Anda di halaman 1dari 4

CITA DAN CINTA

Diujung sebuah desa yang kumuh, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk
perkotaan,di samping sungai yang menglir, bergerincing suara kincir angin, terdapat
sebuah gubuk, dan di dalam sebuah gubuk yang rapuh dan mungkin tak layak untuk di
jadikan sebuah rumah, namun riri gadis kecil yang berumur 10 tahun tetap tinggal
bersama ibundanya tercinta. Kehidupan riri tidak seperti kehidupan anak-anak kecil
seusianya yang masih senang bermain dan bersenang-senang. Riri dengan usia yang
masih sangat kecil harus merasakan beratnya kehidupan, mencari sesuap nasi untuk
makan, berjuang melawan kerasnya kehidupan, ibundanya yang hanya bekerja
sebagai buruh tani, tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga kecilnya,
ayah riri yang sudah tiada semenjak riri kecil, mengharuskan riri membantu
ibundanya mencari sesuap nasi, bahkan riripun putus sekolah karena biaya yang
relative mahal. Dalam lubuk hati Riri yang terdalam riri sangat ingin sekali
merasakan sekolah, memakai baju seragam, mengerjakan PR, dan bermain bersama
teman-teman seusianya, namun riripun sadar, di tengah himpitan ekonomi, ia tidak
bisa mewujudkan keinginannya, sering kali riri merengek dan meminta sekolah
kepada ibunya, namun selalu airmata yang bisa menjawab rengekan riri, betapa tidak
kuasa ibu melihat riri yang ingin sekali meminta untuk sekolah, bukan berarti
ibundanya tidak mau menyekolahkannya tapi sekali lagi semua karena himpitan
ekonomi, untuk mencari makan sehari-haripun kadang tidak bisa tercukupi,bagaiman
untuk sekolah, seragam, buku, dan lain-lainnya, hati ibu teriris pilu setiap kali riri
merengek dan minta sekolah.

Ketika sang surya tenggelam di pelupuk timur, hanya sinar rembulan yang
menerangi malam-malam keluarga riri,tidak ada lilin apalagi lampu, namun itu sudah
menjadi pemandangan biasa di keluarga kecil ini, sepi, sunyi, sudah menjadi teman
sehari-hari. Rengekan Riri selalu datang ketika sunyi menerkam. “Bu, Riri ingin sekali
sekolah, riri ingin bisa membaca dan berhitung bu, kaya temem-temen riri yang lain”
Pinta riri kepada ibunya yang saat itu sedang menjahit bajunya yang rusak.
Mendengar pinta riri, ibu hanya bisa diam dan menahan air matnya. “Ibu kenapa
diam setiap riri minta sekolah, Ibu ga mau riri pintar?” rengekan riripun semakin
membuat hati ibu pilu, sesekali ibu menghela nafas panjang, dan terus melanjutkan
menjahit, berpura-pura tidak mendengar perkataan Riri, namun riri selalu bertanya.
“Bu, riri ingin sekolah, boleh ya bu, Riri akan kerja lebih giat lagi kho bu, agar riri
bisa sekolah,riri tidak akan menyusahkan ibu, ibu jangan diam saja”. Dengan
kesungguhan riri meminta kepada ibunya,mata kecil itu terlihat berkaca-kaca,
ucapan dari mulut mungil itu, membuat ibu semakin pilu, kali ini ibu tidak bisa
menahan iar matanya, segera ibu memeluk riri dengan airmata yang mengalir di pipi
kusamnya.

“Maafkan ibu ya nak” ibu tidak bisa bicara apapun lagi, dengan eratnya ibu
memeluk tubuh kecil riri, derai airmatapun tidak bisa terbendung lagi.

“Ibu kenapa menangis?ibu tidak punya salah,ibu tidak usah minta maaf, ibu
jangan nangis ya!” tangan kecil riri menghapus airmata ibu yang mengalir di pipinya.

“Maafkan ibu ya nak, ibu belum bisa menyekolahkan Riri, ibu akan usaha lebih
keras lagi agar Riri bisa sekolah sama teman-teman yang lain, ibu janji” Sedikit
senyuman di tengah kepedihan, sedikit keyakinan di tengah-tengah harapan, ibu
mencoba meyakinkan riri, dan menghapus airmatanya.

“Bener ya bu? Riri juga akan bantu ibu kerja lebih giat lagi agar Riri bisa
sekolah”

“Iya sayang, ibu janji, Riri pasti bisa sekolah” dengan nada yang meyakinkan
riri tersenyum dan memeluk ibu dengan erat.

“Terima kasih ya bu, Riri sayang banget sama ibu, nanti kalau Riri sudah
sekolah, Ibu anter Riri berangkat sekolah ya bu?”. Harapan yang riri sampaikan
kepada ibu membuat ibu semakin sedih, karena ibu takut, ibu tidak bisa mewujudkan
harapan Riri.

“Iya sayang, setiap hari ibu akan anter Riri berangkat ke sekolah, jika perlu
ibu juga akan jemput Riri pulang dari sekolah, tapi sekarang riri harus tidur ya,
sudah malam”. Ibu memberikan selimut untuk menghatkan tubuh kecil riri., dan
ibupun tidur di samping riri sambil berselawat agar riri bisa cepat memejamkan
matanya.

....
Pagi itu,matahari tersenyum dengan indah, burung-burungpun bernyanyi
dengan merdu, suasana yang bersahabat, tidak ada pertanda hujan atau angin badai,
namun betapa riri sangat terkejut melihat ibunda tercinta terbaring di depan pintu
dengan wajah yang pucat,darah mengalir dari kedua hidung ibu.

“ibu…..!” teriak riri dengan keras sambil mengangkat kepala ibu, seketika
airmata riri mengalir, terisak dan sangat terpukul.

“ibu bangun…tolong…tolong..!!!” riri panik, riri tidak tahu apa yang harus riri
lakukan, berkali-kali jeritan suara riri mengemuka, berharap seseorang
mendengarnya. Beberapa menit kemudian, pak darta tetangga kampung yang hendak
ke sawah mendengar teriakan riri, dengan segera pak darta menghampiri riri dengan
ibunya yang tergeletak di lantai rumahnya yang masih terbalut dengan tanah.

“MasyaAllah,ibu darmi knpa ri?” Tanya pak darta dengan wajah panic.

“Riri juga tidak tahu pak, ketika Riri mau ambil air, riri liat ibu sudah
terbaring di depan pintu,tolong ibu pak! Riri tidak mau terjadi sesuatu sama ibu.”
Pinta riri dengan airmata yang mengalir di pipinya.

Hati pak darta sangat pilu mendengar ucapan riri, dengan sigap pak darta
mengangkat tubuh bu darmi ke atas tempat tidur.

“Riri harus gimana pak?” Riri sangat bingung melihat keadaan ibu.

“Riri tolong panggilkan bu bidan ratna, di kampung sebelah y, biyar pak darta
yang menjaga ibu”.

“iya pak, titip ibu ya”. Dengan segera riri berlari untuk memanggil bu bidan.

Dengan peluh keringat yang mengalir di pipinya bercampur airmata riri berlari
sekuat tenaga, tidak peduli apa yang ada di sekitarnya pemikirannya terfokus
dengan ibu, ibu dan ibu, karena yang riri punya di dunia ini hanya ibu saja. Seketika
langit mendung tidak bersahabat, seolah langitpun merasakan pilunya hati riri saat
itu, dan seketika pula hujan turun dengan deras membasahi tubuh kecil riri yang
berlari di tengah kebun teh yang hijau membentang, airmatanya tidak bisa
terbendung mengguyur pipi, seperti hujan mengguyur bumi. Riri tidak peduli dengan
air hujan yang membasahinya, riri tetap berlari, untuk menemui bu bidan.
Dengan nafas yang terengah-engah, baju yang basah,riri menggedor pintu bu
anti,bidan desa itu.

“asslamualaikum, bu bidan…bu…asslamualaikmum??” ucap salam riri di depan


rumah bidan ratna dengan baju yang basah kuyup dan nafas terengah-engah.
Beruntung bidan ratna masih di rumah.

“waalaikumsalam..sebentar.” jawab bidan ratna dan segera menghampiri pintu


rumahnya. Namun betapa terkejutnya bidan ratna bahwa ternyata yang mengucap
salam itu adalah riri, gadis kecil berumur 10 tahun, dengan baju basah kuyup dan
menggigil kedinginan.

“tolong ibu bu bidan “ pinta riri segera dengan nada suara yang gemetaran
kedinginan dan wajah yang memelas.

“MasyaAllah kenapa riri?ayo masuk dulu”

Anda mungkin juga menyukai