Anda di halaman 1dari 7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Trauma Muskuloskeletal


Cedera dari trauma muskuloskeletal biasanya memberikan disfungsi
struktur sekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau di sangganya.
Trauma muskuloskeletal adalah kontusi, strain, sprain, dan dislokasi (Noor, 2016).
2.2. Kontusi
2.2.1. Definisi
Kontusi merupakan suatu istilah yang digunakan untuk cedera pada
jaringan lunak yang di akibatkan oleh kekerasan atau trauma tumpul yang
langsung mengenai jaringan, seperti pukulan, tendangan, atau jatuh (muttaqin,
2010).
Kontusi merupakan suatu istilah yang digunakan untuk cedera pada
jaringan lunak yang di akibatkan oleh kekerasan atau trauma tumpul yang
langsung mengenai jaringan, seperti pukulan, tendangan, atau jatuh. Terputusnya
beberapa pembuluh darah kecil mengakibatkan perdarahan pada jaringan lunak
dengan manifestasinya adanya ekimosis dan memar (noor, 2016).
2.2.2. Etiologi
1. Benturan benda keras
2. Pukulan
3. Tendangan atau jatuh
2.2.3. Manifestasi Klinis
1. Terjadi pendarahan pada injury
2. Nyeri, bengkak, dan perubahan warna
3. Hiperkalemia
2.2.4. Patofisiologi
Kontusi terjadi akibat perdarahan di dalam jaringan kulit, tanpa ada
kerusakan kulit. Kontusi dapat juga terjadi dimana pembuluh darah lebih rentan
rusak dibandingkan organ lain. Saat pembuluh darah pecah maka darah akan
keluar dari pembuluh darah di jaringannya, kemudian menggumpal, menjadi
kebiruan. Kontusi memang dapat terjadi jika sedang stress, atau terlalu lelah.
Endapan sel darah pada jaringan kemudian mengalami fagositosis dan di daur
ulang oleh makrofag. Warna kebiruan atau ungu yang terdapat pada kontusi
merupakan hasil reaksi konversi dari hemoglobin menjadi billirubin. Lebih lanjut
billirubin akan dikonversi menjadi hemosiderin yang berwarna kecoklatan. Tubuh
juga harus mempertahankan agar darah tetap berbentuk cairan dan tetap mengalir
dalam sirkulasi darah. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi pembuluh darah,
jumlah dan kondisi sel darah trombosit, serta mekanisme pembekuan darah yang
baik. Pada purpura simplex, penggumpalan darah atau perdarahan akan terjadi
bila fungsi salah satu atau lebih dari ketiga hal tersebut terganggu (muttaqin,
2010).
2.2.5. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan mengurangi atau menghilangkan rasa tidak nyaman :
a. Tinggikan daerah injury
b. Berikan kompres dingin selama 24 jam pertama (20-30 menit
setiap pemberian) untuk vasokontriksi, menurunkan edema, dan
menurunkan rasa tidak nyaman.
c. Berikan kompres hangat disekitar injury setelah 24 jam pertama
(20-30 menit selama 4x sehari) untuk mencairkan sirkulasi dan
absorpsi.
d. Lakukan pembalutan untuk mengontrol perdarahan dan bengkak.

2. Penatalaksanaan cedera kontusi :


a. Kompres dengan air es selama 12-24 jam untuk menghentikan
perdarahan kapiler.
b. Istirahat untuk mencegah cedera lebih lanjut dan mempercepat
pemulihan jaringan-jaringan yang rusak.
c. Hindari benturan di daerah cedera pada saat latihan.
2.3. Strain
2.3.1. Definisi
Strain merupakan tarikan otot akibat penggunaan dan pereganggan
yang berlebihan atau stress lokal yang berlebihan (muttaqin, 2010).
Strain adalah robekan mikroskopis tidak komplet dengan perdarahan ke dalam
jaringan (noor, 2016).
2.3.2. Etiologi
1. Strain terjadi ketika otot terulur dan berkontraksi secara
mendadak, seperti pada pelari dan pelompat.
2. Pada strain akut : ketika otot keluar dan berkontraski secara
mendadak.
3. Pada strain kronis : terjadi secara berkala oleh karena
penggunaan yang berlebihan atau tekanan berulang-ulang,
menghasilkan tendonitis.
2.3.3. Klasifikasi Strain
1. Derajat I / Mild Strain (Ringan) : adanya cidera akibat
penggunaan yang berlebihan pada penguluran unit
muskulotendinous yang ringan berupa streching/kerobekan
ringan pada otot/ligament. Gejala : adanya spasme otot,
bengkak, gangguan kekuatan otot. Komplikasi : strain dapat
berulang, tendonitis, perioritis. Penatalaksanaan : istirahat yang
cukup, kompresi dan elevasi, terapi latihan yang dapat
membantu mengembalikan kekuatan otot.
2. Derajat II / Medorate Strain (Sedang) : adanya cidera pada unit
muskulotendonius akibat kontraksi yang berlebihan. Gejala :
nyeri local, peningkatan tekanan otot, bengkak, spasme sedang,
tenderness. Komplijasi : strain dapat berulang, tendonitis,
perioritis. Penatalaksanaan : istirahat, kompresi, dan elevasi.
3. Derajat III / Strain Severe (Berat) : adanya tekanan atau
pengukuran mendadak yang cukup berat, berupa robekan
penuh pada otot dan ligament yang menghasilkan
ketidakstabilan sendi. Gejala : nyeri berat, adanya stabilitas,
spasme, bengkak,gangguan fungsi otot, dan tenderness.
Komplikasi : distabilitas yang sama. Penatalaksanaan :
imobilisasi dengan kemungkinan pembedahan untuk
mengembalikan fungsi otot.
2.3.4. Manifestasi Klinis
1. Nyeri.
2. Spasme otot.
3. Kehilangan kekuatan otot.
4. Keterbatasan lingkup gerak sendi.
2.3.5. Patofisiologi
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung
(impact) atau tidak langsung (overloading). Cidera ini terjadi akibat
otot tertarik pada arah yang salah, kontaksi otot yang berlebihan atau
ketika terjadi kontraksi, otot belum siap, terjadi pada bagian groin
muscles (otot pada kunci paha), hamstring (otot paha bagian bawah),
dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa menghindarkan
daerah sekitar cedera kontusi dan membengak (muttaqin, 2010).
2.3.6. Penatalaksanaan
1. Istirahat, dengan istirahat akan mencegah cidera tambahan dan
mempercepat penyembuhan.
2. Meninggikan bagian yang sakit, tujuannya supaya dapat
mengontrol pembengkakan.
3. Pemberian kompres dingin, kompres dingin basah atau kering
diberikan secara intermioten 20-48 jam pertama yang akan
mengurangi pendarahan edema dan ketidaknyamanan.

2.4. Sprain
2.4.1. Definisi
Sprain adalah cidera struktur ligamen disekitar sendi, akibat gerakan
menjepit atau memutar. Fungsi ligamen adalah menjaga stabilitas,
namun masih mampu melakukan mobilitas. Ligamen yang sobek akan
kehilangan kemampuan stabilitasnya (noor, 2016).
2.4.2. Etiologi
1. Sprain terjadi ketikan sendi dipaksa melebihi lingkup gerak
sendi yang normal, seperti melingkar atau memutar
pergelangan kaki.
2. Sprain dapat terjadi di saat persendian terpaksa bergeser dari
posisi normalnya karena terjatuh, terpukul atau terkilir.
2.4.3. Manifestasi Klinis
1. Nyeri
2. Peradangan atau inflamasi
3. Ketidakmampuan menggerakan tungkai
4. Sama dengan strain tetapi lebih parah.
5. Edema dan perubahan warna.
2.4.4. Patofisiologi
Avulsion seluruh atau sebagian dari dan sekeliling sendi, yang
disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau
dorongan pada saat berolahraga atau aktivitas kerja. Kebanyakan
kesleo terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan dan
kaki. Pada trauma olahraga sering terjadi robekan ligament pada sendi
dan lutut. Sendi-sendi lain juga dapat terkilir jika terjadi tekanan tanpa
di selingi peredaan (Brunner & Suddart, 2012).
2.4.5. Penatalaksanaan
1. Pembedahaan : Agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya,
pengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang
teravulsion.
2. Kemoterapi : Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4
jam) untuk meredakan nyeri dan peradangan kadang diperlukan
narkotika (codeine 30-60 mg per oral setiap 4 jam) untuk nyeri
hebat.
3. Elektromekanis, ada beberapa terapi :
a. Penerapan dingin dengan kantong es.
b. Pembalutan atau wrapping eskternal dengan
pembalutan, cast.
c. Posisi ditinggikan, jika yang sakit adalah bagian
ekstermitas.
d. Latihan ROM, tidak dilakukan latihan pada saat terjadi
nyeri hebat dan perdarahan.
2.5. Dislokasi
2.5.1. Definisi
Menurut Noor (2016) dislokasi adalah pindahnya permukaan sentuh tulang
yang menyusun sendi, cidera ini dihasilkan oleh gaya yang menyebabkan sendi
melampaui batas normal anatomisnya.
2.5.2. Etiologi

2.5.3. Klasifikasi
1. Dislokasi cogential : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
2. Dislokasi Patologik : akibat penyakit sendi atau jaringan sekitar sendi,
misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis.
3. Dislokasi traumatic : kedaruratan ortopedi akibat odema, terjadi karena
trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang daei jaringan
disekelilingnya dan juga merusak struktur sendi, ligament, syaraf, dan
sisterm vaskular. Berdasarkan tipe kliniknya dibagi menjadi :
a. Dislokasi Akut : Umumnya terjadi pada shoulder, dan hip. Disertai
nyeri akut dan pembengkakan disekitar sendi.
b. Dislokasi Kronis : trauma dislokasi pada sendi diikuti oleh
frekuensi dislokasi yang berlanjutan dengan trauma yang minimal,
maka disebut dislokasi berulang.

2.5.4. Manifestasi Klinis


1. Nyeri pada sendi
2. Deformitas pada persendian.
3. Gangguan gerakan sendi.
4. Pembengkakan sendi.
2.5.5. Patofisiologi
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada bagian tangan. Humerus
terdorong kedepan, merobek kapsul menyebabkan tepi glenoid teravulasi.
Kadang-kadang bagian posterolateral kapsil hancur. Mesti jarang prosesuss
akromium dapat mengungkit kapsul ke bawah dan menimbulkan liksasio erekta.
Pindahnya ujung tulang yang incomplete disebut dislokasi tidak sempurna atau
subluxation. Oleh karena itu fungsi ligamen adalah untuk mencegah perpundahan
atau pergerakan sendi abnormal, dislokasi yang komplet terjadi saat ada pemisah
yang komplet dari ujung tulang (Brunner & Suddart, 2012).
2.5.6. Penatalaksaan
1. Lakuakan reposisi segera
2. Imobilisasi pasca-reposisi
3. Latihan fisik
2.5.7. Kompikasi
1. Cidera saraf
2. Cidera pembuluh darah
3. Kekakuan sendi
4. Dislokasi yang berulang

Anda mungkin juga menyukai