Anda di halaman 1dari 40

MANAJEMEN FISIOTERAPI NEUROMUSCULAR

(Diabetic Poli Neuropatik)

DOSEN PEMBIMBING
Kurnia Putri Utama, S.Ft., M. Biomed., Physio

OLEH :

Suharni Raufe : 201610490311079

Tantia Dewi Harianto : 201610490311080

Lu’lu Dalila Azmi : 201610490311087

Nura Maulida Isna : 201610490311089

PROGRAM STUDI :

Fisioterapi

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas Rahmat dan RidhaNya, kami
bisa membuat suatu makalah yang Insya Allah akan bermanfaat bagi kami sebagai pembuat
dan pembaca.

Kami sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung, memberi saran, dan
masukan–masukannya untuk kelancaran pembuatan makalah ini. Khususnya kepada dosen
Manajemen Muskuloskeletal kami, Ibu Kurnia Putri Utami S.Ft., M.Biomed yang sangat
berperan dalam pengarahan pembuatan makalah ini.

Malang, maret 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................................

KATA PENGANTAR...........................................................................................................

DAFTAR ISI..........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................

I.I Latar Belakang.........................................................................................................

I.II Rumusan Masalah...................................................................................................

I.III Tujuan Penulisan...................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................

II.I Anatomi Fungsi.......................................................................................................

II.II Definisi..................................................................................................................

II.III Etiologi.........................................................................................................

II.IV Patofisiologi.........................................................................................................

II.V Tanda Gejala..........................................................................................................

II.VI Faktor Resiko......................................................................................................

II.VII Klasifikasi...........................................................................................................

II.VIII Diagnosis...........................................................................................................

II.IX Penatalaksanaan................................................................................................

BAB III STATUS KLINIS....................................................................................................


BAB IV PENUTUPAN.........................................................................................................

IV.I Kesimpulan...........................................................................................................

IV.II Saran....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang mempunyai
karakteristik ketidakseimbangan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak.
Gambaran utamanya adalah peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang
disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (PERKENI,
2011). Neuropati diabetika (ND) merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes
mellitus (DM) yang sering meresah penderita karena dirasakan sebagai siksaan oleh
penderita. Neuropati juga menambahkan angka moralitas dan menurukan kualitas
hidup penderita DM. Satu diantara 4 penderita DM akan mengalami polineuropati
distal simetris. Hiperglikemia yang menetap dapat mempengaruhi hampir seluruh
jaringan di tubuh dan berhubungan dengan komplikasi berbagai system organ,
termasuk mata, saraf, ginjal, dan pembuluh darah. ((Brownlee et al., 2008;
Unnikrishnan, et al., 2007).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2003 prevalensi
diabetes pada penduduk di atas 20 tahun sebanyak 13,7 juta. Menurut hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diabetes di Indonesia menempati urutan
keenam penyakit penyebab kematian (5,8%) setelah stroke, tuberkulosis, hipertensi,
cedera dan perinatal. Diabetes sebagai penyebab kematian pada kelompok usia 45-54
tahun di daerah perkotaan menduduki peringkat ke-dua yaitu 14,7%. Dan daerah
pedesaan, diabetes menduduki peringkat ke-enam yaitu 5,8% (PERKENI, 2011).
Polineuropati diabetika merupakan neuropati diabetika yang terbanyak di jumpai.
Pada pasien-pasien DM tipe 2, 59 % menunjukkan berbagai neuropati diabetika, 45%
diantaranya menderita polineuropati diabetika. Polineuropati terjadi pada hampir 30%
pasien yang dirawat akibat diabetes dan hampir 20% pada pasien diabetes rawat jalan.
Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri hebat dan akut seperti terbakar, pedih,
seperti kesetrum dan alodinia yang tiada henti pada tunkai dan memburuk pada
malam hari. Nyeri ini secara bermakna berdampak terhadap kualitas hidup pasien.
Untuk menilai intensitas nyeri dan kemajuan terapi dipakai Visual Analoque Scale
(VAS). Faktor – factor resiko yang memperngaruhi timbulnya komplikasi neuropati
diabetika meliputi umur, hipertensi, lamanya diabetes, dyslipidemia, merokok dan
tinggi badan. Dengan mengendalikan factor-faktor resiko tersebut, diharapkan
pencegahan neuropati diabetika dapat lebih optimal atau minimal dapat menghambat
proses percepatannya.
Diagnosis neuropati diabetika ditegakkan bila terdapat gejala dan tanda klinik
berupa gangguan sensorik, motorik maupun otonom ditambah pemeriksaan obyektif
saraf perifer. Sampai saat ini pemeriksaan elektromiografi (EMG) banyak digunakan
karena mempunyai nilai sensitivitas tinggi dan non invasif. Tetapi EMG ini hanya
tersedia di rumah sakit rujukan, oleh karena itu diperlukan metode yang sederhana
untuk diagnosis neuropati diabetika, salah satunya adalah Toronto Clinical Scoring
System (TCSS). TCSS telah menjadi consensus antara ahli diabetes dan neurologi
sebagai metode diagnosis neuropati diabetika, disamping pemeriksaan yang
sederhana, praktis dan mudah dilakukan.. Meijer et al dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa skor Diabetic Neuropathy Examination (DNE) dan Diabetic
Neuropathy Symptom (DNS) merupakan instrumen untuk membedakan penderita
dabetes dengan dan tanpa neuropati yang mudah dan praktis digunakan.

2. Rumusan masalah
a) Apa definisi dari Diabetik Polineuropatik ?
b) Anatomi fislogi?
c) Apa saja etiologi dari Diabetic Polineuropatik ?
d) Bagaimana patofisiologi dari Diabetic Polineuropatik ?
e) Apa saja tanda dan gejala Diabetic Polineuropatik ?
f) Apa saja faktor resiko Diabetic Polineuropatik ?
g) Apa saja klasifikasi dan gambaran klinik Diabetik Polineuropatik ?
h) Bagaimana diagnosis diabetic polineuropatik ?

3. Tujuan
a) Untuk mengetahui definisi dari Diabetic Polineuropatik
b) Untuk mengetahui etiologi dari Diabetic Polineuropatik
c) Untuk mengetahui tanda dan gejala dari Diabetic Polineuropatik
d) Untuk mengetahui factor resiko dari Diabetic Polineuropatik
e) Untuk mengetahui fisiologi dari Diabetic Polineuropatik
f) Untuk mengetahui patofisiologi dari Diabetic Polineuropatik
g) Untuk mengetahui klasifikasi dan gambaran klinik Diabetik Polineuropatik
h) Untuk mengetahui diagnosis Diabetik Polineuropati
BAB II

PEMBAHASAN

I. Anatomi Fisiologi
II. Definisi
Definisi neuropati diabetika adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi
saraf perifer dari penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain diabetes melitus
setelah dilakukan eksklusi lainnya (Sjahrir, 2006). Polineuropati diabetika
menggambarkan keterlibatan banyak saraf tepi dan distribusinya umumnya bilateral
simetris meliputi gangguan sensorik, motorik maupun otonom. Apabila dalam jangka
yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan
melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke
saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik (Tandra, 2007).

III. Etiologi
Neuropati diabetik disebabkan oleh gabungan dari beberapa faktor. Faktor
utamanya adalah kadar gula darah yang tinggi dalam waktu lama yang membuat
dinding pembuluh darah (kapiler) menjadi lemah sehingga tidak bisa memberi
asupan oksigen dan gizi pada saraf. Pada akhirnya, sel saraf menjadi rusak.
Sedangkan faktor lain yang berperan dalam neuropati diabetik adalah faktor genetik,
peradangan saraf yang disebabkan oleh respon autoimun, serta kebiasaan
mengonsumsi alkohol dan merokok, yang menyebabkan kerusakan pada saraf dan
pembuluh darah.
Risiko penderita diabetes mengalami neuropati akan semakin tinggi jika:
1. Diabetes diderita dalam waktu lama dengan kadar gula darah yang tidak
terjaga dengan baik.
2. Mengalami gangguan pada ginjal sehingga racun dalam darah meningkat dan
dapat menimbulkan kerusakan saraf.
3. Merokok. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan arteri menyempit dan
mengeras, sehingga aliran darah ke kaki menjadi berkurang. Kondisi ini
membuat luka lebih sulit untuk sembuh.
4. Memiliki berat badan berlebih
IV. Patofisiologi
Ada tujuh mekanisme yang berpengaruh pada patogenesa neuropati diabetika
yaitu :
a. Peningkatan perubahan yang terus menerus jalur poliolyang didahului oleh
penumpukan sorbitol dan fruktosa, pengurangan myio – inositol dan
penurunan aktifitas Na+-K+-ATP-ase, (ii) gangguan metabolismeasam
lemak essensial n – 6 dan prostaglandin yang mengakibatkan.
b. Perubahan struktur membran saraf, mikrovaskular dan abnormal
hematologi.
c. Defisit mikrovaskular endoneural mengakibatkan iskemik dan
hipoksiasehingga terjadi oksidatif stress yang disebut dengan
hyperglycemicpseudohypoxia.
d. Peningkatan aktivitas protein kinase C β ( PKC β ), (v)penurunan
neurotropin yang didahului oleh penurunan ekspresi dan deplesiNerve
Growth Factor ( NGF ).
e. Penumpukan AGEs pada saraf dan vassa.
f. Proses imunologi yang menyebabkan proses inflamasi. ( Ziegler, 2004 )
g. Proses terjadinya neuropati diabetika berawal dari hiperglikemia
berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivitas jalur
poliol, sintesis advance glycosilation end products ( AGEs ), pembentukan
radikal bebas dan aktivitas protein kinase. Aktivitas berbagai jalur tersebut
berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf
menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel sehingga terjadilah
neuropati diabetika. ( Subekti, 2005 )

V. Tanda Gejala
Polineuropati diabetika merupakan neuropati diabetika yang paling sering
terjadi. Pada pasien pasien DM tipe 2, 59% menunjukkan berbagai neuropati, 45%
diantaranya menderita polineuropati diabetika. Gejala yang mudah dikenal adalah
kelainan yang sifatnya simetris. Gangguan sensorik selalu lebih nyata dibanding
kelainan motorik dan sudah terlihat pada awal penyakit. Ditandai dengan
hilangnya akson dan serabut saraf terpanjang terkena terlebih dulu. Umumnya
gejala nyeri, parastesi dan hilang rasa timbul ketika malam hari. Khas diawali dari
jari kaki berjalan ke proksimal tungkai. Seiring memberatnya penyakit jari tangan
dan lengan dapat mengenai saraf sensoris, motor dan fungsi otonomik dengan
bermacam-macam derajat tingkat, dengan predominan terutama disfungsi
sensoris. Kelemahan otot- otot tunkai dan penurunan reflek lutut dan tumit terjadi
lebih lambat. Adanya nyeri dan menurunnya rasa terhadap temperatur melibatkan
serabut sarabut saraf kecil (small fiber neuropathy) dan merupakan predisposisi
terjadinya ulkus kaki.
Gangguan propioseptif, rasa getar dan gaya berjalan (sensory ataxia gait)
menunjukkan keterlibatan serabut saraf ukuran besar (large fiber neuropathy).
Disfungsi otonom yang timbul adalah adanya anhidrosis, atonia kandung kencing
dan pupil reaksi lambat. Awitan gejala perlahan sebagai gejala negatif dan /atau
positif. Serabut saraf berukuran besar dan kecil terkena walaupun manifestasi dini
yang muncul mungkin dari serabut kecil. Gejala klinis tergantung pada tipe
neuropati dan saraf mana yang terlibat. Pada beberapa orang bisa tidak ditemui
gejala. Kesemutan, tingling atau nyeri pada kaki, seringkali merupakan gejala
yang utama, bisa juga nyeri dan kesemutan. Gejala bisa melibatkan sistem saraf
sensoris atau motorik maupun sistem saraf otonom. ( Dyck, 2002 )

Tabel 1. Gejala khas pada neuropati diabetika

Dikutip dari : Boulton , et al . Diabetic Somatic Neuropathies. Diabetes Care.


2004 : 27 ; 1458 – 1486.
Berdasarkan waktu, gejala klinis dapat dibagi atas 2 yaitu :
1. Neuropati sensoris akut
Banyak gejala neuropati sensoris akut dan kronik sama. Perbedaan
yang jelas pada onset, tanda yang menyertai dan prognosis. Pemeriksaan
fisik neuropati sensoris akut relatif normal, dan pada pemeriksaan sensoris
bisa ditemukan alodinia, motorik relatif normal, walaupun terkadang bias
dijumpai penurunan refleks. ( Aring, 2005 )
2. Neuropati sensoris kronis
Oleh karena neuropati kronik tergantung pada proses yang panjang,
gejala sensoris paling menonjol adalah pada ektremitas bawah, walaupun
pada kasus yang sangat berat tangan juga bisa terlibat. Unsteadiness
meningkat sebagai manifestasi neuropati kronik akibat gangguan
proprioseptik dan kemungkinan abnormal fungsi sensoris otot. ( Boulton,
2005 )
Tabel 2. Perbedaan Neuropati Sensoris Akut dan Kronis

Dikutip dari : Boulton , et al . Diabetic Somatic Neuropathies.


Diabetes Care. 2004 : 27 ; 1458 – 1486.

Symptoms of Diabetic Neuropathy


1. Sensorimotor neuropathy
a. Muscular symptoms: muscle weakness (not fatigue), atrophy, balance
problems, ataxic gait
b. Sensory symptoms: pain, paresthesia, numbness, paralysis, cramping,
nighttime falls, antalgic gait
2. Autonomic neuropathy
a. Cardiovascular symptoms: exercise intolerance, fatigue, sustained heart
rate, syncope, dizziness, lightheadedness, balance problems
b. Gastrointestinal symptoms: dysphagia, bloating, nausea and vomiting,
diarrhea, constipation, loss of bowel control
c. Genitourinary symptoms: loss of bladder control, urinary tract infection,
urinary frequency or dribbling, erectile dysfunction, loss of libido,
dyspareunia, vaginal dryness, anorgasmia
d. Sudomotor (sweat glands) symptoms: pruritus, dry skin, limb hair loss,
calluses, reddened areas
e. Endocrine symptoms: hypoglycemic unawareness

3. Other symptoms: difficulty driving at night, depression, anxiety, sleep


disorders, cognitive changes
Dikutip dari : Aring, et all. Evaluation an Prevention of Diabetic Neuropathy.
Am Fam Physician . 2005 : 71 ; 2123 – 2128

Gejala neuropati diabetik umumnya berkembang secara bertahap dan


penderita baru menyadarinya setelah terjadi kerusakan saraf yang
signifikan. Berdasarkan lokasi saraf yang rusak, neuropati diabetik dibagi menjadi
empat jenis, yaitu mononeuropati, neuropati otonom, femoral neuropathy, serta
neuropati perifer.

Gejala yang timbul dari mononeuropati di antaranya adalah:


1. Lumpuh pada salah satu sisi wajah.
2. Nyeri pada tulang kering, kaki, panggul, punggung bagian bawah, paha depan,
dada, atau perut.
3. Rasa sakit di belakang mata, mata sulit fokus, atau penglihatan ganda.

Gejala yang timbul dari neuropati otonom :

1. Pada sistem pencernaan: kembung, diare, sembelit, muntah, atau nyeri hulu
hati.
2. Pada sistem vaskular: detak jantung menjadi lebih cepat, tekanan darah
rendah, pusing, mual, muntah, atau pandangan menjadi gelap seusai berdiri
dengan cepat (hipotensi ortostatik).
3. Pada sistem genital: disfungsi ereksi, vagina kering, atau sulit orgasme
4. Pada saluran kemih: kembung, inkontinensia urine, atau kesulitan
mengosongkan kandung kemih (pada saat buang air kecil serasa tidak tuntas).

Gejala yang timbul dari neuropati perifer :

1. Kesemutan pada kaki bagian bawah, atau terasa panas.


2. Kram atau nyeri.
3. Refleks berkurang.
4. Kehilangan keseimbangan dan koordinasi.
5. Otot lemah.
6. Masalah serius pada kaki serius, seperti infeksi, tukak, nyeri sendi dan tulang,
atau perubahan bentuk (deformitas).
7. Kebas atau penurunan kemampuan merasakan sakit dan perubahan suhu.

VI. Faktor Resiko diabetic Polineuropati


Menurut Echeverry DM (2001), factor – factor resiko terjadinya diabetic
polineuropati adalah:
1. Penuaan merupakan proses fisiologis yang dihubungkan dengan perubahan
anatomi dan fisiologi semua system didalam tubuh, dimana perubahan itu
umumnya dimulai pada umur pertengahan. Umur lanjut akan menyebabkan
kelainan pada saraf tepi, karena terjadi penururnan aliran darah pada
pembuluh darah yang menuju ke saraf tepi dan berkurangnya secara progresif
serabut – serabut baik yang bermielin maupun tidak bermielin. Perubahan
pada serabut saraf besar berkarakteristik ditandai dengan hilangnya reflek
achiles dan gangguan sensitivitas vibrasi pada kaki.sedangkan pada serabut
saraf kecil terjadi penipisan akson, yang dapat menjelaskan kerentanan umur
lanjut terhadap timbulnya neuropati.
2. Lamanya Menderita Diabetes
Lamanya menderita diabetes menyebabkan resiko timbulnya komplikasi yang
khas seperti retinopati, nefropati dan neuropati meningkat. Aterosklerosis
suatu fenomena yang “fisiologis” pada usia lanjut, timbul lebih dini dan lebih
berat pada penderita diabetes, ha ini disebabkan terjadinya peningkatan
pembentukan radikal bebas sedangkan kemampuan meredam aktivitas radikal
bebas tersebut menurun, sehingga menyebabkan kerusakan endotel vaskuler
dan menurunkan vasodilatasi yang diduga karena abnormalitas pada alur
produksi NO.

3. Hipertensi
Pada hipertensi esensial terjadi gangguan fungsi endotel disertai peningkatan
permeabilitas endotel yang secara tidak langsung berppengaruh terhadap
arterogenesis. Disfungsi endotel ini akan menambah tahanan perifer dan
komplikasi vaskuler ditambah lagi dengan penurunan kadar NO. Abnormalitas
transportasi ion dan metabolism akan menambah respon – respon kontraktif,
hipertrofi dan proliferasi sel – sel otot polos pembuluh darah arteri kecil
sampai besar. Disamping itu hipertensi memudahkan terjadinya stress
oksidatif dalam dinding arteri, dimana superoksida akan memacu progresifitas
aterosklerosis melalui distruksi NO. konsentrasi angiotensin II yang
meningkat akan memacu proses inflamasi yang selanjutnya terbentuk
hydrogen peroksida dan radical bebas dalam plasma, peningkatan adhesi
lekosit dan peningkatan resistensi perifer.

4. Dyslipidemia
Kelainan lipoprotein merupakan factor utama dalam proses arterosklerosis
mencangkup peningkatan “low density lipoprotein” (LDL), penurunan “High
density lipoprotein” (HDL). Disamping itu trigliserida terbukti dapat berperan
sebagai factor resiko aterosklerosis. Sebagian besar dari sel di pembuluh darah
(sel endotel, sel otot polos dan sel makrofag) dapat mengoksidasi LDL.
Kolestrol LDL yang teroksidasi akan merusak alur L-arginin- NO melalui
inaktivasi protein G1, penurunan penyediaan L-argini intraseluler dan
distruksi NO oleh superoksida.. sebagai anti proliferative apabila aktivasi NO
ini berkurang akan memacu lesi aterosklerosis dan bila inhibisi NO
berlangsung kronis akan memperluas daerah neo intima dan penurunan fungsi
endotel. Kolestrol LDL yang teroksidasi juga menghambat vasodilatasi dan
menstimulasi factor pertumbuhan (growth factor) menyebabkan
hiperproliferasi sel otot polos dan sel endotel pembuluh darah. Sedangkan
HDL memegang peranan penting dalam transportasi kolestrol dari jaringan
perifer ke hepar.

5. Merokok
Merokok dihubungkan dengan berkembangnya komplikasi multiple diabetes,
termasuk berbagai tipe neuropati. Merokok juga merupakan factor resiko
terjadinya arterosklerosis, yang diduga disebabkan mekanisme interaksi
trombosit dan dinding pembuluh darah, peningkatan kadar kolestrol LDL yang
teroksidasi di dalam sirkulasi dan jaringan, penurunan kolestrol HDL dan
terjadinya stress oksidatif. Menurut Soenarto (1998), efek negatif merokok
adalah konstriksi pembuluh darah melalui gangguan fungsi endotel,
meningkatkan karbon monoksida dan oxygen free radical. Disamping itu dapat
menyebabkan spasme arteri dan kapasitas oksigen darah. Disfungsi endotel
pada perokek yang sudah berhenti lama dapat reversible, bila tidak disertai
factor resiko lainnya.

VII. Klasifikasi dan Gambaran Klinik Diabetic Polineuropatik


Ada beberapa klasifikasi dan stadium dari neuroapti diabetika yaitu yang
berasal dari Joint Conference American Diabetes Association ( ADA ) dan
American Academy of Neurology ( AAN ). Ada juga yang menurut international
Experts In Diabetic Neuropathy. ( Eastman R, Boulton, 2004 ) Pada literatur juga
disebutkan stadium beratnya neuropati diabetika dibuat berdasarkan kecepatan
hantaran saraf, quantitative sensory testing (QST ), atau abnormalitas tes otonom.
Selain daripada stadium, klinis dari neuropati diabetika juga dibedakan
berdasarkan skala neurologis. ( Boulton, 2004 )
Dikutip dari : Boulton , et al . Diabetic Somatic Neuropathies. Diabetes Care. 2004 : 27 ; 1458 –
1486

VIII. Diagnosis Diabetik Polineuropatik


1. Konsensus San Antonio
Penegakan neuropati diabetik dapat ditegakkan berdasarkan konsensus San
Antonio. Pada konsensus tersebut telah direkomendasikan bahwa paling
sedikit 1 dari 5 kriteria dibawah ini dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis
neuropati diabetika, yakni:
a. Symptom scoring;
b. Physical examination scoring;
c. Quantitative Sensory Testing (QST)
d. Cardiovascular Autonomic Function Testing (cAFT)
e. Electro-diagnostic Studies (EDS)

Pemeriksaan symptom scoring dan physical examination scoring telah


terbukti memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi. Instrumen yang digunakan
adalah Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) dan skor Diabetic Neuropathy
Examination (DNE).
2. Diabetic Neuropathy Examination (DNE)
Alat ini mempunyai sensitivitas sebesar 96% dan spesifisitas sebesar
51%. Skor Diabetic Neuropathy Examination (DNE) adalah sebuah sistem
skor untuk mendiagnosa polineuropati distal pada diabetes melitus. DNE
adalah sistem skor yang sensitive dan telah divalidasi dengan baik dan dapat
dilakukan secara cepat dan mudah di praktek klinik. Skor DNE terdiri dari 8
item, yaitu: A) Kekuatan otot: (1) quadrisep femoris (ekstensi sendi lutut); (2)
tibialis anterior (dorsofleksi kaki). B) Relfeks: (3) trisep surae/ tendon achiles.
C) Sensibilitas jari telunjuk: (4) sensitivitas terhadap tusukan jarum. D)
Sensibilitas ibujari kaki: (5) sensitivitas terhadap tusukan jarum; (6)
sensitivitas terhadap sentuhan; (7) persepsi getar ; dan (8) sensitivitas terhadap
posisi sendi.
Skor 0 adalah normal; skor 1: defisit ringan atau sedang (kekuatan otot
3-4, refleks dan sensitivitas menurun); skor 2: deficit berat (kekuatan otot 0-2,
refleks dari sensitivitas negatif/ tidak ada). Nilai maksimal dari 4 macam
pemeriksaan tersebut diatas adalah 16. Sedangkan kriteria diagnostik untuk
neuropati bila nilai > 3 dari 16 nilai tersebut.

3. Skor diabetic Neuropathy Symtoms (DNS)


Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) merupakan 4 poin yang bernilai
untuk skor gejala dengan prediksi nilai yang tinggi untuk menyaring
polineuropati pada diabetes. Gejala jalan tidak stabil, nyeri neuropatik,
parastesi atau rasa tebal. Satu gejala dinilai skor 1, maksimum skor 4. Skor 1
atau lebih diterjemahkan sebagai positif polineuropati diabetik. Asad dkk
tahun 2010, dalam uji reabilitas neurologikal skor untuk penilaian neuropati
sensorimotor pada pasien DM tipe 2 mendapatkan skor DNS mempunyai
sensitivitas 64,41% dan spesifitas 80,95 % dan menyimpulkan bahwa dalam
semua skor, DNE yang paling sensitif dan DNS adalah paling spesifik.
Kesimpulan perbandingan studi konduksi saraf dengan skor DNE dan DNS
pada neuropati diabetes tipe-2 adalah Skor DNE dan Skor DNS dapat di
gunakan untuk deteksi neuropati diabetika.

4. Pemeriksaan Elektrodiagnostik
Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk
memeriksa saraf perifer dan otot. Pemeriksaan EMG adalah obyektif, tak
tergantung input penderita dan tak ada bias. EMG dapat memberi informasi
kuantitatif funsi saraf yang dapat dipercaya. EMG dapat mengetahui denervasi
parsial pada otot kaki sebagai tanda dini neuropati diabetik. EMG ini dapat
menunjukkan kelaianan dini pada neuropati diabetik yang asimptomatik.
Kecepatan Hantar Saraf (KHS) mengukur serat saraf sensorik bermyelin besar
dan serat saraf motorik sehingga tidak dapat mengetahui kelainan pada
neuropati selektif serat bermielin kecil. Pemeriksaan KHS sensorik mengakses
integritas sel-sel ganglion radiks dorsalis dan akson perifernya. KHS sensorik
berkurang pada demielinisasi serabut saraf sensorik. KHS motoric biasanya
lambat dibagian distal lambat, terutama bagian distal. Respon motorik
mungkin amplitudonya normal atau berkurang bila penyakitnya bertambah
parah. Penyelidikan kecepatan hantar saraf sensorik biasanya lebih jelas
daripada perubahan KHS motoric.
EMG jarang menimbulkan aktivitas spontan abnormal dan amplitude
motor unit bertambah, keduanya menunjukkan hilangnya akson dengan
dengan reinervasi kompensatoris. Bila kerusakan saraf kecil memberi keluhan
nyeri neuropatik, kecepatan hantar sarafnya normal dan diagnosis memerlukan
biopsi saraf. Hasil-hasil EMG saja tidak pernah patognomonik untuk suatu
penyakit, walau ia dapat membantu atau menyangkal suatu diagnosis klinis.
Oleh karena itu, pemeriksaan klinis dan neurologik serta amamnesis penting
sekali untuk membantu diagnosis pasti suatu penyakit.

5. Visual Analog Scale (vas)


Banyak metode yang lazim diperkenalkan untuk menentukan derajat
nyeri , salah satunya adalah Visual Analoque Scale (VAS). Skala ini hanya
mengukur intensitas nyeri seseorang. VAS yang merupakan garis lurus dengan
ujung sebelah kiri diberi tanda 0 = untuk tidak nyeri dan ujung sebelah kanan
diberi tanda dengan angka 10 untuk nyeri terberat yang terbayangkan. Cara
pemeriksaan VAS adalah penderita diminta untuk memproyeksikan rasa nyeri
yang dirasakan dengan cara memberikan tanda berupa titik pada garis lurus
Visual Analoque Scale antara 0-10 sehingga penderita dapat mengetahui
intensitas nyeri. VAS dapat diukur secara kategorikal. Meliala mengemukakan
nyeri ringan dinilai dengan VAS :0-<4,sedang nilai VAS : >4-7, berat dengan
nilai VAS >7-10.

6. Numeric Rating Scale (NRS)


Numerical Rating Scale adalah penggambaran nyeri pasien dengan
menggunakan anka. Skala bisa 0 – 10 atau 0 – 100. 0 adalah untuk nilai tidak
ada nyeri dan 10 atau 100 adalah untuk nyeri yang sangat hebat.

IX. Penatalaksanaan Neuropati perifer


1. Terapi Farmakologi
Pengobatan yang diberikan bertujuan untuk meredakan tanda dan gejala
neuropati perifer meliputi
a) Obat Penghilang Nyeri.
Misalnya obat anti inflamasi non steroid bisa untuk mengurangi gejala
nyeri. Untuk menghilangkan rasa sakit yang lebih kuat, ada obat seperti
oxycodone (Oxycontin) dan opioid seperti obat tramadol (Conzip, Ultram).
Obat ini cenderung menjadi pilihan terakhir untuk mengatasi nyeri. Anda
dapat beralih ke obat-obat ini jika pengobatan antinyeri seperti paracetamol
dan aspirin tidak mempan.Meskipun obat-obatan ini dapat membantu
mengurangi rasa sakit, obat ini tidak untuk diminum dalam jangka panjang. Ini
karena risiko efek samping yang besar serta adanya potensi kecanduan.
Berhati-hatilah ketika mengonsumsi obat opioid dan konsultasikan dengan
dokter Anda sebelum mengonsumsinya.
b) Obat anti kejang
Misalnya gabapentin dan pregabalin dapat juga digunakan untuk
mengilangkan nyeri persarafan. Pregabalin juga dapat membantu Anda tidur
lebih baik. Efek samping dari obat ini termasuk mengantuk, bengkak, dan
pusing.
c) Pengobatan Topikal
Ada juga produk yang dapat Anda gosok atau tempelkan ke kulit Anda di
area yang terasa sakit. Krim capsaicin (Arthricare, Zostrix) dapat membantu
mencegah sinyal nyeri dengan menggunakan bahan yang ditemukan dalam
cabai. Produk capsaicin dapat menyebabkan iritasi kulit pada beberapa orang.
Patch lidocaine memberikan obat bius lokal melalui koyo yang ditempatkan
pada kulit. Harap di ingat, pengobatan seperti ini terkadang dapat
menyebabkan iritasi kulit ringan.
d) Obat Antidepresant.
Misalnya amitriptilin, doksepin dan nortriptilin berguna untuk
meredakan nyeri dengan cara mengganggu proses kimia dalam otak dan
sumsum tulang belakang yang menyebabkan seseorang bisa merasa nyeri.
Obat antidepresan dapat menyebabkan efek samping yang tidak
menyenangkan seperti mulut kering, kelelahan, dan berkeringat.

2. Terapi Fisioterapi.
a. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS).
Elektroda diletakkan pada kulit untuk mengantarkan sinyal listrik pada
berbagai frekuensi. TENS harus diaplikasikan 30 menit selama sebulan.
Penelitian menunjukkan bahwa metode TENS efektif untuk mengobati rasa
nyeri pada neuropati jenis tertentu, walaupun hal ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.
b. Infra red.
Sinar merah atau Infra Red adalah gelombang elektromagnetik dengan
panjang gelombang 750nm-400000nm dan frekuensi 4 x 1014 Hz dan 7,5 x
1011 Hz (Singh, 2005).
c. Terapi fisik
Jika pasien mengalami kelemahan otot, terapi fisik bisa meningkatkan
pergerakan. Terapi fisik yakni Pasive exercise, Actif exercise, stretching,
strengthening, latihan fleksibilitas dan latihan keseimbangan.
d. Akupuntur
Akupunktur merupakan pengobatan tradisional Cina yang dilakukan
dengan menusukkan jarum di titik-titik tekanan tertentu. Rangsangan yang
diberikan pada titik-titik tekanan atau acupoint membuat tubuh mengeluarkan
endorfin, yang bisa meredakan nyeri. Ahli akupunktur akan menusukkan 5
hingga 10 jarum ke titik acupoint, dan membiarkannya di sana selama kira-
kira 30 menit. Anda membutuhkan 6 hingga 12 sesi akupunktur selama tiga
bulan.
3. Pembedahan (operasi)
Jika pasien mengalami neuropati yang disebabkan oleh tekanan pada saraf
misalnya karena tumor, maka pasien harus dilakukan tindakan pembedahan untuk
mengurangi penekanan pada saraf.

X. Kerangka Teori
BAB III

STATUS KLINIS

NAMA MAHASISWA : KELOMPOK 3 DPN A


NIM : 079, 080, 087, 089
TEMPAT PRAKTIK : FISIO CENTER UMM
PEMBIMBING : Kurnia Putri Utami S.Ft., M.Biomed

Tanggal Pembuatan Laporan : 03 Maret 2019


Kondisi/ Kasus : FT. C

I. KETERANGAN UMUM PENDERITA


Nama : Tn. G
Umur : 55 tahun (1964)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Guru
Alamat : Jl. Bandung No.1 Kota Malang Jawa Timur
II. DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKIT
A. DIAGNOSIS MEDIS
Diabetic Neuropatic (DPN)
B. CATATAN KLINIS (Medika mentosa, hasil lab, foto rontgen, MRI, CT-Scan, dll)
1. Medika mentosa :-
2. Hasil lab :-
3. Foto rontgen :-
4. MRI :-
5. CT-Scan :-
C. RUJUKAN DARI DOKTER
Dr. Saraf
III. SEGI FISIOTERAPI
A. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF

Gambar.1
(Area dermatom)

B. ANAMNESIS (AUTO)
1. KELUHAN UTAMA
a) Pasien mengeluhkan kelemahan pada kedua tungkai dan merasakan nyeri di
bagian lutut hingga ujung kaki kiri
b) Pasien juga merasakan mati rasa pada kedua kakinya dan terdapat kram pada
telapak kaki bagian kiri dan kanan.
2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Sejak satu bulan yang lalu pasien memeriksa ke dokter saraf setelah
merasakan kelemahan pada kedua tungkai dan merasakan nyeri pada lutut hingga
ujung kaki kirinya serta terdapat kebas pada kedua kaki dan kram pada telapak
kaki, dengan adanya keluhan tersebut pasien dirujuk ke fisioterapi.
3. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Tidak terdapat riwayat penyakit dahulu
4. RIWAYAT PENYAKIT PENYERTA
Diabetes Melitus (DM)
5. ANAMNESIS SISTEM
a) Kepala dan leher : tidak terdapat spasme
b) Kardiovaskuler : denyut nadi normal
c) Respirasi : tidak ada batuk, tidak ada sesak pada saat respirasi
d) Gastrointestinal : BAB baik
e) Urogenital : BAK tidak terkontrol
f) Muskuloskeletal : terdapat kelemahan pada grup otot
quadriceps,hamstring, m tibialis anterior m gastrocnemius m soleus, m
tibialis posterior dan m peroneus
g) Neuromuskular : terdapat radicularpain pada region knee hingga ankle
sinistra, terdapat numbness, kram dan parestesia pada region ankle dextra
sinistra
C. PEMERIKSAAN
1. PEMERIKSAAN FISIK
a) TANDA-TANDA VITAL
Tekanan Darah : 120/80 mmHg (normal)
Denyut nadi : 80x/m (normal)
Pernapasan : 18x/m (normal)
Temperatur : 36,5 derajat celcius
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 68 kg
b) INSPEKSI (STATIS & DINAMIS)
a. Statis : kondisi umum pasien baik, terdapat luka kering pada telapak
kaki dan bintik-bintik hitam pada tungkai bawah, raut wajah pasien
menahan rasa sakit
b. Dinamis : saat berjalan pasien kehilangan fase heel off, toe off, mid swing,
apa lg?
c) PALPASI (Nyeri, Spasme, Suhu lokal, tonus, bengkak, dll)
a. Nyeri : terdapat nyeri tekan pada regio knee hingga ankle
b. Spasme : terdapat spasme pada grup otot quadriceps, hamstring gluteus
maximus
c. Suhu lokal : tidak terdapat perubahan suhu lutut kanan dan kiri
d. Bengkak : tidak ada bengkak disekitar extremitas bawah
d) PERKUSI

a. Patella refleks (+)


b. Achilles refleks (+)

e) AUSKULTASI

Tidak dilakukan pemeriksaan auskultasi

f) GERAK DASAR
a. Gerak Aktif :

HIP DEXTRA SINISTRA ROM

Fleksi

Ekstensi

Abduksi

Adduksi

Endorotasi

Eksorotasi

KNEE DEXTRA SINISTRA ROM

Fleksi

Ekstensi

ANKLE DEXTRA SINISTRA ROM

Dorso flexi

Plantar flexi

Inversi
Eversi

b. Gerak Pasif :

HIP DEXTRA SINISTRA ENDFEEL

Fleksi

Ekstensi

Abduksi

Adduksi

Endorotasi

Eksorotasi

KNEE DEXTRA SINISTRA ENDFEEL

Fleksi

Ekstensi

ANKLE DEXTRA SINISTRA ENDFEEL

Dorso flexi

Plantar flexi

Inversi

Eversi

c. Isometrik

HIP DEXTRA SINISTRA ROM


Fleksi

Ekstensi

Abduksi

Adduksi

Endorotasi

Eksorotasi

KNEE DEXTRA SINISTRA ROM

Fleksi

Ekstensi

ANKLE DEXTRA SINISTRA ROM

Dorso
flexi

Plantar
flexi

Inversi

Eversi

g) KOGNITIF, INTRA-PERSONAL, INTER-PERSONAL


a. Kognitif : pasien mampu menceritakan penyakit yang dialaminya dari
awal hingga akhir.
b. Intra-personal : pasien memiliki motivasi dan semangat yang tinggi
untuk sembuh
c. Inter-personal : pasien dapat berkomunikasi lancar dengan terapis
h) KEMAMPUAN FUNGSIONAL DASAR, AKTIVITAS FUNGSIONAL, &
LINGKUNGAN AKTIVITAS
a. Kemampuan fungsional dasar : pasien tidak mampu berdiri, menekuk
lutut, duduk ke berdiri
b. Aktivitas fungsional : pasien tidak bisa berjalan sehingga perlu bantuan
orang lain, keterbatasan toileting
c. Lingkungan aktivitas : pasien tidak bisa bekerja sebagai guru seperti
dulu kala.

2. PEMERIKSAAN SPESIFIK
a) Nyeri : NRS (Numeric Rating Scale)

nyeri skala
Diam 3
Knee hingga ankle
Tekan 5
Knee hingga ankle
Gerak Aktif 7
Knee pasif 5
hingga
ankle

b) Motorik
a. MMT :
HIP DEXTRA SINISTRA
Flexi 3 3
Extensi 3 3
Abduksi 3 3
Adduksi 3 3
Exorotasi 3 3
Endorotasi 3 3

KNEE DEXTRA SINISTRA


Flexi 3 3
Extensi 3 3

ANKLE DEXTRA SINISTRA


Dorso flexi 3 3
Plantar flexi 3 3
Inversi 3 3
Eversi 3 3

nilainya 3 ROM full dapat melawan gravitasi tapi blum bias melawan
tahanan minimum

Gambar.3
(Skala MMT)

b. LGS
BIDANG AROM PROM NYERI KOORDINASI END FEEL MMT
GERAK SIN DEX SIN DEX SIN DEX SIN DEX SIN DEX SIN DEX
Full Full Tidak Tidak Tidak
Flexi Terbatas Terbatas ROM ROM Nyeri Nyeri mampu mampu Soft Soft 2 2
Full Full Tidak Tidak Tidak
Extensi Terbatas Terbatas ROM ROM Nyeri Nyeri mampu mampu Hard Hard 2 2
c) Sensorik
a. Sensibilitas :
Dextra Sinistra
Superficial + +
Deep sensasi + +
Cortical + +
sensasi

d) Antropometri : tidak dilakukan pemeriksaan antropometri


e) Koordinasi :
Gerakan Hasil
Finger to finger -
Finger to nose -
Finger to therapist finger -
Heel to knee -
Heel to toe -

f) Keseimbangan :
Romberg test : +
Tug test : +
Tandem test : +
g) Tes khusus
a. Tes DNE (Diabetic Neuropathy Examination)
Skor maksimum adalah 16 poin. Nilai yang lebih besar dari 3 poin
dianggap abnormal.
jenis Skor
Kekuatan otot  Quadriceps Skor masing-masing
femoris extensi 0 = normal
tungkai bawah 1 = skala mmt 3-4
(lutut) 2 = skala mmt 0-2
 Tibialis anterior
dorso flexi telapak
kaki
Reflex  Triceps surei 0 = normal
1 = menurun
2 = hilang
Sensasi jari telunjuk  Sensasi tusukan Skor masing – masing
Sensasi ibu jari peniti jarum 0 = normal
 Sensasi sentuhan 1 = menurun
 Presepsi getaran 2 = hilang

 Sensitivitas posisi
sendi
Hasil : 2 + 1 + 1 + 1 + 0 + 1 = 6 . >3 DPN

b. Tes DNS (Diabetic Neuropathy Symptom)


Skor lebih dari atau sama dengan satu dikatakan positif DPN.

Keterangan score : Satu gejala dinilai skor 1, maksimum skor 4. Skor 1


atau lebih diterjemahkan sebagai positif polineuropati diabetik.
Hasil : 4
c. Tes ADL (Index Barthel)

2
0

Hasil : 6 (ketergantungan penuh


D. UNDERLYING PROCCESS

DPN

Hiperglikemia

P. Darah kapiler melemah

O2 menurun

Sel saraf Rusak

Impuls menurun

Gangguan Gangguan
Sensoris motorik
Strengthening
&
keseimbangan
Numbness Weakness
PROM &
Stretching
Radicular pain Atrofi
Es Faradic
Parestesia
E. DIAGNOSIS FISIOTERAPI
Dx : Radicular pain, weakness and parestesia e.c diabetic polineuropathy
a) Impairment : weakness pada ekstremitas bawah dextra sinistra, radicular pain
dari knee hingga distal ankle, parestesia dan numbness pada ankle dextra
sinistra, keterbatasan ROM saat flexi knee, penurunan kekuatan otot pada kaki,
inkontinensia urin
b) Functional Limitation : pasien kesulitan menggunakan pakaian, pasien tidak
bisa berjalan, aktivitas toileting terganggu, tidak bisa duduk, tidak bisa jongkok,
tidak bisa duduk bersila.
c) Disability : pasien belum mampu bekerja sebagai guru seperti biasanya

F. PROGRAM/RENCANA FISIOTERAPI
1. Tujuan treatment
a) Jangka Pendek :
a. Meningkatkan ROM
b. Menurunkan radicular pan
c. Mengurangi tonus
d. Mengurangi numbness dan parestesia
e. Mengontrol BAK
b) Jangka Panjang
a. Mengembalikan fungsi gerak pasien yang telah hilang
b. Pasien dapat kembali bekerja seperti biasanya
2. Rencana tindakan
a) Teknologi Fisioterapi

a. Infra Red
Gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 7.700 – 4 juta
Å. Untuk pengobatan 7.700 – 150.000 Å
Efek fisiologis : meningkatkan metabolism, vasodilatasi vascular,
meningkatkan kelenjar keringat dan rileksasi otot.
Efek terapeutik :
a. Reliefe of pain
Pemberian mild heating dapat memberikan efek sedatif (rasa
nyaman) pada superficial sensory nerve ending (ujung-ujung
saraf sensorik superfisial).
Stronger heating dapat memberikan counter iritation yang
berefek pada pengurangan nyeri
Sinar infra merah dapat memperlancar sirkulasi darah sehingga
rasa nyeri yang disebabkan karena penumpukan sisa-sisa
metabolisme yang disebut zat “P” dapat ikut terbuang
b. Muscle relaxation
Relaksasi otot akan mudah dicapai jika jaringan otot dalam
keadaan hangat dan tidak ada rasa nyeri. Radiasi sinar infra
merah selain dapat mengurangi nyeri juga dapat meningkatkan
temperatur jaringan , sehingga dengan demikian dapat
menghilangkan spasme dan otot akan menjadi rileks
c. Increase blood suplay
Kenaikan temperatur akan memicu vasodilatasi pembuluh darah
yang akan meningkatkan suplai darah ke jaringan. Hal ini terjadi
di jaringan superficial dimana akan sangat bermanfaat untuk
menyembuhkan luka dan mengatasi

Indikasi :

 Kondisi sub-acut dan kronis: kontusio, muscle strain, ligament


sprain, trauma, sinovitis, myalgia, lumbago, neuralgia, neurits,
dll
 Arthritis : rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dll
 Gangguan sirkulasi darah: thromboangitis obliterans,
trombopleibitis, raynold’s disease, dll
 Penyakit kulit: folliculitis, furuncolosi, wound
 Persiapan exercise dan massage
Kontraindikasi :
 Daerah yang mengalami gangguan sirkulasi jaringan seperti
gangrene
 Gangguan sensibilitas kulit
 Kondisi infeksi
 Kondisi dimana ada kecenderungan haemorage atau
pendarahan

Bahaya IR

 Skin burn
 Electric shock
 Meningkatkan kondisi Gangrene
 Headache
 Faithness
 Chill
 Kerusakan mata
b. Electrical stimulation (Rectanguler & faradik)
Pengertian faradic: Arus faradic adalah arus listrik bolak-balik yang
tidak simetris yang mempunyai durasi 0,01 – 1 ms dengan frekuensi 50
– 100.
Efek Arus Faradic
i. Efek fisiologis : menstimulasi saraf sensoris, menstimulasi saraf
motoris dan menimbulkan efek kontraksi.
ii. Efek teraupetik arus faradic : memfasilitasi kontraksi otot, mendidik
kembali fungsi kerja otot, mendidik fungsi otot yang baru, melatih
otot yang paralisis, mencegah dan melepaskan perlengketan
jaringan.

Indikasi dan kontra indikasi arus faradisasi

Indikasi:

i. Keluhan nyeri
ii. Hiper tonik atau spastic
iii. Kelumpuhan/kelemahan
iv. Gangguan vegetative

Kontra indikasi

i. Penyakit arteri
ii. Pembentukan thrombus
iii. Infeksi akut
iv. Gangguan sensibilitas

Gambar.8
(Electricel Stimulation)

G. PROGNOSIS
1) Quo ad vitam : Bonam
2) Quo ad sanam : Bonam
3) Quo ad fungsional : Dubia et bonam
4) Quo ad cosmetical : Bonam

H. PELAKSANAAN FISIOTERAPI

1) ES arus faradic

a. F : 50-100 Hz
b. I : amplitudo 3v dan arus rata-rata 10 mA
c. T : 30 menit/terapi
d. T : faradic

2) PROM + Stertching
a. F : 8 hitungan
b. I : 2-3x repitisi
c. T : 3 menit (2-3x sehari)
d. T : exercise

Gambar.9
(Stertching)
3) Strengthening
a. F : 8x perhitungan
b. I : 3x repitisi
c. T : 10 menit (2-3 hari)
d. T : exercise
(Strengthening exercise)

4) Latihan koordinasi dan keseimbangan

(latihan keseimbangan dan koordinasi)

5) Latihan Kegel Exercise


a. F : 10 hitungan
b. I : 3-4x repitisi
c. T : 3 menit (6-8 kali sehari)
d. T : exercise
(kegel exercise)

I. HASIL EVALUASI TERAKHIR


Setelah beberapa kali melaukan treatment didapatkan hasil sebgai berikut :
1. Evaluasi sesaat
a) Nyeri berkurang dai nyeri diam 5 menjadi 2
b) Nyeri tekan berkurang dari 7 menjadi 2
c) Nyeri gerak berkurang dari 9 menjadi 4
2. Evaluasi berkala
a) Kekuatan otot meningkat dari mmt 2 menjadi 4
b) Pasien dapat mengontrol BAK
c) Pasien mampu berjalan dengan mandiri
d) Rasa sensibilitas mulai muncul
e) Koordinasi dan keseimbangan pasien meningkat

J. EDUKASI DAN KOMUNIKASI


1. Tidak dianjurkan untuk memakai sepatu atau alas kaki lainnya yg sempit
2. Mengajarkan pola asupan makanan yang baik dan bergizi
3. Mengajarkan kembali cara melatih fleksibilitas kepada pasien dan keluarga
pasien
4. Melakukan latihan aerobic low impact
5. Mengajarkan kembali cara melatih kekuatan otot kepada pasien dan keluarga
pasien
6. Melakukan senam tai chi DOSIS

K. CATATAN PEMBIMBING PRAKTIK


L. CATATAN TAMBAHAN

..................,........................
Pembimbing
Daftar Pustaka

Boulton , et al . Diabetic Somatic Neuropathies. Diabetes Care. 2004 : 27 ; 1458


– 1486.
Aring, et all. Evaluation an Prevention of Diabetic Neuropathy. Am Fam
Physician . 2005 : 71 ; 2123 – 2128
Eastman RC. Neuropathy in Diabetes. Available from :
http://www.diabetes,niddknih. Gov/dm/pubs/America/pdf/chafter 15

Anda mungkin juga menyukai