Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulo matosa menahun yang
disebabkan oleh organisme intraseluler obligat Mycobacterium leprae. Pada perjalanan
penyakit kusta terdapat episode akut yang di kenal dengan istilah reaksi kusta. Tipe reaksi
terbagi dua yaitu, reaksi kusta tipe-1 (reaksi reversal) dan tipe-2 (Eritema Nodusum
Leprosum).
Eritema nodosum leprosum (ENL) merupakan reaksi lepra tipe 2 yang sering terjadi
pada penderita lepromatosa (LL) dan kadang borderline lepromatosa (BL). ENL sampai saat
ini belum diketahui pasti penyebabnya, penderita baik yang telah berobat maupun yang
belum Eritema nodosum leprosum dapat timbul spontan setelah pengobatan dengan anti
lepra atau karena beberapa faktor pencetus antara lain adanya infeksi, infestasi cacing, luka,
operasi/pembedahan, stres fisik/mental, imunisasi, kehamilan, persalinan, dan anemia.
Patogenesis ENL merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coomb dan Gell.
Antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan antibodi
membentuk kompleks antigen-antibodi. Kompleks antigenantibodi ini akan mengaktifkan
komplemen sehingga terjadi ENL. ENL merupakan reaksi humoral yang merupakan
manifestasi sindrom kompleks imun. Apabila kompleks imun ini mengendap di dinding
pembuluh darah akan terjadi vaskulitis dan kalau terbawa aliran darah akan terbentuk ENL
baru di tempat lain pada kulit dan organ-organ lainnya serta dapat menyebabkan neuritis,
iridosiklitis, artritis, miositis, dan orkitis.
Manifestasi kulit pada ENL biasanya berupa nodul atau papul kemerahan pada kulit
yang terasa nyeri dan dapat mengalami supurasi atau ulserasi. Bila berlangsung kronik akan
membentuk indurasi kecoklatan dengan permukaan mengkilat. Predileksi umumnya
mengenai permukaan ekstensor ekstremitas dan wajah, tetapi dapat pula mengenai badan.
Biasanya disertai demam, malaise, nyeri kepala, artralgia, neuritis dan artritis. Pada kasus
yang berat, lesi ENL dapat menjadi vesikuler atau bulosa yang kemudian pecah (nekrotikan).
Pengobatan yang diberikan pada reaksi ENL adalah pemberian obat anti reaksi
(kortikosteroid, klorokuin, talidomid, atau klofazimin), istirahat atau imobilisasi, analgesik-
antipiretik dan sedatif untuk mengatasi rasa nyeri, serta tetap meneruskan obat antilepra.

[Type text] Page 1


BAB III
PEMBAHASAN

Reaksi Kusta adalah suatu keadaan timbulnya gejala dan tanda peradangan akut
pada lesi penderita lepra yang merupakan suatu gangguan keseimbangan imunologi akibat
reaksi hipersensitivitas terhadap antigen Mycobacterium leprae. Dikenal ada tiga reaksi
lepra, yaitu: reaksi tipe 1 (reaksi reversal), reaksi tipe 2 (eritema nodosum leprosum), dan
Fenomena Lucio.
Eritema Nodusum Leprosum (ENL) adalah reaksi kusta tipe 2 dengan manifestasi lesi
kulit berupa nodul merah yang nyeri kemudian mengalami nekrosis dan ulserasi serta
mengeluarkan pus kuning yang kental.Predileksi lesi ditemukan di wajah dan di permukaan
ekstendor ekstremitas, tetapi juga dapat muncul di area tubuh lainnya. Reaksi: Episode akut
yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktiv disebabkan suatu interaksi antara
bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang telah tertimbun di dalam
darah penderita dan cairan penderita.
Meskipun cara masuk mycrobacterium leprae ke dalam tubuh belum diketahui
secara pasti.Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penularannya yang paling
sering melalui kulit yang lecet, pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa
nasal.Setelah mycrobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau
sistem imunitas seluler tinggi, berarti penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila
rendah, berarti berkembang ke arah lepromatosa. Mycrobacterium leprae berpredileksi di
daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasiyang sedikit.
Mycrobacterium leprae terutama terdapat pada sel makrofag disekitar pembuluh darah
superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk ke dalam tubuh,
maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag untuk memfagosit.
1) Tipe LL (Lepromatosa) : Terjadi kelumpuhan system imun seluler yang rendah dimana
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman, dan dapatmembelah diri dan dengan bebas
merusak jaringan.
2) Tipe TT (Tuberkoloid): Fase system imun seluler yang tinggi dimanamakrofag dapat
menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis, terjadi sel epitel yang tidak

[Type text] Page 2


bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi
berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
Pada reaksi kusta, terjadi peningkatan hipersensitivitas seluler mendadak, sehingga
respon terhadap antigen basil mycrobacterium leprae yang mati dapat meningkat. Keadaan
ini ditunjukkan dengan peningkatan transformasi limfosit. Tetapi sampai sekarang belum
diketahui dengan pasti antigen M. leprae mana yang mendasari kejadian patologis tersebut
dapat terjadi.Determinan antigen tertentu yang mendasari reaksi penyakit kusta pada tiap
penderita mungkin berbeda. Sehingga gambaran klinisnya dapat berbeda pula sekalipun
tipe lepra sebelum reaksi sama. Determinan antigen banyak didapati pada kulit dan jaringan
saraf.Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun
pada tiap pasien berbeda.Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler
daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologis.
Di mana pada pemeriksaan fisis yang di dapatakan kesadaran umum sakit sedang,
status gizi buruk, kesadaran compos mentis, tanda vital; TD : 130/80 mmHg, HR :
80X/Menit, RR : 20X/Menit, Suhu : 36,7 derajat. Pemeriksaan kepala; Sklera : ikterik (-),
konjungtiva : anemis (-), bibir : sianosis (-). Pemeriksaan jantung paru : rhonki pada apeks
paru dextra dan sinistra,yang menandakan adanya penumpukkan cairan di longga
paru,pemeriksaan Abdomen : dalam batas normal, Ekstremitas : akral hangat pada keempat
ekstremitas dan tidak ditemukan edema, kelenjar limfe : dalam batas normal. Status
dermatologis; lokasi : regio colli sinistra, ukuran miliar, effloresensi ulkus dan krusta serta
lokasi ulkus dan dari pemeriksaan dermatologi di dapatkan gejalah klinis Skrofuloderma
yaitu timbulnya skrofuloderma akibat penjalaran perkontinuitatum dari organ di bawah kulit
yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari kelenjar getah bening,
juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu, tempat predileksinya pada tempat-
tempat yang banyak didapati kelenjar getah bening superfisialis, yang tersering ialah pada
leher, kemudian disusul di ketiak dan yang terjarang pada lipat paha. Pada pasien di dapatkan
adanya luka di daerah leher yang mengarah seperti gejala klinis Skrofuloderma1,8
Gambaran kliniknya dimulai dengan satu atau beberapa nodul indolen, keras dan dalam,
dan melekat dengan kulit diatasnya. Setelah beberapa minggu lesi menjadi kemerahan,
melunak dan mengalamai supurasi. Bila pecah terbentuk sinus atau ulkus yang tepinya tidak
teratur, fistel, sikatriks, dan jembatan kulit (skin bridges). Dan pada pasien tampak fistel,
sikatriks dan jembatan kulit.1,4,8

[Type text] Page 3


Untuk pemeriksaan penunjang darah rutin di dapatkan WBC : 5,4 x 103 di mana WBC
dalam batas normal, HGB di dapatkan 10,8 yaitu HB pasien kurang dan perlu istirahat, dan
HCT di dapatkan 32,7 yaitu sedikit turun, Hasil rapid test anti HIV di dapatkan non reaktif,
Asam Urat di dapatkan 7,90 yang di dapatkan meningkat, serta Albumin 2,7 yang di dapatkan
menurun. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang, pada pasien ini di
diagnosa dengan Sklofuroderma dengan diferansial diagnosisnya yaitu Hidradenitis
Supurativa dan Aktinomikosis. Hidradenitis Supurativa adalah penyakit kulit inflanmasi
kronik yang timbul dengan abses yang menyakitkan dan sering berbau busuk, nodul, saluran
sinus, dan pembentukkan bekas luka, biasanya melibatkan kulit yang mengandung kelenjar
apokrin di aksilla, daerah inguinal, dan daerah perianal, dan perineal. Gejala klinisnya yaitu
timbulnya benjolan di kulit sekitar folikel rambut yang mengandung banyak kelenjar
keringat. Benjolan yang muncul umumnya keras, dan meradang, serta menimbulkan rasa
sakit dan gatal. Kadang benjolan hilang 10 hingga 30 hari. Namun bisa juga menjadi abses
yang menimbulkan rasa nyeri. Meski dapat hilang tetapi benjolan dapat timbul kembari dan
meninggalkan bekas luka atau jaringan parut yang permanen. Sedangkan Aktinomikosis
adalah infeksi kronis subakut yang di sebabkan oleh bakteri genus Actinomyces. Infeksi ini di
tandai dengan adanya pembengkakkan yang berpusat pada suatu tempat. Untuk gejalahnya
cukup berfariasi tergantung jenis aktinomikosis, tetapi berdasarkan kasus aktinomikosis oral
servikofasialis lebih mendekati di banding aktimomikosis yang lainnya di mana pada
aktimomikosis oral terjadi pada rongga mulut, rahang, leher, serta daerah wajah. Sebagian
besar kasus di sebabkan oleh cedera rahang atau permasalahan pada gigi. Gejala yang paling
sering muncul yaitu, demam, muncul pembengkakkan kronis di sekitar rahang bawah yang
kadang terasa nyeri, muncul lesi yang terasa keras, muncul limfadenopati jika aktinomikosis
sedang kronis dan masuk ke stadium lanjut, terbentuk saluran sinus yang mengeluarkan
cairan abses yang berwarna kuning seperti sulfur, warna kulit di sekitar pembengkakkan
dapat berubah menjadi kemerahan atau kebiruan.1,3
Untuk pengobatannya di berikan IVFD Rigerlaktat 20 tpm untuk pemenuhan cairan
karena pada pasien juga demam, cefriaxone 2 gram / 24 jam iv yang merupakan golongan
antibiotic cephalosporin dengan dosis untuk orang dewasa, 1 gram/ hari dan dosis dapat di
tingkatkan 2-4 gram/hari, selain itu juga di berikan methilprednisolon ½ ampul/ 12 jam iv
merupakan golongan kortikosteroid sebagai antiinflamasi sistemik. Untuk topical dari
ulkusnya sendiri di berikan Sibro Krim 20 gram (pagi-sore) oles tipis-tipis sebagai anti
inflamasi topikal, serta di kopres Nacl 0.9% untuk membersihkan luka. Di mana pada pasien

[Type text] Page 4


juga di berikan obat anti tuberculosis untuk tuberkulosisnya dan sesuai dengan teori di mana
pengobatan harus di berikan obat anti tuberculosis untuk mengobati tuberculosisnya 3,4
Secara Umum pencegahan TB yaitu :
 Ruangan harus berventilasi dengan cahaya matahari yang masuk agar penyebaran
kuman TB tidak meluas
 Memotong rantai penularan dengan melakukan pengobatan pada pasien TB sehingga
penting diagnosis TBC sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan
penapisan TBC secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi berisiko tinggi.
 Pemakaian Masker dan pengobatan untuk semua pasien TBC, termasuk untuk
penderita resistan obat dengan disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan
pasien (patient-centred support). Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana
komorbid TBC yang lain.
 Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan berisiko tinggi
serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TBC. Pemberian BCG meninggikan daya
tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis yang virulen. Imunitas timbul 6 –
8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga
masih mungkin terjadi super infeksi meskipun biasanya tidak progresif dan
menimbulkan komplikasi yang berat
Pada pasien berhubungan juga dengan keadaan rumah di mana menurut pengakuan pasien
rumah pasien dengan fentilasi yang kurang bagus dan keadaan rumah yang gelap, sehingga
penting untuk keluarga pasien dan pasien melakukan pencegahan, agar memutus rantai
penularan TB 9,10

[Type text] Page 5


BAB IV
KESIMPULAN

Eritema nodosum leprosum (ENL) merupakan reaksi lepra tipe 2 yang sering terjadi
pada penderita lepromatosa (LL) dan kadang borderline lepromatosa (BL). ENL sampai saat
ini belum diketahui pasti penyebabnya, penderita baik yang telah berobat maupun yang
belum Eritema nodosum leprosum dapat timbul spontan setelah pengobatan dengan anti
lepra atau karena beberapa faktor pencetus antara lain adanya infeksi, infestasi cacing, luka,
operasi/pembedahan, stres fisik/mental, imunisasi, kehamilan, persalinan, dan anemia.
ENL sampai saat ini belum diketahui pasti penyebabnya, penderita baik yang telah
berobat maupun yang belum, faktor pencetus terjadinya ENL adalah infeksi virus, stress,
infeksi tuberkulosis, vaksinasi dan kehamilan. Akan tetapi beberapa menyimpulkan dapat
disebabkan oleh infeksi stress dan respon imunologi. Mycrobacterium leprae merupakan
basil tahan asam (BTA), yang bersifat obligat intraseluler, yang menyerang saraf perifer,
kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang
kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mycrobacterium leprae 1221 hari dan
masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun. Mycrobacterium leprae atau kuman hansen
adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH
Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan
ukuran 1,8 micron, lebar 0,20,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat
di kultur dalam media buatan.
ENL merupakan basil humoral dimana basil kusta yang utuh maupun yang tidak utuh
menjadi antigen sehingga tubuh membentuk antibodi, selanjutnya membentuk kompleks
imun yang mengendap dalam vaskuler.Reaksi tipe - 2 yang tipikal pada kulit ditandai dengan
nodul - nodul eritematosa yang nyeri, timbul mendadak, lesi dapat superfisial atau lebih
dalam. Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta antara lain:
setelah pengobatan antikusta yang intensif, infeksi rekuren, pembedahan, dan stres fisik.

[Type text] Page 6


Prinsip pengobatan yaitu, pemberian obat anti reaksi.Obat yang dapat digunakan adalah
aspirin, klorokuin, prednison, dan prednisolon sebagai anti implamasi. Dosis obat yang
digunakan sebagai berikut : Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari.
Klorokuin 3x150 mg/hari, Prednison 30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesudah
makan atau dapat juga diberikan secara dosis tertinggi misalnya : 4x2 tablet/hari, berangsur-
angsur diturunkan 5-10 mg/2 minggu setelah terjadi respon maksimal.Untuk melepas
ketergantungan pada kortikosteroid pada reaksi tipe II (ENL) digunanakan talidomid.Dosis
talidomid 400 mg/hari yang berangsur-angsur diturunkan sampai 50 mg/hari. Tidak
dianjurkan untuk wanita usia subur karena talidomid bersifat teratogenik.Setiap 2 minggu
pasien harus diperiksa ulang untuk melihat keadaan klinis.Bila tidak ada perbaikan maka
dosis prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4 minggu atau dapat ditingkatkan
(misalnya dari 15 mg menjadi 20 mg sehari).Setelah ada perbaikan dosis diturunkan.
Untuk mencegah ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan klofazimin.
Klofazimin hanya diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis).Dosis klofazimin ditinggikan dari
dosis pengobatan kusta.Untuk orang dewasa 3x100 mg/hari selama 1 bulan. Bila reaksi
sudah berkurang maka dosis klofazimin itu diturunkan menjadi 2x100 mg/hari, selama 1
bulan diturunkan lagi menjadi 1x100 mg/hari selama 1 bulan. Setelah reaksi hilang
pengobatan kembali ke dosis semula, yaitu 50 mg/hari.

[Type text] Page 7


DAFTAR PUSTAKA

1. Bernard, Thomas. Leprosy. In: Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th e;2009. P.665-671
2. Cole ST. Leprosy. In: Wolff KG, LA. Katz, SI. Gilchrest, BA. Paller, AS. Leffeld, DJ.
Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th e: McGraw Hill;2012. P.1786-
1796
3. Elizabeth P. Sampaio, :The Influence of Thalidomide on the Clinical and Immunologic
Manifestation of Erythema Nodosum Leprosum, 2018 di akses tanggal 02 agustus
2019:https://academic.oup.com/jid/articleabstract/168/2/408/921758?redirectedFr
om=fulltext
4. Elizabeth E.:Prolonget Treatment with recombinant Interferon ˠ Induces Erithema
Nodulus Leprosum in Lepromatous Leprosy Patients,2011 di akses tanggal 02
agustus 2019: www.ila.ilsl.br/pdfs/v67n3a06.pdf
5. Leonor Pocaterra, Suman Jain. Clinical Course Of Erythema Nodosum Leprosum: An
11-Year Cohort Study In Hyderabad, 2010 di akses tanggal 02 agustus 2019:
https://www.ajtmh.org/content/journals/10.4269/ajtmh.2006.74.868
6. Rakesh Manandhar, Joseph W. LeMaster. Risk Factors for Erythema Nodosum
Leprosum, 2018 di akses tanggal 02 Agustus 2019:
https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMc052955
7. Steven L. The role of thalidomide in the management of erythema nodosum
leprosum: Lepr Rev (2007) , di akses tanggal 02 agustus 2019:
https://researchonline.lshtm.ac.uk/7920/
8. Mitchell S. Meyerson, M.D. Erythema Nodosum Leprosum: International Journal of
Dermatology, Vol. 35, No.6, 1996 di akses tanggal 02 agustus 2019:
www.josorge.com/publications/Citations/IJL/001.pdf
9. Suman Laal, Lalit K. Natural Emergence of Antigen-Reactive T Cells in Lepromatous
Leprosy Patients during Erythema Nodosum Leprosum : Infection And Immunity, Vol.
50, No. 3 2011: di akses tanggal 02 agustus 2019:
www.josorge.com/publications/Citations/IJL/001.pdf

[Type text] Page 8


10. E P Sampaio. Pentoxifylline decreases in vivo and in vitro tumour necrosis factor-
alpha (TNF-α) production in lepromatous leprosy patients with erythema nodosum
leprosum (ENL). di akses tanggal 02 agustus 2019:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1904921/

[Type text] Page 9

Anda mungkin juga menyukai