TB MDR
TB MDR
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TB RESISTAN OBAT (MTPTRO)
Definisi TBC resistan obat, TBC MDR dan TBC XDR
TBC resistan Obat adalah TBC yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang telah
mengalami kekebalan terhadap OAT.
Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) atau TBC MDR adalah TBC resistan Obat terhadap
minimal 2 (dua) obat anti TBC yang paling poten yaitu INH dan Rifampisin secara bersama sama
atau disertai resisten terhadap obat anti TBC lini pertama lainnya seperti etambutol, streptomisin
dan pirazinamid.
Extensively Drug Resistant Tuberculosis atau XDR TBC adalah TBC MDR disertai dengan kekebalan
terhadap obat anti TBC lini kedua yaitu golongan fluorokuinolon dan setidaknya satu obat anti TBC
lini kedua suntikan seperti kanamisin, amikasin atau kapreomisin.
Siapa yang mempunyai risiko terkena TBC Resistan obat, TBC MDR dan TBC XDR?
TBC Resistan obat dapat mengenai siapa saja, akan tetapi biasanya terjadi pada orang
yang:
Tidak menelan obat TBC secara teratur atau seperti yang disarankan oleh petugas kesehatan
Sakit TBC berulang serta mempunyai riwayat mendapatkan pengobatan TBC sebelumnya
Datang dari wilayah yang mempunyai beban TBC Resistan obat yang tinggi
Kontak erat dengan seseorang yang sakit TBC Resistan Obat, TBC MDR, atau TBC XDR.
Pengobatan TBC XDR lebih sulit lagi karena kuman TBC telah kebal terhadap OAT lini
pertama maupun lini kedua sehingga pilihan paduan OAT TBC XDR sangat terbatas.
Meskipun demikian di beberapa negara yang banyak ditemukan pasien TBC XDR
melaporkan keberhasilan pengobatan sebesar 50-60 % tergantung dari seberapa berat
penyakitnya, status imunitas pasien serta berapa banyak OAT lini pertama dan kedua
yang sudah tidak dapat lagi digunakan karena kuman TBC telah kebal.
Bagaimana mencegah terjadinya TBC resistan obat, TBC MDR dan TBC XDR?
Kunci pencegahan TBC MDR adalah dengan mendiagnosis secara dini setiap terduga TBC resistan
obat dan dilanjutkan dengan pengobatan dengan OAT lini kedua sesuai standar. Pengobatannya
harus dipantau kepatuhan dan ketuntasannya, serta harus dilaporkan kedalam system surveilans.
Pengobatan TBC dengan tatalaksana yang tidak standar baik dalam hal paduan, lama dan cara
pemberian pengobatan dapat menjadi factor pencetus untuk meningkatnya jumlah kasus TBC
resistan obat dan TBC MDR. Penggunaan obat anti TBC lini kedua (missal siprofloksasin, ofloksasin,
levofloksasin, kanamisin dll) secara sembarangan dapat dapat memicu munculnya TBC XDR.
Untuk mencegah penularan kuman TBC MDR, pencegahan dan pengendalian infeksi yang tepat
harus dilakukan disetiap fasyankes yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien TBC
Resistan obat, TBC MDR/ XDR, termasuk juga menjaga lingkungan tempat tinggal pasien TBC
Resistan obat, TBC MDR/ XDR.
MTPTRO adalah kegiatan yang bertujuan untuk menangani pasien TBC resistan obat, TBC MDR, dan
TBC XDR. Strategi kegiatan ini didasarkan pada 5 komponen DOTS yaitu :
o Komitmen politis berkesinambungan untuk meningkatkan sumberdaya manusia dan
sumberdaya keuangan dalam penanganan TBC MDR.
o Diagnosis berkualitas melalui tes cepat dengan metode PCR (Xpert MTB/RIF),
pemeriksaanbiakan dan uji kepekaan obat (DST) yang terjamin mutunya untuk deteksi
kasus pada orang yang diduga (suspek) TBC Resistan obat.
o Pengawasan menelan obat secara langsung menggunakan paduan OAT lini kedua.
o Ketersediaan OAT lini kedua secara berkesinambungan.
o Sistem pencatatan dan pelaporan yang memastikan penilaian terhadap hasil keluaran
setiap pasien dan penilaian terhadap program DOTS secara keseluruhan.
Duatujuanutama MTPTRO adalah;
o Mencegah terjadinya kasus TBC Reistan obat melalui pelayanan DOTS yang bermutu
o Melaksanakan manajemen kasus TBC Resistan Obat secara terstandarisasi
Komponenutamadalam MTPTRO:
o Diagnosis dengan menggunakan kultur dan uji kepekaan obat di laboratorium yang
tersertifikasi oleh Laboratorium Supranasional;
o Pengobatan TBC Resistan Obat (TB MDR) yang terstandarisasi yang dilakukan oleh Tim Ahli
Klinis di RS Rujukan TBC MDR;
o Pelayanan di fasilitas layanan rawat jalan penuh, kecuali jika kondisi klinis pasien
memburuk dan terdapat keputusan tim ahli klinis untuk dirawat inap; dan
o Pengawasan menelan obat secara langsung setiap hari oleh petugas kesehatan.
MTPTRO memerlukan dukungan dan keterlibatan aktif dari para pemangku kepentingan di
berbagai tingkatan mulai dari tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Perkembangan MTPTRO di Indonesia semakin tahun semakin meningkat, salah satunya dengan
semakin banyakanya Rumah Sakit/ Balai Layanan Kesehatan TB RO. Seluruh Provinsi di Indonesia
(34 Provinsi) sudah memiliki minimal satu (1) Rumah Sakit/ Balai Layanan Kesehatan TB RO.
Dukungan pemerintah untuk terus menyediakan layanan TB RO secara universal adalah dengan
adanya Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/Menkes/350/2017 tentang Rumah
Sakit dan Balai Kesehatan Pelaksana Layanan Tuberkulosis Resistan Obat
Hingga tahun 2019, terdapat 198 RS/ Balkes Layanan TB RO yang telah beroperasional dan
tersebar di 34 Provinsi di Indonesia
Alur Diagnosis TB RO :
Pada awalnya, pengobatan standar untuk pasien TB RO hanya ada satu pilihan dengan lama
pengobatan selama 20-24 bulan
Kemudian perkembangan pengobatan TB RO di Indonesia semakin maju setelah WHO
mengeluarkan secara resmi rekomendasi pengobatan jangka pendek untuk pasien TB RO, dimana
lama pengobatan pasien TB RO hanya 9 – 11 bulan.
Indonesia mulai mempersiapkan implementasi paduan jangka pendek untuk pasien TB RO sejak
2016 dan pasien pertama yang diobati dengan paduan jangka pendek pada bulan September
2017.
Alur Pengobatan Pasien TB RO :
Paduan Pengobatan TB RO :
b. Paduan Individual
Pasien TB RO yang tidak dapat diberikan paduan jangka pendek akan mendapatkan paduan
individual
Paduan individual terdiri dari setidaknya 5 obat efektif yaitu 4 obat inti lini kedua ditambah
pirazinamid (Z).
Lama Pengobatan 20 – 24 bulan
Cara Pemilihan Paduan Individual :
Angka penemuan kasus TB RO semakin tahun semakin meningkat. Namun tidak diimbangi
dengan angka pengobatan pasien TB RO. Pada tahun 2017, angka pengobatan pasien TB RO
sebesar 59% namun menurun pada tahun 2018 menjadi 51%.
Angka keberhasilan pengobatan TB RO rata-rata 50%, sedangkan angka putus berobat/ lost to
follow up (LFU) sebesar (~30%)
TANTANGAN
Masih tingginya angka lost to follow up/ putus berobat pasien TB RO. Berbagai penyebab dan
alasannya antara lain :
Masih rendahnya angka pengobatan pasien. Berbagai penyebab dan alasan pasien tidak memulai
pengobatan antara lain :
Seluruh RS/ Balkes yang masuk dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
HK.01.07/Menkes/350/2017 harus dapat menyediakan layanan TB RO pada tahun 2019 dan
dilanjutkan dengan ekspansi perluasan layanan TB RO di semua distrik (514 distrik pada tahun
2020) dan satelit TB RO (9754 satelit pada 2020)
Perluasan dan desentralisasi layanan TB RO ke Puskesmas
Peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) di pusat, daerah dan komunitas melalui
berbagai pelatihan (Training FKRTL, pelatihan manajemen klinis untuk klinisi dan asuhan
keperawatan untuk perawat, pelatihan TCM untuk petugas Lab, dan pelatihan logistik untuk
petugas farmasi)
RS/ Balkes TB RO secara mandiri melakukan peningkatan kualitas layanan TB RO melalui
benchmarking tool, clinical audit, telaah kohort (triwulanan), mini kohort (bulanan), Monthly
Interm Cohort Analysis (MICA), dan implementasi aDSM (Active TB Drug-Safety Monitoring and
Management) atau manajemen efek samping obat
Pelaksanaan Mentoring Klinis TB RO
Pemberian dukungan sosial ekonomi untuk semua pasien TB RO (enabler)
Meningkatkan pelibatan komunitas dalam dukungannya kepada pasien TB RO (dukungan
psikososial, pendampingan pendidik sebaya, manajer kasus, konseling)
Dukungan multisektoral seperti organisasi profesi, BPJS terkait pembiayaan TB RO, farmalkes
terkait ketersediaan obat, dan yankes terkait kesiapan RS/ Balkes dalam menyediakan layanan TB
RO
BERITA TERKINI
MATERI PAPARAN PERNAS 2019
Silahkan Untuk Mengakses Materi Paparan PERNAS 2019 bisa di download pada link di
bawah ini :
Read More
Indonesia berbagi pengalaman penanggulangan TBC di Markas Besar PBB
Pemimpin dunia berkumpul di Markas Besar PBB pada pertemuan tingkat tinggi untuk
Tuberkulosis (High Level Meeting on Tuberculosis) dan sepakat untuk mengakhiri
epidemi Tuberkulosis. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Wakil Presiden
Republik Indonesia, Jusuf Kalla; serta beranggotakan Menteri Koordinator
Pembangunan Manusia dan Budaya.
Read More
Jl. H.R Rasuna Said Blok X-5 Kavling 4-9 Jakarta 12950
Telepon: (021) 4247608 (Hunting), Faksimile: (021) 4207807