Anda di halaman 1dari 31

6.

1 Pendahuluan
Termodinamika mencoba untuk menunjukkan hubungan antar variabel
berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan, berdasarkan eksperimen itulah
hukum-hukum termodinamika ditemukan. Kemudian melalui suatu analisis
matematis, termodinamika mencoba untuk menemukan hubungan variabel lain
seperti kapasitas panas, koefisien ekspansi, dan lain sebagainya. Walaupun
termodinamika secara prinsip dapat memprediksi hubungan antara variabel seperti
Cv dan Cp, dan hubungan antara beberapa variabel terhadap tekanan, tetapi
termodinamika tidak dapat menunjukkan bagaimana harga Cv dan Cp tersebut
diturunkan berdasarkan substansi sistem yang kita amati.
Pandangan kita bahwa sistem yang kita amati terdiri dari sejumlah
partikel, mengajak kita untuk melihat prilaku partikel dalam sistem tersebut.
Kelakuan partikel ini kita pandang sebagai sebuah sampel yang akan kita
generalisasikan untuk menggambarkan sistem secara keseluruhan. Metode untuk
menggeneralisasikan ini dapat kita gunakan statistik dan teori peluang.
Teori kinetik memandang perilaku gerak partikel dan dampak yang
diakibatkannya, tentunya prilaku gerak partikel ini harus berlandaskan pada
hukum-hukum gerak mekanika baik mekanika klasik maupun mekanika quantum
bergantung dari syarat batas fisis yang berlaku dalam sistem tersebut, atau
bergantung dari kondisi yang kita ciptakan, sebagai contoh pendekatan yang kita
gunakan pada sistem partikel gas ideal.
Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan
sistem (variabel makro yang dapat terukur) adalah dengan sistem kontak dengan
reservoar dan distribusi fisika statistik (fungsi distribusi yang dikaitkan dengan
jumlah partikel dan energi yang dimiliki partikel).
Ketika kita berbicara dengan metode sistem kontak dengan reservoar, hal
yang paling mendasar adalah menggambarkan fungsi yang diizinkan untuk
menggukur variabel-variabel mikro, sehingga untuk menentukan keadaan makro

63
64

yang diizinkan menjadi lebih mudah. Begitu pula dengan distribusi fisika statistik,
hal yang paling mendasar adalah memunculkan fungsi distribusi berdasarkan
syarat kondisi model yang diajukan, dimana fungsi distribusi partikel bergantung
dari prilaku energi yang dimiliki partikel.
n  f (e ) ……………………………..(6.1)
Kemudian untuk menggambarkan variabel makro yang akan kita ukur, kita tinggal
mengkaitkannya dengan fungsi distribusi tersebut.

6.2 Pendekatan untuk Sistem Gas Ideal


Sistem Gas ideal adalah suatu keadaan khayal yang kita ciptakan dengan
konsekuensi syarat batas fisis sebagai dasar berpikir yang kita gunakan. Dalam
lingkungan kita yang sangat komplek, kita tidak dapat menemukan kondisi sistem
gas ideal ini, mengingat kondisi sistem gas ideal yang demikian sederhananya
tidak dapat kita kontrol. Namun demikian sistem gas ideal ini sangat perlu kita
ciptakan untuk menggambarkan model sistem gas sehingga analisis fisis tentang
sistem gas dapat dilakukan.
Adapun beberapa anggapan yang digunakan dalam menggambarkan model
sistem gas ideal adalah :
1. Gas tersusun atas partike-partikel.
2. Partikel-partikel penyusun gas jumlahnya sangat banyak berapapun
volume yang kita gunakan. Sebagai contoh kita akan menghitung jumlah
partikel jika kita mengambil volume gas 1 cm3 pada tekanan 1 atm dan
temperatur kamar. Dalam kondisi standar (1 atm dan temperatur kamar T
= 25oC) 1 kilomol gas ideal mengandung 6,03 x 1026 partikel (bilangan
Avogadro) dengan volume 22,4 liter.
Dengan perbandingan ini, kita dapatkan:

1 x

22,4  10 3
6,03  10 26
6,03  10 26
x  2,81  10 21  3x10 21
22.4  10 3
65

3. Partikel tersebar merata dalam seluruh ruang sehingga kita memiliki rapat
partikel yang homogen di semua tempat, dapat menggunakan persamaan
rapat partikel tiap satuan volume :
N
N
Vol
Dengan N adalah rapat partikel tiap satuan volume, N adalah jumlah
partikel yang terkandung dalam volume V dan V adalah volume yang
diamati. Untuk menyatakan jumlah partikel yang terkandung dalam
volume kecil V dapat dilakukan dengan mudah mengingat sistem ini
memiliki rapat muatan yang sama. Sehingga :
N =N/Vol =N/Vol
N=N. Vol …………………(6.2 )
N adalah jumlah partikel yang terkandung dalam elemenn volume V.

4. Jarak antara partikel lebih besar dibanding dengan jari-jari partikel. Dapat
kita tunjukkan dengan perhitungan berikut. Misalkan jari-jari atom
hidrogen diperkirakan 3x10-10 m. Jika 1 cm3 mengandung 3x10 21 partikel
maka jarak antar partikel dapat dilakukan sebagai berikut:
Volume yang ditempati 1x 106 m3
tiap partikel  21
 3,33 x10 26 m3
3 x10
Sehingga jarak antar partikel
1 1
 Vol   4 x 3,33 x 10 26 
 
3 3 1
d   3      14.14 x 10 27 3
 2.36 x 10 9 m
 4 .π   3 x 3.14 

Sehingga d > R.
5. Gaya tarik antar partikel diabaikan, energi yang muncul hanya terjadi jika
partikel bertumbukan.
6. Tumbukan yang terjadi antar partikel ataupun antar partikel dengan
dinding bersifat lenting sempurna sehingga dalam hal ini berlaku hukum
kekekalan energi mekanik. Dalam hal ini (lihat gambat 7.1) 1 = 2.

1
2
66

Gambar 6.1
Model tumbukan partikel dengan dinding
bersifat lenting sempurna.

Dengan berbekal asumsi-asumsi di atas, maka kita akan meninjau prilaku


gerak partikel dengan mendefinisikan dulu konsep fluks partikel (banyaknya
partikel yang menembus bidang permukaan secara tegak lurus tiap satuan luas tiap
satuan volume). Kemudian untuk menentukan persamaan gas ideal/variabel fisis
lainnya, kita tinggal mengakaitkan harga fluks partikel ini terhadap fenomena fisis
yang menjadi pengamatan kita.

6.3 Sistem Kordinat Bola dan Rapat Muatan


Salah satu sistem koordinat yang dapat dipergunakan dalam menentukan
posisi partikel adalah koordinat bola, sistem koordinat ini memiliki satu keunikan
yakni memiliki sifat simetris ke segala arah. Oleh karena itu, dalam pembahasan
selanjutnya kita akam menggunakan koordinat ini dalam menentukan posisi
partikel. Sebagai gambaran kita dapat mengamati luas elemen bola sebagai berikut
(lihat gambar 6.2) : 2 

 dA  r sin dd


2

0 0
 2
A  r 2 .( cos 0 ).( 0 )  4r 2 …………………..(6.3)

r sin 

A (elemen
r sin   luas)
r 


r
67

Gambar 6.2
Gambaran elemen luas dalam sistim koordinat bola

Sehingga kita dapat mendefinisikan rapat muatan tiap satuan luas sebagai
berikut :
N 2
N = N/A = r …………………...(6.4 )
4
Jadi jika kita menginginkan jumlah partikel yang terkandung dalam elemmen luas
A adalah sebagai berikut :

N N 2 N
ΔN  2
ΔA  2
r sin θ Δθ Δφ  sin θ Δφ …………(6.5)
4ππ 4ππ 4π
Mengingat perubahan elemen luas A karena perubahan  dan , maka dalam hal
ini N juga merupakan hasil perubahan  dan , sehingga pernyataan di atas
menjadi:
N …………………………..(6.6)
ΔN θ, φ  sin θ Δθ Δφ

r sin  

 r 
r


r

68

Gambar 6.3
Elemen volume pada sistem koordinat bola.

Dengan cara yang sama kita dapat menentukan rapat muatan tiap satuan
volume sebagai berikut :
N = N/Vol ………………………(6.7)
Elemen volume dapat dicari dengan mudah (lihat Gambar 6.3 di atas):
r 2π π

 dVol     r sin θ dr dθ dφ
2

0 0 0

4 3 ……………………….(6.8)
πrVol 
3
Sehingga kita dapat menentukan jumlah partikel yang berada dalam elemen vol
V, hal ini karena perubahan ,,r , sehingga pernyataan jumlah partikel menjadi:

N 3N
 ,,r  .r 2 .r. sin ..  r. sin ..
4
3 ..r
3
4..r ………..(6.9)

6.4 Menentukan Harga Fluks Partikel


Fluks partikel didefinisikan sebagai banyaknya partikel yang menembus
elemen permukaan secara tegak lurus tiap satuan luas tiap satuan waktu, sehingga
persamaan fluks dapat dinyatakan dengan :
ΔN ………………….(6.10)
ψ
ΔA Δt
69

Jika kita mendefinisikan N adalah bayaknya partikel yang terkandung dalam


luas elemen volume A yang memiliki kecepatan tertentu, misal dari v v
+ dv. Maka definisi N dapat diturunkan berdasarkan gambar 6.4 di bawah ini:

h = v.t

A

Gambar 6.4
Penentuan harga N berdasarkan perubahan para meter , dan v

Sehingga
ΔN v
ΔN θ, φ,v  sinθ Δθ Δφ

dan  ΔV  ΔA cosθ h  ΔA cosθ v Δt …………(6.11)
N,,v adalah rapat muatan tiap satuan luas akibat perubahan ,  dan v, maka
banyaknya partikel yang terkandung dalam elemen akibat perubahan ,  dan v
menjadi:
Nυ
θ, φ,υ  υ sinθ cosθ Δθ Δφ ΔA Δt

θ, φ,υ Nυ
ψθ, φ,υ   υ sinθ cosθ Δθ Δφ ..……..(6.12)
A t 4π

Dengan mudah kita dapat mendefinisikan harga fluks dengan syarat batas tertentu,
misal , , ,  dan  yakni :
70

1
ψθ, υ  sin θ cosθ Δθ υ ΔN υ
2
 1  1  π 1
ψ υ    sin θ 0 2 υ ΔN υ  υ ΔN υ
 2  2  4
1
ψθ  sin θ cosθ Δθ  υ ΔN υ
2
1
 ψ   υ ΔN υ ……………….(6.13)
4

Pernyataan yang lebih umum tentang harga  dapat dinyatakan lewat persamaan
harga kecepatan rata-rata, karena harga kecepatan rata-rata ini mewakili harga
kecepatan gerak partikel dalam sistem yang menjadi pengamatan kita. Persamaan
kecepatan rata-rata ini dapat diturunkan melalui :

υ υN  1  υ N 1 1  υ2 N2  υ3N3  ... 


1
 υi Ni
N N N
  υ N  υ N
i i

1 …………………………………(6.14)
sehingga  ψ  υN
4

6.5 Terapan dalam Kasus Fisika


6.5.1 Menentukan Persamaan Gas Ideal
Secara umum persamaan gas ideal dapat dinyatakan dengan PV = NRT,
dengan N banyaknya partikel yang terkandung dalam sistem gas ideal. Melalui
pernyataan tekanan dapat digambarkan sebagai jumlah momentum yang diterima
dinding tiap satuan luas tiap satuan waktu, hal ini dapat dilakukan karena dimensi
tekanan sama dengan dimensi momentum tiap satuan luas tiap satuan waktu.
Penentuan persamaan gas ideal dapat diturunkan berdasarkan jumlah momentum
yang diterima dinding tiap satuan waktu tiap satuan luas yang berarti fluks
momentum partikel. Perhatikan gambar 6.5 berikut ini :

v2j=v sin 

v2i=- v cos

1
2

v1j= v sin 
71

Gambar 6.5
Prilaku partikel gas ideal menumbuk dinding secara lenting sempurna.

Jumlah momentum yang diberikan partikel pada dinding P = M2  M1 =


(2mvcos), sehingga jumlah momentum yang diterima dinding menjadi P =
2mvcos. Jika ada sejunlah N partikel yang menumbuk dinding maka jumlah
momentum yang diterima dinding menjadi
P = 2mv cos  ( N,, )
atau
 1 
ΔP  2mvcosθ υN υ Δsinθ cosθ Δθ Δφ ΔA Δt  ……..(6.15)
 4π 
Sehingga pernyataan jumlah momentum yang diterima dinding tiap satuan
luas tiap satuan waktu (fluks momentum) dapat dinyatakan dengan :
 1 
ΔP  2mυ cosθ υN υ sin θ cosθ Δθ Δφ ΔA Δt 
ΔP  4 π 

ΔA Δt ΔA Δt
1 ………………(6.15)
 mυ 2 N υ sin θ cos 2θ Δθ Δφ

Maka harga fluks momentum karena perubahan kecepatan partikel dapat


dinyatakan dengan (perubahan  : 0 s/d /2 ; perubahan  : 0 s/d 2):
π

ΔP 1 2
1
Pυ   mυ 2 N υ  sin θ cos 2θ dθ  dφ  m υ 2 Nυ
ΔAΔt 2π 0 0
3
atau
1
P  m υi Ni …………………………..(6.16)
2

Dengan cara yang sama kita dapat menggunakan harga rata-rata kecepatan
kuadrat, yang dapat diturunkan dengan harga kaidah nilai rata-rata, sehingga

1
P  m υ 2N
3
72

pernyataan fluks momentum atau tekanan dalam sistem gas ideal dapat dinyatakan
dengan:
………………………(6.17)
Kita tinjau persamaan yang telah kita peroleh tentang energi mekanik rata-rata
partikel gas ideal
yakni :

ek  1 m υ 2 , dan
2
3 3KT
ek  KT, maka  υ 2 
2 m
n N
P  NKT, didefinidi kan  N  ;n
V NA
K K
 PV  nKT  PV  N T  R,
NA NA
maka  PV  NRT ……………………(6.18)
Persamaan di atas merupakan persamaan gas ideal dengan N adalah jumlah
partikel yang terkandung dalam sistem gas ideal.
6.5.2. Menentukan Persamaan Energi pada Sistem Gas Ideal yang Dibatasi
oleh Piston
P

Perhatikan gambar 6.6


P
disamping ini, suatu sistem gas ideal
dx
yang salah satu dindingnya dibatasi
oleh piston yang mudah digerakkan.
Gambar 6.6
Jika sistem ini menerima tekanan dari Sistem gas ideal salah satu
dindingnya dibatasi oleh piston
luar sehingga piston bergerak ke arah
yang mudah digerakkan.
kiri, maka volume sistem gas ideal
menjadi lebih kecil. Pemberian tekanan dari luar sama halnya jika sistem
memperoleh energi eksternal.
Besarnya energi eksternal dapat dinyatakan oleh persamaan berikut ini :

dW  Fdx 
maka : dW  P A dx  PdV ……………….(6.19)
F  PA 
73

Pernyataan ini sangat mudah diturunkan oleh pandangan mekanika klasik,


sehingga untuk HK I Termodinamika menjadi :
dU = dQ - PdV …………………………. (6.20)
Sehingga jika sistem memperoleh tambahan energi maka harga energi dalam
semakin besar, hal ini terjadi karena dV berharga negatif.
Tinjauan secara mikroskopik dW = PdV dapat dilakukan melalui konsep
penurunan harga fluks tekanan. Tinjau gambar 6.7 berikut ini :
Gambar 6.7, merupakan gambar partikel gas ideal yang mmenumbuk dinding
piston dengan kecepatan v, mengingat tumbukan yang terjadi bersifat lenting
sempurna maka berlaku hukum kekekalan energi mekanik maupun hukum
kekekalan momentum, sebagai akibatnya harga v1 = v2 = v dan 1= 2= . Akibat
dari sejumlah partikel (N) menumbuk piston dan piston dikenai sejumlah
momentum partikel maka piston dapat bergerak dengan kecepatan u . Dalam hal
ini tentu u <<< v.
Pada gambar 6.7 diperlihatkan
u kecepatan gerak bahwa selama gerakan partikel,
piston piston juga ikut bergerak dengan
kecepatan u. Oleh karena itu kita
1 2 mengamati gerak patikel, terhadap
dua hal, yakni untuk kerangka yang
v1 cos v1 v2sin
diam dan untuk kerangka yang
gerak.
v1sin v2 cos
v2 Dengan memperhatikan
gambar 6.7, maka jumlah
momentum yang diterima dinding
hanya bergantung kepada arah
Gambar 6.7
Tumbukan partikel menyebabkan kecepatan cos , mengingat harga
gerakan piston
kecepatan sin  tidak menyebabkan
piston memperoleh momentum. Sehingga dalam hal ini kita mengamati harga
kecepatan partikel sebelum setelah tumbukan dalam arah vertikal.
Pandang kecepatan partikel sebelum menumbuk piston :
74

 Untuk sistem yang diam (kerangka acuan yang diam) kecepatan partikel
menuju piston adalah :

0  υ1cosθ …………………(6.20)
 Untuk sistem yang bergerak (kerangka acuan yang bergerak) kecepatan
partikel menuju piston adalah :
0  υ1cosθ  u ……………………. (6.21)
Pandang kecepatan partikel setelah menumbuk piston :
 Untuk sistem yang diam ( kerangka acuan yang diam) kecepatan partikel
menjauhi piston adalah :
t  υ1cosθ  2u ...……………………(6.22)
 Untuk sistem yang bergerak (kerangka acuan yang bergerak) kecepatan
partikel menjauhi piston adalah:
t  υ1cosθ  2u .……………………..(6.23)
Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
do jarak partikel terhadap piston sebelum menumpuk piston, dt jarak partikel
terhadap piston setelah menumpuk piston, do’ jarak partikel terhadap piston
sebelum partikel menumbuk piston ketika piston bergerak, dt’ jarak partikel
terhadap piston setelah partikel menumbuk piston.
Mengingat besar kecepatan merupakan harga perbandingan jarak
perpindahan terhadap waktu maka penjelasan di atas lebih mudah difahami.
Sehingga jika piston bergerak maka kecepatan partikel menuju piston lebih kecil
dibandingkan dengan kecepatan partikel menuju piston ketika piston dalam
keadaan diam ,sehingga dalam hal ini 0  υ1cosθdan
 ukecepatan partikel setelah
menumbuk piston menjadi 0  υ1cosθ
.  2u
Harga energi kinetik yang diberikan oleh partikel kepada dinding piston adalah :

u
0  1 . cos   u

 t  1 . cos   2u

do’
do do
75

(a) Kerangka yang diam (b) Kerangka yang bergerak


Gambar 6.8
Model kecepatan gerak partikel pada kerangka acuan yang bergerakdan diam.

 Untuk kerangka acuan yang diam :


e  1
2 .m( t cos ) 2  1 2 .m(0 cos ) 2    t  0
 e  0 …………………………………..(6.24)
 Untuk kerangka acuan yang bergerak :

e  1
2 .m( t cos   2u) 2  1 2 .m( 0 cos   u) 2    t   0  
e   
.m  2 cos   4 cos u  4u2   2 cos   2 cos u  u2  u; u2  0
1
2

 e  .2mu cos  ………………………………...(6.25)


Besarnya energi kinetik yang diterima piston untuk satu kali tumbukan menjadi
e = mvu cos . Sehingga mudah untuk menentukan fluks energi yang diterima
dinding oleh tumbukan sejumlah partikel :

ΔN υ,θ
ΔE
Δψ υ,θ   Δe    υΔN υ sin θ cosθ Δθ 2mυu cos 
ΔAΔt ΔAΔt  2 
ΔE ………………………..(6.26)
 mυ2u sin θ cosθ Δθ N
ΔAΔt
Penurunan ini dapat kita lakukan terhadap perubahan  dari 0 /2. Sehingga :
π
d 2E 2

 m.υ 2 .u.N  sin θinθ. 2θdθ  sin θin  dcosθcmak a


ΔA.Δt 0

  1 
0
d 2E
 m.υ 2 .u.N  cos 2θ dcosθ    m.υ2 .N .u  P.u
ΔA.Δt 1 3 
ΔE  
 P.  ΔE  P.  ΔA.Δt  P.Δ.ΔV
ΔA.Δt t t
 ΔE  dW  P dVol
76

…………………(6.27)
Berdasarkan persamaan di atas ,dapatlah kita pandang bahwa energi yang
diberikan sistem gas ideal kepada lingkungan sebesar dW = P dV.

6.5.3. Menentukan Harga Kapasitas Panas Spesifik


Di dalam Termodinamika perubahan energi internal U pada dua sistem
yang mengalami keadaan setimbang dapat dinyatakan dengan:
Ua-Ub= Wad ………………………..(6.28)
Wad adalah kerja pada proses adiabatik untuk kedua sistem. Dimulai dari model
molukul sebuah sistem, dapat didefinisikan bahwa energi dalam sistem adalah
jumlah energi yang dimiliki oleh semua molekul yang terdapat pada sistem
tersebut. Jika dalam sistem tersebut memiliki f tingkat energi bebas, jadi dalam
hal ini ada sekitar f tingkat energi untuk setiap partikelnya, maka pernyataan
energi dalam dapat dinyatakan oleh:

 N  1  f  K  f
U  f N e  f    KT   N   T  N R T ……….(6.29)
 NA   2  2  NA  2

Dengan N adalah rapat partikel untuk tiap satuan volume. Sehingga harga energi
tiap satuan partikel dapat dinyatakan dengan :

f
u RT
2 …………………..(6.30)
Penurunan harga kapasitas panas dapat dilakukan dengan mudah. Jika
energi dalam merupakan fungsi dari temperatur dan volume u = f(T,V), maka
pernyataan perubahan energi dalam karena perubahan variabel temperatur dan
volume dapat diturunkan dengan menggunakan turunan parsial:

 u   u 
du    dT    dV  V  kons tan  dV  0
 T  V  V  T
 u   u  ……………………..(6.31)
du    dT,  C V   
 T  V  T  V

Sehingga pernyataan harga kapasitas panas pada volume konstan dapat dinyatakan
dengan :
77

d f  f
CV     RT    R
dT  2  2 ……………………..(6.32)
Untuk menentukan harga kapasitas panas pada tekanan tetap dan harga
perbandingan antara CP terhadap CV dapat diturunkan lewat definisi yang
digunakan termodinamika untuk sistem gas ideal :

f f 2
CP  CV  R  RR  R , dan
2 2
f 2
R
Cp 2 f 2
   ………………….(6.33)
CV f f
R
2
6.6 Proses Transport
Sistem yang berada dalam kesetimbangan masih merupakan tinjauan kita
sampai saat ini. Pada bab-bab sebelumnya, sistem ini telah dijelaskan secara
umum. Meskipun keadaan setimbang sangat penting, tetapi tidak kalah penting
untuk meninjau sistem yang tidak berada dalam keadaan setimbang. Mengapa
keadaan ini perlu ditinjau? karena memang banyak permasalahan fisika yang
berkaitan dengan sistem makroskopik tidak berada dalam keadaan setimbang.
Pada subbab ini akan dibahas pengertian jalan bebas rata-rata, kemudian
dilanjutkan dengan aplikasi pada keadaan tidak setimbang yang sederhana. Proses
dari keadaan tidak setimbang menuju ke keadaan setimbang dinamakan proses
transport, karena dalam proses ini melibatkan kuantitas fisika tertentu yang
ditransportkan. Proses transport yang akan ditinjau adalah transport momentum,
energi dan molekul. Untuk masing-masing proses transport, kita akan mencari
koefisien viskositas, koefisien konduktifitas dan koefisien difusi-diri secara
berturut-turut.

6.6.1 Jalan Bebas Rata-rata


Perhatikan tumbukan antara molekul-molekul dalam gas dimana
tumbukan tersebut dianggap acak. Kemungkinan sebuah molekul mengalami
tumbukan dengan molekul lainnya selama selang waktu yang sempit dt
diasumsikan tidak bergantung dengan keadaan tumbukan sebelumnya. Perhatian
ditujukan pada sebuah molekul khusus pada setiap waktu yang singkat. Waktu
78

rata-rata  dimana molekul bergerak sebelum mengalami tumbukan berikutnya


disebut waktu bebas rata-rata dari molekul ( juga merupakan waktu rata-rata
dimana molekul bergerak setelah mengalami tumbukan). Sama halnya dengan
jarak rata-rata l dimana molekul bergerak sebelum mengalami tumbukan juga
ekivalen dengan jarak rata-rata dimana molekul bergerak setelah bertumbukan dan
ini disebut dengan dengan jalan bebas rata-rata molekul. Dalam hal ini distribusi
kecepatan molekul diabaikan sehingga dianggap molekul bergerak dalam arah
yang acak dengan kecepatan yang sama yaitu sama dengan kecepatan rata-ratanya
v . Akibat dari aproksimasi ini, diperoleh hubungan antara jalan bebas rata-rata l
dan waktu bebas rata-rata  sebagai berikut :
l  v ………………….(6.34)
Perhatikan sebuah molekul A yang mendekati molekul A’ dengan
kecepatan relative V sedemikian rupa sehingga jarak antar pusatnya adalah b
seperti diperlihatkan gambar 6.9. Dari gambar tersebut terlihat bahwa tidak ada
gaya antara molekul jika panjang b > (a + a’), tetapi akan ada gaya kuat yang
terjadi antar molekul jika b < (a + a’). Kondisi yang diperlukan untuk terjadinya

V
A a
b a+a’ a’ A’

Gambar 6.9
Ilustrasi Lintasan Partikel dalam Menentukan Jalan Bebas Rata-rata

hamburan dapat digambarkan dengan membayangkan bahwa molekul A dianggap


sebagai piringan berjari-jari (a + a’), piringan tersebut mempunyai pusat yang
sama dengan pusat molekul A dan tegak lurus dengan kecepatan relative V.
Tumbukan antar dua molekul akan terjadi hanya apabila pusat molekul A’ terletak
dalam volume yang disapu oleh luas  dari lingkaran piringan bayangan A diatas.
Disini diperoleh :
79

 =  (a + a’)2 …………………………(6.35)
atau apabila molekul-molekul tersebut identik sehingga a’ = a, maka diperoleh :
 =  d2 ……………………….(6.36)
dimana d = 2a adalah diameter molekul. Luas  disebut penampang hamburan
total yang mengkarakterisasi tumbukan antar dua molekul.
Sekarang akan dihitung secara aproksimasi untuk waktu bebas rata-rata 
molekul dalam dilute gas yang terdiri dari n molekul identik persatuan volume.
Diasumsikan bahwa penampang hamburan total  diketahui. Fokuskan perhatian
pada molekul A dalam waktu yang singkat. Molekul ini bergerak dengan

kecepatan relative rata-rata V terhadap setiap molekul A’ dimana ia dapat


dihamburkan. Piringan bayangan berluas  yang diwakili oleh molekul A
bergerak ke arah molekul A’ lainnya dalam waktu t menyapu volume  V t .  
Disini, waktu t akan sama dengan waktu bebas rata-rata  apabila:
 V n  1 …………………………….(6.37)
sehingga diperoleh :
1
 ……………………………(6.38)
n V
Dari persamaan di atas terlihat bahwa waktu bebasa rata-rata  molekul adalah
kecil apabila jumlah molekul persatuan volumenya besar, sehingga disini
memungkinkan lebih banyak molekul yang saling bertumbukan; juga apabila
diameter molekul (atau ) besar sehingga memungkinkan dua molekul terhambur;
dan apabila kecepatan rata-rata molekul relative terhadap yang lainnya besar
sehingga molekul-molekul lebih sering bertumbukan.
Sesuai dengan persamaan (6.34), maka jalan bebas rata-rata l dapat
dinyatakan oleh:
v 1
l  v  ………………………… (6.39)
V n
Apabila seluruh molekul-molekulnya identik maka v  v  sehingga diperoleh
bahwa kecepatan relatif rata-ratanya menjadi :
V  2v …………………………….(6.40)
sehingga persamaan (6.39) menjadi :
80

1
l ……………………………(6.41)
2n
Persamaan keadaan sebuah gas ideal menggambarkan n dalam tekanan rata-rata
p dan temperature mutlak T dari gas. Yaitu p  nkT sehingga persamaan (6.41)
menjadi :
kT
l …………………………….(6.42)
2 p
Terlihat pada temperatur konstan, jalan bebas rata-rata berbanding terbalik dengan
tekanan gas. Nilai jalan bebas rata-rata dalam gas pada temperatur ruang
(T=300K) dan tekanan atmosfer (P=106 dyne/cm2) dapat dihitung menggunakan
persamaan (6.42). Dengan menggunakan nilai jejari molekul a 10-8 cm,
diperoleh  = 12 x 10-16 cm2 dan l = 2 x 10-5 cm, terlihat nilai l >> d atau dengan
kata lain jalan bebas rata-rata jauh lebih besar dari diameter molekul.

6.6.2 Viskositas dan Transport Momentum


Tinjau sebuah benda makroskopik yang dicelupkan dalam suatu fluida
(cairan) yang dalam keadaan diam dan tidak ada gaya luar yang bekerja (keadaan
setimbang). Jika objek berada dalam kesetimbangan maka objek tersebut juga
akan diam, tetapi jika objek tersebut bergerak melalui fluida maka objek tidak lagi
berada dalam kesetimbangan. Interaksi molekul dalam fluida cenderung untuk
membawa keadaan yang tidak setimbang ini menuju ke keadaan setimbang.
Interaksi molekul dalam fluida ini menghasilkan gaya gesek dalam skala
makroskopik yang bekerja pada objek sehingga memperlambat gerak dari objek
tersebut. Gaya ini akan hilang apabila objek tersebut diam dan besar gaya yang
sebenarnya bergantung pada sifat dari fluida. Sifat dari fluida ini yang dinamakan
viskositas. Jadi, gaya yang bekerja pada objek yang sama akan lebih besar dalam
sirup dibandingkan pada air, berkenaan dengan sifat itu maka dikatakan sirup
lebih viskos dari air.

Pengertian Koefisien Viskositas


Tinjau sembarang fluida (cairan atau gas) dan bayangkan dalam fluida ini
ada bidang yang normalnya sepanjang arah z (gambar 6.10).
81

z Pzz

x Pzx
z

Gambar 6.10
Sebuah bidang z = konstan dalam fluida.
Fluida di bawah bidang mengerjakan gaya Pz pada fluida di atasnya.

Selanjutnya fluida yang berada di bawah bidang ini diketahui memberikan gaya
rata-rata per satuan luas (tekanan rata-rata) Pz pada fluida di atasnya. Sebaliknya
menurut hukum III Newton, fluida yang berada di atas bidang memberikan
tekanan rata-rata –Pz pada fluida di bawahnya. Tekanan rata-rata tegak lurus
terhadap bidang (komponen z dari Pz). Ketika fluida berada dalam kesetimbangan
yaitu fluida akan tetap diam atau bergerak dengan kecepatan tetap yang besarnya
sama untuk seluruh fluida, maka tidak ada komponen tekanan rata-rata yang
paralel terhadap bidang, jadi Pzx = 0. Indeks z dalam Pzx adalah orientasi bidang
dan ideks x adalah komponen gaya yang terletak pada bidang dalam arah x.
Sekarang tinjau keadaan non kesetimbangan sederhana dimana kecepatan
rata-rata u dari fluida (kecepatan aliran makrorkopiknya) tidak sama dengan
kecepatan seluruh fluida. Jelasnya, tinjau kasus dimana fluida mempunyai
kecepatan rata–rata dalam arah x yaitu ux yang tidak bergantung waktu. Besarnya
ux bergantung pada z, sehingga ux = ux(z). Keadaan seperti ini dapat dihasilakan
jika fluida diisi diantara dua plat yang terpisah sejauh L. Plat pada z = 0 diam dan
plat pada z = L bergerak dalam arah x dengan kecepatan konstan uo.
82

z
x
ux = u0 ux = u0
z=L

z’
L
z

z=0
ux = 0 ux = 0
Gambar 6.11
Fluida diisi diantara dua plat. Plat bawah diam dan plat atas bergerak dengan
kecepatan u0 dalam arah x,sehingga terdapat gradien kecepatan dalam fluida.

Lapisan–lapisan dari fluida antara kedua plat akan memiliki kecepatan rata–rata ux
yang berbeda yang besarnya bervariasi antara 0 sampai u0. Dalam kasus ini fluida
memberikan gaya tangensial terhadap plat yang bergerak. Secara umum, lapisan
fluida di bawah bidang z = konstan memberikan tekanan tangensial pada fluida di
atasnya, sehingga :
Pzx = gaya rata–rata dalam arah x persatuan luas pada bidang,
dimana fluida di bawah bidang menekan pada fluida di
atasnya.
Kita sudah melihat bahwa Pzx = 0 dalam keadaan setimbang dimana ux(z)
u x
tidak bergantung z, dalam kasus non kesetimbangan dimana  0, Pzx
z
haruslah sebuah fungsi dari turunan ux terhadap z, fungsi ini sedemikian rupa
u x
sehingga nilainya nol apabila ux tidak bergantung z. Tapi jika diasumsikan
z
relatif kecil, maka ekspansi Taylor dari Pzx merupakan pendekatan yang cukup
baik. Bentuk hubungan yang diharapkan adalah :
u x
Pzx   …………………(6.43)
z
83

Konstanta  dinamakan koefisien viskositas dari fluida.


Jika ux meningkat dengan bertambahnya z, maka fluida di bawah bidang
cenderung memperlambat fluida di atas bidang sehingga bekerja pada fluida
u x
tersebut gaya yang arahnya –x atau dengan kata lain jika  0 maka Pzx 0.
z
Tanda negatif dalam persamaan 6.43 muncul untuk membuat  berharga positif.

Menghitung Koefisien Viskositas Untuk Gas


Misalkan gas mempunyai komponen kecepatan rata–rata ux yang
merupakan fungsi dari z. Sekarang tinjau bidang z = konstan. Apa sumber
mikroskopik dari tekanan Pzx yang bekerja melewati bidang ini!, secara kualitatif
dapat dijelaskan bahwa molekul yang berada di atas bidang mempunyai
momentum komponen x yang sedikit lebih besar dari pada molekul di bawah
bidang. Selama molekul melintas balik dan terus melewati bidang ini, molekul
selalu membawa momentum dalam arah x karena molekul yang datang dari atas
bidang membawa momentum komponen x yang lebih besar. Sebaliknya gas yang
ada di atas bidang kehilangan momentum dalam arah x karena molekul yang
datang dari bawah bidang membawa momentum komponen x yang lebih kecil.
Tapi dari Hukum II Newton, gaya yang bekerja pada sistem sama dengan rata-rata
perubahan momentum sistem. Oleh karena itu, gaya yang dialami gas di atas
bidang oleh gas di bawahnya sama dengan penambahan momentum persatuan
waktu untuk gas di atas bidang dari gas di bawahnya, sehingga gaya Pzx adalah :
Pzx = Kenaikan rata – rata persatuan waktu dan persatuan luas
bidang, dari momentum komponen x untuk gas di atas bidang
akibat transport momentum oleh molekul yang melewati bidang.
Untuk memberikan perhitungan sederhana dari koefisien viskositas, kita
asumsikan bahwa semua molekul bergerak dengan kecepatan yang sama yaitu
kecepatan rata-ratanya v . Jika terdapat n molekul persatuan volume, n/3 nya
(aproksimasi) akan mempunyai kecepatan yang dominan dalam arah z.
Setengahnya atau n/6 molekul per unit volum mempunyai kecepatan v yang
arahnya +z, sedangkan setengahnya lagi atau n/6 molekul per unit volum,
mempunyai kecepatan v yang arahnya –z.
84

z
ux(z+l)

1
l nv
6
z
1
l nv
6

ux(z-l)

Gambar 6.12
Transport momentum oleh molekul-molekul yang melewati bidang

Sekarang tinjau bidang z, terdapat 1/6 n v molekul dalam satuan waktu yang
melewati satuan luas bidang dari bawah, sama halnya terdapat 1/6 n v molekul
dalam satuan waktu yang melewati satuan luas bidang dari atas. Tetapi dari
definisi jalan bebas rata-rata, molekul yang melewati bidang dari bawah telah
mengalami tumbukan sebelumnya pada jarak l di bawah bidang. Karena
kecepetan rata-rata ux fungsi dari z, molekul pada posisi (z-l) mempunyai
kecepatan rata-rata komponen x adalah ux (z-l), sehingga setiap molekul bermassa
m mentransport momentum rata-rata komponen x sebesar m ux(z-l) melalui
bidang, sehingga kita simpulkan bahwa
 momentum rata  rata komponen x yang 
ditranspor tkan persatuan waktu persatuan    1 n v  m u z  l 
   6  x

 luas melewati bidang dalam arah ke atas 

…..(6.44)
Hal yang sama dalam meninjau molekul yang datang dari atas bidang dimana
molekul-molekul tersebut telah bertumbukan pada (z+l), sehingga:
 momentum rata  rata komponen x yang 
 ditranspor tkan persatuan waktu persatuan    1 n v  m u z  l  …..(6.45)
   6  x

luas melewati bidang dalam arah ke bawah 

Kita tentukan transport momentum rata-rata arah x persatuan waktu per


satuan luas dari bawah ke atas bidang, yaitu Pzx :
85

1  1 
Pzx   n v  m u x z  l   n v  m u x z  l 
6  6 
 n v m u x z  l   u x z  l 
1 ………(6.46)
6
Tetapi karena jalan bebas rata-rata sangat kecil, kita dapat menggunakan
aproksimasi:
u x
u x ( z  l )  u x ( z)  l
z
u
u x ( z  l )  u x ( z)  x l
z
…….(6.47)
sehingga
1  u  u
Pzx  n v m   2 x l    η x …….(6.48)
6  z  z
dengan
1
η nv m l ……………..(6.49)
3
Dari definisi jalan bebas rata-rata, persamaan (6.49) menjadi :
1 m
η v
3 2 σ
...……………(6.50)
Kecepatan rata-rata v dapat diperoleh melalui teorema equipartisi :

3kT
v
m
.……………..(6.51)
sehingga persamaan (6.50) menjadi :

1 mkT
 ……………..(6.52)
6 
Jangan lupa bahwa hasil yang diperoleh pada persamaan (6.49) adalah apabila kita
mengasumsikan d  l  L, jalan bebas rata – rata lebih besar dari diameter
molekul gas, dan lebih kecil dari ukuran kotak yang menampung gas.

Contoh :
86

Tentukan viskositas gas nitrogen pada suhu ruang !


Jawab :
Massa 1 mol gas N2 = 28 gram (Ar N = 14)
28
Massa 1 molekul gas N2 =  4,7 .10 23 gram
6,02.10 23

mv = 3mkT  2,4.10 18 gram cm s 1 T  300 K 

Diameter molekul N2, d  2 x 10-8 cm, sehingga


   d 2 1,2 x10 15 cm 2
maka dari persamaan (6.50):
1 mv
  5 x 10 4 gram cm 1 s 1
3 2 

6.6.3 Konduktivitas Termal dan Transport Energi


Tinjau sebuah bahan dimana temperaturnya tidak uniform, anggap bahwa
temperatur T adalah fungsi dari koordinat z, sehingga T = T(z). Keadaan bahan ini
dikatakan tidak berada dalam keadaan setimbang. Kecenderungan untuk menuju
ke keadaan setimbang dimanifestasikan bahan dengan adanya aliran kalor dari
daerah dalam bahan yang bertemperatur tinggi ke daerah dalam bahan yang
bertemperatur rendah (gambar 6.13). Tinjau sebuah bidang z = konstan dalam
bahan, kita definisikan :
Qz = Kalor yang melewati satuan luas dari bidang persatuan waktu dalam
arah z.

z
T2

z
Qz

T1

Gambar 6.13
Bahan dalam kontak termal dengan dua benda bertemperatur T1 dan T2.
87

Jika T2 > T1, kalor mengalir dalam arah –z dari daerah bertemperatur tinggi ke
bertemparatur rendah, jadi Qz harus negatif.

Kuantitas Qz dinamakan rapat fluks kalor dalam arah z. Jika temperatur


pada bahan uniform, maka tidak ada kalor yang mengalir melewati bidang z,
sehingga Qz = 0. Tetapi jika temperatur pada bahan tidak uniform, alasan yang
sama kita gunakan kembali ketika membahas viskositas, sehingga Qz haruslah
T
sebanding dengan gradien temperatur , jika nilainya tidak terlalu besar kita
z
dapat menuliskan :
T
Q z   …………. (6.53)
z
Konstanta  dinamaka koefisisen konduktivitas termal dari bahan tersebut.
Karena kalor mengalir dari daerah pada bahan yang bertemperatur tinggi ke yang
T
bertemperatur rendah maka Qz  0 jika  0. Tanda negatif muncul dalam
z
persamaan (6.53) untuk membuat  bernilai positif. Persamaan (6.53) berlaku
untuk semua gas, cairan dan bahan padatan yang isotropik.

Menghitung Koefisien Konduktivitas Termal Untuk Gas


Kita menggunakan kembali alasan yang sama ketika membahas viskositas
gas. Tinjau sebuah bidang z = konstan dalam gas dimana T = T(z). Mekanisme
transport panas didasarkan pada fakta bahwa molekul-molekul melewati bidang
T
ini dari atas dan bawah. Jika = 0, molekul-molekul yang datang dari atas
z
mempunyai energi rata-rata  T  lebih besar dari pada molekul-molekul yang
datang dari bawah, sehingga terdapat selisih energi dari daerah di atas bidang
dengan yang di bawahnya.
88

z
T (z+l)  (z+l)

1
l nv
6
z
1
l nv
6

T (z-l)  (z-l)

Gambar 6.14
Transport energi oleh molekul-molekul yang melewati bidang.

Bila ditinjau secara lebih kuantitative, (sama seperti kasus viskositas),


terdapat sekitar 1 6 nv molekul yang dalam satuan waktu melewati satuan luas
bidang dari bawah dan dalam jumlah yang sama dari atas. Di sini n adalah jumlah
rata-rata molekul persatuan volume pada bidang yang ditandai oleh z., sedangkan
v adalah kecepatan rata-ratanya. Molekul-molekul yang melewati bidang dari
bawah mengalami tumbukan terakhir pada jarak l (jalan bebas rata-rata) di bawah
bidang. Tetapi karena temperatur T adalah fungsi dari z dan energi rata-rata
molekul  bergantung pada T, maka energi rata-rata molekul  bergantung pada
posisi z dari tumbukan terakhirnya,  =  (z). Jadi molekul yang melewati
bidang dari bawah membawa energi rata-rata  (z-l) yang diasumsikan telah
bertumbukan pada posisi (z-l), sehingga dapat disimpulkan :
Energi rata  rata yang ditranspor t 
 persatuan waktu persatuan luas   1 nv  z  l 
  6
 melewati bidang dari bawah 

……..(6.54)
Hal yang sama untuk molekul – molekul yang datang dari atas bidang, dimana
molekul z tersebut telah bertumbukan pada posisi (z +  ) :
Energi rata  rata yang ditranspor t 
 persatuan waktu persatuan luas   1 nv  z  l 
  6
 melewati bidang dari bawah 

……..(6.55)
89

Kita tentukan fluks energi Qz yang melewati bidang dari bawah dalam arah +z,
sehingga

nv   z      z   
1
Qz 
6
1       
 nv     z        z    
6  z   z 
1   
 nv   2 
6  z 
1   T
  nv 
3 T z …………..(6.56)

Persamaan terakhir diperoleh karena  bergantung pada z melalui temperatur.


Definisikan :

c …………..(6.57)
T
yaitu kapasitas panas (pada volume konstan) per molekul.
Sehingga persamaan (6.56) menjadi :
T
Q z   ………………(6.58)
z
dimana
1
  nv cl ………………(6.59)
3
persamaan (6.58) menunjukkan bahwa Qz memang sebanding dengan gradien
temperatur, seperti yang diharapkan pada persamaan (6.53). Persamaan (6.59)
menyatakan secara eksplisit dari konduktivitas termal dari gas dalam besaran-
besaran dasar yang dimiliki molekul. Sekali lagi, persamaan (6.59) diperoleh
dengan mengambil asumsi d  l  L. Dari definisi jalan bebas rata – rata,
persamaan (6.59) menjadi :
1 c
 v ………………….(6.60)
3 2
Dalam kasus gas monoatomik, teorema equipartisi menghasilkan
3
 kT
2
…………………..(6.61)
90

dan kapasitas panas permolekul adalah :


3
c k
2
…………………..(6.62)
dari persamaan (6.51), maka persamaan (6.60) menjadi :

1 c kT
 …………………..(6.63)
3 2 m
Lihat kembali persamaan (6.52) untuk  dan persamaan (6.63) untuk  ,
bandingkan kedua kuantitas ini, menghasilkan :
 c
 …………………...(6.64)
 m
Bila pembagi dan penyebut masing–masing Na (Bilangan Avogadro) maka
diperoleh :
 Cv

 
……………………(6.65)
Dengan Cv = Na c (kalor jenis molar dari gas pada volume konstan) dan  = Na m
(berat molekul). Jadi, terdapat hubungan yang sangat sederhana antara dua
koefisien transport  dan  dan hubungan ini dapat diuji secara eksperimen.

6.6.4 Difusi Diri dan Transport Molekul


Tinjau sebuah bahan yang mengandung molekul yang mirip (serupa).
Asumsikan bahwa sejumlah tertentu (tidak semua) dari molekul-molekul tersebut
dapat ditandai (dilabel) dengan bermacam cara, sebagai contoh sejumlah molekul
dapat dilabel oleh intinya yang radioaktif. Misalkan n1 adalah jumlah rata-rata
molekul yang dilabel persatuan volume. Dalam keadaan kesetimbangan molekul-
molekul yang dilabel akan terdistribusi secara uniform ke seluruh volume,
sehingga n1 tidak bergantung posisi. Sekarang misalkan distribusinya tidak
uniform sehingga n1 bergantung posisi, misal n1 bergantung pada z, sehingga n1 =
n1(z) (jumlah molekul total rata-rata n persatuan volume diasumsikan tetap
konstan sehingga tidak ada gerak neto dari semua molekul dalam bahan). Keadaan
seperti ini tidak berada dalam kesetimbangan. Molekul yaag dilabel akan
91

cenderung bergerak sedemikian rupa menuju ke keadaan kesetimbangan dimana


distribusinya uniform. Tinjau sebuah bidang z = konstan, kita definisikan rapat
fluks partikel yang terlabel oleh Jz sehingga :
Jz = Jumlah rata – rata molekul yang dilabel melewati satuan luas
bidang persatuan waktu dalam arah +z.
Jika n1 uniform, Jz = 0. Tetapi jika n1 tidak uniform, kita mengharapkan sebanding
n1
dengan gradien konsentrasi dari molekul yang dilabel. Kita dapat
z
menuliskan:
n1
Jz =  D …………………….(6.66)
z
n1
Konstanta D dinamakan koefisien difusi diri dari bahan. Jika  0, aliran dari
z
partikel yang dilabel akan berarah ke –z agar konsentrasinya menjadi sama,
sehingga Jz  0. Tanda negatif dalam persamaan (6.66) muncul agar nilai D
positif. Persamaan (6.66) mampu menjelaskan persamaan difusi diri dari molekul
dalam gas, cairan ataupun zat padat yang isotropik.

Menghitung Koefisien Difusi Diri Untuk Gas


Dalam kasus ini, kita gunakan kembali argumen yang sama ketika kita
menghitung koefisien viskositas dan koefisien konduktifitas termal. Tinjau z =
konstan dalam gas. Karena n1 = n1(z), jumlah rata-rata molekul yang dilabel
dalam satuan waktu yang melewati satuan luas bidang dari arah bawah adalah

v n1  z  l  ; sedangkan dari arah atas adalah v n1  z  l  .


1 1
6 6

z
n1(z+l)

v n z  l 
1
l 1
6
z
v n z  l 
1
l 1
6

n1(z-l)
92

Gambar 6.15
Transport molekul-molekul yang dilabel melalui bidang.

Selanjutnya kita dapat menentukan selisih fluks dari molekul yang dilabel
yang melewati satuan luas bidang dari bawah dalam arah +z, sehingga :

v n1  z  l   v n1 z  l 
1 1
Jz 
6 6
 v n1  z  l   n1 z  l 
1
6
1  n 
 v  2 1 l 
6  z 
n ………………….(6.67)
 D 1
z
dimana
1
D  vl …………………..(6.68)
3
Persamaan (6.67) menunjukkan bahwa Jz sebanding dengan gradien konsentrasi,
hasil ini sesuai dengan persamaan (6.66). Persamaan (6.67) menyatakan koefisien
difusi diri dalam kuantitas dasar molekul.
Selanjutnya kita ingin menyatakan D dalam bentuk yang lebih eksplisit,
dari persamaan (6.41) dan persamaan (6.51), persamaan (6.68) menjadi

1 1 (kT ) 3
D …………………(6.69)
6 p m
Pada temperatur tetap, koefisien difusi diri bergantung pada tekanan dari gas
1
D …………………(6.70)
p
dan pada tekanan tetap,
3
D T2 ………………….(6.71)
Bila kita bandingkan persamaan (6.52) dengan persamaan (6.69), maka kita akan
memperoleh hubungan antara koefisien difusi diri dengan koefisien viskositas :
D 1 1
 
 nm 
…………………..(6.71)
dimana  adalah rapat massa gas.
93

Anda mungkin juga menyukai