PENDAHULUAN
Namun, menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari
beragam etnik, budaya, dan sosio-ekonomi, maka untuk mencapai tujuan tersebut
ada sebuah kendala yang mungkin timbul yaitu disintegrasi teknik dalam pencapaian
tujuan.
Oleh karena itu, harus ada sebuah paham yang dianut oleh bangsa ini untuk
dapat saling menyatukan setiap keinginan dan tujuan tersebut. Setelah melihat
beberapa paham yang telah lahir seperti komunisme, liberalisme, dan marxisme yang
marak digunakan di kawasan Eropa, akhirnya melalui pemikiran Soepomo pada
sidang BPUPKI, dinyatakanlah bahwa Indonesia tidak cocok menggunakan paham-
paham itu karena dianggap tidak sesuai dengan kultur budaya yang ada di Indonesia.
Paham yang sesuai adalah paham integralistik. Paham ini dijabarkan sebagai paham-
1
paham integralistik yang terkandung dalam Pancasila yang meletakkan asas
kebersamaan hidup, mendambakan keselarasan dalam hubungan antarindividu
maupun masyarakat. Dalam pengertian ini, paham negara integralistik tidak memihak
kepada yang kuat, tidak mengenal dominasi mayoritas dan juga tidak mengenal tirani
minoritas. Maka, di dalamnya terkandung nilai kebersamaan, kekeluargaan, ke
“binneka tunggal ika” an, nilai religiusitas, serta keselarasan.
Jika dipandang secara lebih dalam, memang paham ini tampaknya sesuai
dengan budaya dan demografi bangsa Indonesia. Namun, kenyataannya sejak awal
pemerintahan negara Indonesia ini, paham yang digunakan bukan mengarah pada
integralistik tapi tergantung pada siapa yang memimpin. Sebagai contoh, ketika
pemerintahan Soekarno, paham yang dianut adalah demokrasi terpimpin, yaitu
memusatkan pengelolaan negara pada pemerintah pusat. Berbeda lagi pada zaman
orde baru yang mengumandangkan “negara kesatuan” dimana mengarah pada
keseragaman dan depolitisasi sistematis. Akhirnya, paham kesatuan ini menolak
berbagai perbedaan pendapat.
Oleh karena itu, bagaimana dengan saat ini. Saat era reformasi dan
kebebasan yang diberikan. Paham apa yang dianut oleh bangsa ini. Apakah Pancasila
yang memuat nilai-nilai luhur integralistik masih mampu untuk digunakan. Melalui
makalah ini, kami mengkaji berbagai paham dan mencoba mendeskripsikan paham
yang sesuai bagi bangsa Indonesia.
2
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui esensi Pancasila sebagai ideologi yang menganut paham
integralistik.
1.3.2 Mengetahui pelaksanaan Pancasila sebagai paham integralistik di Indonesia.
1.3.3 Mengetahui perbandingannya dengan paham-paham lain yang berkembang di
dunia?
1.4 Manfaat
Diharapkan makalah ini dapat menjadi acuan dalam pengenalan paham-
paham yang berkembang di dunia. Sehingga, diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan kita. Dan tentunya semakin meningkatkan kualitas nasionalisme kita
terhadap tanah air tercinta kita.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
dimensi ini mirip dengan public enterprise of republicanism. Ini juga dekat dengan
hubungan antara yang berdaulat (pemimpin atau negara) dan rakyat biasa, dan fokus
kepada supremasi negara (Tuhan atau representasinya di dunia) yang meliputi
semesta dan manusia sebagai kesatuan yang populer dalam konsep Jawa
‘manunggaling kawula- Gusti’ (Kalidjernih, 2007).
Benedictus de Spinoza mengemukakan bahwa negara adalah susunan
masyarakat yang integral (kesatuan) antara semua golongan dan bagian dari seluruh
anggota masyarakat (persatuan masyarakat organis) (Ruhcitra, 2008). Sedangkan,
Hegel membagi kehidupan sosial ke dalam tiga tingkat. Tingkat pertama adalah
kehidupan dalam keluarga. Di sini manusia sejak kecil belajar tentang otoritas,
tanggung jawab dan cinta. Pada tingkat kedua adalah kehidupan dalam masyarakat
sipil di mana cirinya yang utama adalah kompetisi dan pengejaran kepentingan diri
yang tak terkendali. Untuk mengimbangi dan mengatur masyarakat sipil diperlukan
hadirnya negara atau pemerintahan yang kuat dan korporatis. Jika ini bisa tercapai
maka tahap kehidupan sosial yang ketiga tercapai dan masyarakat tidak lagi
mengalami konflik-konflik yang mendasar. Berdasarkan konsep dari Hegel di atas,
maka Supomo menciptakan sebuah bentuk negara yang memiliki susunan masyarakat
yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat
satu sama lain, dan merupakan persatuan masyarakat yang organis yang sesuai
dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia.
Akan tetapi, keinginan sebagian pemimpin untuk mempertahankan
kekuasaan dan ketiadaan mekanisme yang wajar untuk membatasi kekuasaan
terkadang telah membelokkan konsep-konsep awal tentang negara integralistik
tersebut. Ketidaksabaran Sukarno terhadap demokrasi parlementer akhirnya
mengakibatkan munculnya konsep demokrasi terpimpin yang menumbuhkan benih-
benih otoritarianisme, justru dengan mengatasnamakan negara integralistik. Tampak
jelas bahwa konsep yang sama, jika ditafsirkan secara sepihak dan tanpa disertai
dengan wacana publik yang rasional akan mengakibatkan pergeseran makna atau
bahkan penjungkirbalikan konsep itu sendiri (Ruhcitra, 2008).
5
Kemudian, selama lebih dari tiga dasawarsa pemerintahan Orde Baru,
Suharto seringkali menggunakan istilah-istilah filosofis asli bangsa Indonesia seperti
gotong-royong, musyawarah untuk mufakat, dan sebagainya untuk membuat
justifikasi bagi pembatasan kegiatan partai politik, mobilisasi warga desa atau
penetrasi aparat negara ke dalam pelbagai kegiatan otonom masyarakat. Konsep
nasionalisme seperti yang terdapat dalam negara integralistik berubah menjadi
“negara kesatuan” dengan pengertian yang sangat sempit yang mengarah kepada
keseragaman dan depolitisasi sistematis. Nasionalisme dalam situasi di mana kultur
negara sangat mendominasi dan tidak ada satu pun mekanisme rasional yang mampu
menjadi pembanding seperti ini jelas tidak mampu mengakomodasi kultur lokal yang
sangat beragam. Setelah tumbangnya Orde Baru, segera terlihat betapa kultur lokal
yang kuat di daerah-daerah seperti Aceh, Papua, Luwu, dan lain-lain bangkit
menunjukkan resistensi terhadap dominasi pusat. Memang tidak semua resistensi
kultur lokal itu menghasilkan gerakan separatisme. Tetapi menjadi jelas di sini bahwa
wacana tentang kepribadian bangsa yang tidak mengakomodasi keberagaman kultur
lokal justru akan mengancam semangat nasionalisme itu sendiri (Ruhcitra, 2008).
Setelah reformasi, kebijakan untuk memberikan otonomi daerah yang luas
adalah suatu keniscayaan. Kebijakan ini bukan dimaksudkan untuk membiarkan
semangat kedaerahan muncul menjadi ancaman disintegrasi atau mengaburkan
semangat nasionalisme ke dalam fragmen-fragmen etnisitas yang sempit. Justru
sebaliknya, dengan pengakuan atas keragaman budaya dan karateristik daerah,
perasaan senasib dan kemungkinan untuk menyepakati kembali adanya tujuan
bersama akan dapat dibangkitkan. Sejarah mencatat bahwa tidak ada negara yang
tercerai-berai karena pemerintah pusat memberikan otonomi kepada daerah dan
memberikan partisipasi kepada rakyat secara luas. Sebaliknya, justru banyak terjadi
gerakan separatisme karena pemerintah pusat yang represif dan tidak mengakomodasi
keragaman etnik dan budaya (Ruhcitra, 2008).
6
2.1.2 Pancasila sebagai Paham Integralistik
Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisah-
pisahkan. Masing-masing sila tidak dapat dipahami dan diberi arti tersendiri yang
terpisah dari keseluruhan sila-sila itu. Ini menggambarkan adanya paham persatuan
atau integralistik.
Dalam pancasila sendiri, pada sila III yang berbunyi, ”Persatuan Indonesia”,
menegaskan dan mencerminkan perwujudan paham integralistik dalam tata
kenegaraan kita. Sila III ini tercermin dalam pokok pikiran pertama yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut :
7
5. Negara tidak memihak pada suatu golongan atau perorangan
6. Negara tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat
7. Negara tidak hanya ada untuk menjamin kepentingan seseorang atau
golongan saja
8. Negara menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai suatau
kesatuan integral
9. Negara menjamin keselamtan hidup bangsa seluruhnya sebagai satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Paham integralistik dalam kehidupan bernegara mengasumsikan negara
kesatuan Republik Indonesia sebagai patron yang dengan sendirinya mengayomi
klien, rakyat Indonesia. Patron yang akan berperilaku sebagai bapak tentu tidak akan
memberi ular pada anak-anaknya (rakyat) bila mereka meminta nasi. Dalam
pandangan ini, maka perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi yang
dituntut negara-negara barat sebagai unsur tidak terpisahkan dari demokrasi dan cita
negara hukum adalah suatu yang berlebihan dan tidak perlu. Konsep hak asasi
dianggap sebagai nilai budaya barat yang lebih menekankan individualisme daripada
kepentingan bangsa dan negara sebagai komunitas. Budaya timur yang adiluhung
tidak memerlukan hak asasi versi barat ini. Tahun 1980-1990, Indonesia masih
berkilah bahwa kalaupun ada hak asasi, maka budaya timur sudah
mengakomodasinya dengan lebih baik daripada bangsa barat yang sibuk menuding
Indonesia sebagai pelanggar hak asasi (Moeliono, 2007).
8
rangka demokrasi tidak melampaui hakikat nilai-nilai Ketuhanan, bahkan nilai
Ketuhanan terjelma dalam bentuk moral dalam ekspresi kebebasan manusia
(Anonymous, 2008).
Sesuai dengan makna negara kebangsaan Indonesia yang berdasarkan
Pancasila, yaitu kesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara, maka
Pancasila memiliki sifat kebersamaan, kekeluargaan, serta religiusitas. Dalam
pengertian inilah, maka Negara Pancasila pada hakikatnya adalah negara kebangsaan
yang Berketuhanan Yang Maha Esa (Anonymous, 2008).
Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945, telah memberikan sifat yang khas kepada Negara
Kebangsaan Indonesia, yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisahkan
antara agama dengan negara, demikian juga bukan merupakan negara agama yaitu
negara yang mendasarkan atas agama tertentu. Negara tidak memaksa dan tidak
memaksakan agama karena agama adalah merupakan suatu keyakinan batin yang
tercermin dalam hati sanubari dan tidak dapat dipaksakan. Kebebasan beragama dan
kebebasan agama adalah merupakan hak asasi manusia yang paling mutlak, karena
langsung bersumber pada martabat manusia yang berkedudukan sebagai makhluk
pribadi dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, agama bukan
pemberian negara atau golongan tetapi hak beragama dan kebebasan beragama
merupakan pilihan pribadi manusia dan tanggung jawab pribadinya (Anonymous,
2008).
Hubungan negara dengan agama menurut Negara Pancasila adalah sebagai
berikut (Anonymous, 2008) :
a. Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang Berketuhanan Yang Maha Esa.
c. Tidak ada tempat bagi Athéisme dan Sekulerisme, karena hakikatnya manusia
berkedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan.
d. Tidak ada tempat pertentangan agama, golongan agama, antar dan inter
pemeluk agama, serta antar pemeluk agama.
9
e. Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketaqwaan itu bukan hasil
paksaan bagi siapapun juga.
f. Harus memberikan toleransi terhadap orang lain dalam menjalankan agama
dan negara.
g. Segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus sesuai
dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa terutama norma-norma hukum
positif maupun norma moral baik moral negara maupun moral para
penyelenggara negara.
h. Negara pada hakikatnya adalah merupakan berkat Rahmat Allah Yang Maha
Esa.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa Negara Pancasila adalah negara yang
melindungi seluruh agama di seluruh wilayah tumpah darah. Sebagaimana tersebut
dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, memberikan kebebasan kepada seluruh warga
negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keimanan dan
ketakwaan masing-masing. Negara kebangsaan yang Berketuhanan yang Maha Esa
adalah negara yang merupakan penjelmaan dari hakikat kodrat manusia sebagai
individu makhluk sosial dan manusia adalah pribadi dan makhluk Tuhan yang Maha
Esa (Anonymous, 2008).
Adapun paham integralistik yang terkandung dalam Pancasila meletakkan
asas kebersamaan hidup serta mendambakan keselarasan dalam hubungan antar
individu maupun masyarakat. Dalam pengertian ini, paham integralistik Pancasila
dalam aspek agama ialah tidak memihak kepada agama yang kuat, tidak mengenal
dominasi mayoritas agama tertentu, dan juga tidak mengenal tirani minoritas agama
tertentu. Bila dirinci, maka paham Integralistik Pancasila dalam aspek agama
memiliki pandangan sebagai berikut (Anonymous, 2008).
a. Semua golongan agama, bagian dan anggotanya berhubungan erat satu
dengan lainnya.
b. Negara tidak memihak kepada sesuatu golongan agama tertentu.
10
c. Negara tidak hanya untuk menjamin kepentingan golongan agama tertentu
saja.
3. Bentuk Republik
6. Sistem Perwakilan
11
RI beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu rakyat, wilayah, serta pemerintahan negara
(Kristianto, 2008).
1 Jalur yuridis formal, yang berangkat dari keyakinan bahwa landasan hukum SEP
adalah pasal 33 UUD 1945, yang dilatarbelakangi oleh jiwa Pembukaan UUD
1945 dan dilengkapi oleh pasal 23, 27 ayat 2, 3, 4, serta penjelasan pasal 2 UUD
1945. Pelopor jalur ini, misalnya adalah Sri-Edi Swasono dan Potan Arif Harahap.
12
2 Jalur orientasi, yang menghubungkan sila-sila dalam Pancasila. Termasuk dalam
kubu ini adalah Emil Salim, Mubyarto, dan Sumitro Djojohadikusumo. Pada
dasarnya mereka menafsirkan SEP sebagai sistem ekonomi yang berorientasi
pada sila I, II, III, IV, dan V. Terlihat bahwa ketiganya berusaha menjabarkan
ideologi Pancasila dalam dunia ekonomi dan bisnis. Sepertinya hal ini sejalan
dengan pandangan yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan ideologi
terbuka, yang artinya nilai dasarnya tetap, namun penjabarannya dapat
dikembangkan secara kreatif dan dinamis sesuai dengan dinamika perkembangan
masyarakat Indonesia.
Tabel 1. Perbandingan SEP versi Emil Salim, Mubyarto, dan Sumitro Djojohadikusumo
13
Pertanyaan yang muncul setiap mendiskusikan sistem ekonomi Indonesia
adalah: Sistem ekonomi yang sekarang berlangsung di Indonesia sebenarnya
tergolong sistem ekonomi apa? Ada beberapa pendapat mengenai hal ini. Pertama,
pendapat yang mengatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia bukan sistem
kapitalisme maupun sosialisme. Emil Salim (1979) mengatakan bahwa SEP adalah
sistem ekonomi pasar dengan unsur perencanaan. Dengan kata lain, sifat dasar dari
kedua kutub ekstrim ini berada dalam keseimbangan. Mubyarto (1980) berpendapat
bahwa SEP mungkin sekali berada di antara dua kutub tersebut, tapi di luarnya.
Tentu saja pandangan ini mendapat banyak kritikan tajam. Frans Seda,
misalnya, menjuluki pandangan ini sebagai paham "bukan-isme", yaitu paham serba
bukan: bukan kapitalisme, bukan liberalisme, tidak ada monopoli, tidak ada oligopoli,
tidak ada persaingan bebas yang saling mematikan, dsb.
Menurut Sjahrir, dilihat dari segi kepemilikan dan sifat pembentukan harga,
sistem ekonomi yang berlangsung di Indonesia adalah: (1) sistem ekonomi di mana
peranan negara dominan; (2) peranan swasta, baik nasional maupun asing, tidak kecil;
(3) harga yang berlangsung pada umumnya mencerminkan inefisiensi karena jauh
lebih tinggi harga domestik dibanding harga internasional.
14
Tabel 2. Perkiraan Pemilikan Alat-alat Produksi Menurut Sektor-sektor Ekonomi serta Sifat
Pembentukan Harga
15
ekonomi, efisiensi, distribusi pendapatan, stabilitas, dan tercapainya tujuan-tujuan
pembangunan (Kuncoro, 2001).
16
kondisi ini hanya dapat diperoleh melalui demokrasi yang sejati. Demokrasi sejati
tidak terpisahkan dari kebebasan politik dan didasarkan pada persetujuan yang
dilakukan dengan sadar, bebas, dan yang diketahui benar (enlightened) dari kelompok
mayoritas, yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan rahasia, dengan
menghargai kebebasan dan pandangan-pandangan kaum minoritas. Liberalisme
terutama berkembang di Inggris, terutama sejak Glorious Revolution, di mana
Kekuasaan Monarki Absolut Inggris dibatasi. Tokoh liberalisme adalah John Locke
dan John Stuart Mill. Locke melalui karyanya Two Treatises of Government
mensyaratkan tujuan pemerintahan untuk melindungi hak milik yang diperintah.
Sementara John Stuart Mill melalui karyanya On Liberty, yang mengawali sistem
demokrasi dengan mekanisme suara terbanyak (Anonymous, 2008).
17
antar umat beragama. Dalam masalah teologi, Islam liberal berpendapat bahwa Tuhan
apapun yang disembah oleh umat, tidak menjadi masalah. Di sisi lain, Tuhan tidak
berhak menghukum manusia karena tidak menyembahnya (atheis), karena hal ini
bukan wewenang Tuhan untuk mengatur manusia, karena sudah masuk dalam ruang
privat. Dalam masalah ritual ditulis bahwa manusia meyakini akan kebenaran adanya
Tuhan. Karena kebenaran berada bukan pada satu keyakinan dan agama, maka cara
untuk “menyapa” dan mendekatkan diri pada Tuhan juga mengalami keberagaman.
Umat Islam memiliki ritual sendiri. Demikian pula Kristen, Katholik, Hindu, Budha,
dan agama-agama lainnya. Yang terpenting adalah bahwa semua agama sama dan
tujuan peribadatan agama-agama itu adalah satu tujuan, Tuhan Yang Satu (Husaini,
2006). Semua hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam. Yang boleh adalah
pluralitas bahwa kenyataan masyarakat memiliki agama yang berbeda-beda dan
karenanya harus saling menghormati dan berdampingan dengan baik (Nova, 2005).
Kasus liberalisasi pada agama Kristen pun terjadi. Contohnya ialah
pelantikan Gene Robinson yang merupakan seorang gay menjadi uskup di Keuskupan
New Hampshire, Amerika Serikat. Peristiwa ini adalah yang pertama dalam sejarah
Kristen, yang kali ini terjadi di lingkungan Gereja Anglikan. Pelantikan Robinson itu
akan membawa konsekuensi yang serius bagi keutuhan komunitas Gereja Anglikan.
Terpilihnya Gene Robinson sebagai tokoh penting dalam Gereja bisa dikatakan
sebagai satu puncak kesuksesan gerakan liberalisasi di dunia Kristen. Jika selama ini,
baru masyarakat dan negara Belanda yang mengesahkan perkawinan homoseksual,
maka kasus Gene Robinson akan memberikan dampak lebih hebat lagi karena
perbuatan yang salah itu telah mendapatkan justifikasi keagamaan. Mereka berhasil
menjungkirbalikkan satu ketentuan yang sangat tegas di dalam Bible yang mengutuk
perbuatan homoseksual dan mengusahakan agar gereja mulai menerima praktik-
praktik homoseksualitas (Husaini, 2004).
Liberalisasi dalam agama Katolik dapat dilihat dengan terbentuknya
Jaringan Katolik Liberal (Jakali). Jaringan Katolik Liberal adalah wadah
pengembangan wacana diskusi agama Katolik Roma dengan mengedepankan
18
penelitian historis, studi literatur, dan penelitian ilmiah. Para penganut Katolik
Liberal ingin membentuk generasi Katolik yang mau kritis terhadap literatur, temuan
ilmiah, sejarah, teologi, dogma, dan hirarki dalam agama Katolik (Anonymous,
2007).
Pada Hindu liberal, seperti pada agama lainnya, Hindu liberal menganggap
Tuhan adalah tidak dapat dibayangkan dan bermanifestasi dalam bentuk energetic
seperti pada Brahma, Wisnu, Siwa, dan lain-lain. Walau begitu, tidak semua Tuhan
dianggap sebagai bentuk energetic. Indra dan Vayu tidak termasuk. Hal ini untuk
menghindarkan kesalah pahaman pada pengikut Ramanuja dan Madhva yang merasa
kalau satu-satunya bentuk energetic ‘Narayana’ (Wisnu) adalah Tuhan (Anonymous,
2009).
19
Sistem politik liberalisme menganggap bahwa sistem politik yang paling
tepat untuk suatu negara agar hak-hak asasi manusia itu terlindungi ialah sistem
demokrasi. Itulah sebabnya, sebagai contoh, Amerika Serikat menentukan garis
kebijaksanan di dalam memberikan bantuan terhadap negara-negara yang sedang
berkembang dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia, pemerintah negara-negara di
dunia harus menggunakan sistem demokrasi.
Sistem politik liberalisme karena menekankan terhadap perlindungan hak-
hak asasi manusia, maka infrastruktur atau struktur masyarakat atau struktur sosial
selalu berusaha untuk mewujudkan tegaknya demokrasi dan tumbangnya sistem
kediktatoran. Hal ini terlihat dalam American Declaration of Independence pada Juli
1776, bahwa setiap pemerintahan yang merusak terhadap hak-hak asasi manusia yaitu
hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak mengejar kebahagiaan harus diganti dan
membentuk pemerintahan baru yang melindungi hak-hak asasi manusia tersebut.
Sistem politik liberalisme di dalam sistem sosialnya karena menekankan kepada
kebebasan individu, maka timbullah ekses-ekses negatif yaitu seperti homoseksual
dan lesbianisme, sehingga di banyak negara yang menganut sistem politik liberal,
kaum homo menuntut adanya undang-undang untuk melindungi perbuatan-perbuatan
mereka dan juga free sex. Sistem politik liberalisme melahirkan sekualisme, yaitu
paham yang memisahkan antara negara dengan agama (Anonymous, 2008).
20
secara rasional. Bukan dengan memberangus akal pikiran dengan dalih sesuatu hal
yang memiliki sumber mutlak. Karena pada dasarnya, zaman terus berubah,
berkembang, dan berjalan, sehingga sangat tidak rasional jika untuk memecahkan
persoalan sebuah negara hanya mengambil kesimpulan dari sebuah hukum yang
berusia ratusan-ribuan tahun yang lalu, dimana hukum tersebut sudah sangat out
dated dan memiliki ruang lingkup yang amat sempit, sehingga membuat hukum
tersebut tidak bisa diterapkan di dunia saat ini yang mana unsur heterogenitas
universal merupakan fakta nyata dalam kehidupan sehari hari. Oleh karena itu, negara
Liberal memiliki keunggulan hampir di semua segi bila dibandingkan negara berazas
Theokrasi dan non demokrasi (Anonymous, 2008).
Sistem ekonomi liberal klasik adalah suatu filosofi ekonomi dan politis.
Mula-mula ditemukan pada suatu tradisi penerangan atau keringanan yang bersifat
membatasi kekuasaan dan tenaga politis, yang menggambarkan dukungan pada
kebebasan individu. Teori ini juga bersifat membebaskan individu untuk bertindak
sesuka hati sesuai kepentingan dirinya sendiri dan membiarkan semua individu untuk
melakukan pekerjaan tanpa pembatasan yang nantinya dituntut untuk menghasilkan
suatu hasil yang terbaik, yang cateris paribus, atau dengan kata lain, menyajikan
suatu benda dengan batas minimum dapat diminati dan disukai oleh masyarakat
(konsumen). Paham liberalis kebanyakan digunakan oleh negara-negara di benua
21
Eropa dan Amerika. Seperti halnya di Amerika Serikat, paham liberal dikenali dengan
sebutan mild leftism estabilished.
22
Masyarakat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Banyak terjadinya monopoli masyarakat.
Banyak terjadinya gejolak dalam perekonomian karena kesalahan alokasi
sumber daya oleh individu.
Pemerataan pendapatan sulit dilakukan, karena persaingan bebas tersebut.
(Wikipedia, 2008).
23
kerja yang panjang, tenaga perempuan dan anak yang disalahgunakan sebagai tenaga
murah, keadaan di dalam pabrik-pabrik yang membahayakan dan mengganggu
kesehatan.
Keadaan buruk ini menggugah hati orang banyak, antara lain cendekiawan-
cendekiawan seperti Robert Owen ( 1771-1858), Saint Simon ( 1760-1825), dan
Fourier ( 1772-1837) di Prancis untuk coba memperbaikinya. Pemikiran orang-orang
ini terdorong oleh rasa kemanusiaan tanpa diserati tindakan-tindakan maupun
konsepsi yang nyata mengenai tujuan dan strategi itu, sehingga oleh orang lain teori-
teori mereka dianggap angan-angan belaka. Karena itu mereka lalu disebut kaum
Sosialis Utopis ( Utopis= dunia khayalan).
Karl Marx (1818-1883) dari Jerman juga banyak mengecam keadaan
ekonomi dan sosial di sekelilingnya, akan tetapi ia berpendapat bahwa masyarakat
tidak dapat diperbaiki secara tambal sulam dan harus diubah secara radikal melalui
pendobrakan melalui sendi-sendinya. Untuk keperluan itu, ia menyusun suatu teori
sosial yang menurutnya didasasri hukum-hukum ilmiah dan karena itu pasti akan
terlaksana. Untuk membedakan ajarannya dari gagasan-gagasan Sosialis, Utopia
menamakan ajarannya Sosialis Ilmiah ( Scientific Socialism) (Anonymous, 2009).
24
Marx yang merupakan bapak komunisme beranggapan bahwa agama ibarat
candu yang melumpuhkan semangat rakyat. Menurutnya, agama membuat manusia
hidup dalam suatu dunia khayalan. Baginya, agama adalah semacam eskapisme, yaitu
usaha untuk keluar dari dunia yang nyata agar dapat masuk suatu dunia lain yang
tidak lagi ditandai penderitaan dan kesusahan, suatu dunia sempurna. Dia takut jika
semua orang percaya akan Tuhannya, maka tidak akan menerima paham komunisnya.
Bab pertama dari buku Dialektika Alam yang ditulis oleh Engels berisi kritikan
terhadap hal-hal mistik. Engels pernah berkata: "Segala hal yang ada pada abad
pertengahan dan sebelumnya, harus dibuktikan alasan-alasan keberadaannya di depan
meja pengadilan rasional manusia". Dengan ucapannya ini, dia telah menempatkan
dirinya dan Marx sebagai hakim di belakang meja pengadilan. Bakunin, seorang
anarkis yang juga adalah teman Marx, telah menggambarkan Marx sebagai berikut,
"Dia bagai Tuhan bagi orang-orang. Dia tidak bisa menerima orang lain sebagai
Tuhan kecuali dirinya. Dia menghendaki orang lain memujanya bagai dewa,
menjadikannya idola untuk disembah sujud, jika tidak, akan dihukum atau dianiaya"
(Anonymous, 2009).
25
proletar harus terdapat teori perjuangan yang diinjeksikan ke dalam gerakan buruh itu
sehingga komunis partai kelas proletar.
26
utama, sedangkan kebiasaan hanya ditempatkan sebagai sumber tambahan. Menurut
Korovin, perjanjian merupakan sumber hukum internasional karena perjanjian dibuat
berdasarkan kemauan negara. Seperti telah disebutkan di atas, komunisme melihat
bahwa validitas hukum internasional tidak lebih dari kehendak atau kemauan negara.
Dengan demikian, mendudukan perjanjian sebagai sumber utama hukum
internasional sudah tepat dengan alur berpikir paham komunisme.
Fokus sistem ini adalah Negara diatas segalanya, individu merupakan salah
satu gigi roda dalam roda masyarakat yang berupa sumber daya alam, manusia,
barang produksi, dll (satu kesatuan yaitu materi). Dasar perekonomian komunisme
adalah ekonomi di tangan Negara, tidak ada sebab pemilikan, semua orang boleh
mencari kekayaan dengan cara apapun. Namun, jumlah kekayaan yang boleh dimiliki
dibatasi.
27
modal (faktor produksi) dimiliki secara sosial dan pertentangan kelas, serta sifat
kekuatan menindas dari negara tidak berlangsung lagi. Dalam setiap upaya untuk
menanamkan ideologinya itu, paham komunis berusaha mengambil jalan pintas,
yakni dengan jalan revolusi dengan metode kekerasan. Hal inilah yang menyebabkan
antipati masyarakat dunia terhadap paham ini (Wikipedia, 2009).
Fasisme berasal dari Latin faces yang berarti ikatan . Masa Roma Kuno
petugas hukum mengenakan tanda berupa seikat sambuk dan kapak sebagai simbol
wewenang dan keadilan. Mussolini mengadopsi simbol ini dan memberi nama yang
mirip yaitu Fasci, untuk kelompok bersenjata yang diharapkan dapat membawanya
kepada kekuasaan. Fasisme yang dikenal di Italia dan Jerman menolak nilai-nilai
demokrasi, tetapi ingin tetap mempertahankan suatu bentuk kapitalisme sebagai suatu
sistem ekonomi. Fasisme menganut paham bahwa manusia tidak sama, tidak boleh
diberi perlakuan yang sama, dan harus dipaksa mengakui ketidaksamaan. Passmore
(2002) mengemukakan:
28
aspek pendidikan, media massa, industri, perdagangan, agama, dan bahkan kehidupan
berkeluarga. Bagi kaum fasis negara kuat adalah negara yang bersatu dan disiplin
dimana semua hal dikorbankan untuk satu tujuan, yaitu kekuasaan (Nusantara, 2002).
29
dan meninggalkan peternak itu tiga ekor, sedangkan fasisme membiarkan peternak
iku memiliki semua keenam sapi tersebut, memaksa peternak untuk memberi makan
dan merawat semua sapi dengan baik dan kemudian mengambil semua susunya
(Newhistorian, 2008).
30
an. aspek jawab untuk
dalam mengkondus
kehidupan ifkan
diatur oleh kondisi
negara. tersebut bagi
Negara para kaum
berkuasa protokoler.
atas
segalanya
untuk
rakyatnya.
BAB III
KESIMPULAN
31
1. Pancasila sebagai ideologi yang integralistik dapat dijabarkan dari pengertian
sila-sila seperti diuraikan dalam undang-undang dasar 1945, dan dari sejarah
lahirnya naskah UUD 1945. Pengertian integralistik disini adalah ideologi
secara keseluruhan, keutuhannya lengkap dengan bagian-bagian atau masing-
masing silanya. Integrasi adalah suatu kondisi dari saling hubungan dari
integrasi segenap bagian yang ada di dalam keseluruhan tersebut. Atas dasar
hal terakhir ini, maka setiap bagian nyata menjadi suatu keseluruhan dan
masing-masing bagian ikut terpengaruh oleh kondisi dari bagian yang lain.
2. Dari aspek ideologi, Pancasila yang merupakan way of life bangsa Indonesia
saat ini menghadapi tantangan serius, bukan saja orang enggan bicara tentang
Pancasila, tetapi justru nilai-nilai yang terkandung didalamnya nyaris tidak
lagi dihayati dan diamalkan. Mungkin hal ini adalah akibat dan sikap
traumatis dari pengalaman masa lalu, atau dapat pula karena terlahir generasi
baru yang telah menganggap bahwa Pancasila sudah tidak bermakna lagi.
3. Esensi integralistik dapat mencakup :
a. Nilai Pancasila sebagai esensi pertama, secara intrinsik tidak akan
berubah, apalagi hal itu memiliki nilai-nilai mendasar dan sebagai way of
life bangsa Indonesia, serta sebagai dasar Negara Republik Indonesia akan
tetap dapat dipertahankan.
b. Esensi kedua adalah UUD' 45 sebagai sumber dari segala sumber hukum
di Indonesia, akan tetap menjadi kaidah utama.
c. Esensi ketiga adalah Rasa cinta tanah air dan rela berkorban karena
perjuangan melawan penjajah dan telah mengorbankan jiwa raga beribu-
ribu pahlawan bangsa, maka rasa kebangsaan kita harus dilandasi oleh
tekad dan semangat terus berupaya mencintai tanah air Indonesia dengan
segala isi yang terkandung didalamnya sepanjang masa.
d. Esensi keempat adalah rasa persatuan dan kesatuan bangsa di dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini yang sekarang
terkoyak-koyak dan nyaris menghadapi disintegrasi. Pengaruh globalisasi
32
sangat besar, eforia reformasi, telah membuat bangsa Indonesia hampir
kehilangan arah dan tujuan.
e. Esensi kelima tentang wawasan kebangsaan yang bersumber dari
wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional hendaknya terus dapat
melekat pada hati dan dihayati sepenuhnya oleh warga Negara Indonesia,
sehingga tertanam pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang sarwa
Nusantara, merangkul semua kepentingan dan mengarahkan pada cita-cita
dan tujuan pembangunan Nasional.
f. Disiplin nasional.
Daftar Pustaka
33
Anonymous. 2008. Keutamaan Sekulerisme-Kebebasan Leberal.
http://sekulerliberal.wordpress.com. Diakses tanggal 5 Mei 2009 pukul 13.25
WIB.
Anonymous. 2008. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI. http://72.14.235.132/search?
q=cache:J8O7UMyMcRMJ:elearning.gunadarma.ac.id. Diakses tanggal 2 Mei
2009 pukul 15.30 WIB.
34
Luwi, 2008. Persaingan Tiga Ideologi Besar Dunia.
http://kelompokdiskusi.multiply.com. Diakses tanggal 28 April 2009 pukul 15.40
WIB.
Moeliono. 2007. Ideologi pancasila. http://ideologipancasila.wordpress.com/.
Diakses tanggal 4 Mei 2009 pukul 09.45 WIB.
Newhistorian. 2008. Fasisme.
http://newhistorian.wordpress.com/2008/01/04/fasisme/. Diakses tanggal 5 Mei
2009 pukul 17.35 WIB.
Nova. 2005. Paham Liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme. http://www.mail-
archive.com/milis-nova@news.gramedia-majalah.com/msg00461.html. Diakses
tanggal 2 Mei 2009 pukul 16.05 WIB.
Nusantara, Gigih. 2002. "He-Man" : IDEOLOGI FASIS KAUM FUNDAMENTALIS.
http://www.polarhome.com. Diakses tanggal 3 Mei 2009 pukul 14.25 WIB.
Ruhcitra. 2008. Ideologi Pancasila.
http://filsafat.ugm.ac.id/aw/ideologiPancasila.pdf. Diakses tanggal 3 Mei 2009
pukul 14.05 WIB.
Sutomo, Deddy. 2008. Prinsip-prinsip Ekonomi; Dalam Pendekatan Filosofi.
http://fai.elcom.umy.ac.id/mod/forum/discuss.php?d=117. Diakses tanggal 3 Mei
2009 pukul 12.45.
Wikipedia. 2008. Ekonomi liberal. http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_liberal.
Diakses tanggal 3 Mei 2009 pukul 12.35 WIB.
Wikipedia, 2009. Ideologi. http://wapedia.mobi/ms/Komunisme. Diakses tanggal 4
Mei 2009 pukul 08.00 WIB.
Wikipedia. 2009. Liberalisme.
http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme#Liberalisme_dan_Agama. Diakses
tanggal 2 Mei 2009 pukul 12.21 WIB.
Wikipedia, 2009. Sosialisme. http://id.wikipedia.org/wiki/Sosialisme. Diakses tanggal
2 Mei 2009 pukul 13.00 WIB.
35