Anda di halaman 1dari 113

1.

PENDAHULUAN

1.1. Deskripsi Singkat


Mata pelajaran ini membahas dan mengurai pelaksanaan anggaran yang
merupakan salah satu tahap dari siklus anggaran, yaitu setelah tahap penyusunan
dan penetapan anggaran sampai dengan tahap pertanggungjawaban anggaran.
Kegiatan pelaksanaan anggaran yang berjaitan dengan kegiatan pengelolaan
keuangan negara yang dilakukan oleh para pejabat instansi kementrian
Negara/lembaga selaku pengguna anggaran/kuasa anggaran maupun di intansi
kementrian keuangan selaku bendahara umum negara/kuasa bendahara umum
Negara, menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

1.2. Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah mengikuti mata pelajaran ini diharapkan peserta Diklat akan mampu dan
atau dapat memahami implementasi ketentuan-ketentuan di bidang keuangan
Negara yang berkaitan dengan pelaksanaan anggaran yang menjadi sebagian
tugas pokok unit organisasi kementrian Negara/lembaga berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

1.3. Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mempelajari modul ini, peserta diklat diharapkan akan dapat :
a. Menjelaskan pengertian pelaksanaan anggaran, ruang lingkup, dasar hukum
dan tahapan pelaksanaan anggaran sebagai bagian dari Siklus APBN;
b. Menjelaskan struktur dan format APBN, klasifikasi dalam penganggaran
terpadu;
c. Menjelaskan daftar isian pelaksanaan anggaran dan pengelompokkan jenis-
jenis belanja;
d. Menjelaskan pelaksanaan anggaran yang berkaitan dengan pelaksanaan
anggaran pendapatan;
e. Menjelaskan pelaksanaan anggaran yang berkaitan dengan pelaksanaan
belanja Negara, meliputi ketentuan-ketentuan belanja negara, syarat
administrasi, prosedur pencairan dana APBN dan prosedur pencairan dana
PHLN

1
1.4. Petunjuk Cara Belajar
Agar peserta diklat dapat mengikuti dan memahami mata pelajaran ini dengan baik
serta dapat mencapai hasil belajar yang maksimal, perlu diperhatikan petunjuk-
petunjuk di bawah ini :
1. Pelajari peraturan prundang-undangan yang berlaku sebagai acuan
pelaksanaan anggaran;
2. Pelajari rangkuman dan selesaikan latihan-latihan yang ada pada pokok
bahasan dari modul ini;
3. Diskusikan dan bahas dalam kelompok-kelompok belajar bersama-sama untuk
memperoleh pemahaman terhadap makna substansi yang tersirat dari
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan anggaran
atau pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara. Pelajari dan
pahami hubungan antara peraturan yang bersifat umum dengan peraturan
yang bersifat pelaksanaan atau petunjuk teknis.

2
2. KEGIATAN BELAJAR (KB) 1 : PELAKSANAAN ANGGARAN

2.1. Gambaran Umum Pelaksanaan APBN

Pelaksanaan anggaran merupakan bagian dari Siklus anggaran yang terdiri dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban. Siklus anggaran
dimulai dari tahap penyusunan dan penetapan APBN. Pemerintah pusat menyampaikan
pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya
(misal tahun anggaran 2008) kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei
tahun berjalan (misal tahun 2007). Kemudian pemerintah pusat dan DPR membahas
kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh
pemerintah pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggran
berikutnya.
Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal,
pemerintah pusat bersama DPR membahas kebijaksanaan umum dan prioritas
anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam
penyusunan usulan anggaran.
Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan lembaga selaku
pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran
Kemeterian Negara/Lembaga (RKA-KL) tahun berikutnya. RKA-KL disusun berdasarkan
prestasi kerja yang akan dicapai, disertai dengan perkiraan belanja untuk tahun
berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun. RKA-KL tersebut disampaikan
kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. Hasil
pembahasan RKA-KL disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan
penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya.
Pemerintah pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN,
disertai dengan nota keuangan dan dokumen–dokumen pendukungnya kepada DPR
pada Bulan Agustus tahun sebelumnya. Pembahasan rancangan undang-undang
tentang APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan
kedudukan DPR. Dalam Pembahasan ini DPR dapat mengajukan usul yang
mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam rancangan
undang-undang tentang APBN.
Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai rancangan undang-undang tentang
APBN dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran yang

3
bersangkutan dilaksanakan. APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit
organisasi, fungsi, sub fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Apabila DPR tidak
menyetujui rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan pemerintah
pusat,maka pemerintah pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar
angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, rincian pelaksanaannya
dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden tentang rincian APBN. Kemudian
Menteri Keuangan memberitahukan kepada menteri/pimpinan lembaga agar
menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran untuk masing-masing kementerian
negara/lembaga. Menteri/pimpinan lembaga menyusun dokumen pelaksanaan
anggaran untuk kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, berdasarkan alokasi
anggaran yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden tentang rincian APBN.
Dalam dokumen pelaksanaan anggaran diuraikan sasaran yang hendak dicapai,
fungsi, program, dan rincian kegiatan anggaran yang disediakan untuk mencapai
sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan
yang diperkirakan.Pada Dokumen pelaksanaan anggaran juga dilampirkan rencana
kerja dan anggaran badan layanan umum dalam lingkungan kementerian
negara/lembaga.
Terhadap dokumen anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan
disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga, BPK, Gubernur, Direktur Jenderal
Anggaran, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Kepala Kantor Wilayah Ditjen
Perbendaharaan terkait, Kuasa Bendahara Umum Negara (KPPN) terkait, dan Kuasa
Pengguna Anggaran.
Pengajukan dana dengan menerbitkan surat perintah membayar oleh masing-
masing penanggungjawab kegiatan kepada Bendahara Umum Negara atau Kuasa
Bendahara Umum Negara, yang kemudian melaksanakan fungsi pembebanan kepada
masing-masing bagian anggaran serta fungsi pembayaran kepada yang berhak melalui
jalur penyaluran dana yang ditetapkan dengan mekanisme giralisasi.
Dokumen-dokumen penting dalam pelaksanaan APBN adalah Surat Keputusan
Otorisasi/Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, Surat Permintaan Pembayaran, Surat
Perintah Membayar, dan Surat Perintah Pencairan Dana.
Dalam Pelaksanaan APBN tahun anggaran berjalan, pemerintah pusat
menyusun laporan realisasi semester pertama APBN dan prognosis untuk enam bulan
berikutnya, kemudian disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli

4
tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan
Pemerintah pusat. Mengenai penyesuaian APBN dengan perkembangan dan atau
perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan pemerintah pusat dalam rangka
penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang besangkutan,
apablia terjadi :
a. Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan
dalam APBN;
b. Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit
organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
d. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus
digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
Berdasarkan perubahan-perubahan tersebut, pemerintah pusat mengajukan
rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran yang
bersangkutan, untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan berakhir. Demikian juga, dalam keadaan darurat pemerintah pusat dapat
melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan
dalam rancangan perubahan APBN dan atau disampaikan dalam laporan realisasi
anggaran.
Tahap pengawasan pelaksanaan APBN ini memang tidak diungkap secara nyata
dalam UU 17/2003, namun dalam Keputusan Presiden nomor 42/2002 jo Keppres
72/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN terdapat di Bab IX yang mengatur
pengawasan pelaksanaan APBN. Pada tahap ini pengawasan terhadap pelaksanaan
APBN dilakukan oleh atasan kepala kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga
menyelenggarakan pengawasan terhadap pelaksanaan APBN yang dilakukan kepala
kantor/satuan kerja dalam lingkungannya. Atasan langsung bendahara melakukan
pemeriksaaan kas bendahara sekurang-kurangnya tiga bulan sekali.
Inspektur Jenderal departemen/pimpinan unit pengawasan pada lembaga
melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBN yang dilakukan kantor/satuan kerja
dalam lingkungan departemen/lembaga bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku.
Mengenai hasil pemeriksaan Inspektur Jenderal departemen/pimpinan unit
pengawasan pada lembaga tersebut disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga
yang bersangkutan. Inspektur Jenderal departemen/pimpinan unit pengawasan
lembaga wajib menindaklanjuti pengaduan masyarakat mengenai pelaksanaan APBN.

5
Selain pengawasan yang dilakukan oleh pihak eksekutif, terdapat pula
pengawasan yang dilakukan oleh DPR atau legislatif baik secara langsung mupun tidak
langsung. Pengawasan secara langsung dilakukan melalui mekanisme monitoring
berupa penyampaian laporan semester I kepada DPR selambat-lambatnya satu bulan
setelah berakhirnya semester I tahun anggaran yang bersangkutan atau sekitar Bulan
Juli. Laporan tersebut harus pula mencantumkan prognosa untuk semester kedua
dengan maksud agar DPR dapat mengantisipasi kemungkinan ada tidaknya APBN
perubahan untuk tahun anggaran bersangkutan. Laporan semester I dan prognosa
semester II tersebut dibahas dalam rapat kerja antara panitia anggaran dan Menteri
Keuangan sebagai wakil pemerintah. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui
penyampaian hasil pemeriksaan BPK atas pelaksanaan APBN kepada DPR.
Pemeriksaan yanag dilakukan BPK menyangkut tanggung jawab pemerintah dalam
melaksanakan APBN.
Pada tahap pertanggungjawaban, Menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna
anggaran/pengguna barang menyusun pertanggungjawaban pelaksanaan APBN di
lingkungan kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, berupa laporan keuangan
yang meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas leporan keuangan
yang dilampiri laporan keuangan badan layanan umum pada kementerian
negara/lembaga masing-masing.
Laporan keuangan kementerian negara/lembaga oleh menteri/pimpinan lembaga
disampaikan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya dua bulan setelah tahun
anggaran berakhir. Kemudian Menteri Keuangan menyusun rekapitulasi laporan
keuangan seluruh instansi kementerian negara. Selain itu, Menteri Keuangan selaku
bendahara umum negara menyusun laporan arus kas, dan Menteri Keuangan sebagai
wakil pemerintah pusat dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan menyusun
ikhtisar laporan keuangan perusahaan negara.
Semua laporan keuangan tersebut disusun oleh Menteri Keuangan selaku
pengelola fiskal sebagai wujud laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan
kepada Presiden dalam memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Presiden
menyampaikan laporan keuangan pemerintah pusat kepada BPK paling lambat tiga
bulan setelah tahun anggaran berakhir. Audit atas laporan keuangan pemerintah harus
diselesaikan selambat-lambatnya dua bulan setelah laporan keuangan tersebut diterima
oleh BPK dari pemerintah.

6
Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggung-
jawaban pelaksanaan APBN kepad DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa
oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya enam bulan setelah tahun
anggaran berakhir. Laporan Keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan
Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang
dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya. Mengenai
bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN disusun dan disajikan
sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah.

2.2. Landasan Hukum Pelaksanaan Anggaran

Dengan berlakunya ketentuan peraturan Undang-Undang di bidang keuangan


negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan, Undang-
Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab
Keuangan Negara, maka pengelolaan keuangan di Indonesia mengacu pada ketiga
undang-undang tersebut di atas.
Selanjutnya dalam pelaksanaannya diikuti dengan berbagai peraturan, baik
berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan/Keputusan Menteri Keuangan maupun
Peraturan/Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan, yang antara lain terdiri dari :
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 tentang
Rencana Kerja Pemerintah.
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2004 tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang
Badan Layanan Umum.
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintah.
(5) Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 2002 tentang
Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana
telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 tahun 2004.
(6) Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004.

7
(7) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005
tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan APBN.
(8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005
tentang Bagan Perkiraan Standar.
(9) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.05/2007
tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan
Pelaksanaan DIPA Tahun 2008.
(10) Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-
66/PB/2005 Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban APBN.

Hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan anggaran dengan


diberlakukannya Undang-Undang Bidang Keuangan Negara di atas adalah adanya
pemisahan kewenangan administratif (ordonatur) yang berada pada Menteri/pimpinan
lembaga dan kewenangan perbendaharaa (comptable) yang berada pada Menteri
Keuangan.
Kewenangan administratif meliputi melakukan perikatan atau tindakan-tindakan
lainnya yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara,
melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementerian
negara/lembaga sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan
pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan
anggaran.
Di lain pihak, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) dan
pejabat lainnya yang ditunjuk sebagai BUN bukanlah sekedar kasir yang hanya
berwenang melaksanakan penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai
kebenaran penerimaan dan pengeluaran tersebut. Menteri Keuangan selaku BUN
adalah pengelola keuangan dalam arti seutuhnya, yaitu berfungsi sekaligus sebagai
kasir, pengawas keuangan dan manajer keuangan. Fungsi pengawasan disini terbatas
pada aspek rechmategheid dan wetmatigheid dan hanya dilakukan pada saat terjadinya
penerimaaan dan pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre-audit yang
dilakukan oleh kementerian teknis atau post-audit yang dilakukan oleh aparat
pengawasan fungsional.
Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada
hakikatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia,
sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief Operasional

8
Officer untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Sesuai dengan prinsip tersebut
Kementerian Keuangan berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan
kewajiban negara secara nasional, sementara kementerian negara/lembaga berwenang
dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemerintah sesuai dengan bidang tugas
dan fungsi masing-masing. Konsekuensi pembagian tugas antara Menteri Keuangan
dan para menteri lainnya tercermin dalam pelaksanaan anggaran tersebut di atas.
Kemudian pembagian kewenangan antara menteri/pimpinan lembaga dinyatakan
dalam pasal 4 Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
kementerian/lembaga yang dipimpinnya berwenang :
(1) menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
(2) menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang;
(3) menetapkan pejabat yang bertugas melakukan
pemungutan penerimaan negara;
(4) menetapkan pejabat yang bertugas melakukan
pengelolaan utang dan piutang;
(5) melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran
anggaran belanja;
(6) menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian
dan perintah pembayaran;
(7) menggunakan barang milik negara;
(8) menetapkan pejabat yang bertugas melakukan
pengelolaan barang milik negara;
(9) mengawasi pelaksanaan anggaran;
(10) dan menyusun dan menyampaikan laporan keuangan.

Sedangkan sesuai pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 2004, Menteri


Keuangan selaku BUN berwenang :
(1) menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan
anggaran negara;
(2) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
(3) melakukan pengendalian pelaksanaan anggaran;
(4) menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas
negara;

9
(5) menunjuk bank dan/atau lembaga keuangan lainnya
dalam rangka pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran anggaran negara;
(6) mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam
pelaksanaan anggaran negara;
(7) menyimpan uang negara;
(8) menempatkan uang negara dan
mengelola/menatausahakan investasi;
(9) melakukan pembayaran berdasarkan permintaaan Pejabat
Pengguna Anggaran atas beban rekening kas umum negara;
(10) melakukan pinjaman dan memberikan jaminan atas nama
pemerintah;
(11) memberikan pinjaman atas nama pemerintah;
(12) melakukan pengelolaan utang dan piutang negara;
(13) mengajukan rancangan peraturan pemerintah tentang
standar akuntansi pemerintah;
(14) melakukan penagihan piutang negara;
(15) menetapkan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan
negara;
(16) menyajikan informasi keuangan negara;
(17) menetapkan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta
penghapusan barang milik negara;
(18) menentukan nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah
dalam rangka pembayaran pajak;
(19) menunjuk pejabat Kuasa Bendahara Umum Negara.

10
2.3. Latihan 1

1. Sebutkan Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum


pelaksanaan anggaran atau APBN !
2. Uraiakan secara singkat proses pelaksanaan anggaran pada tahap
perencanaan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat !
3. Sebutkan wewenang Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang dan wewenang Menteri Keuangan selaku Bendara
Umum Negara !
4. Uraikan tahap pengawasan dan tahap pertanggungjawaban pada siklus
pelaksanaan anggaran !
5. Hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan anggaran dengan
diberlakukannya peraturan perundang-undangan di Bidang Keuangan Negara
adalah adanya pemisahan kewenangan administratif (ordonatur) dan kewenangan
perbendaharaa (comptable). Jelaskan apa yang dimaksud dengan kewenangan
administratif dan kewenangan perbendaharaa (comptable) !

2.4. Rangkuman

Mengingat begitu pentingnya APBN sebagai rencana kerja penyelenggara


negara, maka proses penyusunan dan penetapan APBN, Pelaskanaan APBN, dan
Pertanggungjawaban APBN setipa tahun anggaran melalui serangkaian tahapan
kegiatan yang saling berkaitan. Rangkaian tahapan kegiatan tersebut biasa disebut

11
siklus anggaran APBN, yang meliputi tahap penyusunan & penetapan APBN,
Pelaskanaan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN. APBN setiap tahun ditetapkan
dengan Undang-Undang dan disetujui oleh DPR.
Dengan berlakunya ketentuan peraturan Undang-Undang di bidang keuangan
negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan, Undang-
Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab
Keuangan Negara, maka pengelolaan keuangan di Indonesia mengacu pada ketiga
undang-undang tersebut. Selanjutnya dalam pelaksanaannya diikuti dengan berbagai
peraturan, baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan/Keputusan Menteri Keuangan
maupun Peraturan/Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan anggaran dengan
diberlakukannya Undang-Undang Bidang Keuangan Negara di atas adalah adanya
pemisahan kewenangan administratif (ordonatur) yang berada pada Menteri/pimpinan
lembaga dan kewenangan perbendaharaa (comptable) yang berada pada Menteri
Keuangan.

12
13
3. KEGIATAN BELAJAR (KB) 2 : DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN

3.1. Pengertian Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

Pada Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara di


pasal 4 ayat 2 huruf a disebutkan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna
anggaran/pengguna barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berwenang
menyusun dokumen pelaksanaan anggaran. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan
anggaran atau APBN, maka Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab atas
penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran Kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya. Kewenangan Menteri/Pimpinan Lembaga tersebut dilimpahkan kepada
kepala satuan kerja (satker) pusat/unit pelaksana teknis/satker khusus/satker non
vertikal tertentu/satker sementara.
Wujud dokumen pelaksanaan anggaran yang berlaku mulai tahun anggaran
2005 berupa daftar isian yang memuat uraian sasaran yang hendak dicapai, fungsi,
program dan rincian kegiatan, rencana penarikan dana tiap-tiap bulan dalam satu tahun
serta pendapatan yang diperkirakan oleh kementerian negara/lembaga, sehingga
dokumen pelaksanaan anggaran tersebut disebut daftar isian pelaksanaan anggaran
atau disingkat DIPA. DIPA tersebut disusun atas dasar peraturan presiden tentang
rincian APBN.
Konsep DIPA yang telah selesai disusun oleh Kuasa Pengguna Anggaran satker
disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA pusat dan kepada
Kepala Kanwil DJPB untuk DIPA daerah. Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menelaah kesesuaian konsep
DIPA dengan rincian APBN yang ditetapkan dalam peraturan presiden dan kemudian
mengesahkan DIPA pusat. Sedangkan Kepala Kanwil DJPB atas nama Menteri
Keuangan selaku BUN menelaah kesesuaian konsep DIPA dengan rincian APBN yang
ditetapkan dalam Peraturan Presiden dan kemudian mengesahkan DIPA daerah.
Apabila dalam batas waktu yang ditentukan (akhir tahun anggaran) Kuasa
Pengguna Anggaran satker belum menyampaikan konsep DIPA, maka Direktur Jenderal
Perbendaharaan atau Kepala Kanwil DJPB tetap menerbitkan Surat Pengesahan DIPA
yang dilampiri konsep DIPA (sementara) yang dibuat oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan atau Kepala Kanwil DJPB berdasarkan surat rincian alokasi anggaran
(SRAA) dan rencana kerja anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) atau peraturan
presiden tentang rincian APBN. Dalam hal DIPA (sementara) ini dapat dipakai sebagai

14
dasar penerbitan surat perintah membayar dengan ketentuan bahwa dana yang dapat
dicairkan dibatasi untuk pembayaran gaji pegawai, pengeluaran keperluan sehari-hari
perkantoran, daya dan jasa, dan lauk pauk/bahan makanan. Sedangkan dana untuk
jenis pengeluaran lainnya harus diblokir.
Menurut lampiran II Peraturan Menteri Keuangan nomor 80/PMK.05/2007
tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan, Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan
Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2006, maupun dalam
Peraturan Menteri Keuangan nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran
dalam Pelaksanaan APBN dipasal 1 angka 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang
dibuat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga serta disahkan oleh Direktur Jenderal
Perbendahaan atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dasar untuk
melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara dan pencairan dana atas
beban APBN serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi pemerintah.
Dari Pengertian tersebut, dapatlah dikatakan bahwa dalam DIPA terdapat dua
dokumen yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu dokumen
pelaksanaan anggaran yang disusun kementerian negara/lembaga bersangkutan dan
dokumen surat pengesahan DIPA yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan atau Kepala Kanwil DJPB atas nama menteri keuangan selaku
bendahara umum negara. Dengan demikian, suatu dokumen pelaksanaan anggaran
dapat disebut DIPA (lengkap), apabila terdiri dari :
(1) Surat pengesahan DIPA (SP DIPA), berisi informasi mengenai hal - hal yang
disahkan dari DIPA dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan
atau Kepala Kanwil DJPB atas nama Menteri Keuangan.
(2) DIPA halaman I (Umum), terdiri dari halaman IA dan halaman IB. Halaman IA
memuat informasi yang bersifat umum dari setiap satuan kerja. Halaman IB
memuat informasi umum tentang rincian fungsi, program dan sasarannya serta
indikator keluaran untuk masing-masing kegiatan.
(3) DIPA halaman II, berisi informasi setiap satuan kerja, uraian kegiatan / sub
kegiatan beserta volume keluaran yang hendak dicapai serta alokasi dana pada
masing-masing belanja yang dicerminkan dalam mata anggaran keluaran. Rincian
halaman II untuk masing-masing DIPA adalah sebagai berikut :

15
a. DIPA kementerian negara/lembaga, meliputi belanja pegawai, belanja barang,
belanja modal, belanja bantuan sosial dan belanja lain-lain.
b. DIPA perimbangan keuangan negara, meliputi belanja daerah dana alokasi
umum, belanja daerah dana alokasi khusus, belanja daerah dana bagi hasil,
belanja daerah dana penyesuaian, dan belanja daerah dana otonomi khusus.
c. DIPA pembayaran bunga utang dan hibah, meliputi belanja bunga utang dalam
negeri, belanja bunga utang luar negeri, Penerusan pinjaman dan belanja
hibah.
d. DIPA subsidi dan transfer berisi belanja subsidi.
e. DIPA pembiayaan, meliputi pembiayaan dalam negeri, pembiayaan luar negeri,
penerusan pinjaman dan penyertaan modal pemerintah.
(4) DIPA halaman III, berisi informasi tentang rencana penarikan dana dan
penerimaan negara bukan pajak yang menjadi tanggungjawab setiap satuan
kerja. Dalam hal pencantuman angka rencana penarikan pengeluaran pada
halaman III DIPA berdasarkan rencana kerja, satuan kerja perlu memperhatikan
hal - hal sebagai berikut :
a. Untuk belanja pegawai, rencana penarikan pengeluaran per bulan adalah
seperdua belas dari pagu gaji satu tahun;
b. Untuk belanja barang dan modal, agar memperhatikan kebutuhan berdasarkan
rencana penarikan/pembayaran dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang
meliputi rencana penarikan uang persediaan dan rencana penarikan langsung
untuk setiap bulan.
(5) DIPA halaman IV, berisi catatan-catatan yaitu hal-hal yang perlu menjadi perhatian
oleh pelaksana kegiatan.

3.2. Jenis-Jenis Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

Konsep DIPA disusun untuk masing-masing Satuan Kerja dan pada prinsipnya
satu DIPA untuk satu satker. Khusus untuk Departemen Agama, Kejaksaan Agung,
Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia, Departemen Keuangan, Departemen
Pertanhanan dan Keamanan, Kepolisian Indonesia, Badan Pertanahan Nasional, dan
Badan Pusat Statistik, satu DIPA dapat meliputi beberapa satker pada masing-masing
provinsi/Kantor Wilayah.

16
Berdasarkan pembagian anggaran dalam APBN, jenis DIPA dapat
dikelompokkan atas DIPA Kemeterian Negara/Lembaga dan DIPA Pembiayaan dan
Perhitungan (DIPA APP).
a. DIPA Kementerian Negara/Lembaga
DIPA Satker Pusat/kantor Pusat adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan
anggaran dari Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, yang dikategorikan
menjadi :
1) DIPA Satker Pusat/Kantor Pusat
DIPA Satker Pusat/kantor Pusat adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan
anggaran kementerian negara/lembaga, yang pelaksanaannya dilakukan oleh
satuan kerja yang merupakan satuan kerja pusat atau satuan kerja Kantor Pusat
suatu kementrian negara/lembaga, termasuk di dalamnya untuk DIPA Badan
Layanan Umum (BLU), dan Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT).

Satuan Kerja Pusat dapat terdiri dari satuan kerja–satuan kerja yang dibentuk
oleh kementerian nagara/ lembaga secara fungsional dan bukan merupakan
instansi vertikal . Sedangkan Satuan Kerja Kantor Pusat adalah satuan kerja
dalam lingkup Kantor Pusat suatu kementerian negara /lembaga. Konsep DIPA
Satker Pusat/kantor Pusat disusun dan ditetapkan oleh Satuan Kerja masing-
masing kementerian negara/lembaga.

2) DIPA Satker Vertikal/ Kantor Daerah


DIPA Satker Vertikal/Kantor Daerah adalah DIPA yang memuat rincian
penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga, yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Kantor/Instansi Vertikal Kementerian Negara/Lembaga di daerah.

Konsep DIPA Satker Vertikal/Kantor Daerah disusun dan ditetapkan oleh


Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran Satuan Kerja Vertikal yang
ditunjuk dan ditetapkan oleh Menteri/ Ketua Lembaga.

3) DIPA Dana Dekonsentrasi


DIPA Dana dekonsentrasi adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan
anggaran kementerian negara/lembaga dalam rangka pelaksanaan dana
dekonsentrasi, serta pelaksanaannya dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) Provinsi yang ditunjuk oleh Gubernur.

17
Konsep DIPA Dana Dekonsentrasi disusun dan ditetapkan oleh Kepala SKPD
yang ditunjuk oleh Gubernur berdasarkan pendelegasian wewenang dari
Menteri/Ketua Lembaga.

4) DIPA Tugas Pembantuan


DIPA Tugas Pembantuan adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan
anggaran kementerian negara/lembaga dalam rangka pelaksanaan Tugas
Pembantuan, serta pelaksanaannya dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) Provinsi/Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Gubernur/
Bupati/Walikota.

Konsep DIPA Dana Dekonsentrasi disusun dan ditetapkan oleh Kepala Satker
Pusat yang ditunjuk oleh Menteri/Ketua Lembaga.
b. DIPA Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (DIPA APP)
DIPA APP adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran dari Bagian
Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP). BAPP merupakan Bagian
Anggaran yang dikelola oleh menteri Keuangan dan penggunaan anggaran tersebut
bersifat khusus serta tidak termasuk dalam anggaran kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah. Dalam Pelaksanaannya Menteri Keuangan
menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran untuk menyusun dan menetapkan konsep
DIPA. BAPP meliputi :
1) Cicilan Bunga Utang (BA 061)
2) Subsidi dan Transfer (BA 062)
3) Belanja Lain-Lain (BA 069)
4) Dana Perimbangan (BA 070)
5) Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian (BA 071)
6) Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negari (BA 096)
7) Pembayaran Cicilan Pokok Utang Dalam Negeri (BA 097)
8) Penerusan Pinjaman sebagai Pinjaman (BA 098)
9) Penyertaan Modal Negara (BA 099)
10) Penerusan Pinjaman sebagai Hibah (BA 101)
11) Penerusan Hibah sebagai Hibah (BA 102)

DIPA APP dapat terdiri dari :


1) DIPA Belanja Pemerintah Pusat.

18
DIPA Belanja Pemerintah Pusat adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan
anggaran Bagian Anggaran Cicilan Bunga Utang (BA 061), Bagian Anggaran
Subsidi dan Transfer (BA 062), Bagian Anggaran Belanja Lain-Lain (BA 069), dan
Bagian Anggaran Penerusan Pinjaman sebagai Hibah (BA 101). Pelaksanaan
anggaran dilakukan oleh satuan kerja kementerian negara/lembaga atau satuan
kerja yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

2) DIPA Belanja Daerah


DIPA Belanja Daerah adalah DIPA yang memuat rencana kerja dan anggaran
Bagian Anggaran Bagian Anggaran Dana Perimbangan (BA 070) dan Bagian
Anggaran Bagian Anggaran Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian (BA 071),
pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.

Konsep DIPA Dana Perimbangan disusun dan ditetapkan oleh Kuasa Pengguna
Anggaran yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan

3) DIPA Pembiayaan
DIPA Pembiayaan adalah DIPA yang memuat rencana kerja dan anggaran
BAPP sebagai berikut :
i. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negari (BA 096)
ii. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Dalam Negeri (BA 097)
iii. Penerusan Pinjaman sebagai Pinjaman (BA 098)
iv. Penyertaan Modal Negara (BA 099)
v. Penerusan Hibah sebagai Hibah (BA 102)

4) DIPA Khusus
DIPA Khusus adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran yang
berasal dari BAPP dimana karena sifat dan keperluannya sehingga Konsep DIPA
dan Surat Pengesahan DIPA disatukan dalam satu lembar DIPA yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Sifat dan keperluan penerbitan DIPA Khusus ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan dengan kriteria penanganan kejadian luar biasa yang
mempunyai tingkat urgensi sangat tinggi dan bersifat mendesak, seperti :
a) penanganan yang bersifat darurat,
b) kegiatan yang bersifat politis dalam rangka menjaga kredibilitas Pemerintah

19
3.3. Penyusunan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

Penyusunan DIPA adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh kantor/ satuan
kerja kementerian negara/lembaga dalam mempersiapkan konsep DIPA yang akan
dimintakan pengesahannya kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA
kantor pusat atau Kepala Kanwil DJPB untuk DIPA daerah.
DIPA yang disusun oleh kementerian negara/lembaga harus berpedoman pada
peraturan presiden tentang rincian APBN yang merupakan alokasi dana pada masing-
masing satuan kerja dalam mencapai sasaran kegiatan yang telah ditetapkan. Khusus
untuk Departemen Agama, Keuangan, Pertahanan dan Keamanan, Kejaksaan Agung,
Kepolisian dan Badan Pertanahan Nasional, DIPAnya disusun untuk masing-masing
propinsi/kantor wilayah atau yang setara.
Kementerian negara/lembaga dalam menyusun konsep DIPA harus mengacu
kepada APBN yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan sesuai dengan
peraturan presiden tentang rincian APBN, maka struktur penganggaran dalam DIPA
harus terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, sub kegiatan,
jenis belanja dan lokasi.
Unit organisasi yang digunakan dalam anggaran belanja negara adalah
klasifikasi anggaran yang dialokasikan untuk masing-masing kementerian negara/
lembaga atau bagian anggaran yang dibagi menurut organisasi tingkat eselon/ satuan
kerja, sehingga kementerian negara/lembaga selaku pengguna anggaran dan satuan
kerja selaku kuasa pengguna anggaran bertanggungjawab terhadap pelaksanaan
kegiatan pendukung program sesuai dengan bagian anggarannya masing-masing.
Satuan kerja adalah bagian dari suatu unit organisasi pada kementerian
negara/lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program.
Kepala satuan kerja baik organisasi tingkat eselon I maupun tingkat eselon II, eselon III
atau eselon IV yang berdiri sendiri sebagai kuasa pengguna anggaran yang dibantu
dengan pejabat pengelola keuangan. Satuan kerja yang pimpinannya ditetapkan
sebagai kuasa pengguna anggaran dapat dikelompokkan menjadi satuan kerja pusat,
satuan kerja/unit pelaksana teknis, satuan kerja khusus, satuan kerja perangkat daerah,
satuan kerja non vertikal tertentu, dan atau satuan kerja sementara (bukan UPT).
Fungsi yang digunakan dalam anggaran belanja negara adalah klasifikasi
anggaran berdasarkan fungsi pemerintahan untuk masing-masing kementerian
negara/lembaga. Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu
yang dilaksanakan kementerian negara/lembaga yang dirinci ke dalam 11 fungsi utama,

20
yaitu pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan
hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama,
pendidikan dan perlindungan sosial. Kesebelas fungsi utama tersebut dirinci ke dalam
79 sub fungsi. Penggunaan fungsi dan sub fungsi dalam DIPA disesuaikan dengan
tugas pokok dan fungsi masing-masing kementerian negara/lembaga.
Program adalah penjabaran kebijaksanaan kementerian negara/lembaga dalam
bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumber
daya yang disediakan untuk mencapai hasil terukur sesuai dengan misi kementerian
negara/lembaga.
Sedangkan kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu
atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian saasaran terukur pada
suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik
berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan
teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis sumberdaya tersebut
sebagai masukan (input) dalam bentuk barang/jasa.
Sub kegiatan adalah bagian dari kegiatan yang menunjang usaha pencapaian
sasaran dan tujuan kegiatan tersebut. Adanya sub kegiatan adalah sebagai konsekuensi
adanya perbedaan jenis dan satuan keluaran antar sub kegiatan dalam kegiatan
tersebut. Dengan demikian, sub kegiatan yang satu dipisahkan dengan sub kegiatan
lainnya berdasarkan perbedaan keluaran. Sebagai contoh, kegiatan pendidikan dan
pelatihan aparatur negara dengan sub kegiatan penyelenggaraan diklat penjenjangan
dengan keluaran antara lain jumlah peserta didik, sub kegiatan penyelenggaraan diklat
fungsional dengan keluaran antara lain junmlah lulusan, sub kegiatan pengembangan
kurikulum diklat dengan keluaran antara lain jumlah modul.
Pengertian hasil (outcome) adalah sesuatu yang mencerminkan berfungsinya
keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program. Pengertian keluaran (output)
adalah barang atau jasa yang dihasilak oleh kegiatan yang dilaksanakan untuk
mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijaksanaan.
Mengenai indikator hasil adalah segala sesuatu yang akan dicapai dari suatu
program pada jangka menengah sesuai dengan tujuan dan sasaran program.
Sedangkan indikator keluaran adalah sesuatu yang akan dicapai secara langsung dari
pelaksanaan suatu kegiatan, yang terdiri dari : biaya harga yaitu jumlah biaya yang
dibutuhkan untuk menghasilkan suatu tingkat keluaran tertentu; kuantitas yaitu jumlah

21
unit barang atau jasa yang akan dihasilkan; kualitas yaitu mutu barang dan atau jasa
yang dihasilkan berdasarkan kepuasan penerima manfaat dan ketepatan waktu.
Contoh keterkaitan rumusan program, kegiatan, indikator hasil dan keluaran pada
kementerian tenaga kerja dan transmigrasi untuk program transmigrasi, dengan hasil
tercapainya mobilitas penduduk sebesar 5 % sampai tahun 2009, melalui kegiatan
pemindahan penduduk dan pengembangan masyarakat transmigrasi, maka indikator
keluarannya sebagai berikut :
Sub Kegiatan Indikator Keluaran Satuan Sasaran
Penyusunan rencana teknis Jumlah rencan teknis Paket 350
Pengembangan sistem Tambahan jumlah sistem Paket 7
Informasi Informasi - -
Survey kependudukan Jumlah hasil survey Paket 520
Pengembangan usaha tani Tambahan jumlah UKM UKM 389
Pembangunan rumah trans. Jumlah rumah buah 10.000
Kegiatan pada prinsipnya disusun dengan mengacu kepada rencana
pembangunan jangka menengah nasional, rencana kerja pemerintah, rencana strategis
kementerian negara/lembaga dan program prioritas pendukung kementerian negara/
lembaga.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan rumusan kegiatan,
antara lain :
(1) Penentuan suatu kegiatan didasarkan atas program dalam satu lingkungan unit
eselon I. Instansi pusat pada dasarnya melakukan kegiatan yang bersifat
pembinaan, koordinasi, integrasi, sinkronisasi pada setiap tahapan manajemen
atau melakukan kegiatan rintisan dalam rangka pengembangan sistem tertentu
dengan lingkup nasional.
Untuk kegiatan-kegiatan non fisik yang karena sifat dan permasalahannya
memerlukan keterpaduan sistem pada tingkat nasional dapat dipertimbangkan
untuk dijadikan sebagai kegiatan pusat.

(2) Untuk kegiatan-kegiatan fisik seperti pembangunan, perluasan, perawatan atau


pemeliharaan sarana fisik/gedung dan atau pengadaan barang/jasa yang
kegiatannya secara nyata berada di daerah propinsi/kabupaten/kota agar
dialokasikan ke daerah yang bersangkutan dengan cara mengintegrasikan
kegiatan dimaksud kedalam kegiatan di daerah yang sejenis pada program yang
sama menjadi kegiatan atau unsur kegiatan. Apabila tidak ada kegiatan yang
sejenis yang menampungnya dapat diciptakan kegiatan baru yang berdiri sendiri.

22
Sebagai konsekuensi pengalokasian dana ke daerah propinsi/kabupaten/kota,
maka pengadaan barang/jasa tersebut tidak diperkenankan dilaksanakan oleh unit
eselon I di pusat.

(3) Kegiatan operasional yang merupakan kegiatan lanjutan, pada waktu menyusun
anggaran yang direncanakan perlu dicantumkan prakiraan maju untuk tahun
berikutnya. Kegiatan lanjutan adalah kegiatan terusan dari kegiatan tahun
sebelumnya yang jangka waktu penyelesaiannya lebih dari satu tahun anggaran,
termasuk kegiatan - kegiatan yang merupakan bagian dari suatu rencana induk
(master plan) dan kegiatan - kegiatan yang penyelesaiannya memerlukan waktu
lebih dari satu tahun (multi years).

Pencantuman pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) dalam DIPA harus


memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam loan agreement berkenaan,
karena kesalahan dalam pencantuman dana PHLN dapat berakibat terjadinya
kesalahan pembayaran. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pencantuman PHLN
dalam DIPA, yaitu :

(1) Status loan.


Dana PHLN harus memilki status loan yang jelas, dalam arti naskah perjanjian
pinjaman/hibah luar negeri (NPHLN) berkenaan sudah ditandatangani dan
dinyatakan efektif serta telah diberi kode registrasi PHLN..
(2) Jenis cara pembayaran.
Pencantuman cara penarikan pinjaman luar negeri (PLN) seperti Rekening Khusus
(RK), Pembayaran Langsung (PL), Pembukaan Letter of Credit (L/C) dan
Penarikan Langsung Hibah berpedoman pada SKB Menteri Keuangan dan Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor :185/
KMK.03/1995 - Kep.031/KET/5/1995 yang telah diubah dengan SKB Menteri
Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas Nomor 459/KMK.03/1999 - Kep.264/KET/09/1999 serta ketentuan lain
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(3) Alokasi dana.


Hal - hal yang perlu diperhatikan untuk mengalokasikan dana PHLN dalam DIPA,
yaitu :
a. Jenis kegiatan/pekerjaan yang akan dibiayai harus terdapat dalam uraian
kategori dalam PHLN;

23
b. Dana PHLN untuk setiap kategori pengeluaran masih cukup tersedia. Hal
ini penting untuk menghindarkan terjadinya overdrawn atau kelebihan
penarikan suatu kategori;
c. Porsi dana PHLN sesuai kategori yang telah ditetapkan dalam
NPPHLN;
d. Khusus PHLN yang penarikannya melalui tatacara L/C, perlu diperhatikan
nilai kontrak pekerjaan secara keseluruhan. Hal ini berkaitan dengan
pembukaan rekening L/C di Bank Indonesia oleh KPPN Jakarta VI dan KPPN
Khusus Banda Aceh.
e. Dalam hal NPPHLN mensyaratkan adanya dana pendamping (porsi dan
non porsi), maka kementerian/lembaga wajib menyediakan dana pendamping
dalam RKA-KL

(4) Standar biaya.


Pembiayaan kegiatan/subkegiatan yang bersumber dari PHLN mengacu kepada
Standar Biaya Umum (SBU), Standar Biaya Khusus (SBK) dan Billing rate. Dalam
hal belum tersedia standar biaya, maka dapat digunakan Rincian anggaran Biaya.

(5) Kartu Pengawasan Alokasi Pagu PHLN


Kartu pengawasan tersebut memuat antara lain :
a. nama, tanggal, nomor NPPHLN;
b. nama pemberi pinjaman;
c. executing agency/implementing agency;
d. nomor register PHLN;
e. tanggal efektif PHLN;
f. closing date;
g. besaran pinjaman yang tercantum dalam NPPHLN;
h. kategori dan porsi PHLN;
i. tata cara dan rencana penarikan yang dituangkan dalam RKA-
KL;
j. sisa yang belum dialokasikan.

(6) Memahami NPPHLN.


Untuk menghindarkan terjadinya kegiatan-kegiatan yang ineligible, maka isi dari
loan agreement (NPPHLN) dan staff appraisal report (SAP) harus dipahami,
terutama mengenai : porsi beban loan untuk masing-masing kegiatan/kategori,

24
kegiatan-kegiatan yang dapat dibiayai loan, closing date, lokasi sasaran/cakupan
kegiatan, ketentuan loan lainnya jika ada (cara pembayarannya, dan sebagainya).

Dalam menyusun DIPA, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran


bertanggungjawab sepenuhnya terhadap kegiatan dan perhitungan biayanya yang
dalam penyusunannya berpedoman pada peraturan Harga satuan yang terdapat dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.02/2007 tanggal 23 Juli 2007 tentang
Standar Biaya Tahun Anggaran 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor :
80/PMK.05/2007 tentang : Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan
dan Pelaksanaan DIPA Tahun Anggaran 2008, sebagai berikut:

(1) Belanja pegawai.


Belanja Pegawai adalah kompensasi dalam bentuk uang maupun barang yang
diberikan kepada pegawai pemerintah (pejabat negara, PNS dan Pegawai yang
dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS) yang bertugas di dalam
maupun luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan,
kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.

Belanja Pegawai terdiri dari :


a. Belanja Pegawai Mengikat adalah belanja pegawai yang dibutuhkan secar
terus menerus dalam satu tahun dan harus dialokasikan oleh kementerian
negara/lembaga dengan jumlah yang cukup pada tahun yang bersangkutan
1) Gaji
Perhitungan gaji dan tunjangan didasarkan atas realisasi pembayaran
gaji bulan April 2007 pada masing-masing kantor/satuan kerja. Dihitung
selama 13 bulan dengan perhitungan : realisasi bulan April 2007 X 13
bulan, kemudian ditambah accres 2,5 % untuk menampung kenaikan
pangkat, gaji berkala dan tambahan tunjangan keluarga.
Untuk Pengisian selisih formasi dan bezzeting (F-B) setiap pegawai
dianggap mempunyai satu isteri, satu anak, masa kerja nol tahun dihitung
selama enam bulan dengan indeks gaji sebagai berikut :
Golongan I sebesar Rp. 741.000,- per bulan;
Golongan II sebesar Rp. 813.000,- per bulan;
Golongan III / IV sebesar Rp. 1.166.000,- per bulan.

25
Perhitungan tersebut di atas kemudian ditambah dengan perhitungan
tunjangan umum dan tambahannya sesuai dengan ketentuan perundangan
yang berlaku.

Tunjangan beras
Jumlah pegawai X 3 jiwa X 10 kg X harga beras yang berlaku X 6 bulan.
Jumlah dana (F-B) tersebut ditempatkan pada masing-masing unit
organisasi kementerian negara/lembaga jika telah ada formasi per unit
organisasi atau pada Sekretariat Jenderal dalam hal belum ada formasi per
unit organisasi.
Perhitungan untuk Gaji dan Tunjangan dibuat berdasarkan masing-masing
mata anggaran yang dibulatkan dalam ribuan rupiah.
2) Gaji Dokter PTT dan Bidan PTT
Untuk Kementerian Kesehatan agar diperhitungkan gaji dokter dan bidan
PTT dengan berpedoman pada Surat Edaran Direktur Jenderal Anggaran
tanggal 5 Januari 2001 No. SE-07/A/2001 perihal Pelaksanaan
Pembayaran Penghasilan Dokter dan Bidan PTT Selama Masa Bakti dan
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kesehatan dan Menteri
Keuangan N0. 1537/Menkes-Kessos/SKB/X/2000 dan No. 410/KMK.03/
2000 tanggal 11 Oktober 2000 tentang Pelaksanaan Penggajian Dokter
dan Bidan Sebagai Pegawai Tidak Tetap Selama Masa Bakti.
3) Honorarium
 Honorarium mengajar guru tidak tetap;
 Honorarium kelebihan jam mengajar guru tetap dan guru tidak
tetap;
 Honorarium ujian dinas;
 Honorarium mengajar disediakan antara lain untuk tenaga
pengajar luar biasa di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional atau
di luar Depdiknas yang tarifnya telah mendapat persetujuan Menteri
Keuangan;
4) Uang lembur.
Penyediaan dana untuk uang lembur tahun anggaran 2008 berdasarkan
tarif yang ditetapkan Menteri Keuangan, dengan perhitungan maksimal 100
% dari dana uang lembur tahun anggaran 2007.

26
5) Vakasi
Vakasi adalah penyediaan dana untuk imbalan bagi penguji atau pemeriksa
kertas/jawaban ujian.
6) Lain - lain.
Yang termasuk dalam belanja pegawai lain - lain adalah :
a. Belanja pegawai untuk dharma siswa/mahasiswa
asing;
b. Belanja pegawai untuk tunjangan ikatan dinas (TID);
c. Tunjangan selisih penghasilan (BPPT);
d. Honorarium yang bersumber dari PNBP;
e. Tunjangan lainnya yang besarannya telah
mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan.
7) Uang Lauk Pauk TNI/Polri
Uang Lauk Pauk bagi anggota TNI/Polri dihitung perhari per anggota.
8) Uang Makan PNS
 Pengeluaran untuk uang makan PNS per hari kerja per PNS
dan dihitung maksimal 22 hari setiap bulan;
 Bagi PNS yang sebelumnya sudah menerima uang makan
yang tidak berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, dengan adanya
uang makan ini maka pemberian uang makan tersebut dihentikan.
9) Khusus belanja pegawai TNI/Polri. Besarnya uang lauk pauk
bagi anggota TNI/Polri dihitung sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10) Perhitungan untuk gaji dan tunjangan dibuat berdasarkan
masing - masing mata anggaran dan dibulatkan dalam ribuan rupiah.

b. Belanja Pegawai Tidak Mengikat.

Belanja Pegawai Tidak Mengikat adalah belanja pegawai yang diberikan dalam
rangka mendukung pembentukan modal dan atau kegiatan yang bersifat
temporer.

Anggaran untuk belanja pegawai tidak mengikat dapat disediakan untuk


kegiatan sepanjang :
 Pelaksanaannya memerlukan pembentukan panitia/tim/kelompok
kerja;
 Mempunyai keluaran (output) jelas dan terukur;

27
 Sifatnya koordinatif dengan mengikutsertakan satker/organisasi
lain;
 Sifatnya temporer sehingga pelaksanaannya perlu diprioritaskan
atau di luar jam kerja;
 Merupakan perangkapan fungsi atau tugas tertentu kepada PNS
disamping tugas pokoknya sehari-hari;
 Bukan operasional yang dapat diselesaikan secara internal satker.

Contoh Belanja Pegawai Tidak Mengikat :


 Honorarium yang disediakan untuk PNS yang ditunjuk sebagai
pengelola keuangan dalam rangka pelaksanaan fungsi kuasa pengguna
anggaran/kuasa pengguna barang. Honorarium ini diberikan karena
perangkapan jabatan/penugasan dan tanggungjawab.
 Honorarium yang disediakan untuk anggota Tim Penyusunan
Draft Peraturan Perundang-undanganyang mengikutsertakan satker/instansi
lain yang terkait. Honorarium ini diberikan dalam rangka mencapai keluaran
berupa peraturan;
 Honorarium yang disediakan untuk anggota Tim Penyusunan
Standar Biaya Khusus Kementerian/Lembaga yang anggotanya terdiri dari
unsur kementerian/lembaga, Departemen Keuangan, dan Badan Pusat
Statistik. Honorarium ini disediakan dalam rangka mencapai keluaran berupa
standar biaya kegiatan tertentu.

(2) Belanja Barang.


Belanja barang yaitu pengeluaran atas pembelian barang dan jasa yang habis
pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak
dipasarkan.
Pengalokasian anggaran untuk belanja barang mengacu pada standar biaya yang
telah ditetapkan. Sedangkan pengalokasian anggaran untuk kegiatan yang belum
ditetapkan standar biayanya dilakukan atas dasar Rincian Anggaran Belanja (RAB)
yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dengan memperhatikan harga
pasar yang berlaku dan ddapat dipertanggunjawabkan sesuai jenis serta
spesifikasi yang diperlukan.
Belanja Barang dapat dibedakan menjadi Belanja Barang dan Jasa, Belanja
Pemeliharaan, dan Belanja Perjalanan Dinas.

28
Belanja Barang dan Jasa merupakan pengeluaran yang antara lain dilakukan
untuk membiayai keperluan kantor sehari-hari, pengadaan barang yang habis
pakai seperti alat tulis kantor, pengadaan/penggantian inventaris kantor, langganan
daya dan jasa, lain-lain pengeluaran untuk membiayai pekerjaan yang bersifat non
fisik dan secara langsung menunjang tugas pokok dan fungsi
kementerian/lembaga, pengadaan inventaris kantor yang nilainya tidak memenuhi
syarat nilai kapitalisasi (nilai satuan barang kurang dari Rp 300.000,-)

Belanja Pemeliharaan adalah pengeluaran yang dimaksudkan untuk


mempertahankan aset tetap atau aset tetap lainnya yang sudah ada ke dalam
kondisi normal . Belanja Pemeliharaan meliputi antara lain pemeliharaan gedung
dan bangunan kantor, taman, jalan lingkungan kantor, rumah dinas, kendaraan
bermotor dinas dan lain-lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan
pemerintahan.

Belanja Pejalanan Dinas merupakan pengeluaran yang dilakukan untuk


membiayai perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi dan jabatan.

Belanja Barang terdiri dari :


a. Belanja Barang Mengikat.
Belanja Barang Mengikat adalah belanja barang yang dibutuhkan secara terus
menerus selama 1 (satu) tahun dan dialokasikan oleh kementerian/lembaga
dengan jumlah yang cukup pada tahun yang bersangkutan.
Belanja Barang Mengikat, terdiri atas :
1). Belanja barang.
Pengeluaran-pengeluaran yang temasuk dalam hal ini adalah belanja
operasional, antara lain :
 keperluan sehari-hari perkantoran,
 pengadaan/penggantian inventaris kantor yang nilainya dibawah
kapitalisasi,
 pengadaan bahan makanan,
 uang makan khusus Departemen Pertahanan (TNI) dan Polri,
yang indeks satuan harga didasarkan atas indeks yang ditetapkan oleh
Departemen Pertahanan dan Polri meliputi : uang makan non organik,
uang makan operasi dan uang makan pendidikan.

29
 belanja barang lainnya yang secara langsung menunjang
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kementerian/lembaga.
2). Belanja jasa.
Pengeluaran-pengeluaran yang temasuk dalam hal ini adalah belanja untuk
langganan daya dan jasa (listrik, telepon, gas dan air).
3). Belanja Pemeliharaan.
Pengeluaran-pengeluaran untuk pemeliharaan gedung kantor, rumah
dinas/jabatan, kendaraan bermotor dan lain-lain yang berhubungan dengan
penyelenggaraan pemerintahan termasuk perbaikan peralatan dan sarana
gedung (sesuai standar biaya umum).
4). Belanja Perjalanan.
Pengeluaran - pengeluaran untuk perjalanan dinas tetap.
Perjalanan dinas tetap adalah perjalanan yang dilakukan oleh PNS secara
terus menerus dalam rangka melaksanakan tugas tertentu. Kepada PNS
tersebut diberikan biaya perjalanan dinas tetap dengan tarif tertentu yang
dibayarkan secara bulanan.

b. Belanja Barang Tidak Mengikat.


Belanja Barang Tidak Mengikat adalah belanja barang yang dibutuhkan secara
insidentil (tidak terus menerus) yang meliputi barang non operasional, belanja
jasa (jasa konsultan, sewa, jasa profesi dan jasa lainnya), belanja
pemeliharaan serta belanja perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan suatu
kegiatan/tugas pokok fungsi satuan kerja.

(3) Belanja Modal.

Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan


modal yang sifatnya menambah aset kementerian negara/lembaga dengan
kewajiban untuk menyediakan biaya pemeliharaan. Dengan demikian, Belanja
Modal merupakan pengeluaran anggaran untuk memperoleh aset tetap dan aset
lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu perode akuntansi.

Aset tetap mempunyai ciri-ciri/karakteristik sebagai berikut : berwujud, akan


menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
nilainya relatif material (di atas Rp 300.000,- per unit). Sedangkan batasan minimal
kapitalisasi untuk Gedung dan Bangunan dan Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah
sebesar Rp 10.000.000,-. Ciri-ciri/karakteristik Aset Lainnya adalah tidak berwujud,

30
akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari dari 1
(satu) tahun, nilainya tidak material.

Berdasarkan hal di atas, dikategorikan Belanja Modal apabila memenuhi kreteria :


 Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau
aset lainnya;
 Pengeluaran tersebut melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap;
 Aset lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah;
 Perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.

Belanja modal terdiri dari :

1) belanja modal tanah,


Pengeluaran untuk pengadaan/pembelian/pembebasan penyelesaian, balik
nama dan sewa tanah, pengosongan, perataan, pematangan tanah,
pembuatan sertifikat tanah serta pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat
adminstratif sehubungan dengan pembentukan modal, perolehan hak dan
kewajiban atas tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi tanah.

2) belanja modal peralatan dan mesin.

Pengeluaran untuk pengadaan alat-alat dan mesin-mesin yang dipergunakan


dalam kegiatan pembentukan modal/aset tetap, termasuk biaya untuk
penambahan, penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin
berat yang dimaksudkan untuk memperpanjang masa manfaat maupun
meningkatkan efisiensinya.

3) belanja modal gedung dan bangunan,


Pengeluaran untuk perencanaan, pembangunan, pengawasan dan
pengelolaan pembentukan modal untuk pembangunan gedung dan banguan
negara yang perhitungannya mengikuti Standar Pembangunan Gedung
Negara, termasuk di dalamnya pengadaan berbagai kebutuhan pembangunan
gedung dan bangunan.
Termasuk kelompok belanja modal ini adalah :
i. pengadaan/pembangunan berbagai gedung dan
bangunan yang berfungsi untuk perkantoran, hunian dan pelayanan;
ii. belanja untuk kelengkapan prasarana dan sarana di
dalam dan di sekitar (sepanjang beranda di dalam komplek) gedung dan

31
bangunan tersebut. Misalnya instalasi listrik, air, telepon, jalan komplek,
pagar, gorong-gorong lingkungan, pertamanan, lapangan parkir dll;
iii. biaya-biaya untuk kegiatan rehabilitasi, renovasi dan
restorasi gedung dan bangunan yang diharapkan dapat memperpanjang
masa manfaat dari aktiva maupun meningkatkan efisiensinya.

4) belanja modal jalan, irigasi dan jaringan,

pengeluaran yang diperlukan untuk pembangunan, peningkatan/ penambahan,


penggantian, pembuatan serta perawatan prasarana dan sarana yang
berfungsi sebagai jaringan atau merupakan bagian dari jaringan, misalnya
jalan, jembatan dam, embung, jaringan pengairan (termasuk jaringan air
bersih), jaringan instalasi/distribusi listrik dan jaringan telekomunikasi serta
jaringan lain yang berfungsi sebagai prasarana dan sarana fisik
distribusi/instalasi, akan tetapi tidak termasuk instalasi yang terdapat di dalam
gedung dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Belanja
Modal Gedung dan Bangunan.

Dalam kreteria ini termasuk biaya yang berhubungan dengan perencanaan,


pengawasan, dan pengelolaan pembangunan prasarana dan sarana tersebut
di atas.

5) belanja modal fisik lainnya.

Pengeluaran yang diperlukan dalam kegiatan pembentukan modal untuk


pengadaan pembangunan belanja fisik lainnya yang tidak dapat
diklasifikasikan dalam perkiraan kriteria belanja modal tanah, peralatan dan
mesin, gedung dan bangunan, jaringan (jalan, irigasi dll).

Termasuk dalam belanja ini : kontrak sewa beli (leasehold),


pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang
purbakala dan barang-barang untuk museum, serta hewan ternak, ternak
peliharaan, buku-buku dan jurnal ilmiah.

Perhitungan dan penilaian belanja modal dilakukan berdasarkan standar biaya


sepanjang telah ditetapkan. Sedangkan penilaian atas pekerjaan yang belum
ditetapkan dalam standar biaya dilakukan atas dasar Rincian Anggaran Biaya
(RAB) yang disusun oleh pejabat yang berwenang, dengan memperhatikan
harga pasar yang berlaku dan jenis serta spesifikasi yang diperlukan.

32
(4) Bunga
Bunga yaitu pembayaran yang dilakukan atas kewajiban penggunaan pokok utang
(principal outstnading), baik utang dalam negeri maupun luar negeri yang dihitung
berdasarkan posisi pinjaman. Jenis belanja ini khusus digunakan dalam kegiatan
dari Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP).

(5) Subsidi
Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga
yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa untuk
memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya
dapat dijangkau oleh masyarakat. Belanja ini antara lain digunakan untuk
penyaluran subsidi kepada perusahaan negara dan perusahaan swasta. Jenis
belanja ini khusus digunakan dalam kegiatan dari Bagian Anggaran Pembiayaan
dan Perhitungan (BAPP).

(6) Bantuan Sosial.


Bantuan sosial yaitu transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat
guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial dapat
langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan atau lembaga
kemasyarakatan termasuk di dalamnya untuk lembaga non pemerintah bidang
pendidikan dan keagamaan.
Yang termasuk kedalam bantuan sosial adalah :
 bantuan konpensasi sosial,
Transfer dalam bentuk uang, barang atau jasa yang diberikan kepada
masyarakat, sebagai dampak dari adanya kenaikan harga BBM.
 Bantuan kepada lembaga pendidikan dan peribadatan.
Transfer dalam bentuk uang, barang atau jasa yang diberikan kepada lembaga
pendidikan dan peribadatan.
Khusus untuk satker perwakilan Pemerintah Indonesia di luar negeri di atur
sebagai berikut :
a. belanja pegawai
i. Gaji home staff maupun local staff pada perwakilan RI
termasuk atase teknis supaya didasarkan pada payroll (daftar tunjangan
penghidupan luar negeri) bulan Maret 2007.

33
ii. Untuk menghitung selisih F-B (formasi - Bezzeting)
home staff, supaya didasarkan pada angka rata - rata Tunjangan Pokok
Luar Negeri (TPLN). Khusus apabila terjadi kekosongan Kepala
Perwakilan maka perhitungan F-B nya menggunakan Angka Dasar
Tunjangan Luar Negeri (ADTLN) X Angka Pokok Tunjangan Luar Negeri
(APTLN) dengan asumsi 1 istri 2 anak.
iii. Untuk menghitung selisih F-B local staff, supaya
didasarkan pada payroll terendah tahun anggaran 2007;
iv. Untuk menghitung kurs digunakan kurs yang
ditetapkan APBN;
v. Alokasi Tunjangan lain-lain home staff dihitung
maksimum 40 % dari alokasi gaji luar negeri/TPLN home staff dengan
perhitungan Tunjangan Sewa Rumah 25% dan Tunjangan Restitusi
Pengobatan 15%.
vi. Alokasi Tunjangan lain-lain local staff dihitung
maksimum 30 % dari alokasi gaji luar negeri local staff, dengan
perhitungan lembur 28% dan Tunjangan asuransi kecelakaan 2%;
vii. Alokasi anggaran social security local staff dihitung
rata-rata maksimum 7% dari alokasi gaji luar negeri local staff. Apabila
ada peraturan lain ketenagakerjaan negara setempat dimana perwakilan RI
di luar negeri (termasuk atase teknis dan atase pertahanan) berada, maka
pengalokasian mengikuti ketentuan ketenagakerjaan pada negara
setempat.

b. Belanja barang
i. Alokasi anggaran untuk sewa gedung didasarkan atas kontrak sewa
gedung yang berlaku;
ii. Alokasi anggaran biaya representasi untuk duta besar dihitung maksimum
20% dari tunjangan pokok x 12 bulan. Sedangkan untuk home staff lainnya
dihitung maksimum 10% dari gaji pokok x 12 bulan;
iii. Perjalanan dinas pada Perwakilan RI di LN termasuk Atase Teknis dan
Atase Pertahanan maksimum terdiri dari :
 Perjalanan dinas wilayah
 Perjalanan dinas multilateral
 Perjalanan dinas akreditasi

34
 Perjalanan dinas kurir
Anggaran perjalanan dinas pada Perwakilan RI di LN disediakan hanya
untuk jenis perjalanan dinas yang ada pada Perwakilan RI bersangkutan,
dan dihitung menurut jumlah pejabat yang melakukan perjalanan dinas,
serta frekuensi perjalanan yang dilakukan. Besarnya tarif uang harian
perjalanan dinas luar negeri diatur oleh Menteri Keuangan.

3.4. Penelaahan Konsep Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

Pada pasal 7 ayat (2) huruf b Undang - undang nomor 1 tahun 2004 tentang
perbendaharaan disebutkan bahwa Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara
berwenang mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran. Kewenangan tersebut
dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan
dengan menerbitkan surat pengesahan DIPA (SP DIPA). Dalam rangka meningkatkan
pelayanan dan mempercepat proses penerbitan SP DIPA di daerah, maka kewenangan
Direktur Jenderal Perbendaharaan tersebut didelegasikan kepada Kepala Kantor
Wilayah DJPb.
Pada awal bulan Nopember, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal
Perbendaharaan menetapkan surat rincian alokasi anggaran (SRAA) atas dasar
peraturan presiden tentang rincian APBN yang secara nyata kegiatannya berlokasi di
daerah. SRAA tersebut memuat kutipan peraturan presiden tentang rincian APBN sesuai
dengan satuan kerja di daerah. Sebelum mengesahkan konsep DIPA yang diterima dari
kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga, DJPb maupun Kanwil DJPb
melakukan kegiatan penelaahan terhadap konsep DIPA tersebut.
Pengertian penelaahan adalah proses pencocokan SRAA, peraturan presiden
tentang rincian APBN (menurut organisasi, fungsi, sub fungsi, program, kegiatan, sub
kegiatan, jenis belanja, serta lokasi kegiatan/sub kegiatan) dari Direktur Jenderal
Anggaran dengan konsep DIPA dari instansi kementerian negara/ lembaga/satuan kerja
terkait. Proses penelaahan DIPA sampai dengan penetapan SP DIPA harus telah
diselesaikan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember sebelum tahun anggaran
berjalan.
Tujuan penelaahan adalah untuk memperoleh kesesuaian DIPA yang akan
ditetapkan dengan dokumen resmi yang menjadi dasar penyusunannya. Apabila

35
penelaahan konsep DIPA tersebut telah sesuai dengan SRAA dan rincian peraturan
presiden selanjutnya ditetapkan SP DIPA yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan untuk DIPA pusat dan Kepala Kanwil DJPb untuk DIPA yang telah
ditelaah di daerah. Pengesahan ini berlaku sebagai dasar pencairan dana oleh KPPN,
sedangkan tanggungjawab terhadap perhitungan biaya dan penggunaan dana yang
tertuang dalam DIPA sepenuhnya menjadi tanggungjawab pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran.

Penelaahan konsep DIPA di kantor pusat pusat DJPb diatur sebagai berikut :
(1) Khusus untuk DIPA satuan kerja kantor pusat kementerian negara/lembaga
membuat konsep DIPA dan disampaikan ke DJPb c.q. Direktorat Pelaksanaan
Anggaran. Pagu yang ditetapkan dalam peraturan presiden tentang rincian APBN
bagi masing-masing unit organisasi, fungsi, sub fungsi, program, kegiatan dan jenis
belanja merupakan batas tertinggi yang tidak boleh dilampaui.
(2) Apabila dalam DIPA telah sesuai dengan rincian peraturan presiden, maka DJPb
dapat melakukan pengesahan DIPA berkenaan.

Penetapan SRAA diatur sebagai berikut :


(1) DJPb c.q. Direktorat Pelaksanaan Anggaran menerima peraturan presiden tentang
rincian APBN dari Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran pada akhir
bulan Nopember dan setelah itu menerbitkan SRAA.
(2) SRAA ditetapkan berdasarkan lokasi kegiatan yang secara nyata ada di daerah.
(3) Segera setelah SRAA ditetapkan, kantor pusat DJPb mengirimkan SRAA dan atau
peraturan presiden tentang rincian APBN tersebut ke Kantor Wilayah DJPb.

Penelaahan konsep DIPA oleh Kanwil DJPb di daerah dilaksanakan sebagai


berikut :
1) Setelah SRAA dan atau peraturan presiden tentang rincian
APBN diterima dari Kantor Pusat DJPb, Kanwil DJPb melakukan koordinasi dan
menyampaikan kopi SRAA kepada satuan kerja dalam wilayah masing - masing.
2) Pagu yang telah ditetapkan dalam SRAA untuk masing -
masing satuan kerja per kegiatan dan per jenis belanja merupakan batas tertinggi
yang tidak boleh dilampaui.
3) Apabila dalam penelaahan DIPA di daerah terdapat
ketidaksesuaian atau permasalahan lainnya, maka Kanwil DJPb dapat
melakukan pemblokiran dana kegiatan pada DIPA dalam hal :

36
a) Terdapat ketidaksesuaian kegiatan dan alokasi pagu
jenis belanja yang tercantum pada konsep DIPA yang diajukan oleh
satuan kerja terkait dengan yang tercantum pada SRAA dan atau peraturan
presiden tentang rincian APBN satuan kerja yang bersangkutan.
b) Keperluan biaya operasional satuan kerja baru yang
belum mendapat persetujuan Menteri Negara PAN, kecuali satuan kerja
sementara.
c) Naskah perjanjian pinjaman/hibah luar negeri
(NPHLN) belum efektif dan atau kegiatan PHLN yang belum tersedia dana
pendampingnya.
4) Catatan atas hasil penelaahan DIPA diatur sebagai berikut :
a) Dalam hal sebagian atau seluruh kegiatan DIPA
dibiayai dana yang berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dalam
halaman IV Catatan DIPA agar dicantumkan catatan khusus : “Pencairan dana
untuk membiayai kegiatan PNBP dapat dibayarkan setelah terlebih dahulu
dilakukan penyetoran PNBP ke rekening kas negara yang dibuktikan dengan
surat bukti setor, KPPN mencairkan dana PNBP didasarkan atas ketentuan
perundang - undangan yang berlaku”.
b) Dalam penelaahan belanja pegawai dalam DIPA
agar tetap memperhatikan dasar perhitungan gaji atas dasar gaji bulan April
2007 (untuk DIPA tahun 2008). Penilaian belanja pegawai ini agar dicantumkan
secara khusus pada lembar catatan penelaahan DIPA dan selanjutnya
dilaporkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan sebagai bahan analisa
mengenai ketersediaan belanja pegawai tahun anggaran 2008.
c) Apabila dalam penelaahan DIPA dijumpai alokasi
pagu kegiatan pada jenis belanja tertentu yang tidak sesuai dengan klasifikasi
belanja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005
tentang Standar Akuntansi Pemerintah, DIPA tetap diproses dengan dengan
catatan diadakan pemblokiran atau tanda bintang(*) sampai adanya penetapan
lebih lanjut dari Direktur Jenderal Perbendaharaan. Kepala Kanwil DJPb agar
melaporkan temuan penelaahan tersebut kepada Direktur Jenderal
Perbendaharaan untuk diproses lebih lanjut. Sebagai contoh : adanya
pembangunan gedung kantor, pengadaan alat berat yang seharusnya

37
dicantumkan pada belanja modal, tetapi pada SRAA maupun pada peraturan
presiden tentang rincian APBN dicantumkan pada belanja barang.
5) Keterlambatan penyampaian konsep DIPA.
Dalam hal kementerian negara/lembaga/satuan kerja terlambat menyampaikan
konsep DIPA, maka diterbitkan DIPA Sementara dengan tata cara sebagai berikut :
a) Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan menyusun
Konsep DIPA Sementara dan mengesahkan DIPA Sementara berdasarkan
Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat;
b) Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan menyusun
Konsep DIPA Sementara dan mengesahkan DIPA Sementara berdasarkan
SRAA;
c) DIPA Sementara tidak perlu ditandatangani
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
d) Dana yang dapat dicairkan dibatasi untuk
pembayaran gaji pegawai, pengeluaran keperluan sehari-hari perkantoran, daya
dan jasa, dan lauk pauk/bahan makanan. Sedangkan dana untuk jenis
pengeluaran lainnya harus diblokir;
e) Apabila konsep DIPA sudah diterima dari Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran setelah DIPA Sementara diterbitkan, maka
dilakukan penelaahan dan pengesahan revisi pertama DIPA bersangkutan.
6) Petunjuk operasional kegiatan (POK).
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan yang tertuang dalam DIPA, setelah DIPA
disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan/Kepala Kanwil DJPb, setiap satuan
kerja dapat menerbitkan petunjuk operasional kegiatan (POK) sebagai pedoman
pelaksanaan lebih lanjut dari DIPA. Revisi terhadap POK sepanjang tidak mengubah
DIPA dilakukan oleh kepala satuan kerja.

3.5. Revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran


Dalam hal pelaksanaan DIPA satuan kerja/unit organisasi eselon I memerlukan
revisi, maka pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran dapat mengusulkan
pengesahan revisi DIPA kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA pusat
dan kepada Kepala Kanwil DJPb untuk DIPA daerah.
Kewenangan revisi DIPA diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor :
46/PMK.02/2008 tanggal 31 Maret 2008 tentang Tata Cara Perubahan Rincian

38
Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dan Perubahan Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran Tahun 2008 sebagai berikut :
(1) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dapat melakukan Revisi DIPA
dan mengajukan pengesahan Revisi DIPA kepada Direktur Jenderal
Perbendaharaan/ Kepaia Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
(2) Revisi DIPA disahkan oteh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
(3) Revisi DIPA dilaksanakan :
a. Berdasarkan dengan perubahan Satuan Anggaran Per Satuan Kerja
(SAPSK);
Merupakan Revisi DIPA yang dilaksanakan berdasarkan Revisi Rincian
Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (ABPP) yang ditetapkan dengan perubahan
SAPSK yang meliputi:
1) Pergeseran anggaran belanja:
 antarunit organisasi dalam satu bagian anggaran;
 antarkegiatan dalam satu program sepanjang pergeseran
tersebut merupakan hasil optimalisasi; dan/atau
 antarjenis belanja dalam satu kegiatan
2) Perubahan anggaran belanja yang bersumber dari penerimaan
negara bukan pajak (PNBP);
3) Perubahan pagu pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN)
sebagai akibat dari luncuran dan percepatan penarikan PHLN;
4) Perubahan anggaran sepanjang masih dalam satu
provinsi/kabupaten/kota untuk kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka
turgas pernbantuan, atau dalam satu provinsi untuk kegiatan yang
dilaksanakan dalam rangka dekonsentrasi;
5) Perubahan anggaran antarprovinsi/kabupaten/kota untuk
kegiatan operasional yang dilaksanakan oleh unit organisasi di tingkat pusat
maupun oleh instansi vertikalnya di daerah;
6) Pencairan blokir/tanda bintang (") yang dicantumkan oleh
Direktur Jenderal Anggaran; dan

39
7) Perubahan pagu pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN)
sebagai akibat perubahan kurs sepanjang perubahan tersebut terjadi setelah
kontrak ditandatangani.

b. Berdasarkan Revisi Rincian ABPP yang ditetapkan tanpa


perubahan SAPSK. Merupakan Revisi DIPA yang dilaksanakan berdasarkan
Revisi Rincian ABPP yang ditetapkan tanpa perubahan SAPSK yang meliputi:
1) Perubahan/ralat karena kesalahan administrasi,
2) Perubahan kantor bayar (KPPN);
3) Perubahan anggaran antarprovinsi/kabupaten/kota untuk
kegiatan operasional yang dilaksanakan oleh unit organibasi di tingkat, pusat
maupun oleh instansi vertikalnya di daerah sepanjang digunakan untuk kode
akun (MAK) yang sama;.
4) Perubahan alokasi dana antarsubkegiatah, termasuk
menambah subkegiatan baru dalam satu kegiatan, satu program, satu jenis
belanja dan satu satker sepanjang sasaran program dan/atau volume
keluaran kegiatan/subkegiatan telah dicapai dan tidak mengurangi alokasi
dana belanja mengikat;
5) Perubahan volume keluaran pada subkegiatan sepanjang
sasaran program dan volume keluaran kegiatan telah dicapai tanpa
mengubah alokasi dana pada kegiatan, program, jenis belanja dan satker;
6) Pencairan dana yang diblokir/bertanda bintang (-) sepanjang
dicantumkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, apabila persyaratan telah
dipenuhi;
7) Penggunaan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP di
atas pagu APBN untuk perguruan tinggi non Badan Hukum Milik Negara (PT
non BHMN).

Revisi Rincian ABPP yang ditetapkan tanpa perubahan SAPSK dilaksanakan


dengan tetap tidak mengakibatkan:
1) Pengurangan terhadap :
 alokasi belanja rnengikat (kegiatan 0001 dan 0002) kecuali dalam rangka
memenuhi kegiatan operasional;

40
Yang dimaksud dengan kegiatan operasional merupakan kegiatan yang
didanai dari belanja pegawai mengikat dan belanja barang mengikat
dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.
 alokasi dana untuk pembayaran berbagai tunggakan;
 Rupiah Murni Pendamping PHLN;
 alokasi dana kegiatan. yang bersifat multiyears; dan
 alokasi dana pada rincian Kelornpok Pengeluaran/Subkegiatan/ Kegiatan
yang telah dikontrakkan,dan/atau direalisasikan dananya sehingga
menjadi minus.

2) Penggunaan dana hasil optimalisasi tidak sesuai dengan


ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 80/PMK.05/2007 antara lain pengadaan kendaraan
operasional, pembangunan gedung kantor, dan pembayaran honor-honor.

c. Revisi dapat dilaksanakan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna


Anggaran Satuan Kerja dengan ketentuan :
1) tidak mengakibatkan perubahan DIPA;
2) tidak mengurangi belanja gaji dan tunjangan ilainnya yang
melekat pada gaji,
3) tidak rnengurangi/merelokasi belanja mengikat; dan
4) masih dalam kelompok pengeluaran yang sama.
Revisi yang dilaksanakan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
Satuan Kerja dilakukan dengan mengubah Petunjuk Operasional Kegiatan dan
dokumen RKAKL berkenaan, dan selanjutnya menyampaikan arsip data
komputer (ADK) perubahan RKAKL dimaksud kepada Direktur Pelaksanaan
Anggaran/Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan setempat untuk dilakukan
pemutakhiran data DIPA sedangkan tembusan disampaikan kepada KPPN
bersangkutan.

(4) Pengesahan Revisi DIPA diatur sebagai berikut :


a. Revisi DIPA untuk DIPA satker Pusat yang berlokasi di DKI Jakarta, disahkan
oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan;
b. Revisi DIPA untuk
1) DIPA satker pusat yang berlokasi di daerah (diluar DKI Jakarta);
2) DIPA satker vertikal;

41
3) DIPA Dekonsentrasi; dan
4) DIPA Tugas Pembantuan
Baik untuk DIPA yang awalnya disahkan di pusat ataupun di daerah,
disahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan.
c. Dalam pengesahan revisi tidak diperbolehkan mengurangi pagu
dana Kelompok Pengeluaran/Subkegiatan/Kegiatan pada DIPA yang telah
dikontrakkan dan/atau direalisasikan pencairan dananya.
d. Batas waktu pengesahan Revisi DIPA paling lama S (lima) hari
kerja setelah usulan pengesahan revisi serta data pendukung diterima secara
lengkap.
5) Penyampaian Revisi DIPA yang telah disahkan diatur
sebagai berikut:
a. Revisi DIPA untuk DIPA satker Pusat yang berlokasi di DKI
Jakarta, disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan disampaikan kepada
satker yang bersangkutan dan KPPN terkait beserta ADK dan tembusan kepada:
1) Menteri/Ketua Lembaga;
2) Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
3) Gubernur Propinsi;
4) Direktur Jenderal Anggaran;
5) Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Akuntansi dan Pelaporan
Keuangan, Ditjen Perbendaharaan; dan
6) Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan terkait beserta ADK.

b. Revisi DIPA untuk satker pusat yang berlokasi di daerah (diluar


DKI Jakarta), satker vertikal, tugas pembantuan dan dekonsentrasi disampaikan
kepada satker yang bersangkutan dan KPPN terkait beserta ADK dan tembusan
kepada :
1) Menteri/Ketua Lembaga;
2) Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
3) Gubernur Propinsi; r

4) Direktur Jenderal Anggaran;


5) Direktur Jenderal Perbendahaaraan:
a. Direktur Pelaksanaan Anggaran Ditjen Perbendaharan beserta ADK; dan
b. Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Ditjen Perbendaharaan

42
Revisi DIPA yang disahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q.
Direktur Pelaksanaan Anggaran setiap bulan beserta seluruh ADK baik yang
dilaporkan revisinya maupun yang tidak direvisi. Dalam rangka memperoleh data
yang akurat, Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan,
dan Satuan Kerja melakukan pemutakhiran data anggaran berdasarkan revisi DIPA
yang telah disahkan.
6) Revisi Rincian ABPP yang memerlukan persetujuan DPR-
Rl diajukan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran untuk
selanjutnya dimintakan persetujuan DPR-Rl.
7) Batas akhir pengajuan Revisi Rincian ABPP untuk APBN
maupun APBN-P adalah tanggal 31 Cktober 2008, sedangkan untuk satker PT Non
BHMN pengajuan dan penetapan Revisi Rincian ABPP adalah tanggal 31 Desember
2008.
8) Ketentuan mengenai tata cara Revisi DIPA untuk satker
BLU diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

3.6. Aplikasi DIPA

Setelah menyusun RKA-KL dan pagu sudah ditetapkan, maka tiap satker menyusun
DIPA satker. Penyusunan DIPA ini sama menggunakan Aplikasi RKA-KL dengan masuk
ke penyusunan DIPA. Petunjuk aplikasi RKA-KL/DIPA ini bisa dipelajari pada lampiran
modul ini.

3.7. Latihan
1. Jelaskan pengertian daftar isian pelaksanaan anggaran sehubungan dengan
pembagian kewenangan antara pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
dengan bendahara umum negara, dan mengapa dokumen pelaksanaan anggaran
yang disusun oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna itu masih harus disahkan
oleh bendahara umum negara.
2. Sebutkan informasi apa saja yang termuat dalam daftar isian pelaksanaan anggaran
dan siapakah yang berhak menandatangani daftar dimaksud, jelaskan.

43
3. Jelaskan dan berikan contoh bahwa dalam penyusunan daftar isian pelaksanaan
anggaran pada kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga terdapat
keterkaitan perumusan program, kegiatan, indikator hasil dan keluarnya.
4. Jelaskan, hal-hal apa saja yang harus diperhatikan dalam mencantumkan
pinjaman/hibah luar negeri pada penyusunan DIPA, agar tidak terjadi kesalahan
pembayaran.
5. Jelaskan, mengapa dalam penyusunan DIPA untuk belanja pegawai dan belanja
barang harus memperhatikan unsur-unsur yang terikat dan tidak terikat dengan
tugas pokok dan fungsi kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga.
6. Jelaskan pengertian dan tujuan penelaahan konsep DIPA oleh Ditjen
Perbendaharaan maupun oleh Kantor Wilayah Ditjen PBN.
7. Jelaskan persyaratan pengesahan terhadap revisi DIPA yang diajukan oleh satuan
kerja kementerian negara/lembaga itu dapat langsung diputuskan oleh Direktur
Jenderal Perbendaharaan maupun oleh Kepala Kanwil Ditjen PBN.
8. Jelaskan persyaratan pengesahan terhadap revisi DIPA yang diajukan oleh satuan
kerja kementerian negara/lembaga itu sebelum dapat langsung diputuskan oleh
Direktur Jenderal Perbendaharaan maupun oleh Kepala Kanwil Ditjen PBN harus
terlebih dahulu mendapat persetujuan prinsip dari Direktur Jenderal Anggaran.

3.8. Rangkuman
Dalam pelaksanaan anggaran, Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna
anggaran mempunyai kewenangan dan bertanggunjawab atas penyusunan kegiatan
dan perhitungan biaya yang tertuang dalam dokumen pelaksanaan anggaran.
Kewenangan dan tanggungjawab tersebut dilimpahkan kepada kepala satker pusat/unit
pelaksana teknis/satker khusus/satker non vertikal tertentu/satker sementara, dan
dikuasakan kepada gubernur untuk menunjuk satker perangkat daerah selaku kuasa
pengguna anggaran.

44
Satker kementerian negara/lembaga tersebut menyusun dokumen pelaksanaan
anggaran mengacu kepada rencana kerja dan anggaran (RKA-KL) dan peraturan
presiden tentang rincian APBN. Hasil penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran
tersebut disebut konsep DIPA yang memuat uraian sasaran yang akan dicapai, fungsi,
program, dan rincian kegiatan, rencana penarikan dana setiap bulan dalam satu tahun
serta pendapatan yang diperkirakan.
Konsep DIPA diajukan kepada Direktur Jendaral Perbendaharaan atau kepada
Kepala Kanwil Ditjen PBN untuk memperoleh pengesahan. Sebelum melakukan
pengesahan Konsep DIPA tersebut, Dirjen PBN dan Kanwil Ditjen PBn mengadakan
penelaahan terhadap konsep DIPA, apakah telah sesuai dengan peraturan presiden
tentang rincian APBN dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Apabila telah
selesai kemudian Direktur Jendaral Perbendaharaan atau kepada Kepala Kanwil Ditjen
PBN menerbitkan SP DIPA. SP DIPA dan konsep DIPA tersebut menjadi satu kesatuan
yang tidak terpisahkan disebut DIPA.
Apabila dalam pelaksanaan DIPA terdapat hal-hal yang mengharuskan adanya
perubahan isi yang tercantum dalam DIPA, maka satker kementerian negara/lembaga
dapat mengajukan revisi DIPA kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala
Kanwil Ditjen PBN untuk memperoleh pengesahannya. Mengenai pengesahan revisi
DIPA ini ada yang langsung diputuskan oleh Direktur Jendaral Perbendaharaan atau
kepada Kepala Kanwil Ditjen PBN, namun ada yang harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan prinsip dari Direktur Jenderal Anggaran sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.

4. KEGIATAN BELAJAR (KB) 3 : MEKANISME PENDAPATAN NEGARA

4.1. Definisi Pendapatan Negara


Menurut pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 di disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang
diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Dari pengertian tersebut berarti bahwa
pemerintah pusat mempunyai berbagai hak, yang salah satu hak pemerintah pusat
adalah menggali sumber-sumber penerimaan bagi negara untuk membiayai berbagai

45
belanja/pengeluaran negara yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan.
Wujud pendapatan negara (government revenue) berupa uang (cash) sebagai
penerimaan negara, yang menurut pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 17 tahun
2003 diberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah
uang yang masuk ke kas negara. Dikatakan masuk ke kas negara mengandung makna
tercatat dalam akuntansi/pembukuan kas negara atau kas umum negara. Dengan
demikian pendapatan negara adalah semua penerimaan kas negara/kas umum negara
(uang pemerintah pusat) dari berbagai sumber yang sah, yang menambah ekuitas dana
dalam periode satu tahun anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah pusat.
Menurut Suparmoko (1997) bahwa penerimaan pemerintah dalam arti yang
seluas-luasnya meliputi penerimaan pajak, penerimaan yang diperoleh dari hasil
penjualan barang dan jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah, pinjaman
pemerintah, mencetak uang dan sebagainya. Dari berbagai sumber tersebut, pajak-
pajak merupakan sumber utama sedangkan pinjaman merupakan pembiayaan alternatif
yang baru diambil bilamana anggaran negara tidak sanggup ditutupi dari pajak dan
sumber lainnya, sedangkan sumber dari percetakan uang biasanya baru dilakukan
manakala negara sangat terdesak.
Dalam sistem APBN, pendapatan/penerimaan negara mempunyai dua fungsi
yaitu fungsi anggaran (budgetair) dalam arti bahwa pendapatan/ penerimaan negara
sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya
dan fungsi mengatur (reguler) dalam arti bahwa pendapatan/penerimaan negara
sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang
sosial dan ekonomi.
Oleh karena itu, setiap pemungutan pendapatan/penerimaan negara oleh
pemerintah pusat maupun daerah selayaknya tidak menimbulkan hambatan atau
perlawanan dari masyarakat, maka setiap pungutan pendapatan/penerimaan negara
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
(1) Pemungutan pendapatan/penerimaan negara berdasarkan
keadilan yaitu sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan. Adil dalam
perundang-undangan diantaranya mengenakan pemungutan secara umum dan
merata serta pelaksanaan pemungutan pendapatan/penerimaan negara tidak
membeda-bedakan.

46
(2) Pemungutan pendapatan/penerimaan negara harus
berdasarkan undang-undang.
(3) pemungutan pendapatan/penerimaan negara tidak menggangu
perekonomian.
(4) pemungutan pendapatan/penerimaan negara tidak boleh
menggangu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak
menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
(5) pemungutan pendapatan/penerimaan negara harus efisien yaitu
sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pendapatan/penerimaan negara harus
dapat ditekan lebih rendah dari hasil pemungutannya.
(6) Sistem pemungutan pendapatan/penerimaan negara harus
sederhana yaitu akan memudahkan dan mendorong masyarakat (perorangan atau
badan) dalam memenuhi kewajiban tersebut.
Menurut Undang - Undang nomor 18 tahun 2006 tentang APBN tahun 2007 di
pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa yang dimaksud pendapatan negara dan hibah
adalah semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan,
penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar
negeri.
Menurut Keputusan Presiden nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan APBN sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden nomor 72
tahun 2004 di pasal 2 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
pendapatan negara yaitu semua penerimaan yang berasal dari penerimaan perpajakan,
penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar
negeri selama tahun anggaran yang bersangkutan. Pada ayat (2) pasal yang sama
disebutkan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui
rekening kas negara pada bank sentral dan atau lembaga keuangan lainnya yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

4.2. Jenis-Jenis Penerimaan Negara


Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tanggal 19
Oktober 2006 tentang Modul Penerimaan Negara, Penerimaan Negara terdiri dari
Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Penerimaan Hibah,

47
Penerimaan Pengembalian Belanja, Penerimaan Pembiayaan, dan Penerimaan
Perhitungan Fihak Ketiga.

(1) Penerimaan Perpajakan.


Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri dari
penerimaan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Yang
dimaksud pajak dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari
pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang/jasa dan pajak penjualan atas
barang mewah, pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan, cukai dan pajak lainnya. Sedangkan pajak perdagangan internasional
adalah semua penerimaan negara yang berasal dari bea masuk dan
pajak/pungutan ekspor.

Pada prinsipnya, penerimaan uang negara yang berasal dari pungutan pajak-pajak
negara wajib disetorkan oleh wajib pajak dan atau wajib pungut pajak ke rekening
kas negara pada bank pemerintah atau lembaga lain yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan. Orang atau badan yang melakukan pemungutan pajak atau
penerimaan uang negara wajib menyetorkan seluruh penerimaan dalam batas
waktu satu hari kerja setelah penerimaannya ke rekening kas negara.

Sehubungan dengan intensifikasi penerimaan pajak negara, maka setiap instansi


pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara/badan usaha milik
daerah dan badan-badan lain yang melakukan pembayaran atas beban
APBN/APBD/anggaran BUMN/BUMD, ditetapkan sebagai wajib pungut pajak
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu,
setiap bendahara, instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan
badan-badan lain sebagai wajib pungut pajak, wajib menyetorkan seluruh
penerimaan pajak yang dipungutnya dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu
hari kerja setelah uang pajak diterimanya.

(2) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).


Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat
yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan, antara lain sumber daya alam,
bagian pemerintah atas laba BUMN, serta penerimaan negara bukan pajak
lainnya.
Setiap anggaran kementerian negara/lembaga pada dasarnya mempunyai
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang bersifat umum tidak berasal dari

48
pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, antara lain seperti penerimaan hasil
penjualan barang inventaris kantor yang tidak digunakan lagi, penerimaan hasil
penyewaan barang milik negara, hasil penyimpanan uang negara pada bank
pemerintah atas jasa giro, penerimaan kembali uang persekot gaji/tunjangan,
penerimaan umum tersebut masih ada lagi PNBP yang bersifat fungsional yaitu
penerimaan yang berasal dari hasil hasil pungutan kementerian negara/lembaga
atas jasa yang diberikan sehubungan dengan tugas pokok dan fungsinya dalam
melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Penerimaan funsional
tersebut terdapat pada sebagian besar kementerian negara/lembaga, namun
macam dan ragamnya berbeda antara satu kementerian negara/lembaga dengan
kementerian negara/lembaga lainnya, tergantung kepada jasa pelayanan yang
diberikan oleh masing-masing kementerian negara/lembaga.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak disebutkan bahwa kelompok PNBP, meliputi jenis - jenis penerimaan
sebagai berikut :
a. Penerimaan yang bersumbet dari pengelolaan dana pemerintah.
b. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam.
c. Penerimaan dari hasil-hasil kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah.
d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah.
e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari
pengenaan denda administrasi.
f. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah.
g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang - undang tersendiri.

Dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP disebutkan


bahwa seluruh PNBP dikelola dalam sistem APBN. Hal ini berarti bahwa
pendapatan negara yang berasal dari PNBP dikemukakan oleh pemerintah kepada
DPR dalam rangka pembahasan dan penyususn rancangan undang-undang
APBN. Selain itu, seluruh penerimaan PNBP wajib langsung secepatnya ke kas
negara, serupa dengan perpajakan. Jadi seluruh penerimaan PNBP yang disetor
ke kas negara berarti telah dibukukan pada setiap saat dalam satu tahun anggaran
serta dipertanggungjawabkan oleh pemerintah kepada DPR dalam laporan
keuangan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.

49
Pada prinsipnya, seluruh jenis dan penyetoran PNBP diatur dengan undang-
undang. Namun, apabila undang-undang belum menunjuk instansi pemerintah
untuk menagih dan atau memungut PNBP terhutang, maka Menteri Keuangan
dapat menunjuk instansi pemerintah untuk tujuan dimaksud. Instansi pemerintah
yang ditunjuk tersebut wajib menyampaikan kepada Menteri Keuangan secara
tertulis dan berkala, yaitu rencana PNBP sekurang - kurangnya satu kali dalam
satu tahun anggaran dan laporan realisasi PNBP sekurang-kurangnya dua kali
dalam satu tahun anggaran.

Ketentuan tentang tatacara penyampaian laporan realisasi PNBP diatur dalam


pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 yang menyebutkan
bahwa Satuan kerja selaku Kuasa Pengguna Anggaran wajib menyampaikan
pertanggungjawaban penerimaan negara dalam bentuk Laporan Realisasi
Anggaran yang dihasilkan melalui Sistem Akunatnsi Instansi.

(3) Penerimaan Hibah.


Penerimaan Hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari
sumbangan swasta dalam negeri serta sumbangan lembaga swasta dan
pemerintah luar negeri yang menjadi hak pemerintah.

Penerimaan hibah dapat berupa uang, barang maupun jasa termasuk tenaga ahli
atau pelatihan. Sumbangan mengandung arti bahwa hibah tidak perlu dibayar
kembali kepada pemberi hibah. Penerimaan hibah dalam bentuk uang dapat
berupa rupiah, devisa atau surat berharga. Penerimaan hibah dalam bentuk
barang dapat berupa barang bergerak seperti perlatan dan mesin dan barang tidak
bergerak seperti gedung dan bangunan. Penerimaan hibah dalam bentuk jasa
dapat berupa bantuan teknis, pendidikan, pelatihan dan jasa lainnya.
Penarikan hibah luar negeri antara yang satu dengan hibah luar negeri lainnya
tidak sama, karena setiap penarikan sangat tergantung dari naskah perjanjian
hibah luar negeri yang ditandatangani oleh pemerintah pusat dan negara/badan
pemberi hibah.
Dalam naskah perjanjian hibah luar negeri biasanya diatur antara lain mengenai
jumlah hibah yang diberikan, prosedur pengadaan barang/jasa memakai local
competitive bidding atau international competitive bidding, tata cara penarikan
hibah dan persyaratannya, tanggal efektif hibah, batas waktu closing date dan
lainnya.

50
(4) Penerimaan Pengembalian Belanja.

Penerimaan Pengembalian Belanja adalah seluruh penerimaan negara yang


berasal dari pengembalian belanja tahun anggaran berjalan.

Penerimaan pengembalian belanja ini dapat terjadi karena kelebihan pembayaran


atas belanja yang dibebankan kepada negara yang diakibatkan
kesalahan/kelalaian bendahara pengeluaran dalam melakukan pembayaran
maupun dalam melakukan pembebanan MAK sehingga atas kelebihan
pembayaran tersebut harus disetor ke kas negara. Penerimaan pengembalian
belanja dapat berupa :

a. Penerimaan pengembalian belanja pegawai, seperti :

 pengembalian belanja gaji pokok PNS,

 pengembalian belanja tunjangan anak,

 pengembalian belanja tunjangan beras,

 pengembalian belanja honorarium,

 pengembalian lembur dll.

b. Penerimaan pengembalian belanja barang, seperti :

 pengembalian belanja perjalanan dinas,

 pengembalian belanja barang inventaris,

 pengembalian belanja sewa,

 pengembalian belanja pemeliharaan gedung dan bangunan, dll.

c. Penerimaan pengembalian belanja modal, misalnya :

 pengembalian belanja modal tanah,

 pengembalian belanja modal peralatan dan mesin,

 pengembalian belanja modal gedung,

 pengembalian belanja modal jalan/jembatan, dll

d. Penerimaan pengembalian belanja tahun yang lalu, misalnya :

 pengembalian belanja pegawai Pusat tahun yang lalu,

51
 pengembalian belanja lainnya tahun yang lalu (RM),

 pengembalian belanja pensiun tahun yang lalu, dll.

(5) Penerimaan Pembiayaan.

Penerimaan Pembiayaan adalah semua penerimaan negara yang digunakan untuk


menutup defisit anggaran negara dalam APBN, antara lain berasal dari
penerimaan pinjaman dan hasil devestasi. Contoh penerimaan pembiayaan antara
lain :

 Penerimaan Pinjaman/Kredit Jangka Pendek dan Uang Muka dari Sektor


Perbankan,

 Penerimaan Sisa Anggaran Lebih (SAL),

 Penerimaan Hasil Privatisasi,

 Penerimaan Hasil Penjualan Aset Program Restrukturisasi,

 Penerimaan Surat Utang Negara/Obligasi dalam/luar negeri.

(6) Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga

Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga adalah semua penerimaan negara yang


berasal dari potongan penghasilan pegawai negeri sipil serta setoran subsidi dan
iuran pemerintah daerah dalam rangka penyelengaraan asuransi kesehatan,
contoh :
a. Penerimaan Setoran/Potongan PFK 10% Gaji PNS Pusat/Daerah,
b. Penerimaan Setoran/Potongan PFK 10% Gaji Polri/TNI dan PNS Polri/TNI,
c. Penerimaan Setoran/Potongan PFK 2% Pembayaran Gaji Terusan PNS
Pusat/Daerah,
d. Penerimaan Setoran/Potongan PFK Bulog PNS Pusat/Daerah,
e. Penerimaan Setoran PFK 2 % Iuran Asuransi Kesehatan Propinsi/Kab/ Kota,
f. Penerimaan Setoran Potongan PFK Tabungan Wajib Perumahan PNS
Pusat/Daerah.

4.3. Penatausahaan Pendapatan/Penerimaan Negara

52
Dalam rangka melaksanakan tugas kebendaharaan dalam pelaksanaan
anggaran pendapatan pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian
negara/lembaga, Menteri/pimpinan lembaga setiap awal tahun anggaran mengangkat
Bendahara Penerima. Tugas kebendaharaan tersebut meliputi kegiatan menerima,
menyimpan, menyetor, menatausahakan dan mempertanggungjawabkan penerimaan
negara bukan pajak yang berada dalam pengelolaannya. Untuk melaksanakan tugas
tersebut Menteri/pimpinan lembaga dapat membuka Rekening Penerimaan pada Bank
Umum/Kantor Pos setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Keuangan selaku
BUN.
Dalam melaksanakan tugasnya, Bendahara Penerima dapat dibantu oleh
sekretariat/anggota yang jumlahnya maksimum 5 orang dan sesuai pasal 10 ayat 4
Undang-Undang No. 1 tahun 2004 jabatan Bendahara Penerimaan ini tidak boleh
dirangkap oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau Kuasa BUN. Sesuai pasal 4 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 99 tahun 2006 dinyatakan bahwa kementerian
negara/lembaga mencantumkan seluruh estimasi pendapatan ke dalam DIPA satuan
kerja kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. DIPA tersebut atau dokumen
pelaksanaan anggaran lainnya yang dipersamakan dengan DIPA merupakan dokumen
sumber untuk mencatat estimasi pendapatan.
Bendahara Penerima wajib menyetor penerimaan negara setiap akhir kerja ke
kas negara dan wajib mengirim Rekening Koran bulan/Laporan Realisasi Penerimaan
ke KPPN. Dalam hal penerimaan negara diterima pada hari libur dan/atau di daerah
tersebut tidak terdapat Bank Persepsi/Devisa Persepsi/Pos Persepsi, maka Bendahara
Penerima menyetor penerimaan tersebut selambat-lambatnya pada hari kerja
berikutnya. Yang dimaksud dengan Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan untuk penerima setoran penerimaan negara bukan dalam
rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan penerimaan
bukan pajak. Bank Devisa Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara dalam rangka ekspor dan impor.
Sedangkan Pos Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
menerima setoran penerimaan negara.
Khusus untuk PNBP dikenal adanya pengecualian dalam pengelolaannya. Suatu
instansi yang mempunyai PNBP fungsional dapat menggunakan sebagian PNBP
tersebut untuk membiayai operasional Satker tersebut setelah mendapat izin dari
Menteri Keuangan.

53
Dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP disebutkan
bahwa sebagian dana dari suatu jenis PNBP dapat digunakan untuk kegiatan tertentu
yang berkaitan dengan dengan jenis PNBP tersebut oleh instansi yang bersangkutan.
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kepastian alokasi pembiayaan
kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP. Dana yang dapat dialokasikan
adalah dana dari jenis PNBP yang berkaitan dengan kegiatan tertentu tersebut. Dana
dari pengalokasian hanya dapat digunakan oleh instansi atau unit yang menghasilkan
PNBP bersangkutan. Penggunaan PNBP dilakukan secara selektif dan PNBPnya telah
disetorkan ke kas negara serta pengalokasian dana telah tertuang di dalam DIPA.
Kegiatan tertentu yang dapat dibiayai dari PNBP, meliputi kegiatan :
a. Penelitian dan pengembangan teknologi, antara lain meliputi kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang pertanian dan pertambangan;
b. Pelayana kesehatan, antara lain meliputi kegiatan pelayanan rumah sakit
dan balai pengobatan;
c. Pendidikan dan pelatihan, antara lain meliputi kegiatan perguruan tinggi
dan balai latihan keja;
d. Penegakan hukum, antara lain kegiatan dalam rangka pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan hukum, serta pemberian hak atas
kekayaan intelektual;
e. Pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu, antara lain
kegiatan pemberian jasa konsultasi, jasa analisis, uji mutu dan pemantauan
lingkungan, pembuatan hujan buatan, uji pencemaran radiasi pada makanan;
f. Pelestarian sumber daya alam, antara lain meliputi kegiatan usaha
pelestarian sumber daya kehutanan dan perikanan.
Sistem pemungutan PNBP mempunyai ciri dan corak tersendiri dan dapat dibagi
dalam dua kelompok sehubungan dengan penentuan jumlah PNBP yang terhutang,
yaitu ditetapkan oleh instansi pemerintah atau dihitung sendiri oleh wajib bayar. Untuk
jenis PNBP yang menjadi terhutang sebelum wajib bayar menerima manfaat atas
kegiatan pemerintah, seperti pemberian hak paten, pelayanan pendidikan, maka
penentuan jumlah PNBP yang terhutang dalam hal ini ditetapkan oleh instansi
pemerintah. Namun, dalam hal wajib bayar menjadi terhutang setelah menerima
manfaat, seperti pemanfaatan sumber daya alam, maka penentuan jumlah PNBP yang
terhutang dapat dipercayakan kepada wajib bayar yang bersangkutan untuk menghitung
sendiri dalam rangka membayar dan melaporkan sendiri (self assessment).

54
Penatausahaan PNBP pada saat ini memasuki babak baru, yaitu dengan dikenal
nya instansi pemerintah yang mengelola PNBP dengan cara Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (PK BLU) sesuai dengan pasal 68 dan 69 Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2004. Pengaturan lebih lanjut mengenai BLU terdapat pada Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum. Dalam PP
tersebut dinyatakan bahwa BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau
jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Ada 3 (tiga) rumpun instansi pemerintah yang dapat melaksanakan PK BLU,
yaitu yang menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan:
a. Penyedia barang dan/atau jasa layanan umum;
b. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan
perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau
c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau
pelayanan kepada masyarakat.
Dalam rangka pelayanan kepada masyarakat, satker yang menerapkan
Pengelolaan Keuangan BLU (PK BLU) diberikan fleksibilitas dalam pengelolaan
keuangan berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat
dalam mengelola sumber daya serta keuangannya untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat.
Satker yang menerapkan PK BLU dapat menggunakan langsung pendapatannya
tanpa harus disetor terlebih ke Kas Negara, dapat mengadakan perjanjian utang
piutang, dapat mengadakan kerjasama operasional dengan pihak lain dan dapat
menggunakan surplus untuk tahun berikutnya, sedangkan bila defisit dapat dimintakan
dari APBN, pegawai dapat dari PNS atau non PNS, Remunerasi sesuai tanggung jawab
dan profesionalitas.
Saat ini implementasi Pengelolaan Keuangan BLU di Kementerian Negara/
Lembaga sudah demikian pesat, hal ini mengisyaratkan bahwa konsep PK BLU
merupakan suatu terobosan baru yang diminati oleh Kementerian Negara/Lembaga.
Dengan konsep PK BLU ini diharapkan dapat memecahkan permasalahan yang terkait
dengan pengelolaan PNBP dan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Sedangkan terhadap penerimaan negara yang sesuai ketentuan harus disetor ke
rekening kas negara, tata cara penyetoran penerimaan negara yang dapat dilakukan

55
Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor/Bendahara Penerimaan sesuai Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-78/PB/2006 tentang Penatausahaan
Penerimaan Negara, yaitu dapat dilakukan setiap saat melalui Bank/Pos yang terhubung
dengan MPN. MPN adalah modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur
mulai dari penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran,
sampai dengan pelaporan yang berhubungan dengan penerimaan negara dan
merupakan bagian dari Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara.
Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor/
Bendahara Penerimaan diakui sebagai pelunasan kewajiban sesuai dengan tanggal
pembayaran. Tata cara pembayaran/penyetoran dilakukan sebagai berikut :
a. Pembayaran melalui loket/teller Bank/Pos
1) Mengisi formulir bukti setoran dengan data yang lengkap, benar, dan jelas dalam
rangkap 4 (empat);
2) Menyerahkan formulir bukti setoran kepada petugas Bank/Pos dengan
menyertakan uang setoran sebesar nilai yang tersebut dalam formulir yang
bersangkutan;
3) Menerima kembali formulir bukti setoran lembar ke-1 dan lembar ke-3, yang
telah diberi NTPN dan NTB/NTP serta dibubuhi tanda tangan/ paraf, nama
pejabat Bank/Pos, cap Bank/Pos, tanggal, dan waktu/jam setor sebagai bukti
setor;
4) Menyampaikan bukti setoran kepada unit terkait.

b. Pembayaran melalui electronic banking (e-banking)


1) Melakukan pendaftaran pada sistem registrasi pembayaran via internet di
www.djpbn.depkeu.go.id;
2) Mengisi data setoran dengan lengkap dan benar untuk mendapatkan Nomor
Register Pembayaran (NRP). Masa berlaku NRP sampai dengan jangka waktu
yang ditetapkan;
3) Untuk tagihan yang ditetapkan instansi pemerintah, pendaftaran dilakukan oleh
instansi terkait dan NRP tercantum pada surat tagihan dimaksud;
4) Melakukan pembayaran dengan menggunakan NRP;
5) Menerima NTPN sebagai bukti pengesahan setelah pembayaran dilakukan;
6) mencetak BPN melalui sistem registrasi pembayaran atau di Bank dengan
menunjukkan NTPN/NTB;
7) menyampaikan BPN kepada unit terkait.

56
Dokumen yang harus ditatausahakan oleh Bendahara Penerima pada
penatausahaan pendapatan negara pada kantor/satuan kerja di lingkungan
kementerian/lembaga adalah dokumen sumber penerimaan. Sesuai Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-78/PB/2006, yang dimaksud dengan dokumen
sumber penerimaan yang selanjutnya disebut dokumen sumber adalah dokumen yang
digunakan sebagai dasar pencatatan penerimaan negara.
Seluruh dokumen sumber penerimaan negara dinyatakan sah setelah mendapat
Nomor transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB)/Nomor
Transaksi Pos (NTP)/Nomor Penerimaan Potongan (NPP). NTPN adalah nomor yang
tertera pada bukti penerimaan negara yang diterbitkan melalui MPN.
NTB adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang
diterbitkan oleh Bank. NTP adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara
yang diterbitkan oleh Kantor Pos. NPP adalah nomor bukti transaksi penerimaan negara
yang berasal dari potongan SPM yang diterbitkan oleh KPPN. KPPN mengesahkan data
penerimaan yang berasal dari potongan SPM yang sudah diterbitkan SP2D untuk
mendapatkan NTPN paling lambat setiap akhir hari kerja.
Dalam hal terjadi gangguan jaringan komunikasi antara Kantor Pusat Bank/Pos
dengan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan lebih dari 1 (satu) hari, maka
Bank/Pos wajib menerima setoran penerimaan negara dan Mengadministrasikan
penerimaan negara secara off-line dan memberikan NTB/NTP pada dokumen sumber.

Dokumen sumber tersebut antara lain:


(1) Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat setoran atas pembayaran atau penyetoran
pajak yang terutang;
(2) Surat Setoran Pajak Bumi dan Bangunan (SSPBB) adalah surat setoran atas
pembayaran atau penyetoran PBB dari tempat pembayaran ke Bank Persepsi PBB;
(3) Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) adalah surat
setoran atas pembayaran atau penyetoran BPHTB dari tempat pembayaran ke Bank
Persepsi BPHTB;
(4) Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam Rangka Impor (SSPCP) adalah
surat setoran atas penerimaan negara dalam rangka impor berupa bea masuk, bea
masuk berasal dari SPM Hibah, denda administrasi, penerimaan pabean lainnya,
cukai, penerimaan cukai lainnya, jasa pekerjaan, bunga, dan PPh Pasal 22 Impor,
PPN Impor, serta PPnBM Impor;

57
(5) Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri (SSCP) adalah surat setoran atas
penerimaan negara atas Barang Kena Cukai Buatan Dalam Negeri berupa cukai
hasil tembakau, cukai etil alkohol, cukai minuman mengandung etil alkohol, denda
administrasi penerimaan cukai lainnya, jasa pekerjaan, dan PPN Hasil Tembakau
Buatan Dalam Negeri;
(6) Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) adalah surat setoran atas Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) selain yang dimaksud pada angka 1, 2, 3, 4,dan 5 di atas;
(7) Surat Setoran Pengembalian Belanja (SSPB) adalah surat setoran atas penerimaan
pengembalian belanja tahun anggaran berjalan;
(8) Surat Tanda Bukti Setor (STBS) adalah surat setoran atas pembayaran pungutan
ekspor, kekurangan pungutan ekspor, dan/atau denda administrasi atas transaksi
pungutan ekspor;
(9) Bukti Penerimaan Negara (BPN) adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/Pos
atas transaksi penerimaan negara dengan teraan NTPN dan NTB/ NTP dan
dokumen yang diterbitkan oleh KPPN atas transaksi penerimaan negara yang
berasal dari potongan SPM dengan teraan NTPN dan NPP.

Selanjutnya KPPN menatausahaan penerimaan negara sebagai berikut:


a. Seksi Bendahara Umum/Seksi Persepsi
1) Menerima Laporan Harian Penerimaan (LHP) yang terdiri dari Laporan
Penerimaan dan Pelimpahan, Rekapitulasi Nota Kredit, Daftar Nominatif
Penerimaan(DNP), Arsip Data Komputer (ADK), dan Dokumen Sumber dari
Bank/Pos;
2) Untuk LHP yang tidak dilengkapi NTPN harus disertakan surat
keterangan penyebab terjadi gangguan komunikasi yang menyebabkan
NTPN tidak dapat diperoleh. LHP tersebut dipakai hanya sebagai monitoring
penerimaan dan bukan dipakai sebagai dasar pembukuan;
3) Melakukan loading ADK yang diterima ke dalam sistem rekonsiliasi data
transaksi penerimaan;
4) Meneliti dokumen sumber berikut DNP baik mengenai jumlah uang, jenis
setoran, maupun Mata Anggaran Penerimaan (MAP) dan membubuhkan
paraf pada setiap halaman dan tanda tangan pada lembar terakhir DNP;
5) Apabila terjadi perbedaan antara DNP dengan ADK, KPPN harus
mengembalikan LHP tersebut untuk segera dilakukan perbaikan;

58
6) Mencocokkan data yang tercantum dalam Rekapitulasi Nota Kredit
dengan data yang tercantum dalam setiap DNP dimaksud dan
membubuhkan paraf pada Rekapitulasi Nota Kredit dimaksud;
7) Melakukan download data transaksi harian penerimaan dari Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Perbendaharaan mulai pukul 15.00 sampai pukul 16.00
waktu setempat;
8) Mencocokkan data hasil download dengan ADK dari Bank/Pos
menggunakan sistem aplikasi rekonsiliasi data transaksi penerimaan;
9) Mengirimkan hasil rekonsiliasi data ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Perbendaharaan;
10) Menyampaikan DNP dan surat setoran dan/atau BPN lembar ke-2 Seksi
Bank/Giro Pos/Seksi Bendahara Umum.

b. Seksi Bank/Giro Pos/Seksi Bendahara Umum


1) Melakukan upload data potongan SPM yang sudah diterbitkan SP2D
melalui sistem pengesahan potongan SPM untuk mendapatkan NTPN;
2) Menerbitkan BPN untuk transaksi penerimaan negara yang berasal dari
potongan SPM dengan mencantumkan NTPN dan NPP sebagai bukti
pengesahan penerimaan negara dan menggabungkan dengan surat setoran
masing-masing;
3) Membuat DNP atas penerimaan negara yang berasal dari potonganSPM;
4) Untuk keperluan penyusunan LKP, membukukan penerimaan negara
yang bersumber dari Bank, Pos, dan potongan SPM yang telah mendapatkan
NTPN/NTB, NTPN/NTP, dan NTPN/NPP;
5) Melakukan perbaikan apabila ditemukan kesalahan elemen data dalam
potongan SPM setelah mendapatkan NTPN melalui prosedur reversal.

c. Seksi Verifikasi dan Akuntansi


Memposting penerimaan negara berdasarkan dokumen sumber penerimaan
yang telah mendapatkan NTPN/NTB, NTPN/NTP, dan NTPN/NPP.
4.4. Latihan
1. Uraikan definisi pendapatan/penerimaan negara menurut UU 17 tahun 2003 dan
Suparmoko ! Sebutkan pula fungsi dan syarat pendapatan/penerimaan negara!
2. Uraikan jenis-jenis penerimaan negara, beserta contoh !

59
3. Apa tugas bendahara sehubungan dengan penerimaan negara, serta bagaimana
penatausahaan penerimaan negara yang dilakukan oleh KPPN dan Bendahara ?
4. Kegiatan apa saja yang dapat dibiayai dengan PNBP? Bagaimana pengelolaan
PNBP sehubungan dengan UU 1/2004 dan PP 23/2005? Uraikan dengan Jelas !
5. Bagaimana tata cara pembayaran/penyetoran penerimaan negara dengan sistem
MPN (Modul Penerimaan Negara)?

4.5. Rangkuman
Menurut pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 di
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendapatan negara adalah hak
pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Dari
pengertian tersebut berarti bahwa pemerintah pusat mempunyai berbagai hak,
yang salah satu hak pemerintah pusat adalah menggali sumber-sumber
penerimaan bagi negara untuk membiayai berbagai belanja/pengeluaran
Dalam sistem APBN, pendapatan/penerimaan negara mempunyai dua
fungsi yaitu fungsi anggaran (budgetair) dalam arti bahwa pendapatan/
penerimaan negara sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya dan fungsi mengatur (reguler) dalam arti bahwa
pendapatan/penerimaan negara sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006
tanggal 19 Oktober 2006 tentang Modul Penerimaan Negara, Penerimaan Negara
terdiri dari Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),
Penerimaan Hibah, Penerimaan Pengembalian Belanja, Penerimaan Pembiayaan,
dan Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga.

Dalam rangka melaksanakan tugas kebendaharaan dalam pelaksanaan


anggaran pendapatan pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian
negara/lembaga, Menteri/pimpinan lembaga setiap awal tahun anggaran
mengangkat Bendahara Penerima. Tugas kebendaharaan tersebut meliputi
kegiatan menerima, menyimpan, menyetor, menatausahakan dan
mempertanggungjawabkan penerimaan negara bukan pajak yang berada dalam
pengelolaannya. Bendahara Penerima wajib menyetor penerimaan negara setiap
akhir kerja ke kas negara dan wajib mengirim Rekening Koran bulan/Laporan
Realisasi Penerimaan ke KPPN

60
Penatausahaan PNBP pada saat ini memasuki babak baru, yaitu dengan
dikenal nya instansi pemerintah yang mengelola PNBP dengan cara Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum (PK BLU) Undang-Undang Nomor 1 tahun
2004. BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau
jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-


78/PB/2006 tentang Penatausahaan Penerimaan Negara, yaitu dapat dilakukan
setiap saat melalui Bank/Pos yang terhubung dengan MPN. MPN adalah modul
penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai dari penerimaan,
penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan
pelaporan yang berhubungan dengan penerimaan negara dan merupakan bagian
dari Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara.
Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor/
Bendahara Penerimaan diakui sebagai pelunasan kewajiban sesuai dengan
tanggal pembayaran. Tata cara pembayaran/penyetoran dilakukan sebagai berikut
:
a. Pembayaran melalui loket/teller Bank/Pos
b. Pembayaran melalui electronic banking (e-banking)
Selanjutnya KPPN menatausahaan penerimaan negara sesuai peraturan
yang berlaku. Penatausahaan pada KPPN dilakukan oleh Seksi
a. Seksi Bendahara Umum/Seksi Persepsi
b. Seksi Bank/Giro Pos/Seksi Bendahara Umum
c. Seksi Verifikasi dan Akuntansi.

5. KEGIATAN BELAJAR (KB) 4 : KETENTUAN BELANJA NEGARA

5.1. Belanja Negara

61
Anggaran belanja negara adalah semua pengeluaran negara yang digunakan
untuk membiayai belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah. Belanja
pemerinah pusat dikelompokkan atas belanja pemerintah pusat menurut
organisasi/bagian anggaran, belanja pemerintah pusat menurut fungsi, dan belanja
pemerintah pusat menurut jenis belanja. Belanja untuk daerah adalah semua
pengeluaran untuk membiayai dana perimbangan serta dana otonomi khusus dan
penyesuaian. Dana perimbangan adalah semua pengeluaran Negara yang dialokasikan
kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi, yang terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi
khusus.
Belanja pemerintah pusat menurut organisasi adalah semua pengeluaran negara
yang dialokasikan kepada kementrian negara/lembaga, sesuai dengan program-
program yang akan dijalankan.
Belanja pemerintah pusat menurut fungsi adalah semua pengeluaran Negara
yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi
ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi lingkungan hidup, fungsi perunmahan
dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungs pariwisata dan budaya, fungsi agama,
fungsi pendidikkan, dan fungsi perlindungan sosial.
Belanja pemerintah menurut jenis belanja adalah semua pengeluaran negara
yang digunakan untuk mebiayai belanja pegawai, belanja barang, bealnja modal,
pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
Dalam Peraturan Menteri Keuanga Nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman
Pembayaran Dalam Pelaksanaan APBN di pasal 2 ayat (4) dinyatakan bahwa dalam
rangka pelaksanaan APBN, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPKN)
melaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara secara giral.
Yang dimaksud dengan penerimaan Negara secara giral adalah proses
penerimaan Negara dari sumber-sumber penerimaan ke dalam rekening kas umum
Negara (KUN) yang dilakukan dengan memindahbukukan dana tersebut antar rekening
bank (pasal angka 2); sedangkan yang dimaksud dengan pengeluaran Negara secara
giral adalah proses pembiayaan suatu kegiatan dengan sumber dana dari APBN yang
dilakukan dengan memindahbukukan dana antar rekening bank (pasal 1 angka 3).
Semua pengeluaran negara atas beban rekening kas Negara/kas umum negara
harus melalui transfer dana atau pemindahbukuan dana antar rekening bank, termasuk
membayar tagihan pihak ketiga yang dilakukan oleh kantor/satuan kerja kementrian

62
Negara/lembaga. Dengan demikian, penyaluran dana APBN kepada yang berhak
dilakukan transfer dana atau pemindahbukuan dana langsung dari rekening kas
negara/kas umum negara ke rekening yang berhak pada bank. Pengecualian diberikan
untuk pembelian atau pengadaan barang/jasa keperluan kantor/satuan kerja
kementerian negar/lembaga yang nilainya kecil-kecil sampai dengan Rp 10 juta dapat
dibayar melalui uang persediaan yang dkelola Bendahara Pengeluaran.

5.2. Pejabat yang terkait dengan pengeluaran


5.2.1. Kuasa Pengguna Anggaran
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor Per-66/PB/2005
tentang Mekanisme Pelaksanaan APBN di pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa pada
setiap awal tahun anggaran, Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna anggaran
menunjuk pejabat kuasa pengguna anggaran untuk satuan kerja/satuan kerja sementara
di lingkungan instansi pengguna angggaran bersangkutan dengan surat keputusan.
Selanjutnya di pasal yang sama ayat (2) dinyatakan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga
dapat mendelegasikan kewenangan kepada Kuasa Pengguna Anggaran untuk
menunjuk :
a. Pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang
mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja/penanggungjawab kegiatan/
pembuat komitmen;
b. Pejabat yang diberi kewenangan untuk menguji tagihan kepada
negara dan menandatangani SPM;
c. Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan
dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja.
Dalam hal satuan kerja sementara adalah dinas-dinas daerah, maka
Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA mendelegasikan kewenangan menunjuk pejabat
kuasa PA, pejabat pembuat komitmen, pejabat penerbit SPM dan Bendahara
pengeluaran kepada Gubernur/Bupati/Walikota/Kepala Desa yang ditunjuk sebagai
pelaksana tugas pembantuan.
Dalam menunjuk para pejabat tersebut harus diperhatikan larangan
perangkapan jabatan, sebagai berikut:
a. Pejabat PA/Kuasa PA tidak boleh merangkap pejabat Bendahara
Pengeluaran;

63
b. Pejabat pembuat komitmen, pejabat penguji SPP/penerbit SPM dan
Bendahara pengeluaran tidak boleh saling merangkap;
c. Dalam hal pejabat/pegawai pada satuan kerja tidak memungkinkan
pemisahan fungsi karena jumlah pegawai yang sangat terbatas (pembuat
komitmen, penguji SPP/penerbit SPM dan Bendahara Pengeluaran), maka pejabat
Kuasa PA dapat merangkap sebagai pejabat pembuat komitmen dan pejabat
penguji SPP/penerbit SPM.
Tembusan penetapan/Surat keputusan para pejabat tersebut, disampaikan kepada
Kepala KPPN selaku kuasa BUN.
Berdasarkan DIPA yang telah disahkan oleh Dirjen Perbendaharaan untuk DIPA
kementrian/lembaga di pusat dan oleh Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan untuk
DIPA di daerah, menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sesuai rencana kerja dan
anggaran yang telah ditetapkan dalam DIPA.
Di dalam Standar Biaya Umum yang dikeluarkan Menteri Keuangan untuk
tahun 2008, setiap pejabat Kuasa Pengguna Anggaran setiap dapat menerima
honorarium sesuai ketentuan sebagai berikut :

a. Nilai Pagu Dana s/d Rp 50 juta Orang/bulan 200.000


b. Nilai Pagu Dana diatas Rp 50 juta s/d 100 juta Orang/bulan 300.000
c. Nilai Pagu Dana diatas Rp 100 juta s/d 250 juta Orang/bulan 350.000
d. Nilai Pagu Dana diatas Rp 250 juta s/d 500 juta Orang/bulan 400.000
e. Nilai Pagu Dana diatas Rp 500 juta s/d 1 miliar Orang/bulan 450.000
f. Nilai Pagu Dana diatas Rp 1 miliar s/d 2,5 miliar Orang/bulan 500.000
g. Nilai Pagu Dana diatas Rp 2,5 miliar s/d 5 miliar Orang/bulan 550.000
h. Nilai Pagu Dana diatas Rp 5 miliar s/d 10 miliar Orang/bulan 650.000
i. Nilai Pagu Dana diatas Rp10 miliar s/d 50 miliar Orang/bulan 800.000
j. Nilai Pagu Dana diatas Rp 50 miliar s/d 100 miliar Orang/bulan 1.000.000
k. Nilai Pagu Dana diatas Rp 100 miliar s/d 500 miliar Orang/bulan 1.200.000
l. Nilai Pagu Dana diatas Rp 500 milliar s/d 1 triliun Orang/bulan 1.500.000
m. Nilai Pagu Dana diatas Rp 1 triliun Orang/bulan 1.800.000

5.2.2. Pejabat Pembuat Komitmen


Pejabat Pembuat Komitmen adalah Pejabat yang diberi kewenangan untuk
melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja/ penanggung-
jawab kegiatan/pembuat komitmen.
Di dalam Standar Biaya Umum yang dikeluarkan Menteri Keuangan untuk
tahun 2008, setiap Pejabat Pembuat Komitmen setiap dapat menerima honorarium
sesuai ketentuan sebagai berikut:

a. Nilai Pagu Dana s/d Rp 50 juta Orang/bulan 170.000

64
b. Nilai Pagu Dana diatas Rp 50 juta s/d 100 juta Orang/bulan 225.000
c. Nilai Pagu Dana diatas Rp 100 juta s/d 250 juta Orang/bulan 300.000
d. Nilai Pagu Dana diatas Rp 250 juta s/d 500 juta Orang/bulan 350.000
e. Nilai Pagu Dana diatas Rp 500 juta s/d 1 miliar Orang/bulan 400.000
f. Nilai Pagu Dana diatas Rp 1 miliar s/d 2,5 miliar Orang/bulan 450.000
g. Nilai Pagu Dana diatas Rp 2,5 miliar s/d 5 miliar Orang/bulan 500.000
h. Nilai Pagu Dana diatas Rp 5 miliar s/d 10 miliar Orang/bulan 600.000
i. Nilai Pagu Dana diatas Rp10 miliar s/d 50 miliar Orang/bulan 700.000
j. Nilai Pagu Dana diatas Rp 50 miliar s/d 100 miliar Orang/bulan 850.000
k. Nilai Pagu Dana diatas Rp 100 miliar s/d 500 miliar Orang/bulan 1.050.000
l. Nilai Pagu Dana diatas Rp 500 milliar s/d 1 triliun Orang/bulan 1.300.000
m. Nilai Pagu Dana diatas Rp 1 triliun Orang/bulan 1.600.000
5.2.3. Pejabat Penguji Tagihan dan Penandatangan SPM
a. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berhak untuk :
(1) menguji,
(2) membebankan pada mata anggaran yang telah disediakan, dan
(3) memerintahkan pembayaran tagihan-tagihan atas beban APBN/APBD.
b. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran berwenang:
(1) menguji kebenaran material surat-surat bukti mengenai hak
pihak penagih;
a. Pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran (nama
orang/ perusahaan, alamat, nomor rekening dan nama bank)
b. Nilai tagihan yang harus dibayar (kesesuaian dan atau
kelayakannya dengan prestasi kerja yang dicapai sesuai spesifikasi teknis
yang tercantum dalam kontrak).
c. Jadwal waktu pembayaran.
d. Memeriksa pencapaian tujuan dan atau sasaran kegiatan
sesuai dengan indikator kinerja yang tercantum dalam DIPA berkenaan dan
atau spesifikasi teknis yang sudah ditetapkan dalam kontrak.
(2) meneliti kebenaran dokumen yang menjadi
persyaratan/kelengkapan sehubungan dengan ikatan/perjanjian pengadaan
barang/jasa;
(3) meneliti tersedianya dana yang bersangkutan;
(4) membebankan pengeluaran sesuai dengan mata anggaran
pengeluaran yang bersangkutan;
(5) memerintahkan pembayaran atas beban APBN.

65
Di dalam Standar Biaya Umum yang dikeluarkan Menteri Keuangan untuk
tahun 2008, setiap Pejabat Penguji Tagihan dan Penandatangan SPM setiap bulan
menerima honorarium sesuai ketentuan sebagai berikut:

a. Nilai Pagu Dana s/d Rp 50 juta Orang/bulan 150.000


b. Nilai Pagu Dana diatas Rp 50 juta s/d 100 juta Orang/bulan 225.000
c. Nilai Pagu Dana diatas Rp 100 juta s/d 250 juta Orang/bulan 270.000
d. Nilai Pagu Dana diatas Rp 250 juta s/d 500 juta Orang/bulan 300.000
e. Nilai Pagu Dana diatas Rp 500 juta s/d 1 miliar Orang/bulan 350.000
f. Nilai Pagu Dana diatas Rp 1 miliar s/d 2,5 miliar Orang/bulan 400.000
g. Nilai Pagu Dana diatas Rp 2,5 miliar s/d 5 miliar Orang/bulan 425.000
h. Nilai Pagu Dana diatas Rp 5 miliar s/d 10 miliar Orang/bulan 500.000
i. Nilai Pagu Dana diatas Rp10 miliar s/d 50 miliar Orang/bulan 700.000
j. Nilai Pagu Dana diatas Rp 50 miliar s/d 100 miliar Orang/bulan 750.000
k. Nilai Pagu Dana diatas Rp 100 miliar s/d 500 miliar Orang/bulan 900.000
l. Nilai Pagu Dana diatas Rp 500 milliar s/d 1 triliun Orang/bulan 1.050.000
m. Nilai Pagu Dana diatas Rp 1 triliun Orang/bulan 1.350.000

5.2.4. Bendahara Pengeluaran


1. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan,
membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggung-jawabkan uang untuk
keperluan belanja negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada
kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
2. Bendahara Pengeluaran diangkat oleh menteri/pimpinan lembaga Menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam
rangka pelaksanaan anggaran belanja pada kantor/satuan kerja di lingkungan
kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah.
3. Bendahara Pengeluaran adalah pejabat fungsional;
4. Jabatan Bendahara Pengeluaran tidak boleh dirangkap oleh Kuasa Pengguna
Anggaran/Kuasa Bendahara Umum Negara.
5. Bendahara Pengeluaran dilarang melakukan kegiatan perdagangan, pekerjaan
pemborongan dan penjualan jasa atau bertindak sebagai penjamin atas
kegiatan/pekerjaan/penjualan tersebut
6. Pembayaran atas beban APBN/APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang
dan/atau jasa diterima.
7. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas kementerian negara/lembaga/satuan kerja
perangkat daerah kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dapat
diberikan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran.

66
8. Bendahara Pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang persediaan yang
dikelolanya setelah :
a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
b. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah
pembayaran;
c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.

9. Bendahara Pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari Pengguna


Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran apabila persyaratan tidak dipenuhi.
10. Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang
dilaksanakannya.

Di dalam Standar Biaya Umum yang dikeluarkan Menteri Keuangan untuk


tahun 2008, setiap Bendahara Pengeluaran setiap bulan dapat menerima
honorarium sesuai ketentuan sebagai berikut:

a. Nilai Pagu Dana s/d Rp 50 juta Orang/bulan 140.000


b. Nilai Pagu Dana diatas Rp 50 juta s/d 100 juta Orang/bulan 210.000
c. Nilai Pagu Dana diatas Rp 100 juta s/d 250 juta Orang/bulan 250.000
d. Nilai Pagu Dana diatas Rp 250 juta s/d 500 juta Orang/bulan 280.000
e. Nilai Pagu Dana diatas Rp 500 juta s/d 1 miliar Orang/bulan 320.000
f. Nilai Pagu Dana diatas Rp 1 miliar s/d 2,5 miliar Orang/bulan 350.000
g. Nilai Pagu Dana diatas Rp 2,5 miliar s/d 5 miliar Orang/bulan 400.000
h. Nilai Pagu Dana diatas Rp 5 miliar s/d 10 miliar Orang/bulan 475.000
i. Nilai Pagu Dana diatas Rp10 miliar s/d 50 miliar Orang/bulan 600.000
j. Nilai Pagu Dana diatas Rp 50 miliar s/d 100 miliar Orang/bulan 700.000
k. Nilai Pagu Dana diatas Rp 100 miliar s/d 500 miliar Orang/bulan 850.000
l. Nilai Pagu Dana diatas Rp 500 milliar s/d 1 triliun Orang/bulan 1.050.000
m. Nilai Pagu Dana diatas Rp 1 triliun Orang/bulan 1.300.000

Catatan:
a. Pada KPA yang merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), jumlah staf
minimal 5 maksimal 6 (enam) orang termasuk Pembuat Daftar Gaji (PDG).
b. Pada KPA yang dibantu oleh satu atau beberapa PPK jumlah staf pengelola
keuangan maksimum 3 orang (termasuk PDG) pada KPA dan masing-masing 2
orang pada setiap PPK.
c. Jumlah maksimum honorarium seluruh Pejabat/Pegawai Pengelola Keuangan
setahun tidak boleh melampaui 10% dari pagu.

67
5.3. Prinsip-prinsip Belanja Negara
5.3.1. Asas-asas umum pengelolaan keuangan negara :

Ditujukan mendukung terwujudnya good governance dalam penyelengggaraan


Negara, karena itu harus menerapkan asas-asas:
a. asas tahunan (berkala)
b. asas universalitas
c. asas kesatuan
d. asas spesialitas
a s/d d asas yang sudah lama diterapkan, sedangkan asas yang baru sebagai
pencerminan penerapan kaidah-kaidah yang baik meliputi :

e. akuntabilitas berorientasi pada hasil


f. profesionalitas
g. proporsionalitas
h. keterbukaan
i. pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

5.3.2. Prinsip pembayaran atas beban APBN

Pelaksanaan anggaran belanja negara didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai


berikut :

a. hemat, tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan;
b. efektif, terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program/kegiatan, serta
fungsi setiap departemen/lembaga/ pemerintah daerah;
c. mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri.
d. belanja atas beban anggaran belanja negara dilakukan berdasarkan atas hak dan
bukti-bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran.
e. Jumlah dana yang dimuat dalam anggaran belanja negara merupakan batas
tertinggi untuk tiap-tiap pengeluaran.

Sebagai konsekuensi dari ketentuan poin d. di atas, maka pembayaran baru


dapat dilaksanakan bila barang yang dipesan atau pekerjaan yang diperjanjikan sudah
diterima atau selesai dikerjakan. Dengan kata lain agar dapat dikeluarkan uang dari kas
negara harus dapat memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu :

Pertama : harus bisa dibuktikan keabsahan yang berhak;

68
Kedua : harus sudah tersedia dananya dalam DIPA;
Ketiga : harus sesuai dengan tujuan alokasi dana yang tercantum pada DIPA.

Pimpinan dan atau pejabat departemen/lembaga tidak diperkenankan melakukan


tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja negara, jika
dana untuk membiayai tindakan tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam
anggaran belanja negara.
Pimpinan dan atau pejabat departemen/lembaga tidak diperkenankan melakukan
pengeluaran atas beban anggaran belanja negara untuk tujuan lain dari yang ditetapkan
dalam anggaran belanja negara.

5.4. Larangan pembebanan pada Belanja Negara

Atas beban anggaran belanja negara tidak diperkenankan melakukan


pengeluaran untuk keperluan :
(1) Perayaan atau peringatan hari besar, hari raya dan hari ulang tahun departemen/
lembaga/pemerintah daerah;
(2) Pemberian ucapan selamat, hadiah/tanda mata, karangan bunga, dan sebagainya
untuk berbagai peristiwa;
(3) Pesta untuk berbagai peristiwa dan pekan olahraga pada departemen/
lembaga / pemerintah daerah;
(4) Pengeluaran lain-lain untuk kegiatan/keperluan yang sejenis serupa dengan yang
tersebut di atas.
(5) Penyelenggaraan rapat, rapat dinas, seminar, pertemuan, lokakarya, peresmian
kantor/proyek dan sejenisnya, dibatasi pada hal-hal yang sangat penting dan
dilakukan sesederhana mungkin.

69
5.5 Latihan
1. Jelaskan pengertian belanja Negara?
2. Belanja-belanja apa saja yang tidak bisa dibebankan pada APBN?
3. Prinsip-prinsip apa saja yang harus diperhatikan di dalam pelaksanaan belanja
negara?
4. Bedakan karakteristik antara Kuasa Pengguna Anggaran & Pejabat Pembuat
Komitmen. Bedakan pula antara penguji tagihan dan pejabat pembuat SPM?
5. Bagaimanakan seorang pemegang uang muka harus bertanggungjawab
terhadap uang yang dikelolanya?

5.6 Rangkuman

Anggaran belanja negara adalah semua pengeluaran negara yang digunakan


untuk membiayai belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah.. Belanja untuk
daerah adalah semua pengeluaran untuk membiayai dana perimbangan serta dana

70
otonomi khusus dan penyesuaian. Belanja pemerintah pusat dikelompokkan atas
belanja pemerintah pusat menurut organisasi/bagian anggaran, fungsi, dan jenis belanja
Semua pengeluaran negara atas beban rekening kas Negara/kas umum negara
harus melalui transfer dana atau pemindahbukuan dana antar rekening bank, termasuk
membayar tagihan pihak ketiga yang dilakukan oleh kantor/satuan kerja kementrian
Negara/lembaga. Dengan demikian, penyaluran dana APBN kepada yang berhak
dilakukan transfer dana atau pemindahbukuan dana langsung dari rekening kas
negara/kas umum negara ke rekening yang berhak pada bank. Pengecualian diberikan
untuk pembelian atau pengadaan barang/jasa keperluan kantor/satuan kerja
kementerian negara/lembaga yang nilainya kecil-kecil sampai dengan Rp 10 juta dapat
dibayar melalui uang persediaan yang dkelola Bendahara Pengeluaran.
Setiap awal tahun anggaran, Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna
anggaran menunjuk pejabat kuasa pengguna anggaran untuk satuan kerja/satuan kerja
sementara di lingkungan instansi pengguna angggaran bersangkutan dengan surat
keputusan. Selanjutnya Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mendelegasikan kewenangan
kepada Kuasa Pengguna Anggaran untuk menunjuk :
(1) Pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan
pengeluaran anggarn belanja/penanggungjawab kegiatan/ pembuat komitmen;
(2) Pejabat yang diberi kewenangan untuk menguji tagihan kepada negara dan
menandatangani SPM;
(3) Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran belanja.

Asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, antara lain : asas universalitas,


asas kesatuan, asas spesialitas, akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas,
proporsionalitas, keterbukaan, dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang
bebas dan mandiri.

Setiap uang yang keluar dari kas Negara harus dapat dipertanggungjawabkan, oleh
karena itu, pelaksanaan anggaran belanja negara didasarkan atas prinsip-prinsip
pembayaran atas beban APBN serta tidak melanggar larangan pembebanan belanja
negara sesuai aturan yang berlaku serta berpedoman bahwa uang dari kas negara
harus dapat memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu :

Pertama : harus bisa dibuktikan keabsahan yang berhak;


Kedua : harus sudah tersedia dananya dalam DIPA;

71
Ketiga : harus sesuai dengan tujuan alokasi dana yang tercantum pada DIPA.

72
6. KEGIATAN BELAJAR (KB) 5 : MODEL PENCAIRAN & SYARAT ADMINISTRASI
PEMBEBANAN ANGGARAN

6.1. Model Pencairan Dana


Model pencairan dana bagi sebuah satker ada 2 jenis, yaitu melalui model uang
persediaan dan model langsung (LS) melalui KPPN. Melalui 2 model ini diharapkan
pencairan dana menjadi lebih lancar, dan setiap Satker diharapkan mengoptimalkan
pengeluaran-pengeluaran yang akan dilakukan dengan mengoptimalkan penggunaan
uang persediaan dan LS.
Strategi perencanaan pengeluaran menjadi hal yang harus diperhatikan
mengingat hanya ada dua model pencairan dana. Pengeluaran-pengeluaran sejak awal
harus disusun dan direncanakan akan menggunakan uang persediaan atau LS
mengingat kedua model pencairan ini mempunyai aturan-aturan tertentu yang bisa
menjadi penentu kelancaran atau malah sebaliknya ketika kita tidak memahami
mekanisme pencairan kedua model ini.

6.2. Uang Persediaan & LS


6.2.1. Uang Persediaan dan Tambahan Uang Persediaan
Kepada setiap satuan kerja dapat diberikan Uang Persediaan. Untuk mengelola
uang persediaan bagi satuan kerja di lingkungan kementrian Negara/lembaga, sebelum
diberlakukannya ketentuan dan atau dilakukannya pengangkatan pjabat fungsional
Bendahara, Menteri/Pimpinan lembaga pengeluaran pada kementrian/lembaga atau
satuan kerja yang dipimpinnya.
Untuk membantu pengelolaan uang persediaan pada kantor/satuann kerja di
lingkungan kementrian/lembaga, apabila diperlukan kepala satuan kerja dapat menunjuk
pemegang uang muka. Dalam pelaksanaan tugasnya pemegang uang muka
bertanggungjawab kepada bendahara pengeluaran.
Bendahara pengeluaran dapat membagi uang persediaan kepada beberapa
PUM. Apabila diantara PUM telah merealisasikan penggunaan UPnya sekurang-
kurangnya 75% Kuasa PA/pejabat yang ditunjuk dapat mengajukan SPM-GUP bagi
PUM berkenaan tanpa menunggu realisasi PUM lain yan belum mencapai 75%.

Mengenai prosedur uang persediaan diatur sebagai berikut:


1. PA/kuasa PA menerbitkan SPM-UP berdasarkan DIPA atas permintaan Bendahara
pengeluaran yang dibebankan pada MAK transito kode kegiatan untuk rupiah murni

73
0000.0000.825111, pinjaman luar negeri 9999.9999.825112, dan PNBP
0000.0000.825113.
2. Berdasarkan SPM-UP, KPPN menerbitkan SP2D untuk rekening Bendahara
Pengeluaran yangditunjuk dalam SPM-UP.
3. Penggunaan Uang Persediaan menjadi tanggungjawab Bendahara pengeluaran.
4. Bendahara Pengeluaran melakukan pengisisan kembali Uang Persediaan setelah
Uang Persediaan digunakan (revolving) sepanjang masih tersedia pagu dana dalam
DIPA.
5. Bagi Bendahara Pengeluaran yang dibantu oleh beberapa PUM, dalam pengajuan
SPM-UP diwajibkan melampirkan daftar rincian yang menyatakan jumlah uang yang
dikelola oleh masing-masing PUM.
6. Sisa uang persediaan yang ada di Bendahara Pengeluaran pada akhir tahun
anggaran harus disetorkan kembali ke rekening kas Negara selambat-lambatnya
tanggal 31 Desember tahun anggaran berkenaan. Setoran sisa uang persediaan
dimaksud, oleh KPPN dibukukan sebagai pengembalian uang persediaan sesuai
mata anggaran yang ditetapkan.
7. Uang persediaan dapat diberikan dalam batas-batas sebagai berikut :

a. Uang persediaan dapat diberikan untuk pengeluaran-pengeluaran belanja


barang pada klasifikasi belanja 5211, 5212, 5221, 5231, 5241, dan 5811.

b. Diluar ketentuan butir a, dapat diberikan pengecualian untuk DIPA pusat oleh
Dirjen Perbendaharaan dan untuk DIPA pusat yang kegiatannya berlokasi di
daerah serta DIPA yang ditetapkan oleh kepala Kanwil DJPBN oleh Kepala
Kanwil DJPBN setempat

c. UP dapat diberikan setinggi-tingginya :


(1) 1/12 (satu per dua belas) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang
diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp 50 juta untuk pagu sampai dengan
Rp 900 juta.
(2) 1/18 (satu per delapan belas) dari pagu DIPA menurut kualifikasi belanja
yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp 100 juta untuk pagu datas Rp
900 juta sampai dengan Rp 2.400 juta atau Rp 2,4 miliar.
(3) 1/24 (satu per dua puluh empat) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja
yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp 200 juta untuk pagu diatas
RP 2,4 miliar.

74
d. Perubahan besaran UP diluar sebagaimana dimaksud butir c ditetapkan oleh
Dirjen Perbendaharaan.

e. Pengisian kembali UP sebagaimana dimaksud butir c dapat diberikan apabila UP


telah dipergunakan sekurang-kurangnya 75% dari dana UP yang diterima.

f. Dalam hal penggunaan UP belum mencapai 75%, sedangkan satker/SKS ybs


memerlukan pendanaan melebihi sisa dana yang tersedia, satker/SKS dimaksud
dapat mengajukan TUP.

g. Pemberian TUP diatur sebagai berikut:


(1) Kepala KPPN dapat memberikan TUP sampai dengan jumlah RP 200 juta
untuk klarifikasi belanja yang diperbolehkan diberi UP bagi instansi dalam
wilayah pembayaran KPPN bersangkutan.
(2) Permintaan TUP diatas Rp 200 juta untk klarifikasi belanja yang
diperbolehkan diberi UP harus mendapat dispensasi dari Kepala Kanwil
Ditjen Perbendaharaan.
8. Syarat untuk mengajukan Tambahan UP :
a. Untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak/tidak dapat tidak ditunda;
b. Digunakan paling lama satu bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan.
c. Apabila tidak habis digunakan dalam satu bulan sisa dana yang ada pada
bendahara, harus disetor ke Rekening kas Negara;
d. Apabila ketentuan pada butir c tidak dipenuhi kepada satker yang bersangkutan
tidak dapat lagi diberikan TUP sepanjang sisa tahun anggaran berkenaan.
e. Pengecualian terhadap butir diputuskan oleh Kepala Kanwil Ditjen
Perbendaharaan atas usul Kepala KPPN.
9. Dalam mengajukan permintaan TUP bendahara pengeluaran wajib menyampaikan :
a. Rincian Rencana Penggunaan Dana untuk kebutuhan mendesak dan riil serta
rincian sisa dana MAK yang dimintakan TUP.
b. Rekening Koran yang menunjukkan saldo terakhir.
c. Surat Pernyataan bahwa kegiatan yang dibiayai tersebut tidak dapat
dilaksanakan/dibayar melalui penerbitan SPM-LS.
10. SPM-UP/Tambahan UP diterbitkan dengan menggunakan kode kegiatan untuk
rupiah murni 0000.0000.825111, pinjaman luar negeri 9999.9999.825112, dan PNBP
0000.0000.825113.

75
11. Penggantian UP, diajukan ke KPPN dengan SPM-GUP dengan SPM-GUP, dilampiri
SPTB, dan fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) yang dilegalisir oleh Kuasa
Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk, untuk transaksi yang menurut
ketentuan harus dipungut PPN dan PPh.
12. Pembayaran yang dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran kepada satu
rekanan tidak boleh melebihi Rp 10 juta kecuali untuk pembayaran honor.

6.2.2. Model pembayaran dengan LS


Pembayaran dengan menggunakan model LS artinya pembayaran melalui
transfer dari rekening kas Negara ke rekening bank penerima setelah memenuhi
persyaratan yg diharuskan. Pembayaran dengan menggunakan model LS biasa
dilakukan untuk :
(1) Pengadaan Tanah
Pembayaran pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan melalui
mekanisme pembayaran langsung (LS), kecauli tidak mungkin dilaksanakan melalui
mekanisme LS, maka dapat dilakukan melalui UP/TUP. Jika menggunakan LS
persyaratan yang harus Pengaturan mekanisme pembayaran adalah sebagai
berikut:
1. Persetujuan Panitia Pengadaan Tanah untuk tanah yang luasnya lebih dari
satu hektar di kabupaten/kota;
2. Fotokopi bukti kepemilikan tanah;
3. Kuitansi;
4. SPPT PBB tahun transaksi;
5. Surat persetujuan harga;
6. Pernyataan dari penjual bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa dan
tidak sedang dalam anggunan;
7. Pelepasan/penyerahan hak atas tanah/akta jual beli di hadapan PPAT;
8. SSP PPH final atas pelepasan hak;
9. Surat pelepasan hak adat (bila diperlukan).

(2) LS untuk pembayaran gaji, lembur dan honor/vakasi


a. Pembayaran Gaji Induk/susulan gaji/kekurangan gaji/gaji terusan/uang duka
wafat dilengkapi dengan Daftar Gaji Induk/susulan gaji/ ekutrangan gaji/gaji
terusan/uang duka wafat, SK CPNS, SK naik pangkat, SK jabatan, KGB, Surat
Pernyataan Pelantikan, Surat Pernyataan Masih Menduduki Jabatan, Surat

76
Pernyataan Pelaksanaan Tugas, Daftar Keluarga (KP4), kopi Surat Nikah, kopi
Akte Kelahiran, Surat Keterangan Penghentian Pembayaran, Daftar potongan
Sewa Rumah Dinas, Surat Keterangan Masih Sekolah/Kuliah, Surat Pindah,
Surat Kematian, SSP PPh pasal 21. Kelengkapan tersebut harus sesuai
peruntukannya.
b. Pembayaran lembur dilengkapi dengan Daftar Pembayaran Perhitungan Lembur
yang sudah ditandatangani oleh Kuasa PA/Pejabat yang ditunjuk dan Bendahara
Pengeluaran Satker/SKS ybs, surat perintah kerja lembur, daftar hadir kerja,
daftar kerja lembur dan SSP PPh pasal 21.
c. Pembayaran Honor/vakasi dilengkapi dengan SK tentang pemberian honor
vakasi, daftar pembayaran perhitungan honor/vakasi yang ditandatangani oleh
kuasa PA/Pejabat yang ditunjuk dan Bendahara Pengeluaran ybs dan SSP PPh
pasal 21.

(3) LS non Belanja Pegawai :


a. Pembayaran Pengadaan barang dan jasa :
1) Kontrak/SPK yang mencantmkan nomor rekening rekanan;
2) Surat pernyataan kuasa PA mengenai penetapan rekanan;
3) Berita acara penyelesaian pekerjaan;
4) Berita acara serah terima pekerjaan;
5) Berita acara pembayaran;
6) Kuitansi yang disetujui oleh kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk;
7) Faktur pajak beserta SSP yang telah ditandatangani WP;j
8) Jaminan bank atau yang dipersamakan yang dikeluarkan Bank atau lembaga
keuangan non bank.
9) Dokumen lain yang dipersyaratkan untuk kontrak-kontrak yang dananya
sebagian atau seluruhnya bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri;
10) Ringkasan kontrak untuk rupiah murni dan untuk PHLN Berita Acara pada
butir 3), 4) dan 5) dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap 5 dan
disampaikan kepada :
a). Asli dan satu tembusan untuk penerbit SPM;
b). Masig-masing satu tembusan untuk para pihak yang membuat kontrak.
c). Satu tembusan untuk pejabat pelaksana pemeriksaan pekerjaan

77
b. Pembayaran Biaya Langganan Daya dan Jasa (Listrik, Telepon dan Air) :
1) Bukti tagihan daya dan jasa;
2) No. rekening pihak ketiga (PLN, Telkom, PDAM,dll).
Dalam hal pembayaran langganan daya dan jasa belum dapat dilakukan
secara langsung, satker/SKS ybs dapat melakukan pembayaran dengan UP.
Tunggakan langganan daya dan jasa tahun anggaran sebelumnya dapat
dibayarkan oleh satker/SKS setelah mendapat dispensasi/persetujuan
terlebih dahulu dari Kanwil Ditjen PBN sepanjang dananya tersedia dalam
DIPA berkenaan.

c. Pembayaran Belanja Pejalanan Dinas


Pembayaran biaya perjalanan dinas harus dilengkapi dengan daftar nominatif
pejabat yang akan melakukan perjalanan dinas, yang berisi antara lain: informasi
mengenai data pejabat (Nama, pangkat/Golongan), tujuan, tanggal
keberangkatan, lama perjalanan dinas, dan biaya yang diperlukan untuk masing-
masing pejabat. Daftar normatif tersebut harus ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang memerintahkan perjalanan dinas, dan disahkan oleh pejabat yang
berwenang di KPPN. Pembayaran dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran
Satker/SKS ybs kepada para pejabat yang akan melakukan perjalanan dinas.

6.3. Persyaratan administratif untuk dapat membebani anggaran belanja


Kebenaran pengisian dokumen tanda bukti pengeluaran meliputi:
(1) Kuitansi
a. Nama wajib bayar yang tertulis dalam kuitansi harus atas nama jabatan.
Contoh : Sudah terima dari Pejabat Pembuat Komitmen…………
b. Nama yang berhak menerima yang tertulis dalam kuitansi adalah nama dan
jabatan orang yang menerima pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan
kegiatan/pekerjaan dan ditandatangani oleh yang bersangkutan. Untuk Badan
Hukum (perusahaan) diberikan pula stempel perusahaan. Apabila yang
menerima adalah kuasa penerima, maka harus didukung dengan Surat Kuasa
dari orang yang berhak kepada yang dikuasakan di atas kertas bermaterai
Rp.6.000,-
c. Tanda tangan lunas oleh penyimpan uang/kasir dan tanda tangan setuju
dibayar oleh Pemegang Kas.

78
d. Uraian pembayaran memuat uraian mengenai obyek kegiatan/ pekerjaan yang
dilaksanakan.
e. Jumlah yang dibayarkan harus sama antara yang tertulis dengan angka dan
huruf.
f. Tahun anggaran dan pasal/mata anggaran keluaran yang tertulis dalam
kuitansi adalah tahun anggaran berjalan dan pasal/mata anggaran sesuai
dengan pembebanan anggaran.
g. Bea materai tempel Rp.6.000,-untuk SPK/Kontrak. Untuk kuitansi dengan nilai
Rp.250.000,- s/d Rp.1.000.000 dikenakan Rp.3.000,- Bila bernilai nominal di
atas Rp.1.000.000,-dikenakan Rp.6.000.000
h. NPWP pihak rekanan harus dicantumkan dalam kuitansi pembayaran
i. Dalam redaksi penulisan pada kuitansi tidak dibenarkan adanya coretan/
hapusan/tindisan khususnya penulisan jumlah uang dengan angka dan jumlah
uang dengan huruf.

(2) Surat Perintah Kerja (SPK)


Sekurang-kurangnya harus memuat ketentuan:
a. Pejabat yang memerintahkan mempunyai kewenangan.
b. SPK ditandatangani oleh yang memberi perintah dan pihak yang menerima
perintah.
c. Pokok/bidang, ruang lingkup dan spesifikasi teknis pekerjaan yang disepakati
oleh kedua belah pihak.
d. Harga yang pasti serta syarat pembayaran.
e. Jangka waktu penyelesaian pekerjaan
f. Sanksi dalam hal yang menerima perintah tidak memenuhi kewajibannya
g. Diberi materai tempel Rp.6.000.-

(3) Surat perjanjian/Kontrak


Sekurang-kurangnya mememuat ketentuan seperti pada SPK ditambah dengan:
a. Jaminan teknis hasil pekerjaan yang diserahkan.
b. Penyelesaian perselisihan
c. Hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian yang
bersangkutan
d. Penggunaan barang dan jasa produksi dalam negeri secara tegas dan terinci
dalam lampiran kontrak.

79
e. Rumusan mengenai penyesuaian harga kontrak (price adjusment).
f. Ketentuan mengenai pemberian uang muka.

(4) Berita Acara Penyerahan Barang/Pekerjaan.


Sekurang-kurangnya memuat hal-hal
a. Nama, jabatan dan alamat kedua belah pihak.
b. Prestasi fisik pekerjaan yang akan diserahkan.
c. Hari dan tanggal pembuatan berita acara.
d. Dasar pembuatan berita acara penyerahan pekerjaan.
e. Pernyataan besarnya pembayaran yang berhak diterima oleh rekanan.
f. Nama dan tanda tangan kedua belah pihak.

(5) Berita Acara Pembayaran, sekurang-kurangnya memuat :


a. Nama, jabatan dan alamat kedua belah pihak.
b. Hari dan tanggal pembuatan berita acara.
c.Dasar pembuatan berita acara penyerahan pekerjaan.
d. Harga kontrak.
e. Perhitungan pembayaran meliputi:
- Jumlah yang telah dibayarkan sampai dengan angsuran yang lalu
- Jumlah angsuran dalam berita acara
- Perhitungan Uang muka dan potongan lainnya
- Jumlah yang berhak diterima dengan berita acara pembayaran ini.

6.4. Pajak untuk Bendaharawan


Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga Negara
lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji,
upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan wajib melakukan pemungutan pajak penghasilan dan PPN.

6.4.1. Pajak Penghasilan Pasal 21

(1) Objek PPh Pasal 21


Secara umum objek dari Pajak Penghasilan adalah penghasilan, sedangkan obek
PPh Pasal 21 secara spesifik antara lain adalah :

80
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, upah, uang
pensiun bulanan, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris,
atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan,
uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan jabatan,
tunjangan kemahalan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak,
tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa. Hadiah, premi
asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan
nama apa pun.
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan
tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya
tidak teratur (tidak tetap) dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun.
c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan.
d. Uang tebusan pensiun, uang tabungan hari tua, tunjangan hari tua, uang
pesangon, dan pembayaran jenis lainnya.
e. Honorarium uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan bentuk
apapun komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri.
f. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama dan
bentuk apapun yang diberikan oleh bukan (yang dikecualikan sebagai) Wajib
Pajak.
(2) Tarif PPh pasal 21
Untuk semua pembayaran oleh Bendaharawan pemerintah baik Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga
Negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang
membayar upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan wajib melakukan pemungutan pajak
penghasilan pasal 21 dengan tarif 15% final jika yang menerima adalah
PNS/pegawai BUMN/BUMD golongan III ke atas. Jika bukan PNS/ pegawai
BUMN/BUMD maka tarif yang dikenakan hanya sebesar 5% dari jenis
penhasilan yang diterima oleh mereka.

81
6.4.2. Pajak Penghasilan Pasal 22
(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah untuk memungut
pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan
tertentu untuk memungut pajak dari Wajib pajak yang melakukan kegiatan di bidang
impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, sifat dan besarnya pungutan, tata cara
penyetoran, dan tata cara pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

a. Pemungutan Pajak atas Potensi Penghasilan


Berbeda dengan Pasal 21 yang dipotong dari penghasilan yang diperoleh atau
diterima Wajib Pajak yang memberikan jasa kekaryaan, PPh Pasal 22 dipungut
dari potensi penghasilan yang terdapat dalam transaksi impor atau kegiatan
dibidang lain. Potongan pajak umumnya mengurangi jumlah yang diterima.
Namun, pungutan pajak ini dapat merupakan tamabahan jumlah (pajak) oleh
pembayar. Karena sifatnya masih potensi penghasilan, besarnya jumlah
pungutan didasarkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh dari
adanya aktivitas tersebut diata. Selanjutnya dalam rangka memperbesar jumlah
kredit Pajak Penghasilan yang sekaligus dapat memperingan pembayaran pajak
sekaligus pada saat penerimaan atau perolehan penghasilan, Pasal 22 ayat (1)
dan ayat (2) memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk
menunjuk pemungut pajak PPh Pasal 22. Mereka adalah :
1) Bendaharawan pemerintah, termasuk bendaharawan pada Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-
lembaga Negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan
barang.
2) Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta bekenaan
dengan kegiatan di bidang impor, atau kegiatan usaha di bidang lain.

Pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini, dimaksudkan untuk meningkatkan


peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui system pembayaran
pajak dan untuk tujuan kesderhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang
tepat waktu. Dalam hubungan ini Menteri Keuangan menetapkan besarnya
pungutan yang dapat bersifat final.

82
Pelaksanaan ketentuan ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan beberapa
pertimbangan antara lain : (1) penunjukkan pemungut pajak secara selektif, demi
pengawasan agar tidak disalahgunakan, (2) pemungutan pajak secara efektif
dan efisien, (3) tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang, (4) prosedur
pemungutan, penyetoran, dan pelaporan yang sederhana sehingga mudah
dilaksanakan dan murah biaya pelaksanaannya.

b. Pertalian Pungutan

PPh Pasal 22 merupakan pajak yang pengenaannya dihubungkan dengan


pembayaran oleh Pemerintah serta dalam rangka impor, sehingga terdapat 2
(dua) jenis PPh pasal 22, yaitu :
- PPh Pasal 22 Bendaharawan, yakni pajak yang pengenaannya berhubungan
dengan pembayaran instansi pemerintah yang dilaksanakan oleh
bendaharawan.
- PPh Pasal 22 impor, yakni pajak yang pengenaannya didasarkan atas impor
barang yang masuk kedalam daerah pabean.

Sebelum tahun 1984, sistem pungutan ini dikenal dengan system menghitung,
memotong dan menyetor pajak orang (MPO). System MPO diberlakukan
berdasar Undang-undang Nomor 8 tahun 1968. dalam pembaruan pajak tahun
1983 sistem MPO dihapus, karena dianggap lebih berkarakter Pajak Peredaran
daripada Pajak Penghasilan.

Contoh Peghitungan PPh Pasal 22 sebagai berikut :


a. PPh Pasal 22 Bendaharawan
Departemen Keuangan RI membeli 20 unit personal computer dari PT
Anugerah Computer dengan total harga jual Rp 100.000.000,-. Dari
pembelian tersebut, pada saat pembayaran dilakukan maka bendaharawan
Departemen Keuangan harus memotong PPh pasal 22 Bendaharawan
sebesar = 1,5% x 100.000.000 = Rp 1.500.000,-
b. PPh Pasal 22 Impor
1) Menggunakan Angka Pengenal Importir (API)
PT Gunung Merapi mengimpor (memiliki API) sebuah mesin dengan nilai
impor (cost insurance freight (CIF)) sebesar Rp 500.000.000. dari impor
tersebut PT Gunung Merapi dikenakan PPh Pasal 22 Impor sebesar Rp
2,5% x Rp 500.000.000 = Rp 12.500.000

83
2) Tidak menggunakan API
PT Makmur Abadi (tidak memiliki API) menimpor sebuah mesin dengan
nilai impor (cost insurance freight/CIF) sebesar Rp 1.000.000.000,-. Dari
impor tersebut PT. Makmur Abadi dikenakan PPh Pasal 22 Impor sebesar
= 7,5% x Rp 1.000.000.000 = Rp 75.000.000
3) PT Alam Raya memperoleh sebuah mesin pemintal dari hasil lelang atas
dengan harga jual lelang sebesar Rp 100.000.000,-. Dari hasil lelang
tersebut PT Alam Raya dikenakan PPh Pasal 22 Impor sebesar = 7,5% x
100.000.000 = Rp 7.500.000

c. Pengecualian dari Pemungutan


Sebagaimana lazimnya dalam sistem perpajakan tidak semua fenomena yang
memenuhi persyaratan subjektif dan objektif langsung dipungut pajak. Demikian
juga dalam pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. untuk melindungi kepentingan
sosial, ekonomi dan politis terdapat beberapa transaksi yang dikecualikan dari
pungutan pajak. Beberapa kegiatan tersebut adalah seperti di bawah ini.
i. Impor barang dan/penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
perundang-undangan tidak terutang PPh.
ii. Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk, yang terdiri dari :
1) barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang
bertugas di Indonesia yang dinyatakan sebagai bukan subjek PPh
berdasarkan keputusan;
2) barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang
bertugas di Indonesia yang dinyatakan sebagai bukan subjek PPh
berdasrkan keputusan Menteri Kehakiman;
3) buku ilmu pengetahuan;
4) barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, social,
atau kebudayaan;
5) barang untuk keperluan museuam, kebun binatang, dan tempat lain
semacam itu yang terbuka untuk umum;
6) barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan;
7) barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat
lainnya;

84
8) persenjataan, amunisi dan perlengkapan militer, termasuk suku
cadangyang diperuntukan bagi keperluan pertahanan dan keamanan
Negara;
9) barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi
keperluan pertahanan dan kemanan Negara.
10) Barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;
11) Peti atau kemasan lain yang berisi jenasah, atau abu jenasah;
12) Barang pindahan;
13) Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas,
dan barang kiriman sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu;
14) Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata
dimaksudkan untuk diekspor kembali;
15) Pembayaran atas penyerahan barang (bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah) yang meliputi jumlah kurang dari Rp 1.000.000,-(satu
juta rupiah);
16) Pemabayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air
minum/PDAM, dan benda-benda pos.

6.4.3 Pajak Penghasilan pasal 23


Setiap Bendaharawan wajib memungut PPh pasal 23 untuk jasa-jasa
sebagaimana diatur dalam UU perpajakan, dengan tarif sesuai ketentuan untuk
transaksi di atas Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), kecuali barang/jasa yang
dikecualikan dari pajak. Jika suatu transaksi yang dibayarkan bendaharawan
sudah dikenakan PPh pasal 22 maka tidak dikenakan PPh pasal 23 dan juga
sebaliknya.

6.4.4 Pajak Pertambahan Nilai


Untuk semua penyerahan barang/jasa kepada instansi pemerintah dipungut PPN
sebesar 10% dari Harga Dasar Pengenaan Pajak untuk transaksi diatas Rp
1.000.000,- (satu juta rupiah), kecuali barang/jasa yang dikecualikan dari pajak.

6.4.5 Bea materai


Untuk transaksi Rp 250.000 s.d. Rp 1.000.000 dikenakan bea materai Rp 3000
dan di atas Rp 1.000.000 dan jika di atas Rp 1.000.000 dikenakan bea materai
Rp 6000

85
6.5. Latihan 6
1. Apa perbedaan uang persediaan dan pembayaran dengan LS?
2. Sebutkan syarat-syarat suatu pengeluaran untuk belanja Negara bisa
digunakan dengan menggunakan uang persediaan
3. bagaimanakan pengeluaran untuk pembelian tanah dilakukan? Begitu juga
untuk pengeluaran Belanja Pegawai
4. Bolehkah pengeluaran untuk non Belanja Pegawai digunakan model
pembayaran dengan uang persediaan? Jelaskan!
5. Bagaiamana kewajiban bendaharawan pengeluaran terkait dengan peraturan
perpajakan?
6. Pengeluaran-pengeluaran jenis belanja apa saja yang harus dipungut PPh 21,
22, dan 23 oleh bendaharawan pengeluaran? Jelaskan!
7. Kapan PPN harus dipungut oleh bendaharawan pengeluaran?
8. Adakah perbedaan perlakuan perpajakan khususnya menyangkut PPh 21
terkait dengan honorarium yang diterima PNS bergolongan I dan II dengan gol
III dan IV ? Jelaskan!

6.6. Rangkuman

Model pencairan dana bagi sebuah satker ada 2 jenis, yaitu melalui model uang
persediaan dan model langsung (LS) melalui KPPN. Kepada setiap satuan kerja dapat
diberikan Uang Persediaan. Uang persediaan dapat diberikan untuk pengeluaran-
pengeluaran belanja barang pada klasifikasi belanja 5211, 5212, 5221, 5231, 5241, dan
5811. Besarnya UP yang dapat diberikan Tergantung dari jumlah belanja yang dapat
dimintakan UP. Bendahara Pengeluaran melakukan pengisisan kembali Uang
Persediaan setelah Uang Persediaan digunakan (revolving) sepanjang masih tersedia
pagu dana dalam DIPA. Pengisian kembali UP dapat diberikan apabila UP telah
dipergunakan sekurang-kurangnya 75% dari dana UP yang diterima.

Dalam hal penggunaan UP belum mencapai 75%, sedangkan satker/SKS ybs


memerlukan pendanaan melebihi sisa dana yang tersedia, satker/SKS dimaksud dapat
mengajukan TUP. Syarat untuk mengajukan Tambahan UP :
1. Untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak/tidak dapat tidak ditunda;
2. Digunakan paling lama satu bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan.

86
3. Apabila tidak habis digunakan dalam satu bulan sisa dana yang ada pada
bendahara, harus disetor ke Rekening kas Negara;

Pembayaran dengan menggunakan model LS artinya pembayaran melalui


transfer dari rekening kas Negara ke rekening bank penerima setelah memenuhi
persyaratan yg diharuskan. Pembayaran dengan menggunakan model LS biasa
dilakukan untuk
a) Pengadaan Tanah

b) LS untuk pembayaran gaji, lembur dan honor/vakasi

c) LS non Belanja Pegawai, yaitu :Pembayaran Pengadaan barang dan jasa,


Pembayaran Biaya Langganan Daya dan Jasa (Listrik, Telepon dan Air), dan
Pembayaran Belanja Pejalanan Dinas

Kebenaran pengisian dokumen tanda bukti pengeluaran meliputi kuitansi, Surat


Perintah Kerja (SPK), Surat perjanjian/Kontrak, Berita Acara Penyerahan
Barang/Pekerjaan, dan Berita Acara Pembayaran

Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan Pemerintah Pusat,


Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga Negara
lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji,
upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan wajib melakukan pemungutan pajak penghasilan dan Pajak
Pertambahan Nilai. Besarnya pajak yang dipungut oleh bendahara sesuai dengan
peraturan perpajakan yang berlaku

87
7. KEGIATAN BELAJAR (KB) 6 : PROSEDUR PENCAIRAN DANA

7.1. Prosedur Pengajuan Surat Permintaan Pembayaran


Persyaratan yang harus dipenuhi sebagai kelengkapan dalam pengajuan Surat
Permintaan Pembayaran (SPP) untuk dapat diterbitkan SPM, diatur sebagai berikut:

1. SPP-UP (Uang Persediaan)


Surat pernyataan dari kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk, menyatakan bahwa UP
tersbut untuk menbiayai pengeluaran-pengeluaran yang menurut ketentuan harus
dengan LS.

2. SPP-TUP (Tambahan Uang Persediaan)


a. Rincian rencana penggunaan dana Tambahan UP dari kuasa PA atau pejabat
yang ditunjuk;
b. Surat pernyataan dari kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk bahwa:
1) Dana tambahan UP tersebut akan digunakan dalam waktu 1 (satu) bulan
terhitung sejak tanggal diterbitkannya SP2D;
2) Apabila terdapat sisa dana TUP, harus disetorkan ke rekening Kas Negara;
3) Tidak untuk membiayai pengeluaran yang seharusnya dibayarkan secara
langsung.
c. Rekening Koran Terakhir

3. SPP-GUP (Penggantian Uang Persediaan)


a. Kuitansi/tanda bukti pembayaran;
b. SPTB;
c. Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah dilegalisir oleh kuasa Pengguna Anggaran
atau pejabat yang ditunjuk.

4. SPP untuk Pengadaan Tanah


Pembayaran pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan melalui
mekanisme pembayaran langsung (LS). Apabila tidak mungkin dilaksanakan melalui
mekanisme LS, dapat dilakukan melalui UP/TUP. Pengaturan mekanisme
pembayaran adalah sebagai berikut:
(1) SPP-LS (Pembayaran Langsung)
a. Persetujuan Panitia Pengadaan Tanah untuk tanah yang luasnya lebih dari
satu hektar di kabupaten/kota;
b. Fotokopi bukti kepemilikan tanah;

88
c. Kuitansi;
d. SPPT PBB tahun transaksi;
e. Surat persetujuan harga;
f. Pernyataan dari penjual bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa dan
tidak sedang dalam anggunan;
g. Pelepasan/penyerahan hak atas tanah/akta jual beli di hadapan PPAT;
h. SSP PPH final atas pelepasan hak;
i. Surat pelepasan hak adapt (bila diperlukan).
(2) UP/TUP
a. Pengadaan tanah yang luasnya kurang dari satu hektar dilengkapi
persyaratan daftar nominative pemilik tanah yang ditandatangani oleh
kuasa PA.
b. Pengadaan tanah yang luasnya lebih dari satu hektar dilakukan dengan
bantuan panitia pengadaan tanah di kabupaten/kota setempat dan
dilengkapi dengan daftar nominative pemilih tanah dan beasaran harga
tanah yang ditandatangani oleh kuasa PA dan diketahui oleh Panitia
Pengadaan Tanah (PPT).

c. Pengadaan tanah yang pembayarannya dilaksanakan melalui UP/TUP


harus terlebih dahulu mendapat ijin dispensasi dari kantor pusat Ditjen
PBN/Kanwil Ditjen PBN sedangkan besaran uangnya harus mendapat
dispensasi UP/TUP sesuai ketentuan yang berlaku.

5. SPP-LS untuk pembayaran gaji, lembur dan honor/vakasi


(a) Pembayaran Gaji Induk/susulan gaji/kekurangan gaji/gaji terusan/uang duka
wafat dilengkapi dengan Daftar Gaji Induk/susulan gaji/ ekutrangan gaji/gaji
terusan/uang duka wafat, SK CPNS, SK naik pangkat, SK jabatan, KGB, Surat
Pernyataan Pelantikan, Surat Pernyataan Masih Menduduki Jabatan, Surat
Pernyataan Pelaksanaan Tugas, Daftar Keluarga 9KP$), kopi Surat Nikah, kopi
Akte Kelahiran, Surat Keterangan Penghentian Pembayaran, Daftar potongan
Sewa Rumah Dinas, Surat Keterangan Masih Sekolah/Kuliah, Surat Pindah,
Surat Kematian, SSP PPh pasal 21. Kelengkapan tersebut harus sesuai
peruntukannya.
(b) Pembayaran lembur dilengkapi dengan Daftar Pembayaran Perhitungan
Lembur yang sudah ditandatangani oleh Kuasa PA/Pejabat yang ditunjuk dan

89
Bendahara Pengeluaran Satker/SKS ybs, surat perintah kerja lembur, daftar
hadir kerja, daftar kerja lembur dan SSP PPh pasal 21.
(c) Pembayaran Honor/vakasi dilengkapi dengan SK tentang pemberian honor
vakasi, daftar pembayaran perhitungan honor/vakasi yang ditandatangani oleh
kuasa PA/Pejabat yang ditunjuk dan Bendahara Pengeluaran ybs dan SSP
PPh pasal 21.

6. SPP-LS non Belanja Pegawai :


(a) Pembayaran Pengadaan barang dan jasa :
1) Kontrak/SPK yang mencantmkan nomor rekening rekanan;
2) Surat pernyataan kuasa PA mengenai penetapan rekanan;
3) Berita acara penyelesaian pekerjaan;
4) Berita acara serah terima pekerjaan;
5) Berita acara pembayaran;
6) Kuitansi yang disetujui oleh kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk;
7) Faktur pajak beserta SSP yang telah ditandatangani Wajib Pajak;
8) Jaminan bank atau yang dipersamakan yang dikeluarkan Bank atau
Lembaga Keuangan non bank.
9) Dokumen lain yang dipersyaratkan untuk kontrak-kontrak yang dananya
sebagian atau seluruhnya bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri;
10) Ringkasan kontrak untuk rupiah murni dan untuk PHLN

Berita Acara pada butir 3), 4) dan 5) dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap
5 dan disampaikan kepada :
Asli dan satu tembusan untuk penerbit SPM;
Masig-masing satu tembusan untuk para pihak yang membuat kontrak.
Satu tembusan untuk pejabat pelaksana pemeriksaan pekerjaan.
(b) Pembayaran Biaya Langganan Daya dan Jasa (Listrik, Telepon dan Air) :
1). Bukti tagihan daya dan jasa;
2). No. rekening pihak ketiga (PLN, Telkom, PDAM,dll).
Dalam hal pembayaran langganan daya dan jasa belum dapat dilakukan secara
langsung, satker/SKS ybs dapat melakukan pembayaran dengan UP. Tunggakan
langganan daya dan jasa tahun anggaran sebelumnya dapat dibayarkan oleh
satker/SKS setelah mendapat dispensasi/persetujuan terlebih dahulu dari Kanwil
Ditjen PBN sepanjang dananya tersedia dalam DIPA berkenaan.

90
(c) Pembayaran Belanja Pejalanan Dinas harus dilengkapi dengan daftar nominative
pejabat yang akan melakukan perjalnan dinas, yang berisi antara lain: informasi
mengenai data pejabat (Nama, pangkat/Golongan), tujuan, tanggal
keberangkatan, lama perjalanan dinas, dan biaya yang diperlukan untuk masing-
masing pejabat. Daftar normative tersebut harus ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang memerintahkan perjalanan dinas, dan disahkan oleh pejabat
yang berwenang di KPPN. Pembayaran dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran
Satker/SKS ybs kepda para pejabat yang akan melakukan perjalanan dinas.

7. SPP untuk PNBP


1. UP/TUP untk PNBP diajukan terpisah dari UP/TUP lainnya.
2. UP dapat diberikan kepada Satker pengguna sebesar 20% dari pagu dana PNBP
pada DIPA maksimal sebesar Rp 500 juta, dengan melampirkan Daftar Realisasi
Pendapatan dan Penggunaan Dana DIPA (PNBP) tahun anggaran sebelumnya.
Apabila UP tidak mencukupi dapat mengajukan TUP debesar kebutuhan riil satu
bulan dengan memperhatikan maksimum pencairan (MP).
3. Dana yang berasal dari PNBP dapat dicairkan maksimum sesuai formula
sebagai berikut : MP = (PPP x JS) = JPS;
4. MP = Maksimum Pencairan Dana;
5. PPP = Proporsi Pagu Pengeluran terhadap Pendapatan;
6. JS = Jumlah setoran;
7. JPS = Jumlah pencairan dana sebelumnya sampai dengan SPM terakhir yang
diterbitkan.
8. Dalam pengajuan SPM-TUP/GUP/LS PNBP ke KPPN, Satker pengguna harus
melampirkan Daftar perhitungan Jumlah MP;
9. Untuk satker pengguna yang setorannya dilakukan secara terpusat, pencairan
dana diatur secara khusus dengan surat edaran Dirjen PBN tanpa melampirkan
SSBP;
10. Untuk satker pengguna yang menyetorkan pada masing-masing unit (tidak
terpusat), pencairan dana harus melampirkan bukti setoran (SSBP) yang telah
dikonfirmasi olah KPPN;
11. Besaran PPP untuk masing-masing satker pengguna diatur berdasarkan surat
keputusan Menteri Keuangan yang berlaku;
12. Besarnya pencairan dana PNBP secara keseluruhan tidak boleh melampaui
pagu PNBP satker ybs dalam DIPA.

91
13. Pertanggungjawaban penggunaan dana UP/TUP PNBP oleh kuasa PA,
dilakukan dengan mengajukan SPM setempat cukup dengan melampirkan
SPTB.
14. Khusus perguruan tinggi negeri selaku pengguna PNBP (non BHMN), sisa dana
PNBP yang disetorkan pada akhir tahun anggaran ke rekening kas negara dapat
dicairkan kembali maksimal sebesar jumlah yang sama pada awal tahun
anggaran berikutnya mendahului diterimanya DIPA dan merupakan bagian dari
target PNBP yang tercantum dalam DIPA tahun anggaran berikutnya.
15. Sisa dana PNBP dari satker pengguna diluar butir I, yang disetorkan ke rekening
kas Negara pada akhir tahun anggaran merupakan bagian realisasi penerimaan
PNBP tahun anggaran berikutnya dan dapat dipergunakan untuk membiayai
kegiatan-kegiatan setelah diterimanya DIPA.
16. Sisa UP/TUP dana PNBP sampai akhir tahun anggaran yang tidak disetorkan ke
rekening kas Negara, akan diperhitungkan pada saat pengajuan pencairan dana
UP tahun anggaran berikutnya.
17. Untuk keseragaman dalam pembukuan system akuntansi, maka penyetoran
PNBP agar menggunakan formulir SSBP.

7.2 Mekanisme Penerbitan SPM.


Segera setelah menerima SPP, pejabat penerbit SPM menerbitkan SPM dengan
mekanisme, sebagai berikut
1. Penerimaan dan pengujian SPP
Petugas penerima SPP memeriksa kelengkapan berkas SPP, mengisi chek list
kelengkapan berkas SPP, mencatatnya dalam buku pengawasan penerimaan SPP
dan membayar/menandatangani tanda terima SPP berkenaan. Selanjutnya petugas
penerima SPP menyampaikan SPP dimaksud kepada pejabat penerbit SPM.
2. Pejabat penerbit SPM melakukan pengujian atas SPP sebagai berikut:
i. Memeriksa secara rinci dokumen pendukung SPP sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku;
ii. Memeriksa ketersediaan pagu anggaran dalam DIPA untuk memperoleh
kyakinan bahwa tagihan tidak melampaui batas pagu anggaran.
iii. Memeiksa kesesuaian rencana kerja dan atau kelayakan hasil kerja yang
dicapai dengan indikator keluaran.
iv. Memeriksa kebenaran atas hak tagih yang menyangkut antara lain :

92
1) Pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran (nama orang/
perusahaan, alamat, no. rekening dan nama bank)
2) Nilai tagihan yang harus dibayar (kesesuaian dan atau kelayakannya
dengan prestasi kerja yang dicapai sesuai spesifikasi teknis yang
tercantum dalam kontrak).
3) Jadwal waktu pembayaran.
v. Memeriksa pencapaian tujuan dan atau sasaran kegiatan sesuai dengan
indicator kinerja yang tercantum dalam DIPA berkenaan dan atau spesifikasi
teknis yang sudah ditetapkan dalam kontrak.
Setelah dilakukan pengujian terhadap SPP-UP/SSP-GUP/SPP-LS, maka pejabat
penguji SPP dan Penandatanganan SPM menerbitkan SPM-UP/SPM-TUP/SPM-
GUP/SPM-LS dalam rangkap tiga :
a. Lembar kesatu dan kedua disampaikan kepada KPPN;
b. Lembar ketiga sebagai pertinggal pada satker ybs.
SPM Jasa Perbendaharaan/SPM PFK Bulog :
SPM Jasa Perbendaharaan adalah SPM-LS untuk pembayaran jasa
perbendaharaan kepada PT Pos Indonesia (Persero).
SPM PFK Bulog adalah SPM pembayaran perhitungan potongan dana bulog yang
telah dilakukan oleh KPPN.
SPM dimaksud huruf a dan b diterbitkan oleh Sub Bagian Umum KPPN setelah
terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan oleh Saksi Bank/Giro Pos/Seksi Bendahara
Umum terhadap kebenaran dan kelengkapan tagihan yang diajukan oleh PT Pos
Indonesia (Persero)/Bulog.
SPM pengembalian (SPM KP, SPM KPBB, SPM KBC, SPM IB, SPM BPHTB dan
lain-lain) diatur tersendiri.
Pengembalian PNBP yang terlanjur disetor ke rekening kas Negara diatur sbb:
Bagi instansi kementrian/lembaga atau satker yang mempunyai DIPA, SPM
pengembalian diterbitkan oleh satker ybs;
Bagi instansi/badan/pihak ketiga yang tidak mempunyai DIPA, SPM pengembalian
diterbitkan oleh KPPN c.q. Sub bagian Umum sesuai ketentuan berlaku.
Untuk pengembalian sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b SPM yang
diterbitkan harus dilampiri surat keterangan dari KPPN yang menyatakan bahwa
penerimaan Negara yang akan dikembalikan kepada yang berhak telah dibukukan
oleh KPPN.

93
Khusus untuk pengembalian sebagaimana dimaksud pda huruf a SPM dimaksud
harus dilampiri pula Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) dari
kuasa PA.
Pengembalian pengeluaran anggaran yang telah disetor ke rekening kas Negara
dilakukan dengan SPM pengembalian yang diterbitkan olah satker ybs disertai
surat keterangan pembukuan ole KPPN dan dilampiri Surat Setoran Pengembalian
Belanja (SSPB).
SPM yang telah diterbitkan SP2Dnya oleh KPPN dan telah dicairkan (telah
dilakukan perdebetan rekening kas Negara) tidak dapat dibatalkan.
a. Perbaikan hanya dapat dilakukan terhadap kesalahan administrasi sebagai
berikut :
1. Kesalahan Pembebanan pada MAK;
2. Kesalahan pencantuman kode fungsi, sub fungsi, kegiatan dan sub
kegiatan
3. Uraian pengeluaran yang tidak berakibat jumlah uang pada SPM.
4. Perbaikan SPM sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan oleh kuasa
PA/penerbit SPM. Selanjutnya SPM perbaikan dimaksud dilampiri dengan
SKTJM disampaikan kepada Kepala KPPN.

7.3 Aplikasi SPM

Saat ini semua satker bertanggung jawab untuk menerbitkan SPM. Untuk
menerbitkan SPM ini masing-masing Satker mengoperasikan aplikasi SPM untuk
membuatnya. Petunjuk tatacara mengoperasikan aplikasi SPM ini bisa dipelajari
pada lampiran 2 modul ini.

7.4 Prosedur Penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana


Penyampaian SPM kepada KPPN dilakukan sebagai berikut:
1. Pengguna Anggaran/Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan SPM
beserta dokumen pendukung dilengkapi dengan Arsip Data Komputer (ADK) berupa
soft copy (disket) melalui loket Penerimaan SPM pada KPPN atau melalui Kantor
Pos, kecuali bagi satker yang masih menerbitkan SPM secara manual tidak perlu
ADK.

94
2. SPM GAji Induk harus diterima KPPN paling lambat tanggal 15 sebelum bulan
pembayaran.
3. Petugas KPPN pada loket penerimaan SPM memeriksa kelengkapan SPM, mengisi
check list kelengkapan berkas SPM, mencatat dalam Daftar Pengawasan
Penyelesaian SPM dan meneruskan check list serta kelengkapan SPM ke Seksi
Perbendaharaan untuk diproses lebih lanjut.

Mengenai penerbitan SP2D oleh KPPN diatur sebagai berikut:


1. SPM yang diajukan ke KPPN digunakan sebagai dasar penerbitan SP2D.
2. SPM yang dimaksud dilampiri bukti pengeluaran sebagai berikut :
(a) Untuk keperluan pembayaran langsung (LS) belanja pegawai:
i. Daftar Gaji/Gaji Susulan/Kekurangan Gaji/Lembur/honor
yang ditanda-tangani oleh Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk dan
Bendahara Pengeluaran;
ii. Surat-surat Keputusan Kepegawaian dalam hal terjadi
perubahan pada daftar gaji;
iii. Surat Keputusan Pemberian honor/vakasi dan SPK lembur;
iv. Surat Setoran Pajak (SPP).
(b) Untuk keperluan pembayaran langsung (LS) non belanja pegawai:
i. Resume Kontrak/SPK atau Daftar Nominatif Perjalanan Dinas;
ii. SPTB;
iii. Faktur Pajak dan SSP (surat setoran pajak);
(c) Untuk keperluan pembayaran TUP:
i. Rincian rencana penggunaan dana;
ii. Surat dispensasi Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan untuk
TUP diatas Rp 200 juta.
iii. Surat Pernyataan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang
ditunjuk yang menyatakan bahwa:
(1) Dana Tambahan UP tersebut akan digunakan untuk
keperluan mendesak dan akan habis digunakan dalam waktu satu
bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan SP2D;
(2) Apabila terdapat sisa dana TUP, harus disetorkan ke
Rekening Kas Negara;
(3) Tidak untuk membiayai pengeluaran yang seharusnya
dibayarkan secara langsung.

95
(4) Untuk keperluan pembayaran GUP; SPTB dan Faktur
Pajak dan SSP (surat setoran pajak);
Menurut Peraturan Dirjen Perbendaharaan nomor Per-66/PB/2005 tentang
Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara di pasal 10 disebutkan bahwa bukti asli lampiran SPP merupakan arsip yang
disimpan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
Pengujian SPM dilaksanakan oleh KPPN mencakup pengujian yang bersiat
substansif dan formal, meliputi :
1. Pengujian substansif dilakukan untuk:
a. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam SPM;
b. menguji ketersediaan dana pada kegiata/sub kegiatan/MAK dan DIPa yang
ditunjuk dalam SPM tersebut;
c. menguji dokumen sebagai dasar penagihan (Ringkasan Kontrak/SPK, Surat
Keputusan, Daftar Nominatif Perjalanan Dinas);
d. menguji surat pernyataan tanggung jawab (SPTB) dari kepala kantor/satker atau
pejabat lain yang ditunjuk mengenai tanggung jawab terhadap kebenaran
pelaksanaan pembayaran;
e. menguji faktur pajak beserta SSP-nya;
2. Pengujian formal dilakukan untuk :
a. mencocokkan tanda tangan pejabat penandatangan SPM dengan specimen
tandatangan.
b. memeriksa cara penulisan/pengisisan jumlah uang dalam angka dan huruf;
c. memeriksa kebenaran dalam penulisan, termasuk tidak boleh tedapat cacat dalm
penulisan.
Keputusan hasil pengujian ditindak lanjuti dengan penerbitan SP2D bilamana
SPM yang diajukan memenuhi syarat yang ditentukan. Sedangkan pengembalian SPM
kepada penerbit SPM, apabila tidak memenuhi syarat untuk diterbitkan SP2D.
Pengembalian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir b diatur sebagai
berikut: SPM Belanja Pegawai Non Gaji Induk dikembalikan paling lambat tiga hari kerja
setelah SPM diterima; SPM/TUP/GUP dan LS dikembalikan paling lambat satu hari
kerja setelah SPM diterima.
Pengesahan Surat Perintah Membayar Penggantian UP (SPM-GUP) nihil atas
TUP dilaksanakan KPPN dengan membubuhkan Cap pada SPM GU Nihil “telah

96
dibukukan pada tanggal………oleh KPPN” dan ditandatangani oleh Kepala Seksi
Perbendaharaan. Mengenai penerbitan SP2D diatur sebagai berikut :
1. Penerbitan SP2D wajib diselesaikan oleh KPPN dalam batas waktu sebagai berikut:
a. SP2D Gaji Induk diterbitkan paling lambat lima hari kerja sebelum awal bulan
pembayaran gaji.
b. SP2D Non Gaji Induk diterbitkan paling lambat lima hari kerja setelah diterima
SPM secara lengkap.
c. SP2D UP/TUP/GUP dan LS paling lambat satu hari kerja setelah diterima SPM
secara lengkap.
2. Penerbitan SP2D oleh KPPN dilakukan dengan cara :
a. SP2D ditandatangani oleh Seksi Perbendaharaan dan seksi bank/giro pos atau
seksi Bendum
b. SP2D diterbitkan dalam rangkap 3 (tiga) dan dibubuhi stempel timbul seksi
bank/giro pos atau seksi bendum yang disampaikan kepada:
1) Lembar 1 : Kepada Bank Opersional.
2) Lembar 2 : Kepada penerbit SPM dengan dilampirkan SPM yang telah
dibubuhi Cap ‘Telah diterbitkan Sp2D tanggal…………Nomor………..”.
3) Lembar 3 : Sebagai Pertinggal di KPPN (Seksi Verifikasi dan Akuntansi),
dilengkapi lembar ke-1 SPM dan dokumen pendukungnya.
Daftar Penguji (format sebagimana lampiran 13) dibuat dalam rangkap 3 (tiga)
sebagai pengantar Sp2D dengan ketentuan:
1. Ditandatangani oleh Kepala Seksi Bank/Giro Pos atau Seksi Bendum dan diketahui
oleh kepala KPPN serta dibubuhi stempel timbul kepala KPPN.
2. Lembar kesatu dan lembar kedua dilampiri asli SP2D dikirimkan melalui petugas
kurir KPPN ke BI/Bank Operasional/Sentral Giro.
3. Daftar penguji lembar kedua setelah ditandatangani oleh BI/Bank Operasional/
Sentral Giro dikembalikan kepada KPPN melalui petugas kurir yang sama.
4. Daftar penguji lembar ketiga sebagai pertinggal di KPPN.

7.5 Pelaporan Realisasi Anggaran


Untuk keperluan penyusunan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN diperlukan
antara lain data realisasi APBN, arus kas, neraca, dan catatan atas laporan keuangan.
Sesuai pasal 2 Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor : PER-
02/PB/2006 tentang Penetapan Sanksi oleh KPPN Atas Keterlambatan Penyampaian

97
Laporan Keuangan Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005
Tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat tanggal 10
Pebruari 2006, diatur sebagai berikut :
1. Kepala Kantor/satker selaku Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA)
wajib membuat Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca serta Arsip Data
Komputer (ADK) yang dikelolanya kepada menteri/pimpinan Lembaga secara
berjenjang melalui Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran tingkat Wilayah
(UAPPAW) dan kepala KPPN setempat.
2. Laporan Keuangan yang disampaikan harus dilampirkan bukti Register Pengiriman
laporan keuangan ke UAPPA-W/UAPPA-E1 bulan sebelumnya.
3. Penyampaian Laporan Keuangan ke UAKPA ke KPPN selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja setelah bulan bersangkutan berakhir sebagai bahan rekonsiliasi
data dan pengawasan atas ketaatan terhadap ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
4. KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara berkewajiban memberikan sanksi
kepada Kuasa Pengguna Anggaran dalam hal Kuasa Pengguna Anggaran
terlambat/lalai menyampaikan Laporan Keuangan.
5. Dalam hal Kuasa Pengguna Anggaran belum menyampaikan laporan keuangan,
maka KPPN cq. Seksi Verifikasi dan Akuntansi menyusun konsep Surat Peringatan
Penyampaian Laporan Keuangan (SP2LK) yang ditetapkan oleh Kepala KPPN dan
dikirimkan ke Kuasa Pengguna Anggaran yang bersangkutan.
6. Jika sampai dengan 5 (lima) hari kerja sejak terbitnya Surat Peringatan, Kuasa
Pengguna Anggaran tidak menyampaikan laporan keuangan bulanan, KPPN
memberikan sanksi berupa penundaan penerbitan SP2D atas SPM yang diajukan
oleh satuan kerja.
7. Dalam hal pengenaan sanksi, Seksi Verifikasi dan Akuntansi menyusun konsep
Surat Pemberitahuan Pengenaan Sanksi (SP2S) untuk ditetapkan oleh Kepala
KPPN dan dikirimkan kepada satuan kerja yang belum menyampaikan laporan
keuangan.
8. Pengenaan sanksi dimaksud dikecualikan terhadap SPM Belanja Pegawai, SPM-
LS, dan SPM Pengembalian.
9. Pelaksanaan sanksi dimaksud tidak membebaskan Kuasa Pengguna Anggaran
dari kewajiban menyampaikan laporan keuangan kepada KPPN.

98
10. Penerapan sanksi muali dilaksanakan terhadap penyampain Laporan Keuangan
bulan Januari 2006 dan transaksi SPM bulan Februari 2006 sesuai dengan
perlakuan sanksi dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005
Tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.
11. Apabila satuan kerja telah menyampaikan laporan keuangan, Seksi Verifikasi dan
Akuntansi menyusun konsep Surat Pemberitahuan Pencabutan Pengenaan Sanksi
(SP3S) untuk ditetapkan oleh Kepala KPPN dan dikirimkan kepada satuan kerja
yang sudah menyampaikan laporan keuangan.
Kemudian KPPN memproses lebih lanjut Laporan Keuangan dari satuan kerja tersebut
dan menyampaikan hasilnya kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan setempat sesuai
ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor : PER-
66/PB/2006 tentang Pedoman Rekonsiliasi dan Analisa, dan Penyusunan Laporan
Keuangan Tingkat Kuasa BUN KPPN dan Kanwil Ditjen Perbendaharaan tanggal 23
Nopember 2006.

7.6 Lain-Lain
Hal-hal lain diatur sebagai berikut:
1. Pembayaran Uang Duka Wafat/Tewas (UDW/T) dibebankan pada MAK uang duka
wafat/tewas, tanpa memperhatikan pagu dana yang tersedia pada MAK
berkenaan.
2. Untuk mengawasi kredit pagu DIPA baik belanja pegawai maupun non belanja
pegawai, KPPN wajib membuat Kartu Pengawasn Kredit dengan ketentuan:
a. Kartu pengawasan terdiri dari Kartu Induk Pengawasan Kredit
(Lampiran 14-1), Kartu Pengawasan Per Kelompok Jenis Belanja (Lampiran
14-3).
b. Kartu pengawasan dibuat per satuan kerja/kegiatansub kegiatan/jenis
belanja.
c. Pada setiap akhir tahun anggaran KArtu Pengawasan ditutup dengan
diberi catatan: ‘saldo terakhir sebesar ………………, dana UP/TUP yang belum
disetor sebesar………” serta ditandatangani oleh Kepala Seksi
Perbendaharaan dan diketahui Kepala KPPN.
3. KPPN wajib membuat Kartu Pengawasan kontrak untuk kontrak yang
pembayarannya dilakukan dengan termin atau sertifikat bulanan.
4. SKPP pegawai pindah diterbitkan olejh kepala satker dalam rangkap (empat) dan
disampaikan kepada KPPN untuk disahkan oleh Kepala Seksi Perbendaharaan

99
dan dibuatkan surat pengantar yang ditandatanagni oleh Kepala KPPN dengan
penjelasan:
a. lembar pertama dan ketiga dikembalikan kepada satker besangkutan,
selanjutnya lembar pertama diteruskan kepada pegawai yang bersangkutan
dan lembar ketiga diteruskan kepada satker yang baru;
b. lembar kedua dikirimkan oleh KPPN asal kepada KPPN/kantor
pembayar berikutnya;
c. lembar keempat untuk asip KPPN asal.

5. SKPP pegawai diterbitkan oleh kepala satker dalam rangkap 6 9enam) dan
disampaikan kepada KPPN untuk disahkan oleh kepala seksi perbendaharaan dan
dibuatkan surat pengantar yang ditandatangani oleh Kepala KPPN dengan
penjelasan:
a. lembar pertama dan lembar kedua dikirim kepada PT. Taspen
(Persero)/PT.ASABRI P(Persero);
b. lembar ketiga diserahkan kepada pegawai yang bersangkutan;
c. lembar keempat dkirimkan kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan
yang mewilayahi P. Taspen (Persero)/PT. ASABRI (Persero) yang membayar
pensiun;
d. Lembar kelima sebagai arsip Bendahara Pengeluaran;
e. Lembar keenam untuk arsip KPPN.
6. Bendahara Pengeluaran wajib membuat pembukuan seluruh transaksi keuangan
yang dilaksanakan pada satker.
7. Pada setiap awal tahun anggaran Kuasa PA menunjuk PDG yang bertugas
membuat dan menatausahakan daftar gaji dan daftar lembur satker yang
bersangkutan.
8. Pada tutup tahun anggaran tanggal 31 Desember atau hari kerja terakhir apabila
tanggal 31 Desember hari libur pada setiap akhir tahun anggaran, KPPN
melakukan pekerjaan penyelesaian akhir laporan realisasi anggaran, arus kas dan
neraca.
9. Untuk pembayaran kegiatan yang dananya berasal dari pinjaman dan/atau hibah
luar negeri dilaksanakan sesuai peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan yang
berlaku dalam pelaksanaan pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

100
7.6. Latihan 7
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pembayaran dana APBN secara giral?
Bagaimana peneraannya terhadap penerimaan Negara maupun pengeluaran
Negara yang melalui rekening kas Negara dan apakah ada pengecualiannya?
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pejabat pengguna anggaran dan apa pula
wewenangnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku!sebutkan
larangan perangkapan jabatan dalam pelaksanaan APBN!
3. Jelaskan, bagaimana prisedur pengajuan surat permintaan pembayaran
langsung dan penerbitan surat perintah membayar langsung apda kantor/satuan
kerja kementerian lembaga!
4. Jelaskan, bagaimana prosedur pengajuan surat permintaan pembayaran dari
bendahara pengeluaran dan penerbitan surat perintah membayarnya pada
kantor/satuan kerja kementerian Negara/lembaga!
5. Jelaskan, bagaimana prosedur penerbitan surat perintah pencairan dana oleh
KPPN dan tindak lanjut dari hasil pengujian oleh Seksi Perbendaharaan KPPN!
6. Jelaskan apa yang diamksud dengan pengujian SPM yang dilaksanakan oleh
KPPN mencakup pengujian yang bersifat substantif dan format!
7. Jelaskan hal-hal yang behubungan dengan pelaporan realisasi anggaran pada
KPPN!

7.7 Rangkuman
Anggaran pendapatan Negara menurut undang-undang APBN terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu penerimaan perpajakan, PNBP dan penerimaan Hibah. Penerimaan
Negara yang diakui sebagai anggaran pendapatan Negara adalah penerimaan-
penerimaan Negara yang dilakukan secara giral dan tercatat/dibukukan dalam
rekening kas Negara/rekening kas umum Negara. Rekening kas Negara/bendahara
umum Negara ditatausahakan oleh KPPN dan Sub Direktorat administrasi
Benadahara Umum Negara.
Anggaran belanja Negara menrut undang-undang APBN terbagi menjadi dua
kelompok, yang pertama merupakan belanja pemerintah pusat dan yang kedua
merupakan belanja untuk daerah. Mengenai penyaluran dana bealanja pemerintah
pusat maupun belanja untuk daerah pada prinsipnya dilakukan secara giral.

101
8. KEGIATAN BELAJAR (KB) 7: PROSEDUR PENARIKAN/PENYALURAN PHLN

Penyaluran Pinjaman Hibah Luar Negeri dilakukan oleh KPPN Khusus Jakarta VI
dan KPPN Khusus Banda Aceh, dengan prosedur sebagai berikut :

8.1. Rupiah Murni Porsi Goverment of Indonesia (GOI)


Produk pembayaran ini dilakukan sebagai pendamping porsi PHLN, baik dalam
bentuk Rupiah atau Valas tergantung kontrak. Sumber dana dari APBN

Produk

- SP2D Porsi GoI

Mekanisme

1. Satker mengajukan SPM kepada KPPN Khusus Jakarta VI disertai dokumen


pendukung yang diperlukan;

2. KPPN Khusus memeriksa kelengkapan, kebenaran dan keabsahan dokumen


sebelum diterbitkan SP2D Rupiah Murni;

3. KPPN Khusus menerbitkan SP2D Porsi GoI dan dikirim ke Bank Indonesia
(BI)/Bank Operasional (BO);

4. BI/BO melakukan pembayaran ke rekening pihak ketiga.

8.2. Pembukaan Letter of Credit (L/C)

Prosedur ini adalah untuk pengadaan barang impor yang tidak tersedia di dalam
negeri, dengan membuka L/C pada Bank Koresponden dalam rangka melakukan
pembayaran pada penjualan/perusahaan eksportir di luar negeri.

Produk

- Surat Kuasa Membayar atas beban Rekening Khusus (SKM RK L/C)

- Surat Kuasa Pembebanan (SKP)

Mekanisme

a. L/C dengan Pembayaran Langsung

1. Berdasarkan surat permintaan SKP dari satker, KPPN Khusus menerbitkan


SKP kepada Bank Indonesia sebagai dasar pembukaan L/C;

102
2. Dengan membuka L/C pada Bank Koresponden, BI melakukan pembayaran
kepada penjual/eksportir di luar negeri sebesar yang diminta;

3. PPHLN melakukan pembayaran pada Bank Koresponden dan juga


mengirimkan Debet Advice (DA) pada BI;

4. BI membuat Nota Disposisi L/C dan Nota Debet dan mengirimkan ke DJPBN
(KPPN Khusus);

5. Berdasarkan Nota Disposisi dan Nota Debet BI, KPPN Khusus menerbitkan
SP3 dan disampaikan kepada satker dalam rangka SAI sebagai bahan
pembukuan realisasi PHLN dalam APBN;

b. L/C melalui Rekening Khusus

1. Berdasarkan surat permintaan SKM RK-L/C dari satker, KPPK Khusus


menerbitkan Surat Kuasa Membayar (SKM) RK-L/C kepada BI sebagai
dasar pembukaan L/C;

2. Dengan membuka L/C pada Bank Koresponden, BI melakukan


pembayaran kepada penjual/eksportir di luar negeri sebesar yang diminta
dibebankan pada rekening khusus pinjaman;

3. BI mengirimkan Nota Disposisi L/C kepada Direktorat Jenderal


Perbendaharaan (KPPN Khusus Jakarta VI);

4. Berdasarkan Nota Disposisi dan Nota Debet BI, KPPN Khusus


menerbitkan SP3 dan disampaikan kepada satker dalam rangka SAI
sebagai bahan pembukuan realisasi PHLN dalam APBN.

8.3. Pembayaran Langsung

Penarikan pinjaman berdasarkan Aplikasi Penarikan Dana (APD) kepada


Pemberi Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PPHLN) dengan permintaan untuk membayar
secara langsung kepada rekening rekanan

Produk

- Withdrawal Application (WA) untuk Pembayaran Langsung

Mekanisme

1. Satker mengajukan APD ke KPPN Khusus Jakarta VI dilengkapi dokumen yang


diperlukan;

103
2. KPPN Khusus memeriksa kelengkapan, kebenaran dan keabsahan dokumen
APD dan atas dasar APD, KPPN khusus menerbitkanWA;

3. PPHLN melakukan pembayaran kepada rekening rekanan dan menyampaikan


Debet Advice/Notice of Disbursement (NoD) kepada KPPN Khusus;

4. Berdasarkan NoD, KPPN Khusus menerbitkan Surat Perintah


Pembukuan/Pengesahan (SP3) dan disampaikan kepada satker dalam rangka
SAI sebagai bahan pembukuan realisasi PHLN dalam APBN;

8.4. Pembiayaan Pendahuluan

Aplikasi Penarikan Dana (APD) Loan yang digunakan untuk pembayaran


kembali biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN. Dengan APD ini PPHLN
mengganti kembali dana yang telah digunakan pada rekening BUMN yang
bersangkutan.

Produk

- Withdrawal Application (WA) untuk Reimbursement

Mekanisme

1. Satker mengajukan APD reimbursement ke KPPN Khusus Jakarta VI atas


pembiayaan pendahuluan yang telah dilaksanakan;

2. KPPN Khusus menerbitkan WA Reimbursement ke PPHLN disertai dokumen


pendukung yang dipersyaratkan PPHLN, selanjutnya PPHLN melakukan
pembayaran kembali ke rekening BUMN;

3. PPHLN mengirimkan Debet Advice (DA)?Notice of Disbursement (NoD) ke


KPPN Khusus;

4. Berdasarkan NoD, KPPN Khusus menerbitkan SP3 dan disampaikan kepada


satker dalam rangka SAI sebagai bahan pembukuan realisasi PHLN dalam
APBN.

8.5. Rekening Khusus

Salah satu cara penarikan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dengan membuka


Rekening Khusus di BI atau Bank Pemerintah lainnya yang ditunjuk Menteri Keuangan.

104
Produk

- SP2D RK

Mekanisme

1. Satker mengajukan SPM-RK kepada KPPN Khusus Jakarta VI disertai dokumen


pendukung;

2. KPPN Khusus memeriksa kelengkapan, kebenaran dan keabsahan dokumen


tersebut sebelum menerbitkan SP2D-RK;

3. KPPN Khusus menerbitkan SP2D-RK dan dikirim ke BI;

4. BI melakukan pembayaran kepada rekening pihak ketiga.

8.6. Kredit Ekspor

Suatu pinjaman dari Lembaga Keuangan/Perbankan suatu Negara yang


tujuannya untuk mendorong kegiatan ekspor negara donor sekaligus membantu negara
peminjam.

Produk

- SP2D Porsi Rupiah;

- Withdrawal Application (WA);

- Surat Kuasa Pembebanan (SKP);

- Surat Kuasa Membayar Rekening Khusus (SKM RK L/C).

Mekanisme

1. Letter of Credit (L/C)

Berdasarkan SPM dari satker, KPPN Khusus Jakarta VI menerbitkan SP2D


(biasanya uang muka 15 %). Untuk porsi PHLN (sisanya) mekanisme
pembayaran sama dengan prosedur L/C;

2. Pembayaran Langsung

Berdasarkan SPM dari satker, KPPN Khusus Jakarta VI menerbitkan SP2D


(biasanya uang muka 15 %). Untuk porsi PHLN (sisanya) mekanisme
pembayaran sama dengan prosedur Pembayaran Langsung.

105
Pencairan PHLN yang pertama, maka data pendukung/lampiran yang diperlukan
adalah sebagai berikut :

1. Kontrak asli dengan tanda tangan basah (khusus Pembayaran Langsung);

2. Resume kontrak/SPK atau Daftar Nominatif Pejalanan Dinas;

3. SK Penunjukan Pejabat Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran


(KPA), Pembuat Komitmen (PK), Penanda tangan SPM dan Bendahara
Pengeluaran untuk tahun anggaran berjalan;

4. Specimen tanda tangan para pejabat seperti tersebut pada angka 3;

5. Copy Garansi Bank yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang untuk Uang
Muka (khusus Pembayaran Langsung);

6. Copy Persetujuan Kontrak Final dari Pemberi PHLN (No Objection Letter/NOL)
sepanjang dipersyaratkan.

Pembayaran Langsung

1. Form aplikasi penarikan dana (APD) dari PA/KPA;

2. Request for Payment sesuai bentuk standar dari Pemberi PHLN;

3. Berita Acara Pembayaran;

4. Invoice/kuitansi;

5. Berita Acara Kemajuan Pekerjaan/Sertifikat Bulanan (MC) untuk Cuvil Works;

6. Berita Acara Serah Terima Pekerjaan;

7. Invoice/kuitansi untuk pengadaan barang dan jasa konsultan;

8. Faktur PPN dan SSP PPh.

Dokumen no. 1 s.d. 6 dibuat rangkap 3

Rekening Khusus/Rupiah Murni :

1. Surat Perintah Membayar (SPM) yang dilengkapi dengan Arsip Data Komputer
(ADK) kecuali untuk satker yang masih menerbitkan SPM secara manual;

2. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB);

3. Berita Acara Pembayaran (khusus Rekening Khusus untuk keperluan


replenishment) untuk pembayaran LS;

106
4. Faktur PPN dan SSP PPh;

5. Daftar Rincian Permintaan Pembayaran Lembar B (untuk GU);

6. Rekap Pengeluaran Per Kategori NPLN (untuk GU).

Dokumen no. 1 s.d. 6 dibuat rangkap 3, kecuali no. 4.

Letter of Credit

1. Surat Permintaan Penarikan (SPP) Surat Kuasa Pembebanan (SKP) atau Surat
Kuasa Membayar beban Rekening Khusus untuk Letter of Credit (SKM RK-L/C);

2. Kontrak asli dengan tanda tangan basah;

3. Copy persetujuan kontrak final dari pemberi pinjaman/hibah (No Objection


Letter/NOL) sepanjang dipersyaratkan.

Dokumen No. 1 s.d. 3 dibuat 3 rangkap

107
8.7. Latihan

1. Bagaimana mekanisme pencairan/penyaluran PHLN melalui KPPN Jakarta VI


dengan Rupiah murni Porsi Goverment of Indonesia (GOI) dan Pembayaran
Langsung ?

2. Apa yang dimaksud dengan pembukaan letter of credit (LC), bagaimana


mekanisme dan dokumen apa yang diperlukan ?

3. Apakah perbedaan antara pembayaran pendahuluan dengan pembayaran


langsung ? Jelaskan !

4. Pada Pencairan PHLN yang pertama, data pendukung/lampiran apa yang


diperlukan dalam proses tersebut ?

5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kredit ekspor? Produk apa yang dihasilkan
serta bagaimana mekanismenya ?

8.8. Rangkuman

Penyaluran Pinjaman Hibah Luar Negeri dilakukan oleh KPPN Khusus Jakarta VI
dan KPPN Khusus Banda Aceh, dengan prosedur sebagai berikut :
(1) Rupiah Murni Porsi Goverment of Indonesia (GOI)
(2) Pembukaan Letter of Credit (L/C)
(3) Pembayaran Langsung
(4) Pembiayaan pendahuluan
(5) Rekening Khusus
(6) Kredit Ekspor

Pencairan PHLN yang pertama, maka data pendukung/lampiran yang diperlukan


adalah sebagai berikut :
1. Kontrak asli dengan tanda tangan basah (khusus Pembayaran Langsung);
2. Resume kontrak/SPK atau Daftar Nominatif Pejalanan Dinas;
3. SK Penunjukan Pejabat Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA), Pembuat Komitmen (PK), Penanda tangan SPM dan Bendahara
Pengeluaran untuk tahun anggaran berjalan;
4. Specimen tanda tangan para pejabat seperti tersebut pada angka 3;

108
5. Copy Garansi Bank yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang untuk Uang Muka
(khusus Pembayaran Langsung);
6. Copy Persetujuan Kontrak Final dari Pemberi PHLN (No Objection Letter/NOL)
sepanjang dipersyaratkan.

109
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan


Tanggung jawab Keuangan Negara;

Undang-Undang No.18 Tahun 2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2007

Peraturan Pemerintah RI Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran PNBP;

Peraturan Pemerintah RI Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan


Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu;

Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian


Rencana dan Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);

Peraturan Pemerintah RI Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan


Layanan Umum (BLU);
Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah;

Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran


Pendapatan dan Belanja Negara jo. Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004;

Peraturan Menteri Keuangan nomor 134/PMK.06/2005 tanggal 27 Desember 2005


tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan APBN;

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005 tentang Bagan Perkiraan


Standar;

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tentang Modul Penerimaan


Negara;

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.05/2007 tentang Petunjuk Penyusunan


dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara.Lembaga dan
Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Revisi Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2008;

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.02/2007 tentang Standar Biaya tahun


2008

110
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan No.66/PB/2005 tentang Mekanisme
Pelaskanaan Pelaksanaan Pembayaran atas Beban APBN;

Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan No.78/PB/2006 tentang Penatausahaan


Penerimaan Negara melalui Modul Penerimaan Negara.

111
Lampiran 1 Petunjuk Aplikasi RKA-KL untuk membuat DIPA

112
Lampiran 2 Petunjuk Aplikasi SPM

113

Anda mungkin juga menyukai