Anda di halaman 1dari 4

A.

Pengertian Kafalah
Kafalah menurut bahasa berarti dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan
za'amah (tanggungan). Menurut istilah adalah menggabungkan dua beban
(tanggungan) dalam permintaan dan utang.
Menurut Heri Sudarsono, pengertian kafalah adalah jaminan yang diberikan
oleh penanggung kepada Pihak ketiga untuk pihak kedua atau yang ditanggung.
Dari pengertian kafalah tersebut dapat dipahami bahwa kafalah jaminan
seseorang kepada utang orang lain kepada pihak ketiga.1
B. Rukun dan Syarat Kafalah:
1. Dhamin (penjamin), syaratnya balig, berakal dan tidak dicegah membelanjakan
hartanya.
2. Madmun lah (yang berpiutang), diketahui oleh penjamin.
3. Madmun anhu (yang berutang).
4. Madhmun bih (utang), syaratnya dapat diketahui.
5. Lafaz, syaratnya tidak tergantung pada sesuatu dan tidak sementara.
C. Dasar Hukum Kafalah
Yang dimaksud dengan dasar hukum kafalah adalah landasan dari sumber
hukum dibolehkannya terutama dari Al-Qur'an dan Hadis.
1. Surat Yusuf [12]: 66:
“Ya'kub berkata aku tidak membiarkannya pergi bersamamu, sebelum kamu
memberikan janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti membawanya
kembali kepadaku”.
2. Surat Yusuf [12]: 72:
“Penyeru-penyeru itu berkata: Kami kehilangan piala raja, siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan
aku akan menjamin terhadapnya”.
3. Dasar Hukum dari Hadis Abu Daud:
“Pinjaman hendaklah dikembalikan, dan yang menjamin hendaklah membayar. ”
4. Hadis riwayat dari Bukhari, telah dikutip di atas tentang orang yang menjamin
utang mayat yang mau dishalatkan.2

1
Akhmad Mujahidin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016, hlm. 124.
2
Ibid., hlm. 125.
D. Studi tentang Penetapan Norma Hukum dan Fatwa Mengenai Kafalah
Fatwa DSN Nomor 11/DSN-MUI/VII/2000 tentang Kafalah;
1. Menimbang:
a. Bahwa dalam menjalankan usahanya, seseorang sering memerlukan
penjaminan dari pihak lain melalui akad kafalah, yaitu jaminan yang diberikan
oleh penanggung (kafi!) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban
pihak kedua atau yang ditanggung (mahful 'anhu, anshil).
b. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan tersebut LKS berkewajiban untuk
menyediakan satu skema penjaminan (kafalah) yang berdasarkan prinsip-
prinsip syariah.
c. Bahwa kegiatan kafalah tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN
memandang perlu menetapkan fatwa tentang akad wakalah (kafalah, pen)
untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
2. Mengingat:
a. Al-Qur'an: Surat Yusuf [12]: 72, telah dikutip di atas Surat Al-Maidah [5]: 2,
sebagaimana telah dikutip di atas;
b. Hadis:
1) Hadis riwayat Bukhari, sebagaimana telah dikutip di atas
2) Hadis riwayat Muslim;
“Allah menolong hamba selama hambanya menolong saudaranya”.
c. Hadis riwayat Tarmizi dari 'Amr bin ”Auf, telah dikutip di atas, tentang
seorang Muslim terikat dengan janjinya selama tidak mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram.
d. Kaidah Fiqhiyah, yang telah dikutip di atas tentang:
1) Pada dasarnya setiap muamalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang
mengharamkannya;
2) Bahaya harus dihilangkan, kesulitan dapat menarik kemudahan;
3) Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu
yang berdasarkan syara' asal tidak bertentangan dengan syariat.3

3
Ibid., hlm. 126.
3. Memerhatikan:
Pendapat peserta Rapat Pleno, DSN-MUI, hari Kamis tanggal 8 Muharram
1421 H/ 13 April 2000;
Dewan Syariah Nasional Menetapkan: FATWA TENTANG KAFALAH
Pertama: Ketentuan Umum Kafalah
a. Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad);
b. Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak
memberatkan.
Kedua: Rukun dan Syarat Kafalah
a. Pihak penjamin (kafil);
1) Baligh (dewasa) dan berakal;
2) Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dan rela menanggung
kafalah tersebut.
b. Pihak orang yang berutang (makful anhu);
1) Sanggup menyerahkan tanggungan;
2) Dikenal oleh penjamin.
c. Pihak orang yang berpiutang (makful lahu);
1) Diketahui identitasnya;
2) Dapat hadir pada waktu akad;
3) Berakal sehat.
d. Objek penjaminan (makful bih);
1) Merupakan tanggungan orang yang berutang; Bisa dilaksanakan;
2) Harus merupakan piutang mengikat;
3) Harus jelas nilai, jumlah spesifikasinya;
4) Tidak bertentangan dengan syara'.
Ketiga:
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara pihak-pihak, maka penyelesaian dilakukan melalui badan
arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.4

4
Ibid., hlm. 127.
Dalam ketentuan KHES kafalah diatur pada Bab XII, terdiri dari Pasal 335
sampai dengan 361. Rukun kafalah terdiri dari lima macam sebagaimana disebutkan
pada Pasal 335, yaitu:
1. KafiI/penjamin, syaratnya:
a. Cakap hukum;
b. Boleh lebih dari satu orang;
c. Tidak dapat menarik jaminannya, kecuali dipersyaratkan lain.
2. Makfu 'anhu/pihak yang dijamin, syaratnya:
a. Dikenal oleh penjamin;
b. Sanggup menyerahkan jaminannya.
3. Mahful lahu/yang berpiutang, syaratnya:
a. Diketahui identitasnya.
4. Makful bihi/objek, syaratnya:
a. Merupakan tanggungan orang yang berutang;
b. Bisa dilaksanakan;
c. Harus merupakan piutang mengikat;
d. Harus jelas nilai;
e. jumlah spesifikasinya;
f. Tidak bertentangan dengan syara';
g. Barang jaminan tidak dapat dijaminkan lagi.
Dari uraian tersebut dapat dilihat perbedaan dan persamaan antara fiqh, Fatwa
DSN dan KHES. Mengenai rukun kafalah sama yaitu terdiri dari lima, perbedaannya
terhadap syarat dan rukun, yang lebih menonjol perbedaannya adalah syarat kafalah
dalam fiqh jauh berbeda dengan Fatwa DSN dan KHES. Sedangkan antara Fatwa
DSN dengan KHES hampir sama, bedanya pada syarat terhadap objek kafalah,
menurut DSN tidak ada syarat objek tidak boleh dijaminkan lagi, sementara KHES
mensyaratkannya. Kemudian perbedaan Fatwa DSN dan KHES, pada syarat orang
yang berpiutang, dalam Fatwa DSN ada tiga syarat, sementara KHES, hanya
mensyaratkan dikenal identitasnya.5

DAFTAR PUSTAKA:

Mujahidin, Akhmad. Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016.

5
Ibid., hlm. 128.

Anda mungkin juga menyukai