BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan
Wajib
BPJS Kesehatan yang diselenggarakan langsung dari pemerintah atau negara ini memang sebuah
program yang diwajibkan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Kenapa wajib? Hal ini
dikarenakan ada Undang-Undang dan peraturan pemerintah yang mengatur kewajiban ini. Secara
lebih lanjut, artinya jika seseorang ikut asuransi swasta maka Anda juga diharuskan juga
mendaftar asuransi BPJS kesehatan.
Sumber : www.cermati.com
3 Kekurangan BPJS Kesehatan dan 3 Cara Siasatinya
BPJS Kesehatan sepertinya tidak sepi dari masalah. Salah satunya masalah yang berhubungan
dengan tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan. Nasabah mengaku kalau
BPJS Kesehatan telah berulang kali memberikan pelayanan buruk dan mempersulit nasabah
untuk mendapatkan akses yang optimal.
BPJS Kesehatan juga mulai banyak menuntut dengan alasan yang tidak jelas. Entah apa
penyebabnya. Namun, kinerja ini dianggap sangat mengkhawatirkan. Bila tidak segera
diperbaiki, popularitas BPJS Kesehatan sendiri bisa rusak dalam beberapa tahun ke depan.
Meskipun sudah mendapat peringatan, beberapa BPJS Kesehatan di daerah tertentu masih
menunjukkan kinerja yang kurang memuaskan. Berikut ini adalah tiga kekurangan BPJS
Kesehatan yang masih dirasakan masyarakat sehubungan dengan pelayanan BPJS Kesehatan.
Hanya Indonesia
Layanan kesehatan BPJS memang hanya bisa melindungi diri di wilayah Indonesia saja. Berbeda
dengan asuransi swasta yang bisa memproteksi kesehatan pesertanya di rumah sakit yang bekerja
sama hingga di seluruh dunia.
"Pada intinya, dalam hal ini kami mendukung evaluasi BPJS. Apalagi, setelah satu tahun, ya
perlu evaluasi. Juga soal administrasi dan akuntabilitas datanya dievaluasi," ujarnya saat
dihubungi Republika, Selasa (10/3) di Jakarta.
Ia mengatakan kelemahan BPJS itu kebanyakan pada soal administrasi dan pelayanan. Keduanya
dirasakan masih berbelit-belit dan pengawasannya lemah. Sehingga, antrean peserta BPJS yang
hendak dilayani di rumah-rumah sakit cukup panjang.
"Pertama, karena SDM-nya kurang. Kedua, adakalanya pihak rumah sakit atau juga klinik
membuat data pelayanan yang tidak sesuai," jelasnya.
Untuk poin kedua itu, Dede Yusuf memberikan contoh. Misalnya, orang sakit yang datang sekali
ke rumah sakit. Lantas, di hari pertama itu orang ini hanya dirawat. Namun, kemudian dia
didaftarkan satu kali BPJS.
"Nantinya, hari kedua dia datang lagi, dikasih resep, tapi lantas dihitung dua kali BPJS.
Sehingga, tagihan itu membengkak," katanya.
Persoalan ketiga, lanjut politikus Partai Demokrat ini, lebih pelik lagi. Menurut Dede Yusuf, ada
banyak persoalan mengenai sistem penagihan di dalam BPJS. Sehingga, ujarnya, perlu ada
semacam divisi penagihan.
"BPJS harus mampu membuat apa yang saya sebut Divisi Penagihan. Sehingga, peserta bisa
terus membayar iuran," ujarnya.
Dede Yusuf mencontohkan, saat ini banyak peserta BPJS yang merupakan peserta mandiri atau
dari kalangan mampu. Kemudian, ketika mereka mau mendapatkan pelayanan kesehatan yang
mahal, seperti operasi jantung, mereka ikut BPJS dengan kilahan.
“Dia tahu operasi jantung itu mahal. Ikutlah BPJS. Baru satu bulan membayar, masuk (ke rumah
sakit), dia dapat operasi seharga ratusan juta. Setelah selesai, dia //nggak// teruskan lagi
pembayaran iurannya (per bulan),” jelas Dede Yusuf.
Keempat, lanjut Dede Yusuf, pihaknya meminta agar wajib ada pos pengaduan BPJS di setiap
rumah sakit atau klinik rujukan. Bagaimanapun, kata Dede Yusuf, pihaknya percaya bahwa
Divisi Pengaduan BPJS sudah berjalan. Namun, urgensi pospengaduan di tiap rumah sakit
rujukan masih perlu dibahas dalam evaluasi.
"Sehingga bila ada pasien-pasien peserta BPJS yang tidak dilayani atau dipersulit, bisa langsung
direspons saat itu juga. Kecuali kasus penuh kamar (rumah sakit), itu soal yang berbeda. Intinya,
rumah-rumah sakit yang mempersulit, perlu diberikan sanksi tegas segera," jelasnya lagi.
Terakhir, Dede Yusuf menekankan, evaluasi BPJS jangan langsung berujung pada upaya
menaikkan premi. Sebab, menaikkan premi tidak berarti menyelesaikan akar masalah.
"Menaikkan iuran premi itu opsi terakhir. Menurut saya, untuk memutuskan menaikkan premi
saja, lulusan SMA juga bisa. Tidak perlu orang-orang pintar," tandasnya.
Sumber : www.republika.com