Anda di halaman 1dari 35

KARYA TULIS ILMIAH

GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN POST


PARTUM DENGAN KETIDAKNYAMANAN PASCA PARTUM DI
RUANG DARA RSUD WANGAYA TAHUN 2019

Oleh :
Kelas 3.1

1. NI LUH GEDE YUPITA ASTRI SURYANDARI (P07120016002)


2. NI MADE JULIA SETIAWATI (P07120016017)
3. NI LUH SRI OKAYANI (P07120016023)
4. LUH PUTU WIDYANTARI (P07120016027)
5. NI LUH MEGA OKTAVIANI DEWI (P07120016030)
6. NI LUH GEDE RIKA RAHAYU (P07120016038)

KEMENTERIAN KESEHATAN R.I.


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
DENPASAR
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi janin dan uri yang

telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau jalan

lain (Sofian, 2012). Pada umumnya terdapat dua jenis persalinan, yaitu persalinan

normal dan persalinan buatan yang sering disebut dengan Sectio Caesarea (SC). SC

merupakan suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding

uterus melalui dinding depan perut, SC juga dapat didefinisikan sebagai

histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Sofian, 2012).

Angka kejadian SC dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.

Menurut WHO selama tahun 2007 sampai 2008 persalinan dengan SC di seluruh

negara mengalami peningkatan 110.000 per kelahiran di seluruh Asia (Aprina,

2016). Di Indonesia angka kejadian SC pada tahun 2009 telah mencapai 29,6 %

(Anggy & Afriani, 2013). Proses kelahiran melalui bedah caesarea di Bali

mencapai 12.860 kasus dalam setahun. Angka kelahiran dengan caesarea itu jauh

melebihi proses persalinan normal, yang mencapai 9.105 kasus. Berdasarkan data

Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dari total

persalinan di Bali sebanyak 21.965 pada tahun 2015, sekitar 58,5 % dilakukan

melalui operasi caesarea. Selama tahun 2015, kasus kelahiran melalui caesarea

terbanyak terjadi di Kota Denpasar (4.915 kasus). Kemudian disusul oleh

Kabupaten Gianyar (2.567 kasus), Kabupaten Tabanan ( 1.061 kasus), Kabupaten


Badung (1.045 kasus), Kabupaten Buleleng (967 kasus), Kabupaten Klungkung

(631 kasus), Kabupaten Jembrana (616 kasus), Kabupaten Bangli (592 kasus), dan

Kabupaten Karangasem (513 kasus) (Tribun, 2017).

Suatu proses pembedahan setelah operasi atau post operasi akan

menimbulkan respon nyeri. Nyeri yang dirasakan ibu post partum dengan SC

berasal dari luka yang terdapat pada perut (Kasdu, 2003). Keparahan nyeri pasca

operatif tergantung pada psikologis dan fisiologis individu dan toleransi yang

ditimbulkan nyeri (Brunner & Suddarth, 2004).

Nyeri merupakan suatu keadaan tidak nyaman yang disebabkan oleh

stimulus tertentu. Banyak pasien yang pernah mengalami pembedahan akan

menimbulkan rasa nyeri, hal tersebut sudah biasa terjadi setelah proses

pembedahan. Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas (Bobak, 2004). Banyak

pasien SC yang mengeluh rasa nyeri pada bekas jaritan SC. Pasien SC akan

mengalami nyeri akut. Dimana nyeri akut merupakan pengalaman sensorik atau

emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional,

dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang

berlangsung kurang dari tiga bulan (PPNI, 2016). Keluhan ini sebenarnya wajar

karena tubuh mengalami luka dan proses penyembuhan tidak sempurna. Dampak

nyeri yang tidak diatasi dimana 68% ibu post SC pada tahun 2007 akan berpengaruh

terhadap kesulitan dengan perawatan bayi, mobilisasi, menunda pemberian air susu

ibu (ASI) sejak awal pada bayinya dan mengatur posisi yang nyaman selama

menyusui akibat adanya rasa nyeri (Hillan 1992 dalam (Pratiwi,

2012).
Penanganan yang sering digunakan untuk menurunkan nyeri post SC

berupa penanganan farmakologi, biasanya untuk menghilangkan nyeri digunakan

analgesik. Pengendalian nyeri secara farmakologi efektif untuk nyeri sedang dan

berat. Namun dengan pemberian farmakologi untuk pasien tidak bertujuan

meningkatkan kemampuan pasien sendiri untuk mengontrol nyerinya (Van Kooten,

1999 dalam Pratiwi, 2012). Pengontrolan nyeri membutuhkan kombinasi

farmakologi dengan nonfarmakologi agar rasa nyeri dapat berkurang serta masa

pemulihan tidak memanjang (Bobak, 2004). Mengatasi nyeri dengan metode

nonfarmakologi tersebut bukan merupakan pengganti untuk obat-obatan, tindakan

tersebut diperlukan untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya

beberapa detik atau menit. Ketika nyeri hebat yang berlangsung selama berjamjam

atau berhari- hari, mengkombinasikan obat-obatan dengan metode nonfarmakologi

merupakan cara mengontrol nyeri yang efektif. Mengatasi nyeri dengan metode

nonfarmakologi menjadi lebih simpel, efektif, murah dan tanpa efek yang

merugikan (Potter & Perry, 2006).

Apabila melakukan relaksasi napas dalam untuk mengendalikan nyeri, di

dalam tubuh seseorang tersebut secara stimulan dapat meningkatkan saraf

parasimpatik maka hormon kortisol dan adrenalin yang dapat menyebabkan stres

akan menurun sehingga konsentrasi meningkat serta merasa tenang untuk mengatur

napas sampai pernapasan kurang dari 60-70 kali per menit. Kemudian kadar tekanan

parsial karbon dioksida (PCO2) akan meningkat dan menurunkan derajat keasaman

atau kebasaan (pH) sehingga akan meningkatkan kadar oksigen dalam darah

(Handerson, 2002). Teori relaksasi napas dalam ini menjelaskan bahwa pada spinal

cord, sel-sel reseptor yang menerima stimulasi nyeri periferal dihambat oleh
stimulasi dari serabut-serabut saraf yang lain. Stimulasi yang menyenangkan dari

luar juga dapat merangsang sekresi endorfin, maka nyeri yang dirasakan menjadi

berkurang (Priharjo, 2003). Periode relaksasi napas dalam yang teratur dapat

membantu untuk melawan ketegangan otot dan keletihan yang terjadi akibat

meningkatkan nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wiwiek Widiatie pada

tahun 2015 mengenai teknik relaksasi napas dalam 10 pasien ibu dengan post SC di

Rumah Sakit Unipdu Medika Jombang. Sebelum diberikan teknik relaksasi napas

dalam yang mengalami nyeri sedang sebanyak dua orang, yang mengalami nyeri

berat sebanyak enam orang dan yang mengalami nyeri sangat berat sebanyak dua

orang. Adapun sesudah diberikan teknik relaksasi napas dalam intensitas skala nyeri

pada pasien berubah, yaitu yang mengalami nyeri ringan sebanyak satu orang, yang

mengalami nyeri sedang sebanyak tujuh orang dan yang mengalami nyeri berat

sebanyak dua orang. Intensitas skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan latihan

teknik relaksasi napas dalam ternyata mengalami perbedaan. Hal ini

mengindikasikan adanya pengaruh latihan teknik relaksasi napas dalam terhadap

intensitas nyeri akibat luka post SC dengan p-value = 0,003 dengan kata lain p <

0,05 baik terhadap intensitas skala nyeri dan berkurangnya nyeri yang dialami ibu

post SC dapat diatasi (Widiatie, 2015).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sherly & Lidia pada

tahun 2016 mengenai teknik relaksasi napas dalam 30 pasien ibu dengan post SC.

Teknik relaksasi napas dalam ini dilakukan pada saat 24 jam pertama pada ibu

merasakan nyeri pada luka bekas SC di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.
H. Andi Abdurahman Noor Tanah Bumbu. Sebelum diberikan teknik relaksasi

napas dalam yang mengalami nyeri sedang sebanyak 13 orang dan yang mengalami

nyeri berat sebanyak 17 orang, adapun sesudah diberikan latihan teknik relaksasi

napas dalam intensitas skala nyeri pada pasien berubah, yaitu yang mengalami nyeri

ringan sebanyak 20 orang, yang mengalami nyeri sedang sebanyak delapan orang

dan yang mengalami nyeri berat sebanyak dua orang. Intensitas skala nyeri sebelum

dan sesudah diberikan latihan teknik relaksasi napas dalam ternyata mengalami

perbedaan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh latihan

teknik relaksasi napas dalam terhadap intensitas nyeri akibat luka post SC dengan

p-value = 0,001 dengan kata lain p < 0,05 baik terhadap intensitas skala nyeri dan

berkurangnya nyeri yang dialami ibu post SC dapat diatasi (Sherly & Lidia, 2016).

Dilihat dari hasil catatan medik pasien RSUD Mangusada Badung

menunjukan bahwa ibu yang menjalani operasi SC pada tahun 2017 yaitu sebanyak

939 orang, dimana pada Bulan Januari terdapat 56 orang, pada Bulan Februari 50

orang, pada Bulan Maret sebanyak 82 orang, pada Bulan April sebanyak 96 orang,

pada Bulan Mei sebanyak 114 orang, pada Bulan Juni sebanyak 92 orang, kemudian

pada Bulan Juli terdapat 66 orang, pada Bulan

Agustus sebanyak 81 orang, pada Bulan September sebanyak 78 orang, pada Bulan

Oktober sebanyak 74 orang, pada Bulan November sebanyak 62 orang dan pada

Bulan Desember sebanyak 88 orang. Studi pendahuluan dilakukan dengan cara

wawancara dengan salah satu petugas kesehatan di Ruang Margapati RSUD

Mangusada Badung dimana didapatkan hasil bahwa di Ruang Margapati RSUD

Mangusada Badung menggunakan teknik relaksasi napas dalam untuk mengatasi

nyeri ibu post SC.


Sehubungan dengan hal tersebut maka peneliti merasa tertarik untuk

mengangkat Studi Kasus dengan judul “Gambaran Asuhan Keperawatan Pemberian

Teknik Relaksasi Napas Dalam Untuk Mengatasi Nyeri Akut pada Ibu Post Sectio

Caesarea di Ruang Margapati RSUD Mangusada Badung” dengan harapan dapat

bermanfaat untuk menurunkan skala nyeri pada ibu post SC di Ruang Margapati

RSUD Mangusada Badung.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah gambaran asuhan keperawatan dengan pemberian teknik

relaksasi napas dalam untuk mengatasi nyeri akut pada ibu post SC di Ruang

Margapati RSUD Mangusada Badung?

C. Tujuan Studi Kasus

1. Tujuan umum

Menggambarkan asuhan keperawatan dengan pemberian teknik relaksasi

napas dalam untuk mengatasi nyeri akut pada ibu post SC.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi pengkajian keperawatan pada pemberian teknik relaksasi

napas dalam untuk mengatasi nyeri akut pada ibu post SC.

b. Mengidentifikasi rumusan diagnosa keperawatan pada pemberian teknik

relaksasi napas dalam untuk mengatasi nyeri akut pada ibu post SC.

c. Mengidentifikasi rencana keperawatan pada pemberian teknik relaksasi napas

dalam untuk mengatasi nyeri akut pada ibu post SC.

d. Mengidentifikasi tindakan keperawatan pemberian teknik relaksasi napas

dalam untuk mengatasi nyeri akut pada ibu post SC.


e. Mengidentifikasi evaluasi keperawatan pada prosedur pemberian teknik

relaksasi napas dalam untuk mengatasi nyeri akut pada ibu post SC.

D. Manfaat Studi Kasus

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan peneliti beserta civitas akademika tentang gambaran asuhan

keperawatan pemberian teknik relaksasi napas dalam untuk mengatasi nyeri akut

pada ibu post SC serta dapat dijadikan acuan bagi peneliti selanjutnya dalam

melaksanakan penelitian yang berkaitan.

2. Manfaat praktis

Untuk pihak rumah sakit, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan

sebagai panduan bagi petugas kesehatan dalam memberikan asuhan keperawatan

baik secara komperehensif maupun kolaborasi terutama dalam pemberian teknik

relaksasi napas dalam untuk mengatasi nyeri akut ibu post SC.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teknik Relaksasi Napas Dalam Untuk Mengatasi Nyeri Akut pada Ibu Post

SC

1. Pengertian relaksasi napas dalam pada ibu post SC dengan nyeri akut

Teknik relaksasi merupakan salah satu terapi nonfarmakologis yang

digunakan dalam penatalaksanaan nyeri (Tamsuri, 2007). Relaksasi merupakan

suatu tindakan untuk membebaskan mental maupun fisik dari ketegangan dan stres

sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Sulistyo, 2013). Teknik

relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi yang lambat

dan berirama (Smeltzer & Bare, 2002). Latihan napas dalam yaitu bentuk latihan

napas yang terdiri dari pernapasan abdominal (diafragma) dan pursed lip breathing

(Lusianah, Indaryani, & Suratun, 2012).

Melakukan relaksasi napas dalam untuk mengendalikan nyeri, di dalam

tubuh seseorang tersebut secara stimulan dapat meningkatkan saraf parasimpatik

maka hormon kortisol dan adrenalin yang dapat menyebabkan stres akan menurun

sehingga konsentrasi meningkat serta merasa tenang untuk mengatur napas sampai

pernapasan kurang dari 60-70 kali per menit. Kemudian kadar PCO2 akan

meningkat dan menurunkan pH sehingga akan meningkatkan kadar oksigen dalam

darah (Handerson, 2002). Teori relaksasi napas dalam ini menjelaskan bahwa pada

spinal cord, sel-sel reseptor yang menerima stimulasi nyeri periferal dihambat oleh

stimulasi dari serabut-serabut saraf yang lain. Stimulasi yang menyenangkan dari
luar juga dapat merangsang sekresi endorfin, maka nyeri yang dirasakan menjadi

berkurang (Priharjo, 2003). Periode relaksasi napas dalam yang teratur dapat

membantu untuk melawan ketegangan otot dan keletihan yang terjadi akibat

meningkatkan nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).

Banyak pasien SC yang mengeluh rasa nyeri pada bekas jaritan SC. Pasien

SC akan mengalami nyeri akut. Dimana nyeri akut merupakan pengalaman sensorik

atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional,

dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang

berlangsung kurang dari tiga bulan (PPNI, 2016).

2. Tujuan teknik relaksasi napas dalam

Tujuan dari teknik relaksasi napas dalam yaitu untuk meningkatkan

ventilasi alveoli, meningkatkan efisiensi batuk, memelihara pertukaran gas,

mencegah atelektasi paru, dan mengurangi tingkat stress baik itu stress fisik

maupun emosional sehingga dapat menurunkan intesitas nyeri yang dirasakan oleh

individu (Smeltzer & Bare, 2002).

Selain tujuan tersebut, terdapat beberapa tujuan dari teknik napas dalam

menurut Lusianah, Indaryani and Suratun (2012), yaitu antara lain untuk mengatur

frekuensi pola napas, memperbaiki fungsi diafragma, menurunkan kecemasan,

meningkatkan relaksasi otot, mengurangi udara yang terperangkap, meningkatkan

inflasi alveolar, memperbaiki kekuatan otot-otot pernapasan, dan memperbaiki

mobilitas dada dan vertebra thorakalis.


3. Manfaat teknik relaksasi napas dalam

Teknik relaksasi napas dalam dapat memberikan berbagai manfaat.

Menurut Potter & Perry (2006), menjelaskan efek relaksasi napas dalam antara lain

terjadinya penurunan nadi, penurunan ketegangan otot, penurunan kecepatan

metabolisme, peningkatan kesadaran global, perasaan damai dan sejahtera dan

periode kewaspadaan yang santai.

Keuntungan teknik relaksasi napas dalam antara lain dapat dilakukan

setiap saat, kapan saja dan dimana saja, caranya sangat mudah dan dapat dilakukan

secara mandiri oleh pasien tanpa suatu media serta merilekskan otototot yang

tegang. Sedangkan kerugian relaksasi napas dalam antara lain tidak dapat dilakukan

pada pasien yang menderita penyakit jantung dan pernapasan (Smeltzer & Bare,

2002).

4. Pengaruh teknik relaksasi napas dalam terhadap penurunan persepsi nyeri

Teknik relaksasi napas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri

melalui tiga mekanisme yaitu:

a. Dengan merelaksasikan otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan

insisi (trauma) jaringan saat pembedahan

b. Relaksasi otot skelet akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang

mengalami trauma sehingga mempercepat proses penyembuhan dan

menurunkan (menghilangkan) sensasi nyeri

c. Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk

melepaskan opoid endogen yaitu endorfin dan enkefalin (Smeltzer & Bare,

2002).
Pernyataan lain mengatakan bahwa penurunan nyeri oleh teknik relaksasi

napas dalam disebabkan ketika seseorang melakukan relaksasi napas dalam untuk

mengendalikan nyeri yang dirasakan, maka tubuh akan meningkatkan kompenen

saraf parasimpatik secara stimulan, maka ini menyebabkan terjadinya kadar hormon

kortisol dan adrenalin dalam tubuh yang mempengaruhi tingkat stres seseorang

sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dan membuat pasien merasa tenang untuk

mengatur ritme pernapasan menjadi teratur. Hal ini akan mendorong terjadinya

peningkatan kadar PCO2 dan akan menurunkan kadar pH sehingga terjadi

peningkatan kadar oksigen dalam darah (Handerson, 2002).

5. Prosedur teknik relaksasi napas dalam

Menurut Lusianah, Indrayani, & Suratun (2012), langkah teknik relaksasi

napas dalam yaitu:

a. Mengecek program terapi medik

b. Mengucapkan salam terapiutik

c. Melakukan evaluasi dan validasi

d. Menjelaskan langkah-langkah tindakan atau prosedur kepada pasien

e. Mempersiapkan alat: satu bantal

f. Memasang sampiran

g. Mencuci tangan
h. Mengatur posisi yang nyaman bagi pasien dengan posisi setengah duduk di

tempat tidur atau kursi atau dengan lying position (posisi berbaring) di tempat

tidur atau dikursi dengan satu bantal

i. Meminta pasien untuk menarik napas dalam melalui hidung, jaga mulut tetap

tertutup. Hitung sampai tiga selama inspirasi

j. Meminta pasien untuk berkonsentrasi dan rasakan gerakan naiknya abdomen

sejauh mungkin, tetap kondisi rileks dan cegah lengkung pada punggung. Jika

ada kesulitan menaikan abdomen, tarik napas dengan cepat, lalu napas kuat

dengan hidung

k. Meminta pasien untuk menghembuskan udara lewat bibir, seperti meniup dan

ekspirasikan secara perlahan dan kuat sehingga terbentuk suara hembusan

tanpa mengembungkan dari pipi. Teknik pursed lip breathing ini menyebabkan

resistensi pada pengeluaran udara paru, meningkatkan tekanan di bronkus

(jalan napas utama) dan meminimalkan kolapsnya jalan napas yang sempit

l. Meminta pasien untuk berkonsentrasi dan rasakan turunya abdomen dan

kontraksi otot abdomen ketika ekspirasi. Hitung sampai tujuh selama

ekspirasi

m. Meminta pasien untuk menggunakan latihan ini dan tingkatkan secara bertahap

selama lima sampai 10 menit. Latihan ini dapat dilakukan dalam posisi

berbaring, duduk tegap, berdiri dan berjalan

n. Mencuci tangan

o. Mendokumentasikan tindakan yang telah dilakukan dan respon pasien


B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Teknik Relaksasi Napas

Dalam Untuk Mengatasi Nyeri Akut pada Ibu Post SC

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan

suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk

mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien (Nursalam, 2011),

Pengkajian merupakan tahap paling menentukan bagi tahap berikutnya.

1. Pengkajian Post SC

a. Identitas pasien

b. Keluhan utama

Pada ibu dengan kasus post SC keluhan utama yang timbul yaitu nyeri pada luka

operasi.

c. Riwayat persalinan sekarang

Pada pasien post SC kaji riwayat persalinan yang dialami sekarang.

d. Riwayat menstruasi

Pada ibu, yang perlu ditanyakan adalah umur menarche, siklus haid, lama haid,

apakah ada keluhan saat haid, hari pertama haid yang terakhir.

e. Riwayat perkawinan

Yang perlu ditanyakan adalah usia perkawinan, perkawinan keberapa, usia

pertama kali kawin.

f. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas


Untuk mendapatkan data kehamilan, persalinan dan nifas perlu diketahui

HPHT untuk menentukan tafsiran partus (TP), berapa kali periksaan saat

hamil, apakah sudah imunisasi TT, umur kehamilan saat persalinan, berat

badan anak saat lahir, jenis kelamin anak, keadaan anak saat lahir.

g. Riwayat penggunaan alat kontrasepsi

Tanyakan apakah ibu pernah menggunakan alat kontrasepsi, alat kontrasepsi

yang pernah digunakan, adakah keluhan saat menggunakan alat kontrasepsi,

pengetahuan tentang alat kontrasepsi.

h. Pola kebutuhan sehari-hari

1) Bernafas, pada pasien dengan post SC tidak terjadi kesulitan dalam menarik

nafas maupun saat menghembuskan nafas.

2) Makan dan minum, pada pasien post SC tanyakan berapa kali makan sehari

dan berapa banyak minum dalam satu hari.

3) Eliminasi, pada psien post SC pasien belum melakukan BAB, sedangkan

BAK menggunakan dower kateter yang tertampung di urine bag.

4) Istirahat dan tidur, pada pasien post SC terjadi gangguan pada pola istirahat

tidur dikarenakan adanya nyeri pasca pembedahan.

5) Gerak dan aktifitas, pada pasien post SC terjadi gangguan gerak dan aktifitas

oleh karena pengaruh anastesi pasca pembedahan.

6) Kebersihan diri, pada pasien post SC kebersihan diri dibantu oleh perawat

dikarenakan pasien belum bisa melakukannya secara mandiri.


7) Berpakaian, pada pasien post SC biasanya mengganti pakaian dibantu oleh

perawat.

8) Rasa nyaman, pada pasien post SC akan mengalami ketidaknyamanan yang

dirasakan pasca melahirkan.

9) Konsep diri, pada pasien post SC seorang ibu, merasa senang atau minder

dengan kehadiran anaknya, ibu akan berusaha untuk merawat anaknya.

10) Sosial, pada SC lebih banyak berinteraksi dengan perawat dan tingkat

ketergantungan ibu terhadap orang lain akan meningkat.

11) Bermain dan rekreasi, pada pasien post caesarea ibu biasanya belum bisa

bermain dan berekreasi.

12) Prestasi, kaji hal-hal yang membanggakan dari ibu yang ada hubungan dengan

kondisinya.

13) Belajar, kaji tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan post partum terutama

untuk ibu dengan SC meliputi perawatan luka, perawatan payudara, kebersihan

vulva atau cara cebok yang benar, nutrisi, KB, seksual serta halhal yang perlu

diperhatikan pasca pembedahan. Disamping itu perlu ditanyakan tentang

perawatan bayi diantaranya, memandikan bayi, merawat tali pusat dan cara

meneteki yang benar.

14) Data spiritual

Kaji kepercayaan ibu terhadap Tuhan

i. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum ibu, suhu, tekanan darah, respirasi, nadi, berat badan, tinggi

badan, keadaan kulit.


2) Pemeriksaan kepala wajah: Konjuntiva dan sklera mata normal atau tidak.

3) Pemeriksaan leher: Ada tidaknya pembesaran kelenjar tiroid.

4) Pemeriksaan thorax : Ada tidaknya ronchi atau wheezing, bunyi jantung.

5) Pemeriksaan buah dada: Bentuk simetris atau tidak, kebersihan, pengeluaran

(colostrum, ASI atau nanah), keadaan putting, ada tidaknya tanda

dimpling/retraksi.

6) Pemeriksaan abdomen: Tinggi fundus uteri, bising usus, kontraksi, terdapat

luka.

7) Pemeriksaan ekstremitas atas: ada tidaknya oedema, suhu akral, ekstremitas

bawah: ada tidaknya oedema, suhu akral, simetris atau tidak, pemeriksaan

refleks.

8) Genetalia: Menggunakan dower kateter.

9) Data penunjang

Pemeriksaan darah lengkap meliputi pemeriksaan hemoglobin (Hb),

Hematokrit (HCT) dan sel darah putih (WBC).

2. Pengkajian Nyeri

Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang

bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional pada saat ini dan

waktu sebelumnya, serta untuk menentukan pola respon pasien saat ini dan waktu

sebelumnya (Carpenito-Moyet & Juall, 2007).


Pengkajian nyeri yang faktual dan tepat dibutuhkan untuk menetapkan data

dasar, menengakkan diagnosis keperawatan yang tepat, menyeleksi terapi

keperawatan yang cocok, dan mengevaluasi respon pasien terhadap terapi (Potter

& Perry, 2006). Keuntungan pengkajian nyeri bagi pasien adalah nyeri dapat

diidentifikasi, dikenali sebagai suatu yang nyata, dapat diukur, dan dapat dijelaskan

serta digunakan untuk mengevaluasi perawatan (McGuire, 1992 dalam Potter &

Perry, 2006).

Beberapa aspek yang perlu diperhatikan perawat dalam pengkajian nyeri

meliputi:

a. Penentuan ada tidaknya nyeri

Dalam memulai pengkajian terhadap nyeri pada pasien, hal terpenting

yang perlu diperhatikan oleh perawat adalah penentuan ada tidaknya nyeri pada

pasien. Perawat harus mempercayai ketika pasien melaporkan adanya

ketidaknyamanan (nyeri) walaupun dalam observasi perawat tidak menemukan

adanya cedera maupun luka. Setiap nyeri yang dilaporkan oleh pasien adalah nyata

adanya. Sebaliknya ada beberapa pasien yang terkadang justru menyembunyikan

rasa nyerinya untuk menghindari pengobatan (Sulistyo, 2013).

b. Faktor-faktor yang memengaruhi nyeri

Nyeri merupakan suatu yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak

faktor. Perawat perlu mempertimbangkan aspek-aspek yang memengaruhi nyeri

pasien tersebut. Hal ini sangat penting bagi perawat untuk memberikan kemudahan

dalam membrikan asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami perubahan


kenyamanan (nyeri) (Sulistyo, 2013). Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai

berikut:

1) Usia

Usia merupakan salah satu faktor yang memengaruhi nyeri, khususnya

anak-anak dan lansia. Perbedaan yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat

memengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Anak yang

masih kecil memiliki kesulitan memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan

perawat, yang dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang masih kecil juga

mengalami kesulitan karena mereka belum dapat mengucapkan kata-kata secara

verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau petugas kesehatan

(Potter & Perry, 2006).


Sedangkan menurut Ebersole dan Hess (1994), seseorang yang berusia

lanjut berisiko tinggi mengalami situasi-situasi yang menyebabkan mereka

merasakan nyeri (Potter & Perry, 2006). Lansia cenderung mengabaikan nyeri dan

menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama sebelum melaporkannya atau

mencari perawatan di pelayanan kesehatan. Lansia yang lainnya tidak mencari

perawatan karena merasa takut nyeri yang dialami menandakan penyakit yang

serius atau takut kehilangan kontrol (Smeltzer & Bare, 2002).

2) Jenis kelamin

Menurut Gill (1990), secara umum jenis kelamin antara pria dan wanita

tidak berbeda secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri. Beberapa

kebudayaan menganggap bahwa jenis kelamin dapat memengaruhi

pengekspresian nyeri, yaitu dikatakan bahwa seorang anak laki-laki harus

berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis

dalam keadaan yang sama (Potter & Perry, 2006).


3) Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki akan memengaruhi

cara individu untuk mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan

dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana mereka

bereaksi terhadap nyeri (Calvillo dan Flaskrud, 1991 dalam Potter & Perry, 2006).

Ada perbedaan makna dan sikap yang dikaitkan dengan nyeri di berbagai kelompok

budaya. Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah sesuatu

yang alamiah. Sedangkan, ada kebudayaan lain yang cenderung untuk melatih

perilaku yang tertutup (introvert). Menurut Clancy dan

McVicar (1992), sosialisasi budaya menentukan perilaku psikologis


seseorang.
Dapat disimpulkan bahwa hal ini dapat memengaruhi pengeluaran

fisiologis opiat endogen, sehingga terjadilah persepsi nyeri (Potter & Perry, 2006).

4) Makna nyeri

Makna seseorang yang berkaitan dengan nyeri memengaruhi pengalaman

nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan dengan

latar belakang budaya seseorang tersebut. Seorang individu akan mempersepsikan

nyeri dengan berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu

kehilangan, hukuman dan tantangan. Derajat dan kualitas nyeri akan dipersepsikan

pasien berhubungan dengan makna nyeri yang dirasakan (Potter &

Perry, 2006).

5) Perhatian

Tingkat seseorang memfokuskan perhatianya pada nyeri dapat

memengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri

yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan


respon nyeri yang menurun (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2006) Dengan

memfokuskan perhatian dan konsentrasi pasien pada stimulus lain, maka perawat

menempatkan nyeri pada kesadaran perifer (Potter & Perry, 2006).

6) Ansietas

Hubungan antara nyeri dan cemas (ansietas) bersifat kompleks. Ansietas

sering kali dapat meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan

suatu perasaan ansietas. Menurut Paice, 1991 dalam Potter & Perry, (2006)

melaporkan bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakini

dapat mengendalikan emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbik dapat

memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan

nyeri.

7) Keletihan

Keletihan atau kelelahan yang dirasakan seseorang dapat meningkatkan

persepsi nyeri. Rasa kelelahan akan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif

dan menurunkan kemampuan koping. Apabila keletihan disertai kesulitan tidur,

persepsi nyeri dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri sering kali lebih berkurang setelah

individu tidur dengan lelap (Potter & Perry, 2006).

8) Pengalaman sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya, namun hal ini

tidak selalu membuat individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah

di masa yang akan datang. Apabila individu sering mengalami serangkaian episode

nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat maka ansietas atau

bahkan rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri

dengan jenis yang sama berulang-ulang tetapi kemudian nyeri tersebut dapat
dihilangkan, maka akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk

menginterpretasikan sensasi nyeri. Apabila seorang pasien tidak pernah merasakan

nyeri, maka persepsi pertama nyeri dapat menggangu koping terhadap nyeri (Potter

& Perry, 2006).

9) Gaya koping

Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang mengakibatkan

pasien merasa kesepian. Pasien akan merasa tidak berdaya dengan rasa kesepian itu

apabila pasien mengalami nyeri saat menjalani suatu perawatan kesehatan seperti

di rumah sakit. Hal yang sering terjadi adalah pasien akan merasa kehilangan

kontrol terhadap lingkungan atau terhadap hasil akhir dari peristiwa yang terjadi.

Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian maupun keseluruhan.

Pasien sering kali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping

terhadap efek fisik dan psikologis nyeri (Potter & Perry, 2006).

10) Dukungan keluarga dan sosial

Faktor lain yang memengaruhi respon nyeri yaitu kehadiran orang-orang

terdekat dan bagaimana sikap dan perlakuan mereka terhadap pasien. Individu yang

mengalami nyeri sering kali bergantung pada anggota keluarga atau teman dekat

untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap

dirasakan, kehadiran orang yang disayangi akan mengurangi kesepian dan

ketakutan yang dialami. Apabila tidak ada keluarga atau teman, sering kali

pengalaman nyeri menyebabkan pasien semakin tertekan (Potter & Perry, 2006).

c. Pengalaman nyeri

Hal terpenting juga yang perlu diperhatikan oleh perawat adalah

pengalaman nyeri yang dialami oleh pasien, dan apakah pasien mengetahui nyeri
yang sedang dialami. Akan sangat membantu, apabila perawat mengetahui fase

nyeri yang pasien alami. Fase tersebut antara lain, fase antisipatori, fase sensasi, dan

fase akibat (aftermath). Fase tersebut bukan hanya memengaruhi gejala alami

pasien, tetapi juga jenis terapi yang memiliki kemungkinan paling besar untuk

mengatasi nyeri (Potter & Perry, 2006).

Pasien pada fase antisipatori akan dapat merasa cemas atau takut atau

pasien mungkin mengajukan pertanyaan tentang nyeri yang akan dirasaknnya lagi.

Pasien pada fase sensasi umumnya memperlihatkan tanda dan gejala


ketidaknyamanan. Dengan demikian perawat sebaiknya tidak mengajukan

pertanyaan-pertanyaan secara rinci (Potter & Perry, 2006).

d. Ekspresi nyeri

Amati cara verbal dan nonverbal pasien dalam mengomunikasikan rasa

ketidaknyamanan. Meringis, menekuk salah satu bagian tubuh, dan postur tubuh

yang tidak lazim merupakan contoh ekspresi nyeri secara nonverbal. Anak-anak

yang masih kecil mungkin tidak mengerti makna “nyeri” sehingga dalam

melakukan pengkajian perawat perlu menggunakan kata-kata, seperti “ouh”,

“aduh”, atau “sakit” (Sulistyo, 2013).

e. Karakteristik nyeri

Untuk membantu pasien dalam mengutarakan masalah atau keluhannya

secara lengkap, pengkajian yang bisa dilakukan oleh perawat untuk mengkaji

karakteristik nyeri bisa menggunakan pendekatan analisis symptom meliputi

PQRST. P (paliatif atau provocatif) merupakan yang menyebabkan timbul masalah,

Q (quality dan quantity) merupakan kualitas dan kuantitas, R (region) merupakan


lokasi nyeri, S (severity) adalah keparahan, T (Timing) merupakan waktu

(Springhouse Pennsylvania, 1991 dalam Priharjo 1996).

f. Pengukuran nyeri

Skala penilaian numerik (Numeric Rating Scale) lebih digunakan sebagai

pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan

menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas

nyeri sebelum dan sesudah intervensi terapiutik. Apabila digunakan skala untuk

menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (Potter & Perry, 2006).

Gambar 1 Skala Pengukuran Nyeri Pada Pasien Post SC

Sumber: Buku Ajar Fundamental Konsep, Proses dan Praktik Edisi 4, (Potter & Perry,
2006).

3. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon

pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik

yang berlangsung aktual maupun potensial. Tujuan diagnosis keperawatan adalah

untuk mengidentifikasi respon pasien individu, keluarga, komunitas terhadap

situasi yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2016).

Tabel 1

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Penyebab Gejala dan Tanda
Nyeri akut Agen pencedera: Gejala dan tanda mayor
Kategori : psikologis fisik (kondisi Subjektif : mengeluh nyeri
pembedahan
Subkategori : nyeri dan tindakan SC) Objektif: tampak meringis,
kenyamanan bersikap protektif (misalnya
Definisi : waspada, posisi menghindari
Pengalaman sensorik atau nyeri), gelisah, frekuensi nadi
emosional yang berkaitan meningkat, sulit tidur Gejala dan
dengan kerusakan jaringan
actual atau tanda minor
fungsional, dengan Subjektif: tidak tersedia
onset mendadak atau
lambat dan Objektif: tekanan darah
berintensitas ringan hingga meningkat, pola napas berubah,
berat yang nafsu makan berubah, proses
berlangsung kurang dari tiga berpikir terganggu, menarik diri,
bulan. berfokus pada diri sendiri,
diaforesis.

Lembar diagnosa keperawatan terlampir.

4. Perencanaan keperawatan

Perencanaan keperawatan merupakan desain spesifik dari intervensi yang

disusun untuk membantu pasien dan mencapai kriteria hasil. Rencana intervensi

tersebut disusun berdasarkan komponen penyebab dari diagnosis keperawatan.

Tabel 2
Rencana Keperawatan NANDA NIC-NOC

No Diagnosa Tujuan/Kriteria Hasil Intervensi


Keperawa
tan
1 Nyeri NOC NIC
Akut a.Pain level Pain Management
berhubung b.Pain control a. Lakukan pengkajian nyeri secara
an dengan c. Comfort level komprehensif termasuk lokasi,
agen Kriteria hasil : karakteristik, durasi frekuensi,
pencedera a. Mampu mengontrol kualitas dan faktor presipitasi
fisik nyeri (tahu b. Observasi reaksi nonverbal dari
penyebab nyeri, ketidaknyamanan
mampu c. Gunakan teknik komunikasi
menggunakan teknik terapiutik untuk mengetahui
nonfarmakologi pengalaman nyeri pasien
untuk d. Evaluasi pengalaman nyeri masa
mengurangi lampau
nyeri, mencari e. Kurangi faktor presipitasi nyeri
bantuan) f. Ajarkan teknik nonfarmakologi
b. Melaporkan bahwa (teknik relaksasi napas dalam)
nyeri berkurang untuk mengontrol nyeri.
dengan Analgesic administration
menggunakan g. Cek instruksi dokter tentang jenis
manajemen nyeri obat, dosis dan frekuensi
c. Mampu mengenali h. Cek riwayat alergi
nyeri (skala, i. Pilih rute pemberian secara intra
intensitas, frekuensi vena (IV), intra mskular (IM)
dan tanda nyeri) untuk pengobatan nyeri secara
d. Menyatakan rasa teratur
nyaman setelah j. Monitor vital sign
nyeri berkurang

Sumber: Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-
NOC

(Nurarif & Kusuma, 2015).

5. Pelaksanaan keperawatan

Pelaksanaan adalah tindakan keperawatan merupakan aplikasi dari rencana

yang telah disusun sebelumnya dimana tujuan dari pelaksanaan ini adalah

memenuhi kebutuhan pasien secara optimal. Pelaksanaan tindakan dalam kasus

sudah dapat dilaksanakan, namun dalam pelaksanaan ada beberapa tindakan yang

tidak bisa dilaksanakan karena disesuaikan dengan keadaan ruangan juga karena

keterbatasan waktu penulis dalam perawatan pasien (Doengoes, 2012) dan

(Carpenito, 2012).
Pada diagnosa nyeri akut untuk tindakan keperawatan dapat dilakukan

sesuai dengan rencana. Waktu pelaksanaan selama 2x24 jam dilaksanakan dengan

melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,

durasi frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi, observasi reaksi nonverbal dari

ketidaknyamanan, menggunakan teknik komunikasi terapiutik untuk mengetahui

pengalaman nyeri pasien, mengevaluasi pengalaman nyeri masa lampau,

mengurangi faktor presipitasi nyeri, mengajarkan teknik nonfarmakologi (teknik

relaksasi napas dalam) untuk mengontrol nyeri, mengecek instruksi dokter tentang

jenis obat, dosis dan frekuensi, mengecek riwayat alergi, memilih rute pemberian

secara intra vena, intra muskular untuk pengobatan nyeri secara teratur dan

memonitor tanda-tanda vital pasien. Lembar pelaksanaan keperawatan terlampir.

6. Evaluasi keperawatan

Menurut Asmadi (2008), evaluasi adalah tahap akhir dari proses

keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara

hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap

perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan

pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya

tujuan dan kriteria hasil, pasien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika

sebaliknya, pasien akan masuk kembali ke dalam siklus tersebut mulai dari

pengkajian ulang (reassessment). Secara umum, evaluasi ditujukan untuk:

a. Melihat dan menilai kemampuan pasien dalam mencapai tujuan yaitu pain level,

pain control, comfort level dengan kriteria hasil sebagai berikut:

1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik

nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)


2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri

3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

b. Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum. Apabila

tercapai maka respon pasien sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah

ditentukan, sedangkan apabila belum tercapai maka respon pasien tidak sesuai

dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditentukan.

c. Mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai. Apabila

terdapat tujuan dan kriteria hasil yang belum tercapai maka akan dilakukan

perencanaan ulang untuk mencapai tujuan dan kriteria hasil yang belum

teratasi. Lembar evaluasi keperawatan terlampir.

Tabel 3
Evaluasi Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan Evaluasi

1. Nyeri akut berhubungan S (Subjektif):


dengan agen pencedera Data yang diperoleh dari respon pasien
fisik secara verbal O (Objektif):
Data yang diperoleh dari respon pasien secara
non verbal atau melalui pengamatan perawat A
(Assessment):
Tindak lanjut dan penentuan apakah implementasi
akan dilanjutkan atau sudah terlaksana dengan baik
P (Planning):
Rencana selanjutnya

Sumber: Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar


(Asmadi, 2008).
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Teknik Relaksasi Napas Dalam untuk Mengatasi Nyeri Akut pada Ibu Post

SC

Tindakan pembedahan akan menimbulkan luka post operasi karena

jaringan yang terputus akibat dari sayatan. Jaringan terputus akan merangsang area

sensorik sehingga hormon kortisol dan adrenalin yang menyebabkan stres

meningkat, kadar PCO2 menurun dan derajat pH di dalam darah meningkat

sehingga akan mengalami nyeri. Dampak nyeri apabila tidak diatasi akan

menimbulkan gangguan rasa nyaman. Untuk mengatasi rasa nyeri ini maka

dilakukanlah teknik nonfarmakologi yaitu berupa pemberian teknik relaksasi napas

dalam. Teknik relaksasi napas dalam ini dapat menurunkan hormon kortisol dan

adrenalin yang dapat menyebabkan stres sehingga konsentrasi meningkat serta

merasa tenang. Kemudian kadar PCO2 akan meningkat dan menurunkan pH di

dalam darah. Sehingga oksigen di dalam darah menjadi meningkat. Kadar oksigen

yang meningkat di dalam darah akan berpengaruh terhadap penurunan tekanan

darah. Tekanan darah menurun sehingga nyeri berkurang.


Kondisi pembedahan

Luka post operasi

Jaringan terputus

Merangsang area sensorik

Hormon kortisol dan adrenalin

Kadar PCO2 menurun dan pH meningkat

Teknik relaksasi
Nyeri Gangguan rasa nyaman
napas dalam

Hormon kortisol
dan adrenalin

Konsentrasi meningkat Kadar PCO2


dan merasa tenang
dan pH

Kadar O2 dalam
darah meningkat

Nyeri berkurang Tekanan darah

Gambar 2 Kerangka Konsep Penelitian


B. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional adalah penjelasan semua variabel dan istilah yang

akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya

mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian (setiadi, 2013).

Tabel 4
Definisi Operasional Gambaran Asuhan Keperawatan Pemberian Teknik
Relaksasi Napas Dalam untuk Mengatasi Nyeri Akut pada Ibu Post SC

No. Variabel Definisi operasional


1. Asuhan Suatu pengalaman sensorik atau emosional yang
keperawatan nyeri dirasakan oleh ibu post SC dilakukan di ruang
Margapati RSUD Mangusada Badung. Asuhan
akut pada ibu post keperawatan dilakukan setelah 24 jam meliputi
SC pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana
keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi.

2. Prosedur teknik
Suatu tindakan untuk mengatasi nyeri akut yang
relsaksasi napas
dalam dilakukan oleh petugas di ruangan selama lima sampai
10 menit dengan cara bernapas secara lambat dan
berirama sesuai dengan SOP (Standar
Operasional Prosedur).
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif,

rancangan studi kasus, yaitu salah satu jenis rancangan penelitian yang mencakup

satu unit penelitian secara insentif. Desain penelitian yang digunakan adalah

observasional dimana penelitian ini hanya bertujuan untuk melakukan pengamatan

pada rekam medis dua orang pasien dengan pemberian teknik relaksasi napas dalam

untuk mengatasi nyeri akut pada ibu post SC. Pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah menggunakan rancangan studi kasus, yaitu menggambarkan

atau mendeskripsikan pemberian teknik relaksasi napas dalam untuk mengatasi

nyeri akut pada ibu post SC di Ruang Margapati RSUD Mangusada Badung.

B. Tempat dan Waktu

Studi kasus ini telah dilaksanakan di Ruang Margapati RSUD Mangusada

Badung. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 9 April 2018 sampai 11 April

2018 dan asuhan keperawatan pasien dilakukan selama 2 x 24 jam.

C. Subjek Studi Kasus

Subjek yang digunakan dalam studi kasus ini adalah dua orang pasien

dengan pemberian teknik relaksasi napas dalam untuk mengatasi nyeri akut pada

ibu post SC dengan kriteria insklusi dan eksklusi sebagai berikut:


1. Kriteria insklusi

a. Ibu post SC setelah 24 jam di ruang Margapati RSUD Mangusada Badung.

b. Ibu post SC yang memiliki diagnosa keperawatan nyeri akut.

2. Kriteria eksklusi

a. Ibu post SC yang menderita penyakit jantung dan pernapasan.

b. Ibu post SC yang mengalami gangguan kognitif.

D. Fokus Studi

Fokus studi kasus adalah kajian utama yang dijadikan titik acuan studi

kasus. Fokus studi kasus pada penelitian ini adalah asuhan keperawatan pemberian

teknik relaksasi napas dalam untuk mengatasi nyeri akut pada ibu post SC.

E. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Data sekunder yang

dimaksud yaitu dokumen rekam medis dua pasien dengan pemberian teknik

relaksasi napas dalam untuk mengatasi nyeri akut pada ibu post SC yang terdapat

di Ruang Margapati RSUD Mangusada Badung.

2. Cara pengumpulan data

Cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan observasi rekam

medis dua orang pasien dengan pemberian teknik relaksasi napas dalam untuk

mengatasi nyeri akut pada ibu post SC yaitu mulai dari pengkajian sampai evaluasi.

Langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu:


a. Mengajukan surat pengantar kepada Direktorat Poltekkes Denpasar untuk

mengurus ijin penelitian.

b. Mengajukan ijin melaksanakan penelitian ke Badan Penanaman Modal dan

Perijinan Provinsi Bali.

c. Mengajukan ijin penelitian kepada Direktur Rumah Sakit Umum Daerah

Mangusada Badung.

d. Melakukan pemilihan sampel sesuai dengan kriteria inklusi.

e. Peneliti melakukan pendekatan secara informal kepada dua orang pasien

dengan pemberian teknik relaksasi napas dalam untuk mengatasi nyeri akut ibu

post SC untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.

f. Memberikan lembar persetujuan kepada dua orang pasien dengan pemberian

teknik relaksasi napas dalam untuk mengatasi nyeri akut ibu post SC dan jika

pasien menolak untuk menjadi responden untuk diteliti maka peneliti tidak akan

memaksa dan menghormati haknya.

g. Peneliti melakukan observasi terhadap petugas kesehatan yang menerapan

asuhan keperawatan pemberian teknik relaksasi napas dalam untuk mengatasi

nyeri akut pada ibu post SC dan mengambil data dari dokumentasi asuhan

keperawatan yang sudah ada.

F. Metode Analisis Data

Data penelitian dianalisis dengan analisis deskriptif. Analisis deskriptif

adalah suatu usaha mengumpulkan dan menyusun data. Setelah data terkumpul

tersususun langkah selanjutnya adalah mengolah data dengan menggambarkan dan


meringkas data secara ilmiah (Nursalam, 2011). Data penelitian ini disajikan

dengan uraian tentang temuan dalam bentuk tulisan.

G. Etika Studi Kasus

Pada bagian ini dicantumkan etika yang mendasari studi kasus, yaitu,

respect for persons, beneficience dan distributive justice:

1. Menghormati individu (Respet for persons)

Menghormati otonomi (Respect for autonomy) yaitu menghargai

kebebasan seseorang terhadap pilihan sendiri. Melindungi subjek studi kasus

(Protect of persons) yaitu melindungi individu/subjek penelitian yang memiliki

keterbatasn atau kerentanan dari eksploitasi dan bahaya.

2. Kemanfaatan (Beneficience)

Kewajiban secara etik untuk memaksimalkan manfaat

dan meminimalkan bahaya. Semua penelitian harus bermanfaat bagi

masyarakat, desain penelitian harus jelas, penelitian yang bertanggung jawab

harus mempunyai kompetensi yang sesuai.

3. Berkeadilan (Distributive justice)

Keseimbangan antara beban dan manfaat ketika berpartisipasi dalam

penelitian. Setiap individu yang berpartisipasi dalam penelitian harus diperlakukan

sesuai dengan latar belakang dan kondisi masing-masing. Perbedaan perlakuan

antara satu individu/kelompok dengan lain dapat dibenarkan bila dapat

dipertanggungjawabkan secara moral dan dapat diterima oleh masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai