Anda di halaman 1dari 110

PENERAPAN METODE MATERIAL REQUIREMENT

PLANNING PADA INDUSTRI KECIL TENUN TENGKU


AGUNG PEKANBARU

OLEH
NURUL AULIA
H24061841

DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN
Nurul Aulia. H24061841. Penerapan Metode Material Requirement Planning
Pada Industri Kecil Tenun Tengku Agung Pekanbaru. Di bawah bimbingan
Pramono D. Fewidarto.

Proses produksi yang lancar dan tercapainya efisiensi produksi merupakan


salah satu indikator kinerja sistem manajemen produksi yang berjalan dengan baik.
Kelancaran proses produksi akan menjamin tersedianya produk untuk diantarkan
kepada konsumen secara tepat waktu. Ketepatan waktu ini akan mendorong
timbulnya loyalitas konsumen sehingga dapat meningkatkan daya saing
perusahaan terhadap pesaingnya.
Proses bisnis yang dijalankan oleh industri kecil menengah seringkali
tidak didasari pada perencanaan yang baik. Salah satu indikasi tidak adanya
perencanaan yang baik adalah sering terjadinya penundaan proses produksi karena
bahan baku dan sumber daya lainnya belum tersedia ketika produksi akan
dilakukan. Selain itu industri kecil menengah juga sering kewalahan memenuhi
permintaan konsumen dikarenakan sumber daya yang tidak cukup. Akibatnya
pelaku usaha sering menolak pesanan konsumen dengan dalih tidak mampu
memenuhi atau terlambat memenuhi pesanan yang sudah diberikan.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari sistem produksi dan sistem
pengadaan bahan baku yang dilakukan oleh perusahaan, (2) menyusun MPS,
BOM dan Inventory Record sebagai input penyusunan MRP, dan (3) menyusun
sistem pengadaan bahan baku dengan MRP serta menyusun proyeksi biaya total
bahan baku.
Jenis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer berberasal dari wawancara secara mendalam dan observasi langsung, yaitu
berupa data pemesanan oleh konsumen selama 52 periode (Januari 2006 hingga
April 2010), dan data berkaitan proses produksi tenun songket. Data sekunder
berupa sejarah berdirinya kegiatan usaha dan keterangan bisnin lainnya
didapatkan melalui studi literatur elektronik serta data dari perusahaan sendiri,
khususnya dari bagian produksi.
Penyusunan MPS (Master Production Schedule) sebagai salah satu
komponen MRP menggunakan teknik peramalan Linear Trend Analysis,
Quadratic Trend Analysis, Moving Average, Single Exponential Smoothing, dan
Double Exponential Smoothing. Teknik peramalan yang dipilih adalah yang
memiliki nilai MAD terkecil.
Penyusunan MPS berdasarkan hasil peramalan harus disesuaikan dengan
kapasitas produksi optimum perusahaan setiap bulan karena terdapat sejumlah
pesanan dari periode sebelumnya yang belum terpenuhi (carry over). Kapasitas
produksi optimum untuk produk sarung bapak adalah 1 unit, untuk sarung ibu
adalah 1 unit, untuk selendang 1 unit, dan untuk bahan blazer sebanyak 16 unit.
Hasil peramalan menunjukkan permintaan akan produk bahan blazer yang
masih tetap tinggi hingga akhir tahun 2010 yaitu sebanyak 34 unit. Permintaan
untuk produk yang lain cenderung stabil seperti tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan hasil proses MRP dengan tiga macam teknik lot sizing, teknik lot for
lot efektif digunakan untuk merencanakan kebutuhan benang emas. Teknik EOQ
cocok untuk diterpakan pada komponen benang katun dan benang bordir.
PENERAPAN METODE MATERIAL REQUIREMENT PLANNING PADA
INDUSTRI KECIL TENUN TENGKU AGUNG PEKANBARU

SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA EKONOMI
Pada Departemen Manejemen
Fakultas Ekonomi dan Manejemen
Institut Pertanian Bogor

Oleh
NURUL AULIA
H24061841

DEPARTEMEN MANEJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
Judul Sripsi : Penerapan Metode Material Requirement Planning pada
Industri Kecil Tenun Tengku Agung Pekanbaru
Nama : Nurul Aulia
NIM : H2406184

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

(Ir. Pramono D. Fewidarto, MS)


NIP. 1958 0202 1984 03 1003

Mengetahui,
Ketua Departemen

(Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc)


NIP. 1961 0123 1986 01 1002

Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bireuen pada 2 Mei 1988. Penulis


merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Yuli
Azhar (alm.) dan Zultini. Penulis memulai pendidikan di TK
Raudhatul Ilmi Bireuen pada tahun 1996, kemudian
melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 5 Bireuen
pada tahun 1994. Pendidikan selanjutnya ditempuh penulis
di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Lhokseumawe pada tahun 2000, dan pada
tahun 2003 melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Lhokseumawe.
Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Tingkat Persiapan Bersama dan diterima
di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2007.
Selama menjalani perkuliahan, penulis berpartisipasi aktif dalam kegiatan
organisasi kemahasiswaan, yaitu OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) Ikatan
Mahasiswa Tanah Rencong pada periode 2006-2008 sebagai staf Informasi dan
Komunikasi. Penulis juga aktif di Dewan Kerohanian Mahasiswa Al Hurriyah
pada periode 2007-2008 sebagai staf dan bendahara Divisi Dewan Pembinaan
Umat.

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kekhadirat Allah


SWT. yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya kepada penulis,
sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Skripsi ini disusun
sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen
Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi berjudul Penerapan Metode Material Requirement Planning
Pada Industri Kecil Tenun Tengku Agung Pekanbaru dan bertujuan untuk
mempelajari penerapan metode MRP pada UKM yang bermanfaat dalam
membantu perencanaan bisnis yang lebih baik.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran membangun sangat diperlukan untuk
kemajuan yang lebih baik. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini
bermanfaat bagi kemaslahatan umat dan bernilai ibadah dalam pandangan Allah
swt. Amin.

Bogor, Agustus 2010.

Penulis

iv
UCAPAN TERIMA KASIH

Selama penyusunan skripsi ini penulis telah banyak dibantu oleh berbagai
pihak baik secara moriil maupun materiil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Ir. Pramono D. Fewidarto, MS selaku dosen pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, motivasi,
serta pengarahan pada penulis.
2. Bapak Drs. Edward H. Siregar, SE, MM dan Bapak R. Dikky Indrawan, STP,
MM atas kesediaannya meluangkan waktu sebagai dosen penguji, serta segala
bentuk saran, kritik serta masukan yang sangat berharga dalam
penyempurnaan skripsi ini.
3. Bapak Saiful yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk
melaksanakan penelitian di Dekranasda Tengku Agung Pekanbaru, dan telah
banyak meluangkan waktu untuk membantu penulis dalam mengumpulkan
data.
4. Seluruh dosen Departemen Manejemen yang telah memberikan ilmu dan
pengetahuan yang berguna bagi penulis, KTU Departemen Manajemen
beserta staf atas semua bantuan selama penulis menyelesaikan skripsi.
5. Ibunda Zultini, Ayahanda Yuli Azhar, Annisa Maulani dan Puteri Hidayati
atas curahan kasih sayang serta motivasi sehingga penulis dapat
merampungkan tugas skripsi hingga selesai.
6. Uncu Zulfiarni atas segala bantuan dan motivasi dari awal penelitian hingga
penulis dapat merampungkan tugas skripsi hingga selesai.
7. Sahabat-sahabatku: Ima, Heni, Nenny, Yani, Iis, Santi, Windry, Irma dan
Alin atas kebersamaan dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama
menjalani masa perkuliahan hingga penyelesaian tugas akhir.
8. Teman-teman seperjuangan Gilang, Helga, Isti, Bambang, Ilham dan Holil
atas dukungan dan motivasi dalam kebersamaan mengerjakan tugas akhir.
9. Teman-teman Manajemen Angkatan 43 atas dukungan dan persahabatan yang
diberikan kepada penulis selama ini.
10. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

v
DAFTAR ISI

Halaman
RINGKASAN
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ v
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 3
1.3. Tujuan ............................................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................ 4
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 5
2.1. Definisi Industri Kecil ....................................................................... 5
2.2. Definisi Material Requirement Planning .......................................... 6
2.2. Komponen Dasar MRP ..................................................................... 9
2.3. Proses Penerapan MRP ..................................................................... 13
2.4. Model-model Penentuan Penentuan Ukuran Lot (Lot Sizing) .......... 16
2.5. Peramalan Penjualan ......................................................................... 19
2.6. Pemrograman Linier ......................................................................... 23
2.7. Total Biaya Persediaan Bahan Baku ................................................. 26
2.8. Penelitian Terdahulu ......................................................................... 26
III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 28
3.1. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 28
3.2. Tahapan Penelitian ............................................................................ 29
3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................ 32
3.4. Metode Pengumpulan Data ............................................................... 32
3.5. Pengolahan dan Analisis Data .......................................................... 32
3.5.1. Peramalan Penjualan ............................................................... 32
3.5.2. Lot Sizing ................................................................................ 32
3.5.3. Analisis Biaya Bahan Baku .................................................... 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 33
4.1. Profil Dekranasda Tengku Agung Pekanbaru ................................... 33
4.1.1. Sejarah Berdiri ........................................................................ 33

vi
4.1.2. Visi dan Misi ............................................................................ 34
4.1.3. Maksud dan Tujuan ................................................................. 34
4.1.4. Gambaran Umum Kegiatan Usaha ......................................... 35
4.2. Bahan Baku Produk .......................................................................... 38
4.3. Komponen MRP ............................................................................... 39
4.3.1. Bill of Material ........................................................................ 39
4.3.2. Peramalan Penjualan ............................................................... 42
4.3.3. Kapasitas Produksi Optimum ................................................. 47
4.3.4. Jadwal Produksi Induk (Master Production Schedule) .......... 50
4.3.5. Catatan Persediaan (On Hand Inventory) ............................... 51
4.4. Material Requirement Planning ........................................................ 52
4.4.1. Biaya Setup dan Biaya Penyimpanan ..................................... 52
4.4.2. Material Requirement Planning dengan Metode Lot for Lot . 53
4.4.3. Material Requirement Planning dengan Metode EOQ .......... 54
4.4.4. Material Requirement Planning dengan Metode PPB ............ 55
4.5. Biaya Total Bahan Baku ................................................................... 56
4.6. Implikasi Manajerial ......................................................................... 57
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 60
1. Kesimpulan .......................................................................................... 60
2. Saran .................................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 62

vii
DAFTAR TABEL

No. Halaman
1. Contoh Jadwal Produksi Induk ............................................................ 11
2. Tampilan Horizontal MRP ................................................................... 15
3. Lama Proses Produksi setiap Produk ................................................... 37
4. Jenis Bahan Baku Setiap Produk ......................................................... 38
5. Kebutuhan Bahan Baku ....................................................................... 40
6. Lead Time Komponen pada Level 2 ..................................................... 40
7. Lama Proses Pengubahan Gulungan pada Level 1 ............................... 41
8. Lead Time Komponen pada Level 1 ..................................................... 42
9. Hasil Peramalan untuk Setiap Produk .................................................. 47
10. Keuntungan Per Unit untuk Setiap Produk ........................................ 48
11. Kapasitas Produksi Maksimum setiap Produk per Bulan .................. 49
12. Jadwal Produksi Induk (MPS) ........................................................... 51
13. On Hand Inventory per 30 April 2010 ............................................... 51
14. Biaya Penyimpanan dan Setup ........................................................... 54
15. Perbandingan Frekuensi Pemesanan dan Persediaan yang
Timbul setiap Teknik Lot Sizing .................................................. 56
16. Perbandingan Biaya Ketiga Teknik Lot Sizing
(dalam Ribu Rupiah) .................................................................... 57

viii
DAFTAR GAMBAR

No. Halaman
1. Sistem MRP (Herjanto, 2003) .............................................................. 9
2. Proses Penjadwalan Produksi Induk (Gaspersz, 2005) ........................ 10
3. Contoh Struktur Produk (Haming dan Nurnajamuddin, 2007) ............ 12
4. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 30
5. Alur Tahapan Penelitian ....................................................................... 31
6. Bill of Material dari Empat Jenis Produk Tenun ................................. 43
7. Plot Data Quadratic Trend Analysis untuk Sarung Bapak .................. 45
8. Plot Data Quadratic Trend Analysis untuk Sarung Ibu ....................... 46
9. Plot Data Quadratic Trend Analysis untuk Selendang ........................ 46
10. Plot Data Quadratic Trend Analysis untuk Bahan Blazer ................. 47

ix
DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman
1. Kebutuhan dan Analisis Data ............................................................... 64
2. Analisis Autokorelasi ........................................................................... 65
3. Parameter Kesalahan Tiap Metode Peramalan .................................... 70
4. Penghitungan unit EOQ dan EPP ........................................................ 71
5. Perhitungan Penggabungan EPP .......................................................... 72
6. Perhitungan Biaya Bahan Baku ........................................................... 73
7. Output LINGO 12.0 ............................................................................. 74
8. Proses MRP dengan Teknik Lot Sizing Lot for Lot ............................. 75
9. Proses MRP dengan Teknik Lot Sizing EOQ ...................................... 83
10. Proses MRP dengan Teknik Lot Sizing PPB ...................................... 91

x
1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Proses produksi yang lancar dan tercapainya efisiensi produksi


merupakan salah satu indikator kinerja sistem manajemen produksi yang
berjalan dengan baik. Kelancaran proses produksi akan menjamin
tersedianya produk untuk diantarkan kepada konsumen secara tepat waktu.
Ketepatan waktu ini akan mendorong timbulnya loyalitas konsumen
sehingga dapat meningkatkan daya saing perusahaan terhadap pesaingnya.
Proses bisnis yang dijalankan oleh industri kecil menengah
seringkali tidak didasari pada perencanaan yang baik. Salah satu indikasinya
adalah sering terjadinya penundaan proses produksi karena bahan baku dan
sumber daya lainnya belum tersedia ketika produksi akan dilakukan. Selain
itu industri kecil menengah juga sering kewalahan memenuhi permintaan
konsumen dikarenakan sumber daya yang tidak cukup. Akibatnya pelaku
usaha sering menolak pesanan konsumen dengan dalih tidak mampu
memenuhi atau khawatir terlambat memenuhi pesanan yang sudah diberikan.
Kekurangan ini tentunya menyebabkan banyak pelanggan yang merasa tidak
puas dengan layanan yang diberikan sehingga menurunkan tingkat
kepercayaan mereka terhadap pelaku bisnis di industri kecil menengah ini.
Begitu pula yang terjadi pada industri kecil tenun yang dijalankan
oleh Dekranasda Kota Pekanbaru ini. Proses produksi hanya dilakukan
berdasarkan pesanan konsumen dengan tidak mempertimbangkan kapasitas
produksi optimum yang dimiliki perusahaan. Akibatnya seringkali
konsumen harus menunggu dalam waktu yang sangat lama hingga
pesanannya terpenuhi dikarenakan Dekranasda selalu menerima semua
pesanan yang masuk tanpa memperhatikan kapasitas yang mampu dicapai.
Selain itu proses pengadaan bahan baku yang dilakukan tidak
berdasarkan pada perhitungan apapun. Pada musim tingkat permintaan
sedang Dekranasda biasanya memesan bahan baku dalam jumlah besar
sehingga dapat memenuhi kebutuhan produksi hingga beberapa periode
2

mendatang. Jika tingkat pemesanan lebih tinggi dari permintaan biasa maka
bahan baku yang dipesan akan berjumlah lebih besar pula.
Cara ini dipandang perusahaan telah efektif karena tidak pernah
terjadi hambatan produksi yang berarti. Namun seringkali karena tidak
didasarkan pada perhitungan yang tepat, terjadi kelebihan persediaan bahan
baku yang berpotensi menimbulkan tambahan biaya. Kekurangan lainnya
adalah pemesanan bahan baku dilakukan setelah pesanan diterima.
Akibatnya pelanggan harus menunggu lebih lama hingga pesanannya selesai
dipenuhi.
Kendala-kendala tersebut, terutama yang terkait dengan bahan baku,
dapat diatasi salah satunya dengan melakukan perencanaan produksi yang
baik melalui Material Requirement Planning (MRP). Penerapan MRP dapat
memberikan informasi kepada perusahaan mengenai produksi optimum
yang mampu dicapai sehingga sesuai dengan sumber daya yang dimiliki.
Penerapan MRP juga dapat mendorong proses produksi yang lebih
terencana dan tercapainya efisiensi biaya karena sumber daya bahan baku
didatangkan sesuai dengan kebutuhan dan memperkecil kemungkinan
timbulnya persediaan.
Salah satu tujuan utama MRP adalah mendorong proses produksi
yang lancar dan tepat waktu. Perusahaan yang tidak mampu mencapainya
akan kehilangan kepercayaan dari konsumen karena terlambat melakukan
proses produksi sehingga terlambat memenuhi pesanan. Selain itu
perusahaan yang tidak menerapkan MRP tidak memiliki pedoman mengenai
target dan rencana produksinya. Akibatnya perusahaan tidak dapat
mengetahui apakah kinerja yang telah dicapai telah mampu memenuhi
rencana dan target-target produksi.
Penerapan MRP sangat bermanfaat untuk merencanakan kebutuhan
material yang bersifat dependent atau berhubungan dengan material yang
lain, seperti kebanyakan produk yang dihasilkan oleh industri kecil
menengah. Sistem MRP mengendalikan agar komponen yang diperlukan
untuk proses produksi dapat tersedia tepat ketika proses produksi akan
dilakukan. Proses produksi yang lancar merupakan salah satu indikasi
3

kinerja perusahaan yang baik, karena akan mampu memenuhi kebutuhan


konsumen tepat pada waktunya.
Melalui kelancaran proses produksi, industri juga dapat meraih
efisiensi yang dapat memberikan tambahan keuntungan. Jika perusahaan
dapat melakukan efisiensi pada proses produksi, dan jika harga jual tetap
dipertahankan, maka perusahaan akan mendapat kenaikan laba sebesar nilai
efisiensi tersebut. Dan jika perusahaan juga dapat melakukan efisiensi pada
pengadaan bahan baku, maka tambahan kenaikan laba yang diperoleh
perusahaan bisa lebih besar lagi.
Sistem MRP dapat digunakan untuk mengetahui jumlah bahan baku
yang akan dipesan sesuai dengan kebutuhan untuk produksi dengan
memperhitungkan juga biaya-biaya yang akan timbul akibat dari persediaan.
MRP adalah suatu konsep dalam manajemen produksi yang membahas cara
yang tepat dalam perencanaan kebutuhan barang dalam proses produksi,
sehingga barang yang dibutuhkan dapat tersedia sesuai dengan yang
direncanakan.
Salah satu tujuan utama kegiatan bisnis perusahaan adalah untuk
memuaskan kebutuhan konsumen. Karena itu, sistem MRP merupakan
serangkaian mekanisme pengendalian yang sangat bermanfaat untuk
menjamin ketersediaan bahan baku dengan jumlah dan waktu yang tepat,
sehingga akan mendukung kelancaran dan ketepatan proses dan waktu
produksi.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka yang


menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana aplikasi
MRP pada usaha kecil tenun Tengku Agung Pekanbaru dalam rangka
menghasilkan kombinasi pengadaan bahan baku yang optimum.

1.3. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Mengidentifikasi sistem produksi dan sistem pengadaan bahan baku
yang dilakukan oleh indusri kecil tenun Tengku Agung Pekanbaru.
4

2. Mengidentifikasi dan menyusun Bill of Material dan Master Production


Schedule sebagai input penyusunan MRP.
3. Menyusun MRP menggunakan berbagai teknik lot sizing dan
membandingkan hasilnya sehingga diperoleh kombinasi pengadaan
bahan baku yang optimum.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti.
Menambah pengetahuan di bidang manajemen pengadaan bahan baku
serta dapat mengaplikasikan ilmu yang dipelajari di perguruan tinggi
untuk memecahkan permasalahan di dunia nyata.
2. Bagi perusahaan.
Mendapatkan saran untuk manajemen persediaan bahan baku yang
optimum untuk kinerja perusahaan yang lebih baik.
3. Bagi pihak lain.
Sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini memiliki pembatasan-pembatasan sebagai berikut:


1. Data yang digunakan adalah data pesanan konsumen yang tercatat oleh
perusahaan, yaitu Januari 2006 hingga April 2010, dikarenakan
Dekranasda tidak memiliki catatan pemesanan konsumen secara
lengkap dari awal berdirinya kegiatan usaha.
2. Teknik lot sizing yang digunakan dalam menyusun MRP terbatas pada
tiga macam teknik yaitu Lot fot Lot, Economic Order Quantity, dan
Part Periode Balancing. Teknik yang lain seperti Algoritma Wagner-
Within tidak ikut digunakan dalam penelitian ini.
3. Perencanaan MRP dilakukan untuk 8 periode terhitung Mei hingga
Desember 2010. Pemenuhan pesanan yang melewati jangka waktu
tersebut akan dilanjutkan pada tahun 2011 tetapi tidak diikutsertakan
dalam pembahasan penelitian ini.
5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Industri Kecil

Definisi industri kecil terdapat pada SK Menteri Perindustrian No.


19/M/I/1986 yang menjelaskan jenis-jenis industri berdasarkan klasifikasi
jumlah karyawan atau tenaga kerjanya yaitu sebagai berikut:
1. Industri rumah tangga, yaitu industri yang jumlah tenaga kerjanya
berjumlah antara 1 hingga 4 orang.
2. Industri kecil, adalah industri yang jumlah tenaga kerjanya berjumlah
antara 5 hingga 19 orang.
3. Industri sedang atau menengah, adalah industri yang jumlah tenaga
kerjanya berjumlah antara 20 hingga 99 orang.
4. Industri besar, adalah industri yang jumlah tenaga kerjanya berjumlah
diatas 100 orang.
Definisi usaha kecil terdapat pada UU No. 9 tahun 1995 yang
menyatakan bahwa kriteria suatu usaha kecil adalah sebagai berikut:
1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus
Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
(Satu Miliar Rupiah).
3. Milik Warga Negara Indonesia.
4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang yang
dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung
dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar.
5. Berbentuk usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
Pengertian atau definisi perusahaan adalah suatu tempat untuk
melakukan kegiatan proses produksi barang atau jasa. Hal ini disebabkan
karena kebutuhan manusia tidak bisa digunakan secara langsung dan harus
melewati sebuah proses di suatu tempat, sehingga inti dari perusahaan ialah
tempat melakukan proses sampai langsung digunakan oleh manusia.
6

Perusahaan merupakan kesatuan teknik yang bertujuan


menghasilkan barang dan jasa. Perusahaan juga disebut tempat
berlangsungnya proses produksi yang menggabungkan faktor-faktor
produksi untuk menghasilkan barang dan saja. Perusahaan merupakan alat
dari bahan usaha untuk mencapai tujuan yaitu mencari keuntungan. Orang
atau lembaga yang melakukan disebut pengusaha (Syadiash, 2010).

2.2. Definisi Material Requirement Planning

Material Requirement Planning (MRP) atau Perencanaan Kebutuhan


Material merupakan suatu metode yang dimulai dengan kegiatan peramalan
terhadap permintaan produk jadi yang independen, menentukan kebutuhan
permintaan terikat untuk: (1) kebutuhan terhadap tiap jenis komponen
(material, parts, atau ingredients), (2) jumlah pasti yang benar-benar
diperlukan, dan (3) waktu membuat peramalan secara bertahap yang
diperlukan untuk memenuhi pesanan guna mencukupi suatu rencana
produksi (Haming dan Nurnajamuddin, 2007).
Haming dan Nurnajamuddin (2007) juga menyebutkan beberapa
definisi lain dari Material Requirement Planning yang dikemukakan oleh
beberapa pakar. MRP adalah model permintaan terikat yang menggunakan
daftar kebutuhan bahan, status persediaan, penerimaan yang diperkirakan,
dan jadwal produksi induk, yang dipakai untuk menentukan kebutuhan
material yang akan digunakan (Heizer dan Render, 2004). MRP adalah
logika untuk menentukan banyaknya parts, komponen, dan material yang
diperlukan untuk memproduksi suatu produk, serta menyediakan jadwal
yang menetapkan kapan parts, komponen, dan material yang diperlukan
tersebut harus dipesan atau diproduksi (Chase, 2001). MRP adalah suatu
teknik pengendalian persediaan dan perencanaan produksi dengan sistem
komputerisasi untuk menyusun rencana pesanan pembelian dan pesanan
pengerjaan material, komponen, dan perakitan (Russel dan Taylor, 2000).
Haming dan Nurnajamuddin (2007) menyimpulkan beberapa unsur
penting dapat dijumpai dari pengertian-pengertian MRP dari para ahli
tersebut, yaitu:
7

1. Jadwal induk produksi sebagai landasan untuk menyusun rencana dan


jadwal pengadaan. Jadwal produksi ini lazim disebut Master
Production Scheduling (MPS);
2. Status persediaan yang akan menjadi landasan penentuan jumlah unit
yang harus dipesan, lazim disebut Inventory Record;
3. Struktur produk yang akan menjadi landasan untuk menghitung jumlah
unit bahan yang dibutuhkan untuk setiap jenis bahan yang dibutuhkan,
lazim disebut dengan Bill of Material (BOM);
4. Waktu tenggang antara pemesanan dan penerimaan pesanan yang
dimaksud, lazim disebut dengan lead time.
Herjanto (2003) menyebutkan bahwa sistem MRP dimaksudkan
untuk mencapai tujuan sebagai berikut.
1. Meminimalkan persediaan; sistem MRP menentukan berapa banyak
dan kapan suatu komponen diperlukan disesuaikan dengan jadwal induk
produksi. Dengan menggunakan metode ini, pengadaan (pembelian)
komponen yang diperlukan untuk suatu rencana produksi dapat
dilakukan sebatas yang diperlukan saja sehingga dapat meminimalkan
biaya persediaan.
2. Mengurangi resiko karena keterlambatan produksi atau pengiriman;
MRP mengidentifikasi banyaknya bahan dan komponen yang
diperlukan baik dari segi jumlah dan waktunya dengan memeperhatikan
waktu tenggang produksi maupun pengadaan (pembeliaan) komponen,
sehingga memperkecil resiko tidak tersedianya bahan yang akan
diproses yang mengakibatkan terganggunya rencana produksi.
3. Komitmen yang realistis; dengan MRP jadwal produksi diharapkan
dapat dipenuhi sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Banyak perusahaan yang telah memanfaatkan sistem MRP untuk
mengendalikan persediaan, karena MRP dapat memberikan manfaat sebagai
berikut (Heizer dan Render, 2005).
1. Mendapatkan respon yang lebih baik bagi pesanan pelanggan sebagai
hasil dari jadwal yang terus-menerus diperbaiki. Penerapan MRP
membutuhkan jadwal induk produksi, fasilitas produksi, pelaksanaan
8

jadwal, dan pengiriman barang yang tepat waktu, akurat dan disiplin.
Perusahaan yang mampu menerapkannya akan memiliki keunggulan
bersaing dan mampu menguasai pasar.
2. Respon yang lebih cepat terhadap perubahan pasar. Perubahan pasar
yang cepat dan dinamis turut mempengaruhi permintaan dan selera
pelanggan, karena itu perusahaan sangat dituntut untuk mampu
memenuhi dan menjawab perubahan tersebut.
3. Mampu memanfaatkan fasilitas dan tenaga kerja secara lebih optimal.
Jadwal pengadaan bahan baku yang teratur dengan berpedoman pada
jadwal induk akan mampu memberdayakan mesin dan tenaga kerja
sesuai dengan kebutuhan sehingga tidak menimbulkan pemborosan.
Melalui penerapan pengendalian persediaan, perusahaan memang
mendapatkan banyak manfaat. Namun manfaat yang paling bisa
dirasakan langsung bagi perusahaan adalah berkurangnya tingkat
persediaan, dan oleh karena itu berdampak pada berkurangnya biaya
persediaan yang harus dikeluarkan.
4. Mendapatkan respon yang lebih baik terhadap pesanan pelanggan dan
pasar, sehingga mampu memenangkan pesanan dan pangsa pasar.
Pemanfaatan fasilitas dan pekerja yang lebih baik akan menghasilkan
produktivitas dan pengembalian investasi yang lebih tinggi. Sedangkan
persediaan yang lebih sedikit dapat membebaskan modal dan ruang
untuk digunakan pada kepentingan yang lain. Manfaat ini merupakan
hasil dari sebuah keputusan strategis untuk menggunakan sistem
penjadwalan persediaan yang terikat.
Agar efektif, pengendalian persediaan terikat melalui MRP
mengharuskan para manajer operasi memahami hal-hal berikut (Heizer dan
Render, 2005).
1. Jadwal produksi induk (apa yang akan dibuat dan kapan)
2. Spesifikasi atau daftar kebutuhan bahan (material dan komponen yang
diperlukan untuk memproduksi)
3. Ketersediaan persediaan (apa yang ada pada persediaan)
9

4. Pesanan pembelian yang belum dipenuhi (apa yang berada dalam


pesanan)
5. Waktu tunggu atau lead time (berapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk mendapatkan berbagai komponen)

2.3. Komponen Dasar MRP

Komponen dasar MRP terdiri atas jadwal induk produksi, daftar


kebutuhan material, dan catatan persediaan, yang dapat digambarkan dalam
suatu sistem MRP seperti dalam Gambar 1. Berdasarkan informasi dari
jadwal induk produksi dapat diketahui permintaan dari suatu produk akhir.
Selanjutnya, dengan mengetahui komponen yang membentuk produk akhir
itu, status persediaan, dan waktu tenggang yang diperlukan untuk memesan
bahan atau merakit komponen yang bersangkutan, dapat disusun suatu
perencanaan kebutuhan dari komponen yang diperlukan
diperlukan (Herjanto, 2003).
Masing-masing kompenen dasar MRP tersusun sebagaimana tersaji pada
Gambar 1.

Gambar 1. Sistem MRP (Herjanto, 2003) 1


1. Jadwal Induk Produksi (MPS)
Jadwal induk produksi (master production schedule, MPS) merupakan
gambaran atas periode perencanaan dari suatu permintaan, termasuk
peramalan, backlog,
backlog, rencana suplai/penawaran, persediaan akhir, dan
(available to promise, ATP). MPS
kuantitas yang dijanjikan tersedia (available
disusun berdasarkan perencanaan produksi agregat, dan merupakan kunci
penghubung dalam rantai perencanaan dan pengendalian produksi. MPS
10

berkaitan dengan pemasaran, rencana distribusi, perencanaan produksi dan


perencanaan kapasitas. MPS mengendalikan MRP dan merupakan masukan
utama dalam proses MRP. MPS harus dibuat secara realistis, dengan
mempertimbangkan kemampuan kapasitas produksi, tenaga kerja, dan
subkontraktor (Herjanto, 2003).
Gaspersz (2005) menyebutkan bahwa sebagai suatu aktivitas proses,
penjadwalan produksi
produksi induk (MPS) membutuhkan lima input utama seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2. Kelima input utama MPS adalah sebagai
berikut:

Gambar 2. Proses Penjadwalan Produksi Induk (Gaspersz, 2005) 1

• Data Permintaan Total,


Total, merupakan salah satu sumber data bagi proses
penjadwalan produksi induk. Data permintaan total berkaitan dengan
ramalan penjualan (sales forecast) dan pesanan-pesanan (orders).
• Status Pesediaan, berkaitan dengan informasi tentang on-hand inventory,
(allocated stock),
stok yang dialokasikan untuk penggunaan tertentu (allocated
pesanan-pesanan produksi dan pembelian yang dikeluarkan (released
production and purchase orders), dan firm planned orders. MPS harus
mengetahui secara akurat berapa banyak inventori yang tersedia dan
menentukan berapa banyak yang harus dipesan.
• Rencana Produksi,
Produksi, memberikan sekumpulan batasan kepada MPS. MPS
harus menjumlahkannya untuk menentukan tingkat produksi, persediaan,
dan sumber-sumber daya lain dalam rencana produksi itu.
• Data Perencanaan, berkaitan dengan aturan-aturan tentang lot sizing
yang harus digunakan, shrinkage factor, stok pengaman (safety stock),
dan waktu tunggu (lead time) dari masing-masing item yang biasanya
tersedia dalam file induk dari item (Item Master File).
11

• Informasi dari Rough Cut Capacity Planning (RCCP), berupa


kebutuhan kapasitas untuk mengimplementasikan MPS menjadi salah
satu input bagi MPS.
Ketepatan MPS bervariasi berdasarkan jangka waktu
perencanaannya. Perencanaan jangka pendek harus lebih akurat, mengingat
biasanya berisi pesanan yang sudah pasti (fixed order), kebutuhan distribusi
pergudangan, dan kebutuhan suku cadang. Semakin jauh jangka waktu
perencanaan ketepatan MPS biasanya semakin berkurang. Tabel 1
merupakan contoh dari suatu jadwal induk produksi.

Tabel 1. Contoh Jadwal Produksi Induk 1


Minggu ke
Produk
1 2 3 4 5 6 7 8
A 70 70 70 70 70 70 70 70
B 80 80 80 80 80 60 60 60
C 100 120 120 140
Sumber: Herjanto (2003)

2. Daftar Material (Bill of Material)


Definisi yang lengkap tentang suatu produk akhir meliputi daftar barang
atau material yang diperlukan bagi perakitan, pencampuran, atau pembuatan
produk akhir tersebut. Setiap produk mungkin memiliki sejumlah komponen,
tetapi mungkin juga memiliki ribuan komponen. Setiap komponen sendiri
dapat terdiri atas sebuah barang (item) atau berbagai jenis barang (Herjanto,
2003).
Hubungan antara suatu barang dan komponennya dijelaskan dalam
suatu struktur produk. Secara konvensi, produk akhir atau parent item
disebut sebagai level (jenjang) 0, sedangkan komponen pembentuk produk
akhir disebut sebagai level 1, bagian rakitan berikutnya disebut level 2, dan
seterusnya (Herjanto, 2003). Gambar 3 menunjukkan contoh struktur
produk (bill of material).
Aplikasi MRP dimulai dengan mengetahui komponen dari produk yang
akan diproduksi dengan mengetahui komponen dari produk yang akan
diproduksi atau dirakit. Daftar produk dan komponen yang diperlukan
disebut daftar material (bill of materials, BOM). BOM dibuat sebagai
bagian dari proses desain dan kemudian digunakan untuk menentukan
12

barang mana yang harus dibeli dan barang mana yang harus dibuat. BOM
disimpan dalam suatu BOM files, yaitu basis data yang dibuat oleh suatu
BOM processor, yang menyusun BOM dalam berbagai format yang
dikehendaki perusahaan (Herjanto, 2003).

Gambar 3. Contoh Struktur Produk (Haming dan Nurnajamuddin, 2007) 1

3. Catatan Persediaan
Heizer dan Render (2005) menyebutkan bahwa agar sebuah MRP dapat
bekerja dengan baik dibutuhkan suatu manajemen persediaan yang baik.
Jika perusahaan belum mencapai setidaknya 99 persen ketelitian catatan,
maka perencanaan kebutuhan material tidak akan bekerja dengan baik.
Sistem MRP harus memiliki dan menjaga suatu data persediaan yang
up to date untuk setiap komponen barang. Data ini harus menyediakan
informasi yang akurat tentang ketersediaan komponen dan seluruh transaksi
persediaan, baik yang sudah terjadi maupun yang sedang direncanakan.
Data itu mencakup nomor identifikasi, jumlah barang yang terdapat di
gudang, jumlah yang dialokasikan, tingkat persediaan minimum (safety
stock level), komponen yang sedang dipesan dan waktu kedatangan, serta
waktu tenggang (procurement lead time) bagi setiap komponen (Herjanto,
2003).
merupakan catatan manual selama di-up date dari
Data persediaan bisa merupakan
hari ke hari. Namun, dengan berkembangnya teknologi dan semakin
murahnya harga komputer maka kini banyak perusahaan sudah
menggunakan jaringan sistem informasi melalui komputer sehingga apabila
barang masuk atau barang terpakai/ terjual, datanya dapat langsung diakses
di semua unit terkait (Herjanto, 2003).
13

2.4. Proses Penerapan MRP

Russel dan Taylor (2003) menyebutkan bahwa penerapan suatu


MRP memiliki proses yang terdiri atas empat langkah utama, yaitu (1)
menyusun BOM, (2) menghitung kebutuhan bersih bahan baku (net
requirement), (3) melakukan lot sizing, dan (4) menyusun time-phasing
requirement. Proses ini dilakukan berulang kali, merinci setiap struktur
produk hingga semua komponen dibuatkan jadwalnya.
Haming dan Nurnajamuddin (2007) menyebutkan bahwa terdapat
tiga langkah mendasar yang perlu ditempuh dalam penerapan MRP.
Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut.
1. Perusahaan harus lebih dahulu menetapkan jumlah produk akhir (finish
product) yang akan diproduksi, dalam usaha menjawab permintaan
yang ada dengan cara (i) mempergunakan angka-angka pesanan
pelanggan melalui angket pemesanan yang disampaikan, dan
menghasilkan penentuan jumlah permintaan yang menjadi target
perusahaan, atau (ii) melakukan estimasi statistik atas jumlah
permintaan terhadap produk akhir. Angka-angka ramalan ini menjadi
landasan untuk menyusun jadwal induk produksi (MPS).
2. Perusahaan harus melakukan pemantauan atas status persediaan untuk
setiap jenis material (bahan, parts, komponen, atau subkomponen)
secara berkala melalui stock opname. Sediaan yang ada menjadi
pengurang terhadap kebutuhan total yang diturunkan dari target
produksi. Informasi atas penerimaan sediaan, sediaan yang sedang
dalam pesanan, sediaan yang telah dipakai, dan sisa yang masih ada di
gudang, harus dicatat dalam buku persediaan (inventory record).
Informasi inventory record ini menjadi landasan untuk menentukan
volume pesanan.
3. Perusahaan menetapkan jumlah unit yang dibutuhkan dari setiap jenis
material yang akan diproses guna memenuhi target produksi yang sudah
didefinisikan. Untuk menentukan jumlah unit dari setiap jenis material
yang diperlukan, perusahaan harus menyusun struktur dari bahan yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu unit produk. Struktur bahan dari
14

setiap unit produk ini disebut dengan Bill of Material (BOM).


Kebutuhan total dapat diketahui dengan mengalihkan target keluaran
dalam MPS dengan unit yang diperlukan menurut BOM.
Haming dan Nurnajamuddin (2007) menyebutkan bahwa dalam
praktiknya, langkah awal dalam praktik penyusunan MRP mungkin saja
ialah pembuatan BOM. Melalui penyusunan BOM dapat diketahui rincian
unit kebutuhan dari setiap jenis bahan yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan produk. Produk akhir yang rumit yang dibuat dari ratusan,
bahkan ribuan jenis komponen atau subkomponen akan memiliki BOM
yang rumit. Sebaliknya, produk akhir yang sederhana juga memiliki BOM
yang sederhana.
Orlicky (1975) dalam Rasto (1996) dan Adihartati (1997) juga
menyebutkan bahwa logika proses dalam sistem MRP terdiri dari empat
langkah sebagai berikut.
1. Eksplosi
Eksplosi adalah proses perhitungan kebutuhan kotor untuk komponen
pada tingkat yang lebih bawah. Dasar untuk menentukan kebutuhan material
ini dalam tiap tahap, langsung atau tidak langsung, diturunkan dari jadwal
induk produksi dan tergantung pada posisinya dalam struktur produk.
2. Netting
Netting merupakan proses perhitungan untuk menetapkan jumlah
kebutuhan bersih, yang besarnya merupakan selisih antara kebutuhan kotor
dengan keadaan persediaan, baik persediaan yang ada (on hand inventory)
maupun yang direncanakan akan diterima dalam suatu periode tertentu.
Dalam perhitungan kebutuhan bersih dapat dilakukan perbaikan dengan
menambahkan faktor-faktor lain, seperti memasukkan faktor sediaan
pengaman atau faktor kerusakan konponen. Persediaan pengaman hanya
digunakan untuk permintaan produk akhir yang independen.
Data yang harus diketahui untuk menentukan kebutuhan bersih pada
setiap periode adalah persediaan yang masih dipunyai pada awal
perencanaan dan jadwal penerimaan untuk setiap periode perencanaan.
15

3. Lotting
Proses ini merupakan suatu proses untuk menentukan besarnya jumlah
pemesanan yang optimum berdasarkan pada hasil perhitungan kebutuhan
bersih. Terdapat banyak alternatif untuk menghitung ukuran lot. Berbagai
teknik ukuran lot diarahkan untuk menyeimbangkan biaya pemesanan (set
up cost) dan biaya penyimpanan persediaan (holding cost), sehingga dicapai
total biaya persediaan yang minimal tanpa mengganggu jadwal induk.
4. Offsetting
Langkah offsetting bertujuan untuk menentukan waktu yang tepat bagi
perencanaan pemesanan dalam memenuhi kebutuhan bersih. Rencana
pemesanan diperoleh dengan cara mengurangkan kebutuhan awal bersih
yang diinginkan dengan besarnya waktu tunggu (lead time).
Waktu tunggu untuk komponen yang dipesan merupakan waktu saat
pesanan dilakukan sampai pesanan tersebut diterima. Sedangkan untuk
komponen yang dibuat sendiri, waktu tunggu merupakan jumlah waktu
proses pembuatan komponen tersebut hingga selesai dibuat. Dalam
penentuan waktu tunggu sering pula ditambahkan faktor waktu pengaman
dengan tujuan yang pada dasarnya sama dengan pengadaan persediaan
pengaman.
Keseluruhan proses MRP dapat digambarkan dalam format tampilan
MRP seperti di bawah ini, termasuk penjelasan untuk tiap-tiap
komponennya (Gaspersz, 2005).

Tabel 2. Tampilan Horizontal MRP 1


Lead Time: 3 minggu Periode (minggu)
On Hand: 550
Lot Size: 1000 1 2 3 4 5
Safety Stock: 0
Gross Requirement 250 500 200 350 400
Scheduled Receipt 1000
Projected on Hand 300 800 600 250 -150
Projected Available 300 800 600 250 850
Net Requirement 150
Planned Order Receipt 1000
Planned Order Receipt 1000
Sumber: Gaspersz (2005)
16

• Lead Time merupakan jangka waktu yang dibutuhkan sejak MRP


menyarankan suatu pesanan sampai yang dipesan siap untuk digunakan.
• On Hand merupakan on hand inventory yang menunjukkan kuantitas
dari item yang secara fisik ada dalam tempat penyimpanan.
• Lot Size merupakan kuantitas pesanan dari item yang memberitahukan
MRP berapa banyak kuantitas yang harus dipesan serta teknik lot sizing
apa yang dipakai.
• Safety Stock merupakan stok pengaman yang ditetapkan oleh perencana
MRP untuk mengatasi fluktuasi dalam permintaan dan/atau penawaran.
• Planning Horizon merupakan banyaknya waktu ke depan yang tercakup
dalam perencanaan.
• Gross Requirement merupakan total dari semua kebutuhan, termasuk
kebutuhan yang diantisipasi untuk setiap periode waktu.
• Projected On-Hand merupakan projected available balance (PAB), dan
tidak termasuk planned order. Projected on hand dihitung berdasarkan
formula:
Projected on-hand = On-hand awal periode + Scheduled Receipt –
Gross Requierement
• Planned Order Receipts merupakan kuantitas pesanan pengisian kembali
yang telah direncanakan oleh MRP untuk diterima pada periode tertentu
guna memenuhi kebutuhan kebutuhan bersih.
• Planned Order Release merupakan kuantitas planned order yang
ditempatkan atau dikeluarkan dalam periode tertentu agar item tersebut
tersedia pada saat dibutuhkan.

2.5. Model-model Penentuan Penentuan Ukuran Lot (Lot Sizing)

Lot sizing merupakan kegiatan menentukan jumlah unit yang akan


dipesan (Haming dan Nurnajamuddin, 2007). Keputusan penentuan ukuran
lot adalah proses atau teknik yang digunakan untuk menentukan ukuran lot
(Heizer dan Render, 2005).
17

Nahmias (2005) mengasumsikan bahwa proses MRP sering


dilakukan menggunakan teknik lot for lot, yaitu jumlah unit yang
dijadwalkan untuk diproduksi atau dipesan setiap periodenya sama dengan
jumlah kebutuhan bersih periode tersebut. Pada kenyataannya kebijakan ini
diasumsikan untuk kemudahan penggunaan saja, dan secara umum dapat
dikatakan tidak optimal. Masalah untuk menemukan teknik yang optimal
yang terbaik didasarkan pada set jumlah permintaan dan biaya setup dan
holding untuk berbagai periode waktu yang dimiliki dan berapakah
kuantitas yang dapat meminimalkan total biaya setup dan holding untuk
periode yang telah direncanakan.
Gasperz (2005) memberikan cacatan yang penting untuk
diperhatikan mengenai lot sizing dan kebutuhan bersih (net requirement)
sebagai berikut.
1. Apabila lot sizing dipakai, maka net requirement adalah prediksi
kekurangan material, sehingga perlu dimasukkan dalam perhitungan
planned order receipt, dan tidak hanya menghitung kenaikan dalam
nilai negatif yang ditunjukkan dalam baris projected on-hand.
2. Aturan: apabila menggunakan fixed order quantity lot size, dan bila ada
net requirement, maka banyaknya kuantitas planned order receipt akan
mengambil salah satu nilai yaitu: standard lot size atau net requirement
aktual, tergantung mana yang lebih besar.
3. Dalam kebanyakan kasus, planned order receipt akan melebihi besaran
net requirement, sehingga membiarkan beberapa kuantitas persediaan
disimpan sampai periode berikutnya.
4. Saat keadaan rolling schedule akan menjadi normal bahwa besaran
scheduled receipt adalah sama dengan kuantitas lot size, karena
kuantitas itu yang telah dipesan.
Ada beberapa teknik dalam melakukan lot sizing. Haming dan
Nurnajamuddin (2007) mengemukakan bahwa pada dasarnya teknik-teknik
tersebut terbagi menjadi dua, yaitu menentukan ukuran lot yang sama
dengan net requirement, dan menentukan ukuran lot dengan tujuan
optimalisasi. Optimalisasi tersebut didasarkan pada keadaan di mana ukuran
18

pesanan akan berhubungan dengan biaya pemesanan ataupun biaya


penyimpanan.
Semakin rendah ukuran lot, yang berarti semakin sering melakukan
pesanan, akan menurunkan biaya penyimpanan, tetapi menambah biaya
pemesanan. Sebaliknya, semakin tinggi ukuran lot akan mengurangi
frekuensi pemesanan, tetapi mengakibatkan meningkatnya biaya
penyimpanan. Untuk itu perlu dicari dan ditentukan ukuran lot yang tepat
agar optimalisasi kapasitas dan biaya dapat tercapai (Herjanto, 2003)
Heizer dan Render (2005) menyebutkan bahwa keputusan penentuan
lot sizing adalah keputusan yang dibuat tentang berapa banyak yang harus
dipesan atau dibuat. Ada berbagai jalan untuk menentukan ukuran lot di
dalam sistem MRP, diantaranya teknik Lot for Lot, teknik Economic Order
Quantity, serta Part Period Balancing. Teknik lot for lot merupakan teknik
yang membantu menentukan ukuran lot tepat sebesar net requirement.
Sedangkan teknik yang lain didasarkan pada kapasitas dan biaya optimum
dengan tujuan optimalisasi.
1. Teknik Lot for lot
Teknik ini memproduksi secara tepat berapa kebutuhan bahan baku
yang diperlukan. Teknik ini konsisten dengan sasaran MRP yaitu memenuhi
kebutuhan permintaan yang bersifat terikat. Bila pesanan yang sering terjadi
ekonomis dan teknik persediaan just in time diterapkan, maka teknik ini
menjadi sangat efisien. Sebaliknya, jika biaya setup cukup besar atau
menajemen tidak mampu untuk menerapkan just in time, maka teknik ini
menjadi mahal.
2. Teknik Economic Order Quantitiy (EOQ)
Teknik EOQ merupakan teknik statistik yang menggunakan rata-rata
(seperti permintaan rata-rata untuk satu tahun. Jadi teknik EOQ merupakan
teknik statistik yang sebenarnya lebih cocok digunakan pada saat
permintaan bebas, sementara MRP lebih disukai pada saat permintaan
terikat. Manajer produksi harus memanfaatkan informasi permintaan ketika
informasi ini diketahui, daripada mengasumsikan permintaan tetap.
Pendekatan dengan teknik ini menggunakan persamaan sebagai berikut.
19


=

........................................... (1)

Dimana Q = ukuran lot yang akan dipesan,


D = kebutuhan pertahun,
S = biaya pemesanan pemesanan per order, dan
H = biaya penyimpanan per unit per tahun.

3. Teknik Part Period Balancing (PPB)


Teknik ini merupakan pendekatan yang lebih dinamis untuk
menyeimbangkan biaya setup dan penyimpanan. PPB menggunakan
informasi tambahan dengan mengubah ukuran lot untuk menggambarkan
kebutuhan ukuran lot berikutnya di masa yang akan datang. PPB mencoba
menyeimbangkan biaya setup dan penyimpanan untuk permintaan yang
diketahui. Penyeimbangan sebagian periode membuat sebuah economic part
period (EPP) atau sebagian periode ekonomis, yang merupakan
perbandingan antara biaya setup dengan biaya penyimpanan.
Sebagai contoh, jika biaya setup adalah Rp. 100,- dan biaya
penyimpanan adalah Rp. 1,- maka EPP adalah 100 unit. Oleh karena itu,
menyimpan 100 unit untuk satu periode akan menghabiskan biaya Rp. 100,-
sama seperti satu biaya setup. Dengan cara yang sama, menyimpan 50 unit
untuk dua periode juga akan menghabiskan biaya Rp. 100,- (2 periode x
Rp.1,- x 50 unit). PPB hanya menambahkan kebutuhan hingga banyaknya
periode bagian akan mendekati nilai EPP yaitu 100 unit.

2.6. Peramalan Penjualan

Peramalan merupakan seni dan ilmu memprediksi kejadian di masa


depan. Peramalan dapat berupa peramalan ekonomi, peramalan teknologi,
dan peramalan permintaan atau disebut juga peramalan penjualan.
Peramalan penjualan meramalkan penjualan suatu perusahaan pada setiap
periode dalam horizon waktu. Peramalan penjualan dapat digunakan sebagai
dasar penyusunan MPS atau jadwal induk produksi (Heizer dan Render,
2005).
20

Heizer dan Render (2005) menyebutkan tujuah langkah utama dalam


melakukan peramalan, yaitu sebagai berikut.
1. Menetapkan tujuan peramalan
2. Memilih unsur apa yang akan diramal
3. Menentukan horizon waktu peramalan
4. Memilih tipe model peramalan
5. Mengumpulkan data yang diperlukan untuk melakukan peramalan
6. Membuat peramalan
7. Memvalidasi dan menerapkan hasil peramalan
Ishak (2010) mengemukakan bahwa jenis peramalan dibedakan
menjadi peramalan kualitatif dan kuantitatif berdasarkan sifatnya.
Peramalan kualitatif merupakan peramalan yang dilakukan berdasarkan atas
kualitatif pada masa lalu, dan sangat bergantung pada orang yang
menyusunnya karena disusun berdasarkan pemikiran yang bersifat intuisi,
judgment, atau pendapat, pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan metode
kuantitatif dibedakan atas metode time series dan metode kausal. Dalam
penelitian ini metode peramalan yang digunakan adalah time series yang
dijelaskan sebagai berikut.
1. Linear Trend Analysis
Bentuk persamaan umum dari peramalan tren linier ini adalah
Yt = a + bt ................................................................................ (2)
Dimana
Yt = nilai peramalan pada periode ke-t
t = waktu/periode
dengan menggunakan metode kuadrat terkecil maka harga konstanta a
dan b dapat diperoleh dari persamaan berikut:


∑  ∑ ∑ 
b=

∑  ∑ 
......................................... (3)


∑   ∑
a=

.......................................... (4)
21

2. Quadratic Trend Analysis


Metode peramalan ini memiliki bentuk persamaan sebagai berikut:
Yt = aebt
Dengan menggunakan transformasi logaritma natural maka harga
konstanta a dan b diperoleh dari persamaan berikut:


∑ 
 ∑ ∑ 

b=

∑  ∑ 
............................ (5)


∑ 
  ∑
ln a =

.................................. (6)

3. Moving Average
Moving average pada suatu periode merupakan peramalan untuk satu
periode ke depan dari periode rata-rata tersebut. Persoalan yang timbul
dalam penggunaan metode ini adalah dalam menentukan nilai t (periode
perata-rataan). Semakin besar nilai t maka peramalan yang dihasilkan
akan semakin menjauhi pola data. Secara matematis, rumus fungsi
peramalan metode ini adalah:

 ⋯ 


F  =
!
....................... (7)

Dimana
Xt = data pengamatan periode t
N = jumlah deret waktu yang digunakan
Ft+1 = nilai peramalan periode t+1

4. Single Exponential Smoothing


Pengertian dasar metode ini adalah nilai ramalan pada periode t+1
merupakan nilai peramalan pada periode t ditambah dengan
penyesuaian yang berasal dari kesalahan nilai ramalan yang terjadi pada
periode t tersebut. Nilai peramalan dapat dicari dengan menggunakan
rumus berikut:

F  = α. X + 1−∝F .............................. (8)


22

Dimana
Xt = data permintaan pada periode t
α = faktor/konstanta pemulusan
Ft+1 = peramalan untuk periode t

5. Double Exponential Smoothing


Metode ini terbagi atas satu parameter dan dua parameter. Metode
dengan satu parameter, atau disebut juga dengan metode linear Brown,
merupakan metode yang hampir sama dengan metode moving average,
disesuaikan dengan menambahkan satu parameter. Metode dengan dua
parameter atau disebut juga metode Holt merupakan metode double
exponential smoothing dengan tren linier yang mengandung konstanta α
dan β.
Menghitung kesalahan peramalan penting dilakukan ketika
melakukan peramalan. Kesalahan peramalan mengatakan seberapa baik
kinerja suatu model dibandingkan dengan model itu sendiri dengan
menggunakan data masa lalu. Ada beberapa perhitungan yang dapat
digunakan untuk menghitung kesalahan peramalan sebagai berikut (Heizer
dan Render 2005).
1. Mean Absolute Deviation (MAD)
MAD merupakan ukuran kesalahan peramalan keseluruhan untuk
sebuah model. MAD dapat digambarkan dengan persamaan yang
ditunjukkan sebagai berikut, dimana n adalah jumlah periode data.

∑|-. /-012-3--
|
MAD = 4
.......................... (9)

2. Mean Squared Error (MSE)


MSE merupakan rata-rata selisih kuadrat antara nilai yang diramalkan
dengan yang diamati, dengan rumus sebagai berikut:

∑.17--8-
012-3--

MSE = 4
....................... (10)
23

3. Mean Absolute Percent Error (MAPE)


MAPE merupakan rata-rata diferensiasi absolut antara nilai peramalan
dan aktual, yang dinyatakan sebagai persentase nilai absolut. MAPE
dihitung sebagai:
:: ∑=
;>|-. /-; 2-3--
; |/-. /-;
MAPE = 4
................. (11)

2.7. Pemrograman Linier

Linear programming (LP) ditemukan oleh George Dantzig tahun


1947. Teknik analisis ini berkembang secara menakjubkan dan mampu
memecahkan berbagai masalah (problem solving) yang terdapat dalam
kehidupan nyata. George Dantzig adalah orang pertama yang
memformulasikan general LP kemudian mengembangkannya dalam bentuk
metode simpleks. Sejak tahun 1940-an, LP yang semula digunakan untuk
kalangan militer, kemudian digunakan secara luas di berbagai sektor
kehidupan, misalnya transportasi, ekonomi, industri, dan pertanian bahkan
dalam ilmu sosial yang menyangkut perilaku manusia (Prawirosentono,
2005).
Heizer dan Render (2005) menyatakan bahwa pemrograman linier
atau linear programming merupakan suatu teknik matematik yang didesain
untuk membantu para manajer operasi dalam merencanakan dan membuat
keputusan yang diperlukan untuk mengalokasikan sumber daya. Sedangkan
menurut Supranto (2005), linear programming adalah salah satu teknik dari
riset operasi untuk memecahkan persoalan optimasi (maksimisasi dan
minimisasi) dengan menggunakan persamaan dan ketidaksamaan linier
dalam rangka untuk mencari pemecahan yang optimal dengan
memperhatikan pembatasan-pembatasan yang ada.
Aminudin (2005) mendefinisikan bahwa program linier merupakan
model matematik untuk mendapatkan alternatif penggunaan terbaik atas
sumber-sumber organisasi. Program linier adalah suatu teknik perencanaan
yang bersifat analitis yang analisnya menggunakan model matematis,
dengan tujuan menemukan beberapa kombinasi alternatif pemecahan
optimum terhadap persoalan.
24

Pada dasarnya, model pemrograman linier dinyatakan dalam bentuk


fungsi tujuan dan fungsi batasan (kendala, constraints). Dalam fungsi tujuan
harus dijelaskan apakah tujuannya memaksimumkan atau meminimalkan
variabel. Fungsi batasan menggambarkan batasan/kendala yang dihadapi
dalam mencapai tujuan (Herjanto, 2003).
Tujuan dan batasan dalam permasalahan LP harus dinyatakan dalam
hubungan dengan pertidaksamaan atau persamaan linier. Menurut Supranto
(2005), suatu persoalan dapat dipecahkan dengan teknik LP jika persoalan
tersebut memenuhi syarat berikut:
1. Fungsi objektif harus didefinisikan secara jelas dan dinyatakan sebagai
fungsi objektif linier.
2. Harus ada alternatif pemecahan untuk dipilih salah satu yang terbaik.
3. Sumber-sumber dan aktifitas mempunyai sifat dapat ditambahkan
(additivity).
4. Fungsi objektif dan ketidaksamaan untuk menunjukkan adanya
pembatasan harus linier.
5. Variabel keputusan harus positif, tidak boleh negatif (xj ≥ 0, untuk
semua j).
6. Sumber-sumber dan aktivitas mempunyai sifat dapat dibagi
(divisibility).
7. Sumber-sumber dan aktivitas mempunyai jumlah yang terbatas
(finiteness).
8. Aktivitas harus proporsional terhadap sumber-sumber. Hal ini berarti
ada hubungan yang linier antara aktivitas dengan sumber-sumber.
9. Model pemrograman deterministik, artinya sumber dan aktivitas
diketahui secara pasti (single valued expectations).
Menurut Aminudin (2005), asumsi-asumsi yang menjadi dasar
pemrograman linier yaitu:
1. Proportionality
Naik turunnya nilai Z dan penggunaan sumber atau fasilitas yang
tersedia akan berubah secara sebanding dengan perubahan tingkat
kegiatan.
25

2. Additivity
Nilai tujuan tiap kegiatan tidak saling mempengaruhi, atau dalam
program linier dianggap bahwa kenaikan suatu kegiatan tidak akan
mempengaruhi bagian nilai Z yang diperoleh dari kegiatan lain.
3. Divisibility
Keluaran yang dihasilkan oleh setiap kegiatan dapat berupa bilangan
pecahan.
4. Deterministic
Semua parameter (aij, bj, cj) yang terdapat pada program linier dapat
diperkirakan dengan pasti, meskipun dalam kenyataannya tidak sama
persis.
Permasalahan dalam pemrograman linier dapat digambarkan dalam
model matematika sebagai berikut (Herjanto, 2003):
Fungsi tujuan:
Memaksimumkan (meminimumkan)
Z = c1X1 + c2X2 + … + cnXn ................................... (12)
Dengan pembatasan (dp):
a11X1 + a12X2 + … + a1nXn ≤ b1 ........................... (13)
a21X1 + a22X2 + … + a2nXn ≤ b2 ............................ (14)
: : :
am1X1 + am2X2 + … + amnXn ≤ bm ............................... (15)
dan
Xj ≥ 0 (j = 1,2,…, n) ..................................................... (16)

Keterangan :

i = Nomor sumber atau faslitas yang tersedia (i = 1,2,…,m)


j = Nomor kegiatan yang menggunakan sumber yang tersedia
(j= 1,2,…, n)
m = Jumlah sumber yang tersedia
n = Jumlah kegiatan
Z = Nilai optimal dari fungsi tujuan
Xj = Jenis kegiatan (variabel keputusan)
aij = Banyaknya sumber i yang diperlukan untuk menghasilkan
setiap unit kegiatan j
bi = Banyaknya sumber i yang tersedia
cj = Kenaikan nilai Z apabila ada pertambahan satu unit
kegiatan j
26

2.8. Total Biaya Persediaan Bahan Baku

Total biaya persediaan bahan baku terdiri dari biaya pemesanan,


biaya setup dan penyimpanan. Menurut Haming dan Nurnajamuddin (2007)
biaya pemesanan meliputi biaya menunggu permintaan pembelian,
penyampaian pesanan pembelian, dan yang berhubungan dengan biaya
akuntansi, serta biaya penerimaan dan pemeriksaan pesanan.
Biaya setup adalah biaya untuk menyiapkan mesin atau proses untuk
memproduksi sebuah pesanan. Biaya setup ini dihitung sebagai berikut:

?@ABA CDEFG = I ............................................ (17)
H

D = kebutuhan bahan per tahun


S = biaya pesanan per order
Q = unit yang dipesan per order

Biaya penyimpanan sering juga disebut dengan carrying cost, adalah


biaya atas sediaan yang terjadi yang terjadi sehubungan dengan
penyimpanan sejumlah sediaan tertentu dalam perusahaan. Biaya ini
mencakup biaya pemanasan ruangan, pendinginan ruang penyimpanan,
biaya penerangan, keamanan, sewa gudang, pemeliharaan sediaan,
kerusakan sediaan, serta kerugian karena perubahan harga, terbakar,
pencurian, bunga, premi asuransi, pajak, administrasi persediaan, dan biaya
penjaga gudang. Biaya penyimpanan umumnya dihitung dengan persen
tertentu terhadap harga sediaan, misalnya 15 persen atau 20 persen. Total
biaya penyimpanan dalam suatu periode dapat dihitung sebagai berikut:
 H
?@ABA GDJB@KGAJAJ = H I +  L ...................... (18)

H = biaya unit penyimpanan per tahun


Q = unit yang dipesan per order
D/Q = frekuensi pemesanan bahan
Q/2 = persediaan rata-rata yang dipelihara

2.9. Penelitian Terdahulu

Rasto (1996), melakukan rancang bangun sistem perencanaan


kebutuhan material untuk produk lemari pakaian Olympic Group, Bogor.
Menerapkan sistem MRP untuk merencakan kebutuhan kebutuhan
27

komponen lemari pakaian tipe LP-624, dan merancang struktur dari file-file
program yang selanjutnya diintregasikan dalam sistem manajemen database
interaktif untuk perencanaan kebutuhan material.
Rahmasari (2004), merencanakan pengendalian persediaan bahan
baku kimia di PT Dankos Laboratories Tbk., untuk empat macam bahan
baku di perusahaan tersebut. Alternatif pengendalian bahan baku yang
diusulkan adalah metode MRP lot for lot karena menghasilkan biaya
persediaan yang paling rendah atau mencapai penghematan yang paling
besar. Hal ini disebabkan karena teknik ini hanya memesan bahan baku
sesuai dengan kebutuhan tanpa persediaan pengaman sehingga
menimumkan jumlah persediaan di gudang. Selain itu juga cocok untuk
digunakan atau diterapkan untuk bahan baku yang harganya mahal, salah
satunya bahan baku kimia pada perusahaan farmasi.
Dianita Rahmawati Zein (2004), melakukan kajian pengendalian dan
pengadaan bahan baku pada PT Petrokimia Gresik. Pemakaian bahan baku
untuk produk pupuk SP-36 menggunakan metode FIFO. Alternatif metode
pengendalian dan pengadaan bahan baku yang dapat dipilih adalah untuk
bahan baku phosphate rock, asam fosfat, dan asam sulfat dapat
menggunakan metode Material Requirement Planning dengan teknik lot
sizing PPB (Part Period Balancing).
28

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Proses produksi merupakan kegiatan inti dari perusahaan yang


memproduksi barang untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Dalam proses
produksi, ketepatan pengadaaan bahan baku sangat penting karena
berpengaruh langsung pada pemenuhan kebutuhan konsumen. Sistem
pengadaan bahan baku yang tepat dan berbiaya minimum sangat penting
untuk diterapkan dalam suatu perusahaan berbasis manufaktur untuk
menunjang kelancaran proses produksi.
Kegiatan usaha perlu didasari oleh suatu perencanaan, terutama yang
berkaitan langsung dengan proses produksi yang merupakan kegiatan inti
proses bisnis yang dijalankan. Perencanaan produksi salah satunya dapat
dilakukan berdasarkan permintaan oleh konsumen ataupun melalui sejumlah
perhitungan tertentu untuk mengetahui proyeksi kebutuhan produksi di
masa yang akan datang.
Perencanaan produksi selanjutnya diikuti dengan perencanaan
kebutuhan material atau bahan baku sebagai bentuk perencanaan yang lebih
terperinci dan jelas. Perencanaan kebutuhan bahan baku disusun
menggunakan tiga macam input utama yaitu Bill of Material, Master
Production Schedule dan Inventory Record. Dengan adanya ketiga input
tersebut proses perencanaan kebutuhan bahan baku dapat dilakukan dan
menghasilkan jadwal pengadaan bahan baku sebagai luarannya.
Perencanaan bahan baku selanjutnya juga dapat digunakan sebagai masukan
dalam menyusun jadwal produksi jangka pendek.
Penerapan MRP dapat mendorong proses produksi yang lancar serta
tercapainya efisiensi produksi. Proses produksi yang lancar akan
menghasilkan delivery yang tepat waktu kepada konsumen, sedangkan
efisisensi akan mendorong penurunan biaya produksi. Pencapaian ini dapat
memberikan perusahaan tidak hanya peningkatan penjualan maupun
peningkatan keuntungan, tapi juga peningkatan daya saing. Kerangka
penelitian ini digambarkan pada Gambar 5.
29

3.2. Tahapan Penelitian

Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi sistem produksi dan


sistem pengadaan bahan baku yang dilakukan oleh perusahaan, kemudian
dilanjutkan dengan mengidentifikasi elemen-elemen yang menjadi input
dalam jadwal induk produksi, daftar material dan catatan persediaan.
Kemudian dengan mengetahui jadwal induk produksi, daftar
material, dan catatan persediaan, akan disusun rencana kebutuhan dengan
Material Requirement Planning. Jadwal induk produksi diperoleh dari
proses peramalan dengan menggunakan data historis pemesanan konsumen
sebagai inputnya. Teknik peramalan yang digunakan adalah Linear Trend
Analysis, Quadratic,Trend Analysis, Moving Average, Single Exponential
Smoothing, dan Double Exponential Smoothing. Hasil peramalan akan
dikombinasikan dengan kapasitas optimum produksi per bulan dikarenakan
adanya pesanan konsumen yang belum terpenuhi dari periode sebelumnya.
Kombinasi kapasitas optimum produksi per bulan diperoleh dengan
menggunakan teknik linear programming.
Teknik lot sizing dalam penyusunan MRP yang akan digunakan
sebanyak tiga macam yaitu teknik lot for lot, teknik Economic Order
Quantitiy (EOQ), dan teknik Part Period Balancing (PPB).
Penyusunan MRP akan menghasilkan output berupa jadwal
pemesanan bahan baku. Melalui jadwal pemesanan tersebut dapat dihitung
proyeksi total biaya bahan baku yang akan dikeluarkan, yang terdiri dari
biaya setup dan biaya penyimpanan. Hasil proyeksi total biaya bahan baku
dari ketiga teknik lot sizing akan dibandingkan dan dipilih yang paling
sesuai untuk diterapkan pada kegiatan usaha. Tahapan penelitian
digambarkan dalam Gambar 4.
30

Gambar 4. Kerangka Pemikiran


31

Gambar 5. Alur Tahapan Penelitian


32

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan dimulai pada bulan
Maret hingga Mei 2010. Lokasi penelitian bertempat di sentra produksi kain
songket Dekranasda Tengku Agung Pekanbaru.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer berberasal dari wawancara secara mendalam dan observasi
langsung. Data sekunder didapatkan melalui studi literatur buku dan artikel
elektronik serta data dari perusahaan sendiri, khususnya dari bagian
produksi.
3.5. Pengolahan dan Analisis Data
3.5.1. Peramalan Penjualan
• Linear Trend Analysis
• Quadratic Trend Analysis
• Moving Average
• Single Exponential Smoothing
• Double Exponential Smoothing
3.5.2. Lot Sizing
1. Teknik Lot for lot
2. Teknik Economic Order Quantitiy (EOQ)
3. Teknik Part Period Balancing (PPB)
3.5.3. Analisis Biaya Bahan Baku
1. Biaya Set-up
2. Biaya Penyimpanan
33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Profil Kegiatan Usaha

4.1.1. Sejarah Berdiri

Industri kecil tenun Tengku Agung Pekanbaru merupakan unit usaha


yang dimiliki dan dijalankan oleh Dekranasda Kota Pekanbaru. Dekranasda
kota Pekanbaru merupakan unit organisasi daerah dari Dekranas (Dewan
Kerajinan Nasional) yang berkantor pusat di Jakarta Selatan. Dekranas
dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama dua Menteri, yaitu Menteri
Perindustrian dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nomor
85/M/SK/3/1980 dan Nomor 072b/P/1980 tanggal 3 Maret 1980 di Jakarta.
Didirikannya lembaga Dekranas dilandasi kesadaran akan kelangsungan
hidup dari usaha kerajinan yang menopang kehidupan berjuta-juta keluarga
di Indonesia. Usaha kerajinan juga dipandang sebagai keberadaan yang
dihadapkan pada kemajuan teknologi industri di satu sisi dan pelestarian
nilai budaya bangsa yang harus selalu tercermin di sisi lainnya.
Pada tanggal 15 Desember 1981 dibentuklah organisasi Dekranas
tingkat daerah atau yang dikenal dengan Dekranasda, yang bertujuan untuk
mendukung kelancaran kegiatan Dekranas di tingkat daerah berdasarkan
Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 537/5038/Sospol. Kepengurusan
Dekranasda dikukuhkan oleh Ketua Umum Dekranas atas usulan daerah.
Dekranasda Propinsi Riau memiliki tujuan untuk menambah khazanah
produk kerajinan daerahnya, yaitu dengan melakukan pembinaan kerajinan
yang memiliki potensi besar antara lain Batik Tabir dan Tenun Songket
Melayu.
Dekranasda Propinsi Riau memiliki beberapa organisasi Dekranasda
pemerintah kota yang salah satunya adalah Dekranasda Kota Pekanbaru,
selain Dekranasda Kota Dumai, Dekranasda Kota Duri, dan Dekranasda
kota-kota lainnya. Dekranasda Propinsi Riau bertempat di Jl. Sisimangaraja
No. 140 Pekanbaru, sedangkan Dekranasda Kota Pekanbaru bertempat Jl.
Durian Tengku Agung Pekanbaru.
34

Dekranasda Tengku Kota Pekanbaru merupakan organisasi Dekranas


yang berada di tingkat daerah yang bernaung di bawah Dinas Perindustrian
dan Perdagangan kota Pekanbaru. Dekranasda Tengku Agung Pekanbaru
diresmikan pertama kali pada tahun 2002 pada masa ibu Evi Meiroza
sebagai istri Walikota saat itu. Berdirinya Dekranasda yang diprakarsai oleh
Ibu Walikota ini berawal dari banyaknya hasil kerajinan yang telah banyak
dihasilkan oleh para pengrajin lokal terutama kain tenun songket siak.
Untuk menampung hasil-hasil kerajinan tersebut didirikanlah Dekranasda
yang kemudian semakin berkembang tidak hanya untuk menampung hasil
kerajinan namun juga menjadi sentra produksi kain songket di kota
Pekanbaru.

4.1.2. Visi dan Misi

Visi Dekranasda Kota Pekanbaru adalah untuk memakmurkan


pengrajin tenun songket Siak. Sedangkan misi yang ingin dicapai
Dekranasda Kota Pekanbaru adalah sebagai berikut:
1. Melestarikan warisan budaya Riau
2. Melindungi industri kerajinan dalam kompetisi global
3. Memperluas pemasaran produk kerajinan daerah agar menembus pasar
dunia
4. Ikut menentukan kebijakan dalam pembinaan dan pengembangan
industri kerajinan di daerah
5. Mengembangkan produk kerajinan yang menggunakan bahan baku
lokal
6. Mengembangkan industri kerajinan yang ramah lingkungan

4.1.3. Maksud dan Tujuan

Maksud dari kegiatan Dekranasda Kota Pekanbaru adalah membina


usaha kerajinan yang merupakan lapangan kerja yang perlu digiatkan
sebagai sumber pendapatan dalam upaya membantu dan menumbuh-
kembangkan golongan ekonomi lemah. Tujuan ataupun sasaran yang ingin
dicapai Dekranasda Kota Pekanbaru adalah sebagai berikut:
35

1. Mempertahankan keberadaan dan meningkatkan nilai ekonomi industri


kerajinan sebagai cerminan budaya daerah
2. Memberikan perlindungan terhadap desain dan motif daerah
3. Meningkatkan daya saing produk kerajinan lokal
4. Mempertahankan pasar produk kerajinan yang telah ada
5. Mencari peluang pasar baru
6. Mendorong kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan
kerajinan agar sesuai dengan pengusaha kerajinan dan realitas di
lapangan
7. Mengupayakan pertumbuhan produk kerajinan yang menggunakan
bahan baku lokal dan ramah lingkungan

4.1.4. Gambaran Umum Kegiatan Usaha

Dekranasda Tengku Agung memproduksi berbagai macam kerajinan


khas Riau yang berbahan dasar kain tenun. Produk-produk kerajinan
tersebut antara lain sarung bapak, sarung ibu, selendang, baju pengantin,
bahan blazer, kaligrafi, gambar dinding, sepatu, kotak tisu, dasi, dan banyak
produk kerajinan lainnya. Produk yang paling tinggi tingkat permintaannya
adalah sarung bapak, sarung ibu, selendang dan bahan blazer.
Sarung bapak merupakan sebutan lain dari kain songket yang
digunakan oleh laki-laki, begitu juga dengan sarung ibu, adalah kain
songket yang digunakan oleh wanita. Kain songket untuk wanita biasanya
digunakan bersama dengan selendang bermotif senada, walaupun banyak
juga kaum ibu yang menggunakannya secara terpisah.
Konsumen yang memesan songket biasanya menggunakannya pada
kesempatan pesta, acara adat, dan acara-acara resmi lainnya. Konsumen
juga sering memesan satu set kain songket yang terdiri dari satu helai sarung
bapak, satu helai sarung ibu, dan satu helai selendang dengan motif dan
warna yang senada.
Bahan blazer biasa digunakan oleh pegawai pemerintahan sebagai
seragam dinas setiap hari Kamis. Penggunaan kain berbahan tenun sebagai
seragam dinas merupakan kebijakan yang mulai diterapkan oleh pemerintah
Kota Pekanbaru sejak Maret 2010.
36

Konsumen produk-produk kerajinan Dekranasda sebagian besar


adalah pegawai negeri dan instansi pemerintah. Sejak beberapa tahun lalu
pemerintah kota Pekanbaru mulai menerapkan kebijakan untuk memakai
songket tenun pada hari-hari dan kesempatan tertentu. Antara lain memakai
songket pada peringatan hari jadi kota Pekanbaru, memakai teluk belanga
dan sarung setiap hari Jumat (untuk laki-laki), memakai songket pada hari
KORPRI, dan kebijakan yang paling baru yaitu memakai blazer berbahan
tenun sebagai seragam dinas setiap hari Kamis. Sejak diberlakukannya
kebijakan-kebijakan tersebut, permintaan akan produk kerajinan Dekransda
semakin meningkat, terutama untuk produk songket bapak, songket ibu,
selendang, dan bahan blazer.
Proses pembuatan satu lembar kain songket menghabiskan waktu
kurang lebih 7 hari, yang dimulai dari proses mengelos, menghani,
menyucuk, menyetel, dan menenun. Proses pembuatan songket tersebut
dijelaskan sebagai berikut.
1. Mengelos
Proses mengelos adalah menggulung benang dari gulungan biasa ketika
benang tersebut dibeli menjadi gulungan baru yang telah dirapikan. Proses
ini memakan waktu agak lama, yaitu 1 kg benang selama 1 hari oleh satu
orang. Proses mengelos bisa menjadi lama karena keterbatasan alat.
2. Menghani
Menghani adalah menyusun benang sehingga sesuai dengan lebar dan
panjang kain yang diinginkan. Lebar kain biasanya berkisar antara 110
hingga 115 cm, sedangkan panjang kain bervariasi sesuai jenis kain yang
diproduksi. Kain songket bapak dan ibu memiliki panjang 2 hingga 2,5 m,
sedangkan untuk bahan baju pengantin dan blazer memiliki panjang 2 m.
Proses menghani menghabiskan waktu sekitar 4 jam.
3. Menyucuk
Proses menyucuk adalah memasukkan benang satu per satu ke dalam
bagian mesin tenun yang disebut gun dan kemudian memasukkannya ke
dalam bagian mesin yang disebut sisir. Proses ini memakan waktu 3 hingga
37

4 hari. Jumlah benang yang dimasukkan berkisar dari 2.000 hingga 4.000
helai.
4. Menyetel
Proses menyetel dimaksudkan untuk menyesuaikan posisi mesin
dengan kain yang akan diproduksi. Proses menyetel membutuhkan waktu 3
hingga 4 jam tergantung pada keterampilan pengrajin yang melakukannya.
5. Menenun
Proses menenun merupakan tahap terakhir dari pembuatan kain tenun
songket dan paling banyak membutuhkan keterampilan dan kesabaran dari
pengrajin. Lamanya proses ini bergantung pada panjang kain yang
diproduksi dan jenis motif yang diminta. Semakin rumit motifnya maka
semakin lama proses menenun ini dilakukan. Rata-rata proses menenun
menghabiskan waktu antara 5 hingga 7 hari.
Secara umum, waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi satu unit
produk berbeda-beda untuk setiap produknya. Lama proses produksi untuk
setiap produksi ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Lama Proses Produksi setiap Produk


No. Jenis Produk Lama Proses Produksi
1. Sarung Bapak 07 hari
2. Sarung Ibu 07 hari
3. Selendang 07 hari
4. Bahan Blazer 05 hari

Produksi satu unit sarung bapak, sarung ibu dan selendang masing-
masing membutuhkan waktu 7 hari. Namun jika konsumen memesan satu
unit set, yang terdiri dari satu unit sarung bapak, sarung ibu dan selendang,
konsumen harus menunggu selama 15 hari hingga pesanannya selesai. Hal
ini dikarenakan pengrajin yang menenun set harus pengrajin yang sama
untuk menjamin produk yang dihasilkan memilki sentuhan motif yang sama.
Proses pengadaan bahan baku yang dilakukan Dekranasda tidak
berdasarkan pada perhitungan maupun teknik tertentu. Pemesanan bahan
baku hanya dilakukan ketika persediaan bahan baku di tempat produksi
hanya kira-kira cukup untuk memproduksi satu lembar kain songket. Cara
ini masih terbilang efektif karena bahan baku benang katun dan benang
38

bordir selalu tersedia secara stabil di pasar. Lain halnya dengan benang
emas dimana terkadang Dekranasda kehabisan persediaan dan belum bisa
mendatangkannya dari pasar karena sedang tidak tersedia.

4.2. Bahan Baku Produk

Bahan baku utama pembuatan kain tenun adalah benang, yang terdiri
dari benang bordir, benang katun, dan benang emas. Pemakaian ketiga
macam benang tersebut bervariasi tergantung pada jenis produk yang
dihasilkan. Untuk produk sarung bapak, sarung ibu, dan selendang, bahan
baku yang digunakan adalah ketiga macam benang yaitu benang bordir,
benang katun, dan benang emas. Sedangkan untuk produk bahan blazer
bahan yang digunakan adalah benang bordir saja. Jenis produk dan jenis
benang yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Jenis Bahan Baku Setiap Produk

No. Jenis Produk Bahan Baku


Benang katun
1. Sarung Bapak Benang bordir
Benang emas
Benang katun
2. Sarung Ibu Benang bordir
Benang emas
Benang katun
3. Selendang Benang bordir
Benang emas
4. Bahan Blazer Benang bordir

Benang bordir dan benang katun didatangkan dari luar kota


Pekanbaru, yaitu dari Surabaya dan Bandung. Pengelola usaha tenun
Dekranasda telah menjalin suatu kerjasama dengan para supplier di kedua
kota tersebut sehingga setiap kebutuhan bahan dapat diproses dengan mudah.
Benang emas merupakan produk impor dari Singapura namun sudah ada
toko yang menjualnya di dalam kota Pekanbaru. Karena merupakan produk
impor, ketersediaan benang emas di pasar terkadang tidak menentu bahkan
pernah kosong. Selain itu, harga benang emas bergantung pada kurs Dollar
saat itu, atau dengan kata lain memiliki harga yang berfluktuasi. Pengelola
usaha tenun biasanya mengantisipasi kekosongan suplai benang emas
39

dengan terlebih dahulu memberitahu kepada pemesan bahwa ada


kemungkinan terjadi keterlambatan pemenuhan pesanan sehingga
diharapkan pemesan tidak kecewa nantinya.
Benang bordir didatangkan dengan bantuan jasa pengiriman darat,
dan menghabiskan watu sekitar 5 hari. Benang katun juga didatangkan
menggunakan jasa yang sama, dan menghabiskan waktu sekitar 4 hari.
Pengadaan benang emas hanya membutuhkan angkutan sekitar dan jika
sedang tersedia di pasar maka dapat didatangkan pada hari itu juga.
Banyaknya kebutuhan benang untuk memproduksi sarung bapak,
sarung ibu dan selendang dihitung dari total kebutuhan benang untuk
meproduksi satu unit set. Memproduksi satu set songket dibutuhkan 0,267
kg benang katun, 1 gulung benang bordir dan 2 kotak benang emas. Bagian
untuk sarung ibu adalah 1/2, untuk sarung bapak adalah 2/5 dan untuk
selendang 1/10 bagian. Sarung bapak dan selendang sering diproduksi
secara bersamaan dalam satu proses penenunan. Untuk memproduksi bahan
blazer, bahan baku yang dibutuhkan hanya benang bordir, yaitu sebanyak 3
gulung (biasanya dengan 2 kombinasi warna berbeda).
Benang bordir dibeli dengan satuan gulung dengan bobot 150 gram
tiap gulungnya. Benang katun dibeli dalam satuan kg, sedangkan benang
emas dibeli dalam satuan kotak. Harga benang bordir adalah Rp. 20.000,-
per gulung, benang katun Rp. 130.000,- per kilogram, dan benang emas Rp.
140.000,- per kotak. Jumlah kebutuhan bahan baku dinyatakan dalam
bentuk kilogram, gulung dan kotak, sebagaimana yang ditunjukkan pada
Tabel 5.

4.3. Komponen MRP

4.3.1. Bill of Material (BOM)

BOM disusun untuk empat jenis produk yang paling sering


diproduksi dengan tingkat permintaan yang paling tinggi, yaitu sarung
bapak, sarung ibu, selendang, dan bahan blazer. Struktur produk yang
disusun terdiri atas 3 level, yaitu level 0, level 1, dan level 2. Level 0
40

merupakan produk akhir yang ingin dihasilkan yaitu keempat macam tenun
songket.

Tabel 5. Kebutuhan Bahan Baku 1


Jumlah Kebutuhan untuk Memproduksi
Jenis Bahan Baku
Satu Unit Produk
Jumlah Satuan
Jenis Produk: Sarung Bapak
Benang katun 0,1067 kg
Benang bordir 0,4000 gulung
Benang emas 0,4000 kotak
Jenis Produk: Sarung Ibu
Benang katun 0,1333 kg
Benang bordir 0,5000 gulung
Benang emas 0,5000 kotak
Jenis Produk: Selendang
Benang katun 0,0267 kg
Benang bordir 0,1000 gulung
Benang emas 0,1000 kotak
Jenis Produk: Bahan Blazer
Benang bordir 3 kotak

1. BOM Level 2
Struktur produk pada level 2 merupakan jumlah kebutuhan benang
sesuai dengan satuan pembelian. Benang katun menggunakan satuan
kilogram, benang bordir menggunakan satuan gulung, dan benang emas
menggunakan satuan kotak. Lead time untuk setiap jenis bahan pada
level ini merupakan jangka waktu yang dibutuhkan dari pemesanan
dilakukan hingga benang tiba di tempat produksi, sebagaimana yang
ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Lead Time Komponen pada Level 2


Jenis Benang Asal Pemasok Lead Time
Benang Katun Bandung 4 hari
Benang Bordir Surabaya 5 hari
Benang Emas Pekanbaru 1 hari

2. BOM Level 1
Benang yang sudah dibeli harus diubah menjadi gulungan baru yang
disebut klos. Benang yang sudah diubah menjadi klos sudah dapat
digunakan untuk memproduksi kain songket dengan menggunakan
41

mesin. Jumlah kebutuhan benang pada level ini sama dengan level 2,
hanya saja menggunakan satuan yang baru. Satu kilogram benang katun
setara dengan 15 klos, satu gulung benang bordir setara dengan 2,25
klos, dan satu kotak benang emas setara dengan 1,5 klos. Lead time
untuk setiap jenis bahan pada level ini merupakan waktu yang
dibutuhkan untuk mengubah benang menjadi gulungan baru. Kecepatan
proses mengubah gulungan adalah 1 kilogram per orang per hari kerja
(1 hari kerja adalah 8 jam). Dekranasda hanya memiliki 1 orang
karyawan yang melakukan proses ini.
Lama waktu yang dibutuhkan untuk mengubah gulungan untuk
masing-masing jenis benang dihitung berdasarkan kecepatan proses
pengubahan gulungan yaitu 1 kg per hari kerja (8 jam). Melalui informasi
tersebut dapat lamanya proses pengubahan gulungan dengan cara membagi
jumlah kebutuhan benang dengan kecepatan proses pengubahan gulungan.
Hasil perhitungan dinyatakan satuan waktu jam sebagaimana ditunjukkan
pada Tabel 7.

Tabel 7. Lama Proses Pengubahan Gulungan pada Level 1


Lama Proses (jam)
Jenis Bahan Sarung Sarung Bahan
Selendang
Bapak Ibu Blazer
Klos Katun 0,8536 1,0664 0,2136 -
Klos Bordir 0,4800 0,6000 0,1200 3,6
Klos Emas 0,3200 0,0040 0,0080 -

Lead time komponen pada level 1 merupakan waktu yang


dibutuhkan untuk mengubah gulungan untuk masing-masing jenis benang.
Sebagaimana tertera pada Tabel 7, waktu yang dibutuhkan dinyatakan
dalam satuan jam. Namun pada praktek yang sesungguhnya proses
mengubah gulungan benang harus dilakukan satu hari sebelumnya karena
adanya keterbatasan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Karena itu lead time
komponen pada level 1 adalah satu hari, sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 8.
42

Tabel 8. Lead Time Komponen pada Level 1


Jenis Komponen Lead Time
Klos Katun 1 hari
Klos Bordir 1 hari
Klos Emas 1 hari

Struktur produk atau BOM untuk setiap produk disajikan lengkap


pada Gambar 6 beserta dengan lead time untuk masing-masing bahan di
setiap level. BOM untuk setiap produk tidak dibedakan berdasarkan warna
benang dan motif karena didasarkan pada mekanisme penerimaan pesanan
yang dilakukan Dekranasda.
Setiap konsumen memesan produk tenun dengan permintaan motif
dan warna benang yang berbeda, namun Dekranasda sudah terlebih dahulu
memberikan pembatasan untuk kemungkinan beragam permintaan motif
dan warna tersebut. Motif-motif yang ditawarkan adalah motif-motif yang
telah tesedia sehingga konsumen hanya perlu memilih salah satunya sesuai
dengan selera. Untuk pemilihan warna, konsumen akan diberitahukan
terlebih dahulu persediaan warna benang yang tersedia. Jika warna benang
yang tersedia cocok dengan warna yang diinginkan konsumen, maka
pesanan dapat langsung diproses. Sebaliknya jika warna yang diinginkan
sedang tidak ada, Dekranasda memberikan dua pilihan, mengganti dengan
warna lain yang tersedia, atau konsumen dapat membatalkan pesanannya.

4.3.2. Peramalan Penjualan

Jadwal induk produksi atau master production schedule didapatkan


dari proses peramalan berdasarkan data pemesanan produk oleh konsumen
yang tersedia terhitung Januari 2006 hingga April 2010 atau selama 52
periode. Peramalan permintaan disusun untuk 8 periode selanjutnya yaitu
Mei hingga Desember 2010.
Sebelum melakukan proses peramalan terlebih dahulu perlu
diketahui apakah data yang tersedia mengandung pola musiman atau tidak
(siklis ataupun stasioner). Pola yang dimiliki oleh data akan mempengaruhi
cara melakukan peramalan.
43

Gambar 6. Bill of Material dari Empat Jenis Produk Tenun


44

Jika data mengandung pola musiman maka data dari 52 periode


tersebut harus diramalkan secara terpisah menurut kelompok-kelompok
musimnya. Jika data tidak mengandung pola musim maka peramalan
dilakukan dengan menggunakan keseluruhan data selama 52 periode tanpa
dipisahkan. Mendeteksi pola pada data dapat menggunakan analisis
autkorelasi sebagaimana yang disebutkan dalam Assauri (1984) bahwa jika:
1. Apabila semua nilai koefisien autokorelasi berada di dalam batas
kepercayaan atau tidak berbeda nyata dengan nol, maka data tersebut
memiliki pola random atau acak.
2. Apabila nilai koefisien autokorelasi pada beberapa time lag pertama
secara berurutan berbeda nyata dari nol maka data tersebut memiliki
pola tren.
3. Apabila nilai koefisien autokorelasi pada beberapa time lag yang
mempunyai jarak yang sistematis berbeda nyata dari nol maka data
tersebut memiliki pola musiman.
Analisis autokorelasi dilakukan pada keempat macam produk untuk
masing-masing tahun (tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009). Hasil analisis
autokorelasi menggunakan bantuan perangkat lunak Minitab 15.0
(Lampiran 2) menunjukkan bahwa data permintaan setiap produk per tahun
tidak menunjukkan adanya pola musiman. Hasil ini disebabkan fluktuasi
permintaan produk tenun bersifat acak setiap tahunnya. Pada setiap tahun di
beberapa periode tertentu memang terdapat kenaikan jumlah permintaan
misalnya menjelang hari Raya Idul Fitri, menjelang akhir tahun, dan
menjelang ditetapkannya kebijakan seragam dinas yang baru. Namun karena
kenaikan tersebut tidak terjadi pada saat yang sama setiap tahunnya, maka
tidak terdeteksi adanya pola musiman pada data permintaan konsumen
tenun Tengku Agung.
Berdasarkan hal tersebut maka peramalan yang dilakukan akan
menggunakan seluruh periode data yang tersedia yaitu Januari 2006 hingga
April 2010 dengan tidak memisah-misahkan data berdasarkan tahun. Teknik
peramalan yang digunakan yaitu Linear Trend Analysis, Quadratic Trend
Analysis, Moving Average, Single Exponential Smoothing, dan Double
45

Exponential Smoothing. Parameter kesalahan yang akan menjadi patokan


pemilihan teknik terbaik adalah MAD atau Mean Absolute Deviation karena
memiliki nilai kesalahan yang paling kecil dibandingkan parameter-
parameter kesalahan lainnya yaitu MAPE dan MSE (Lampiran 3).
Teknik yang memiliki nilai MAD terkecil untuk peramalan produk
sarung bapak adalah Quadratic Trend Analysis. Plot data dengan
menggunakan teknik ini ditunjukkan pada Gambar 7. Hasil peramalan
menunjukkan nilai yang konstan yaitu 2 unit (Tabel 9).

Trend Analysis Plot for Sarung Bapak


Quadratic Trend Model
Yt = 6.86018 - 0.131960*t + 0.000935333*t**2

14 Variable
Actual
Fits
12 Forecasts

Accuracy Measures
10
Sarung Bapak

MAPE 80.5134
MAD 2.6285
8 MSD 10.1901

1 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60
Index

Gambar 7. Plot Data Quadratic Trend Analisis untuk Sarung Bapak

Teknik yang memiliki nilai MAD terkecil untuk peramalan produk


sarung ibu adalah Quadratic Trend Analysis. Plot data dengan
menggunakan teknik ini ditunjukkan pada Gambar 8. Hasil peramalan juga
menunjukkan nilai yang konstan yaitu 2 unit (Tabel 9).
46

Trend Analysis Plot for Sarung Ibu


Quadratic Trend Model
Yt = 6.56335 - 0.134660*t + 0.00100079*t**2

12 Variable
A ctual
Fits
10 Forecasts

Accuracy Measures
8 MA PE 88.9600
Sarung Ibu

MA D 2.5981
MSD 9.2991
6

1 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60
Index

Gambar 8. Plot Data Quadratic Trend Analisis untuk Sarung Ibu

Teknik yang memiliki nilai MAD terkecil untuk peramalan produk


selendang juga adalah Quadratic Trend Analysis. Plot data dengan
menggunakan teknik ini ditunjukkan pada Gambar 9. Hasil peramalan juga
menunjukkan nilai yang konstan yaitu 2 unit (Tabel 9).

Trend Analysis Plot for Selendang


Quadratic Trend Model
Yt = 6.91312 - 0.151901*t + 0.00107478*t**2

12 Variable
A ctual
Fits
10 Forecasts

A ccuracy Measures
8 MA PE 81.7778
Selendang

MA D 2.4122
MSD 8.4866
6

1 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60
Index

Gambar 9. Plot Data Quadratic Trend Analisis untuk Selendang


47

Teknik yang memiliki nilai MAD terkecil untuk peramalan produk


bahan blazer adalah Single Exponential Smoothing. Plot data dengan
menggunakan teknik ini ditunjukkan pada Gambar 10. Hasil peramalan
menunjukkan bahwa permintaan akan produk bahan blazer masih cukup
tinggi yaitu 34 unit. Hasil peramalan untuk setiap produk dirangkum dalam
Tabel 9.

Single Exponential Smoothing Plot for Bahan Blazer


40 Variable
Actual
Fits
Forecasts
95.0% PI
30
Smoothing Constant
Alpha 0.935273
Bahan Blazer

Accuracy Measures
20 MAPE 76.5163
MAD 1.3394
MSD 19.9905

10

1 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60
Index

Gambar 10. Plot Data Quadratic Trend Analisis untuk Bahan Blazer

Tabel 9. Hasil Peramalan untuk Setiap Produk


Hasil Peramalan (unit)
Jenis Produk
Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Sarung Bapak 2 2 2 2 2 2 2 2
Sarung Ibu 2 2 2 2 2 2 2 2
Selendang 2 2 2 2 2 2 2 2
Bahan Blazer 34 34 34 34 34 34 34 34

4.3.3. Kapasitas Produksi Optimum

Jumlah unit proyeksi berdasarkan hasil peramalan digunakan sebagai


input dalam penyusunan jadwal induk produksi. Hasil peramalan dimulai
untuk jumlah produksi pada bulan Mei, namun pada bulan Mei hingga
pertengahan Juli masih terdapat pesanan pelanggan yang belum terpenuhi,
yaitu pesanan dari bulan Maret dan April.
48

Pada bulan Mei dan April Dekranasda mendapatkan pesanan produk


bahan blazer dalam jumlah yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan
pesanan rata-rata periode sebelumnya. Untuk memenuhi pesanan-pesanan
tersebut Dekranasda tidak menambah jumlah mesin ataupun tenaga kerjanya.
Karena itu, waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi pesanan dapat
mencapai dua bulan dari tanggal awal pemesanannya.
Adanya pesanan periode lalu yang belum terselesaikan (carry over)
menyebabkan penyusunan MPS harus mempertimbangkan berapa kapasitas
maksimun produksi setiap produk selama satu bulan agar dapat diketahui
berapa unit yang mampu diproduksi. Hal ini bertujuan agar proses produksi
dapat memenuhi baik target ramalan maupun pesanan pelanggan yang
belum terselesaikan. Kapasitas optimum produksi untuk keempat produk
dihitung menggunakan linear programming, dengan fungsi tujuan dan
fungsi kendala dijelaskan sebagai berikut.
Fungsi tujuan yang ingin dicapai adalah memaksimumkan
keuntungan yang dapat diperoleh dari kombianasi setiap produk.
Keuntungan yang diperoleh dari penjualan masing-masing jenis produk
dijelaskan sebagai berikut, dengan penghitungan biaya bahan baku secara
lengkap dijelaskan pada Lampiran 6.

Tabel 10. Keuntungan Per Unit untuk Setiap Produk


Biaya Bahan Upah Total Harga
Produk Baku
Keuntungan
Pengrajin Biaya Jual
Sarung Bapak 80.000 240.000 320.000 480.000 160.000
Sarung Ibu 100.000 300.000 400.000 600.000 200.000
Selendang 20.000 60.000 80.000 120.000 40.000
Bahan Blazer 60.000 190.000 250.000 400.000 150.000

Fungi kendala yang pertama adalah jam kerja yang tersedia selama
periode satu bulan. Jumlah waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi
semua jenis produk harus lebih kecil daripada total jam kerja tersebut.
Dalam satu minggu terdapat enam hari kerja dan satu hari kerja adalah 8
jam. Untuk memproduksi X1, X2, dan X3 dibutuhkan waktu 7 hari atau 56
jam kerja. Memproduksi X4 membutuhkan waktu 5 hari atau 40 jam kerja.
49

Jam kerja untuk memproduksi semua produk selama satu bulan harus lebih
kecil daripada 24 hari kerja atau 1344 jam.
Fungsi kendala yang kedua merupakan kendala berdasarkan modal
kerja yang dimiliki oleh kegiatan usaha. Modal kerja maksimum yang dapat
disediakan oleh perusahaan adalah Rp. 5.000.000,- dan biaya untuk
memproduksi keempat jenis produk harus lebih kecil daripada modal yang
dapat disediakan oleh kegiatan usaha.
Fungsi-fungsi kendala yang selanjutnya merupakan batasan jumlah
minimum setiap produk untuk diproduksi setiap bulannya. Setiap produk
minimal harus diproduksi sebanyak 1 unit dengan tujuan untuk
mengantisipasi permintaan konsumen yang terdiri dari beragam produk.
Fungsi tujuan dan fungsi-fungsi kendala dijelaskan lengkap dalam
persamaan sebagai berikut.
Fungsi tujuan:
Maksimumkan Z = 160.000X1 + 200.000X2 + 40.000X3 + 150.000X4
Dengan pembatas:
56X1 + 56X2 + 56X3 + 40 X4 ≤ 1344
317,866 X1 + 397,333 X2+ 79,466 X3 + 260 X4 ≤ 5000
X1 ≥ 1
X2 ≥ 1
X3 ≥ 1
X4 ≥ 1
Dengan:
X1 = Sarung bapak X3 = Selendang
X2 = Sarung ibu X4 = Bahan blazer
Pencarian nilai optimum untuk X1, X2, X3 dan X4 menggunakan
bantuan perangkat lunak LINGO 12.0 dengan menambahkan syarat bahwa
hasil X1, X2, X3 dan X4 harus berupa bilangan bulat (Lampiran 3). Hasil
pemrograman linier berupa nilai kapasitas optimum untuk masing-masing
produk tiap bulannya ditunjukkan pada Tabel 11.

Tabel 11. Kapasitas Produksi Optimum untuk setiap Produk per Bulan
Variabel Jenis Produk Kapasitas Optimum (unit)
X1 Sarung Bapak 1
X2 Sarung Ibu 1
X3 Selendang 1
X4 Bahan Blazer 16
50

4.3.4. Jadwal Produksi Induk (Master Production Schedule)

Jadwal produksi induk disusun dengan memperhitungkan pesanan


periode sebelumnya yang belum terpenuhi dan disesuaikan pula dengan
kapasitas optimum produksi setiap produk per bulan. Adanya penghitungan
kapasitas optimum setiap produk selama satu bulan menyebabkan hasil
peramalan selama 8 periode tidak dapat terselesaikan dalam periode
penyusunan MPS yaitu 8 periode. Hal ini antara lain disebabkan adanya
pemesanan bulan Maret dan April 2010 yang masih belum dipenuhi dan
adanya batasan kapasitas produk yang mampu diproduksi oleh Dekranasda
setiap bulannya.
Pada Tabel 12 ditunjukkan bahwa semua unit di setiap periode MPS
sama dengan jumlah unit maksimumnya. Sebagai contoh sarung bapak
(kapasitas maksimum 1 unit), dijadwalkan untuk diproduksi sebanyak 1 unit
setiap bulan selama 12 bulan, begitu juga dengan sarung ibu, selendang dan
bahan blazer. Pada akhir bulan Desember 2010 terlihat bahwa semua
produk masih memiliki pesanan yang belum diselesaikan. Pesanan-pesanan
ini harus diselesaikan oleh perusahaan pada periode selanjutnya yaitu tahun
2011. Kapasitas maksimum ditunjukkan dalam tanda kurung.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses pemenuhan pesanan yang
dijalankan Dekranasda membutuhkan jangka waktu yang cukup lama,
terutama ketika pesanan masuk dalam jumlah yang jauh melebihi kapasitas
maksimum produksi. Keadaan ini disebabkan Dekranasda tidak melakukan
penambahan sumber daya produksi (mesin dan tenaga kerja) ketika
menghadapi peningkatan permintaan. Akibatnya adalah konsumen harus
menunggu lebih lama hingga pesanan mereka terpenuhi.
51

Tabel 12. Jadwal Produksi Induk (MPS)


Sarung Bapak Periode
(1) Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Ramalan 2 2 2 2 2 2 2 2
Carry over 0 1 2 3 4 5 6 7
MPS 1 1 1 1 1 1 1 1
Periode
Sarung Ibu (1)
Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Ramalan 2 2 2 2 2 2 2 2
Carry over 0 1 2 3 4 5 6 7
MPS 1 1 1 1 1 1 1 1
Periode
Selendang (1)
Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Ramalan 2 2 2 2 2 2 2 2
Carry over 0 1 2 3 4 5 6 7
MPS 1 1 1 1 1 1 1 1
Bahan Blazer Periode
(16) Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Ramalan 34 34 34 34 34 34 34 34
Carry over 71 93 115 137 159 181 203 225
MPS 16 16 16 16 16 16 16 16

4.3.5. Catatan Persediaan (On Hand Inventory)

On hand inventory tercatat adalah untuk periode per 30 April 2010.


Catatan persediaan per tanggal tersebut merupakan input dalam penyusunan
rencana kebutuhan material yang dimulai dari bulan Mei 2010. Catatan
persediaan per 30 April dijelaskan pada Tabel 13.

Tabel 13. On Hand Inventory per 30 April 2010 1


No. Jenis Benang Level dalam BOM Jumlah Satuan
1. Benang Katun Level 2 0 Kg
2. Benang Bordir Level 2 168 Gulung
3. Benang Emas Level 2 2 1/2 Kotak
4. Klos Katun Level 1 0 Klos
5. Klos Bordir Level 1 0 Klos
6. Klos Emas Level 1 0 Klos
52

4.4. Material Requirement Planning

Rencana kebutuhan material (MRP) disusun untuk jangka waktu


bulan Mei 2010 hingga Juli 2011 sesuai dengan jadwal induk produksi yang
telah disusun. Rencana kebutuhan material pada level 0 (produk akhir)
merupakan keseluruhan kombinasi empat macam produk berdasarkan
jadwal induk produksi. Penyusunan MRP tidak dibedakan untuk masing-
masing produk karena keempat macam produk memiliki bahan baku yang
sama walaupun dengan jumlah kebutuhan yang berbeda.
Ketiga jenis benang yaitu benang katun, benang bordir dan benang
emas memiliki jumlah pemesanan minimum berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan oleh pihak pemasok. Benang katun memiliki minimum order
sebanyak 10 kilogram. Benang bordir minimal harus dipesan sebanyak 67
gulung, serta benang emas minimum dapat dibeli sebanyak 1 kotak.
Kebijakan minimum order ini akan sedikit mempengaruhi penyusunan MRP
dimana terdapat kemungkinan jumlah yang harus dipesan berdasarkan
masing-masing teknik akan disesuaikan menjadi sebesar minimum order ini.
Teknik penentuan ukuran lot yang akan digunakan dalam MRP
terdiri dari tiga macam teknik, yaitu teknik lot for lot, EOQ dan PPB yang
dijelaskan sebagai berikut.

4.4.1. Biaya Setup dan Biaya Penyimpanan

Biaya setup dan biaya penyimpanan perlu diketahui sebelum


penyusunan MRP karena merupakan salah satu input yang penting terutama
untuk penyusunan dengan teknik EOQ dan PPB. Biaya penyimpanan satu
tahun adalah sebesar Rp. 440.000,- untuk semua jenis komponen. Dengan
asumsi bahwa biaya penyimpanan total setahun terbagi sama untuk tiap
komponen, yaitu masing-masing untuk benang katun, benang bordir dan
benang emas.
Biaya setup terdiri dari biaya telepon dan biaya pengiriman. Biaya
telepon memiliki tarif sebesar Rp. 350,- per 30 menit dan diasumsikan
percakapan dalam rangka menyampaikan pesanan memakan waktu 1,5
menit. Oleh karena itu biaya telepon adalah Rp. 1.050,- per pemesanan.
53

Biaya pengiriman untuk benang katun adalah Rp. 40.000,-, untuk benang
bordir adalah Rp. 70.000,- dan untuk benang emas adalah Rp. 8.000,-.
Penghitungan biaya setup dan penyimpanan tidak mengikutsertakan
komponen-komponen pada level 1 yaitu klos katun, klos bordir dan klos
emas. Hal ini dikarenakan komponen-komponen tersebut merupakan
komponen antara yang sebenarnya merupakan bahan yang sama pada level 2.
Klos katun, klos bordir dan klos emas merupakan benang katun, benang
bordir dan benang emas yang telah diproses menjadi bentuk gulungan baru
yang dapat langsung digunakan pada mesin tenun. Karena langsung
digunakan pada proses produksi tepat setelah dihasilkan, klos katun, klos
bordir dan klos emas tidak memiliki biaya setup dan biaya penyimpanan.
Biaya penyimpanan per unit per tahun merupakan hasil pembagian
dari biaya penyimpanan setahun dengan jumlah persediaan per tahun. Biaya
setup merupakan penjumlahan dari biaya telepon dan biaya pengiriman.
Biaya penyimpanan dan biaya setup disajikan lengkap pada Tabel 14.

4.4.2. Material Requirement Planning dengan Metode Lot for Lot

Ukuran lot yang ditentukan dalam teknik lot for lot adalah sebesar
kebutuhan bersih atau dengan kata lain memproduksi unit tepat sebesar
berapa yang dibutuhkan. Jadwal produksi yang pertama dimulai dari bulan
Mei 2010 pada minggu pertama. Sebanyak 1 unit sarung bapak, 1 unit
sarung ibu, 1 unit selendang dan 16 unit bahan blazer yang akan diproduksi
dan menempati level 0 dalam penyusunan MRP. Masing-masing 1 unit
sarung bapak, sarung ibu dan selendang akan digabungkan menjadi satu set
untuk memudahkan penyusunan MRP. Setiap komponen pada level 1 (klos
katun, klos bordir dan klos emas) tidak memiliki persediaan awal sehingga
jumlah yang harus disediakan adalah sebesar kebutuhan kotor. Karena
menggunakan teknik lot for lot maka jumlah penerimaan dan pengiriman
order adalah sebesar kebutuhan bersih.
54

Tabel 14. Biaya Penyimpanan dan Setup


Biaya Penyimpanan
Biaya Biaya
Jenis Jumlah
Penyimpanan/tahun penyimpanan/tahun/
Benang Persediaan/tahun
(Rp) unit (Rp)
Benang
13,03505 kg 146.667 11.252
Katun
Benang
62,375 gulung 146.667 2.351
Bordir
Benang
48,875 kotak 146.667 3.001
Emas
Biaya Setup
Jenis Biaya Telepon Biaya Pengiriman
Biaya Setup (Rp)
Benang (Rp) (Rp)
Benang
1.050 40.000 41.050
Katun
Benang
1.050 70.000 71.050
Bordir
Benang
1.050 8.000 9.050
Emas

Pada level 2 hanya komponen benang katun yang tidak memiliki


sediaan awal. Sedangkan benang bordir dan benang awal memiliki sediaan
awal sebanyak 68 gulung dan 2,5 kotak. Kebutuhan bersih merupakan hasil
pengurangan antara kebutuhan kotor dengan sediaan yang dimiliki. Karena
memiliki sediaan awal maka untuk komponen benang bordir penerimaan
dan pengiriman order baru muncul pada bulan Juni 2010. Jumlah
penerimaan dan pengiriman adalah sebesar kebutuhan bersih yang diperoleh.
Hasil penyusunan MRP dengan teknik lot for lot menunjukkan
bahwa terjadi 1 kali pemesanan untuk komponen benang katun, 5 kali
pemesanan untuk benang bordir, dan 7 kali pemesanan untuk benang emas.

4.4.3. Material Requirement Planning dengan Metode EOQ

Unit pemesanan dalam teknik ini adalah sebesar unit order ekonomis
atau unit EOQ yang dapat dihitung menggunakan persamaan:

=


............................................... (19)

Dimana Q = ukuran lot yang akan dipesan,


D = kebutuhan pertahun,
55

S = biaya pemesanan pemesanan per order, dan


H = biaya penyimpanan per unit per tahun.
Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh bahwa ukuran lot untuk
benang katun adalah 10 kilogram, ukuran lot untuk benang bordir adalah 61
gulung dan untuk lot benang emas adalah 17 kotak. Ukuran lot benang
katun dan benang emas sama atau lebih besar daripada minimum order
sehingga tidak mempengaruhi unit EOQ yang akan dipesan. Sementara
untuk benang bordir, ukuran lotnya adalah 61 unit, yaitu lebih kecil daripada
minimum order. Hal ini menyebabkan jumlah yang dipesan tidak akan
mengikuti unit EOQ melainkan mengikuti unit minimum order yaitu 67 unit.
Komponen benang katun tidak memiliki sediaan awal sehingga
harus dilakukan pemesanan sebesar 10 kilogram pada awal periode, sesuai
dengan unit EOQ. Pemesanan sejumlah tersebut ternyata mampu memenuhi
kebutuhan bahan hingga 8 periode yang akan datang sehingga tidak perlu
dilakukan pemesanan benang katun kembali.
Benang bordir dan benang emas mulai dibutuhkan pada bulan Juni
dengan jumlah yang dipesan sebesar 67 unit dan 17 kotak. Penyusunan
MRP dengan teknik lot sizing EOQ menghasilkan jumlah pemesanan
sebanyak 1 kali untuk benang katun, 5 kali untuk benang bordir dan 1 kali
untuk benang emas.

4.4.4. Material Requirement Planning dengan Metode PPB

Sebagian periode ekonomis (EPP) pada metode ini merupakan


perbandingan antara biaya setup dengan biaya penyimpanan. Berdasarkan
hasil perhitungan diperoleh bahwa EPP untuk benang katun adalah 7 unit,
untuk benang bordir adalah 30 unit, sedangkan untuk benang emas adalah 3
unit. Jumlah unit ini merupakan tolok ukur dalam menyeimbangkan
periode-periode yang memiliki kumulatif bagian periode yang paling
mendekati unit EPP.
Terdapat satu penggabungan periode untuk kebutuhan benang katun
yang mengharuskan pemesanan dilakukan sebanyak 1 kali sebesar
kebutuhan bersih kumulatif periode yang digabungkan tersebut. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kebutuhan bersih kumulatif lebih
56

kecil daripada minimum order yaitu 2,0538 kg. Oleh karena itu jumlah yang
akan dipesan tetap mengikuti minimum order yaitu sebanyak 10 kg dengan
frekuensi pemesanan yang sama yaitu 1 kali.
Komponen benang bordir memiliki 8 penggabungan periode dengan
kebutuhan bersih kumulatif masing-masing sebesar 49 gulung. Jumlah ini
juga masih berada di bawah minimum order, dan karena itu jumlah
pemesann yang akan dilakukan adalah 67 unit.
Komponen benang emas memiliki 3 penggabungan periode dengan
kebutuhan bersih kumulatif berturut-turut sebesar 6, 6, dan 4 kotak. Jumlah
ini sudah melebihi minimum order karena itu pemesanan yang dilakukan
adalah sebesar kebutuhan tersebut. Pada penggunaan teknik PPB frekuensi
pemesanan dilakukan sebanyak 1 kali untuk benang katun, 8 kali untuk
benang bordir dan 3 kali untuk benang emas.

4.5. Biaya Total Bahan Baku

Secara umum dapat dilihat bahwa frekuensi pemesanan lebih


sedikit ketika menggunakan teknik EOQ (Tabel 15), sehingga terdapat
kemungkinan teknik ini menghasilkan biaya setup yang lebih rendah.
Namun dari segi unit yang disimpan, teknik PPB jumlah unit yang lebih
tinggi daripada teknik yang lainnya. Hal ini dapat berarti bahwa teknik PPB
menghasilkan biaya penyimpanan yang lebih tinggi.

Tabel 15. Perbandingan Frekuensi Pemesanan dan Persediaan yang


Timbul untuk setiap Teknik Lot Sizing
Frekuensi Pemesanan Persediaan yang Timbul
Jenis
Lot for Lot for
Komponen EOQ PPB EOQ PPB
Lot Lot
Benang Katun 1 1 1 2.064,7 2.064,7 2.064,7
Benang Bordir 5 5 8 8.036,7 8.036,7 30.820
Benang Emas 7 1 3 132 846 780

Arah proyeksi biaya total bahan baku untuk ketiga teknik lot sizing
yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 16. Teknik PPB menghasilkan
biaya setup yang paling tinggi untuk setiap komponen. Teknik lot for lot dan
EOQ unggul dalam biaya setup dan penyimpanan untuk komponen benang
katun. Teknik EOQ lebih unggul dengan menghasilkan biaya setup yang
57

lebih rendah, namun memiliki biaya penyimpanan yang lebih tinggi


daripada teknik lot for lot.

Tabel 16. Perbandingan Biaya Ketiga Teknik Lot Sizing (dalam Ribu
Rupiah)
Biaya Total Bahan
Jenis Biaya Setup Biaya Penyimpanan
Baku
Benang Lotfor EOQ PPB
Lot for
EOQ PPB
Lot for
EOQ PPB
Lot Lot
Lot
B. Katun 41 41 41 23.233 23.233 23.233 23.274 23.274 23.274
B. Bordir 355 355 568 18.894 18.894 72.458 19.249 19.249 73.026
B. Emas 63 9 27 396 2.539 2.341 459 2.548 2.367

Berdasarkan perbandingan biaya yang ditunjukkan pada Tabel 16


dapat disimpulkan bahwa pengadaan komponen benang katun optimum jika
menggunakan ketiga teknik, yaitu lot for lot, EOQ dan PPB karena
ketiganya memiliki biaya total terendah. Pada bahan baku benang bordir
teknik lot for lot dan EOQ optimum untuk merencanakan kebutuhan
komponen benang bordir karena memiliki total biaya terendah dibandingkan
metode PPB. Sedangkan untuk benang emas teknik optimum dengan biaya
terendah adalah lot for lot.

4.6. Implikasi Manajerial

Berdasarkan hasil pembahasan terdapat beberapa implikasi


manajerial yang perlu dilakukan oleh Dekranasda. Dekranasda perlu
memperkirakan dan menghitung proyeksi permintaan pelanggan di masa
yang akan datang agar dapat mempersiapkan sumber daya yang cukup.
Proyeksi permintaan akan datang yang dilakukan dengan metode-metode
peramalan dapat digunakan sebagai dasar penyusunan jadwal produksi
induk serta dapat digunakan sebagai panduan perusahaan dalam
melaksanakan proses produksi yang tepat waktu.
Dekranasda sebaiknya memiliki pencatatan yang jelas dan terperinci
mengenai bahan baku yang masuk dan yang digunakan agar dapat mencapai
manajemen persediaan yang lebih baik. Ketelitian sangat dibutuhkan dalam
penerapan sistem pengadaan bahan baku dengan teknik MRP.
58

Pemesanan bahan baku perlu didasarkan pada perhitungan teknik-


teknik lot sizing dan memilih teknik dengan biaya terendah. Teknik lot for
lot, EOQ dan PPB menghasilkan biaya total yang sama untuk bahan benang
katun. Namun karena benang katun didatangkan dari luar kota yang
jaraknya jauh dari Pekanbaru perusahaan sebaiknya memilih metode EOQ
karena memiliki frekuensi pemesanan yang lebih rendah sehingga lebih
memudahkan proses pengadaan bahan baku. Pengadaan bahan baku dengan
metode EOQ adalah memesan bahan baku dengan jumlah ekonomis yang
sama di setiap periode kebutuhan. Jumlah pemesanan optimum berdasarkan
metode EOQ untuk komponen benang katun adalah sebesar 10 kg.
Teknik Teknik lot for lot dan EOQ menghasilkan biaya total yang
sama untuk benang bordir. Karena itu juga sebaiknya pengadaan bahan baku
benang bordir dilakukan dengan kuantitas optimum berdasarkan teknik
EOQ karena memiliki frekuensi pemesanan yang lebih rendah dibandingkan
teknik lot for lot. Benang bordir juga didatangkan dari luar Kota Pekanbaru,
karena itu pengadaan bahan baku dengan metode EOQ sangat cocok untuk
diterapkan sehingga perusahaan dapat menyimpan sejumlah persediaan
bahan baku untuk beberapa periode mendatang. Jumlah pemesanan
optimum berdasarkan metode EOQ untuk komponen benang bordir adalah
61 unit, namun karena pihak pemasok menetapkan kebijakan minimum
order, maka jumlah pemesanan yang dapat dilakukan adalah sebesar
kebijakan tersebut, yaitu 67 unit.
Pengadaan komponen benang emas dapat dilakukan dengan teknik
lot fot lot, yaitu dapat didatangkan tepat ketika dibutuhkan dan dengan
kuantitas pemesanan sebesar kebutuhan. Cara ini memang menghasilkan
frekuensi pemesanan yang lebih sering namun sesuai dengan jarak pemasok
dengan Dekranasda yang dekat sehingga tidak akan mengganggu proses
produksi serta dapat menghemat biaya.
Proses pemenuhan pesanan yang dilakukan perusahaan selama ini
membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga konsumen harus menunggu
lebih lama hingga pesanannya selesai dikerjakan. Peningkatan kapasitas
59

produksi dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, yang dapat berupa
penambahan jumlah mesin dan jumlah tenaga kerja.
Hasil analisis teknik yang paling optimum ini dapat berbeda jika
diterapkan pada kegiatan usaha yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan
setiap kegiatan bisnis yang dijalankan oleh usaha kecil menengah memiliki
ruang lingkup yang relatif kecil sehingga terdapat kemungkinan
keberagaman yang tinggi. Berbeda dengan perusahaan besar yang memiliki
tingkat permintaan yang relatif tetap dan sumber daya yang lebih besar
sehingga penyusunan MRP dapat dilakukan dengan teknik lot sizing yang
sama untuk semua komponen bahannya.
Salah satu keunikan mendasar pada kegiatan bisnis tenun songket
Dekranasda adalah bahan baku utama yang berupa benang. Kegiatan usaha
lain dapat memiliki bahan baku yang dapat dinyatakan dalam satuan unit,
buah, atau pasang, sememtara kebutuhan benang tidak dapat dinyatakan
dalam satuan unit yang utuh melainkan merupakan bagian tertentu yang
merupakan kebutuhan masing-masing produk. Keunikan kebutuhan bahan
ini nantinya akan berpengaruh pada penyusunan kebutuhan bahan,
pemesanan yang harus dilakukan serta biaya yang harus dikeluarkan.
Karena itu perusahaan perlu untuk mengetahui secara tepat kebutuhan
benang untuk proses produksi dan mendatangkannya pada saat yang tepat
agar tidak menghambat proses bisnis perusahaan.
60

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
1. Perencanaan kebutuhan bahan baku untuk produk kerajinan seperti
songket memiliki ciri khas tersendiri dimana produk dihasilkan dalam
waktu yang relatif lama (hingga 15 hari) dan dengan proses produksi
yang sangat padat karya.
2. Pengadaan bahan baku yang dilakukan Dekranasda belum berdasarkan
pada perhitungan maupun teknik tertentu.
3. Walaupun tenun songket hanya membutuhkan bahan baku berupa
benang namun struktur produk (BOM) tenun songket tidak terlalu
sederhana karena terdiri dari 3 level struktur produk.
4. Setiap produk tenun Dekranasda memiliki struktur produk (BOM) yang
terdiri dari 3 level, level 0 merupakan produk akhir dan level 1 dan 2
masing-masing terdiri dari 3 komponen.
5. Terdapat sejumlah pesanan dari periode sebelumnya yang belum
terpenuhi (carry over) pada proses produksi sehingga perlu ditentukan
berapa kapasitas produksi maksimum untuk setiap produk agar target
produksi dan pesanan pelanggan dapat terpenuhi.
6. Kapasitas maksimum produk yang mampu diproduksi perusahaan
adalah 1 unit untuk sarung bapak, 1 unit untuk sarung ibu, 1 unit untuk
selendang dan 16 unit untuk bahan blazer.
7. Jumlah bahan baku benang katun yang harus disediakan setiap kali
pengadaan paling optimum jika menggunakan ketiga teknik yaitu lot for
lot, EOQ dan PPB. Namun teknik EOQ lebih sesuai diterapkan
dikarenakan lokasi pemasok yang berada di luar kota. Untuk bahan
baku benang bordir teknik lot for lot dan EOQ menghasilkan biaya
yang sama namun teknik EOQ lebih baik diterapkan karena lokasi
pemasok yang juga berada di luar kota. Pengadaan bahan baku benang
emas menggunakan teknik lot for lot.
8. Jumlah pemesanan optimum untuk benang katun dan benang bordir
berdasarkan teknik EOQ adalah 10 kg dan 61 unit. Namun karena pihak
61

pemasok menerapkan kebijakan minimum order, jumlah pemesanan


untuk benang bordir harus mengikuti kebijakan tersebut yaitu 67 unit.
Kuantitas pemesanan untuk benang emas adalah sebesar kebutuhan
bersih periode tersebut.

2. Saran

1. Dekranasda dapat mulai merencanakan peningkatan kapasitas produksi


(baik mesin maupun tenaga kerja) dengan tujuan memperkecil waktu
yang dibutuhkan konsumen hingga pesanannya selesai dikerjakan.
Langkah ini sesuai untuk menghadapi kemungkinan permintaan yang
semakin mengingkat.
2. Pengadaan bahan baku sebaiknya dilakukan secara terencana agar dapat
meminimalkan biaya bahan baku. Teknik EOQ sebaiknya diterapkan
untuk pengadaan benang katun dan benang bordir, sedangkan teknik lot
for lot dapat diterapkan dalam pengadaan benang emas.
3. Perencanaan kebutuhan bahan baku pada industri kecil menengah
bersifat sangat unik dan membutuhkan banyak penyesuaian terhadap
teori baku yang telah ada. Karena itu penelitian-penelitian lebih lanjut
mengenani perencanaan bahan baku pada UKM sangat disarankan
untuk menambah suatu pengetahuan yang baru.
62

DAFTAR PUSTAKA

Adihartati, F.W. 1997. Perencanaan Kebutuhan Material untuk Produk Kulit pada
PT Surya Puspita dan PT Tunas Sukses. Skripsi. Departemen Teknologi
Industri, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Aminudin. 2005. Prinsip-Prinsip Riset Operasi. Erlangga, Jakarta.

Anonim. 2010. Klasifikasi Industri. www.organisasi.org [19 Agustus 2010]

_______ 2010. Kriteria Usaha Kecil. www.wikipedia.org [19 Agustus 2010]

Gaspersz, V. 2005. Production Planning and Inventory Control berdasarkan


Pendekatan Sistem Terintegrasi MRP II dan JIT Menuju Manufakturing
21. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Haming, M. dan Mahfud N. 2007. Manajemen Produksi Modern. Bumi Aksara,


Jakarta.

Heizer, J. dan Barry R. 2005. Operations Management. Salemba Empat, Jakarta.

Herjanto, E. 2003. Manajemen Produksi dan Operasi. Grasindo, Jakarta.

Ishak, A. 2010. Manajemen Operasi. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Kurniawati, A. D. 2009. Peramalan Penjualan Cokelat Candy dan Cookies sebagai


Acuan dalam Perencanaan Kuantitas Produk pada UKM Waroeng Coklat
di Kota Bogor. Skripsi. Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mulyono, S. 1991. Operations Research. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI,


Jakarta.

Nahmias, S. Production and Operations Analysis. Fifth Edition. 2005. Mc Graw


Hill Companies, USA.

Prawirosentono, S. 2005. Riset Operasi dan Ekonofisika. Bumi Aksara, Jakarta.


63

Putra, A. T. 2005. Analisis Pengendalian Bahan Baku Produk Ban pada PT


Goodyear Indonesia, Tbk. Skripsi. Departemen Manajemen, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rahmasari. 2004. Perencanaan Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kimia di PT


Dankos Laboratories Tbk Jakarta Timur. Skripsi. Departemen
Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Rasto. 1996. Rancang bangun Sistem Perencanaan Kebutuhan Material untuk


Produk Lemari Pakaian Olympic Group Bogor. Skripsi. Departemen
Teknologi Industri, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Russel, R. S. and Bernard W. T III. Operations Management. Fourth Edition.


2003. Prentice Hall, USA.

Supranto. 2005. Teknik Pengambilan Keputusan. Rineka Cipta, Jakarta.

Syadiash. 2010. Pengertian Perusahaan. www.syadiashare.com [19 Agustus 2010]

Zein, D. R. 2004. Kajian Pengendalian dan Pengadaan Bahan Baku pada PT


Petrokimia Gresik. Skripsi. Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi
dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
64

Lampiran 1. Kebutuhan dan Analisis Data


Teknik Teknik
Hasil Diharap
Tujuan Data yang Dibutuhkan Jenis Data Sumber Data Pengumpulan Pengolahan
kan
Data Data
Mempelajari sistem • Barang yang diproduksi • Primer Departemen • Wawancara Analisis Gambaran sistem
produksi perusahaan • Bahan baku utama dan • Sekunder produksi mendalam Deskriptif produksi dan
penolong • Observasi karakteristik
• Jenis sistem produksi langsung proses prpduksi
• Sifat bahan baku • Studi literatur perusahaan.
• Karakteristik pengadaan
bahan baku
Mempelajari sistem • Rencana produksi agregat • Primer Dokumen • Wawancara Analisis • Jadwal induk
pengadaan bahan • Ramalan penjualan • Sekunder persediaan mendalam Deskriptif produksi
baku perusahaan • Pesanan dari pelanggan departemen • Observasi • File catatan
• Transaksi persediaan produksi langsung persediaan
• Transaksi pembelian • Studi literatur • Struktur produk
• Lead time pemesanan (Bill of
• Perubahan rekayasa produk Material)
• Jumlah lot pemesanan • Teknik lot sizing
yang tepat
Menghitung dan • Jadwal induk produksi • Primer Hasil analisis • Wawancara • Analisis logika • Rencana
menganalisis sistem • Catatan persediaan • Sekunder sistem mendalam proses MRP kebutuhan
pengadaan persediaan • Struktur produk (Bill of pengadaan • Observasi • Analisis material
dengan MRP, Material) bahan baku langsung perbandingan • Proyeksi biaya
membandingkan • Biaya pesanan rata-rata • Studi literatur persediaan
hasilnya dengan • Biaya penyimpanan rata-rata
perusahaan

64
65

Lampiran 2. Analisis Autokorelasi


1. Sarung Bapak

Autocorrelation Function for 2006 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)

1.0
tidak berbeda
0.8
nyata dengan 0.
0.6
0.4 Pola random atau
Autocorrelation

0.2
0.0 acak.
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3 4
Lag

Autocorrelation Function for 2007 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)

1.0 tidak berbeda


0.8
nyata dengan 0.
0.6
0.4 Pola random atau
Autocorrelation

0.2
0.0 acak.
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3
Lag

Autocorrelation Function for 2008 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
0.8 nyata dengan 0.
0.6
0.4 Pola random atau
Autocorrelation

0.2
0.0
acak.
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3
Lag
66

Lanjutan Lampiran 2.

Autocorrelation Function for 2009 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
0.8 nyata dengan 0.
0.6
0.4 Pola random atau
Autocorrelation

0.2
0.0
acak.
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3
Lag

2. Sarung Ibu

Autocorrelation Function for 2006 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
0.8 nyata dengan 0.
0.6
0.4 Pola random atau
Autocorrelation

0.2
0.0
acak.
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3
Lag

Autocorrelation Function for 2007 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)

1.0
tidak berbeda
0.8
nyata dengan 0.
0.6
0.4 Pola random atau
Autocorrelation

0.2
0.0 acak.
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3
Lag
67

Lanjutan Lampiran 2.

Autocorrelation Function for 2008 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)

1.0
tidak berbeda
0.8 nyata dengan 0.
0.6
0.4 Pola random atau
Autocorrelation

0.2
0.0
acak.
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3
Lag

Autocorrelation Function for 2009 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)

1.0
tidak berbeda
0.8 nyata dengan 0.
0.6
0.4 Pola random atau
Autocorrelation

0.2
0.0
acak.
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3
Lag

3. Selendang

Autocorrelation Function for 2006 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
0.8 nyata dengan 0.
0.6
0.4 Pola random atau
Autocorrelation

0.2
0.0
acak.
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3
Lag
68

Lanjutan Lampiran 2.

Autocorrelation Function for 2007 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
0.8 nyata dengan 0.
0.6
0.4 Pola random atau
Autocorrelation

0.2
0.0
acak.
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3
Lag

Autocorrelation Function for 2008 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
0.8 nyata dengan 0.
0.6
0.4 Pola random atau
Autocorrelation

0.2
acak.
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3
Lag

Autocorrelation Function for 2009 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
0.8 nyata dengan 0.
0.6
0.4
Pola random atau
Autocorrelation

0.2
acak.
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3
Lag
69

Lanjutan Lampiran 2.
4. Bahan Blazer

Autocorrelation Function for 2006 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
0.8 nyata dengan 0.
0.6
0.4 Pola random atau
Autocorrelation

0.2
acak.
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3
Lag

Autocorrelation Function for 2007 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
0.8 nyata dengan 0.
0.6
0.4 Pola random atau
Autocorrelation

0.2
acak.
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3
Lag

Autocorrelation Function for 2008 Semua time lag


(with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
0.8 nyata dengan 0.
0.6
0.4 Pola random atau
Autocorrelation

0.2
0.0
acak.
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3
Lag
70

Lampiran 3. Parameter Kesalahan Tiap Metode Peramalan

SARUNG BAPAK
1 2 3 4 5
MAPE 81.1668 80.5134 112.994 101.668 100.212
MAD 2.6323 2.6285 2.946 2.847 2.944
MSD 10.2255 10.1901 12.959 11.450 14.714
SARUNG IBU
1 2 3 4 5
MAPE 90.3632 88.9600 118.105 107.695 109.323
MAD 2.6238 2.5981 2.714 2.733 2.766
MSD 9.3397 9.2991 11.531 10.493 13.308
SELENDANG
1 2 3 4 5
MAPE 83.8732 81.7778 114.962 103.135 106.700
MAD 2.4456 2.4122 2.619 2.589 2.667
MSD 8.5334 8.4866 10.569 9.754 11.654
BAHAN BLAZER
1 2 3 4 5
MAPE 230.497 226.215 73.7451 76.5163 82.7382
MAD 4.930 4.324 1.8707 1.3394 1.3451
MSD 55.805 37.553 30.4512 19.9905 19.9864

Keterangan:
1 : Linear Trend Analysis
2 : Quadratic Trend Analysis
3 : Moving Average
4 : Single Exponential Smoothing
5 : Double Exponential Smoothing
71

Lampiran 4. Penghitungan EOQ dan EPP

2 .13,035 .41050
MN =  ∗ FJEFP QDJAJR PAEFJ = S = 9,753 ≈ 10 PR
11252

2 .62,375 .71050
MN =  ∗ FJEFP QDJAJR Q]^_@^ = S = 61,396 ≈ 61 RFaFJR
2351

2 . 48,875 .9050
MN =  ∗ FJEFP QDJAJR DKAC = S = 17,169 ≈ 17 P]EAP
3001

41050
Mcc QDJAJR PAEFJ = = 7 FJ@E
11252

71050
Mcc QDJAJR Q]^_@^ = = 30 FJ@E
2351
9050
Mcc QDJAJR DKAC = = 3 FJ@E
3001

Keterangan:
EOQ = jumlah unit optimum pada setiap pemesanan
EPP = perbandingan biaya setup dengan biaya penyimpanan (sebagian periode
ekonomis)
72

Lampiran 5. Perhitungan penggabungan EPP


Kebutuhan
Periode
Bersih Kumulatif Bagian Periode
digabungkan
Kumulatif
0,2667 (1-1) + 0,2667 (2-1) +
Benang Katun

0,2667 (3-1) + 0,2667 (4-1) +


1,2,3,4,5,6,7 2,0538
0,2667 (5-1) + 0,2667 (6-1) +
0,2667 (7-1) + 0,2667 (8-1) = 7,4676

1,2 49 1 (1-1) + 48 (2-1) = 48


3,4 49 1 (3-3) + 48 (4-3) = 48
5,6 49 1 (5-5) + 48 (6-5) = 48
7,8 49 1 (7-7) + 48 (8-7) = 48
Benang Bordir

9,10 49 1 (9-9) + 48 (10-9) = 48


11,12 49 1 (11-11) + 48 (12-11) = 48
13,14 49 1 (13-13) + 48 (14-13) = 48
15,16 49 1 (15-15) + 48 (16-15) = 48

1,2,3 6 1 (1-1) + 1 (2-1) + 1 (3-1) = 3


Benang

4,5,6 6 1 (4-4) + 1 (5-4) + 1 (6-4) = 3


Emas

7,8 4 1 (7-7) + 1 (8-7) = 2


73

Lampiran 6. Perhitungan Biaya Bahan Baku


Kebutuhan Bahan Biaya Bahan Total Biaya
Jenis Produk Harga
Baku Baku Bahan Baku
0,1067 kg 145.000 15.472
79.472 ≈
Sarung Bapak 0,4 gulung 20.000 8.000
80.000
0,4 kotak 140.000 56.000
0,1333 kg 145.000 19.329
99.329 ≈
Sarung Ibu 0,5 gulung 20.000 10.000
100.000
0,5 kotak 140.000 70.000
0,0267 kg 145.000 3.872
19.872 ≈
Selendang 0,1 gulung 20.000 2.000
20.000
0,1 kotak 140.000 14.000
Bahan Blazer 3 gulung 20.000 60.000 80.000
74

Lampiran 7. Output LINGO 12.0


MAX= 160000*X1 + 200000*X2 + 40000*X3 + 150000*X4;
!subject to;
!2. kendala modal dalam 1 bulan;
317.866*x1 + 397.333*x2 + 79.466*x3 + 260*x4<= 5000;
!3. kendala batas maksimum mesin dan pengrajin selama 1 bulan;
56*X1 + 56*X2 + 56*X3 + 40*X4 <= 1344;
!4. kendala setiap minimal dan maksimal produksi;
x1 >= 1 ;
x2 >= 1 ;
x3 >= 1 ;
x4 >= 1;
!5. kendala semua barang harus berupa integer(bilangan bulat);
@GIN(X1);
@GIN(X2);
@GIN(X3);
@GIN(X4);
End

Global optimal solution found.


Objective value: 2800000.
Objective bound: 2800000.
Infeasibilities: 0.000000
Extended solver steps: 0
Total solver iterations: 4

Model Class: PILP

Total variables: 4
Nonlinear variables: 0
Integer variables: 4

Total constraints: 7
Nonlinear constraints: 0

Total nonzeros: 16
Nonlinear nonzeros: 0

Variable Value Reduced Cost


X1 1.000000 -160000.0
X2 1.000000 -200000.0
X3 1.000000 -40000.00
X4 16.00000 -150000.0

Row Slack or Surplus Dual Price


1 2800000. 1.000000
2 45.33500 0.000000
3 536.0000 0.000000
4 0.000000 0.000000
5 0.000000 0.000000
6 0.000000 0.000000
7 15.00000 0.000000
Lampiran 8. Proses MRP dengan Teknik Lot Sizing Lot for Lot
75
Lanjutan Lampiran 8.
76
Lanjutan Lampiran 8. 77
Lanjutan Lampiran 8.
78
Lanjutan Lampiran 8.
79
Lanjutan Lampiran 8. 80
Lanjutan Lampiran 8. 81
Lanjutan Lampiran 8. 82
Lampiran 9. Proses MRP dengan Teknik Lot Sizing EOQ 83
Lanjutan Lampiran 9.
84
Lanjutan Lampiran 9.
85
Lanjutan Lampiran 9.
86
Lanjutan Lampiran 9.
87
Lanjutan Lampiran 9.
88
Lanjutan Lampiran 9.
89
Lanjutan Lampiran 9.
90
Lampiran 10. Proses MRP dengan Teknik Lot Sizing PPB 91
Lanjutan Lampiran 10.
92
Lanjutan Lampiran 10.
93
Lanjutan Lampiran 10.
94
Lanjutan Lampiran 10.
95
Lanjutan Lampiran 10. 96
Lanjutan Lampiran 10. 97
Lanjutan Lampiran 10. 98

Anda mungkin juga menyukai