Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah menciptakan
manusia dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis syukuri, keluarga yang
mencintai dan teman-teman yang penuh semangat, karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi kasus ini. Shalawat beriring salam
penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, atas semangat perjuangan
dan panutan bagi ummatnya.
Adapun tugas presentasi laporan kasus berjudul "Gangguan Skizofrenia Paranoid"
ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani kepaniteraan klinik senior pada
bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Aceh, Banda Aceh. Penulis
mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi tingginya kepada dr.
Sukristoro Wardoyo, Sp.KJ yang telah meluangkan waktunya untuk memberi
arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan penulis
terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal
di masa mendatang.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai suatu gangguan psikotik,
banyak tokoh psikiatri dan neurologi yang berperan. Pada awalnya, Benedict Morel
(1809-1926), seorang dokter psikiatrik dari Perancis, menggunakan istilah dẻmence
prẻcoce untuk pasien dengan penyakit yang dimulai pada masa remaja yang
mengalami perburukan. Kemudian, Emil Kreaplin (1856-1926) yang menerjemahkan
istilah dẻmence prẻcoce menjadi demensia prekoks yaitu suatu istilah yang
menekankan proses kognitif (demensia) dan awitan dini (prekoks) yang nyata. Istilah
skizofrenia itu sendiri mulai dicetuskan oleh Eugen Bleuler (1857-1939) sebagai
pengganti demensia prekoks. Bleuler mengidentifikasi symptom dasar dari skizofrenia
yang dikenal dengan 4A, antara lain : Asosiasi, Afek, Autisme dan Ambivalensi.1,2
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan psikotik yang paling sering terjadi.
Gangguan ini dapat terjadi baik pada wanita (usia awitan 25 - 35 tahun) maupun pria
(usia awitan 15 - 25 tahun). Skizofrenia sendiri adalah istilah psikosis yang
menggambarkan mispersepsi pikiran dan persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi
pasien sebagai kenyataan, dan mencakup waham dan halusinasi. Seorang pasien dapat
dikatakan pasien skizofrenia bila manifestasi klinis yang terjadi sudah selama 1 (satu)
bulan (berdasarkan PPDJI-III).
Gejala yang ditimbulkan pada pasien skizofrenia mencangkup beberapa fungsi,
seperti pada gangguan persepsi (halusinasi), keyakinan yang salah (waham),
penurunan dari proses berpikir dan berbicara (alogia), gangguan aktivitas motorik
(katatonik atau hyperactive behavior), gangguan dari pengungkapan emosi (afek
tumpul), tidak mampu merasakan kesenangan (anhedonia sehingga menyebabkan afek
datar). Akan tetapi, kesadaran dan kemampuan intelektual pada pasien masih dapat
dipertahankan, meskipun terjadi defisit kognitif.
Terdapat beberapa klasifikasi atau subtipe skizofrenia yang diklasifikasikan oleh
Emil Kraepelin (1856-1926), salah satunya adalah skizofrenia paranoid. Skizofrenia
1
paranoid merupakan subtipe pada skizofrenia yang paling umum, dimana waham dan
halusinasi auditorik jelas terlihat. Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu
yang lama untuk menghilangkan gejala. Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama,
sehat dalam waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam lima tahun,
dan 10% meninggal karena bunuh diri.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizen” yang berarti “terpisah” atau
“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Skizofrenia merupakan suatu
sindrom psikotik kronis yang ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi, afek
tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta dapat ditemukan uji kognitif yang buruk.1
Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan mispersepsi pikiran dan
persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien sebagai kenyataan, dan mencakup
waham dan halusinasi.2 Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis,
menurut gejala utama yang terdapat pada pasien, salah satunya adalah skizofrenia
paranoid.9 Skizofrenia paranoid merupakan subtipe yang paling umum (sering
ditemui) dan paling stabil, dimana waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat.1,2,7
Pada pasien skizofrenia paranoid, pasien mungkin tidak tampak sakit jiwa sampai
muncul gejala-gejala paranoid.6
2.2 SEJARAH
Besarnya masalah klinis skizofrenia, secara terus-menerus telah menarik
perhatian tokoh-tokoh utama psikiatri dan neurologi sepanjang sejarah gangguan ini.
Tokoh-tokoh tersebut, yaitu:3,4
1. Benedict Morel (1809-1926), seorang dokter psikiatrik dari Perancis,
menggunakan istilah dẻmence prẻcoce untuk pasien dengan penyakit yang dimulai
pada masa remaja yang mengalami perburukan.
2. Karl Ludwig Kahlbaum (1828-1899) menggambarkan gejala katatonia 3. Ewold
Hacker (1843-1909) menulis mengenai perilaku aneh atau kacau (bizzzare) pada
pasien dengan hebefrenia.
4. Emil Kraepelin (1856-1926)
3
Emil Kraepelin merupakan seorang ahli kedokteran jiwa di kota Munich
(Jerman) dan ia mengumpulkan gejala-gejala serta sindrom, menggolongkannya ke
dalam satu kesatuan dan menerjemahkan istilah dẻmence prẻcoce dari Morel menjadi
demensia prekoks, suatu istilah yang menekankan proses kognitif atau kemunduran
inteligensi (demensia) dan awitan dini atau sebelum waktunya (prekoks) yang nyata
dari gangguan ini.3,4,9 Pasien dengan demesia prekoks digambarkan memiliki
perjalanan penyakit yang memburuk dalam jangka waktu lama dan gejala klinis umum
berupa halusinasi dan waham. Dimana, demensia prekoks terkait dengan konsep saat
ini tentang skizofrenia.2 Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis.
Penderita digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat
padanya.9
5. Eugen Bleuler (1857-1939)
Pada tahun 1911, Eugen Bleuler seorang psikiatri dari swiss mengajukan istilah
“skizofrenia” dan istilah tersebut menggantikan “demensia prekoks” di dalam literatur,
karena nama ini dengan tepat sekali menonjolkan gejala utama penyakit ini, yaitu jiwa
yang terpecah-belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berpikir,
perasaan, dan perbuatan (schizos = pecah belah atau bercabang, phren = jiwa).9
Bleuler menggambarkan gejala fundamental (atau primer) spesifik untuk
skizofrenia, termasuk suatu gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran asosiasi.
Gejala fundamental lainnya adalah gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi. Jadi
terdapat empat A dari Bleuler yang terdiri dari asosiasi, afek, autisme dan ambivalensi.
Bleuler juga menggambarkan gejala pelengkap (sekunder), yang termasuk halusinasi
dan waham, gejala yang telah menjadi bagian penting dari pengertian Kraepelin
tentang gangguan.
2.3 EPIDEMIOLOGI
Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan angka
insidens serta prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia. Menurut DSMIV-
TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan
beberapa variasi geografik.3 Skizofrenia yang menyerang kurang lebih 1 persen
4
populasi, biasanya bermula di bawah usia 25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan
mengenai orang dari semua kelas sosial.3,7
Skizofrenia terjadi pada 15 - 20/100.000 individu per tahun, dengan risiko
morbiditas selama hidup 0,85% (pria/wanita) dan kejadian puncak pada akhir masa
remaja atau awal dewasa.2 Awitan skizofrenia di bawah usia 10 tahun atau di atas usia
60 tahun sangat jarang. Laki-laki memiliki onset skizofrenia yang lebih awal daripada
wanita. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun, dan untuk wanita
usia puncak onsetnya adalah 25 sampai 35 tahun.4,7
Sejumlah studi mengindikasikan bahwa pria lebih cenderung mengalami
hendaya akibat gejala negatif daripada wanita dan bahwa wanita lebih cenderung
memiliki kemampuan fungsi sosial yang lebih baik daripada pria sebelum awitan
penyakit. Secara umum, hasil akhir pasin skizofrenia wanita lebih baik dibandingkan
hasil akhir pasien skizofrenia pria.3
2.4 ETIOLOGI
Sampai saat ini, belum ditemukan etiologi pasti penyebab skizofrenia.1,7 Namun,
skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh satu etiologi, melainkan gabungan antara
berbagai faktor yang dapat mendorong munculnya gejala mulai dari faktor
neurobiologis maupun faktor psikososial, diantaranya sebagai berikut:
1. Faktor Neurobiologis
a. Faktor Genetika
Sesuai dengan penelitian hubungan darah (konsanguinitas), skizofrenia
adalah gangguan bersifat keluarga.7 Penelitian tentang adanya pengaruh
genetika atau keturunan terhadap terjadinya skizofrenia tersebut telah
membuktikan bahwa terjadinya peningkatan risiko terjadinya skizofrenia bila
terdapat anggota keluarga lainnya yang menderita skizofrenia, terutama bila
hubungan keluarga tersebut dekat (semakin dekat hubungan
kekerabatan, semakin tinggi risikonya).7
Diperkirakan bahwa sejumlah gen yang mempengaruhi perkembangan otak
memperbesar kerentanan menderita skizofrenia.2 Pada penelitian anak kembar,
5
terjadi peningkatan resiko seseorang menderita skizofrenia akan lebih tinggi
pada kembar identik atau monozigotik (mempunyai risiko 4-6 kali lebih sering
dibandingkan kembar dizigotik).7
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan
skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen resesif.9 Potensi ini mungkin
kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan
individu itu apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak. Angka
presentasi terjadinya skizofrenia dapat dilihat dari tabel dibawah ini.
6
(motorik), termasuk gaya berjalan, ekspresi wajah facial grimacing. Pada pasien
skizofrenia dapat ditemukan gangguan organik berupa pelebaran ventrikel tiga
dan lateral, atrofi bilateral lobus temporomedial dan girus parahipokampus,
hipokampus, dan amigdala.1,7
c. Faktor Neurokimia
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmitter juga diidentifikasi
sebagai etiologi pada pasien skizofrenia. Hipotesis yang paling banyak yaitu
gejala psikotik pada pasien skizofrenia timbul diperkirakan karena adanya
gangguan neurotransmitter sentral, yaitu terjadinya peningkatan aktivitas
dopaminergik atau dopamin sentral (hipotesis dopamin).1,4 Peningkatan ini
merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyak
reseptor dopamin, atau hipersensitivitas reseptor dopamin.
2. Faktor Psikososial
a. Faktor Keluarga dan Lingkungan
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam
menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi.7 Pasien skizofrenia
sering tidak “dibebaskan” oleh keluarganya. Beberapa peneliti
mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologi dan aneh pada keluarga-
keluarga skizofrenia. Komunikasi sering samar-samar atau tidak jelas dan
sedikit tak logis.7 Penderita skizofrenia pada keluarga dengan ekspresi emosi
tinggi (expressed emotion [EE], keluarga yang berkomentar kasar dan
mengkritik secara berlebihan) memiliki peluang yang lebih besar untuk
kambuh.2,7
b. Faktor Stressor
Skizofrenia juga berhubungan dengan penurunan sosio-ekonomi dan
kejadian hidup yang berlebihan pada tiga minggu sebelum onset gejala akut.2
7
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Pada DSM-IV (Diagnostic and statistical manual) menyebutkan bahwa tipe
paranoid ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau
halusinasi dengar yang sering, dan tidak ada perilaku spesifik lain yang mengarahkan
pada tipe terdisorganisasi atau katatonik.4 Skizofrenia paranoid secara klasik ditandai
oleh adanya waham persekutorik (waham kejar) atau waham kebesaran.
Pada pasien skizofrenia tipe paranoid, menunjukkan regresi kemampuan mental,
respons emosional, dan perilaku yang lebih ringan dibandingkan pasien skizofrenia
tipe lain.(4) Pasien skizofrenia paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri
mereka sendiri secara adekuat di dalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak
terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.4
Pada ICD-10, gambaran klinis pada pasien skizofrenia paranoid (F20.0)
didominasi oleh adanya gejala-gejala paranoid, seperti:6
a. Waham kejar (presecution), seperti memercayai bahwa orang lain bersekutu
melawan dia
b. Waham rujukan (reference), seperti bahwa orang asing atau televisi, radio
atau koran terutama mengarah kepada pasien; bila tidak mencapai intensitas
waham, isi pikiran tersebut dikenal sebagai ideas of reference
c. Waham merasa dirinya tinggi/istimewa (exalted birth), atau mempunyai misi
khusus; misalnya, keyakinan bahwa dirinya dilahirkan sebagai
Mesias
d. Waham perubahan tubuh
e. Waham cemburu
f. Suara-suara halusinasi yang bersifat mengancam atau memerintahkan pasien
g. Halusinasi pendengaran non-verbal, seperti tertawa, bersiul, dan bergumam
h. Halusinasi bentuk lainnya, seperti penghiduan, pengecapan, penglihatan,
sensasi somatik seksual atau sensasi somatik lainnya
8
2.6 PATOFISIOLOGI
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmiter juga diidentifikasi sebagai
penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi antara lain pada dopamin yang
mengalami peningkatan dalam aktivitasnya. Selain itu, terjadi juga penurunan pada
serotonin, norepinefrin, dan asam amio gamma-aminobutyric acid (GABA) yang pada
akhirnya juga mengakibatkan peningkatkan dopaminergik. Neuroanatomi dari jalur
neuronal dopamin pada otak dapat menjelaskan gejalagejala skizofrenia.
9
antipsikotik mempunyai efek samping pada fungsi ini dimana terdapat gangguan
endokrin.
e. Jalur Thalamus : Jalur kelima berasal dari berbagai tempat, termasuk
periaqueductal gray, ventral mesencephalon, hypothalamus nukleus, nukleus
parabrachial lateral, yang berproyeksi ke thalamus. Namun, fungsinya masih
belum diketahui.12
10
a. Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi
pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing);
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau
lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol;
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau
“passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas
b. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol
2.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah didiagnosis,
sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan
penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (kemunduran mental).2,9
Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan pengobatan dan
11
bimbingan yang baik, penderita dapat ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja
sederhana di rumah atau pun di luar rumah.9 Penatalaksanaan yang dapat diberikan
pada pasien skizofrenia paranoid dapat berupa penatalaksanaan non-farmakologis dan
farmakologis.
1. NON-FARMAKOLOGIS
a. Rawat Inap / Hospitalisasi
Pasien yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut harus dirawat di rumah
sakit.6 Perawatan di rumah sakit menurunkan stress pada pasien dan membantu
mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit
tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan
rawat jalan.4 Rawat inap diindikasikan terutama untuk : 1,3
1. Tujuan diagnostik
2. Stabilisasi pengobatan
3. Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau pembunuhan, maupun
mengancam lingkungan sekitar
4. Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada tempatnya, termasuk,
ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang dan papan
5. Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari keluarga maupun lingkungan
6. Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa
12
Terapi yang dapat membantu penderita skizofrenia adalah psikoterapi suportif
individual atau kelompok, serta bimbingan yang praktis dengan maksud
mengembalikan penderita ke masyarakat.9 Terapi perilaku kognitif (cognitive
behavioural therapy, CBT) seringkali bermanfaat dalam membantu pasien
mengatasi waham dan halusinasi yang menetap. Tujuannya adalah untuk
mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan, dan tidak secara langsung
menghilangkan gejala. Terapi keluarga dapat membantu mereka megurangi
ekspresi emosi yang
berlebihan dan terbukti efektif mencegah kekambuhan.2
Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi
dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter.9 Hal ini dimaksudkan agar
pasien tidak mengasingkan diri dan terapi ini sangat penting dalam menjaga
kepercayaan diri dan kualitas hidupnya.2 Penting sekali untuk menjaga
komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga.1
2. PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS
a. Pemberian obat-obat anti-psikosis
Pemberian obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia (sindrom psikosis
fungsional) merupakan penatalaksanaan yang utama. Pengobatan anti-psikosis
diperkenalkan awal tahun 1950an.3 Pemilihan jenis obat anti-psikosis
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan (fase akut atau kronis) dan efek
samping obat.8,9 Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami
atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi.
Obat anti-psikosis tidak bersifat menyembuhkan, namun bersifat pengobatan
simtomatik.13 Obat anti-psikosis efektif mengobati “gejala positif” pada episode
akut (misalnya halusinasi, waham, fenomena passivity) dan mencegah
kekambuhan.2,9 Obat-obat ini hanya mengatasi gejala gangguan dan tidak
menyembuhkan skizofrenia.3 Pengobatan dapat diberikan secara oral,
intramuscular, atau dengan injeksi depot jangka panjang.2
13
Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode skizofrenia,
pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek samping,
karena pengalaman yang buruk dengan pengobatan akan mengurangi
ketaatanberobatan (compliance) atau kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan
untuk menggunakan antipsikosis atipikal atau antipsikosis tipikal, tetapi dengan
dosis yang rendah.9
Mekanisme kerja obat anti-psikosis berkaitan dengan aktivitas neurotransmitter
dopamine yang meningkat (Hiperaktivitas sistem dopaminergik sentral).8 Pada
umumnya, pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun, setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Efek obat anti-
psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir
masih mempunyai efek klinis.8 Obat anti-psikosis dibagi dalam dua kelompok,
berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:3,4,7
14
Sebagian besar antagonis reseptor dopamin dapat diberikan dalam satu dosis
oral harian ketika orang tersebut berada dalam kondisi yang stabil dan telah
menyesuaikan dengan efek samping apa pun.10 Prototip kelompok obat APG-I
adalah klorpromazin (CPZ), hal ini dikarenakan obat ini sampai sekarang masih
tetap digunakan sebagai antipsikosis, karena ketersediannya dan harganya murah.13
Obat CPZ merupakan golongan derivate phenothiazine yang mempengaruhi
ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek esktrapiramidal /
EPS).13 Semua obat APG-I dapat menimbulkan efek samping EPS
(ekstrapiramidal), seperti distonia akut, akathisia, sindrom Parkinson (tremor,
bradikinesia, rigiditas).8 EFek samping ini dibagi menjadi efek akut, yaitu efek yang
terjadi pada harihari atau minggu-minggu awal pertama pemberian obat, sedangkan
efek kronik yaitu efek yang terjadi setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun
menggunakan obat.7 Oleh karena itu, setiap pemberian obat APG-I, maka harus
disertakan obat trihexyphenidyl 2 mg selama 2 minggu sebagai obat antidotum.
2. Serotonin-dopamine Antagonist (SDA) atau anti-psikosis generasi II (APG-II)
Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama
antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal symptom).13 Obat
APG-II disebut juga obat anti-psikosis baru atau atipikal. Standar emas terbaru
untuk pemberian obat anti-psikosis bagi pasien skizofrenia adalah APG-II. Obat
APG-II memiliki efek samping neurologis yang lebih sedikit dibandingkan dengan
antagonis reseptor dopamin dan efektif terhadap kisaran gejala psikotik yang lebih
luas.10
Mekanisme kerja obat anti-psikosis atipikal adalah berafinitas terhadap
“Dopamine D2 Receptors” (sama seperti APG-I) dan juga berafinitas terhadap
“Serotonin 5 HT2 Receptors” (Serotonin-dopamine antagonist), sehingga efektif
terhadap gejala positif (waham, halusinasi, inkoherensi) maupun gejala negatif
(afek tumpul, proses pikir lambat, apatis, menarik diri).1,8
15
Apabila pada pasien skizofrenia, gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, isi
pikir miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau),
maka obat anti-psikosis atipikal perlu dipertimbangkan.8
2.10 PROGNOSIS
Dahulu, bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti bahwa sudah
tidak ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu
akan menuju ke kemunduran mental (deteriorasi mental).9 Sekarang dengan
pengobatan modern, ternyata bila penderita itu datang berobat dalam tahun pertama
setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh sama
sekali (full remission atau recovery). Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke
masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit yang mereka masih harus sering
diperiksa dan diobati selanjutnya (social recovery).9
Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama untuk
menghilangkan gejala.1,7 Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama, sehat dalam
waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam lima tahun, dan 10%
meninggal karena bunuh diri.2 Kira-kira 50 persen dari semua pasien dengan
skizofrenia mencoba bunuh diri sekurang satu kali selama hidupnya, dan 10 sampai 15
persen pasien skizofrenik meninggal karena bunuh diri selama periode follow-up 20
tahun.4 Pasien skizofrenik laki-laki dan wanita sama-sama mungkin untuk melakukan
bunuh diri.
Tabel 2. Menunjukkan Prognosis Baik dan Buruk dalam Skizofrenia.
Prognosis Baik Prognosis Buruk
16
Gejala gangguan mood (terutama Perilaku menarik diri, autistik
gangguan depresif)
Menikah dan telah berkeluarga Tidak menikah, bercerai, atau
janda/duda
Riwayat keluarga gangguan mood Riwayat keluarga skizofrenia
(tidak ada keluarga yang menderita
skizofrenia)
Sistem pendukung yang baik Sistem pendukung yang buruk untuk
(terutama dari keluarga) untuk kesembuhan pasien
kesembuhan pasien
Gejala positif Gejala negative
Riwayat penyerangan
Sumber : 3Skizofrenia. Kaplan & Sadock - Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Hal
156.
17
BAB III LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Lina
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 03 Maret 1961
Umur : 58 tahun
Alamat : Desa Sukadamai, Lueng Bata, Banda Aceh
Status Pernikahan : Belum menikah
Pekerjaan : Tidak ada
Pendidikan Terakhir : SD
Agama : Islam
Suku : Aceh
TMRS : 06 April 2019
Tanggal Pemeriksaan : 09 Mei 2019
II RIWAYAT PSIKIATRI
Data diperoleh dari:
1. Rekam medis : 09-04-001480
2. Autoanamnesis : 09 Mei 2019
3. Alloanamnesis : 09 Mei 2019
A. Keluhan Utama
Mengamuk
18
karena anak tetangganya sering mengejeknya sakit jiwa. Pasien mengaku sering jalan-
jalan sekitar rumah katanya untuk menghirup udara segar. Pasien juga mengatakan
tidak minum obat karena pasien merasa tidak sakit. Pasien mengatakan tidak pernah
membuat keributan, mengganggu orang lain ataupun menghancurkan barang.
Alloanamnesis:
Pasien dibawa oleh keluarga ke RSJ, dengan keluhan mengamuk. Pasien
dikeluhkan suka menghancurkan barang miliknya ataupun barang orang lain. Pasien
suka keluyuran dan menyebabkan keresahan masyarakat sekitarnya sehingga keluarga
mengaku sulit mencari ketika sudah tidak ada dirumah. Pasien suka keluyuran dan
pulang pada malam hari untuk makan dan tidur. Tidur pasien hanya sebentar, terkadang
pasien pukul 3 pagi sudah bangun dan keluyuran lagi. Keluarga mengaku pasien tidak
mau minum obat karena pasien mengaku tidak sakit. Menurut keluarga pasien sering
curiga dengan lingkungan sekitar yang suka membicarakannya.
E. Riwayat Pengobatan
Tidak Diketahui
F. Riwayat Sosial
Pasien tinggal bersama keluarga di rumah. Pasien belum menikah dan
berhubungan baik dengan seluruh anggota keluarga dan berhubungan baik dengan
warga sekitar.
19
G. Riwayat Pendidikan
Pendidikan pasien terakhir Sekolah Dasar.
B. Status Generalisata
1. Kepala : Normocephali (+)
2. Leher : Distensi vena jugular (-), pembesaran KGB (-)
3. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
4. Jantung : BJ I >BJII , bising (-), iktus cordis di ICSV Linea
midclavicular sinistra
5. Abdomen : Asites (-), hepatomegali (-), nyeri tekan (-)
6. Ekstremitas
Superior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
Inferior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
7. Genetalia : Tidak diperiksa
C. Status Neurologi
1. GCS : E4V5M6
20
2. Tanda rangsangan meningeal : (-)
3. Peningatan TIK : (-)
4. Mata : Pupil isokor (+/+), Ø3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
5. Motorik : Dalam batas normal
6. Sensibilitas : Dalam batas normal
7. Fungsi luhur : Dalam batas normal
8. Gangguan khusus : Tidak ditemukan
C. Pembicaraan
Spontan
D. Pikiran
1. Arus pikir
Koheren : (-)
Inkoheren : (-)
Neologisme : (-)
Sirkumstansial : (-)
21
Tangensial : (-)
Asosiasi longgar : (+)
Flight of idea : (+)
Blocking : (-)
2. Isi pikir
Waham
1. Waham Bizzare :(-)
2. Waham Somatik :(-)
3. Waham Erotomania :(-)
4. Waham Paranoid
Waham Persekutor : (-)
Waham Kebesaran : (-)
Waham Referensi : (+)
Waham Dikendalikan : (-)
Thought
1. Thought Echo : (-)
2. Thought Withdrawal : (-)
3. Thought Insertion : (-)
4. Thought Broadcasting : (-)
Delusion
1. Delusion of Control : (-)
2. Delusion of Influence : (-)
3. Delusion of Passivity : (-)
4. Delusional Perception : (-)
E. Persepsi
1. Halusinasi
Auditorik : (-)
22
Visual : (-)
Olfaktorius : (-)
Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)
F. Intelektual
1. Intelektual : Terganggu
2. Daya konsentrasi : Menurun
3. Orientasi
Diri : Baik
Tempat : Baik
Waktu : Baik
4 Daya ingat
Seketika : Baik
Jangka Pendek : Terganggu
Jangka Panjang : Terganggu
5 Pikiran Abstrak : Terganggu
H. Daya nilai
Normo sosial : Baik
Uji Daya Nilai : Baik
23
V. RESUME
Telah diperiksa seorang pasien perempuan, 58 tahun, penampilan rapi, tampak
sesuai usia. Pasien diantar oleh keluarga karena beberapa hari SMRS pasien dilaporkan
mengamuk suka menghancurkan barang. Pasien juga suka keluyuran dan meresahkan
masyarakat sekitar. Pasien tidak mau minum obat karena pasien mengaku tidak sakit.
Pasien sering curiga dengan lingkungan sekitar yang suka membicarakannya. Pasien
pernah dirawat di RSJ sebelumnya tahun 2018.
IX. TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
Inj. Lodomer 5 mg ½ amp / 24 jam (3 hari)
Diazepam 2 mg (1x1)
Depakote ER 500 mg (1x1)
Firmania 200 mg (2x1)
Stelosis 5 mg (3x1)
24
Clozapine 100 mg (2x1)
Trihexyphenydil 2 mg (2x1)
B. Terapi Psikososial
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan menjelaskan
mengenai penggunaan obat yang tidak boleh putus.
2. Meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri,
latihan praktis, dan komunikasi interpersonal.
3. Menjelaskan kepada keluarga & orang disekitar pasien mengenai
kondisi pasien dan meyakinkan mereka untuk selalu memberi dukungan
kepada pasien agar proses penyembuhannya lebih baik.
X. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia
Quo ad Functionam : Dubia
Quo ad Sanactionam : Dubia
25
BAB IV
PEMBAHASAN
26
BAB V
KESIMPULAN
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizen” yang berarti “terpisah” atau
“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Skizofrenia merupakan suatu
sindrom psikotik kronis yang ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi, afek
tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta dapat ditemukan uji kognitif yang buruk.
Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis, menurut gejala
utam yang terdapat pada pasien, salah satunya adalah skizofrenia paranoid. Skizofrenia
paranoid merupakan subtipe yang paling umum (sering ditemui) dan paling stabil,
dimana waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat. Pada pasien skizofrenia paranoid,
pasien mungkin tidak tampak sakit jiwa sampai muncul gejala-gejala paranoid.
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia paranoid harus dilakukan sesegera
mungkin setelah didiagnosis, sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara
onset gejala dan penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk
(kemunduran mental). Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi
dengan pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat ditolong untuk dapat
berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar rumah. Terapi yang
diberikan dapat dengan non-formakologi (rawat inap dan terapi psikososial) melalui
keluarga dan lingkungannya dan farmakologi dengan pemberian obat anti-psikosis
tipikal (APG-I) atau anti-psikosis atipikal (APG-II) berdasarkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat).
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Chris Tanto, Frans Liwang, dkk. 2014. Psikiatri : Skizofrenia (F2). Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi 4. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius. 910-3.
2. Rina Astikawati. At A Glance Psikiatri - Cornelius Katona, Claudia Cooper, dan
Mary Robertson. 2012. Gangguan Jiwa : Skizofrenia - Fenomena, Etiologi,
Penangan dan Prognosis. Edisi 4. Jakarta : Erlangga. 18-21.
3. Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. 2014. Skizofrenia. Kaplan &
Sadock - Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 147-
68.
4. Made Wiguna S. 2010. Skizofrenia. Kaplan - Sadock, Sinopsis Psikiatri - Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 1. Tanggerang : Binarupa Aksara
Publisher. 699-744.
5. Rusdi Maslim. 2013. Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan
Waham : Skizofrenia (F20). Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya. 46-8.
6. Husny Muttaqin dan Frans Dany. 2013. Skizofrenia dan Gangguan Waham
(Paranoid). Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 147-50.
7. Sylvia D. Elvira dan Gitayanti Hadisukanto. 2013. Skizofrenia. Buku Ajar
Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. 173-98.
8. Rusdi Maslim. 2007. Obat Anti-psikosis. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
(Psychotropic Medication). Edisi 3. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-
Unika Atma Jaya (PT. Nuh Jaya). 14-22.
9. Willy F. 2009. Skizofrenia. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya :
Airlangga University Press. 259-81.
10. Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. 2014. Terapi Biologis - Antagonis
Reseptor Dopamin : Antipsikotik Tipikal. Kaplan & Sadock - Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 498-502.
11. Antipsychotic Agents. Stahl’s Essential Psychopharmacology. 4th Edition.
28
Diunduh dari : http://stahlonline.cambridge.org/essential_4th_chapter.jsf
12. Stahl, Stephen M. 2008. Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood
Stabilizers : Stahl’s Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. England :
Cambridge University Press. 26-34.
13. Sulistia Gan Gunawan, Rianto Setiabudy, dkk. 2007. Psikotropik . Farmakologi
dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 161-9.
29