Anda di halaman 1dari 56

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses Penuaan merupakan proses alamiah yang dapat terjadi pada siapa saja

dimana tubuh mengalami penurunan fungsi akibat ketidakmampuan jaringan untuk

memperbaiki diri dari kerusakan yang terjadi.

Berdasarkan hal tersebut, maka konsep Anti Aging Medicine (AAM) terdiri dari 3

pemikiran yaitu pertama, penuaan adalah suatu penyakit yang dapat dicegah, dihindari,

dan diobati sehingga dapat berfungsi kembali seperti semula. Kedua, manusia bukanlah

orang hukuman yang pasrah terperangkap dalam takdir genetiknya. Ketiga, manusia

mengalami keluhan atau gejala penuaan karena kadar hormonnya menurun, bukan kadar

hormon menurun karena manusia menjadi tua (Pangkahila, 2011).

Ada banyak faktor yang berperan dalam terjadinya proses penuaan. Pada dasarnya

penyebab penuaan dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor

internal adalah radikal bebas, perubahan kadar hormon, proses glikosilasi, metilasi,

apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan genetic. Faktor eksternal yang utama

adalah pola hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stress

dan kemiskinan (Pangkahila, 2017).

Teori yang menjelaskan manusia dapat mengalami proses penuaan, diantaranya

teori radikal bebas dan teori wear and tear. Menurut teori radikal bebas, organisme

menjadi tua karena akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu.

Radikal bebas dapat merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas

sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel.
2

Sedangkan menurut teori wear and tear, tubuh dan selnya menjadi rusak karena terlaku

sering digunakan dan disalah gunakan. Organ tubuh seperti hati, ginjal, kulit, dan lainnya

menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi lemak, gula, kafein,

alkohol, nikotin yang berlebihan, sinar ultraviolet, stress fisik dan emosional. Teori ini

menyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat

dapat mengembalikan proses penuaan. Mekanisme dapat langsung merasakan

kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel

(Pangkahila, 2011)

Angka harapan hidup merupakan salah satu indikator untuk mengukur

keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia. Umur Harapan Hidup

terus meningkat setiap tahunnya. Selama periode 2010 hingga 2018, Indonesia telah

berhasil meningkatkan Umur Harapan Hidup saat lahir sebesar 1,39 tahun atau tumbuh

sebesar 0,25 persen per tahun. Peningkatan Umur Harapan Hidup pada tahun 2010 hanya

sebesar 69,81 tahun dan pada tahun 2018 telah mencapai 71,20 tahun (Badan Pusat

Statistik, 2019).

Hingga saat ini penyakit degeneratif telah menjadi penyebab kematian terbesar di

dunia. Hampir 17 juta orang meninggal lebih awal setiap tahun akibat epidemi global

penyakit degeneratif (WHO). Epidemi global ditemukan lebih buruk di banyak negara

dengan pendapatan nasional rendah dan sedang, di mana 80% kematian penyakit

degeneratif terjadi di Brazil, Kanada, Cina, India, Nigeria, Pakistan, Rusia, Inggris, dan

Tanzania. Di Indonesia transisi epidemiologi menyebabkan terjadinya pergeseran pola

penyakit, di mana penyakit kronis degeneratif sudah terjadi peningkatan. Penyakit

degeneratif merupakan penyakit tidak menular yang berlangsung kronis seperti penyakit
3

jantung, hipertensi, diabetes, kegemukan dan lainnya. Kontributor utama terjadinya

penyakit kronis adalah pola hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan merokok, minum

alkohol, pola makan dan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, stres, dan pencemaran

lingkungan (Hanjadani et al, 2009).

WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta

pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan

adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035.

Sedangkan International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah

penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun

2035. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan

penduduk Indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan

mengacu pada pola pertambahan penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2030 nanti

akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun (PERKENI, 2015).

Hal ini disebabkan adanya perubahan pola hidup di kawasan Jawa-Bali, di mana

pada kehidupan daerah urban terjadi perubahan di segala aspek meliputi sosial, ekonomi,

budaya dan politik. Kurangnya lapangan kerja, penghasilan yang tidak mencukupi, status

perkawinan, pendidikan yang semakin mahal, kawasan tempat tinggal dan sebagainya,

dapat memengaruhi kondisi kesehatan seseorang. Kondisi Kondisi tersebut dapat

menimbulkan gangguan emosional berupa stres psiko-sosial. Perubahan pola makan

banyak mengkonsumsi makanan instant dan keadaan lingkungan dengan banyaknya

pencemaran yang dapat bermanifestasi pada gangguan kesehatan. Selain kepadatan


4

penduduk karena arus urbanisasi yang mengakibatkan buruknya sanitasi lingkungan

menyebabkan tetap tingginya penyakit infeksi (Hanjadani et al, 2009).

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

kedua-duanya. Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas

telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari Diabetes Melitus tipe-2.

Diabetes Melitus tidak dapat disembuhkan tetapi pengendalian kadar gula darah melalui

diet, olah raga, dan obat-obatan dapat mencegah terjadinya komplikasi kronis

(PERKENI, 2015).

Sel beta pankreas merupakan sel yang sangat penting diantara sel lainnya seperti

sel alfa, sel delta, dan sel jaringan ikat pada pankreas. Disfungsi sel beta pankreas terjadi

akibat kombinasi faktor genetik dan faktor lingkungan. Jumlah dan kualitas sel beta

pankreas dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain proses regenerasi dan kelangsungan

hidup sel beta itu sendiri, mekanisme selular sebagai pengatur sel beta, kemampuan

adaptasi sel beta ataupun kegagalan mengkompensasi beban metabolik dan proses

apoptosis sel.

Ada beberapa teori yang menerangkan bagaimana terjadinya kerusakan sel beta,

diantaranya adalah teori glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan penumpukan amiloid. Efek

hiperglikemia terhadap sel beta pankreas dapat muncul dalam beberapa bentuk. Pertama

adalah desensitasi sel beta pankreas, yaitu gangguan sementara sel beta yang dirangsang

oleh hiperglikemia yang berulang. Keadaan ini akan kembali normal bila glukosa darah

dinormalkan. Kedua adalah hausnya sel beta pankreas yang merupakan kelainan yang
5

masih reversibel dan terjadi lebih dini dibandingkan glukotoksisitas. Ketiga adalah

kerusakan sel beta yang menetap (Decroli, 2019)..

American Diabetes Association (ADA), International Diabetes Federation dan

World Health Organization (WHO) merekomendasikan diagnosis diabetes melitus (DM)

berdasarkan kriteria kadar glukosa darah puasa (GDP) hasil pemeriksaan kadar glukosa

darah puasa > 126 mg/dL, oral glucose tolerance test (OGTT) dan glukosa darah sewaktu

(GDS) dengan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl atau kriteria

hemoglobin A1c (HbA1c). Terdapat beberapa keterbatasan pada pemeriksaan tersebut,

yaitu pemeriksaan kadar GDP memerlukan puasa terlebih dahulu dan harus dilakukan 2

kali, OGTT memerlukan banyak waktu dan membutuhkan 2 sampel darah, serta GDS

harus disertai gejala klasik DM. Parameter lain diperlukan untuk memudahkan diagnosis

diabetes melitus, salah satunya Glycated albumin, yang merupakan ketoamin hasil glikasi

non-enzimatik albumin serum. GA menggambarkan rata-rata glikemia 2-3 minggu tanpa

dipengaruhi oleh transfusi dan kelangsungan hidup eritrosit, sehingga dapat digunakan

pada pasien dengan anemia atau hemoglobinopati yang juga menderita diabetes melitus

(ADA, 2015)

Glycated Albumin adalah senyawa yang terbentuk ketika glukosa bereaksi dengan

protein Albumin dalam darah, dalam proses yang disebut glikasi. Tes ini mengukur kadar

Glycated Albumin dalam darah. Semakin tinggi kadar glukosa dalam darah, semakin

besar jumlah Glycated Albumin yang terbentuk.. Kadar Glycated Albumin dalam darah

adalah refleksi dari kadar glukosa 2-3 minggu sebelumnya, sehingga glycated albumin

bisa dipakai sebagai indeks kontrol glikemik dan diharapkan dapat memantau pemberian
6

terapi dan mengantisipasi lebih dini terjadinya komplikasi DM Glycated Albumin

meningkat pada penyandang diabetes melitus (DM).

Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus secara umum adalah meningkatkan

kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan adalah pertama, tujuan

jangka pendek untuk menghilangkan keluhan diabetes melitus, memperbaiki kualitas

hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut. Kedua, tujuan jangka panjang: mencegah

dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati. Dan yang

ketiga yang merupakan tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan

mortalitas diabetes melitus. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan

pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui

pengelolaan pasien secara komprehensif dimulai dengan pendekatan non-farmakologis

berupa edukasi pola hidup sehat, perencanaan makanan atau terapi nutrisi medic,

kegiatan jasmani, dan penurunan berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-

langkah tersebut sasaran pengendalian diabetes belum tercapai, maka dilanjutkan dengan

penggunaan obat atau terapi farmakologis dengan pemberian obat hipoglikemik oral atau

bentuk injeksi (PERKENI, 2015).

Pada sekarang ini belum ada obat anti diabetik yang terbukti secara klinis efektif

ntuk mencegah atropi sel beta pankreas seperti thiazolidinediones (TZDs) dan glucagon-

like-peptide-1 (GLP-1) yang telah dilaporkan efektif pada penelitian hewan percobaan.

Oleh karena itu banyak dilakukan penelitian dengan fitokimia. Efek antidiabetik dari

fitokimia dimediasi melalui berbagai mekanisme seperti penurunan penyerapan glukosa

dari usus, menghambat produksi glukosa di hati, meningkatkan uptake glukosa oleh
7

jaringan, memperbanyak insulin sekresi dari sel beta dan meningkatkan regenerasi

jaringan pankreas. Tiazolidindion memperbaiki berbagai marker fungsi sel β pankreas

yang antara lain ditunjukkan dengan meningkatnya sekresi insulin selama 6 bulan.

Namun, efek ini hanya sementara, setelah 6 bulan terapi dengan tiazolidindion, terjadi

penurunan fungsi sel β pankreas (McGill, 2009).

Salah satu tanaman yang digunakan pada pengobatan tradisional untuk

menurunkan kadar gula darah sudah ada sebanyak 800 jenis spesies salah satunya adalah

Clitoria ternatea yang ditemukan di India, China, Philipina, dan Madagascar. Clitorea

ternatea merupakan tanaman dari family Fabaceae, atau lebih dikenal dengan nama

Butterfly pea. Penelitian yang telah dilakukan pada Clitoria ternatea menunjukkan

bahwa bunga telang mengandung senyawa kimia seperti tanin, karbohidrat, saponin,

triterpenoid, fenol, flavonoid, glikosida flavonol, protein, alkaloid, antrakuinon,

antosianin, glikosida jantung, stigmast-4-ene-3,6-dione, minyak atsiri dan steroid.

Dimana kandungan senyawa tersebut memiliki khasiat sebagai antimikroba, obat cacing

atau agen antiparasit dan insektisidal, obat demam dan pereda nyeri, antikanker,

antioksidan, penurun kadar gula darah, penyakit Alzheimer’s, antiulcer, antikolesterol,

antialergi, imuomodulator dan dapat digunakan dalam pengobatan luka (Al-Snafi, 2016).

Ekstrak daun ini dapat menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan kadar

insulin pada tubuh manusia.Hal itu terungkap dari hasil penelitian dari tim peneliti dari

Swiss German University (SGU). Percobaan awal dilakukan pada mencit yang sengaja

diinduksi diabetes dengan memberikan suntikan aloksan. Setelah pemberian ekstrak daun
8

bunga telang selama 8 pekan, ditemukan bahwa kadar gula darah pada tikus mulai

kembali normal.

Para peneliti di dunia telah melakukan penelitian pada ekstrak daun bunga telang

sebagai salah satu cara mengobati penyakit Diabetes Melitus. Jadi pada kesempatan ini

dilakukan penelitian dengan melihat efek ekstrak kembang Telang (Clitoria ternatea)

dalam menurunkan kadar gula darah puasa dan meningkatkan jumlah sel beta pankreas.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, maka dirumuskan

masalah penelitian sebagai berikut:

1. apakah pemberian ekstrak kembang telang (clitoria ternatea) oral meningkatkan

jumlah sel beta pankreas tikus putih (Rattus norvegicus) jantan Wistar diabetes

melitus?

2. Apakah pemberian ekstrak kembang Telang (Clitoria ternatea) oral menurunkan

kadar glycated albumin tikus putih (rattus norvegicus) galur winstar jantan

diabetes melitus?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh pemberian

oral ekstrak kembang Telang (Clitoria ternatea) pada tikus putih (Rattus norvegicus)

jantan Wistar diabetes melitus.

1.3.2 Tujuan Khusus


9

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah

1. Untuk membuktikan pemberian ekstrak kembang telang (clitoria ternatea)

oral meningkatkan jumlah sel beta pankreas tikus putih (Rattus norvegicus)

jantan Wistar diabetes melitus.

2. Untuk membuktikan pemberian ekstrak kembang telang (clitoria ternatea)

oral menurunkan kadar glycated albumin tikus putih (rattus norvegicus) galur

winstar jantan diabetes melitus.

3. Untuk membuktikan pemberian ekstrak kembang Telang (Clitoria ternatea) oral

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Ilmiah

Penelitian ini digunakan untuk mempertegas dan memperkuat hasil penelitian

sebelumnya, juga untuk memberikan informasi mengenai efek pemberian oral

ekstrak kembang Telang (Clitoria ternatea) pada tikus putih (Rattus norvegicus)

jantan Wistar diabetes melitus, serta dapat dipergunakan sebagai dasar untuk

penelitian selanjutnya.
10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

3.1 Penuaan

Penuaan (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi

normalnya sehingga tridak dapat memperbaiki kekurangan yang didierita. Penuaan dapat

ditandai dengan penurunan energi, massa otot, dan gangguan kognitif. Saat ini,

pandangan terhadap proses penuaan telah mengalami pergeseran. Perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi kedokteran telah banyak memberikan bukti bahwa proses

penuaan dapat dicegah, dihambat bahkan dikembalikan ke kondisi optimal seperti pada

usia muda (Pangkahila, 2011).

Penuaan merupakan suatu proses yang tidak dapat dihindari dan pasti dialami

setiap makhluk hidup. Manusia lahir, berkembang dewasa, menjadi tua dan akhirnya

meninggal merupakan suatu siklus kehidupan alami yang tidak dapat terpisahkan. Namun

anggapan bahwa bertambahnya usia berarti harus disertai dengan segala kekurangan dan

ketidakberdayaan semestinya dihilangkan. Usia boleh bertambah tetapi kemampuan fisik

dan psikis harus tetap baik sehingga manusia dapat menjalani hidup dengan kualitas yang

lebih baik (Pangkahila, 2017).

Berbagai teori tentang proses penuaan telah dikemukakan, antara lain

(Cunnningham, 2003)

a. Teori Replikasi DNA


11

Teori ini mengemukakan bahwa proses penuaan merupakan akibat akumulasi

bertahap kesalahan dalam masa replikasi DNA, sehingga terjadi kematian sel.

Kerusakan DNA akan menyebabkan pengurangan kemampuan replikasi ribosomal

DNA (rDNA) dan mempengaruhi masa hidup sel.

b. Teori Kelainan Alat

Terjadinya proses penuaan adalah karena kerusakan sel DNA yang mempengaruhi

pembentukan RNA sehingga terbentuk molekul-molekul RNA yang tidak sempurna.

Ini dapat menyebabkan terjadinya kelainan enzim-enzim intraselular yang

mengganggu fungsi sel dan menyebabkan kerusakan atau kematian sel/organ yang

bersangkutan.

c. Teori Ikatan Silang

Proses penuaan merupakan akibat dari terjadinya ikatan silang yang progresif antara

protein-protein intraselular dan interselular serabut-serabut kolagen. Ikatan silang

meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini mengakibatkan penurunan

elastisitas dan kelenturan kolagen di membran basalis atau di substansi dasar jaringan

penyambung. Keadaan ini akan mengakibatkan kerusakan fungsi organ

d. Teori Pace Maker/Endokrin

Teori ini mengatakan bahwa proses menjadi tua diatur oleh pace maker, seperti

kelenjar timus, hipotalamus, hipofise, dan tiroid yang menghasilkan hormon-hormon,

dan secara berkaitan mengatur keseimbangan hormonal dan regenerasi sel-sel tubuh

manusia. Proses penuaan terjadi akibat perubahan keseimbangan sistemhormonal atau

penurunan produksi hormon-hormon tertentu

e. Teori Radikal Bebas


12

Teori ini mengemukakan bahwa terbentuknya gugus radikal bebas (hydroxyl,

superoxide, hydrogenperoxide, dan sebagainya) adalah akibat terjadinya otooksidasi

dari molekul intraselular karena pengaruh sinar UV. Radikal bebas ini akan merusak

enzim superoksida-dismutase (SOD) yang berfungsi mempertahankan fungsi sel

sehingga fungsi sel menurun dan menjadi rusak.

Proses menua dapat dibedakan dalam 3 fase berdasarkan kelainan yang timbul

yaitu :

1. Fase subklinis, dimulai pada usia 25-35 tahun yang ditandai dengan penurunan

sebagian besar hormon, yaitu melatonin, GH, testosteron dan estrogen. Meski sudah

mulai terjadi kerusakan pada sel dan jaringan akibat berbagai penyebab seperti

radikal bebas, tetapi pada masa ini belum muncul gejala. Pada tahap ini orang merasa

dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Di fase ini mulai

terjadi kerusakan sel tapi tidak memberi pengaruh pada kesehatan. Tubuh pun masih

bugar terus. Penurunan ini mencapai 14 % ketika seseorang berusia 35 tahun.

2. Fase transisi, pada rentang usia 35-45 tahun. Pada fase ini kadar hormon dapat

menurun sampai 25%. Terjadi peribahan komposisi tubuh yang ditandai oleh

menurunnya massa otot sebanyak 1 kg/ beberapa tahun, peningkatan lemak tubuh,

kekurangan energi dan kekuatan. Dengan semakin banyaknya kerusakan akibat

radikal bebas yang menyebabkan kerusakan DNA, dan tubuh sudah mulai tidak

mampu melakukan perbaikan dan kompensasi, mulai timbul pula gejala berupa al.:

artritis, gangguan kardiovaskuler, resistensi insulin, obesitas, DM tipe 2, uban mulai

timbul, kerutan kulit mulai jelas terlihat, penglihatan dan pendengaran berkurang dan

memori mulai menurun.


13

3. Fase klinis, pada usia lebih dari 45 tahun. Gejala semakin timbul akibat penurunan

hormon yang semakin banyak dan kerusakan berbagai sistem organ. Penyakit kronis

dengan komplikasinya semakin terlihat, kegagalan absorpsi nutrisi yang optimal

semakin menampakkan efeknya pada sistem organ, kehilangan massa otot semakin

cepat, osteoporosis, penumpukkan lemak dan peningkatan berat badan, peningkatan

kejadian keganasan, penyakit neurodegeneratif seperti dementia, Alzheimer,

Parkinson, kelainan fungsi seksual juga semakin mengganggu kualitas hidup

pasangan. (Pangkahila,2017).

3.2 Penyakit Degeneratif

Penyakit degeneratif adalah penyakit akibat penurunan fungsi organ tubuh. Tubuh

mengalami defisiensi produksi enzim dan hormon, imunodefisiensi, peroksida lipid,

kerusakan sel (DNA) danpembuluh darah. Secara umum dikatakan bahwa penyakit ini

merupakan proses penurunan fungsi organ tubuh yang umumnya terjadi pada usia tua.

Namun ada kalanya juga terjadi pada usia muda, akibat yang ditimbulkan adalah

penurunan derajat kesehatan yang biasanya diikuti dengan penyakit.

Menurut WHO, hingga akhir tahun 2005 penyakit degeneratif telah menyebabkan

kematian hampir 17 juta orang di seluruh dunia. Penyakit degeneratif adalah istilah medis

untuk menjelaskan suatu penyakit yang muncul akibat proses kemunduran fungsi sel

tubuh dari keadaan normal menjadi lebih buruk. Ada sekitar 50 penyakit degeneratif.

Penyakit yang masuk dalam kelompok ini antara lain kanker, diabetes melitus, stroke,

jantung koroner, kardiovaskular, obesitas, dislipidemia dan sebagainya. Dari berbagai

hasil penelitian modern diketahui bahwa munculnya penyakit degeneratif mempunyai


14

kaitan cukup kuat dengan bertambahnya proses penuaan usia seseorang. Meskipun faktor

keturunan juga berperan cukup besar (Suyono, 2006).

3.3 Diabetes Melitus

2.3.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolic ditandai dengan adanya

kenaikan kadar gula dalam darah atau biasa disebut dengan hiperglikemia yang terjadi

karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (PERKENI, 2015).

2.3.2 Epidemiologi Diabetes Melitus

Secara global, diperkirakan 422 juta orang dewasa hidup dengan diabetes pada

tahun 2014, dibandingkan dengan 108 juta pada tahun 1980. Prevalensi diabetes di dunia

(dengan usia yang distandarisasi) telah meningkat hampir dua kali lipat sejak tahun 1980,

meningkat dari 4,7% menjadi 8,5% pada populasi orang dewasa. Hal ini mencerminkan

peningkatan faktor risiko terkait seperti kelebihan berat badan atau obesitas. Selama

beberapa dekade terakhir, prevalensi diabetes meningkat lebih cepat di negara

berpenghasilan rendah dan menengah daripada di negara berpenghasilan tinggi.

Diabetes menyebabkan 1,5 juta kematian pada tahun 2012. Gula darah yang lebih

tinggi dari batas maksimum mengakibatkan tambahan 2,2 juta kematian, dengan

meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan lainnya. Empat puluh tiga persen (43%)

dari 3,7 juta kematian ini terjadi sebelum usia 70 tahun. Persentase kematian yang
15

disebabkan oleh diabetes yang terjadi sebelum usia 70 tahun lebih tinggi di negaranegara

berpenghasilan rendah dan menengah daripada di negara-negara berpenghasilan tinggi.

WHO memperkirakan bahwa, secara global, 422 juta orang dewasa berusia di atas

18 tahun hidup dengan diabetes pada tahun 2014. Jumlah terbesar orang dengan diabetes

diperkirakan berasal dari Asia Tenggara dan Pasifik Barat, terhitung sekitar setengah

kasus diabetes di dunia. Di seluruh dunia, jumlah penderita diabetes telah meningkat

secara substansial antara tahun 1980 dan 2014, meningkat dari 108 juta menjadi 422 juta

atau sekitar empat kali lipat. (DEPKES, 2018)

2.3.3 Etiologi Diabetes Melitus

Secara garis besar, terdapat dua kategori diabetes melitus, yaitu tipe 1 dan tipe 2.

Kedua tipe 1 dan tipe 2 diawali oleh fase homeostasis glukosa normal seiring dengan

proses patogenik. Diabetes melitus tipe 1 lebih dikenal dengan bawaan genetik dimana

terdapat kekurangan insulin secara total atau hampir total. Sedangkan diabetes melitus

tipe 2 adalah gangguan yang didapat, dan ditandai dengan adanya resistensi insulin,

sekresi insulin terganggu, dan peningkatan produksi glukosa.

Secara garis besar, diabetes dibagi menjadi beberapa tipe sesuai dengan tabel

dibawah ini.
16

Gambar 2.3.3.1 Klasifikasi Diabetes Melitus (PERKENI, 2015)

Peningkatan jumlah pasien diabetes naik tajam secara signifikan disebabkan oleh

faktor

1. Faktor demografi

a. Jumlah penduduk meningkat

b. Penduduk usia lanjut bertambah banyak

c. Urbanisasi makin tidak terkendali

2. Gaya hidup yang kebarat – baratan

a. Penghasilan perkapita tinggi

b. Restoran siap santap

c. Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak badan.

3. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi


17

4. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadii lebih

panjang.

Mengingat jumlah pasien yang terus membengkak dan besarnya biaya perawatan

pasien diabetes yang terutama disebsbkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yang

paling baik adalah pencegahan. Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada

diabetes ada tiga jenis atau tahap, yaitu :

1. Pencegahan primer

Semua aktivitas ditunjukan untuk pencegahan timbulnya hiperglikemia pada

individu yang beresiko untuk jadii diabetes atau pada populasi umum.

2. Pencegahan sekunder

Menemukan pengidap DM sedini mungkin

3. Pencegahan tersier

Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu,

meliputi :

 Mencegah timbulnya komplikasi

 Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalan

organ

 Mencegah kecacatan tubuh

2.3.4 Patofisiologi Diabetes Melitus

DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel

beta pankreas saja yang berperan sentral dalam pathogenesis penderita diabetes melitus

tipe 2 tetapi organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet

(PERKENI, 2015).
18

Pada diabetes melitus, terdapat dua patofisiologi utama yang mendasari terjadinya

diabetes melitus tipe 2 yaitu resistensi insulin dan defek fungsi sel beta pankreas.

Resistensi insulin merupakan kondisi umum bagi orang-orang dengan berat badan

overweight atau obesitas. Insulin tidak dapat bekerja secara optimal di sel otot, lemak,

dan hati sehingga memaksa pankreas mengkompensasi untuk memproduksi insulin lebih

banyak. Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak adekuat guna

mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, maka kadar glukosa darah akan

meningkat, pada saatnya akan terjadi hiperglikemia kronik. Hiperglikemia kronik pada

diabetes melitus tipe 2 semakin merusak sel beta di satu sisi dan memperburuk resistensi

insulin di sisi lain, sehingga penyakit diabetes melitus tipe 2 semakin progresif.

Gambar 2.3.4.1 The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam

pathogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 (DeFronzo, 2009)


19

Gambar 2.3.4.2 Fisiologi Homeostasis Kadar Glukosa Darah Perifer:

Ketidakseimbangan Diatas Memicu Diabetes Melitus (Jørgensen, 2015)

Pada tingkat seluler, resistensi insulin menunjukan kemampuan yang tidak

adekuat dari insulin signaling mulai dari pre reseptor, reseptor, dan post reseptor. Secara

molekuler beberapa faktor yang diduga terlibat dalam patogenesis resistensi insulin

antara lain, perubahan pada protein kinase B, mutasi protein Insulin Receptor Substrate

(IRS), peningkatan fosforilasi serin dari protein IRS, Phosphatidylinositol 3 Kinase (PI3

Kinase), protein kinase C, dan mekanisme molekuler dari inhibisi transkripsi gen IR

(Insulin Receptor). Sekresi insulin terutama dipengaruhi oleh kadar glukosa darah. Pada

kadar glukosa darah lebih dari 3,9 mmol/L atau setara dengan 70 mg/dL, akan

merangsang sekresi insulin.


20

Disfungsi Sel Beta Pankreas terjadi karena penurunan fungsi sel beta pankreas

dan peningkatan resistensi insulin yang berlanjut sehinggaterjadi hiperglikemia kronik.

Hiperglikemia kronik juga berdampak memperburuk disfungsi sel beta pankreas. Sel beta

pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang adekuat untuk mengkompensasi

peningkatan resistensi insulin oleh karena pada saat itu fungsi sel beta pankreas yang

normal tinggal 50%. Pada tahap lanjut dari perjalanan DMT2, sel beta pankreas diganti

dengan jaringan amiloid, akibatnya produksi insulin mengalami kekurangan insulin

secara absolut. Sel beta pankreas merupakan sel yang sangat penting diantara sel lainnya

seperti sel alfa, sel delta, dan sel jaringan ikat pada pankreas

Jumlah dan kualitas sel beta pankreas dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain

proses regenerasi dan kelangsungan hidup sel beta itu sendiri, mekanisme selular sebagai

pengatur sel beta, kemampuan adaptasi sel beta ataupun kegagalan mengkompensasi

beban metabolik dan proses apoptosis sel. Pada orang dewasa, sel beta memiliki waktu

hidup 60 hari. Pada kondisi normal, 0,5 % sel beta mengalami apoptosis tetapi diimbangi

dengan replikasi dan neogenesis. Normalnya, ukuran sel beta relatif konstan sehingga

jumlah sel beta dipertahankan pada kadar optimal selama masa dewasa. Seiring dengan

bertambahnya usia, jumlah sel beta akan menurun karena proses apoptosis melebihi

replikasi dan neogenesis.

Jumlah sel beta dapat beradaptasi terhadap peningkatan beban metabolik yang

disebabkan oleh obesitas dan resistensi insulin. Peningkatan jumlah sel beta ini terjadi

melalui peningkatan replikasi dan neogenesis, serta hipertrofi sel beta. Ada beberapa teori

yang menerangkan bagaimana terjadinya kerusakan sel beta, diantaranya adalah teori

glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan penumpukan amiloid. Efek hiperglikemia terhadap sel


21

beta pankreas dapat muncul dalam beberapa bentuk. Pertama adalah desensitasi sel beta

pankreas, yaitu gangguan sementara sel beta yang dirangsang oleh hiperglikemia yang

berulang. Keadaan ini akan kembali normal bila glukosa darah dinormalkan. Kedua

adalah ausnya sel beta pankreas yang merupakan kelainan yang masih reversibel dan

terjadi lebih dini dibandingkan glukotoksisitas. Ketiga adalah kerusakan sel beta yang

menetap.

Pada diabetes melitus tipe 2, sel beta pankreas yang terpajan dengan

hiperglikemia akan memproduksi reactive oxygen species (ROS). Peningkatan ROS yang

berlebihan akan menyebabkan kerusakan sel beta pankreas. Hiperglikemia kronik

merupakan keadaan yang dapat menyebabkan berkurangnya sintesis dan sekresi insulin

di satu sisi dan merusak sel beta secara gradual. (Decroli, 2019)

2.3.5 Diagnosis Diabetes Melitus

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti :

 Keluhan klasik berupa : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

 Keluhan lain berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

 Sedangkan pada pemeriksaan laboratorium pada pengambilan sampel darah

kapiler di dapatkan hasil sesuai dengan tabel dibawah.


22

Gambar 2.3.5.1 Kadar Gula Darah pada Diabetes Melitus

(PERKENI, 2015)

 Pemeriksaan HbA1c (≥6.5%) merupakan indeks control glikemik jangka

panjang (2-3 bulan).

 Glycated Albumin (GA) (11-16%) untuk menilai indeks control glikemik

yang tidak dipengaruhi oleh gangguan metabolism hemoglobin dan masa

hidup eritrosit. Digunakan untuk mengukur indeks control glikemik

jangka pendek (15-20 hari).

2.3.6 Terapi Nutrisi Medis (TNM)

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran

makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan

kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan

penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan
23

kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin

atau terapi insulin itu sendiri.

Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:

 Karbohidrat

 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.

Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.

 Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.

 Lemak

 Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan

tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

 Protein

 Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.

 Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa

lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-

kacangan, tahu dan tempe.

 Natrium

 Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang

sehat yaitu <2300 mg perhari.

 Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan

bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

 Serat
24

 Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-

kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi

serat.

 Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari

berbagai sumber bahan makanan.

Kebutuhan Kalori

Kebutuhan kalori/hari untuk menuju berat badan normal

o Berat badan kurang (BBR< 90%), kebutuhan kalori sehari : 40-60 kal/kgbb

o Berat badan normal (BBR 90-110%), kebutuhan kalori sehari : 30 kal/kgbb

o Berat badan lebih (BBR> 110%), kebutuhan kalori sehari : 20 kal/kgbb

o Gemuk/ obesitas (BBR> 120%), kebutuhan kalori sehari : 10-15 kal/kgbb


25

Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

 Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:

1. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue) : sulfonilurea , glinid

2. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin : metformin, tiazolidindion (TZD)

3. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:

Penghambat Alfa Glukosidase : akarbose

4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase IV) :sitagliptin dan Linagliptin.

5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2) : Canagliflozin,

Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

 Obat Antihiperglikemia Suntik

Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi insulin

dan agonis GLP-1.

2.4 Glycated Albumin (GA)

Albumin glikat merupakan ikatan molekul glukosa pada residu asam amino lisin, arginin

atau sistein albumin membentuk albumin glikat. Albumin merupakan komponen protein utama

dalam serum (80%) dengan waktu paruh 20-25 hari, sehingga pemeriksaan albumin glikat dapat

digunakan untuk penilaian kontrol status glikemik dalam jangka waktu yang lebih pendek

(indeks intermediate) yaitu 20-25 hari sesuai waktu paruhnya. Albumin glikat dapat dijadikan

pilihan untuk pemantauan status glikemik yang lebih cepat, sehingga diharapkan dapat
26

mengantisipasi terjadinya komplikasi akibat DM lebih dini, dan memantau pemberian terapi

lebih adekuat. Adanya keterbatasan pada pemeriksaan HbA1c tidak berpengaruh pada

pengukuran albumin glikat, sedangkan keterbatasan pemeriksaan albumin glikat yaitu tidak

menggambarkan kontrol glikemik secara tepat pada pasien dengan gangguan metabolisme

albumin. Nilai albumin glikat sebanding dengan nilai HbA1c, dengan rasio albumin glikat

terhadap HbA1c sekitar tiga kalinya (PERKENI, 2015).

2.4.1 Pembentukan Glycated Albumin

Proses glikasi terjadi secara non enzimatik, dimana glukosa berikatan secara kovalen

dengan residu asam amino lisin, arginin, sistein albumin, membentuk albumin glikat (Schiff-

base), kemudian melalui rearrangement Amadori menjadi bentuk keton aminometil atau

ketoamin yang lebih stabil. Pada keadaan normal kadar albumin glikat berkisar antara 6-15%

total albumin serum. Pada pasien diabetes melitus, keadaan hiperglikemia akan meningkatkan

kadar albumin glikat sekitar 2-3x. (Bai, 2012)

2.4.2 Patofisiologi Glycated Albumin

Pemeriksaan albumin glikat menggambarkan status glikemik dalam 2–3 minggu

sebelumnya, hal ini sesuai waktu paruh albumin sekitar 25-30 hari. Protein terglikasi (albumin

glikat) dapat membentuk Advanced Glycation End–products (AGE). AGE dapat menghasilkan

Reactive Oxigen Species (ROS), berikatan dengan reseptor permukaan sel dan membentuk

cross-links. Sehingga AGE berkontribusi terhadap timbulnya komplikasi baik mikro maupun

makrovaskular pada diabetes melitus. AGE dapat merubah matriks ekstraselular (ECM), kerja

hormon, sitokin dan radikal bebas melalui reseptor permukaan sel dan berdampak pada fungsi

protein intraselular (Goldin, 2006).


27

Faktor utama pembentukan AGE meliputi rerata turn over protein untuk glikosilasi,

derajat hiperglikemia dan stress oksidatif dari lingkungan. Satu atau lebih kondisi tersebut

menyebabkan glikasi dan oksidasi protein. AGE memperlihatkan efek atherogenik yang

potensial pada beberapa tipe sel seperti monosit-makrofag, sel endotel dan sel otot polos

pembuluh darah. Pada sel endotel, AGE merangsang NAD(P)H oksidase meningkatkan ROS,

p21 RAS dan Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK). Selain itu juga meningkatkan p38

MAPK dan CDC 42/RAC yang semua itu berperan dalam pembentukan signal NF-κB,

selanjutnya ditranslokasikan ke nukleus yang menyebabkan peningkatan proses transkripsi

beberapa protein misalnya endothelin -1, Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1),

Eselectin, Vascular cell Adhesion Molekul-1 (VCAM-1), tissue factor, sitokin proinflamasi

(interleukin-1α (IL-1α), IL-6, Tumor Necrosis Factor (TNF-α). Hal ini berperanan pada

atherosklerosis pembuluh darah (Goldin, 2006).

2.4.3 Metode Pemeriksaan Glycated Albumin

Terdapat beberapa metoda pemeriksaan albumin glikat. antara lain pemeriksaan

boronate affinity chromatography (BAC), enzyme linked boronate immunoassay (ELBIA), dan

metoda enzimatik. Pemeriksaan kadar albumin glikat dapat berbeda, tergantung pada tempat

glikasi yang diukur. Metoda boronate affinity chromatography (BAC) digunakan untuk

mengukur kadar albumin glikat (Cohen, 1999).

Pemeriksaan ini berdasarkan reaksi spesifik antara asam boronat dengan gugus cis-

diol albumin glikat. Gugus cis-diol albumin glikat bereaksi dengan asam boronat yang terdapat

dalam kolom, dan dipisahkan dari albumin non glikat dengan menggunakan larutan buffer.

Kadar albumin glikat dan non glikat, ditentukan menggunakan bromcresol hijau. Intensitas
28

warna yang terbentuk diukur dengan fotometer pada panjang gelombang 630 nm. Kadar albumin

glikat dihitung dalam bentuk persentase terhadap albumin total. Metoda affinitas untuk

mengukur kadar albumin glikat berdasarkan ELBIA pada prinsipnya berdasarkan interaksi antara

asam boronat dengan gugus cis-diol albumin glikat yang diikat oleh antibodi anti-human serum

albumin (HAS) yang dilekatkan pada sumur microtiter plate. Sampel dimasukkan ke dalam

sumur microtiter plate yang mengandung antibodi anti-HAS, akan terjadi ikatan antara antibodi

anti-albumin dengan albumin glikat dan non glikat. Selanjutnya ditambahkan asam boronat

peroksidase yang akan berinteraksi 7 dengan gugus cis-diol albumin glikat. Reaksi diakhiri

dengan penambahan substrat (asam sulfuric). Serapan dibaca dengan microplate reader pada

panjang gelombang 492 nm. Kalibrator albumin non glikat (NGA) dan kalibrator albumin glikat

yang mengandung 40% albumin glikat (GA) digunakan untuk menghitung persentase kadar

albumin glikat dalam sampel. Kadar albumin glikat (dalam %) dihitung berdasarkan rumus :

%GA = [(A sampel – A NGA)/(AGA 40% – A NGA)] x 40%. Koefisien variasi (CV) uji

ketelitian within run dan between days untuk serum dengan kadar AG 11,5% dan 21,4%

berurutan sebesar 3,7% dan 3,5%. CV between days untuk serum dengan kadar AG 14,2% (n=5)

didapatken sebesar 4,2%.19 Saat ini dikembangkan metoda pengukuran albumin glikat yang

lebih mudah dan akurat, menggunakan metoda enzimatik. Metoda enzimatik ini dianggap ideal,

karena spesifik terhadap albumin dan dapat mengukur semua tempat glikasi dari albumin. Pada

metoda enzimatik asam amino endogen glikat dan peroksidase dieliminasi terlebih dahulu oleh

ketoamin oksidase dan peroksidase. Selanjutnya albumin glikat dihidrolisis menjadi asam amino

atau peptida oleh proteinase spesifik albumin, kemudian asam amino glikat atau peptida

dioksidasi oleh ketoamin oksidase menghasilkan hidrogen peroksida yang diukur secara

kuantitatif. Kadar albumin diukur dengan metoda bromcresol purple, dan kadar albumin glikat
29

dihitung sebagai persentase AG terhadap total albumin. Koefisien variasi (CV) metoda ini 0,63%

dan 0,93% untuk uji ketelitian within run dan 0,685- 0,75% untuk uji ketelitian between days

(Kohzuma, 2011).

2.4.4 Manfaat Pemeriksaan Glycate Albumin

1. Pemantauan perubahan kadar glukosa darah lebih cepat

Masa paruh albumin serum lebih pendek dibandingkan eritrosit. Hal tersebut

menyebabkan perubahan kadar GA lebih cepat ketika terjadi perubahan status control

glukosa dalam waktu yang singkat. Perubahan yang singkat biasanya terjadi karena

adanya faktor terapi luar, seperti pengobatan oral maupun injeksi insulin. Disisi lain,

kadar GA juga lebih baik dari HbA1c ketika status glukosa darah naik dalam waktu

singkat. Dalam kasus ini GA menangkap sinyal kenaikan kadar glukosa lebih dini

dibandingkan HbA1c (Koga et al, 2010).

2. Pemantauan kadar glukosa pada pasien dengan dialisis, anemia, dan beberapa kondisi

kelainan hemoglobin.

3. Pemantauan kadar glukosa darah pada kehamilan

Kontrol glikemik pada wanita hamil penderita diabetes melitus maupun diabetes

gestasional sangat penting untuk menurunkan resiko terjadinya kematian janin, gangguan

pertumbuhan janin dan penyulit maternal. perubahan kadar HbA1c selama kehamilan

disebabkan karena kekurangan zat besi.

4. Pemantauan hiperglikemia postprandial dan fluktuasi glukosa

2.4.5 Keterbatasan Pemeriksaan Glycate Albumin


30

Pemeriksaan albumin glikat dipengaruhi oleh kondisi gangguan metabolisme

albumin. Nilai AG lebih rendah pada pasien dengan sindroma nefrotik, hipertiroidisme dan

pasien yang mendapat obat glukokortikoid. Pada kondisi ini metabolisme albumin meningkat.

Nilai AG relatif lebih tinggi terhadap kadar glukosa plasma pada pasien dengan hipotiroidisme,

karena metabolisme albumin menurun. Pada pasien dengan obesitas nilai AG didapatkan lebih

rendah. Hal ini berhubungan dengan inflamasi kronik. Keadaan inflamasi menyebabkan

katabolisme albumin meningkat, waktu paruh albumin menurun, dan hasil AG relatif lebih

rendah. Keadaan ini juga terjadi pada perokok, pasien hiperurisemia, hipertrigliseridemia dan

nonalkoholik fatty liver (Koga et al, 2010)

2.5 Kembang Telang

Kembang telang (Clitoria ternatea) adalah tumbuhan monokotil rambat berwarna biru

yang sejak dulu biasa digunakan sebagai hiasan taman dan tanaman pagar. Tumbuhan anggota

suku polong-polongan ini berasal dari Asia tropis yang menyebar ke Negara tropis seperti

Indonesia. Salah satu pigmen alami yang berpotensi dan mempengaruhi warna biru pada bunga

telang adalah antosianin jenis delphinidin glikosida (Tantituvanont et al., 2008).

Kembang telang merupakan tanaman berbunga dari genus Clitoria. Ciri-ciri bunga ini

adalah terbentuk menyerupai kupu-kupu dan memiliki warna biru.

Selain sebagai tanaman hias, sejak dulu tumbuhan ini dikenal secara tradisional sebagai

obat untuk mata, dan pewarna makanan yang memberikan warna biru. Dilihat dari tinjauan

fitokimia, bunga telang memiliki sejumlah bahan aktif yang memiliki potensi farmakologi.

Potensi farmakologi bunga telang antara lain adalah sebagai antioksidan, antibakteri, anti
31

inflamasi dan analgesic, antiparasit dan antisida, antidiabetes, antikanker, antihistamin,

immunomodulator, dan potensi berperan dalam susunan syaraf pusat, Central Nervous System

(CNS). Bagian lain dari tanaman ini, yaitu daun dan akar juga memiliki potensi sendiri.

2.5.1 Klasifikasi

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (tumbuhsn berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)

Sub Kelas : Rosidae

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae (suku polong-polongan)

Genus : Clitoria

Spesies : Clitoria ternatea


32

Gambar 2.5.1.1 Kembang Telang (Clitoria ternatea)

2.5.2 Kandungan Senyawa Kimia dalam Kembang Telang

Kandungan antoianin pada kembang telang adalah sebesar 227,42 mg/Kg (Vankar dan

Srivastava, 2010 dalam Sapiee, 2013). Bunga telang mengandung tanin, flobatanin, karbohidrat,

saponin, triterpenoid, fenol flavonoid, flavanol glikosida, protein, alkaloid, antrakuinon,

antisianin, stigmasit 4-ena-3,6 dion, minyak volatile dan steroid. Komposisi asam lemak meliputi

asam palmitat, stearate, oleat linoleat dan linoleat.


33

2.6 Hewan Percobaan

2.6.1 Tikus Putih (Rattus norvegicus) jantan sebagai hewan coba

Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah tikus. Tikus

(Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna, mudah dipelihara, dan

merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi

Rattus norvegicus antara lain memiliki berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar

dengan panjang 18-25 cm, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil

dan tidak lebih dari 20-23 mm (Depkes 2011).

Tikus putih tersertifikasi diharapkan lebih mempermudah para peneliti dalam

mendapatkan hewan percobaan yang sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan. Kriteria yang

dibutuhkan oleh peneliti dalam menentukan tikus putih sebagai hewan percobaan, antara lain:

kontrol (recording) pakan, kontrol (recording) kesehatan, recording perkawinan, jenis (strain),

umur, bobot badan, jenis kelamin, silsilah genetik. (Hau, 2003). Taksonomi dari tikus putih

adalah sebagai berikut (Maley dan Komasara 2003):

Kingdom : Animalia

Divisi : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Famili : Muridae
34

Subfamili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Publikasi terkini dalam penelitian biomedik digunakan untuk toksikologi, teratologi,

penelitian onkologi, penelitian gerontologi, penelitian cardiovascular, imunologi, penelitian

immunogenetik dental dan penelitian parasitologi. Terdapat beberapa perbedaan antara tikus liar

dan tikus laboratorium. Contohnya, tikus laboratorium mempunyai adrenal lebih kecil dan

kelenjar preputial, kematangan seksualitas lebih cepat, tidak ada siklus reproduksi yang

musiman, usia harapan hidup yang lebih pendek (Sengupta, 2013).

Gambar 2.6.1.1Tikus putih (Rattus norvegicus)

2.6.2 Anatomi Pankreas Tikus

Miyaki et al.(1994) menyatakan bahwa pankreas tikus terletak di mesoduodenum dan

terdiri dari bagian tubuh dengan lobus kanan dan kiri. Tubuh pankreas terletak di sepanjang

bagian kranial dari duodenum. Lobus kanan diperluas sampai ke ligamentum duodenum,
35

sedangkan lobus kiri memanjang kearah limpa. Elayat et al. (1995) mengungkapkan bahwa

pankreas tikus dibagi menjadi beberapa regio yaitu duodenal dengan lobus dorsal dan ventral,

regio gastric dan regio splenic (lien). Pankreas merupakan asinus serous murni dengan sel-sel

sentro acinus pada tengah asinus, karena duktus intralobularis mulainya di tangah-tengah asinus.

Dalam keadaan segar berwarna merah pucat atau putih dengan simpai yang tidak jelas. Diliputi

oleh jaringan ikat yang jarang dan tipis dan membentuk septa ke dalam sehingga membagi

kelenjar dalam lobulus yang nyata. Jaringan pankreas terdiri dari lobula sel sekretori yang

tersusun mengitari saluran halus Pankreas merupakan campuran kelenjar eksokrin berupa asinus

serous dan endokrin berupa pulau langerhans (Elayat et al, 1995)

Gambar 2.6.2.1 Sketsa regio lokasi pankreas pada tikus. Lower duodenal (LD), upper

duodenal (UD), gastric (G) dan splenic (SP) (Elayat et al., 1995).

Kondisi morfologi pulau Langerhans pada diabetes tipe 2 secara detail diteliti oleh DENG et al. (2004).

Hasilnya dilaporkan bahwa pada keadaan normal, jumlah sel beta diperkirakan 65% dan sel alpha 35%.

Pada tikus diabetes derajat sedang, ditemukan hampir 67% pulau Langerhans berdiameter kurang dari

150 μm, sedangkan pada tikus normal jumlah pulau Lengerhans yang berdiameter lebih dari 150 μm

sekitar 50%. Selain terjadi perubahan pada ukuran, dan bentuk juga terjadi fragmentasi pulau
36

Langerhans. Pada kondisi diabetes derajat sedang, jumlah sel beta secara nyata berkurang bahkan pada

diabetes parah sel beta tidak ditemukan namun sel alpha masih ditemukan di bagian perifer pulau

Langerhans.

2.6.3 Kriteria Tikus Diabetes

Kadar glukosa darah normal tikus sehat adalah 50 mg/dL sampai 135 mg/dL. Kadar gula

darah tergantung pada tipe makanan yang dikonsumsi dan waktu pemberian makan terakhir.

Kadar gula darah pada tikus dapat dikatan menderita diabetes melitus jika kadar gula darahnya

diatas 135 mg/dL.

2.6.4 Mekanisme Streptozotocin dan Nicotinamide dalam Menginduksi

Diabetes Melitus

Kerusakan sel pankreas dan kondisi diabetes yang terjadi secara perlahan dapat dicapai

apabila streptozotocin diberikan secara bertahap pada dosis rendah. Kerusakan terjadi melalui

kombinasi efek toksik streptozotocin langsung pada sel β pankreas, dan cidera akibat reaksi

imunologi.

Streptozotocin (STZ,2-deoxy-2-(3- (methyl-3-nitrosoureido)-D-glucopyranose)

merupakan senyawa kimia yang disintesis dari Streptomycetes achromogenes dan digunakan

untuk menginduksi baik diabetes mellitus ttipe 1 maupun tipe 2. Streptozotocin memasuki sel β

melalui transporter glukosa (GLUT 2) dan menyebabkan alkilasi DNA. Kerusakan DNA

menginduksi aktivasi poly ADP-rybosylation, yang menyebabkan deplesi NAD+ dan ATP

seluler. Peningkatan defosforilasi ATP setelah induksi strepozotocin menghasilkan substrat bagi

reaksi katalisis xantin oksidase yang menghasilan radikal superoksid. Akibatnya hidrogen

peroksida dan radikal hidroksil juga terbentuk. Selanjutnya, streptozotocin membebaskan banyak
37

zat toksik dari nitric oksid yang menghambat aktivitas aconitase dan berperan pada kerusakan

DNA, yang pada akhirnya terjadi apoptosis dan nekrosis sel β (Szkuldeski, 2001).

Efek diabetogenik pada pemberian streptozotocin multiple dengan dosis rendah (40

mg/kgbb selama 5 hari berturut-turut) diinisiasi oleh Reactive Oxygen Stress (ROS) melalui efek

toksik langsung pada GLUT 2, kerja sitokin TNF-α dan INF-γ akibat stimulasi sel T dependent,

serta aktivasi IKK-α dan NF-κB. Sebagai respon terhadap streptozotocin, Th-1 type cytokines

dan sel-sel imun lainnya menghasilkan Reactive Oxygen Stress (ROS) yang mengaktifkan NF-

κB, berikutnya menyebabkan aktivasi gen yang terkait sitokin-sitokin pro inflamasi yang

diaktifkan dan mengaktifkan NF-κB. Regulasi ini menjadikan respon inflamasi lokal diperkuat

dan dipertahankan. Aktivitas anti inflamasi berkurang, dan berakhir dengan kerusakan sel β

pankreas. Reaksi inflamasi tersebut menggambarkan peran penting NF-κB sebagai regulator

utama reaksi imunologi dan inflamasi pada induksi streptozotocin multipel dosis rendah.

(Schulze-Osthoff et al, 1995; Lgssiar et al, 2004).

Nicotinamid adalah bentuk amid dari vitamin B3 (niacin) yang fungsinya memberikan

perlindungan terhadap sel beta pankreas akibat kerusakan oleh streptozotocin, mekanisme

nicotinamid adalah menghambat aktivitas dari PARP-1, nicotinamid melindungi penipisan

terhadap NAD dan ATP pada sel beta pankreas yang terpapar streptozotocin, sehingga kerusakan

sel beta pankreas dapat dikurangi (Szkudelski, 2012).


38

Gambar 2.4.3.1 Mekanisme Kerja Streptozotocin dalam Menginduksi Diabetes Melitus

(Lgssiar et al, 2004)

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang timbul pada seseorang karena

adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dan

bersifat kronis. Faktor eksternal tersering terjadinya Diabetes Melitus adalah pola makan yang
39

tidak sehat dan kurangnya aktivitas fisik. Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi genetic

dan metabolisme yang lambat.

Disfungsi sel beta pankreas dan resistensi insulin merupakan penyebab tersering pada

Diabetes Melitus tipe 2 atau yang didapat. Dimana sel beta pankreas tidak berfungsi secara

optimal sehingga berakibat pada kurangnya sekresi insulin menjadi penyebab kadar glukosa

darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta pankreas sangat banyak seperti contoh penyakit

autoimun dan idiopatik, Reactive Oxygen Stress (ROS), dan lain-lain.

Salah satu penentuan diagnosa dengan pemeriksaan kadar Glycated Albumin yang

menggambarkan kadar glukosa 2-4 minggu sebelumnya. Pada pemeriksaan disebut menderita

diabetes melitus jika hasilnya menunjukkan nilai ≥ 17%.

Bunga Telang (Clitoria ternatea), sering disebut juga sebagai butterfly pea merupakan

bunga yang khas dengan kelopak tunggal berwarna ungu. Tanaman telang dikenali sebagai

tumbuhan merambat yang sering ditemukan di pekarangan atau tepi persawahan/perkebunan.

Dilihat dari bijinya yang serupa dengan kacang hijau, tumbuhan ini termasuk suku polong-

polongan. Selain bunga ungu, bunga te-lang juga dapat ditemui dengan warna pink, biru muda

dan putih.

Dimana kandungan senyawa tersebut memiliki khasiat sebagai antimikroba, obat cacing

atau agen antiparasit dan insektisidal, obat demam dan pereda nyeri, antikanker, antioksidan,

penurun kadar gula darah, penyakit Alzheimer’s, antiulcer, antikolesterol, antialergi,

imuomodulator dan dapat digunakan dalam pengobatan luka.

Efek antidiabetik dari fitokimia dimediasi melalui berbagai mekanisme seperti penurunan

penyerapan glukosa oleh jaringan, memperbanyak insulin sekresi dari sel beta dan meningkatkan
40

regenerasi jaringan pankreas. Kandungan dari kembang Telang yang sudah diteliti saat ini adalah

saponin, tanin, alkaloids, glycosides, phytosterols, flavonoid, carbohydrads yang bisa digunakan

sebagai antibiabetik. Flavonoid dan tanin berperan sebagai antioksidan sehingga produksi

radikal bebas dalam tubuh berkurang. Flavonoid juga berperan dalam memperbaiki kerusakan

pada sel beta pankreas sehingga pankreas dapat kembali mensekresikan insulin yang berefek

pada penurunan kadar gula darah. Selain itu, tanin juga berfungsi untuk memacu metabolisme

glukosa dan lemak.

3.2 Konsep Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan kajian pustaka maka disusun kerangka konsep

sebagai berikut :

FAKTOR EKSTERNAL FAKTOR INTERNAL


Asupan makanan Ekstrak Genetik
Kembang
(diet tinggi karbohidrat) Plasebo Metabolisme tubuh
Telang
lambat
(Clitoria
Kurangnya aktivitas fisik ternatea) Hormonal

Tikus diabetes melitus


41

Gambar 3.2.1 Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

1. Ekstrak kembang Telang (Clitoria ternatea) dapat meningkatkan jumlah sel beta

pankreas tikus putih (Rattus norvegicus) jantan Wistar diabetes melitus.

2. Ekstrak kembang Telang (Clitoria ternatea) dapat menurunkan kadar glycated

albumin pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan Wistar diabetes melitus.

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Eksperimental, dengan

rancangan penelitian yang digunakan adalah posttest only control group design (Federer, 2008).

Rancangan penelitian dapat digunakan dengan skema sebagai berikut:

P1
P1

P S R
42

Gambar 4.1.1 Rancangan Penelitian

Keterangan :

P = Populasi

S = Sampel

R = Random

P1 = Perlakuan pada kelompok kontrol dengan placebo

P2 = Perlakuan pada kelompok perlakuan dengan Ekstrak Kembang Telang

O1 = Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan jumlah sel beta pankreas kelompok kontrol

O2 = Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan jumlah sel beta pankreas kelompok perlakuan

Volume cairan maksimal yang dapat diberikan secara per oral pada tikus adalah 5 ml per

ekor tikus dengan berat ± 200 gr.

 Dosis ekstrak Kembang Telang yang dilakukan pada berbagai jurnal penelitian adalah

400 mg/kgBB dengan pemberian secara oral.


43

Dosis yang diberikan pada tikus dengan berat badan 200 gram adalah 200 x 200 /

1000mg = 40mg / 200grBB.

 Dosis Streptozotocin (STZ) yang diberikan pada tikus putih untuk menimbulkan keadaan

diabetes melitus adalah sebesar 60 mg/kgBB (Szkudelski, 2012).

Dosis yang diberikan pada tikus dengan berat badan 200 gram adalah 60 x 200 / 1000mg

= 12mg /200grBB.

 Dosis Nikotinamid (NIC) pada tikus putih untuk memberikan perlindungan terhadap sel

beta dari efek toksik STZ adalah 230 mg/kgBB (Srinivasan and Ramarao, 2007;

Szkudelski, 2012).

Dosis yang diberikan pada tikus dengan berat badan 200 gram adalah 230 x 200 /

1000mg = 46mg /200 grBB.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi Penelitian

Pembuatan ekstrak kembang telang dilakukan di laboratorium Fakultas Teknologi

Pertanian Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Pembuatan krim ekstrak kembang telang

dilakukan di laboratorium farmakologi Universitas Udayana, Denpasar Bali. Pemeriksaan uji

fitokimia dilakukan di laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana,

Denpasar, Bali.

Penelitian ini dilakukan di unit laboratorium biomedik terpadu Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana. Penelitian hewan coba dilakukan di Laboratory Animal Unit bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Pemeriksaan histologi


44

untuk membuat sediaan histopatologi jaringan pankreas dan penghitungan jumlah sel beta

pankreas dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas

Udayana, Denpasar, Bali.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan dengan rincian sebagai berikut :

1. Penelitian seperti penentuan dosis, kandang tikus, pembersihan lokasi serta pemilihan

tikus dilakukan selama 7 hari

2. Adaptasi tikus dilakukan selama 7 hari

3. Persiapan tikus diabetes dilakukan selama 3 hari

4. Perlakuan dilakukan selama 21 hari

5. Pembedahan tikus, pengambilan sampel, pembuatan preparat selama 7 hari

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Variabilitas Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah tikus jantan yang sesuai dengan sampel yang telah

ditentukan dalam penelitian, yang dikondisikan dalam keadaan diabetes melitus.

4.3.2 Kriteria Subjek

4.3.2.1 Kriteria Inklusi


45

 Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dari galur Wistar

 Kadar glucated albumin ≥17%

 Umur 2,5 – 3,5 bulan

 Berat badan tikus 180-200 gram

4.3.2.2 Kriteria Drop Out

Apabila tikus mati pada saat penelitian.

4.3.3 Penghitungan Besar Sampel

Pada penelitian ini perhitungan jumlah sampel dihitung dengan rumus (Federer, 2008).

Rumus : (t – 1)(n – 1) ≥ 15

t = jumlah kelompok uji

n = besar sampel per kelompok

(2 – 1)(n – 1) ≥ 15

n – 1 ≥ 15

n ≥ 16

Besar sampel per kelompok 16 ekor tikus. Jumlah tikus keselurugan 32 ekor untuk

mengantisipasi drop out ditambah sebesar 10 persen menjadi sebesar 36 ekor.

4.3.4 Teknik Penentuan Sampel

Teknik penentuan sampel penelitian dilakukan dengan cara berikut :


46

a. Dari populasi tikus jantan diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi.

b. Dari jumlah sampel yang telah memenuhi syarat diambil secara random untuk

menentukan jumlah sampel.

c. Dari sampel yang telah dipilih kemudian dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok

kontrol (plasebo), dan kelompok perlakuan tikus hiperglikemia yang diberi 40 mg /200gr

ekstrak kembang Telang.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi Variabel

a. Variabel bebas : ekstrak kembang Telang

b. Variabel tergantung : kadar gula darah puasa, jumlah sel beta pankreas

c. Variabel kendali : strain tikus, jenis kelamin tikus, umur tikus, dan berat badan tikus

4.4.2 Definisi Operasional Variabel

1. Tikus jantan dengan diabetes melitus adalah tikus yang dibuat menyerupai diabetes

melitus tipe 2 dengan pemberian dosis Streptozotocin 12 mg/200grBB, disuntikkan

secara intraperitoneal, sehingga kadar glukosa darah ≥135mg/dL.

2. Ekstrak kembang Telang adalah ekstrak yang dibuat dari bagian bunga yang dikeringkan

yang diekstraksi dengan menggunakan etanol. Diberikan sebanyak satu kali sehari

dengan cara sonde, sebanyak 1cc yang setara dengan dosis 40mg /200grBB kepada tikus

diabetes selama 14 hari.

3. Streptozotocin adalah suatu nitrosourea analog, yang disintesis oleh bakteri

Streptomycetes archromogenes, yang memiliki efek diabetogenik dengan menyebabkan


47

keruskan pada sel beta pankreas. Injeksi streptozotocin diberikan 15 menit setelah injeksi

intra peritoneal nikotinamid.

4. Nikotinamid Adenin Dinukleotida (NAD) adalah amida dari niacin, suatu antioksidan

yang memberikan efek perlindungan terhadap efek sitotoksik STZ oleh radikan bebas dan

hanya menyebabkan kerusakan kecil pada sel beta pankreas sehingga memberikan

gambaran menyerupai diabetes melitus tipe 2.

5. Glycated Albumin adalah glukosa yang terikat pada albukin, menggambarkan kadar

glukosa darah 2-4 minggu sebelumnya. Dengan nilan normal 11-16%. Standart Curve

Range GA tikus DM menggunakan Rat Glycated Albumin ELISA Kit merk BTL

(Bioassay Technology Laboratory).

6. Sel beta pankreas ditemukan di sel pulau Langerhan yang berfungsi menghasilkan

insulin. Pada pewarnaan Hemotoksilin Eosin akan tampak berwarna ungu. Penghitungan

menggukan pembesaran 400x pada mikroskop cahaya dilakukan per lapang pandang.

Pengamatan terhadap sel beta pankreas adalah menghitung rata-rata jumlah sel beta

pankreas (buah), yang dihitung dari lima Pulau Langerhans per sediaan.

7. Plasebo adalah substansi yang bukan merupakan zat aktif dan digunakan sebagai control

dalam suatu penelitian atau pengujian untuk menemukan keefektifan dari suatu obat.

8. Jenis tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus (Rattus norvegicus) galur

Wistar, berjenis kelamin jantan, berumur 2,5 – 3,5 bulan dengan berat badan 180 – 200

gram. Umur tikus diketahui dengan melihat tanggal kelahiran yang telah dicatat pada

kandang binatang percobaan sedangkan berat badan tikus ditimbang dengan timbangan

gram.
48

4.4.3 Hubungan antar Variabel

Variabel Tergantung
Variabel Bebas

Kadar glycated albumin


Ekstrak kembang Telang
Jumlah sel beta pankreas
49

Gambar 4.4.3.1 Hubungan antara variable bebas dan terkendali

4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian

Bahan dan Alat

1. Kebutuhan tikus : makanan ternak pakan ayam 594 produksi PT Pokphan dengan

komposisi protein 20-25%, lemak 5%, karbohidrat 45-50% dan serat 5%, kandang tikus,

alat fiksasi tikus, wadah minum dan makan tikus, injeksi streptozotocin, injeksi ketamine,

injeksi niconamid, plasebo (aquadest), cairan eter, ekstrak kembang telang.

2. Laboratorium : GA kit Reagen: metode Elisa dengan Bioassay Technology Laboratory

kit, tabung microhematokrit, spuit injeksi 3cc, sonde lambung, alat timbangan, kertas

saring Whartman, rotary evaporator, buku dan alat pencatat data.


50

3. Hewan Percobaan : tikus jantan galur Wistar usia 2,5 – 3,5 bulan dan berat 180 – 200

gram.

4.6 Prosedur Penelitian

4.6.1 Cara Pembuatan Ekstrak Kembang Telang

1. Kembang Telang yang sudah dikeringkan dengan cara diangin-anginkan di suhu

ruangan dan tidak terpapar sinar matahari.

2. Dipotong kecil-kecil kemudian direndam dengan pelarut etanol 95%. Perbandingan

bahan dengan pelarut adalah 1:9.

3. Setelah itu didiamkan di tempat tidak terkena sinar matahari, sesekali diaduk minimal

dalam waktu 1x24 jam.

4. Kemudian disaring dengan kertas saring Whatman. FIltratnya diuapkan dengan rotary

evaporator dengan suhu 400C supaya air yang masih tersisa menguap sehingga

ekstrak lebih kental.

4.6.2 Pemeliharaan Hewan Tikus Percobaan

Pemeliharaan tikus percobaan dilakukan di Laboratorium Animal Unit, Universitas

Udayana dengan memperhatikan hal berikut :

1. Tikus dipelihara dalam ruangan yang berventilasi cukup, dikandangkan dengan

ukuran kandang 40x30x20 cm, setiap kandang dialasi sekam padi dan diganti setiap 7

hari dan setiap kandang berisi 3 ekor tikus.

2. Suhu ruangan berkisar 28 – 30oC.


51

3. Makanan diberikan perekor tikus 12 – 20 gram, dan minuman diberikan secara ad

libitum.

4. Setiap hari dilakukan pembersihan kandang, untuk menjaga kesehatan tikus

percobaan.

5. Penerangan diatur dengan siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap (siklus terang

dimulai jam 06:00 pagi sampai dengan jam 18:00 petang).

6. Bila didapati tikus dalam kondisi sakit, segera dikonsultasikan kepada dokter hewan.

4.6.3 Pelaksanaan Penelitian

1. Semua tikus diadaptasikan selama 7 hari terlebih dahulu sebelum diberi perlakuan.

2. Pada hari ke 8 semua kelompok tikus kemudian dipuasakan selama 8 jam, lalu diberi

suntikan nicotanamid dosis 46mg/ ekor dan streptozotocin dosis 12 mg/ ekor secara

intraperitoneal untuk membuat keadaan diabetes melitus dengan kadar glukosa darah

≥ 136 mg/dL.

3. Setelah 11 hari, dipilih tikus yang memenuhi syarat kriteria diabetes. Semua tikus

diabetes dengan kadar glukosa darah ≥ 136 mg/dL kemudia dibagi menjadi 2

kelompok yaitu kelompok 1 sebagai kelompok control, kelompok 2 sebagai

kelompok perlakuan.

4. Semua kelompok tikus diberi perlakuan menurut kelompoknya, yaitu :

 Kelompok 1

 Selama periode perlakuan (14 hari) tikus diberi makanan standar

secara ad libitum.

 Di samping pemberian makanan standar tikus juga diberikan plasebo

secara sonde.
52

 Setelah 21 hari, semua tikus dari kelompok 1 diambil serum darahnya

untuk diperiksa kadar glycated albumin.

 Kelompok 2

 Selama periode perlakuan (14 hari) tikus diberi makanan standar

secara ad libitum.

 Di samping pemberian makanan standar tikus juga diberikan ekstrak

kembang Telang sebanyak 40mg/ 200grBB secara sonde.

 Setelah 14 hari, semua tikus dari kelompok 2 diambil serum darahnya

untuk diperiksa kadar glycated albumin

5. Dilakukan analisis data untuk membandingkan hasil dari kedua kelompok tikus

tersebut.

6. Setelah semua tikus selesai diberi perlakuan selama 21 hari, tikus diabetes melitus di

bawah anastesi dengan Ketamin 20 mg/ 25gr dan diambil sampel pankreas untuk

dilakukan pemeriksaan histopatologi jaringan.

7. Setelah itu, tikus dikuburkan secara layak.

4.6.4 Cara Pembuatan dan Pengamatan Histologi Sel Beta Pankreas

1. Organ pankreas difiksasi dengan formalin 10% selama 48 jam.

2. Setelah itu jaringan pankreas ditipiskan (trimming), kemudian dimasukkan dalam

tissue cassette.

3. Setelah itu dimasukkan ke dalam tissue processor dan terjadi tiga tahap yaitu:

Dehidrasi dengan menggunakan berbagai konsentrasi alkohol mulai dari 70%, 96%,

dan 98%.
53

4. Tahap selanjutnya clearing dengan xylol/tuluwena untuk membebaskan sitoplasma

dari alkohol.

5. Setelah itu diinfiltrasi dalam paraffin cair kemudian jaringan yang matang dilakukan

embedding dan didinginkan di mesin embedding baru dimasukkan ke dalam freezer

satu malam.

6. Hari selanjutnya baru ditrimming dengan rotary mikrotom. Hasil yang diperoleh akan

berbentuk gulungan lebih kurang 5 mikron.

7. Hasil yang diperoleh dimasukkan ke waterbath dengan suhu 52-54oC. kemudian

dikeringkan di atas hot plate.

8. Selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan HE, ditunggu hingga kering pada suhu

kamar.

9. Preparat ditutup dengan cover glass yang kemudian dibaca di bawah mikroskop

cahaya.

4.6.5 Cara Pemeriksaan Glycated Albumin

1. Blank well berisi substrate solution A dan B + stop solution.

Standard Solution Well berisi 50µl larutan standart (S1-S2) + 50µl Streptavidin-HRP.

2. Ditutup dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 60 menit.

3. Dilakukan pencucian dengan wash buffer dan didiamkan selama 30 detik, diulangi

sebanyak 5 kali.

4. Dipipet 50 µl substrate solution A dan dimasukkan ke semua well.

5. Dipipet 50 µl substrate solution B dan dimasukkan ke semua well.

6. Dihomogenkan dan diinkubasi 10 menit pada suhu 37oC dalam ruangan gelap.

7. Dipipet 50 µl stop solution dan dimasukkan ke semua well.


54

8. Dibaca pada panjang gelombang 450nm selama 10 menit.

4.7 Alur Penelitian

Tikus jantan sehat, 36 ekor, BB 180 – 200 gram, usia 2,5 – 3,5 bulan

Adaptasi selama 7 hari

Hari ke-8 tikus disuntikkan streptozotozin dan nicotinamide dan ditunggu sampai hari
ke 10

Hari ke-11 dilakukan pemeriksaan kadar gula darah pada tikus yang memenuhi syarat
diabetes melitus (GDS > 136 mg/dL)

Kelompok kontrol Kelompok perlakuan


55

Gambar 4.7.1 Alur Penelitian

4.8 Analisis Data

Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis menggunakan program SPSS Version

25.0 for Windows dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Analisis deskriptif untuk melihat karakteristik data mean, standar deviasi, batas

minimal dan maksimal jumlah kadar gula darah dan jumlah sel beta pankreas.

2. Analisis normalitas data dengan Uji Saphiro-Wilk, untuk mengetahui rerata data

sampel berdistribusi normal atau tidak. Kedua data berdistribusi normal dengan p >

0,05.

3. Uji homogenitas data dengan Levene’s Test, untuk mengetahui varian data sampel

homogeny atau tidak. Kedua data homogeny dengan p >0,05.


56

4. Jika data normal dan homogen dilakukan Uji Komparasi dengan menggunakan uji T-

Independent. Jika data yang sudah ditransformasi tapi tetap tidak normal dilakukan

uji Mann-Whitney.

Anda mungkin juga menyukai