Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

FRAKTUR MAKSILOFASIAL DAN


KLAVIKULA

Disusun oleh :

ELSI RAHMADHANI HARDI


0908120328

Pembimbing :

dr. Welli Zulfikar, Sp.B (K) KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2013
BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang, baik berupa trauma langsung maupun trauma tidak langsung. Trauma
dapat terjadi secara akut akibat kejadian traumatik tunggal atau bisa kronis akibat
efek kumulatif episode trauma ringan berulang.1 Salah satu jenis fraktur yang
sering terjadi di kota-kota besar sebagai akibat dari faktor luar seperti kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, dan juga sebagai akibat
dari tindakan kekerasan adalah fraktur maksilofasial. Data epidemiologi
menunjukkan bahwa fraktur maksilofasial memiliki proporsi sebanyak 6% dari
keseluruhan jenis fraktur yang terjadi.2
Jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat di Indonesia
menyebabkan angka kecelakaan lalu lintas turut meningkat drastis setiap
tahunnya. Penelitian Sukerena pda tahun 1983 menunjukkan bahwa fraktur
maksilofasial terjadi pada 82,46% korban kecelakaan lalu lintas dan sebagian
besar adalah korban adalah pengendara sepeda motor.2
Fraktur maksilofasial melibatkan tulang – tulang penyusun wajah atau
tengkorak bagian depan.3 Fraktur maksilofasial bisa terjadi hanya pada satu
tempat ataupun kompleks seperti pada tulang maxilla dan zigoma. Cedera yang
ditimbulkan akibat fraktur maksilofasial sering menimbulkan gangguan pada jalan
nafas, penciuman, penglihatan, mastikasi, serta otak.4 Cedera yang bervariasi ini
menyebabkan penanganan fraktur maksilofasial harus dilakukan secara intensif
dan holistik.5
Angka kecelakaan lalu lintas yang semakin tinggi juga menyebabkan
peningkatan kejadian fraktur klavikula. Fraktur klavikula terjadi karena adanya
hantaman langsung ke bahu atau jatuh dalam keadaan tangan dalam keadaan out

2
stretched. Sebagian besar fraktur klavikula (80%) terjadi pada segmen 1/3 tengah
klavikula. Pada fraktur 1/3 tengah, klavikula bagian medial terangkat ke atas oleh
tarikan otot sternokleidomastoideus dan fragmen lateral tertarik ke bawah oleh
musculus pektoralis mayor.6,12

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi fraktur maksilofasial


Fraktur maksilofasial adalah fraktur pada tulang – tulang pembentuk wajah
sebagai akibat dari trauma.4 Tulang- tulang pembentuk wajah terdiri dari dua os
nasale, dua os lacrimale, dua maxilla, dua os zygomaticum, mandibula, dua os
palatinum, dua concha nasalis inferior, dan vomer (Gambar 1).7 Fraktur
maksilofasial dapat terjadi pada satu tempat ataupun kompleks.4

Gambar 1. Anatomi maksilofasial8

4
a. Anatomi maxilla
Kedua maxilla (Gambar 2) membentuk rahang atas, pars anterior palatum
durum, sebagian dinding lateral cavum nasi, dan sebagian dasar orbita.
Kedua tulang ini bertemu di garis tengah pada sutura intermaxillaris dan
membentuk pinggir bawah apertura nasalis. Di bawah orbita, maxilla
ditembus oleh foramen infraorbitale. Processus alveolaris menonjol ke
bawah dan bersama dengan sisi lainnya membentuk arcus alveolaris, yang
menampung gigi geligi atas. Pada tiap maxilla terdapat rongga berbentuk
piramid yang dilapisi membran mukosa, disebut sinus maksilaris. Rongga
ini berhubungan dengan hidung dan berfungsi sebagai resonator suara.7

Gambar 2. Anatomi maxilla

5
b. Definisi fraktur maxilla
Fraktur maxilla adalah fraktur pada kompleks rahang atas dan merupakan
salah satu cedera wajah paling berat.9

c. Klasifikasi fraktur maxilla


Fraktur maxilla dibagi menjadi tiga jenis oleh Le Fort seorang ahli bedah
dari Perancis pada awal abad ke-20 yang melakukan penelitian dengan
mematahkan wajah kadaver dengan menggunakan pentungan untuk
mempelajari garis fraktur. Sebagian besar (40%) fraktur maxilla berupa
fraktur yang tersendiri (umumnya Le Fort I), bila merupakan kombinasi
umumnya Le Fort II atau Le Fort III.
Pembagian fraktur maxilla menurut Le Fort (Gambar 3) yaitu :3,10
- Fraktur maxilla Le Fort I
Fraktur Le Fort (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian
bawah antara maksila dan palatum atau arkus alveolar kompleks. Garis
fraktur berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa
unilateral atau bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah
trauma dari anteroposterior bawah yang dapat mengenai :
1. nasomaksila dan zigomatikomaksila vertikal buttress
2. bagian bawah lamina pterigoid
3. anterolateral maksila
4. palatum durum
5. dasar hidung
6. septum
7. apertura piriformis
Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan
menggerakkan dengan jari pada saat pemeriksaan palpasi. Garis
fraktur yang mengarah ke vertikal, yang biasanya terdapat pada garis
tengah, membagi muka menjadi dua bagian ( palatal split ).

6
- Fraktur maxilla Le Fort II
Garis fraktur Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui tulang
hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, dan
menyeberang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamina
pterigoid sampai ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina
kribriformis dan atap sel setmoid dapat merusak sistem lakrimalis.

- Fraktur maxilla Le Fort III


Fraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang
memisahkan secara lengkap antara tulang dan kranial. Garis fraktur
berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut etmoid
melalui fisura orbitalis superior melintang kearah dinding lateral
orbita, sutura zigomatikofrontal dan sutura temporo zigomatik. Fraktur
Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan
dishface. Fraktur maksila Le Fort III ini sering menimbulkan
komplikasi intrakranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak
melalui atap sel etmoid dan lamina kribriformis.

I II III
Gambar 3. Fraktur Le Fort I, II, dan III

7
d. Gejala klinis fraktur maksila
Gejala klinis yang ditimbulkan akibat fraktur maxilla dapat berupa nyeri,
bengkak terutama pada jaringan periorbita, hematom periorbita, maloklusi
yaitu rasa tidak nyaman ketika menggigit karena gigi geligi pada rahang
atas tidak pas terkatup dengan gigi geligi pada rahang bawah, laserasi
intraoral, nyeri ketika mengunyah, krepitasi, deformitas, floating maxilla,
epistaksis, dan rinore.9

e. Diagnosis klinis fraktur maksila


Penegakan fraktur maksila dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fraktur maxilla dilakukan
dengan pemeriksaan floating maxilla dengan cara dahi difiksasi dengan
tangan kiri, kemudian maxilla dipegang dengan ibu jari di luar dan
telunjuk di palatum durum, gerakan maksila ke depan dan ke belakang
menunjukkan adanya fraktur maxilla. Floating maxilla akan lebih nyata
pada fraktur maxilla Le Fort II dan Le Fort III dibandingkan dengan Le
Fort I.4
Pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis fraktur maksila dapat
dilakukan dengan CT-scan 3D yang merupakan gold standard
pemeriksaan pada pasien yang dicurigai mengalami fraktur maksilofasial.
Pemeriksaan fraktur maksila juga dapat dilakukan dengan menggunakan
foto polos Waters, Caldwel, submentovertek, dan lateral.4

f. Penatalaksanaan fraktur maksila


Penatalaksanaan fraktur maksila memiliki prinsip penatalaksaan yang
sama dengan penatalaksanaan kasus trauma pada umumnya. Penanganan
dimulai dengan penilaian awal pada primary survey, resusitasi, secondary
survey, dan terapi definitif.4 Penanggulangan fraktur maksila sangat
ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah dapat menutup.3

8
Prinsip penanganan fraktur maxilla sama dengan penanganan fraktur yang
lain yaitu reposisi, fiksasi, imobilisasi, dan rehabilitasi. Fraktur maksila
dapat ditatalaksana dengan reposisi terbuka atau reposisi tertutup. Reposisi
terbuka pada fraktur maxilla bertujuan untuk melakukan koreksi
deformitas dan maloklusi yang dapat dilakukan dengan:3
1. Suspensi zygomatico circumferential wiring adalah tindakan operasi
untuk stabilisasi tulang maxilla yang patah dengan jalan
menggantungkan ke arkus zigomatikus dengan menggunakan kawat.
Suspensi ini digunakan untuk fraktur maxilla Le Fort I atau Le Fort II.
2. Suspensi fronto circumferential wiring ialah tindakan operasi untuk
stabilisasi tulang maxilla yang terlepas dari dasar tengkorak dengan
jalan menggantungkan ke prosesus zigomatikus tulang frontalis, bisa
dilakukan untuk fraktur maxilla Le Fort I, II, dan III.
3. Interoseus wiring adalah tindakan operasi untuk fiksasi antara dua
fragmen tulang yang patah dengan cara mengikat kedua fragmen
menggunakan kawat kecil.
Reduksi tertutup pada patah tulang maksila ialah dengan cara pemasangan
interdental wiring yaitu tindakan operasi untuk mempertahankan oklusi
dan stabilisasi antara gigi rahang atas dan gigi rahang bawah, atau
terhadap gigi kanan dan kirinya dengan melakukan immobilisasi rahang
atas dan bawah menggunakan kawat atau arch bar yang ditautkan dengan
karet.

g. Anatomi zigoma
Os zigomaticum (Gambar 4) membentuk tonjolan pipi dan sebagian
dinding lateral serta dasar orbita. Di medial bersendi dengan maxilla, dan
di lateral dengan processus zygomaticus ossis temporalis membentuk
arcus zygomaticus. Os zygomaticum ditembus oleh dua foramen untuk n.
zygomaticofacialis dan zygomaticotemporalis.7

9
Gambar 4. Os. zygomaticum

h. Fraktur zigoma
Fraktur zigomatikomaksilaris lebih sering terjadi daripada fraktur arkus
yang tersendiri. Fraktur zigomatikomaksilaris mengenai korpus zigoma,
dasar orbita, dan dinding sinus maksilaris. Suatu pukulan pada sisi wajah
pasien akan menyebabkan zigoma terdorong ke dalam, biasanya pada satu
sisi saja.9
Fraktur kompleks zigomatikomaksilaris melibatkan zigoma beserta
suturanya. Fraktur ini biasanya disebabkan oleh suatu benturan atau
pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang pipi.
Seperti pada fraktur Le Fort II, gejala mati rasa pada kulit yang diinervasi
oleh N. Infraorbitalis merupakan hal yang sering terjadi.3,9

10
i. Gejala klinis fraktur zigoma
Gejala klinis fraktur zigoma dapat berupa pipi menjadi lebih rata jika
dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma, diplopia atau
terbatasnya gerakan bola mata, edema periorbita dan ekimosis, perdarahan
subkonjungtiva, enoftalmus, ptosis, terdapatnya hipestesia atau anetesia
karena kerusakan saraf infra orbitalis, terbatasnya gerakan mandibula,
emfisema subkutis, dan epistaksis yang terjadi pada antrum.3

j. Diagnosis klinis fraktur zigoma


Pada fraktur zigoma dapat dilakukan pemeriksaa dengan cara meletakkan
dua pensil pada masing – masing sisi wajah. Sisi kedua pensil harus
terletak sejajar satu sama lain. Jika ujung akhir dari satu pensil miring ke
arah dalam, maka zigoma pasien menaji pipih pada sisi tersebut.11
Penggunaan CT-scan dan foto rontgen sangat membantu menegakkan
diagnosa, mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan.
CT-scan pada potonan axial maupun coronal merupakan gold standard
pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma. Penilaian foto polos untuk
menilai kecurigaan fraktur zigoma dapat menggunakan foto Waters,
Caldwel, submentovertek, dan lateral.4

k. Penatalaksanaan fraktur zigoma


Indikasi operasi pada patah tulang zigoma adalah fraktur dengan
deformitas disertai diplopia, menyebabkan hiperaestesi, atau juga
menyebabkan trismus. Fraktur kompleks zigomatikomaksilaris biasanya
memerlukan pengungkitan dan pergeseran lateral pada waktu reduksi.
Fraktur dengan pergeseran minimal dan sedang yang tidak mengakibatkan
gangguan penglihatan bisa direduksi secara konservatif dengan
pengangkatan, disertai insersi pengait tulang atau trakeal melalui kulit.
Apabila pergeseran tulang lebih parah, beberapa jalur lain bisa dipilih
misalnya metode Giles ( jalan masuk melalui kulit dengan melalukan

11
diseksi mengikuti fascia profundus ke aspek medial corpus zygomaticus
dan arcus zygomaticus), melalui insisi pada region sutura
zygomaticofrontalis dan peroral, baik di sebelah lateral tuberositas atau
melalui antrum.

2.2. Fraktur klavikula


Patah tulang ini sering ditemukan, baik pada orang dewasa maupun anak.
Fraktur ini terjadi biasanya akibat jatuh bertumpu pada tangan. Gaya benturan di
salurkan ke lengan, kemudian ke sendi bahu, dan selanjutnya ke sendi
akromioklavikular. Sendi sternoklavikular yang terfiksasi menyebabkan gaya ini
kemudian mematahkan klavikula.1
Gambaran klinis fraktur klavikula berupa adanya riwayat trauma dan
pembengkakan serta nyeri di daerah klavikula. Pada orang dewasa dan anak
biasanya pengobatannya konservatif tanpa reposisi, yaitu dengan pemasangan
mitela. Reposisi tidak diperlukan, apalagi pada anak karena salah sambung
klavikula jarang menyebabkan gangguan pada bahu, baik fungsi maupun
kekuatan. Indikasi operasi adalah apabila terdapat fraktur terbuka, adanya tekanan
pada pembuluh darah, nonunion, fraktur 1/3 lateral serta penderita aktif yang akan
segera kembali bekerja. Operasi dapat dilakukan dengan pemasangan pin
Kirschner atau plate and screw.1,12

12
BAB III
LAPORAN KASUS BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU

Nama : Tn. JE
Usia : 29 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
MRS : 22 Maret 2013
Alamat : Binuang/Bangkinang Seberang

ANAMNESIS

Keluhan utama : Nyeri pada wajah sebelah kiri dan bahu kanan setelah
kecelakaan lalu lintas.

PRIMARY SURVEY
1. Airway
a. Objective:
 Pasien dapat menjawab pertanyaan dan berbicara lancar saat ditanya.
 Tidak ada suara nafas tambahan (gurgling, snoring, hoarsness).
 Terdapat jejas di atas klavikula.
b. Assessment:
 Kesan tidak ada sumbatan jalan nafas (benda padat, cairan)
 Airway paten
 Dicurigai adanya fraktur servikal

13
c. Action:
 Seharusnya dilakukan pemasangan collar neck pada pasien untuk
imobilisasi.
 Seharusnya dilakukan pemberian oksigen 10-12 L/menit dengan
menggunakan non-rebreathing mask (NRM).

2. Breathing
a. Objective
 Inspeksi : pasien bernafas spontan, gerakan dinding dada simetris,
tidak ada bagian dinding dada yang tertinggal saat
bernafas, tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan,
frekuensi nafas 22 kali/menit.
 Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), suara jantung normal
 Perkusi : sonor/sonor
b. Assessment
 Ventilasi dan ekspansi paru baik
c. Action
 Seharusnya pasien tetap diberikan oksigen.

3. Circulation
a. Objective
 Pasien sadar
 Akral hangat, capillary refill time (CRT) <2 detik
 Nadi teraba, teratur dan isian cukup, frekuensi nadi 80 kali/menit
 Tekanan darah 110/70 mmHg
b. Assessment
 Sirkulasi baik
c. Action
 Pasang IVFD Ringer Laktat 30 tpm
 Cek labor darah rutin dan crossmatch

14
 Seharusnya dilakukan pemasangan kateter urin.

4. Disability
a. Objective
 Glasglow coma scale (GCS):
o Eyes: dapat membuka mata secara spontan (E4)
o Verbal: komunikasi verbal baik, jawaban tepat (V5)
o Motorik: dapat mengikuti perintah (M6)
GCS 15 (E4V5M6)
 Pupil isokor ø 0,3 cm/0,3 cm, reflek cahaya (+/+)
 Tanda-tanda lateralisasi (-)
 Kelemahan otot motorik (-)
b. Assessment
 Hasil pemeriksaan mini neurologis baik

5. Exposure
 Baju pasien dibuka seluruhnya dan pasien diselimuti.

SECONDARY SURVEY
Riwayat Penyakit Sekarang:
 6 jam SMRS pasien mengalami kecelakaan lalu lintas (sepeda motor ><
sepeda motor) dengan posisi sebagai pengemudi dan menggunakan helm.
Saat itu pasien melaju dengan kecepatan ± 70 km/jam dan ditabrak dari
depan sehingga wajah membentur stang motor. Pasien mengeluhkan nyeri
pada wajah sebelah kiri dan bahu kanan setelah kecelakaan. Setelah
kecelakaan tersebut, pasien pingsan, pasien mengaku tidak ingat peristiwa
tabrakan, tidak ada muntah, terdapat darah pada ludah, tidak ada keluar
cairan dari lubang hidung dan lubang telinga, dan terdapat luka robek pada
kelopak mata kiri bagian atas.

15
AMPLE
 Alergi : Tidak terdapat riwayat alergi pada pasien
 Medication : Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan ataupun
alkohol
 Past illness : Tidak ada
 Last meal : 1 jam sebelum kecelakaan
 Event : sepeda motor mengalami kerusakan hebat pada bagian
depan

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Tidak ada penyakit yang berhubungan dengan keluhan sekarang.

Riwayat Penyakit Keluarga:


 Tidak ada penyakit yang berhubungan dengan keluhan sekarang.

Head to toe examination


Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Keadaan gizi : baik
Tanda vital
a. TD : 110/70 mmHg
b. HR : 80 kali/menit
c. RR : 20 kali/menit
d. T : 36,4oC

Kepala dan Leher


Rambut : hitam, tidak mudah dicabut

16
Wajah
Regio periorbita
Inspeksi : terdapat edema pada periorbita sinistra, terdapat laserasi pada
palpebra superior sinistra, tidak terdapat hematom periorbita,
tidak terdapat diplopia, terdapat perdarahan subkonjungtiva pada
okular sinistra, dan tidak terdapat konjungtiva anemis.
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada rima superior, lateral, dan inferior
orbita sinistra, ditemukan krepitasi pada rima lateral dan inferior
orbita sinistra, ditemukan diskontinuitas pada rima lateral dan
inferior orbita sinistra.

Regio nasal
Inspeksi : tidak terdapat edema, tidak terdapat hematom, tidak terdapat
malformasi, tidak terdapat laserasi, tidak terdapat rhinorrea.
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada nasal, tidak terdapat krepitasi dan
diskontinuitas.

Regio zigoma
Inspeksi : terdapat edema pada regio kompleks zigoma sinistra, tidak
terdapat laserasi, tidak terdapat hematom.
Palpasi : terdapat nyeri tekan, diskontinuitas dan krepitasi tidak dapat
dinilai karena terdapat nyeri tekan dan edema, simetrisitas malar
eminens kanan dan kiri tidak dapat dinilai karena pada pipi kiri
terdapat edema.

Regio maksila
Inspeksi : terdapat edema pada regio maksilaris sinistra, tidak terdapat
laserasi, tidak terdapat hematom, tidak ada gigi yang hilang,
tidak terdapat laserasi mukosa intraoral, tidak terdapat stepping,
dan terdapat maloklusi objektif dan subjektif.

17
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada regio maksilaris sinistra,
diskontinuitas dan krepitasi tidak dapat dinilai karena edema dan
nyeri tekan, terdapat floating maxilla, terdapat trismus yang
dapat dilalui satu jari.

Regio mandibula
Inspeksi : tidak terdapat edema, tidak terdapat hematom, tidak terdapat
malformasi, dan tidak terdapat laserasi.
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan, krepitasi, dan diskontinuitas pada
margo inferior mandibula dextra et sinistra. Tidak terdapat nyeri
ataupun deformitas pada temporomandibula joint (TMJ) saat
pasien membuka dan menutup mulut.

Leher : kelenjar getah bening tidak membesar, tidak ditemukan adanya


pembesaran glandula tiroid maupun glandula parotis dan
submandibula.

Thorax
Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris kiri dan kanan, pergerakan dinding dada
saat bernafas simetris
Palpasi : fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMCS 2 jari medial
Perkusi : batas jantung kanan di linea sternalis dextra SIC V, batas
jantung kiri di linea midclavicula sinistra SIC V

18
Auskultasi : bunyi jantung normal, murmur (-), gallop (-)

Bahu
Look : bengkak pada bahu kanan, terdapat deformitas dan angulasi ke
arah kranial pada sepertiga tengah klavikula dekstra, dan tidak
tampak sianosis pada bagian distal tangan kanan.
Feel : terdapat nyeri tekan, suhu rabaan hangat, terdapat diskontinuitas
dan krepitasi pada klavikula dekstra.
Move : terdapat keterbatasan gerak aktif dan pasif.

Abdomen
Inspeksi : perut tampak datar simetris kanan dan kiri, tidak ditemukan
parut.
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), tidak ada teraba massa.
Perkusi : timpani, namun pekak pada hepar

Ekstremitas
Tidak ditemukan edema, akral hangat, capillary refill time (CRT) <2 detik

DIAGNOSIS KERJA
CKR (GCS 15) + fraktur tertutup zigoma sinistra + fraktur tertutup maksila
sinistra + fraktur tertutup 1/3 tengah klavikula dextra.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin
 Hb : 14,6 gr/dl
 HT : 41,0 %

19
 Trombosit : 198000/µl
 Leukosit : 19.500 /µl

Pemeriksaan Radiologi

a. Thoraks

Gambar 5. Rontgen thoraks

b. CT-scan 3D

20
Gambar 6. CT-scan 3D

21
c. Bone scan

Gambar 7. Bone scan

d. Head CT-scan

Gambar 8. Head CT-scan

22
RENCANA PENATALAKSANAAN
Non farmakologis
 Immobilisasi dan istirahatkan daerah fraktur
 Rencana reposisi terbuka fraktur zigoma dan maksila
 Mitela untuk imobilisasi os klavikula

Farmakologis
 Tramadol IV 3 x 1
 Ceftriaxone IV 2 x 1 gr
 Ranitidin IV 2 x 50 mg

23
BAB IV
PEMBAHASAN

Penilaian awal airway pada pasien didapatkan pasien dapat menyebutkan


nama dan menjawab pertanyaan ketika ditanya dengan suara yang jelas. Pada
penilaian awal patensi jalan nafas juga tidak ditemukan adanya suara nafas
tambahan seperi snorring, gurgling, maupun hoarsness. Hasil penilaian awal
didapatkan kesan bahwa tidak terdapat sumbatan pada jalan nafas pasien. Namun,
karena pasien mengalami trauma, sesuai dengan prinsip pengelolaan jalan nafas
berdasarkan advanced trauma life support (ATLS), pasien tetap diberikan oksigen
10 -12 L permenit dengan menggunakan NRM untuk mencegah cedera otak
sekunder. Pemasangan collar neck seharusnya juga dilakukan pada pasien karena
terdapat jejas di atas klavikula. Setiap pasien dengan jejas di atas klavikula harus
dicurigai terjadinya fraktur servikal sampai kecurigaan tersebut dapat
disingkirkan. Penilaian ulang terhadap patensi jalan nafas harus tetap dilakukan
walaupun kesan awal jalan nafas pasien tidak terjadi sumbatan.
Penilaian awal breathing dan ventilasi pada pasien didapatkan frekuensi nafas
22 kali/menit, pasien tidak merasakan sesak dan bernafas spontan dengan adekuat.
Inspeksi dinding dada memperlihatkan pergerakan dinding dada simetris kanan
dan kiri ketika bernafas, tidak ditemukan adanya bagian dinding dada yang
tertinggal ketika bernafas dan tidak terdapat penggunaan otot – otot bantu
pernafasan. Auskultasi di kedua lapangan paru menunjukkan suara nafas
vesikuler. Perkusi sonor pada seluruh lapangan paru. Hasil penilaian breathing
dan ventilasi pada pasien memberikan kesan bahwa breathing dan ventilasi pasien
adekuat.
Penilaian status hemodinamik pasien secara cepat dapat dinilai dengan
menentukan tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi pasien. Pasien datang dalam
keadaan sadar dan berorientasi baik terhadap lingkungan sekitar. Frekuensi denyut
nadi pasien yang diraba melalui arteri radialis adalah 80 kali/menit, irama reguler
dan pengisian kuat. Waktu pengisian kapiler kurang dari 2 detik, akral hangat, dan

24
tekanan darah 110/70 mmHg. Penilaian status hemodinamik pada pasien
memberikan kesan bahwa tidak terdapat gangguan pada status hemodinamik
pasien. Pemasangan jalur intravena dengan pemberian Ringer Laktat 30 tetes
permenit tetap dilakukan untuk pemberian maintenance cairan dan sebagai akses
untuk memasukkan obat secara intravena. Kesan normovolemik harus selalu
dipantau pada evaluasi ulang.
Hasil pemeriksaan mini neurologis pada pasien didapatkan Glasgow Coma
Scale (GCS) 15, pupil isokor dengan diameter 3 mm kanan dan kiri, refleks
cahaya positif di kedua mata dan tidak ditemukan tanda-tanda lateralisasi, serta
kelemahan motorik. Hasil pemeriksaan mini neurologis menunjukkan tidak
terdapat gangguan pada status neurologis pasien. Pasien selanjutnya dibuka
seluruh pakaiannua dan diselimuti untuk mencegah hipotermi. Secara umum,
tidak terdapat gangguan pada primary survey, namun evaluasi ulang tetap harus
dilakukan.
Setelah dipastikan keadaan pasien stabil, anamnesis dilakukan untuk
menentukan penyakit pasien. Keluhan utama pasien sehingga datang berobat
adalah nyeri pada wajah sebelah kiri dan bahu kanan setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas. Ketika kecelakaan, pasien menggunakan helm, namun
wajah pasien tetap membentur stang motor. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan
bahwa telah terjadi fraktur pada maksila sinistra dan zigoma sinistra pasien. Hasil
pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis fraktur zigoma sinistra adalah
ditemukannya edema dan nyeri tekan pada regio kompleks zigoma sinistra, serta
perdarahan subkonjungtiva pada okular sinistra. Hasil pemeriksaan fisik yang
mendukung diagnosis fraktur maksila sinistra adalah ditemukannya edema, nyeri
tekan, maloklusi subjektif dan objektif, serta floating maxilla. Kecurigaan fraktur
zigoma sinistra dan maksila sinistra kemudian dibuktikan dari hasil CT-scan 3D.
Nyeri pada bahu kanan di sebabkan oleh adanya fraktur pada klavikula
dekstra. Hasil pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis fraktur klavikula
adalah ditemukannya bengkak pada bahu kanan, deformitas dan angulasi ke arah
kranial pada sepertiga tengah klavikula dekstra, nyeri tekan, suhu rabaan hangat,

25
terdapat diskontinuitas dan krepitasi pada klavikula dekstra serta keterbatasan
gerak aktif dan pasif bahu kanan. Hasil pemeriksaan fisik kemudian ditunjang
dengan pemeriksaan rontgen thorak yang menunjukkan gambaran fraktur 1/3
tengah klavikula dekstra.
Rencana penatalaksanaan fraktur pada pasien adalah dengan melakukan
reposisi terbuka karena memenuhi indikasi operasi yaitu adanya hiperestesi N.
infraorbitalis akibat fraktur zigoma dan adanya maloklusi serta floating maxilla
akibat fraktur maksila.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Jong de W, Sjamsuhidrajat R, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC


; 2000.

2. Reksoprawiro. Epidemiologi fraktur maksilofasial. Surabaya : Divisi


Bedah Kepala Leher, Bagian/SMF Ilmu Bedah. FK UNAIR/RSU
Soetomo.

3. FK UI. Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta : Balai


Penerbit FK UI ; 2009.

4. Wijayahadi RY, Murtedjo U, Reksoprawiro U. Trauma Maksilofasial


Diagnosis dan Penatalaksanaannya. Surabaya : FK UNAIR ; 2006.

5. N. Fauzi Muchlis. Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu


lintas pada pengandara sepeda motor yang dirawat di RSUP H. Adam
Malik Medan. Medan ; FKG USU ; 2010.

6. Khan K. Fractures of the clavilce. Journal of Joint Surgery. 2004;25:115-


118.

7. Snell SR. Anatomi Klinik. Edisi 3. Jakarta : EGC ; 1997.

8. Netterimages.com [homepage on the internet]. Authors : Hansen JT,


Lambert DR. Available on : www.netterimages.com

9. Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Alih Bahasa : Caroline Wijaya.
Jakarta : EGC ; 1997.

10. Broek den can P. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan
Telinga. Edisi 12. Jakarta ; EGC ; 2009.

11. King M, Bewes P. Bedah Primer Trauma. Jakarta : EGC ; 2001.

12. Rasjad C. Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar : Bintang Lamupatue ; 2003.

27

Anda mungkin juga menyukai