Anda di halaman 1dari 32

Referat

MITRAL STENOSIS

KKS Ilmu Penyakit Dalam periode 21 April -30 Juni 2014

Oleh:
Randy Rakhmat Septiandani
04101401107

Pembimbing:
dr. Erwin Azmar, SpPD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
MITRAL STENOSIS
Oleh:
Randy Rakhmat Septiandani 04101401107

Telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/ Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 21 April -30 Juni
2014

Palembang, Maret 2014


Pembimbing,

dr. Erwin Azmar, SpPD


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatnya
penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Mitral Stenosis” yang merupakan
salah satu syarat untuk menempuh kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Penyakit
Dalam RS. Dr. Moh. Hoesin, Palembang.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Erwin Azmar, SpPD, selaku pembimbing yang telah membantu
penyelesaian referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman, dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu, segala saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Demikianlah penulisan referat ini, semoga bermanfaat amin.

Palembang, 27 April 2014

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi .............................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi ..................................................................................... 3
2.3 Etiologi ............................................................................................. 4
2.4 Faktor Resiko .................................................................................... 9
2.5 Manifestasi Klinis ............................................................................. 9
2.6 Patofisiologi ...................................................................................... 16
2.7 Diagnosis ........................................................................................... 19
2.8 Penatalaksanaan ............................................................................... 21
2.9 Pencegahan ........................................................................................ 28
2.10 Komplikasi ...................................................................................... 29
2.11 Kompetensi Dokter Umum ............................................................. 29
BAB III KESIMPULAN ............................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 32
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit katup jantung merupakan penyakit jantung yang cukup sering


ditemukan. Di Amerika Serikat, sekitar 10-20% operasi bedah jantung dilakukan
karena penyakit katup jantung. Penyakit katup jantung merupakan penyebab penyakit
jantung nomor dua. Penyakit katup jantung banyak disebabkan oleh penyakit
degeneratif di negara maju sedangkan penyakit katup jantung sering disebabkan
penyakit jantung rematik pada negara berkembang seperti halnya Indonesia.
Berdasarkan jenis kelamin penderita, laki-laki lebih sering terdiagnosis daripada
perempuan. Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa sekitar 4.2 juta – 5.6 juta
orang dewasa di Amerika Serikat dan diprediksikan jumlah tersebut akan terus
meningkat di masa yang akan datang. Dari beberapa penyakit katup jantung, salah
satu diantaranya adalah stenosis mitral.1,2
Stenosis mitral merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran
darah dari atrium kiri melalui katup mitral. Gangguan aliran tersebut terjadi akibat
kelainan struktur mitral sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri pada saat
diastol.3 Penyebab terjadi stenosis mitral dapat bervariasi. Penyebab utama terjadinya
stenosis mitral tidak sama seperti penyakit katup jantung lainnya. Penyebab
terjadinya stenosis mitral kebanyakan disebabkan oleh demam rematik, sedangkan
penyebab lainnya yang sangat jarang adalah kelainan kongenital, ekposur radiasi,
mukopolisarkoidosis, kalsifikasi annulus mitral, dan miksoma atrium kiri. Pada
stenosis mitral, katup jantung dapat mengalami perubahan karena terjadi proses
fibrosis, kalsifikasi, fusi korda, fusi komisura, dan penebalan leaflet/katup di katup
mitral. Hal tersebut membuat katup mitral menjadi sulit untuk terbuka dan
menyebabkan aliran darah dari atrium kiri terhambat dan menumpuk/terbendung.
Bendungan ini akan terjadi terus menerus hingga mencapai pembuluh darah pulmonal
dan ventrikel kanan sehingga dapat menyebabkan gangguan pada paru dan jantung.4
Normalnya, luas katup mitral dapat membuka berukuran 4.0 cm2 hingga 5.0
cm2. Gejala stenosis mitral biasanya muncul ketika luas katup mitral saat membuka
hanya mencapai 1.5 cm2 hingga 2.5 cm2. Gejala stenosis mitral juga dapat muncul
saat istirahat jika luas katup mitral saat membuka tidak mencapai 1.0 cm2. Walaupun
begitu, gejala stenosis mitral dapat muncul pada katup mitral yang masih dapat
membuka lebar namun pengisian diastoliknya mengalami gangguan. Hal tersebut
dapat terjadi pada ibu hamil, fibrilasi atrium, olahraga, dan efek emosional.4. Derajat
keparahan stenosis mitral dapat diklasifikasikan menjadi derajat ringan, derajat
sedang, dan derajat berat berdasarkan luas area katup mitral saat terbuka, tekanan
rata-rata, dan tekanan darah arteri pulmonal.5 Gejala pertama yang sering muncul dari
stenosis mitral adalah sesak nafas (shortness of breath), namun pada pasien stenosis
mitral dapat juga ditemukan gejala seperti fibrilasi atrium, edema paru, dan emboli.
Beberapa gejala yang jarang terjadi pada stenosis mitral dapat berupa suara serak,
batuk darah, dan disfagia. Survival Rate 10 tahun pada pasien stenosis mitral dengan
gejala asimptomatik atau minimal mencapai angka 80%, sedangkan pada pasien
stenosis mitral dengan 1 gejala berat saja dapat menurunkan Survival Rate 10 tahun
menjadi 0 - 15%.1,4
Pada pemeriksaan fisik pada pasien stenosis mitral dapat ditemukan seperti
suara opening snap yang diikuti suara gemuruh saat fase diastolik, dan suara S1 yang
keras serta suara P2 yang keras. Pada pemeriksaan radiografi, pelebaran atrium kiri
merupakan tanda yang paling sering ditemukan. Pembesaran atrium kanan, ventrikel
kanan, dan arteri pulmonal dapat juga terjadi pada kasus stenosis mitral yang berat
dengan hipertensi pulmonal. Selain radiografi, pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan adalah EKG, ekokardiografi, dan kateterisasi jantung. Temuan paling
tersering pada pemeriksaan EKG adalah pembesaran atrium kiri (gelombang P >
0.12s pada lead II) dan atrial fibrilasi. Ekokardiografi merupakan pilihan utama untuk
menentukan ada atau tidak adanya mitral stenosis sedangkan kateterisasi jantung
sudah jarang digunakan karena dengan ekokardiografi saja sudah dapat menentukan
derajat keparahan stenosis mitral.6
Tatalaksana pada kasus stenosis mitral bergantung dengan derajat keparahan
stenosis mitral. Pengobatan pada kasus stenosis mitral yang asimptomatik tidak
dilakukan, sedangkan pada kasus stenosis mitral yang lebih lanjut, maka penanganan
dapat dilakukan secara invasif seperti percutaneus mitral valvuloplasty dengan balon
kateter dan operasi penggantian katup mitral. Pasien dengan stenosis mitral akibat
penyakit jantung rematik harus mendapatkan obat antibiotik yang efektif terhadap
bakteri β-hemolitik streptokokus untuk mencegah demam rematik berulang. Obat
antikoagulan dapat diberikan untuk mencegah fibrilasi atrium untuk mencegah
kardioemboli.6
Karena penyakit ini memiliki angka kejadian yang cukup tinggi dan dapat
menmbulkan komplikasi-komplikasi yang cukup serius, sehingga penuli tertarik
membuat telaah ilmiah mengenai mitral stenosis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Stenosis mitral merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran
darah dari atrium kiri melalui katup mitral. Gangguan aliran tersebut terjadi akibat
kelainan struktur mitral sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri pada saat
diastol.3

2.2. Epidemiologi
Prevalensi terjadi mitral stenosis sebanding dengan prevalensi penyakit
rematik. Prevalensi penyakit rematik lebih tinggi di negara-negara berkembang
daripada Amerika serikat. Pada tahun 1980 insiden demam reumatik di Amerika
Serikat berkisar 0,5-2/100.000 penduduk dan semakin menurun di tahun selanjutnya
dikarenakan pengobatan yang luas dan efektif dari penggunaan antibiotik dalam
mengobati infeksi dari streptococcus.8 Prevalensi penyakit rematik di negara
berkembang seperti di India mencapai 100-150 kasus per 100.000 penduduk. Sekitar
2/3 penderita stenosis mitral merupakan perempuan. Onset dari gejala pertama
biasanya muncul pada dekade ke-3 atau ke-4 masa kehidupan. Survival Rate 10 tahun
pada pasien stenosis mitral dengan gejala asimptomatik atau minimal mencapai angka
80%, sedangkan pada pasien stenosis mitral dengan 1 gejala berat saja dapat
menurunkan Survival Rate 10 tahun menjadi 0 - 15%.1,4

2.3. Etiologi
Penyebab tersering dari stenosis mitral adalah endokarditis reumatik, akibat
reaksi yang progresif dari demam rematik oleh infeksi streptokokkus. Diperkirakan
90% stenosis mitral didasarkan atas penyakit jantung rematik. Penyebab lainnya
walaupun jarang yaitu stenosis mitral kongenital, vegetasi dari systemic lupus
eritematosus (SLE), deposit amiloid, mukopolisarkaidosi, miksoma atrium kiri.,akibat
obat fenfluramin/phentermin, serta kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia
lanjut akibat proses degeneratif. 3,4,7

2.4 Patologi
Proses perubahan patologi sampai terjadinya gejala klinis (periode laten)
biasanya memakan waktu bertahun-tahun (10-20 tahun). Pada stenosis mitral akibat
demam rematik akan terjadi proses peradangan (valvulitis) dan pebentukan nodul
tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini akan menimbulkan fibrosis dan
penebalan katup jantung, kalsifikasi, fusi komisura, pemendekan korda atau
kombinasi dari proses tersebut.3,7
Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari orifisium primer,
sedangkan fusi korda mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder. Pada
endokarditis reumatika, daun katup dan korda akan mengalami sikatrik dan
kontraktur bersamaan dengan pemendekan korda.
Kalsifikasi biasanya terjadi pada usia lanjut dan biasanya sering terjadi pada
perempuan dibanding pria. Kalsifikasi katup ini juga sering terjadi pada keadaan
gagal ginjal kronik.3

2.5. Patofisiologi
Normalnya, luas katup mitral dapat membuka berukuran 4.0 cm2 hingga 6.0
cm2. Bila area orifisium katup berkurang sampai 2 cm maka diperlukan upaya aktif
atrium kiri berupa peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang
normal dapat terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi bila pembukaan katup berkurang
hingga menjadi 1 cm2. Pada tahap ini, dibutuhkan tekanan atrium kiri sebesar 25
mmHg untuk mempertahankan cardiac output yang normal 9
Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada stenosis
mitral. Kenaikan tekanan atau hipertensi pulmonal pada awalnya terjadi secara pasif
akibat kenaikan tekanan atrium kiri. Peningkatan tekanan pulmonal didukung oleh
perubahan pada vaskular paru berupa vasokonstriksi akibat bahan neurhumoral
seperti endotelin, atau perubahan anatomik. Perubahan anatomik yang dimaksud
adalah proses remodelling tunika media dan intima yang menjadi hipertrofi (reactive
hypertension). Peningkatan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah pulmonal ini
akan menyebabkan transudasi plasma ke interistisium paru dan alveoli. Penderita
akan merasakan sesak dan gejala gagal jantung kongestif. Pada kasus yang parah,
peningkatan tekanan vena pulmonal yang signifikan dapat membuat vena bronkial
ruptur di dalam parenkim paru sehingga menimbulkan gejala batuk parah penyakit3,4
Tekanan yang berlebih pada atrium kiri secara terus menerus akan
menyebabkan pembesaran atrial kiri. Atrial kiri akan mengalami peregangan dan
hantaran konduksi jantung akan menjadi kacau. Jika hal ini terjadi, fibrilasi atrium
dapat terjadi. Fibrilasi atrium dapat membuat penurunan cardiac output pada kasus
stenosis mitral karena waktu pengisian diastolik akan lebih berkurang. Pengisian
diastolik berkurang akibat peningkatan denyut jantung sehingga waktu untuk darah
mengalir melalui katup mitral berkurang, dan, di waktu yang sama akan terjadi
peningkatan tekanan atrium yang lebih parah.7
Gejala stenosis mitral biasanya muncul ketika luas katup mitral saat membuka
hanya mencapai 1.5 cm2 hingga 2.5 cm2, terutama saat frekuensi denyut jantung
meningkat. Gejala stenosis mitral juga dapat muncul saat istirahat jika luas
pembukaan katup mitral tidak mencapai 1.0 cm2. Walaupun begitu, gejala stenosis
mitral dapat muncul pada katup mitral yang masih dapat membuka lebar pada kondisi
jantung yang pengisian diastoliknya mengalami gangguan, seperti pada ibu hamil,
fibrilasi atrium, olahraga, dan efek emosional
Stenosis Mitral
(Area katup mitral )
Pemendekan pengisian
diastole (takikardi), AFib,
Av blok, peningkaatan
aliran darah balik vena

TDVki
Gradien katup mitral

Tekanan atrium kiri

Pembesaran Hipertensi Pulmonal


atrium kiri

Aritmia atrium Edema


Pulmonal

Hipertensi arteri
pulmonal

HVka, Hipertensi Vka, RT,


Pembesaran Vka

Gejala

Gambar 1. Patofisiologi terjadinya Stenosis Mitral. TDVki: Tekanan diastolik


ventrikel kiri, HVka: hipertrofi ventrikel kanan, Vka: Ventrikel kanan, RT:
Regurgitasi Trikuspid.10
2.6. Klasifikasi
Derajat berat ringannya stenosis mitral dapat juga ditentukan oleh gradien
trasmitral, luasnya area katup mitral. Serta hubungan antara lamanya waktu antara
penutupan katup aorta dan kejadian opening snap. Berdasarkan luasnya area katup
mitral, derajat stenosis adalah sebagai berikut:
1. Minimal : bila area >2.5 cm2
2. Ringan : bila area 1.4-2.5 cm2
3. Sedang : bila area 1-1.4 cm2
4. Berat : bila area <1 cm2
5. Reaktif : bila area >2.5 cm2
Keluhan dan gejala stenosis mitral akan mulai muncul bila luas area katup
mitrap meurun sampai seperdua normal (<2-2.cm2). Hubungan antara gradien dan
luasnya area katup serta waktu pembukaan katup mitral dapat dilihat pada Table.1

Derajat stenosis interval A2-OS Area Gradien


Ringan >110 msec >1,5 cm2 <5 mmHg
Sedang 80-110 msec >1 cm2-1,5 cm2 5-10 mmHg
Berat <80 msec <1 cm2 >10 mmHg
Tabel 1. Hubungan antara gradien dan luasnya area katup serta waktu
pembukaan katup mitral.5

Sistem skoring katup mitral dapat menggunakan skor Wilkins (Boston).


Sistem skoring Wilkins mengevaluasi: penebalan katup, mobilitas, kalsifikasi, dan
penebalan subvalvular. Setiap kategori memiliki 4 skor. Morfologi katup mitral
dikatakan menguntungkan apabila skor ≤ 8.
Grade Mobilitas Penebalan Kalsifikasi Penebalan
(ekhokardiografi) Subvalvular
1 Katup jantung Daun katup Terdapat satu area Terdapat satu
masih dapat mengalami yang terdeteksi area yang
bergerak dengan penebalan di pada pemeriksaan terdeteksi
baik. Hanya ujung daerah tepi ekho pada
daun katup yang dengan tebal pemeriksaan
mengalami retriksi4-5cm ekho
2 Bagian tengah dan Daun katup Area yang Area yang
bawah daun katup tengah tidak menyebar dan menyebar dan
memiliki mobilitasmenebal. terletak di tepi terletak di tepi
normal Penebalan di daun katup daun katup
daerah tepi
katup 5-8 mm
3 Katup masih Daun katup Kalsifikasi meluas penebalan
bergerak saat tengah hingga bagian meluas hingga
diastole terutama menebal juga. tengah daun katup kebagian 1/3
bagian katup Penebalan distal korda
bawah katup 5-8 mm
4 Pergerakan daun Penebalan Kalsifikasi meluas Seluruh korda
katup sangat seluruh dan tampak jelas menebal dan
minimal/tidak ada jaringan katup di seluruh jaringan memendek.
saat diastole >8-10 mm daun katup
Tabel 2. Sistem Skoring Wilkins.11

2.7. Manifestasi Klinis


Derajat berat ringannya stenosis mitral ditentukan dari kemampuan katup
mitral membuka. Semakin parah stenosisnya maka semakin parah gejala yang
ditimbulkan. Gejala yang pertama kali sering dikeluhkan adalah sesak nafas dan
berkurangnya kemampuan beraktivitas. Pada kasus stenosis mitral yang ringan, sesak
nafas tidak muncul saat beristirahat; namun, gejala tersebut muncul saat tekanan
atrium kiri meningkat seperti saat beraktivitas yang membutuhkan kontraksi atrium
yang lebih cepat untuk memenuhi pengisian ventrikel (menurunnya waktu pengisian
diastolik). Pada kasus stenosis mitral yang lebih parah, sesak nafas muncul bahkan
saat beristirahat. Penderita akan semakin mudah lelah dan dapat disertai dengan
gejala-gejala kongestif paru seperti paroxysmal nocturnal dypsnea dan orthopnea.
Dengan stenosis mitral yang berlanjut disertai hipertensi pulmonal, tanda-tanda
seperti distensi vena jugular, hepatomegali, ascites, dan edema perifer akan muncul.
Jika saraf laringeal tertekan oleh arteri pulmonal yang membesar maupun atrium kiri,
suara serak dapat menjadi salah satu gejala.
Gejala komplikasi stenosis mitral seperti fibrilasi atrium, thromboembolisme,
infeksi endokarditis, dan hemoptisis dapat ditemukan. Aritmia atrial berupa fibrilasi
atrium juga merupakan kejadian yang sering terjadi pada stenosis mitral yaitu 30-
40%. Kejadian ini sering terjadi pada umur yang lebih lanjut atau distensi atrium
yang menyolok sehingga sifat eloktrofisiologi dari atrium kiri berubah. Fibrilasi
atrium yang tidak dikontrol akan menimbulkan keluhan sesak atau kongesti yang
lebih berat. Resiko embolisasi meningkat bila terjadi fibrilasi atrium. Emboli sistemik
terjadi pada 10-20% pasien dengan stenosis mitral dengan distribusi 75% serebral,
33% perifer, dan 6% viseral. Endokarditis infektif jarang terjadi dengan insiden 2%
dalam 1 tahun (pada kasus tanpa operasi). Nyeri dada dapat terjadi pada sebagian
kecil pasien dan tidak dapat dibedakan dengan angina pektoris. Diyakini hal ini
disebabkan oleh karena hipertrofi ventrikel kanan dan jarang bersamaan dengan
aterosklerosis koroner.

2.8. Diagnosis
Terdapat beberapa tanda stenosis mitral pada pemeriksaan fisik. Palpitasi pada
bagian dada anterior kiri bisa dirasakan pada pasien dengan peningkatan tekanan
ventrikel kanan. Pada auskultasi dapat ditemukan suara S1 yang keras. Namun jika
katup mitral hanya dapat membuka sedikit, mengalami kalsifikasi, dan immobile
maka suara S1 bisa saja menjadi normal. Selain suara S1 yang keras, suara opening
snap (OS) setelah suara S2 biasanya muncul pada kasus stenosis mitral. Interval
antara S2 dan OS akan semakin memendek seiring parahnya derajat stenosis mitral.
Pada kasus stenosis mitral, suara murmur dapat didengar. Hal tersebut dikarenakan
turbulensi yang terjadi akibat katup mitral yang tidak dapat membuka lebar saat
diastol.
Gambaran klasik dari foto thoraks adalah pembesaran atrium kiri serta
pembesaran arteri pulmonalis. edema interistisial berupa garis Kerley terdapat pada
30% pasien dengan tekanan atrium kiri <20 mmHg. Temuan tersering yang muncul
pada EKG adalah pembesaran atrium kiri (durasi gelombang P di lead II ≥0.12 detik
dan/atau aksis gelombang P berada di antara +45° dan −30°). Selain hal tersebut,
fibrilasi atrium juga sering ditemukan. Hasil elektrokardiografi berupa hipertrofi
ventrikel kanan (R/S di lead I <1, R/S di lead V1 > 1 dan S persistent di lead V6.)
dapat ditemukan pada pasien stenosis mitral dengan hipertensi pulmonal.

Gambar 2. Hasil EKG pasien stenosis mitral berat.1


Gambar 3. Foto ronsen thoraks pada pasien stenosis mitral berat dengan
pembesaran atrium kiri dan kongesti paru.1

Ekokardiografi merupakan modalitas pilihan yang paling sensitif dan spesifik


untuk diagnosis stenosis mitral. Sebelum ekokardiografi, kateterisasi jantung
merupakan suatu keharusan dalam diagnosis. Dengan ekokardiografik dapat
dilakukan evaluasi struktur dari katup, pliabilitas dari daun katup, ukuran dari area
katup dengan planimetri, struktur dari apparatus subvalvular, juga dapat ditentukan
fungsi ventrikel. Sedangkan dengan doppler dapat ditentukan gradien dari mitral,
serta ukuran dari area mitral dengan cara mengukur ‘pressure half time’ terutama bila
pada struktur katup sedemikian jelek karena kalsifikasi, sehingga pengukuran dengan
planimetri tidak dimungkinkan. Ekokardiografi juga dapat memberikan informasi
mengenai ukuran atrium kiri dan fungsi dari ventrikel kiri. Pemeriksaan doppler dapat
menentukan derajat keparahan stenosis mitral berdasarkan gradien transmitral, area
katup mitral, dan besarnya tekanan pulmonal. Selain itu dapat juga ditentukan
peruahan hemodinamik pada latihan atau pemberian beban dengan dobutamin,
sehingga dapat ditentukan derajat stenosis pada kelompok pasien yang tidak
menunjukkan beratnya stenosis pada saat istirahat.1,3,12
Ekokardiografi transesofageal merupakan pemeriksaan ekokardiografi dengan
menggunakan transduser endoskop, sehingga jendela ekokardiografi akan lebih luas,
terutama untuk struktur katup, atrium kiri atau apendiks atrium. Ekokardiografi
transesofagus lebih sensitif dalam mendeteksi thrombus pada atrium kiri. Selama ini
ekokardiografi transesofageal bukan merupakan prosedur rutin pada stenosis mitral,
namun pada prosedur valvulotomi balon atau pertimbangan antikoagulan sebaiknya
dilakukan.3

Gambar 4. Ekokardiogram pasien dengan stenosis mitral.4

Kateterisasi sudah jarang dilakukan untuk mendiagnosis stenosis mitral


karena informasi yang akurat biasanya didapat dengan menggunakan ekokardiografi.
Penggunaan kateterisasi sebagai diagnostik dapat berguna jika hanya ekokardiografi
tidak dapat menemukan stenosis mitral atau hasilnya tidak sesuai dengan gejala
klinis. Walaupun demikian, kateterisasi dipergunakan untuk sebelum, disaat, dan
sesudah intervesi non bedah valvulotomi dengan balon. 1,3,13

2.9. Tatalaksana
Terapi medis untuk pasien dengan stenosis mitral yang berirama sinus
biasanya relatif terbatas. Secara umum, semua pasien dengan stenosis mitral harus
mendapatkan profilaksis antibiotik yang tepat terhadap endokarditis jika ditemukan
tanda-tanda bakterimia. Antibiotik yang digunakan dapat berupa golongan penisilin,
eritromisin, sulfa, sefalosporin. Obat-obat inotropik negative seperti β-bloker atau
CCB (calcium chanel blocker) dapat memberi manfaat pada pasien dengan irama
sinus dengan fungsional NYHA III. Diet rendah garam disertai diuretik dapat
bermanfaat jika terdapat bukti adanya kongesti pada paru.5,14
Terapi antikoagulan diindikasikan untuk pencegahan emboli sistemik pada
pasien MS dengan AF (persisten atau paroxysmal), setiap kejadian emboli
sebelumnya (bahkan jika dalam ritme sinus), dan adanyaa trombus atrium kiri.
Antikoagulasi juga dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan irama sinus dan MS
parah ketika ada pembesaran atrium kiri yang parah (diameter> 55 mm) atau kontras
spontan pada echocardiography.5,14
Pasien tanpa gejala dengan ringan sampai sedang penyakit katup mitral
rematik harus memiliki pemeriksaan sejarah dan fisik setiap tahunnya, dengan
echocardiography setiap 3 sampai 5 tahun untuk stenosis ringan, setiap 1 sampai 2
tahun untuk stenosis moderat, dan setiap tahun untuk stenosis yang parah. Evaluasi
lebih sering sesuai untuk setiap perubahan dalam tanda-tanda atau gejala. Semua
pasien dengan MS yang signifikan harus disarankan untuk menghindari pekerjaan
yang membutuhkan tenaga yang berat.5,14
Pada pasien dengan MS berat, dengan gejala persisten setelah intervensi atau
ketika intervensi tidak mungkin, terapi medis dengan diuretik oral dan pembatasan
asupan natrium dapat meningkatkan gejala. Glikosida digitalis tidak mengubah
hemodinamik dan biasanya tidak bermanfaat bagi pasien dengan MS dan ritme sinus,
tetapi obat ini nilai dalam memperlambat laju ventrikel pada pasien dengan AF dan
dalam merawat pasien dengan gagal jantung kanan.5,14
Atrial Fibrilasi (AF) sering terjadi pada stenosis mitral. Prevalensi 30-40%
akan muncul akibat hemodinamik yang bermakna karena hilangnya kontribusi atrium
terhadap pengisian ventrikel serta frekuensi ventrikel yang cepat. Ketika AF terjadi
secara akut, biasanya AF disertai dengan Rapid Ventricular Response (RVR).
Penatalaksanaan dini perlu dilakukan seperti pemberian digitals dan dapat
dikombinasikan dengan β-bloker atau nondihydropyridine CCB. Ketika obat ini tidak
efektif atau ketika kontrol tingkat tambahan diperlukan, digoksin atau amiodarone
dapat dipertimbangkan. Selain hal diatas, upaya yang harus dilakukan untuk
membangun kembali ritme sinus adalah dengan mengkombinasi pengobatan
farmakologis dan kardioversi. Pada pasien yang telah memiliki AF selama lebih dari
24 jam, sebelum prosedur kardioversi, antikoagulasi dengan warfarin selama lebih
dari 3 minggu dapat dilakukan. 5,14
Stenosis mitral menimbulkan mekanisme obstruksi pada aliran darah di
jantung sehingga sebagai terapi definitifnya adalah menghilangkan obstruksinya
sendiri. Terdapat 3 prosedur untuk menghilangkan obstruksi mitral, yaitu : BMV
(Baloon mitral valvulotomy), komisurotomi, dan penggantian katup mitral.15
BMV merupakan prosedur terapetik invasive minimal untuk mengatasi
stenosis mitral tanpa komplikasi dengan cara memaksa membuka katup jantung oleh
balon. Kateter balon di masukkan dari arteri femoral kiri menuju inferior vena cava
dan atrium kiri. Kateter balon melewati septum atrium. Balon dikembangkan melalui
3 tahapan. Tahapan pertama, balon bagian distal mengembang dan harus tersangkut
di bagian ventrikel kiri-katup mitral. Kedua, balon bagian proksimal mengembang di
bagian bagian atrium kiri-katup mitral sehingga membuat kateter terfiksir. Ketiga,
balon bagian tengah mengembang sehingga memaksa katup mitral untuk terbuka.
Proses ini tidak boleh memakan waktu lebih dari 30 detik karena dapat menyebabkan
kongesti. BMV memiliki angka keberhasilan yang tinggi dengan komplikasi yang
minimal. Sejauh ini komplikasi yang serius ditemukan dapat berupa regurgitasi mitral
akut dan tamponade jantung akibat rusaknya strktur jantung yang disebkan saat
septum atrium ditembus kateter.5,13,14
BMV dianjurkan untuk pasien dengan gejala sedang sampai berat MS (yaitu,
area katup mitral <1 cm2/m2 luas permukaan tubuh [BSA] atau <1,5 cm2 di
berukuran normal dewasa) dan dengan morfologi katup menguntungkan, tidak ada
atau MR ringan, dan tidak ada bukti trombus atrium kiri. Bahkan gejala-gejala ringan,
seperti penurunan halus dalam toleransi latihan, merupakan indikasi untuk intervensi
karena prosedur mengurangi gejala dan meningkatkan hasil jangka panjang dengan
risiko rendah prosedural. Selain itu, BMV direkomendasikan untuk pasien tanpa
gejala dengan sedang sampai parah ketika MS obstruksi katup mitral telah
mengakibatkan hipertensi pulmonal dengan tekanan sistolik paru lebih besar dari 50
mm Hg pada saat istirahat atau 60 mm Hg dengan olahraga.5,13,14
Tiga pendekatan operasi yang tersedia untuk pengobatan MS rematik: (1)
valvotomi mitral tertutup menggunakan pendekatan transatrial atau transventricular,
(2) terbuka valvotomi (yaitu, valvotomi dilakukan di bawah penglihatan langsung
dengan bantuan cardiopulmonary bypass, yang dapat dikombinasikan dengan teknik
perbaikan lainnya, seperti reseksi leaflet, prosedur chordal, dan annuloplasty saat
MR hadir), dan (3) MV pengganti Intervensi bedah untuk yang dianjurkan untuk
pasien dengan MS berat dan gejala yang signifikan (NYHA kelas. III atau IV) atau
ketika BMV tidak tersedia.5,13,14
Valvotomi mitral tertutup jarang digunakan di Amerika Serikat saat ini, yang
telah digantikan oleh BMV, yang lebih efektif pada pasien yang adalah kandidat
untuk valvotomi mitral tertutup. Valvotomi mitral tertutup lebih populer di negara-
negara berkembang, di mana biaya operasi jantung terbuka dan bahkan kateter balon
untuk BMV merupakan faktor penting dan di mana pasien dengan MS yang lebih
muda dan karena itu memiliki katup lebih lentur. Namun, bahkan di negara-negara,
valvotomi mitral tertutup sedang digantikan oleh BMV.
Komisurotomi bedah dilakukan secara terbuka karena adanya mesin jantung-
paru saat ini. Dengan cara ini, katup terlihat dengan jelas sehingga pemisahan
komisura (komisurotomi) korda, otot papilaris, serta pembersihan kalsifikasi dapat
dilakukan dengan baik.
Komisurotomi berbeda dengan penggantian katup jantung dengan katup
protesa. Penggantian katup jantung dengan katup protesa dilakukan sebagai pilihan
akhir, namun pemilihan penggantian atup bergantung dengan kondisi pasien, umur
pasien, dan risiko terjadinya komplikasi lanjut dari stenosis mitral yang dimiliki
pasien. Perlu diingat bahwa katup protesa dapat menyebabkan thrombosis pada katup,
infeksi endokarditis, malfungsi protesa serta kejadian trombo emboli, sehingga
membuat pasien memerlukan obat antikoagulan.5,1
Penggantian katup jantung dianjurkan untuk pasien dengan gejala MR parah
ketika BMV atau bedah perbaikan katupmital tidak mungkin. Biasanya, penggantian
katup mitral diperlukan untuk pasien dengan stenosis mitral gabungan dan regurgitasi
mitral sedang atau berat, orang-orang dengan kalsifikasi commissural yang luas,
fibrosis parah, dan fusi Subvalvular, dan mereka yang telah menjalani valvotomi
sebelumnya. 5,14
Pengganti katup mitral ditunjukkan dalam dua kelompok pasien dengan
stenosis mitral yang katupnya tidak cocok untuk valvotomi, seperti halnya pada: (1)
orang-orang dengan luas katup mitral lebih kecil dari 1,5 cm2 di NYHA kelas III
atau IV, dan (2) orang-orang dengan stenosis mitral berat (katup mitral daerah ≤ 1
cm2), NYHA Kelas II, dan hipertensi pulmonal berat (tekanan sistolik arteri paru>
60 mm Hg). Karena risiko kematian operasi mungkin tinggi (10% sampai 20%) pada
pasien di NYHA kelas IV, operasi harus dilakukan sebelum pasien mencapai tahap
ini jika mungkin. 5,14
Stenosis Mitral

AKM ≥ 1.5cm2 ya Gejala tidak AKM ≤ 1.5cm2

ya tidak tidak
TAP istirahat >50 mmHg
Morfologi katup atau TAP Latihan >60 Morfologi
jantung sesuai mmHg atau new onset AF katup jantung
y
indikasi BMV a sesuai indikasi
BMV

tidak
tidak
tidak

Berisiko tinggi new


jika dioperasi onset
ya AF
ya I

tidak tidak tidak


I
tidak IIa

IIb
Tindakan reparasi Follow up klnis/
bedah katup atau ekokardiografi
ganti katup BMV

Gambar 5. Strategi manajemen untuk pasien dengan stenosis mitral berat.


AF=atrial fibrilasi; AKM= area katup mitral; BMV= balloon mitral valvulotomy;
TAP= tekanan arteri pulmonal.1
2.10. Prognosis
Apabila timbul atrium fibrilasi maka prognosisnya kurang baik (25% angka
harapan hidup 10 tahun) dibandingkan pada kelompok irama sinus (46% angka
harapan hidup 10 tahun). Hal ini dikarenakan angka resiko terjadinya emboli arterial
secara bermakna meningkat pada atrium fibrilasi. Penderita yang mendapatkan
intervensi bedah memiliki prognosis yang baik.4,14

2.11. Lampiran
Sesuai dengan petunjuk dari ‘American College of Cardiology/American
Heart Association (ACC/AHA) dipakai klasifikasi indikasi diagnosis prosedur terapi
sebagai berikut:
 Klas I : Keadaan dimana terdapat bukti atau kesepakatan umum bahwa prosedur
atau pengobatan itu bermanfaat dan efektif.
 Klas II : Keadaan dimana terdapat konflik/perbedaan pendapat tentang manfaat
atau efisifikasi dari suatu prosedur atau pengobatan..
o II.a. : bukti atau pendapat lebih kearah bermanfaat atau efektif
o II.b. : kutang/tidak terdapat adanya manfaat atau efikasi
 Kelas III : Keadaan dimana terdapat bukti atau kesepakatan umum bahwa
prosedur atau pengobatan itu tidak bermanfaat bahkan pada beberapa kasus
berbahaya.
Rekomendasi Ekokardiografi
No Indikasi Kla
`1 Diagnosis Stenosis mitral, evaluasi berat ringannya (gradient rata- I
rata, area katup, tekanan arteri pulmonalis), serta ukuran dan
fungsi ventriksel kanan
2 Evaluasi morfologis katup guna menentukan kelayakan tindakan I
balon katup. (BMV)
3 Diagnosa dan evaluasi kelainan katup yang menyertai I
4 Re-evaluasi stenosis mitral dengan perubahan gejala dan tanda I
5 Evaluasi respons hemodinamik dari gradient rata-rata pada latihan, IIa
bila terlihat perbedaan gambaran klinis dengn hemodinamik pada
latihan
6 Re-evaluasi pasien stenosis sedang-berat asimptomatik untuk IIb
menentukan tekanan arteri pulmonalis
7 Evaluasi rutin stenosis ringan dan klinis stabil III

Tabel 3. Rekomendasi ekokardiografi berdasarkan klasifikasi indikasi prosedur


terapi.5

Rekomendasi Ekokardiografi Transesofageal (ETT)


No Indikasi Kla
`1 Untuk menentukan ada tidaknya thrombus atrium kiri pada pasien IIa
dengan rencana BMV
2 Evaluasi morfologiskatup bila data transtorakal kurang optimal IIa
3 Evaluasi Rutin morfologis katup mitral bila data transtorakal III
cukup optimal
Tabel 4. Rekomendasi ekokardiografi transesofageal berdasarkan klasifikasi
indikasi prosedur terapi.5

Rekomendasi Pemakaian Antikoagulansia


No Indikasi Kla
`1 Fibrilasi atrial paroksismal atau kronik I
2 Riwayat kejadian emboli sebelumnya I
3 Stenosis berat dengan dimensi atrium kiri > 55mm IIb
4 Seluruh pasien dengan stenosis mitral III

Tabel 5. Rekomendasi pemakaian antikoagulansia berdasarkan klasifikasi


indikasi prosedur terapi.5

Rekomendasi Kateterisasi Jantung


No Indikasi Kla
`1 Pada pasien secara selektif I
2 Menentukan gradasi stenosis pada rencana BMV, dimana IIa
gambaran klinis dan eko tidak sesuai
3 Evaluasi arteri pulmonal, atrium kiri, tekanan diastolic ventrikel IIa
kiri jika simtom tidak sesuai dengan 2-D echo dan Doppler
4 Evaluasi respons hemodinaik arteri pulmonal dan tekanan atrium IIa
kiri terhadap stress bila simtom linis dan hemodinamik pada
istrirahat tidak sesuai
5 Evaluasi hemodinamik katup mitral bila data 2-D dan Doppler III
sesuai dengan temuan klinis
Tabel 6. Rekomendasi kateterisasi jantung berdasarkan klasifikasi indikasi
prosedur terapi.5

Rekomendasi Baloon Mitral Valvulotomy (BMV)


No Indikasi Kla
`1 Pasien simtomatik klasifikasi NYHA II-IV, stenosis mitral sedang- I
berat dengan area <1.5 cm2, morfologis katup memenuhi syarat
untuk BMV tanpa adanya thrombus atrium kiri atau regurgitasi
mitral sedang-berat.
2 Pasien asimtomatik dengan gradasi sedang-berat (area <1.5cm2), IIa
norflogis katup memenuhi syarat dengan hipertensi pulmonal
(>50mmHg pada istirahat, 60 mmHg dengan latihan), tanpa
adanya thrombus diatrium kiri atau regurgitasi mitral sedang-berat.
3 Pasien dengan klasifikasi NYHA II-IV, gradasi sedang-berat, IIa
katup tidak pliable disertai klasifkasi dengan risiko tinggi operasi,
tanpa adanya thrombus diatrium kiri atau regurgitasi mitral
sedang-berat.
4 Pasien asimtomatik, gradasi sedang-berat, morfologi katup IIb
memenuhi syarat untuk BMV, disertai onset atrial firilasi yang
baru tanpa adanya thrombus diatrium kiri atau regurgitasi mitral
sedang-berat.
5 Klasifikasi NYHA III-IV, gradasi sedang-berat, katup kaku IIb
disertai klasifikasi dan risiko rendah untuk operasi
6 Pasien dengan stenosis mitral ringan III

Tabel 7. Rekomendasi Baloon Mitral Valvulotomy (BMV) berdasarkan


klasifikasi indikasi prosedur terapi.5
BAB III
KESIMPULAN
Stenosis mitral merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran
darah dari atrium kiri melalui katup mitral. Gangguan aliran tersebut terjadi akibat
kelainan struktur mitral sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri pada saat
diastol.3
Prevalensi terjadi mitral stenosis sebanding dengan prevalensi penyakit
rematik. Prevalensi penyakit rematik lebih tinggi di negara-negara berkembang
daripada Amerika serikat. Pada tahun 1980 insiden demam reumatik di Amerika
Serikat berkisar 0,5-2/100.000 penduduk dan semakin menurun di tahun selanjutnya
dikarenakan pengobatan yang luas dan efektif dari penggunaan antibiotik dalam
mengobati infeksi dari streptococcus.8
Penyebab tersering dari stenosis mitral adalah endokarditis reumatik, akibat
reaksi yang progresif dari demam rematik oleh infeksi streptokokkus. Diperkirakan
90% stenosis mitral didasarkan atas penyakit jantung rematik. Penyebab lainnya
walaupun jarang yaitu stenosis mitral kongenital, vegetasi dari systemic lupus
eritematosus (SLE), deposit amiloid, mukopolisarkaidosi, miksoma atrium kiri.,akibat
obat fenfluramin/phentermin, serta kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia
lanjut akibat proses degeneratif. 3,4,7
Proses perubahan patologi sampai terjadinya gejala klinis (periode laten)
biasanya memakan waktu bertahun-tahun (10-20 tahun). Proses ini akan
menimbulkan fibrosis dan penebalan katup jantung, kalsifikasi, fusi komisura,
pemendekan korda atau kombinasi dari proses tersebut. Fusi dari komisura akan
menimbulkan penyempitan dari orifisium primer, sedangkan fusi korda
mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder. Pada endokarditis reumatika,
daun katup dan korda akan mengalami sikatrik dan kontraktur bersamaan dengan
pemendekan korda.3,7
Normalnya, luas katup mitral dapat membuka berukuran 4.0 cm2 hingga 5.0
cm2. Gejala stenosis mitral biasanya muncul ketika luas katup mitral saat membuka
hanya mencapai 1.5 cm2 hingga 2.5 cm2. Gejala stenosis mitral juga dapat muncul
saat istirahat jika luas katup mitral saat membuka tidak mencapai 1.0 cm2. Walaupun
begitu, gejala stenosis mitral dapat muncul pada katup mitral yang masih dapat
membuka lebar namun pengisian diastoliknya mengalami gangguan. Hal tersebut
dapat terjadi pada ibu hamil, fibrilasi atrium, olahraga, dan efek emosional.4. Derajat
keparahan stenosis mitral dapat diklasifikasikan menjadi derajat ringan, derajat
sedang, dan derajat berat berdasarkan luas area katup mitral saat terbuka, tekanan
rata-rata, dan tekanan darah arteri pulmonal.5 Gejala pertama yang sering muncul dari
stenosis mitral adalah sesak nafas (shortness of breath), namun pada pasien stenosis
mitral dapat juga ditemukan gejala seperti fibrilasi atrium, edema paru, dan emboli.
Beberapa gejala yang jarang terjadi pada stenosis mitral dapat berupa suara serak,
batuk darah, dan disfagia.
Derajat berat ringannya stenosis mitral dapat juga ditentukan oleh gradien
trasmitral, luasnya area katup mitral. Serta hubungan antara lamanya waktu antara
penutupan katup aorta dan kejadian opening snap. Sistem skoring katup mitral dapat
menggunakan skor Wilkins (Boston). Sistem skoring Wilkins mengevaluasi:
penebalan katup, mobilitas, kalsifikasi, dan penebalan subvalvular. Setiap kategori
memiliki 4 skor. Morfologi katup mitral dikatakan menguntungkan apabila skor ≤ 8.
Pada pemeriksaan fisik. Palpitasi pada bagian dada anterior kiri bisa dirasakan
pada pasien dengan peningkatan tekanan ventrikel kanan. Pada auskultasi dapat
ditemukan suara S1 yang keras. Selain suara S1 yang keras, suara opening snap (OS)
setelah suara S2 biasanya muncul pada kasus stenosis mitral. Interval antara S2 dan
OS akan semakin memendek seiring parahnya derajat stenosis mitral. Pada kasus
stenosis mitral, suara murmur dapat didengar. Hal tersebut dikarenakan turbulensi
yang terjadi akibat katup mitral yang tidak dapat membuka lebar saat diastol.
Gambaran klasik dari foto thoraks adalah pembesaran atrium kiri serta
pembesaran arteri pulmonalis. edema interistisial berupa garis Kerley terdapat pada
30% pasien dengan tekanan atrium kiri <20 mmHg. Temuan tersering yang muncul
pada EKG adalah pembesaran atrium kiri (durasi gelombang P di lead II ≥0.12 detik
dan/atau aksis gelombang P berada di antara +45° dan −30°). Selain hal tersebut,
fibrilasi atrium juga sering ditemukan. Hasil elektrokardiografi berupa hipertrofi
ventrikel kanan (R/S di lead I <1, R/S di lead V1 > 1 dan S persistent di lead V6.)
dapat ditemukan pada pasien stenosis mitral dengan hipertensi pulmonal.
Ekokardiografi merupakan modalitas pilihan yang paling sensitif dan spesifik
untuk diagnosis stenosis mitral. Dengan ekokardiografik dapat dilakukan evaluasi
struktur dari katup, pliabilitas dari daun katup, ukuran dari area katup dengan
planimetri, struktur dari apparatus subvalvular, juga dapat ditentukan fungsi ventrikel.
Sedangkan dengan doppler dapat ditentukan gradien dari mitral, serta ukuran dari
area mitral dengan cara mengukur ‘pressure half time’. Ekokardiografi juga dapat
memberikan informasi mengenai ukuran atrium kiri dan fungsi dari ventrikel kiri.
Pemeriksaan doppler dapat menentukan derajat keparahan stenosis mitral berdasarkan
gradien transmitral, area katup mitral, dan besarnya tekanan pulmonal. Selain itu
dapat juga ditentukan peruahan hemodinamik pada latihan atau pemberian beban
dengan dobutamin, sehingga dapat ditentukan derajat stenosis pada kelompok pasien
yang tidak menunjukkan beratnya stenosis pada saat istirahat. Ekokardiografi
transesofagus lebih sensitif dalam mendeteksi thrombus pada atrium kiri. Kateterisasi
sudah jarang dilakukan untuk mendiagnosis stenosis mitral karena informasi yang
akurat biasanya didapat dengan menggunakan ekokardiografi.1,3,12.
Secara umum, semua pasien dengan stenosis mitral harus mendapatkan
profilaksis antibiotik yang tepat terhadap endokarditis jika ditemukan tanda-tanda
bakterimia. Antibiotik yang digunakan dapat berupa golongan penisilin, eritromisin,
sulfa, sefalosporin. Obat-obat inotropik negative seperti β-bloker atau CCB (calcium
chanel blocker) dapat memberi manfaat pada pasien dengan irama sinus dengan
fungsional NYHA III. Diet rendah garam disertai diuretik dapat bermanfaat jika
terdapat bukti adanya kongesti pada paru.5,14`Terapi antikoagulan diindikasikan untuk
pencegahan emboli sistemik pada pasien MS dengan AF
Atrial Fibrilasi (AF) sering terjadi pada stenosis mitral. Prevalensi 30-40%
akan muncul akibat hemodinamik yang bermakna karena hilangnya kontribusi atrium
terhadap pengisian ventrikel serta frekuensi ventrikel yang cepat. Ketika AF terjadi
secara akut, biasanya AF disertai dengan Rapid Ventricular Response (RVR).
Penatalaksanaan dini perlu dilakukan seperti pemberian digitals dan dapat
dikombinasikan dengan β-bloker atau nondihydropyridine CCB. Ketika obat ini tidak
efektif atau ketika kontrol tingkat tambahan diperlukan, digoksin atau amiodarone
dapat dipertimbangkan. Selain hal diatas, upaya yang harus dilakukan untuk
membangun kembali ritme sinus adalah dengan mengkombinasi pengobatan
farmakologis dan kardioversi.
Stenosis mitral menimbulkan mekanisme obstruksi pada aliran darah di
jantung sehingga sebagai terapi definitifnya adalah menghilangkan obstruksinya
sendiri. Terdapat 3 prosedur untuk menghilangkan obstruksi mitral, yaitu : BMV
(Baloon mitral valvulotomy), komisurotomi, dan penggantian katup mitral.15
DAFTAR PUSTAKA

1. Maganti K, Rigolin VH, Sarano EM, dan Bonow OR.Valvular Heart Disease:
“Diagnosis and Management”. Mayo Clin Proc. Mei 2010; 85(5): 483–500.
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2861980/#__ffn_sectitle, diakses
tanggal 7/5/2014)
2. Nikomo VT, Gardin JM, Skelton TM, Gottdiener JS, Scot CG, Sarano EM. Burden of
Valvular Disease : “a population based study”. Lancet. 16 Sep 2006;368(9540):1005-
11.(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16980116, diakses tanggal 7/5/2014)
3. Sudoyo AW, Setiyojadi B, Alwi I, Simadhibrata MK, dan Setiati S (editor). Buku
Ajar Ilmu Penyakit dalam (jilid II, edisi IV). Jakarta: Interna Publishing. 2009. Hal
1672-1678.
4. Bonow RO, Carabello BA, Chatterjee K, et al. 2008 Focused update incorporated into
the ACC/AHA 2006 guidelines for the management of patients with valvular heart
disease: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Develop Guidelines for the
Management of Patients With Valvular Heart Disease). Circulation 2008;118:e523-
e661.( http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18820172, diakses tanggal 7/5/2014)
5. Baumgartner H, Hung J, Bernejo J, et al. Echocardiographic assessment of valve
stenosis: EAE/ASE recommendations for clinical practice. J Am Soc Echocardiogr.
2009;22:1-23. (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19130998" \t "_blank, diakses
tanggal 7/5/2014)
6. Otto CM, Bonow RO. Valvular heart disease. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL,
Zipes DP, editors. , eds. Braunwald's Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular
Medicine 8th ed.Philadelphia, PA: WB Saunders; 2007:1625-1712 .
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
7. Lilly LS (editor). Pathophysiologi of heart disease : “a collaborative project of
medical students and faculty” (edisi ke 5). Philadelphia : Wolter Kluwer business.
2011. Hal 192-196.
8. Yusak M. stenosis mitral. In : Rilantono LI, eds. Buku ajar kardiologi. 5th. Jakarta:
Gaya baru. 2004. P: 135-138.
9. Swain, 2005. Mitral Stenosis. McNamara et al, eds. eMedicine.
http/www.eMedicine.com/emerg. Topic.315.htm.
10. Shahbudin H, Rahimtola, Durairaj A, Mehra A, Nuno I. Curret Evaluation and
Management if Patients With Mitral Stenosis.Circulation,2002;106:1183-1188.
(http://circ.ahajournals.org/content/106/10/1183.full.pdf
11. Otto CM. The left ventricular response to chronic pressure and/or volume overload
and aortic regurgitation. In: Otto CM, editor. , ed. Valvular Heart Disease 2nd
ed.Philadelphia, PA: WB Saunders; 2003:302-335.
12. Osama I.I.Soliman, Ashraf M. Anwar, Ahmed K. Metawei. Jackie S. McGhie, Marcel
L. Geleijnse, dan Folkert J. Ten Cate. New Scores for the Assessment of Mitral
Stenosis Using Real-time Three-dimensional Echocardiography. Curr Cardiovasc
Imaging Rep. Oct 2011;4(5): 370-377. doi: 10.1007/s12410-011-9099-z
13. Wilkins GT, Weymen AE, Abascal VM, Block PC, Palacios IF. Percutaneous balloon
dilation of the mitral valve: an analysis of echocardiographic variables related to
outcome and the mechanism of dilatation. Br Heart J. 1988;60:299-308. [PMC free
article] [PubMed]
14. Carabello BA. Contemporary Reviews in Cardiovascular Medicine : “Modern
Management of Mitral Stenosis”. Circulation. 2005; 112: 432-437.
15. Reyes VP, Raju BS, Wynne J, Stephenson LW, Raju R, Fromm BS, Rajagopal P,
Mehta P, Singh S, Rao DP. Percutaneous balloon valvuloplasty compared with open
surgical commissurotomy for mitral stenosis. N Engl J Med. 1994; 331: 961–967.

Anda mungkin juga menyukai