PENDAHULUAN
Anemia defisIensi besi ( ADB) merupakan kelaianan darah akibat defisiensi zat besi
(Fe) yang diperlukan untuk sintesis haemoglobin. Anemia defisiensi besi termasuk
jenis anemia hipokromik mikrositer yang merupakan manifestasi lanjutan dari
defisiensi zat besi. Dimana anemia ini lebih sering ditemukan pada anak-anak dan
pada orang dewasa. Penyebab paling umum dari ADB pada anak-anak yaitu
kurangnya asupan bersama dengan pertumbuhan yang cepat, berat badan lahir rendah
serta gangguan pencernaan akibat konsumsi berlebihan susu sapi. 1 Angka kejadian
ADB pada balita dan anak-anak di Indonesia sekitar 40-45 %. Dimana pada survai
yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya pada tahun 2012
menunjukkan prevalens ADB pada usia 6-11 bulan, usia 12-35 bulan, dan usia 36-59
bulan berturut-turut sebesar 37,3%, 46,7%, dan 16% dengan prevalens untuk jenis
2
kelamin sebesar 52% untuk laki-laki dan 48% untuk perempuan. Pada kasus ADB
penatalaksanaan yang paling tepat adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85%
penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. 3
Pada pasien ADB rentan terjadi infeksi. Hal ini disebabkan karena fungsi leukosit
yang tidak normal, dimana fungsi neutrofil sebagai fagositosis menurun. Salah satu
infeksi yang dapat terjadi adalah pneumonia. 4 Pneumonia merupakan salah satu bentuk
infeksi saluran napas akut yang ditandai oleh inflamasi pada parenkim paru. 11
Pneumonia diketahui sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak
berusia di bawah lima tahun. Insidens pneumonia pada anak usia kurang dari lima
tahun di negara maju adalah 2-4 kasus per 100 anak per tahun, sedangkan di negara
berkembang terdapat 10-20 kasus per 100 anak per tahun. Beberapa faktor risiko
yang berkaitan dengan tingginya angka mortalitas pneumonia antara lain
kurangnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, gizi buruk, polusi udara dalam
ruangan (indoor air pollution), berat bayi lahir rendah (BBLR), kepadatan penduduk
dan kurangnya imunisasi campak. Data World Health Organization (WHO) pada tahun
2008 menunjukkan bahwa penyebab utama pneumonia pada anak adalah
1
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza dan Respiratory Syncytial
Virus. Di negara berkembang 60% kasus pneumonia disebabkan oleh bakteri.11,13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1 Anemia Defisiensi Besi
2.1.1 DEFINISI
Anemia ialah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin (Hb) yang
beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan
tubuh. Sedangkan ADB adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi
tubuh sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya
pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia ini paling sering dijumpai di negara-negara
tropik atau negara dunia ketiga karena sangat erat kaitannya dengan taraf sosial ekonomi.1
2.1.2 EPIDEMIOLOGI
Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB.
Angka kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-
45%. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB
pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8%
dan 48,1%.2 Penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya tahun 2012
menunjukkan prevalens ADB pada usia 6-11 bulan, usia 12-35 bulan, dan usia 36-59
bulan berturut-turut sebesar 37,3%, 46,7%, dan 16% dengan prevalens untuk jenis
kelamin sebesar 52% untuk laki-laki dan 48% untuk perempuan.3
2.1.3 ETIOLOGI
Penyebab paling umum dari ADB diamati pada anak-anak termasuk kurangnya asupan
bersama dengan pertumbuhan yang cepat, berat badan lahir rendah (BBLR) serta
gangguan pencernaan akibat konsumsi berlebihan susu sapi. Pada periode intrauterin,
satu-satunya sumber zat besi adalah besi yang dialirkan melalui plasenta. Pada periode
akhir kehamilan, jumlah total besi pada janin adalah 75 mg / kg. Anemia fisiologis terjadi
pada periode postnatal dan simpanan besi yang tersedia cukup untuk melakukan
eritropoiesis dalam 6 bulan pertama kehidupan jika tidak ada kehilangan darah yang
signifikan. Pada BBLR dan pada bayi dengan kehilangan darah sebelum kelahiran,
cadangan besi habis lebih awal, karena cadangan tersebut lebih kecil. Jumlah zat besi
dalam ASI berada pada tingkat tertinggi pada bulan pertama, tetapi menurun secara
bertahap dalam periode berikutnya dan berkurang hingga 0,3 mg / L kira-kira pada bulan
kelima. Namun, jumlah ini bervariasi dari individu ke individu. Telah terbukti bahwa diet
ibu tidak memengaruhi jumlah zat besi dalam ASI. Meskipun jumlah zat besi yang
diterima dari ASI biasanya rendah, penyerapannya cukup tinggi (50%). Hal ini diketahui
bahwa makanan lain yang diberikan selama 6 bulan pertama selain ASI mengganggu
penyerapan zat besi dalam ASI. Oleh karena itu, makanan ini harus diberikan pada waktu
3
makan yang terpisah. Diyakini bahwa penyerapannya tinggi, tetapi lebih rendah dari
jumlah yang diperlukan untuk pertumbuhan. Dengan demikian, bayi menggunakan besi
dari cadangan besi yang ada dalam 6 bulan pertama sampai jumlah zat besi yang diterima
dari makanan meningkat.4
Makanan padat yang diberikan setelah bulan ke-6 harus kaya terutama zat besi,
seng, fosfor, magnesium, kalsium dan vitamin B6. Menurut data World Health
Organization (WHO), 98% dari kebutuhan zat besi pada bayi berusia 6-23 bulan harus
dipenuhi oleh makanan padat. Makanan padat harus mencakup produk yang kaya seperti
daging, ikan, telur dan vitamin C untuk memenuhi kebutuhan zat besi ini. Kesalahan lain
yang terjadi pada bayi menyusui yaitu memberikan susu sapi yang berlebihan pada waktu
awal. Pada bayi, kehilangan darah kronis dapat diamati dalam kaitannya dengan protein
yang sensitif terhadap panas yang terdapat dalam susu sapi. Selain itu, penyerapan zat
besi dalam susu sapi jauh lebih rendah dibandingkan dengan ASI. Susu sapi akan
menggantikan makanan kaya besi, oleh sebab itu kalsium dan casein-phosphopeptides
dalam susu sapi dapat mengganggu penyerapan zat besi. Jika bayi diberi makan dengan
makanan dengan kandungan besi yang rendah setelah bulan ke-6 ketika mereka menguras
hampir semua cadangan besi mereka, kekurangan zat besi berkembang dengan mudah.4
Pada pasien dan terutama pada anak-anak yang lebih tua, kehilangan darah
sebagai penyebab harus dipertimbangkan, jika asupan yang tidak memadai dapat
disingkirkan atau ada respon yang memadai untuk pengobatan besi oral. Anemia
defisiensi besi kronis yang berkembang dengan perdarahan tersembunyi diamati dengan
tingkat yang relatif rendah pada anak-anak dan dapat terjadi sebagai akibat dari masalah
pencernaan termasuk ulkus peptikum, divertikulum Meckel, polip, hemangioma atau
penyakit inflamasi usus. Kehilangan darah yang tidak disadari mungkin jarang
berhubungan dengan penyakit celiac, diare kronis atau hemosiderosis paru; diagnosis
banding dapat dibuat dengan melihat riwayat penyakit. Perlu diingat bahwa parasitosis
juga dapat berkontribusi untuk kekurangan zat besi terutama di negara-negara
berkembang. Anemia defisiensi besi diamati pada 2% dari remaja perempuan dan
sebagian besar terkait dengan percepatan pertumbuhan dan kehilangan darah akibat
menstruasi. Riwayat menstruasi yang rinci harus diperoleh pada remaja perempuan dan
mendasari gangguan perdarahan termasuk penyakit Von-Willebrand harus diingat pada
anak perempuan yang telah perdarahan lebih dari yang diharapkan.4
Penyebab anemia defisiensi besi jika dilihat dari umur, yaitu:5
1.Bayi dibawah umur 1 tahun
4
Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah dan bayi
kembar.
2.Anak umur 1-2 tahun
Masukan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat makanan
tambahan (hanya minum susu)
Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang
Malabsorbsi
Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infeksi
parasit dan divertikulum Meckel
3.Anak berumur 2-5 tahun
Masukan besi berkurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-
heme
Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi
parasit dan divertikulum Meckel
4.Anak berumur 5 tahun – masa remaja
Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena investasi
parasit dan poliposis
5.Usia remaja – dewasa.
Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan.
Pengetahuan mengenai klasifikasi penyebab menurut umur ini penting untuk
diketahui, untuk mencari penyebab berdasarkan skala prioritas dengan tujuan menghemat
biaya dan waktu.
2.1.4 PATOFISIOLOGI
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi terus berkurang. tahap defisiensi besi, yaitu: 6
I. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan
fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan
absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk
mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.
II. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum
menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding
capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.
5
III. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi
yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan
penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan
hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama
pada anemia defisiensi besi yang lebih lanjut.
6
fagositosis tetapi kemampuan untuk membunuh Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus menurun.
4. Iritabel berupa berkurangnya nafsu makan dan berkurangnya perhatian terhadap
sekitar tapi gejala ini dapat hilang setelah diberi pengobatan zat besi beberapa
hari.
5. Pada beberapa pasien menunjukkan perilaku yang aneh berupa pika yaitu gemar
makan atau mengunyah benda tertentu karena rasa kurang nyaman di mulut yang
disebabkan enzim sitokrom oksidase yang mengandung besi berkurang.
6. Pada keadaan ADB berat, lidah akan memperlihatkan permukaan yang rata
karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan stomatitis angularis dan
ditemui gastritis pada 75% kasus ADB.
7. Dampak kekurangan besi tampak pula pada kuku berupa permukaan yang kasar,
mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok (spoon-shaped
nails) yang juga disebut sebagai kolonikia terdapat pada 5,5% kasus ADB.
2.1.6 DIAGNOSIS
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan laboratorium. Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB:6
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO :
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia.
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31%
3. Kadar Fe serum < 50
4. Saturasi transferin (ST) < 15%
Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:
1. Anemia hipokrom mikrositik
2. Saturasi transferin <16%
3. Nilai FEP >100 ug/dl
4. Kadar feritin serum <12
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, Feritin serum,
FEP) harus dipenuhi.
Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui:1
1.Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar
Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean corpuscular hemoglobin (MCH), dan Mean
Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) yang menurun.
2. FEP meningkat
3. Feritin serum menurun
7
4. Fe serum menurun, TIBC meningkat,ST<16%
5. Respon terhadap pemberian preparat besi
- Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian preparat
besi.
- Kadar Hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 gr/dl perhari atau packed cell
volume (PCV) meningkat 1% perhari
Hemoglobin Hematokrit
Umur atau Gender
(g/dl) (%)
Anak-anak berumur 6 bulan hingga 59 bulan 11 33
Anak-anak berumur 5- 11 tahun 11,5 34
Anak-anak berumur 12-14 tahun 12 36
Perempuan tidak hamil (diatas 15 tahun 12 36
Perempuan hamil 11 33
Laki-laki (diatas 15 tahun) 13 39
2.1.8 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya
serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab ADB
dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat
Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan
samaefektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakuka
9
padapenderita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak
dapatterpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan.6
11
Bayi*: BBLR (<2500 g) 3 mg/kgBB/hari Usia 1 bulan sampai 2 tahun
Cukup bulan 2 mg/kgBB/hari Usia 4 bulan sampai 2 tahun
13
lain.10
WHO mendefinisikan pneumonia berdasarkan adanya gejala klinis berupa batuk,
kesulitan bernafas dan takipnea. Pneumonia dibagi menjadi dua berdasarkan atas lokasi
didapatnya pneumonia tersebut yaitu Community Acquired Pneumonia (CAP) dan
Hospitalized Acquired Pneumonia (HAP).11
2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini, penyakit pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di
dunia. Diperkirakan ada 1,8 juta atau 20% dari kematian anak diakibatkan oleh
pneumonia, melebihi kematian akibat AIDS, malaria dan tuberkulosis. Di Indonesia,
pneumonia juga merupakan urutan kedua penyebab kematian pada balita setelah diare.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan bahwa kejadian pneumonia sebulan
terakhir (period prevalence) mengalami peningkatan pada tahun 2007 sebesar 2,1 ‰
menjadi 2,7 ‰ pada tahun 2013. Kematian balita yang disebabkan oleh pneumonia tahun
2007 cukup tinggi, yaitu sebesar 15,5%.2,3 Demikian juga hasil Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI), yang melaporkan bahwa prevalensi pneumonia dari tahun
ke tahun terus meningkat, yaitu 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007.13
Prevalensi pneumonia pada bayi di Indonesia adalah 0,76% dengan rentang antar
provinsi sebesar 0-13,2%. Sedangkan prevalensi pada anak balita (1-4 tahun) adalah 1%
dengan rentang antar provinsi sebesar 0,1% - 14,8%. Masing- masing pada bayi dan
balita prevalensi tertinggi dijumpai pada provinsi Gorontalo (19,9%) dan Bali (13,2%)
sedangkan provinsi lainnya di bawah 10%.14
2.2.3 ETIOLOGI
Menurut definisi, pneumonia adalah infeksi jaringan paru-paru (alveoli) yang bersifat
akut. Penyebabnya adalah bakteri, virus, jamur, pajanan bahan kimia atau kerusakan fisik
dari paru-paru, maupun pengaruh tidak langsung dari penyakit lain. Bakteri yang biasa
menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus dan Mycoplasma pneumonia, sedangkan
virus yang menyebabkan pneumonia adalah adenovirus, rhinovirus, influenza virus,
respiratory syncytial virus (RSV) dan para influenza virus. 11,14
Pada negara berkembang pneumonia lebih sering disebabkan oleh bakteri
dibandingkan virus. Sedangkan pada negara maju, virus menjadi penyebab tersering. Pola
mikroorganisme penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan distribusi umur
pasien. Banyak faktor yang bisa meningkatkan resiko pneumonia seperti penurunan
imunitas karena penyakit tertentu atau obat serta lama dirawat di rumah sakit.11,14,15
14
Tabel 6. Etiologi Pneumonia dikelompokkan berdasarkan Usia
Virus :
Virus Sitomegalo
Virus Herpes Simpleks
2 minggu – Bakteri : Bakteri :
3 bulan Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Hamophillus influenza tipe
B
Virus : Moraxella catharallis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus influenza Ureaplasma urealyticum
Virus parainfluenza 1,2,3
Respiratory Synctial virus Virus :
Virus sitomegalo
4 bulan-5 tahun Bakteri : Bakteri :
Chlamydia trachomatis Hamophillus influenza tipe
Mycoplasma pneumoniae B
Streptococcus pneumoniae Moraxella catharallis
Neisseria meningitidis
Virus : Staphylococcus aureus
Virus Adeno
Virus influenza Virus :
Virus parainfluenza Virus varisella zoster
Virus rino
Respiratory Synctial Virus
5 tahun-remaja Bakteri : Bakteri :
15
Chlamydia trachomatis Hamophillus influenza tipe
Mycoplasma pneumoniae B
Streptococcus pneumoniae Legionella sp
Staphylococcus aureus
Virus :
Virus adeno
Virus Epstein Barr
Virus influenza
Virus parainfluenza
Virus rino
Respiratory Synctial virus
Virus varisella zoster
Sumber : Setyanto,2009
Adapun beberapa faktor resiko pada anak yang menyebabkan mudahnya kuman
patogen seperti di atas, masuk ke dalam tubuh anak dan menimbulkan infeksi saluran
napas akut. Faktor resiko tersebut antara lain kurangnya pemberian ASI eksklusif, gizi
buruk, polusi udara dalam ruangan (indoor air pollution), berat bayi lahir rendah
(BBLR), kepadatan penduduk, kurangnya imunisasi campak, malnutrisi, defisiensi
vitamin A dan kolonisasi bakteri patogen di nasofaring.15
2.2.4 KLASIFIKASI
Pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomis, etiologi, epidemiologi dan
derajat berat ringannya gejala klinis sebagai berikut : 14,16,17
a) Klasifikasi anatomis :
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
Pneumonia interstitialis (bronkiolitis)
b) Klasifikasi klinis dan epidemiologis :
Pneumonia komunitas atau community-acquired pneumonia (CAP)
CAP adalah infeksi pneumonia yang didapat karena terjadinya
penularan yang dimana patogen penyebabnya biasanya masuk
melalui inhalasi atau aspirasi ke segmen paru atau lobus paru-paru
Pneumonia nosokomial atau hospital-acquired pneumonia (HAP)
16
HAP adalah pneumonia yang muncul setelah penderita dirawat lebih
dari 48 jam di rumah sakit tanpa adanya pemberian intubasi
endotrakeal
Pneumonia pada penderita dengan keadaan immunocompromised
Pneumonia pada penderita dengan keadaan imun yang terganggu
akan memperlihatkan gejala klinis yang berat dengan riwayat infeksi
bakteri berat 3 kali atau lebih dalam 12 bulan terakhir.
c) Klasifikasi etiologi :
a. Pneumonia bakteri tipikal:
Streptococcus pneumonia, bakteri gram positif, anaerob fakultatif
Staphylococcus aureus, bakteri gram positif, anaerob fakultatif
Enterococcus sp.
Pseudomonas aeruginosa, bakteri gram negatif, anaerob yang
memiliki bau yang sangat khas
Klebsiella pneumonia, bakteri gram negatif, anaerob fakultatif
Haemophilus influenza, bakteri gram negatif anaerob
b. Pneumonia bakteri atipikal:
Mycoplasma sp.
Chlamedia sp.
Legionella sp.
c. Pneumonia virus, seperti:
Cytomegalovirus
Virus Herpes Simplex
Virus Varcella-Zoster
d. Pneumonia jamur
Candida sp.
Aspergillus sp.
Cryptococcus neoformans
d) Klasifikasi derajat berat ringannya klinis :
Berdasarkan derajat beratnya klinis menurut WHO sebelumnya,
pneumonia dikelompokkan menjadi :
a. Bukan pneumonia
17
b. Pneumonia tidak berat
Ditandai oleh nafas cepat
c. Pneumonia berat
Batuk/sesak nafas disertai salah satu di bawah ini :
- Retraksi dinding dada
- Nafas cuping hidung
- Grunting (merintih)
Auskultasi : ronki (+), suara nafas menurun, suara nafas
bronkial
d. Pneumonia sangat berat
Batuk/sesak nafas disertai salah satu di bawah ini :
- Sianosis sentral
- Tidak bisa minum
- Muntah
- Kejang, letargi, kesadaran menurun
- Anggukan kepala (head nodding)
Auskultasi : ronki, suara nafas menurun, suara nafas bronkial
2.2.5 PATOGENESIS
Pneumonia dapat terjadi akibat pengaruh dari 3 faktor antara lain : host, mikroorganisme
yang menyerang (agent), dan interaksi lingkungan (environment). Berbagai macam cara
penularan pneumonia antara lain : melalui droplet dapat disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia, sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator disebabkan oleh Enterobacter
sp dan P. aeruginosa.14,18
Pada kondisi sehat atau imunitas host baik maka tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme (agent) di paru karena adanya mekanisme pertahanan paru yang
berfungsi dengan baik. Penyakit muncul ketika terjadi ketidakseimbangan antara daya
tahan tubuh (host), mikroorganisme (agent) dan lingkungan (environment). Ketika
mekanisme pertahanan paru tidak menjalankan fungsi dengan baik maka agent dapat
menuju alveoli melalui saluran pernafasan sehingga mengakibatkan inflamasi pada
dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.16
Adapun perjalanan penyakit pneumonia terbagi dalam beberapa tahap, sebagai
berikut :14,18
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/ Kongestif)
Stadium ini disebut juga hiperemia, mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
19
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel
mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut antara lain histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskular paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma
ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus dilalui oleh oksigen dan karbondioksida, yang
akan mengakibatkan gangguan proses pertukaran gas sehingga terjadi penurunan
saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Stadium ini disebut juga dengan hepatisasi merah. Hal ini terjadi sewaktu
alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh host
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru
menjadi merah dan pada perabaan terasa seperti hepar. Pada stadium ini udara di
dalam alveoli sangat minimal hingga tidak ada sehingga penderita akan terlihat
sesak. Stadium ini berlangsung singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Stadium selanjutnya disebut juga hepatisasi kelabu. Hal ini dikarenakan sel-
sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan
fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit mulai direabsorbsi, lobus masih tetap padat karena
adanya fibrin dan leukosit, warna merah berubah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
20
d. Stadium IV (7 – 12 hari)
Pada stadium ini terjadi penurunan respon imun dan peradangan sehingga
dinamakan sebagai stadium resolusi. Sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke struktur semula.
2.2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
A) Anamnesis
Gejala pneumonia sering kali berupa batuk berdahak, sputum kehijauan atau
kuning, demam tinggi yang disertai dengan menggigil. Selain itu, terdapat
nafas yang pendek dan terdapat nyeri dada atau nyeri tajam. Nyeri biasanya
dirasakan ketika menghirup nafas dalam atau saat batuk. Pada penderita
pneumonia, batuk dapat disertai dengan dahak berdarah, sakit kepala, atau
mengeluarkan banyak keringat dan kulit lembab. Gejala lain berupa hilang
nafsu makan, kelelahan, kulit menjadi pucat, mual, muntah, nyeri sendi atau
otot.19
Gejala yang timbul biasanya mendadak antara lain batuk, demam tinggi terus
menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada
bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit. Selain itu, dapat pula timbul gejala penurunan nafsu makan.14,16,20
B) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam tinggi (≥38,50C), takipnea,
retraksi (subcostal, intercostal, suprasternal), napas cuping hidung, head
noding, sianosis, deviasi trakea, tanda-tanda terdapatnya konsolidasi seperti:
ekspansi dada yang berkurang; peningkatan vokal fremitus, suara redup yang
terlokalisir pada perkusi; suara napas yang melemah, bronkial atau
bronkovesikuler, rhonki, wheezing dapat terdengar pada auskultasi.14,18,21
C) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap pada pneumonia umumnya didapatkan
dengan leukositosis dengan neutrofil yang mendominasi pada hitung
jenis. Leukosit >30.000 dengan dominasi neutrofil mengarah ke bakteri
Pneumonia streptococcus. Trombositosis >500.000 khas pada pneumonia
21
bakterial. Infeksi yang disebabkan oleh virus biasanya menyebabkan
trombositopenia. Kultur darah merupakan cara yang spesifik namun
hanya positif pada 10-15% kasus.21
Pemeriksaan Radiologis
Foto thoraks merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto thoraks AP/lateral bertujuan untuk
menentukan lokasi anatomi dalam paru. Gambaran patchy infiltrate dan
terdapat gambaran air bronchogram merupakan gambaran pada foto
thoraks penderita pneumonia.21
Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi dapat dilakukan melalui usapan spesimen
tenggorokan, sekresi nasofaring, sputum, aspirasi trakea, pungsi pleura,
darah, aspirasi paru dan bilasan bronkus. Pemeriksaan ini sulit dilakukan
dari segi teknis maupun biaya.21,22
22
Lokasi berada di bronkus, gejala obstruksi dan gangguan pertukaran tidak
nyata atau ringan, terdapat ronki basah dan kasar, serta dapat berkembang
menjadi bronkiolitis.14,16,21
2.2.8 PENATALAKSANAAN
1. Oksigen
Terapi oksigen diberikan apabila terdapat tanda-tanda hipoksemia; gelisah,
sianosis dan lain-lain. Pada usia < 2 tahun biasanya diberikan 2 liter/menit
sedangkan pada usia > 2 tahun dapat diberikan oksigen hingga 4 liter/
menit.16,22
2. Cairan dan makanan bergizi
- Cairan : komposisi paling sederhana adalah Dextrose 5%, komposisi
lain tergantung kebutuhan, jumlah 60-70% kebutuhan total, beberapa
sumber menyatakan dapat diberikan sesuai kebutuhan maintenance.
- Makanan : bila tidak dapat peroral, dapat dipertimbangkan pemberian
intravena seperti asam amino dan emulsi lemak.
3. Antibiotika / Antiviral
Berdasarkan panduan WHO 2014, pemberian antibiotika pada anak yang
menderita pneumonia, sebagai berikut :18
Rekomendasi 1
Anak-anak dengan pernapasan cepat tanpa adanya retraksi dinding
dada atau tanda bahaya umum harus diberikan amoksisilin : setidaknya
40mg/kg/dosis dua kali sehari (80mg / kg / hari) selama lima hari. Di
daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, amoksisilin diberikan
selama tiga hari. Anak-anak dengan pernapasan cepat yang gagal
dengan pengobatan lini pertama dengan amoksisilin harus memiliki
pilihan untuk rujukan ke fasilitas untuk mendapatkan pengobatan lini
kedua.
Rekomendasi 2
Anak usia 2-59 bulan dengan adanya retraksi dinding dada harus
diberikan amoxicillin 40mg/ kg/dosis dua kali sehari selama lima hari.
Rekomendasi 3
23
Anak-anak berusia 2-59 bulan dengan retraksi dada atau pneumonia
berat harus diberikan ampisilin parenteral (atau penisilin) dan
gentamisin sebagai pengobatan lini pertama.
- Ampisilin: 50 mg / kg, atau benzil penisilin: 50 000 unit per kg IM/
/ IV setiap 6 jam selama lima hari
- Gentamisin: 7,5 mg / kg IM / IV sekali sehari selama lima hari
Ceftriaxone digunakan sebagai pengobatan lini kedua pada anak
dengan pneumonia berat setelah gagal pada pengobatan lini pertama.
Rekomendasi 4
Ampisilin (atau penisilin apabila ampisilin tidak tersedia) ditambah
gentamisin atau ceftriaxone direkomendasikan sebagai lini pertama
antibiotik untuk bayi yang terinfeksi HIV dan untuk anak di bawah usia
5 tahun dengan pneumonia berat.
Untuk bayi yang terinfeksi HIV dan untuk anak-anak dengan
pneumonia berat yang tidak merespon pengobatan dengan ampisilin
atau penisilin ditambah gentamisin, ceftriaxone dianjurkan untuk
digunakan sebagai pengobatan lini kedua
Rekomendasi 5
Pengobatan kotrimoksazol secara empiris untuk Pneumonia jirovecii
(sebelumnya Pneumocystis carinii) pneumonia (PCP)
direkomendasikan sebagai pengobatan tambahan untuk bayi yang
terinfeksi HIV dan berusia 2 bulan hingga 1 tahun dengan retraksi dada
atau pneumonia berat.
Pengobatan kotrimoksazol secara empiris untuk Pneumonia jirovecii
pneumonia (PCP) tidak rekomendasikan untuk anak-anak yang
terinfeksi HIV dan usia lebih 1 tahun dengan pneumonia berat
4. Simtomatis
Antipiretika diberikan bila terdapat hiperpireksia. Hindari asetosal karena
dapat memperberat asidosis.
Mukolitik/ ekspektorans.
Antifusif umumnya tidak diberikan.
Antikonvulsan; dapat dipertimbangkan bila kejang bukan karena
hipoksemia; dapat dicoba kloralhidrat 50mg/kg/hari ( dibagi 3 dosis ) atau
24
diazepam 0.5-0.73/kg/kali, IM/IV
Kortikosteroid
Kadang-kadang diberikan pada kasus yang berat (konsolidasi masif),
atelektasis, Infiltrasi milier (dengan sesak dan sianosis).
2.2.9 KOMPLIKASI
1. Gagal nafas dan sirkulasi
Penderita pneumonia sering kesulitan bernafas sehingga tidak mungkin bagi
mereka untuk tetap cukup bernafas tanpa bantuan agar tetap hidup. Bantuan
pernapasan non-invasif yang dapat membantu seperti mesin untuk jalan nafas
dengan bilevel tekanan positif,dalam kasus lain pemasangan endotracheal
tube kalau perlu dan ventilator dapat digunakan untuk membantu pernafasan.
Pneumonia dapat menyebabkan gagal nafas dengan pencetus Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Hasil dari gabungan infeksi
dan respon inflamasi dalam paru-paru segera diisi cairan dan menjadi sangat
kental, kekentalan ini menyatu dengan keras menyebabkan kesulitan
penyaringan udara untuk cairan alveoli.12,21
2. Syok sepsis dan septik
Kondisi ini merupakan komplikasi potensial dari pneumonia. Sepsis terjadi
karena mikroorganisme masuk ke aliran darah sistemik dan adanya respon
sistem imun melalui sekresi sitokin. Sepsis seringkali terjadi pada pneumonia
karena bakteri, dimana Streptoccocus pneumonia merupakan salah satu
penyebabnya. Individu dengan sepsis atau syok septik membutuhkan unit
perawatan intensif di rumah sakit.14,16,22
3. Efusi pleura, Empyema dan abses
Infeksi mikroorganisme pada paru-paru akan menyebabkan bertambahnya
cairan dalam ruang yang mengelilingi paru (rongga pleura). Jika
mikroorganisme itu sendiri ada di rongga pleura, kumpulan cairan ini disebut
empyema. Bila cairan pleura ada pada orang dengan pneumonia,cairan ini
sering diambil dengan jarum (toracocentesis) dan diperiksa,tergantung dari
hasil pemeriksaan ini. Perlu pengaliran lengkap dari cairan ini,sering
memerlukan selang pada dada. Pada kasus empyema berat perlu tindakan
pembedahan. Sedangkan abses pada paru biasanya dapat dilihat dengan foto
thorax dengan sinar x atau CT scan.12,16,18
25
2.2.10 PROGNOSIS
Dengan terapi adekuat, mortalitas pneumonia diperkirakan dapat mencapai kurang dari
1%. Hal tersebut bergantung kepada umur anak, beratnya penyakit dan penyulit yang
menyertai seperti, adanya apnea yang berkepanjangan, asidosis respiratorik berat yang
tidak terkompensasi, dehidrasi berat dan penyakit penyerta lain seperti kelainan
kongenital, cystic fibrosis dan penyakit jantung bawaan.
2.2.11 PENCEGAHAN
Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :12
- Perbaikan sosial ekonomi: perumahan, sanitasi, nutrisi, higienitas.
- Imunisasi: terhadap infeksi lain, kadang menurunkan pula pneumonia.
- Bila ada faktor predisposisi: pengobatan dini dan adekuat, bila mungkin
menjauhkan infeksi.
Vaksin khusus: pneumococcus dengan vaksin 23-valent pneumococcal,
Haemophillus Influenza dengan Vaksin konjugat H. Influenza memiliki jadwal yang
rutin diberikan pada anak-anak, atau dengan rifampin prophylaxis untuk yang beresiko.
26
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : AAGGM
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Pucat
Pasien datang bersama kedua orang tua pasien ke UGD RSUP Sanglah dengan
keluhan pucat yang disadari oleh keluarga pasien sejak 2 hari SMRS. Pucat dikatakan
terlihat dari bibir dan kulit wajah pasien. Keluhan tersebut bersamaan dengan keluhan
demam sejak 2 hari SMRS (10 Februari 2017). Demam dikatakan naik perlahan-lahan.
Demam turun dengan obat penurun panas, namun kemudian naik kembali. Suhu tertinggi
yang sempat terukur terukur adalah 39°C. Pasien sempat melakukan cek DL di RS W dan
dikatakan Hb pasien adalah 5,6.
Orang tua pasien mengatakan pasien tampak lemas sejak pasien 1 minggu SMRS.
Pasien terlihat tidak banyak bermain padahal sehari-harinya pasien adalah anak yang
lincah bermain.
27
Pasien juga mengeluh batuk sejak 5 hari SMRS. Awalnya dikatakan batuk kering
namun 3 hari kemudian batuk berdahak dengan dahak warna putih kental yang sulit
dikeluarkan. Pilek dikeluhkan sejak 5 SMRS, sekret berupa cairan bening dan encer
berwarna putih.
Pasien juga mengeluh muntah sejak 2 hari yang lalu, frekuensi 2-3 kali tiap hari
dengan volume + ¼ gelas, berisi makanan dan minuman yang dimakan. Tidak ada darah
dalam muntahan pasien.
Makan dan minum dikatakan berkurang semenjak sakit. Buang air kecil dan
buang air besar dikatakan normal.
Saat dirawat di RSUP Sanglah sejak tanggal 12 Februaari 2017, pasien sempat
mengeluh sesak disertai suara grok-grok, namun tidak disertai suara ngik-ngik, satu hari
setelah dirawat dirumah sakit. Sesak dikatakan disertai dengan cekungan pada dinding
dada. Sesak tidak membaik dengan perubahan posisi. Kebiruan disekitar bibir disangkal.
Pasien dikatakan rewel sejak timbul keluhan sesak.
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan yang sama seperti pasien. Tidak
ada riwayat hipertensi, diabetes, jantung, stroke, ginjal, asma, kejang, hati, kanker, dan
TB serta anemia.
Pasien merupakan anak tunggal. Pasien tinggal bersama kedua orang tua. Ayah
bekerja sebagai perawat dan ibu bekerja sebagai pegawai swasta. Setiap hari pasien
dititipkan di penitipan anak dari jam 8 pagi hingga 2 siang.
28
Riwayat Pengobatan
Pasien sempat mengkonsumsi obat penurun panas sejak pertama kali demam yaitu
Sanmol 3x0,8 ml.
Riwayat Imunisasi
BCG : 1x
Polio : 3x
Hepatitis B : 4x
DPT : 3x
Hib : 3x
Campak : 1x
Riwayat Persalinan
Pasien lahir spontan pervaginam, BBL 2700 gram, panjang badan lahir 50 cm,
lingkar kepala dikatakan lupa. Saat lahir dikatakan pasien segera menangis, kelainan
bawaan tidak ditemukan.
Riwayat Nutrisi
Pasien mendapat ASI sejak usia 0 bulan hingga 6 bulan, dengan frekuensi on
demand. Kemudian pasien berhenti mengkonsumsi ASI karena produksi ASI yang tidak
lancar. ASI tidak lancar sejak pasien lahir sehingga pasien diberi susu formula sejak usia
0 bulan sampai sekarang dengan frekuensi 6-7 kali/hari. Bubur susu diberikan sejak usia
6 bulan frekuensi 2 kali/hari. Nasi tim diberikan sejak usia 8 bulan frekuensi 2 kali/hari.
Nasi tim berisi ayam, hati ayam, dan ceker serta sayur-sayuran seperti wortel dan bayam.
Namun porsi makan pasien untuk nasi tim hanya sebanyak mangkok 250 ml dan pasien
jarang menghabiskan makanannya dan lebih sering untuk minum susu formula. Makanan
dewasa belum diberikan.
Kesan normal
Status general
Kepala : Bentuk normal, gerak normal, ubun-ubun besar tertutup, head nodding (-)
Mata : Anemis +/+ ikterus -/-, odeme palpebra -/-, reflek pupil + Isokor
THT :
30
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, kuat angkat (-), thrill (-)
Abdomen : Inspeksi : distensi (-) scar (-) turgor kulit kembali cepat
+ + - -
31
BASO% 0,1 % 0,0 - 1,0
32
Analisa Hb (HPLC) Prodia, 13/02/2017
33
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Remarks
Retikulosit (12/02/2017)
CRP (14/02/2017)
34
LYM% 20,78 % 30,00 - 64,30 Rendah
35
MONO# 0,21 103/μL 0,00 – 1,00
3.5 DIAGNOSIS
Anemia Berat Hipokromik Mikrositer et causa Anemia Defisiensi Zat Besi +
Pneumonia + Gizi Kurang
3.6 PENATALAKSANAAN
Terapi
- MRS
- Kebutuhan cairan 780 mL/hari ~ mampu minum 300 ml/hari
- IVFD D5 ¼ NS 320 ml/hari ~ 20 tetes per menit (mikro)
- Kebutuhan kalori 100 kkal/kgBB/hari ~ 780 kkal/hari
- Kebutuhan Protein 1,5 gr/kgBB ~ 11,7 gram/hari
- Paracetamol syrup 10mg/kgBB/kali 100mg tiap 6 jam bila suhu > 38,5oC
- O2 nasal kanul 1 lpm
- Transfusi PRC 2x70ml ~ pre medikasi furosemid 4mg IV
- Pseudoefedrin syrup 1mg/kg/kali 10mg tiap 8 jam
- Erdostein 10mg/kg 100mg tiap 12 jam
- Ampicilin 200mg/kg/hari ~ 400mg tiap 6 jam IV
- Gentamycin 7,5mg/kg/kali ~ 60mg tiap 24 jam IV
- Tablet besi 6 mg/kg/hari 48 mg/hari intraoral setelah infeksi tertangani
36
Planning Diagnosis
Planning Monitoring
Tanda-tanda vital
Imbang cairan
Keluhan
BAB IV
PEMBAHASAN
39
ditandai oleh retikulositosis di darah tepi dalam waktu 48-72 jam, yang mencapai puncak
dalam 5-7 hari. Dalam 4-30 hari setelah pengobatan didapatkan peningkatan kadar
hemoglobin dan cadangan besi terpenuhi 1-3 bulan setelah pengobatan. Untuk
menghindari adanya kelebihan besi maka jangka waktu terapi tidak boleh lebih dari 5
bulan.
4.2 Pneumonia
4.2.1 Penegakan Diagnosis
Pneumonia merupakan infeksi atau inflamasi saluran napas bagian bawah yang
melibatkan parenkim paru disertai konsolidasi ruang alveolar yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, dan jamur yang ditandai oleh demam,
batuk, sesak/peningkatan frekuensi pernapasan, retraksi dinding dada, napas cuping
hidung dan terkadang dapat terjadi sianosis.
Diagnosis pneumonia dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis bisa didapatkan keluhan berupa batuk, demam
tinggi terus menerus, sesak napas, nyeri dada dan apabila memberat dapat menimbulkan
gejala kebiruan di sekitar mulut. Selain itu, dapat pula dijumpai gejala penurunan nafsu
makan. Pemeriksaan fisik pasien dengan pneumonia dapat ditemukan tanda seperti,
0
demam tinggi (≥38,5 C), takipnea, retraksi otot bantu nafas, napas cuping hidung,
sianosis, deviasi trakea, tanda-tanda terdapatnya konsolidasi seperti: ekspansi dada yang
berkurang; peningkatan vokal fremitus, suara redup yang terlokalisir pada perkusi; suara
napas yang melemah, bronkial atau bronkovesikuler, rhonki, wheezing dapat terdengar
pada auskultasi. Hasil pemeriksaan penunjang laboratorium dapat ditemukan leukosit
meningkat. Gambaran patchy infiltrate dan terdapat gambaran air bronchogram
merupakan gambaran pada foto thoraks penderita pneumonia.
Dalam kasus ini, heteroanamnesis yang dilakukan terhadap ibu pasien
menunjukkan pasien mengalami sesak saat dirawat di RSUP Sanglah sejak tanggal 12
Februaari 2017. Sesak disertai suara grok-grok, namun tidak disertai suara ngik-ngik.
Sesak dikatakan disertai dengan cekungan pada dinding dada. Sesak tidak membaik
dengan perubahan posisi. Kebiruan disekitar bibir disangkal. Pasien dikatakan rewel
sejak timbul keluhan sesak. Pasien juga mengeluh batuk sejak 5 hari SMRS. Awalnya
dikatakan batuk kering namun 3 hari kemudian batuk berdahak dengan dahak warna
40
putih kental yang sulit dikeluarkan. Pilek dikeluhkan sejak 5 SMRS, sekret berupa
cairan bening dan encer berwarna putih. Pasien juga mengalami demam sejak 2 hari
SMRS (10 Februari 2017). Demam dikatakan naik perlahan-lahan. Demam turun
dengan obat penurun panas, namun kemudian naik kembali. Suhu tertinggi yang sempat
terukur terukur adalah 39°C. Keluhan kejang, menggigil dan berkeringat saat demam
disangkal ibu pasien. Makan dan minum pasien dikatakan berkurang semenjak sakit.
Buang air kecil dan buang air besar dikatakan normal. Riwayat kontak dengan orang
yang memiliki riwayat batuk lama disangkal. Riwayat keluarga menderita batuk, asma,
alergi juga disangkal ibu pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang
dengan kesadaran compos mentis. Tanda-tanda vital didapatkan nadi 100 kali/menit,
o
pernafasan 38 kali/menit, suhu 37,6 C dan skala nyeri 2. Status gizi pasien tergolong
gizi kurang dengan berat badan 7,8 kg dan panjang badan 76 cm. Pemeriksaan mata
didapatkan konjungtiva pucat, pemeriksaan hidung dan THT dalam batas normal. Pada
pemeriksaan thoraks, saat inspeksi didapatkan retraksi subcostal dan saat auskultasi
didapatkan rhonki basah halus di kedua lapang paru, wheezing (-) di kedua lapang paru.
Pada kasus didapatkan bahwa sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan
perubahan posisi. Keluhan sesak nafas disertai suara grok-grok. Hal ini menggambarkan
bahwa sesak nafas disebabkan oleh adanya gangguan sistem respirasi. Selanjutnya
didapatkan gejala batuk, pilek, serta dahak berwarna putih kental tanpa darah dan
riwayat demam sebelum terjadinya sesak napas. Hal tersebut mengarahkan
kemungkinan diagnosis pasien ini adalah adanya infeksi bakteri pada paru yang dapat
berupa pneumonia, bronkiolitis, bronkitis akut dan tuberkulosis. Tidak adanya riwayat
kontak dengan orang dewasa yang menderita batuk lama menyingkirkan diagnosa ke
tuberkulosis.
Selanjutnya dari pemeriksaan fisik yang menunjang adalah adanya retraksi otot
bantu nafas (subcostal) dan saat auskultasi terdengar rhonki basah halus di kedua lapang
paru saat akhir inspirasi. Pemeriksaan darah lengkap (12/2/2017) didapatkan
peningkatan Leukosit yang menandakan adanya infeksi bakteri. Dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien dapat
disimpulkan bahwa diagnosis pasien ini adalah pneumonia. Pada pasien ditemukan
frekuensi laju nafas 38x/menit, dengan ditemukan retraksi subcostal serta pada
auskultasi ditemukan rhonki basah halus dengan wheezing (-) dan suara nafas bronkial
41
yang menyimpulkan diagnosis pasien adalah pneumonia dengan gizi kurang.
4.2.2 Penatalaksanaan
42
BAB V
PENUTUP
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh
sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan
hemoglobin berkurang. Dimana penyebab paling umum dari ADB diamati pada anak-
anak termasuk kurangnya asupan bersama dengan pertumbuhan yang cepat, berat badan
lahir rendah serta gangguan pencernaan akibat konsumsi berlebihan susu sapi. Adapun
patofisiologi terjadinya anemia defisiensi besi dibadi menjadi tiga tahap yaitu tahap yang
pertama disebut iron depletion, tahap ang kedua disebut iron deficient erythropoietin, dan
tahap yang ketiga disebut iron deficiency anemia. Untuk menegakkan diagnosis ADB bisa
dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik , dan pemeriksaan penunjang. Tatalaksana dari ADB
itu sendiri meliputi pemberian preparat besi per oral, pemberian preparat besi perparentral serta
dilakukannya tranfusi darah. Adapun pencegahan yang bisa dilakukan seperti memakan
makanan yang kaya zat besi dan memberikan bayi ASI eksklusif.
Pada pasien anemia defisiensi besi rentan terjadi infeksi. Hal ini disebabkan karena
fungsi leukosit yang tidak normal, dimana fungsi neutrofil sebagai fagositosis menurun.
Salah satu infeksi yang dapat terjadi adalah pneumonia. Pneumonia didefinisikan sebagai
suatu infeksi atau inflamasi saluran napas bagian bawah yang melibatkan parenkim
paru.Dimana WHO mendefinisikan pneumonia berdasarkan adanya gejala klinis berupa
batuk, kesulitan bernafas dan takipnea. Dimana penyebab dari pneumonia adalah bakteri,
virus, jamur, pajanan bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru-paru, maupun pengaruh
tidak langsung dari penyakit lain. Klasifikasi pneumonia ditentukan berdasarkan
anatomis, etiologi, epidemiologi dan derajat berat ringannya gejala klinis. Patogenesis
dari Pneumonia dapat terjadi akibat pengaruh dari 3 faktor antara lain : host,
mikroorganisme yang menyerang (agent), dan interaksi lingkungan (environment). Untuk
menegagkan diagnosis Pneumonia bisa dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemerksaan penunjang. Tatalaksana pada pneumonia yaitu diberikan oksigen, cairan dan
makanan bergizi, antibiotika, dan simtomatis.
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakta, I Made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006. h:26.
2. Windiastuti, Endang. Anemia Defisiensi Besi Pada Bayi dan Anak. 24 Februari 2017.
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/anemia-defisiensi-besi-pada-
bayi-dan-anak
3. Widiaskara, IM. Pramitha, PT. Bikin, S. Ugrasena, IDG. Gambaran Hematologi
Anemia Defisiensi Besi pada Anak. Sari Pediatri volume 13. 2012. h:362-66.
4. Özdemir, N. Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children. Türk
Pediatri Arşivi. 2015. Volume 50(1): h: 11–19.
5. Abdulsalam, M., & Daniel, A. (2002). Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan
Anemia Defisiensi Besi. Sari Pediatri, volume 4(2),h: 2–5
6. Raspati H, Reniarti L, dkk. Anemia defisiensi besi. Buku Ajar Hematologi Onkologi
Anak. Cetakan ke-2 IDAI pp 30-42. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2006.
7. Jurnal Pediatri. Gejala Anemia Defisiensi Besi pada Anak dan Penanganannya. 2016.
https://jurnalpediatri.com/2016/03/22/gejala-anemia-defisiensi-besi-pada-anak-dan-
penanganannya.
8. WHO. Iron deficiency anaemia: assessment, prevention and control. 24 Februari
2017. http://www.who.int/iris/bitstream/10665/66914/1/WHO_NHD_01.3.pdf?ua=1
9. Gatot, D., Idjradinata, P., Abdulsalam, M., Lubis, B., Soedjatmiko, & Hendarto, A.
Suplementasi Besi Untuk Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesi. 2011.
10. Pneumonia.October.2011.http://www.thoracic.org/education/breathing-in-america/
resources/chapter-15-pneumonia.pdf. Accessed : 18 September 2014.
11. Pneumonia among Children in Developing Countries. CDC. 13 October 2005. CDC.
http://www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/pneumchilddevcount_t htm. Accessed:
18 September 2014.
12. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Karen J. Moredante, Hal B. Jenson.
Pneumonia. Dalam: Nelson Essentials of pediatrics. Edisi 5. Philadelphia: Elsevier
Inc; 2006. h. 503-509
13. Pneumonia. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak 3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1985. h. 1229-1234.
14. Setyanto, DB, dkk. Pneumonia. Dalam : Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. IDAI. 2009. h. 250-254.
15. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar 2007. Kemenkes RI. 2007. h. 10-15.
16. Said, M. Pneumonia. Dalam : Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI 2008. h. 350-364.
17. Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) (revised). Geneva, World Health
Organization/The United Nation Children’s Fund (UNICEF), 2014.
44
18. World Health Organization. Revised WHO Classification and Treatment of Childhood
Pneumonia at Health Facilities. World Health Organization. Switzerland. 2014.
19. Wojsyk I, Banaszak, Breborowicz A. Pneumonia in Children. 2013 : 137-138.
20. Enggrajati Moses Silitonga. Bronkopneumonia. 2013. Hal :1-18
21. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company. 2008; 181:1130-1
45
46