Anda di halaman 1dari 3

PENERAPAN PAJAK ROKOK SEBAGAI PAJAK DAERAH

Konsumsi rokok nasional dapat terbilang besar dan mengkhawatirkan. Data menunjukkan bahwa
konsumsi rokok di Indonesia merupakan yang terbanyak kelima di dunia pada tahun 2004. Dalam
periode tahun 1990 s.d. 2000 konsumsi rokok telah bertumbuh sebesar 38% dari 155 miliar batang
menjadi 215 miliar batang. Dengan asumsi pertumbuhan 3,2% per tahun, diperkirakan pada tahun 2010
konsumsi rokok nasional dapat mencapai lebih dari 240 miliar batang.4 Laporan WHO tahun 20015
menunjukkan 31,5% penduduk Indonesia, atau sejumlah lebih dari 60 juta jiwa merokok. Dari jumlah itu,
88% menghisap rokok kretek dengan kandungan tembakau mencapai 60%–70%. Salah satu penyebab
cepatnya pertumbuhan konsumsi rokok nasional adalah masih rendahnya tingkat harga rokok di
Indonesia. Tingkat harga riil rokok di Indonesia pada tahun 2006, 24% lebih rendah daripada harga riil
rokok tahun 1996 yang berarti merokok di Indonesia jauh lebih murah dibandingkan dengan tiga negara
tetangga kita, Malaysia, Singapura, dan Thailand.6 Penelitian lain menunjukkan bahwa sebungkus rokok
di Indonesia dapat diperoleh dengan hanya bekerja selama 62 menit.7 Prinsip dasar ekonomi
menunjukkan bahwa peningkatan harga rokok akan menurunkan konsumsi rokok.8 Oleh seabb itu,
pengenaan pajak terhadap rokok dapat mengurangi konsumsi rokok. Secara umum, rokok dikenakan
pajak oleh setiap tingkatan pemerintahan, mulai dari Pemerintah Pusat sampai ke Pemerintah Daerah.
Selama ini pungutan atas produk rokok di Indonesia dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui instrumen
cukai hasil tembakau (CHT) yang diatur melalui UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Berbeda
dengan kebanyakan jenis pajak lainnya, pungutan berupa cukai ini mempunyai fungsi ganda, yaitu
sebagai sumber penerimaan negara dan juga sebagai alat kontrol peredaran barang-barang yang dikenai
cukai.

Potensi pasar rokok dalam negeri apabila ditinjau dari sisi permintaan masih tergolong besar untuk
berbagai merek dan jenis rokok. Bahkan dalam kondisi krisis justru konsumsi rokok di Indonesia semakin
meningkat (Aan, 2001). Dalam penelitian yang dilakukan pada 10 negara konsumsi rokok terbesar pada
tahun 1990 hingga 1997, disebutkan bahwa negara-negara maju mulai mengurangi konsumsi rokok yang
disebabkan oleh menguatnya regulasi tentang pengamanan rokok dan tumbuhnya kesadaran masyarakat
akan arti penting kesehatan. Masyarakat Amerika Serikat misalkan, mampu mengurangi konsumsi rokok
sebesar 8,1 persen, kemudian Jerman 7,7 persen dan Jepang 1,9 persen. Sebaliknya penduduk di negara-
negara berkembang pada periode waktu yang sama justru menambah konsumsi rokoknya. Masyarakat di
India misalnya, pada periode tahun itu malah meningkatkan konsumsi rokoknya sebesar 32,9 persen. Di
Indonesia peningkatan konsumsi rokok lebih tajam lagi yakni sebesar 44, I persen. Jumlah perokok di
Indonesia terus meningkat. Berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (susenas), pada 2001 persentase
jumlah penduduk Indonesia yang merokok 3 i,8 persen, tahun 2003 ISSN : 0854-1442 91 MEDIA
EKONOMI DAN MANAJEMEN Vol 23. No 1 Januari 20'11 meningkatmenjadi 32 persen dan pada2004
menjadi 34,5 persen. Padatahun2006 konsumsirokok oleh masyarakat tergolong cukup tinggi, bahkan
menurut WHO, Indonesia dengan jumlah jiwa sebanyak 200 juta lebih, diperkirakan 35 persen atau
62.800.000 orang dari penduduk Indonesia adalah pengkonsumsi rokok aktif (Media Indonesia, 2006)
DAFTARPUSTAKA

Ashar, F. 2015. Dampak Perubahan Tarif Cukai Terhadap Industri Rokok, Pertanian Tembakau Dan
Perekonomian Jawa Tengah.Skripsi. Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.
Semarang

Nikho, M. Y. 2011. Skenario Dampak Penerapan Pajak Daerah Atas Rokok Terhadap Fiskal Pemerintah
Dan Perekonomian. Widyariset. Vol. 14 No.1. Jakarta
Woyanti, N. 2011. Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai Dan Fatwa Haram Merokok Terhadap Perilaku
Konsumen Rokok Di Kota Semarang. Media Ekonomi Dan Manajemen. Vol 23. No 1 Januari
2011. Semarang

Beberapa studi ekonomi tentang kenaikan harga produk tembakau secara konsisten menunjukkan bahwa
elastisitas permintaan atas harga produk tembakau berkisar antara -0,25 dan -0,50 di negara-negara
maju dan antara -0,5 hingga -0,7 di kawasan Asia Tenggara.5 Studi yang dilakukan di negara-negara
berpendapatan rendah dan menengah menunjukkan temuan yang serupa atau bahkan menunjukkan
penurunan konsumsi yang lebih besar.

Perkembangan di Indonesia ini senantiasa tidak terlepas dari sumber penerimaan pajak yang dapat
diandalkan untuk pembiayaan pembangunan nasional. Kebutuhan ini semakin dirasakan oleh daerah
terutama sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, yaitu mulai 1 Januari 2001. Dengan
adanya otonomi daerah dipicu untuk dapat mencari sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung
pembiayaan pengeluaran dan kebutuhan daerah. Dari berbagai sumber penerimaan yang dipungut oleh
daerah sesuai dengan undang-undang tentang pemerintahan daerah menetapkan pajak dan retribusi
daerah menjadi salah satu sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah dan dapat dikembangkan
sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak
dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan
jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Sebelum ditetapkannya UU Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pungutan Daerah berupa pajak dan retribusi diatur dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Beberapa latar belakang pembentukan UU baru
ini adalah : (1) Dipandang perlunya memperluas basis pajak daerah dan objek retribusi daerah; (2)
Dipandang perlunya memberikan diskresi penetapan tarif kepada daerah; (3) Dipandang perlunya
meningkatkan akuntabilitas pengalokasian pendapatan dari pajak dan retribusi daerah; dan (4)
Dipandang perlunya meningkatkan efektifitas pengawasan pungutan daerah. Berangkat dari latar
belakang pemikiran tersebut dibentuklah UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah dan PERDA Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pajak Rokok. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai
rokok yang dipungut oleh pemerintah. Secara efektif pemberlakuan pajak rokok ini baru akan diterapkan
pada tahun 2014. Dasar Pengenaan Pajak rokok adalah cukai rokok dan besarnya tarif ditetapkan sebesar
10 persen dari cukai rokok. Pajak rokok masuk dalam kategori pajak provinsi yang menjadi penyempurna
kebijakan dan peraturan pajak daerah dalam bentuk perluasaan objek pajak daerah. Artinya, pajak rokok
ini nantinya akan menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD). Meskipun demikian pemerintah
provinsi diharuskan membagi penerimaan dari Pajak Rokok ini dengan pemerintah kabupaten/kota
dengan porsi sebesar 70 persen untuk kabupaten/kota sisanya sebesar 30 persen diperuntukkan bagi
pemerintah provinsi. Terdapat alokasi paling sedikit 50 persen dari hasil penarikan pajak rokok, dipakai
untuk mendanai fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum. Di bidang kesehatan
keputusan ini diambil sebagai langkah pengimbangan antara konsumsi rokok dengan kesehatan
masyarakat. Dan di bidang penegakan hukum terkait permasalahan rokok illegal.
Sesuai Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mulai 1 Januari
2014 derah provinsi dapat memungut jenis pajak baru yakni pajak rokok. Ada beberapa hal yang
melatarbelakangi adanya kebijakan pajak rokok, yaitu : (1) Perlunya penerapan pajak yang lebih adil
kepada seluruh daerah, agar seluruh daerah mempunyai sumber dana yang memadai untuk
mengendalikan dan mengatasi dampak negatif rokok, karena sebelumnya daerah yang mendapatkan
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (yang sebagian dananya dapat digunakan untuk
mengendalikan/mengatasi dampak negatif rokok) hanya daerah penghasil rokok dan penghasil
tembakau. (2) Perlunya peningkatan local taxing power guna meningkatkan kemampuan daerah dalam
menyediakan pelayanan publik, khususnya pelayanan kesehatan (3) Perlunya penerapan piggyback taxes,
atau tambahan atas objek pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat terhadap konsumsi barang yg
perlu dikendalikan, sesuai dengan best practice yg berlaku di negara lain (4) Perlunya pengendalian
dampak negatif rokok, karena terkait dengan meningkatnya tingkat prevalensi perokok di Indonesia
(jumlah penduduk perokok terhadap jumlah penduduk nasional), meningkatnya dampak negatif
konsumsi rokok bagi masyarakat, dan masih rendahnya komponen pajak dalam harga rokok di Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara lain khususnya negara ASEAN.
Basis Pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat terhadap rokok dengan tarif
sebesar 10% dari cukai rokok. Sebesar 70% dari pajak rokok wajib dibagihasilkan kepada kabupaten/kota.
Paling sedikit 50% dari penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota,
wajib dialokasikan untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat
yang berwenang. Kendati telah ditetapkan pada tahun 2009, ketentuan pajak rokok baru akan efektif
mulai 1 Januari 2014.

Anda mungkin juga menyukai