KELOMPOK 3
Disusun oleh:
A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah perubahan fungsi otak atau terdapat bukti patologi
pada otak yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal. Cedera kepala
dapat diakibatkan oleh trauma mekanik pada kepala baik secara langsung atau
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa
gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikososial secara sementara maupun
permanen. Cedera kepala merupakan kasus kegawatdaruratan karena jika tidak
ditangani dengan cepat dan tepat akan menyebabkan kematian.
Menurut RISKESDAS tahun 2018, cedera kepala (11,9%) menempati
urutan ke 3 proporsi bagian tubuh yang paling sering terkena cedera, setelah
cedera anggota gerak bawah (67,9%) dan anggota gerak atas (32,7%). Kejadian
cedera kepala sering terjadi dan cenderung meningkat yang dapat
menyebabkan kematian dan kecacatan di banyak negara di dunia. Prevalensi
nasional cedera kepala menurut Riskesdas 2018 adalah 9,2%, meningkat 1%
dibandingkan tahun 2013. Sebanyak 72,7% cedera kepala diakibatkan oleh
kecelakaan motor. Menurut kelompok usia, cedera kepala lebih banyak terjadi
pada pasien dengan usia produktif dan lebih di dominasi oleh laki-laki
dibandingkan perempuan.
BAB II
KASUS
KATA KUNCI: Cedera kepala, amnesia pasca cedera kepala, kejang pada trauma.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Meningens
2. Berdasarkan Patologi:
Komosio serebri
Komosio serebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang
berlangsung kurang lebih 30 menit. Setelah it, terjadi pemulihan hingga
seperti sebelum terjadi nya cedera kepala. Namun, umumnya pasien akan
mengalami amnesia pasca trauma.
Kontusio serebri
Pada kontusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan di dalam jaringan
otak tanpa adanya robekan jaringan, meskipun neuron-neuron mengalami
kerusakan atau terputus.
Laserasi serebri
Kerusakan yang disertai dengan robekan piamater. Laserasi dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Laserasi langsung
Disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda
asing atau penetrasi fragmen fraktur teruma pada fraktur depressed
terbuka.
b. Laserasi tidak langsung
Disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan
mekanis.
G. Tatalaksana
Dasar tatalaksana awal untuk cedera kepala bertujuan untuk menjaga
kestabilan hemodinamik, sebagai penanganan segera akibat cedera primer,
mencegah cedera jaringan otak sekunder dengan cara mencegah munculnya
faktor-faktor komorbid seperti hipotensi dan hipoksia, serta mendapatkan
penilaian neurologis yang akurat.
2. Tatalaksana Farmakologis
Hipotensi adalah salah satu prediktor mortalitas pada cedera kepala
berat, Oleh karena itu, perlu dilakukan resusitasi dengan cepat begitu tanda-
tanda syok ditemukan. Banyak pusat trauma merekomendasikan kristaloid
isotonik sebagai cairan pengganti. Cairan hipotonik harus dihindari karena
dapat mengeksaserbasi edema serebral. Untuk mempertahankan tekanan
perfusi serebral sebesar 50mmHg dibutuhkan tekanan darah arteri rerata
(mean arterial pressure/MAP) sekitar 70mmHg.
Dalam penanganan cedera kepala, diperhatikan adanya tanda-tanda
peningkatan TIK, karena harus diturunkan segera Berdasarkan mekanisme
hipoksia yang terjadi pada cedera, maka edema yang terjadi adalah edema
sitotoksik, sehingga digunakan manitol 20%. Terapi ini menggunakan
prinsip osmosis diuresis. Manitol memberikan efek ekspansi plasma yang
dapat menghasilkan gradien osmotik dalam waktu cepat. Cairan ini dapat
meningkatkan aliran darah serebral dan tekanan perfusi serebral akan
meningkatkan suplai oksigen.
Dosis pemberian manitol dimulai dari 1-2g/kgBB dalam waktu ½-1 jam tetes
cepat. Setelah 6 jam pemberian dosis pertama dilanjutkan dengan dosis
kedua 0,5g/kg8 dalam waktu 0,5-1 jam tetes cepat. Selanjut nya 12 jam dan
24 jam kemudian diberikan 0,25g/kgBB selama 0,5-1 jam tetes cepat.
3. Tatalaksana Operatif
Tindakan operatif dilakukan sesual indikasi, adapun tindakan operatif
dilakukan apabila terdapat kasus seperti disebut di bawah ini
Perdarahan Epidural,
a. Lebih dari 40cc dengan garis tengah pada daerah temporal
frontal/parietal dengan fungsi batang masih baik
b. Lebih dari 30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-
tanda penekanan batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi
batang otak masih baik
c. Perdarahan epidural yang progresi
d. Perdarahan epidural tipis dengan penurunan kesadaran.
Perdarahan Subdural
a. SDH luas 40cc/>5mm) dengan skor SKG>6, fungsi batang
otak masih baik
b. SDH tipis dengan penurunan kesadaran.
c. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai
pergeseran garis tengah (midline shift) dengan fungsi batang
otak masih baik
Perdarahan Intraserebral
a. Penurunan kesadaran progresif
b. Hipertensi, bradikardi, dan gangguan pernapasan (refleks
Cushing).
c. Terjadi perburukan pada suatu kondisi defisit neurologis fokal
Fraktur Impresi
Fraktur Kranii Dengan Laserasi Serebri
Fraktur Kranii Terbuka
Edema serebri berat yang disertai dengan tanda peningkatan tekanan
intrakranial (TIK).
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Mekanisme Cedera
Riwayat Hilang Kesadaran
Nyeri Kepala dan Muntah
Kejang Pasca Cedera
Keluar Cairan Dari Hidung / Telinga
Defisit Neurologis
Riwayat Operasi Kepala Sebelumnya
Sadar → Tanyakan Urutan Kejadian / Kronologisnya
Pada anamnesis, pasien dicurigai mengalami Cedera Kepala Sedang
karena pasien sempat kejang dan membuka mata spontan tidak bisa
menjawab pertanyaan, bicara kacau, gelisah
2. Pemeriksaan Fisik
Status Fungsi Vital
Airways, Breathing, Circulation and Disability
Status Kesadaran
Membuka mata spontan tidak menjawab pertanyaan, bicara kacau,
gelisah tidak bisa melakukan apa yang diperintah. E4V4M1 → 9
(Sopor)
Status Neurologis
Status mental (fungsi kognitif), TOAG (Tes Orientasi Amnesia
Galveston)
3. Pemeriksaan Penunjang
CT-Scan
a. Mengidentifikasi dengan cepat massa desak ruang yang
memerlukan tatalaksana operatif segera
b. Memindai jaringan lunak & tulang
c. Pada pasien menunjukan beberapa perdarahan kecil di lobus
frontalis dan temporalis kiri
Pemeriksaan Lab
a. Darah lengkap → HB
MRI
a. Memberikan gambaran yang lebih jelas serta membantu
mengidentifikasi luas cedera
b. Memberikan informasi terkait prognosis pasien
B. Tatalaksana Kasus
1. Airway
2. Breathing
3. Circulation
4. Disability
5. Larutan normal saline (NaCl 0,9%) IV atau Ringer Laktat
6. Perhatikan adanya tanda-tanda peningkatan TIK atau edema, jika
ada pemberian manitol dimulai dari 1-2g/kgBB dalam waktu ½-1 jam
tetes cepat. Setelah 6 jam pemberian dosis pertama dilanjutkan dengan
dosis kedua 0,5g/kgbb dalam waktu 0,5-1 jam tetes cepat. Selanjut nya
12 jam dan 24 jam kemudian diberika 0,25g/kgBB selama 0,5-1 jam tetes
cepat,kortikosteroid,barbiturate,pembatasan cairan
7. Antibiotik profilaksis
Untuk mencegah infeksi intracranial: fraktur basis cranii
8. Antikonvulsan
Fenitoin dengan dosis awal 1250 mg iv dalam waktu 10 menit diikuti
dengan 250-500 mg perinfuse selama 4 jam, setelah itu berikan 3x100
mg/hari peroral atau iv
9. Obat neuroprotektor : piritinol,piracetam,citicholine
10. Operatif Sesuai indikasi
D. Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad Malam
Ad Sanationam : Dubia ad Malam
BAB V
KESIMPULAN
Dari hasil diskusi kelompok 3 mengenai kasus diatas berdasarkan manifestasi
klinis maka kelompok 3 menetapkan diagnosis pasien sebagai berikut:
Diagnosis Klinis
1. Tekanan Intrakranial (TIK) meningkat
2. Kejang
3. Penurunan kesadaran
4. Otore
5. Amnesia pascatrauma
Diagnosis Etiologi
1. Trauma capitis
Diagnosis Patologi
1. Perdarahan Intraserebral
Diagnosis Topis
1. Frontal dan Temporal
DAFTAR PUSTAKA