dilakukan sesual indikasi, adapun tindakan operatif
dilakukan apabila terdapat kasus seperti disebut di bawah ini
 Perdarahan Epidural,
a. Lebih dari 40cc dengan garis tengah pada daerah temporal
frontal/parietal dengan fungsi batang masih baik
b. Lebih dari 30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-
tanda penekanan batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi
batang otak masih baik
c. Perdarahan epidural yang progresi
d. Perdarahan epidural tipis dengan penurunan kesadaran.
 Perdarahan Subdural
a. SDH luas 40cc/>5mm) dengan skor SKG>6, fungsi batang
otak masih baik
b. SDH tipis dengan penurunan kesadaran.
c. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai
pergeseran garis tengah (midline shift) dengan fungsi batang
otak masih baik
 Perdarahan Intraserebral
a. Penurunan kesadaran progresif
b. Hipertensi, bradikardi, dan gangguan pernapasan (refleks
Cushing).
c. Terjadi perburukan pada suatu kondisi defisit neurologis fokal

 Fraktur Impresi
 Fraktur Kranii Dengan Laserasi Serebri
 Fraktur Kranii Terbuka
 Edema serebri berat yang disertai dengan tanda peningkatan tekanan
intrakranial (TIK).
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
 Mekanisme Cedera
 Riwayat Hilang Kesadaran
 Nyeri Kepala dan Muntah
 Kejang Pasca Cedera
 Keluar Cairan Dari Hidung / Telinga
 Defisit Neurologis
 Riwayat Operasi Kepala Sebelumnya
 Sadar → Tanyakan Urutan Kejadian / Kronologisnya
 Pada anamnesis, pasien dicurigai mengalami Cedera Kepala Sedang
karena pasien sempat kejang dan membuka mata spontan tidak bisa
menjawab pertanyaan, bicara kacau, gelisah

2. Pemeriksaan Fisik
 Status Fungsi Vital
Airways, Breathing, Circulation and Disability
 Status Kesadaran
Membuka mata spontan tidak menjawab pertanyaan, bicara kacau,
gelisah tidak bisa melakukan apa yang diperintah. E4V4M1 → 9
(Sopor)
 Status Neurologis
Status mental (fungsi kognitif), TOAG (Tes Orientasi Amnesia
Galveston)

3. Pemeriksaan Penunjang
 CT-Scan
a. Mengidentifikasi dengan cepat massa desak ruang yang
memerlukan tatalaksana operatif segera
b. Memindai jaringan lunak & tulang
c. Pada pasien menunjukan beberapa perdarahan kecil di lobus
frontalis dan temporalis kiri
 Pemeriksaan Lab
a. Darah lengkap → HB
 MRI
a. Memberikan gambaran yang lebih jelas serta membantu
mengidentifikasi luas cedera
b. Memberikan informasi terkait prognosis pasien

B. Tatalaksana Kasus
1. Airway
2. Breathing
3. Circulation
4. Disability
5. Larutan normal saline (NaCl 0,9%) IV atau Ringer Laktat
6. Perhatikan adanya tanda-tanda peningkatan TIK atau edema, jika
ada pemberian manitol dimulai dari 1-2g/kgBB dalam waktu ½-1 jam
tetes cepat. Setelah 6 jam pemberian dosis pertama dilanjutkan dengan
dosis kedua 0,5g/kgbb dalam waktu 0,5-1 jam tetes cepat. Selanjut nya
12 jam dan 24 jam kemudian diberika 0,25g/kgBB selama 0,5-1 jam tetes
cepat,kortikosteroid,barbiturate,pembatasan cairan
7. Antibiotik profilaksis
Untuk mencegah infeksi intracranial: fraktur basis cranii
8. Antikonvulsan
Fenitoin dengan dosis awal 1250 mg iv dalam waktu 10 menit diikuti
dengan 250-500 mg perinfuse selama 4 jam, setelah itu berikan 3x100
mg/hari peroral atau iv
9. Obat neuroprotektor : piritinol,piracetam,citicholine
10. Operatif Sesuai indikasi

C. Komplikasi Cedera Kepala


1. Peningkatan TIK
Cairan serebrospinal dapat menumpuk di dalam otak (ventrikel) paska
terjadinya cedera kepala pada sejumlah orang, yang akan menyebabkan
peningkatan tekanan di dalam kepala dan pembengkakan otak.
2. Iskemi cerebri
Terjadi setelah cedera kepala berat, karena hipoksia/perfusi serebral yang
terganggu kelebihan glutamate dan radikal bebas juga memperburuk
kerusakan neuron
3. Infeksi
Fraktur basis cranii yang merobek meningen menjadi jalan masuknya
infeksi. Hal ini membuat bakteri dapat masuk ke dalam otak dan
menyebabkan terjadinya infeksi. Infeksi pada selaput otak (meningitis)
dapat menyebar ke seluruh sistem saraf bila tidak segera diobati.
4. Amnesia pasca trauma
 Amnesia Anterograde, ketidakmampuan menyimpan ingatan baru,
berkaitan dengan lesi dari bagian medial lobus temporalis
 Amnesia Retrograde,tidak mampu mengingat kejadian yang sudah
terjadi. Biasanya timbul setelah trauma yang menganggu aktivitas
listrik otak
5. Kejang
Beberapa orang yang mengalami cedera kepala dapat mengalami kejang
dalam satu minggu pertama paska cedera. Beberapa cedera berat dapat
menyebabkan kejang berulang, yang disebut dengan epilepsi paska
trauma.

D. Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad Malam
Ad Sanationam : Dubia ad Malam
BAB V
KESIMPULAN
Dari hasil diskusi kelompok 3 mengenai kasus diatas berdasarkan manifestasi
klinis maka kelompok 3 menetapkan diagnosis pasien sebagai berikut:

Diagnosis Klinis
1. Tekanan Intrakranial (TIK) meningkat
2. Kejang
3. Penurunan kesadaran
4. Otore
5. Amnesia pascatrauma
Diagnosis Etiologi
1. Trauma capitis
Diagnosis Patologi
1. Perdarahan Intraserebral
Diagnosis Topis
1. Frontal dan Temporal
DAFTAR PUSTAKA

• Aninditha T, Wiratman W, et al. Buku Ajar Neurologi Buku2.


Departemen Neurologi FKUI: 2017
• Drake R, Vogl A, Mitchell A, Gray dasar-dasar Anatomi. Elsevier: 2014
• Frotscher M, Baehr M. Duus’s Topical In Neurology: Anatomy
Physiologi, Signs, Symptoms Ed5. EGC: 2018
• Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem, ed8. EGC: 2017

Anda mungkin juga menyukai