Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Stroke masih merupakan penyebab utama invaliditas kecacatan sehingga orang


yang mengalaminya memiliki ketergantungan pada orang lain. Pada kelompok usia 45
tahun ke atas dan angka kematian yang diakibatnya cukup tinggi.
Perdarahan intra serebral terhitung sekitar 10 - 15% dari seluruh stroke
danmemiliki tingkat mortalitas lebih tinggi dari infark serebral. Literatur lain menyatakan
hanya 8– 18% dari stroke keseluruhan yang bersifat hemoragik. Namun, pengkajian
retrospektif terbaru menemukan bahwa 40.9% dari 757 kasus stroke adalah stroke
hemoragik. Namun pendapat menyatakan bahwa peningkatan presentase
mungkindikarenakan karena peningkatan kualitas pemeriksaan seperti ketersediaan CT
scan,ataupun peningkatan penggunaan terapeutik agen anti platelet dan warfarin yang
dapat menyebabkan perdarahan.
Stroke adalah penyebab kematian dan disabilitas utama. Dengan kombinasiseluruh
tipe stroke secara keseluruhan, stroke menempati urutan ketiga penyebab utama kematian
dan urutan pertama penyebab utama disabilitas. Morbiditas yang lebih parah dan
mortalitas yang lebih tinggi terdapat pada stroke hemoragik dibandingkan stroke iskemik.
Hanya 20% pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya.
Resiko terjadinya stroke meningkat seiring dengan usia dan lebih tinggi pada pria
dibandingkan dengan wanita pada usia berapapun. Faktor resiko mayor meliputi
hipertensi arterial, penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung, perilaku
merokok,hiperlipoproteinemia, peningkatan fibrinogen plasma, dan obesitas. Hal lain
yang dapat meningkatkan resiko terjadinya stroke adalah penyalahgunaan obat, pola
hidup yang tidak baik, dan status sosial dan ekonomi yang rendah.
Diagnosis dari lesi vaskular pada stroke bergantung secara esensial
pada pengenalan dari sindrom stroke, dimana tanpa adanya bukti yang
mendukungnya,diagnosis tidak akan pernah pasti. Riwayat yang tidak adekuat adalah
penyebabkesalahan diagnosis paling banyak. Bila data tersebut tidak dapat dipenuhi,
maka profil stroke masih harus ditentukan dengan memperpanjang periode observasi
selama beberapa hari atau minggu.

1
1.2 Tujuan Makalah

Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan morbiditas


dan menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan. Salah satu upaya
yang berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengenalan gejala-gejala
stroke dan penanganan stroke secara dini dimulai dari penanganan pra rumah sakit yang
cepat dan tepat. Dengan penanganan yang benar-benar pada jam-jam pertama paling
tidak akan mengurangi kecacatan sebesar 30% pada penderita stroke.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Stroke adalah gangguan fungsional otak yang bersifat lokal dan atau global, terjadi
secara akut berlangsung selama 24 jam atau lebih yang disebabkan oleh gangguan aliran
darah otak. Stroke merupakan gejala dan atau tanda gangguan fungsi otak fokal maupun
global yang terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung progresif atau menetap hingga dapat
berakhir pada kematian, tanpa adanya penyebab lain selain dari gangguan vaskuler serta
tanpa didahului trauma atau penyakit infeksi sebelumnya.
Stroke hemorragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah
otak yangmenyebabkan pengeluaran darah ke parenkim otak, ruang cairan cerebrospinal
di otak, ataukeduanya. Adanya perdarahan ini pada jaringan otak menyebabkan
terganggunya sirkulasi di otak yang mengakibatkan terjadinya iskemik pada jaringan
otak yang tidak mendapat darah lagi, sertaterbentuknya hematom di otak yang
mengakibatkan penekanan. Proses ini memacu peningkatan tekanan intrakranial sehingga
terjadi shift dan herniasi jaringan otak yang dapat mengakibatkankompresi pada batang
otak

2.2 Epidemiologi

Di Eropa, stroke adalah penyebab kematian nomor tiga di negara-negara industri di


Eropa. Insidens global stroke diperkirakan akan semakin meningkat sejak populasi
manula berusia lebih dari 65 tahun meningkat dari 390 juta jiwa menjadi 800 juta jiwa
yang diperkirakan pada tahun 2025. Stroke iskemik adalah tipe yang paling sering
ditemukan, kira-kira 85% dari seluruh kasus stroke. Sedangkan stroke hemoragik
mencakup 15% dari seluruh kasus stroke. Di USA, sebanyak 705.000 kasus stroke terjadi
setiap tahun, termasuk kasus baru dan kasus rekuren. Dari semua kasus tersebut, hanya
80.000 kasus adalah stroke hemoragik.
Perdarahan intraserebral adalah penyebab utama kecacatan dan kematian dan
mencakup 10- 15% dari kasus stroke pada orang kulit putih dan sekitar 30% pada orang
kulit hitam dan Asia. Insidens Perdarahan Intraserebral (PIS) dari keseluruhan kasus
stroke adalah lebih tinggi di Asia dan lebih rendah di Amerika Serikat. Estimasi insidens

3
perdarahan intraserebral per 100.000 pertahun bervariasi dari 6 kasus di Kuwait hingga
411 di China.
Perdarahan Subarachnoid memiliki kasus yang signifikan di seluruh dunia,
menyebabkan kecacatan dan kematian. Perdarahan Subarachnoid biasanya didapatkan
pada usia dewasa muda baik pada laki-laki maupun perempuan. Insidens perdarahan
subarachnoid meningkat seiring umur dan lebih tinggi pada wanita daripada laki-laki.
Populasi yang terkena kasus perdarahan subarachnoid bervariasi dari 6 ke 16 kasus per
100.000, dengan jumlah kasus tertinggi di laporkan di Finlandia dan Jepang. Selama
kehamilan, resiko untuk terjadinya rupture malformasi arteriovenous meningkat,
terutama pada trimester ketiga kehamilan.
Di Indonesia, penyebab kematian utama pada semua umur adalah stroke (15,4%),
yang 16 disusul oleh TB (7,5%), Hipertensi (6,8%), dan cedera (6,5%). Hasil Riskesdas
2007, prevalensi stroke di Indonesia ditemukan sebesar 8,3 per 1.000 penduduk, dan
yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 6 per 1.000. Prevalensi stroke
tertinggi Indonesia dijumpai di Nanggroe Aceh Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk)
dan terendah di Papua (3,8 per 1.000 penduduk).
2.3 Anatomi Vaskularisasi Otak
Otak memperoleh darah melalui dua sistem, yakni sistem karotis dan sistem
vertebral. Arteri karotis interna setelah memisahkan diri dari arteri carotis komunis, naik
dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus
kavernosus, mempercabangkan arteri opthalmika untuk nervus opticus dan retina,
akhirnya bercabang dua : arteri serebri anterior dan arteri serebri media. Untuk otak
sistem ini memberi aliran darah ke lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus
temporalis. Sistem vetebral dibentuk oleh a.vetebralis kanan dan kiri yang berpangkal di
a.subclavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis transversalis di kolumna vertebralis
servikalis, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan
masing-masing sepasang a.serebelli inferior. Pada batas medula oblongata dan pons,
keduanya bersatu menjadi a.basilaris, dan setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang
arteri, pada tingkat mesensefalon, a.basilaris berakhir sebagai sepasang cabang a.serebri
posterior, yang melayani daerah lobus oksipital dan bagian medial lobus temporalis.
Ketiga pasang arteri cerebri ini bercabang-cabang menelusuri permukaan otak, dan
beranastomosis satu dengan yang lainnya. Cabang-cabangnya yang lebih kecil
menembus ke dalam jaringan otak dan juga saling berhubungan dengan cabang-cabang

4
a.serebri lainnya. Untuk menjamin pemberian darah ke otak, ada sekurang-kurangnya 3
sistem kolateral antara sistem karotis dan vetebral, yaitu:

1. Sirkulus Willlisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh a.serebri
media kanan dan kiri, a.komunikans anterior (yang menghubungkan kedua
a.serebri anterior), sepasang a.serebri posterior, dan a. komunikans posterior (yang
menghubungkan a.serebri media dan posterior) kanan dan kiri.
2. Anastomosis antara a.serebri interna dan a.karotis eksterna di daerah orbita,
masing-masing melaui a.optalmika dan a.fasialis ke a.maksilaris.
Adapun gambaran aliran pembuluh darah otak dapat diamati di bawah ini :

Gambar 1. Sistem arteri karotis dan vertebral

Gambar 2. Sistem Willis

5
Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak :
 Keadaan pembuluh darah, bila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau
tersumbat oleh trombus/ embolus.
 Keadaan darah : viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat
(polisitemia) menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat; anemia yang berat
menyebabkan oksigenasi otak menurun.
 Tekanan darah yang sistemik memegang tekanan perfusi otak. Otoregulasi otak
yaitu kemampuan intrinsik dari pembuluh darah otak agar aliran darah otak tetap
konstan walaupun ada perubahan dari tekanan perfusi.
 Kelainan jantung; menyebabkan menurunnya curah jantung antara lain fibrilasi dan
lepasnya embolus menimbulkan iskemia di otak.
Berbagai faktor risiko berperan dalam terjadinya stroke antara lain :
A. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu :
 Kelainan pembuluh darah otak, biasanya merupakan kelainan bawaan. Pembuluh
darah yang tidak normal tersebut dapat pecah atau robek sehingga menimbulkan
perdarahan otak. Adapula yang dapat mengganggu kelancaran aliran darah otak sehingga
menimbulkan iskemik.
 Jenis kelamin dan penuaan, pria berusia 65 tahun memiliki risiko terkena stroke
iskemik atau pun perdarahan intraserebelum lebih tinggi sekitar 20% dari pada wanita.
Risiko terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun. Setelah mencapai 50 tahun, setiap
penambahan usia 3 tahun meningkatkan risiko stroke sebesar 11-20%, dengan
peningkatan bertambah seiring usia terutama pada pasien yang berusia lebih dari 64
tahun dimana pada usia ini 75% stroke ditemukan.
 Riwayat keluarga dan genetika, kelainan turunan sangat jarang menjadi penyebab
langsung stroke, namun gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke misalnya
hipertensi, penyakit jantung, diabetes dan kelainan pembuluh darah.
 Ras juga merupakan faktor risiko terjadinya stroke, dimana di Amerika Serikat,
insidens stroke lebih tinggi pada populasi kulit hitam dari pada kulit putih. Lelaki negro
memiliki insidensi 93 per 100.000 jiwa dengan tingkat kematian mencapai 5% sedangkan
pada wanita negro memiliki insidens 79 per 100.000 jiwa dengan tingkat kematian
39,2%. Lelaki kulit putih memiliki insidens 62,8 per 100.000 jiwa dengan tingkat
kematian mencapai 26,3% sedangkan pada wanita kulit putih memiliki insidens 59 per
100.000 jiwa dengan tingkat kematian 39,2%.

6
B. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu :
 Hipertensi, merupakan faktor risiko utama bagi terjadinya trombosis infark serebral
dan perdarahan intrakranial. Hipertensi mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya
pembuluh darah otak. Pecahnya pembuluh darah otak menimbulkan perdarahan otak, dan
apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak terganggu
mengakibatkan sel-sel otak mengalami kematian. Usia 30 tahun merupakan kewaspadaan
terhadap munculnya hipertensi, makin lanjut usia seseorang makin tinggi kemungkinan
terjadinya hipertensi.
 Penyakit jantung, beberapa penyakit jantung berpotensi menyebabkan stroke
dikemudian hari antara lain : penyakit jantung rematik, penyakit jantung koroner dan
gangguan irama jantung. Faktor risiko ini umumnya menimbulkan sumbatan/hambatan
darah ke otak karena jantung melepas gumpalan darah atau sel-sel/jaringan yang mati ke
dalam aliran darah. Munculnya penyakit jantung dapat disebabkan oleh hipertensi,
diabetes mellitus, obesitas ataupun hiperkolesterolemia.
 Diabetes mellitis, penyakit diabetes mellitus menyebabkan penebalan dinding
pembuluh darah otak yang berukuran besar dan akhirnya mengganggu kelancaran aliran
darah otak dan menimbulkan infark otak.
 Hiperkolesterolemia, meningginya kadar kolesterol dalam darah, terutama LDL
merupakan faktor risiko penting bagi terjadinya aterosklerosis sehingga harus segera
dikoreksi.
 Serangan iskemik sesaat, sekitar 1 dari 100 orang dewasa mengalami paling sedikit
satu kali serangan iskemik sesaat (transient ischemic attack TIA) seumur hidup mereka.
Jika tidak diobati dengan benar, sekitar sepersepuluh dari pasien ini akan mengalami
stroke dalam 3 bulan serangan pertama, dan sekitar sepertiga akan trkena stroke dalam
lima tahun setelah serangan pertama.
 Obesitas, berat badan berlebih, masih menjadi perdebatan apakah suatu faktor
risiko stroke atau bukan. Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung
sehingga obesitas mungkin menjadi faktor risiko sekunder bagi terjadinya stroke.
 Merokok dapat meningkatkan konsentrasi fibrinogen; peningkatan ini akan
mempermudah terjadinya penebalan dinding pembuluh darah dan peningkatan viskositas
darah sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis.

7
2.4 Klasifikasi Stroke Hemoragik

Menurut WHO dalam International Statistical Classification of Disease and Related


Health Problems 10th Revision, stroke Hemoragik di bagi atas :
1. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan suatu aneurisma yang pecah ataupun
karena suatu penyakit yang menyebabkan dinding arteri menipis dan rapuh seperti pada
hipertensi dan angiopati amiloid.
Pada perdarahan intraserebral, perdarahan terjadi pada parenkim otak itu sendiri.
Adapun penyebab perdarahan intraserebral :
 Hipertensi (80%)
 Aneurisma
 Malformasi arteriovenous
 Neoplasma
 Gangguan koagulasi seperti hemofilia
 Antikoagulan
 Vaskulitis
 Trauma
 Idiophatic
2. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid merupakan perdarahan yang terjadi di rongga
subarachnoid. Perdarahan ini kebanyakan berasal dari perdarahan arterial akibat
pecahnya suatu aneurisma pembuluh darah serebral atau AVM yang ruptur di samping
juga sebab-sebab yang lain. Perdarahan subarachnoid terdiri dari 5% dari semua kejadian
stroke. Pada perdarahan subarachnoid, perdarahan terjadi di sekeliling otak hingga ke
ruang subarachnoid dan ruang cairan serebrospinal. Penyebab perdarahan subarakhonoid
:
 Aneurisma (70-75%)
 Malformasi arterivenous (5%)
 Antikoagulan ( < 5%)
 Tumor ( < 5% )
 Vaskulitis (<5%)
 Tidak di ketahui (15%).

8
2.5 Gejala Klinis Stroke Hemoragik
Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan
perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke
iskemik, hipertensi biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau koma
lebih umum pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik.
Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Meningismus
dapat terjadi akibat adanya darah dalam ventrikel.
Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang
terlibat. Jika belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri
dari hemiparesis kanan, kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan
preferensi, bidang visual kana terpotong, dan aphasia mungkin terjadi. Jika
belahan nondominant (biasanya kanan) terlibat, sebuah sindrom hemiparesis kiri,
kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan memotong bidang
visual kiri. Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan pengabaian
dan kekurangan
Jika cerebellum
perhatianyang
padaterlibat,
sisi kiri.pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan
kompresi batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat
kesadaran, apnea, dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau
batang otak antara lain: ekstremitas ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan
muntah, hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau kehilangan sensori dari
semua empat anggota, gerakan mata yang mengakibatkan kelainan diplopia atau
nistagmus, kelemahan orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral dan
kontralateral tubuh.
2.5.1 Perdarahan Intraserebral
Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari jumlah
penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas. Namun,
pada orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi otak
menggambarkan perkembangan yang terus memburuk sebagai perdarahan. Beberapa
gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya
mempengaruhi satu sisi tubuh. Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi
bingung. Visi dapat terganggu atau hilang. Mata dapat menunjukkan arah yang berbeda
atau menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum dan
dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit.

9
2.5.2 Perdarahan Subaraknoid
Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali
menekan pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya sebelum pecah besar
(yang menyebabkan sakit kepala), menghasilkan tanda-tanda peringatan, seperti berikut:
 Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba
 Sakit pada mata atau daerah fasial
 Penglihatan ganda
 Kehilangan penglihatan tepi
Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya aneurisma.
Individu harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke dokter segera.
Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah dan
mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan kehilangan
kesadaran singkat. Hampir setengah dari orang yang terkena meninggal sebelum
mencapai rumah sakit. Beberapa orang tetap berada dalam koma atau tidak sadar dan
sebagian lainnya bangun, merasa bingung, dan mengantuk. Dalam beberapa jam atau
bahkan menit, penderita mungkin menjadi tidak responsif dan sulit untuk dibangunkan.
Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak mengiritasi lapisan
jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan leher kaku serta sakit kepala
terus, sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang.
Sekitar 25% dari orang yang mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan
kerusakan pada bagian tertentu dari otak, seperti berikut:
 Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum)
 Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh
 Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa
Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam beberapa menit
atau jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10 hari pertama. Sebuah
perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan beberapa masalah serius lainnya, seperti:
A. Hydrocephalus
Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan subaraknoid dapat membeku. Darah
beku dapat mencegah cairan di sekitar otak (cairan serebrospinal) dari pengeringan
seperti biasanya tidak. Akibatnya, darah terakumulasi dalam otak, peningkatan tekanan
dalam tengkorak. Hydrocephalus mungkin akan menyebabkan gejala seperti sakit kepala,

10
mengantuk, kebingungan, mual, dan muntah-muntah dan dapat meningkatkan risiko
koma dan kematian.
B. Vasospasme
Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak dapat kontak
(kejang), membatasi aliran darah ke otak. Kemudian, jaringan otak tidak mendapatkan
oksigen yang cukup dan dapat mati, seperti pada stroke iskemik. Vasospasm dapat
menyebabkan gejala mirip dengan stroke iskemik, seperti kelemahan atau hilangnya
sensasi pada satu sisi tubuh, kesulitan menggunakan atau memahami bahasa,
vertigo, dan koordinasi terganggu.
C. Pecah kedua, kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam seminggu.

2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Stroke Hemoragik


Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan utama pasien.
Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain: hemiparesis,
gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia. Vertigo,
afasia, disfagia, disartria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang keseluruhannya
terjadi secara mendadak.
Pada manifestasi perdarahan intraserebral, terdapat pembagian berdasarkan Luessenhop
et al. Pembagian ini juga berguna dalam menentukan prognosis pada pasien stroke
dengan perdarahan intraserebral.

11
Khusus untuk manifestasi perdarahan subaraknoid, pada banyak studi mengenai
perdarahan subaraknoid ini dipakai sistem skoring untuk menentukan berat tidaknya
keadaan perdarahan subaraknoid ini dan dihubungkan dengan keluaran pasien.
Sistem grading yang dipakai antara lain :

Hunt & Hess Grading of Sub-Arachnoid Hemorrhage

WFNS SAH grade


WFNS grade GCS Score Major facal deficit
0
1 15 -
2 13-14 -
3 13-14 +
4 7-12 + or -
5 3-6 + or -

Modified Hijdra score

Fisher grade

12
Dari keempat grading tersebut yang dipakai dalam studi cedera kepala yaitu
modified Hijdra score dan Fisher grade. Sistem skoring pada no 1 dan 2 dipakai pada
kasus SAH primer akibat rupturnya aneurisma.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan
menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita
stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah, kadar elektrolit,
dan kadar serum glukosa.
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak adalah
langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis kedaruratan.
Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta dapat
menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan intraventrikular, edem otak, dan
hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun MRI otak merupakan pilihan yang dapat
digunakan.
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dari
stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari patologi
intrakranial lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara virtual hematoma
yang berdiameter lebih dari 1 cm.
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa
diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat mengidentifikasi
malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang menyebabkan perdarahan.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram (EKG) untuk
memulai memonitor aktivitas hantung. Disritmia jantung dan iskemia miokard memiliki
kejadian signifikan dengan stroke.

13
Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain seperti: ensefalitis,
meningitis, migrain, neoplasma otak, hipernatremia, stroke iskemik, perdarahan
subaraknoid, hematoma subdural, kedaruratan hipertensif, hipoglikemia, labirinitis, dan
Transient Ischemic Attack (TIA), maka untuk memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan
dengan sistem lain, misalnya sistem skoring yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis
yang ada pada saat pasien masuk Rumah Sakit. Sistem skoring yang sering digunakan
antara lain:
A. Siriraj Hospital Score

Siriraj Stroke Score (SSS)

Cara penghitungan :

 SSS = (2,5 x kesadaran)+(2 x muntah)+(2 x nyeri kepala)+(0,1 x tekanan


diastolik)-(3 x atheroma) – 12

Nilai SSS Diagnosa


>1 Perdarahan Otak
< -1 Infark Otak
-1 < SSS < 1 Diagnosa Meragukan

14
B. Skor Gajah Mada

Skor Gajah Mada (SGM)

Menggunakan 3 variabel pemeriksaan yaitu :


 Penurunan Kesadaran
 Nyeri Kepala
 Refleks Babinski.

2.6 Patofisiologi Stroke Hemoragik


Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan
subarachnoid. Insidensi perdarahan intrakranial kurang lebih 20% adalah stroke
hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan subarachnoid dan perdarahan
intraserebral. Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma
(Berry Aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah
subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh
arteriola berdiameter 100-400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding
pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya
anerisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang tiba-
tiba menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya darah dari
pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan pembuluh darah
kapiler yang akhirnya membuat pembuluh darah ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan
volume perdarahan semakin besar.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah

15
dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke
jaringan otak yang menyebabkan nekrosis.
Perdarahan subarachnoid terjadi akibat pembuluh darah disekitar permukaan otak

pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid. Perdarahan


subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan
dari arteriovenous malformation (AVM).
2.7 Penatalaksanaan Stroke Hemoragik
A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi cepat dan diagnosis
2. Terapi umum (suportif), meliputi :
a. stabilisai jalan napas dan pernapasan

16
b. stabilisasi hemodinamik/sirkulasi
c. pemeriksaan awal fisik umum
d. pengendalian peninggian TIK
e. penanganan transformasi hemoragik
f. pengendalian kejang
g. pengendalian suhu tubuh
h. pemeriksaan penunjang
B. Penatalaksanaan Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS)
Terapi medik pada PIS akut:
a) Terapi hemostatik
 Eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rF VIIa]) adalah obat
haemostasis yang dianjurkan untuk pasien hemofilia yang resisten
terhadap pengobatan faktor VIII replacement dan juga bermanfaat untuk
penderita dengan fungsi koagulasi yang normal.
 Aminocaproic acid terbuktitidak mempunyai efek menguntungkan.
 Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah highly-
significant, tapi tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan setelah
lebih dari 3 jam.
b) Reversal of anticoagulation
 Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya diberikan
fresh frozen plasma atau prothrombic complex concentrate dan vitamin K.
 Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K
dependent coagulation factor II, VII, IX, dan X, menormalkan INR lebih
cepat dibandingkan FFP dan dengan jumlah volume lebih rendah sehingga
aman untuk jantung dan ginjal.
 Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90µg/kg pada pasien PIS yang
memakai warfarin dapat menormalkan INR dalam beberapa menit.
Pemberian obat ini harus tetap diikuti dengan coagulation-factor
replacement dan vitamin K karena efeknya hanya beberapa jam.
 Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated atau low moleculer weight
heparin diberikan Protamine Sulfat, dan pasien dengan trombositopenia
atau adanya gangguan fungsi platelet dapat diberikan dosis tunggal
Desmopressin, transfusi platelet, atau keduanya.

17
 Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka
pemberian obat dapat dimulai pada hari ke-7-14 setelah erjadinya
perdarahan.
c) Tindakan bedah pada PIS berdasarkan EBM
 Keputusan mengenai apakah dioperasi dan kapan dioperasi masih tetap
kontroversial.
 Tidak dioperasi bila:
 Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis
minimal.
 Pasien dengan GCS <4. Meskipun pasien GCS <4 dengan perdarahan
intraserebral disertai kompresi batang otak masih mungkin untuk life
saving.
 Dioperasi bila:
 Pasien dengan perdarahan serebelar >3cm dengan perburukan klinis
atau kompresi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi ventrikel
harus secepatnya dibedah.
 PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau
angioma cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome yang
baik dan lesi strukturnya terjangkau.
 Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar yang
memburuk.
 Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia muda
dengan perdarahan lobar yang luas (>50cm3) masih menguntungkan.

C. Penatalaksanaan Perdarahan Sub Arakhnoid


1. Pedoman Tatalaksana
a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA) :
 Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk
upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.
 Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan dengan
lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 2-3 L/menit.
 Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.

18
 Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-kelainan
neurologi yang timbul.
b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih
intensif:
 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang
gawat darurat.
 Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang nafas
yang adekuat.
 Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
 Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan
penilaian status neurologi.

2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA :


 Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan antihipertensi
saja tidak direkomendasikan untuk mencegah perdarahan ulang setelah terjadi PSA,
namun kedua hal tersebut sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA.
 Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan
pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk
terjadinya vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang
ditunda.
 Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.
 Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.
3. Operasi pada aneurisma yang rupture :
 Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan
ulang setelah rupture aneurisma pada PSA.
 Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang setelah
PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan hasil akhir tidak
berbeda dengan operasi yang ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada pasien
dengan grade yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk
keadaan klinis lain, operasi yang segera atau ditunda direkomendasikan tergantung
pada situasi klinik khusus.
 Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi untuk
perdarahan ulang.

19
4. Tatalaksana pencegahan vasospasme
 Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ketiga
atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral
terbukti memperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme.
Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau intravena tidak
bermakna.
 Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H
yaitu hypervolemic – hypertensive - hemodilution, dengan tujuan mempertahankan
“cerebral perfusion pressure” sehingga dapat mengurangi terjadinya iskemia
serebral akibat vasospasme. Hati - hati terhadap kemungkinan terjadinya
perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping.
 Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu
bermakna.
 Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada
pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional.
Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:
 Pencegahan vasospasme:
 Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
 3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.
 Jaga keseimbangan cairan.
 Delayed vasospasm:
 Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
 Berikan 5% Albumin 250 mL IV.
 Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure 12-14
mmHg.
 Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.
 Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.
5. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang
sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid
acid dengan dosis 6-12 g/hari.
6. Antihipertensi

20
a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah
sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg
(sebelum tindakan operasi aneurisma clipping).
b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD
lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2 mg/menit
sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse dosisnya 50-200
mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan karena menyebabkan
vasodilatasi dan memberikan efek takikardi.
d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan
vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang
mungkin terjadi akibat vasospasme.
7. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu
diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1
mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama.1
Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg
dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena
menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk pengobatan
hiponatremi.
8. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan
tidak direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang
mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma arteri serebri
media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko perdarahan
ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan sebagai profilaksis.
Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis
100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis
terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan kejang.
Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada penderita yang
tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang
mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau
aneurisma pada arteri serebri media.

21
9. Hidrosefalus
 Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama.
Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase
eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi perdarahan ulang
dan infeksi.
 Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara temporer
atau permanen seperti ventriculo - peritoneal shunt.
10. Terapi Tambahan
 Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular.
Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau pneumatic compression
devices.
 Analgesik:
 Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.
 Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.
 Tylanol dengan kodein.
 Hindari asetosal.
 Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
• Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
• Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.
• Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
• Propofol 3-10 mg/kg/jam.
 Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:
• Antagonis H2
• Antasida
• Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
• Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali sehari.
• Sucralfate 1 g dalam 20 ml air 3 kali sehari.

D. Komplikasi dan Prognosis Stroke Hemoragik


Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi yang paling
ditakutkan pada perdarahan intraserebral. Perburukan edem serebri sering mengakibatkan

22
deteoriasi pada 24 - 48 jam pertama. Perdarahan awal juga berhubungan dengan
deteorisasi neurologis, dan perluasan dari hematoma tersebut adalah penyebab paling
sering deteorisasi neurologis dalam 3 jam pertama. Pada pasien yang dalam keadaan
waspada, 25% akan mengalami penurunan kesadaran dalam 24 jam pertama. Kejang
setelah stroke dapat muncul. Selain dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, stroke
sendiri adalah penyebab utama dari disabilitas permanen.
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi serta
ukuran dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah berhubungan
dengan prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi. Apabila terdapat
volume darah yang besar dan pertumbuhan dari volume hematoma, prognosis biasanya
buruk dan outcome fungsionalnya juga sangat buruk dengan tingkat mortalitas yang
tinggi. Adanya darah dalam ventrikel bisa meningkatkan resiko kematian dua kali lipat.
Pasien yang menggunakan antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan
intraserebral juga memiliki outcome fungsional yang buruk dan tingkat mortilitas yang
tinggi.

23
BAB III
PEMBAHASAN

LAPORAN KASUS STROKE HEMORRAGHIC

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. D
Umur : 52 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : Sarjana
Pekejaan : Guru
Alamat : Jl. Pidoli No 2 Kota Panyabungan
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 25 Desember 2017
Nomor RM : 06.33.65
Ruang Rawat : Kelas Utama

II. ALLO ANAMNESA


 Anak os mengaku bahwa ibu kandung os mengalami penurunan kesadaran sejak
tadi pagi pukul 05.00 WIB.

III. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Tidak sadar sejak ± 8 jam SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang diantar keluarganya ke IGD RSUD Panyabungan dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak ± 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Pada saat
pasien istirahat, tiba – tiba pasien kejang diseluruh tubuh kemudian dibawa ke
Puskesman Kotanopan dengan kejang frekuensinya sebanyak 3 kali/serangan.
Sampai di IGD Panyabungan, pasien mengalami kejang sekali dengan durasi ±
15 menit, lalu berhenti kejang, muntah (-), riwayat nyeri kepala sebelumnya (-).

24
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien memiliki riwayat darah tinggi tetapi tidak minum obat secara teratur, obat
hanya diminum ketika kepala terasa pusing. Riwayat diabetes mellitus, sakit
jantung, asma, kejang, dan alergi obat atau makanan disangkal oleh pasien.

4. Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat stroke, diabetes mellitus, hipertensi, asma, alergi obat atau makanan
dalam anggota keluarga disangkal.

5. Riwayat kebiasaan :
Pasien tidak suka makan makanan yang tinggi lemak seperti jeroan, tidak suka
makan makanan asin, pasien tidak merokok dan minum minuman beralkohol.

6. Riwayat Sosial Ekonomi dan Pribadi :


Sehari-hari pasien bekerja sebagai seorang guru. Pasien sudah berkeluarga dan
mempunyai 3 orang anak. Biaya rumah sakit ditanggung oleh BPJS.

IV. PEMERIKSAAN FISIK


1. Status Pasien
Kesadaran : GCS 7 (E3V1M2)
Tekanan darah : 190/110 mmHg
Nadi : 90x/ menit
Pernafasan : 24x/ menit, thorakoabdominal
Suhu : 36,5oC
Kepala : mesocephali
Leher : pergerakan baik, jejas (-), memar (-)
Thoraks
 Jantung : S1-2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Paru : suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
 Abdomen : datar, jejas (-), memar (-), supel, nyeri tekan (-)
bising usus (+) normal, hepar/lien tidak teraba membesar
 Ekstremitas : oedem -|-, akral dingin -|-
+|+ -|-

25
2. Status Psikikus  tidak dilakukan
Cara berpikir : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Perasaan hati : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Tingkah laku : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Ingatan : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Kecerdasan : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

3. Status Neurologis
A. Tanda rangsang meningeal
Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Laseque : (-)
Kernig : (-)

B. Kepala
Bentuk : mesocephali
Nyeri tekan : (-)
Pulsasi : (-)
Simetri : (+)

C. Leher
Sikap : normal
Pergerakan : dapat digerakkan

D. Afasia motorik : (+)


Afasia sensorik : (+)
Disartia : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

E. Nervi kranialis
N. I (Olfaktorius)  tidak dilakukan
Subjektif : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Dengan beban : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

26
N. II (Optikus)  tidak bisa dilakukan
Tajam penglihatan : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Lapang penglihatan : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Melihat warna : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Penglihatan ganda : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

N.III (Okulomotorius)
Sela mata : 2 cm / 2 cm
Pergerakan bulbus : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Strabismus : (-) / (-)
Nistagmus : (-) / (-)
Eksofthalmus : (-) / (-)
Pupil
 Besarnya : 3 mm / 3 mm (isokor)
 Bentuknya : bulat / bulat
Refleks cahaya : RCL +/+, RCTL +/+
Refleks konvergensi : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Melihat kembar : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

N. IV (Trokhlearis)  tidak bisa dilakukan


Pergerakan mata : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
(ke bawah – ke dalam)
Sikap bulbus : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Melihat kembar : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

N. V (Trigeminus)  tidak bisa dilakukan


Membuka mulut : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Mengunyah : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Menggigit : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Refleks kornea : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Sensibilitas muka : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

27
N. VI (Abducen)  tidak bisa dilakukan
Pergerakan mata (ke lateral) : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Sikap bulbus : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Melihat kembar : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

N. VII (Facialis)
Mengerutkan dahi : tidak dapat dilakukan
Menutup mata : tidak dapat dilakukan
Memperlihatkan gigi : (-) / (-)
Bisul : tidak dapat dilakukan
Perasaan lidah (2/3 depan) : tidak dilakukan
Hiperakusis : tidak dilakukan

N. VIII (Vestibulokokhlearis)  tidak dilakukan


Detik arloji : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Suara berbisik : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Tes Swabach : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Tes Rinne : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Tes Weber : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

N. IX (Glossofaringeus)  tidak dilakukan


Perasaan lidah (1/3 belakang) : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Sensibilitas faring : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

N. X (Vagus)  tidak bisa dilakukan


Arkus faring : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Berbicara : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Menelan : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Nadi : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Refleks okulokardiak : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
N. XI (Accesorius)  tidak bisa dilakukan
Mengangkat bahu : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Memalingkan kepala : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

28
N. XII (Hipoglossus)  tidak bisa dilakukan
Pergerakan lidah : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Tremor lidah : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Artikulasi : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

F. Badan dan Anggota gerak


1. Badan
Respirasi : thorakoabdominal
Gerak kolumna vertebralis : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

Sensibilitas
 Taktil : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
 Nyeri : (+) / (+)
 Suhu : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
 Diskriminasi 2 titik : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

2. Anggota gerak atas


Motorik
Pergerakan : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Kekuatan : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Trofi : normotrofi / normotrofi
Tonus : normotonus / normotonus
Refleks fisiologis
 Biseps : (+) / (+)
 Triseps : (+) / (+)
 Radius : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
 Ulna : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

Refleks patologis
 Hoffman – Tromner : (-) / (-)

Sensibilitas
 Taktil : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

29
 Nyeri : (+) / (+)
 Suhu : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
 Diskriminasi 2 titik : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

3. Anggota gerak bawah


Motorik
Pergerakan : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Kekuatan : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Trofi : normotrofi / normotrofi
Tonus : normotonus / normotonus

Refleks fisiologis
 Patella : (+) / (+)
 Achilles : (+) / (+)

Refleks patologis
 Babinski : (+) / (+)
 Chaddock : (-) / (-)
 Schaefer : (-) / (-)
 Oppenheim : (-) / (-)
 Gordon : (-) / (-)
 Mendei : (-) / (-)
 Bechterew : (-) / (-)
 Rossolimo : (-) / (-)

Klonus
 Paha : (-) / (-)
 Kaki : (-) / (-)

Sensibilitas
 Taktil : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
 Nyeri : (+) / (+)
 Suhu : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

30
 Diskriminasi 2 titik : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

G. Koordinasi, gait, dan keseimbangan  tidak dilakukan


Cara berjalan : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Tes Romberg : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Disdiadokinesis : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Ataksia : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Rebound phenomenon : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Dismetri : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

H. Gerak abnormal
Tremor : (-) / (-)
Athetose : (-) / (-)
Mioklonik : (-) / (-)
Chorea : (-) / (-)

I. Alat vegetatif
Miksi : dengan kateter
Defekasi : baik
Refleks anal : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Refleks kremaster : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)
Refleks bulbokavernosus : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan (TDP)

J. Laseque : (-)
Patrick : (-)
Kontra Patrick : (-)

4. Pemeriksaan Siriraj Stroke Score

No Gejala / Tanda Penilaian Indek Skor


1. Kesadaran (0) Kompos mentis
(1) Mengantuk X 2,5 5
(2) Semi koma/koma

31
2. Muntah (0) Tidak
X 2 +0
(1) Ya
3. Nyeri Kepala (0) Tidak
X 2 +2
(1) Ya
4. Tekanan Darah Diastolik X 10 % +10
5. Ateroma

a. DM (0) Tidak
X (-3) -3
b. Angina pektoris (1) Ya
c. Hiperkolesterolemia
Klaudikasio Intermiten
6. Konstanta - 12 -12
HASIL SSS +2
Interpretasi : 1. SSS > 1 = Stroke hemoragik
2. SSS < -1 = Stroke non-hemoragik
Total: +2 → klinis Stroke hemoragik

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah rutin tanggal 25/12/17 :


Hb : 11,8 g/dL (12-14 g/dL)
Hematokrit : 33% (37-42%)
Leukosit : 14.400/uL (5.000-10.000/uL)
Trombosit : 667 ribu/uL (150.000-450.000/uL)
Eritrosit : 3,72 juta/ uL (4,2-5,4 juta/uL)

GDS : 102 mg/dL (<200 mg/dL)


Trigliserida : 112 mg/dL (60-170 mg/dL)
Kolesterol total : 220 mg/dL (< 200 mg/dL)
Kolesterol HDL : 44 mg/dL (40-60 mg/dL)

Pemeriksaan fungsi ginjal tanggal 25/12/17 :


Ureum : 20 mg/dL (17-43 mg/dL)
Kreatinin : 0,7 mg/dL (0,6-1,1 mg/dL)

Pemeriksaan fungsi hati tanggal 25/12/17 :


Albumin : 2,8 g/dL (3,5-5,2 g/dL)
Globulin : 3,0 g/dL (2,6-3,4 g/dL)

32
2. EKG → dalam batas normal

3. CT Scan Kepala tanggal 26/12/17

VI. RESUME

Pasien datang diantar keluarganya ke IGD RSUD Panyabungan dengan keluhan


penurunan kesadaran sejak ± 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Pada saat pasien
istirahat, tiba – tiba pasien kejang diseluruh tubuh kemudian dibawa ke Puskesman
Kotanopan dengan kejang frekuensinya sebanyak 3 kali/serangan. Sampai di IGD
Panyabungan, pasien mengalami kejang sekali dengan durasi ± 15 menit, lalu
berhenti kejang. Terdapat keluhan mual namun tidak ada muntah, pasien juga tidak
mengeluhkan kepalanya sering sakit, riwayat hipertensi tidak terkontrol +. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan parese N. VII kanan, ditemukan refleks patologis +
(babinski) pada ekstremitas bawah, kekuatan motorik dan sensorik tidak dapat
dilakukan pemeriksaan (TDP).

33
VII. ASSESMENT (DIAGNOSIS)
 HI GCS 7 + Stroke Hemorrhagic suspect. Stroke Hemorraghic
VIII. PLANNING
A. Terapi
 Head Up 30º
 O2 3 liter/menit
 IVFD R. Sol 20 gtt/menit.
 Injeksi citicoline 250 mg/8jam
 Injeksi Ranitidine 1 amp/12 jam
 Injeksi Fenitoin 1 amp/8 jam
 Injeksi Diazepam 1 amp (k/p) (pelan-pelan bila kejang habis dalam 2 menit).
 Diet tinggi kalori tinggi protein
 Pasang DC dan NGT
 Konsul Dokter Penyakit Spesialis Saraf

B. Monitoring
 Awasi tanda-tanda vital
 Intake dan output cairan

VII. PROGNOSIS
 Ad Vitam : Dubia ad Malam
 Ad Fungsionam : Dubia ad Malam
 Ad Sanationam : Dubia ad Malam

34
DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association, 2009. Heart Disease and Stroke Statistic 2009
Update: A Report From the American Hearth Association Statistic Committee
and Stroke Statistics Subcommittee. Circulation, 119: 21-181.
2. Centers for Disease Control and Prevention, 2009. Stroke Facts and Statistics. :
Division for Heart Disease and Stroke Prevention. Available from:
http://www.cdc.gov/stroke/statistical_reports.html
3. El-Mitwalli, A., Malkoff, M D.,. 2000. Intracerebral Hemorrhage . The Internet
Journal of Advanced Nursing Practice. 4 : 2.
4. Nassisi D., 2008. Stroke, Hemorrhagic. Departement of Emergency Medicine,
Mount Sinai Medical Center. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2007. Guideline Stroke 2007.
Jakarta: PERDOSSI.
6. Ropper, A.H., Brown, R.H., 2005. Adams and Victor's Principles of Neurology.
8th Ed. New York: McGraw-Hill.
7. Smith, W.S., Johnston, S.C., Easton, J.D., 2005. Cerebrovascular Diseases. In:
Kasper, D.L. et all, ed. 16th Edition Harrison's Principles of Internal Medicine.
New York: McGraw-Hill, 2372-2392.
8. Qureshi, Adnan I., Tuhrim, Stanley., Broderick, Joseph P., Batjer, H Hunt.,
Hondo, Hiteki., Hanley, Daniel F.,. 2001. Spontaneous Intracebral Hemorrhage.
N Engl J Med , 344: 19
9. Warlow, C., van Gijn, J., Dennis, M., Wardlaw, J., Bamford, J., Hankey, G.,
2008. Stroke: Practical Management 3rd edition. Massachusetts: Blackwell
Publishing.
10. World Health Organization, 2004. The Atlas of Heart Disease and Stroke. World
Health Organization.
11. World Health Organization, 2005. WHO STEPS Stroke Manual: The WHO
STEPwise Approach to Stroke Surveillance. World Health Organization.

35

Anda mungkin juga menyukai