Anda di halaman 1dari 3

B.

Filsafat Modern
1. Rene Descartes (1596-1650 M)

Seorang filsuf dan matematikawan yang lahir di La Haye, Prancis, pada tanggal
31 Maret 1596 ini yang dikenal sebagai Rene Descartes atau Cartesius. Beberapa
karyanya yang terpenting adalah Discours de la methode (1637) dan Meditationes de
prima Pholosophia (1641).
Tokoh rasionalisme ini beranggapan bahwa dasar semua pengetahuan ada
didalam pikiran, hal ini dia tegaskan didalam buku Discours de la methode yang mana
bahwasannya perlu sebuah metode yang jitu sebagai dasat kokoh bagi semua
pengetahuan, seperti dengan menyangsikan segalanya seara metodis. Apabila suatu
kebenaran itu tahan terhadap ujian kesangsian radikal ini, maka kebenaran tersebut 100%
pasti dan menjadi suatu landasan bagi seluruh ilmu pengetahuan.
Ada 3 relitas yang diterima oleh Descartes yang mana hal ini telah ada sejak
kita lahir, yaitu:1) realitas pikiran, 2) realitas perluasan, 3) Tuhan (sebagai wujud yang
sepenuhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua relaitas itu). Descartes adalah
seorang dualis yang menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran daan realitas
yang meluas.
Didalam buku Discourse on Methods itu juga, Descartes mengajukan 6 bagian
penting, yaitu:
a. Menjelaskan masalah ilmu-ilmu yang diawali dengan menyebutkan akal sehat yang
pada umumnya dimiliki oleh semua orang.
b. Menjelaskan kaidah-kaidah pokok tentang metode yang akan dipergunakan dalam
aktivitas ilmiah.
c. Menyebutkan beberapa kaidah moral yang menjadi landasan berbagai penerapan
metode.
d. Menegaskan pengabdian pada kebenaran yang sering terkecoh oleh indra.
e. Menegaskan perihal dualisme dalam diri manusia yang terdiri atas 2 susbtansi,
yaitu:jiwa bernalar dan jasmani yang meluas.
f. Dua jenis pengetahuan, yaitu: pengetahuan spekulatif (hal-hal yang bersifat
filosofis) dan pengetahuan praktis (terkait dengan objek-objek konkret).

2. Baruch de Spinoza (1632-1677 M)

Seorang filsuf asal Belanda, yang telah menggugat salah satu pemikiran
Descartes mengenai sesungguhnya dunia ini. Spinoza kerapkali ditentang oleh sahabat-
sahabatnya yang berpikiran ortodoks, sehingga Ia dikucilkan. Meski begitu, Spinoza
membuat sebuah pemikiran yang cukup mengagumkan bagi banyak orang tentang
kajian filsafat dan ilmu pengetahuan.
Dalam buku karya pertamanya “Ethnics”, buku ini menggunakan metode
Cartesian dan berusaha membuat hipotesis mengenai kehidupan ini bahwa ada dan
hanya satu substansi dengan berbagai sifat yang tidak terbatas jumlahnya. Artinya,
manusia dan Tuhan adalah satu substansi yang berbeda. Pernyataan inilah yang
membuat sebagian orang menerima hasil pemikiran Spinoza walau masih ada yang
tidak mampu memahaminya.
Spinoza memiliki sesuatu yang lain dalam benaknya, dan ini merupakan suatu
determinisme. Yaitu, klaim bahwa segala suatu sebab yang sudah ditentukan akibat
menyusul secara niscaya. Determinisme Spinoza ini tidak berkaitan dengan ilmu secara
khusus namun hanya dengan apa yang dianggap sebagai nasib.

3. Leibniz (1646-1716 M)

Leibniz air di Jerman. Filsuf satu ini dengan nama lengkapnya Gorrfied
Wilhelm von Leibniz. Beliau sama halnya seperti Spinoza, Leibniz termasuk filsuf yang
merupakan pengagum serta pengkritik Descartes. Beliau khawatir tentang kehidupan
dan bagaimana menjalani hidup.
Selain dikenal sebagai filsuf, Leibniz juga diekanl sebagai penemu kalkulus
bersama Newton. Menurut Leibniz, filsafat adalah hobi yang berkeseimbangan dan ia
terlihat dalam diskusi filosofis dan melakukan korespondensi sepanjang hidupnya
bersama para filsuf di zamannya. Hanya saja banyak karyanya yang tidak dapat disimak
banyak orang setelah beliau meninggal, karena tidak diterbitkan.
Bukan berarti tidak ada suatu hal yang membekas, Tesis Leibniz dengan judul
“Candide” mengklaim bahwa ada sejummlah pilihan yang tak terhingga diantara dunia-
dunia yang mungkin berbeda dan Tuhan akan memilih yang terbaik darinya. Leibniz
menyarankan bahwa pengembangan suatu bahasa universal, suatu logika universal
yang didalamnya mengenai semua masalah dapat dipecahkan dengan perhitungan tanpa
pertumpahan darah dari rasional. Prinsip dasariah dari Leibniz adalah “Prinsip Cukup
Alasan”.
Leibniz beragumentasi bahwa tidak ada yang terjadi sesuaut hal tanpa adanya
suatu alasan dan semua alasan itu adalah alasan-alasan Tuhan, dan Tuhan menentukan
alam semesta dan semua alasan tersebut ada baiknya.

4. John Locke (1632-1704 M)

John Locke adalah tokoh pembawa gerbong aliran empirisme dalam filsafat.
Yaotu, sebuah alliran yang mengimani bahwa semua pikiran dan gagasan manusia
berasal dari suatu yang didapat melalui indra atau pengalaman.
Sebuah teori yang sangat penting dari John Locke adalah tentang gejala
kejiawwan yang mana adalah jiwa itu pada saat mula-mula seseorang dilahirkan masih
bersih bagaikan sebuah “tabula rasa”. Selain itu, John Locke menyarankan, sebagai
akal budi dan spekulasi abstrak, kita harus menaruh perhatian dan kepervayan pada
pengalaman dalam menangkap fenomena alam melalui panca indra. Hal ini hadir secara
aposteritori. Pengenalan manusia terhadap seluruh pengalaman yang dilaluinya seperti
mencium, merasa, mendengan dan mengecap menjadi dasar bagi hadirnya gagasan-
gagasan dan pikiran sederhana.
Sesuatu hal yang pasif, menurut John Locke adalah segala sesuatu yang datang
dari luar. Beberapa aktivitas berlangsung didalam pikiran. Gagasan-gagasan yang
datang dari indra tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar, memercayai dan
meragukannya dan inilah akhir disebut bagian dari aktivitas merenung atau perenungan.
John Locke selain dikenal sebagai filsuf empiris, Ia juga dikenal sebagai
fisikawan. Yang membedakan Locke dengan lainnya adalah karakter pemikirannya
yang empiris dibangun atas dasar tunggal dan serbaguna. Semua pengalaman
(pengetahuan), menurutnya berawat dari pengalaman. Pengalaman itu sendiri yang
memberikan kita sensasi-sensasi. Dari inilah kita memperoleh berbagai macam ide baru
yang lebih kompleks. Pikiran kita terpengaruuh oleh perasaan dan refleksi.
John Lock menerima metafora Cartesian, pembedaan antara pikiran dan tubuh
hal ini dibuktikan karena dia memandang bahwa pengetahuan pertama-tama berkenaan
dengan pemeriksaan pikiran. Tak hanya itu, Locke memberdakan antara “kualitas
primer” dan “kualitas sekunder”. Kualitas primer adalah luas, berat, gerakan, jumlah,
dan sebagainya. Jika ada masalah kualitas seperti ini, kita dapat merasa yakin bahwa
indra-indra menirunya secara objektif. Beda halnya sesuatu itu manis atau pahit, hijau
atau merah, hal ini disebut oleh Locke sebagai kualitas sekunder. Pengindraan macam
ini tidak meniru kualitas yang melekat pada benda-benda itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai