Cor Pulmonal
Cor Pulmonal
DOSEN PENGAMPU :
KELOMPOK 03:
1. ANGGRAINI (PO.71.20.1.18.009)
2. ALFINA LIAN SARI (PO.71.20.1.18.006)
3. DELISTIA RAMADANI (PO.71.20.1.18.023)
4. DELLA ANANDA PUTRI (PO.71.20.1.18.024)
5. DELLA RUSMINI (PO.71.20.1.18.025)
6. GHANNIYAH SALELAH H A (PO.71.20.1.18.044)
Penulis
DAFTAR ISI
A. Konsep Penyakit………………………………………………………………..5
2.1 Definisi………………………………………………………………………...5
2.3 Patofisiologi………………………………...……………………....................6
2.5.1 Elektrokardiogram………………………………...………………….....8
2.6 Penatalaksanaan……….……………………...……………………...............11
2.7 Prognosis………………………………...…………………….......................12
B. Konsep Asuhan Keperawatan…………………………………………………13
a) Pengkajian Keperawatan…………………………………………………..13
b) Diagnosis keperawatan…………………………………………………….14
c) Intervensi Keperawatan………………………………………..…………..14
BAB III PENUTUP…………………………………….………………..…….…19
3.1 Kesimpulan……………………………………..………………………..20
3.2 Saran……………………………………..…………………………….…20
1.2 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Agar mahasiswa mahasiswi Politeknik Kesehatan Kemenkes DIII
Keperawatan Palembang dapat memahami tentang penyakit dan dapat
mengaplikasikan tata laksana keperawatan pada klien dengan Kor Pulmonal
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui konsep Asuhan Keperawatan pada klien Kor Pulmonal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP PENYAKIT
2.1 Definisi
Kor pulmonal merupakan keadaan hipertrofi ventrikel kanan akibat suatu
penyakit yang mengenai fungsi atau struktur jaringan paru, tidak termasuk
didalamnya kelainan jantung kanan akibat kegagalan dari fungsi ventrikel kiri
atau akibat penyakit jantung bawaan (Muttaqin, 2008)
Kor pulmonal di sebut juga penyakit jantung pulmunal, terdiri dari
perbesaran ventrikel kanan (hipertrofi, dilatasi atau keduanya). Kor pulmonale
adlah sekunder akibat hipertensi pulmonalis yang di sebabkan oleh gangguan pada
paru-paru atau dinding dada. (Gede & Efenndi, 2004)
2.2 Etiologi
Penyebab yang paling sering adalah PPOM, dimana terjadi perubahan
struktur jalan napas dan sekresi yang tertahan mengurangi ventilasi
alveolar.Penyebab lainnya dalah kondisi yang membatasi atau mengganggu fungsi
ventilasi yang mengarah pada hipoksia atau asidosis (deformitas sangkar iga dan
obesitas masif) atau kondisi yang mengurangi jarring-jaring vascular paru
(hipertensi arteri pulmonal idiopatik primer dan embolus paru).Kelainan tertentu
dalam sistem persarafan, otot pernapasan, dinding dada, dan percabangan arteri
pulmonal juga dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal (Muttaqin, 2008)
2.3 Patofisiologi
2.3.1 Sirkulasi paru normal
Sirkulasi paru pada orang normal merupakan suatu sistem yang bersifat
high flow-flow pressure, yaitu suatu sistem dengan aliran besar tapi tekanan
rendah, mempunyai resistensi yang rendah dan cadangan yang besar, sehingga
mampu menampung bertambahnya aliran darah yang banyak tanpa meningkatkan
tekanan arteri paru, atau hanya meningkat sedikit saja pada waktu melakukan
aktivitas. Hal ini disebabkan karena adanya dilatasi seluruh pembuluh darah paru
dan keikutsertakannya pembuluh darah yang tidak diperfusi pada waktu
istirahat.Pembuluh darah paru mempunyai dinding tipis, eliptikal, dan elastic
sehingga dapat menampung kenaikan 200-300% dari curah jantung tanpa
mengalami kenaikan tekanan arteri pulmonalis (Muttaqin, 2008)
2.3.2 Hipertensi pulmonal
Hipertensi pulmonal pada klien dengan penyakit paru terutama timbul
sebagai hipoksia karena penurunan fungsi paru atau pengurangan jaringan
pembuluh darah paru.hipertensi pulmnal akan timbul jika pengurangan jaringan
pembuluh darah paru lebih dari 50%. Pneumonektomi satu paru tidak akan
disertai kenaikan tekanan arteri pulmonalis. Adanya kombinasi beberapa faktor
antara lain pengurangan vaskularisasi paru, hipoksia, asidosis, dan polisitemia
akan menyebabkan tekanan arteri pulmonalis meningkat dan terjadi hipertrofi
ventrikel kanan. (Muttaqin, 2008)
Pengurangan jaringan pembuluh darah paru akan menurunkan kemampuan
pembuluh darah untuk menurunkan resistensi selama melakukan aktivitas
sedangkan pada waktu aktivitas, terjadi peningkatan aliran darah, sehingga
tekanan arteti paru akan meningkat. Hipoksia merupakan vasokonstriktor arteri
pulmonalis terpenting (Muttaqin, 2008)
Vasokonstriksi terjadi akibat efek langsung hipoksemia pada otot polos
arteri pulmonalis atau efek tidak langsung melalui penglepasan zat vasoaktif
seperti histamine dari sel mast.Asidosis akibat hiperkapnea atau sebab lain juga
merupakan vasokonstriktor arteri pulmonalis yang sinergistik dengan
hipoksia.Polisitemia karena hipoksia menahun menyebabkan kenaikan viskositas
yang kemudian mengakibatkan hipertensi pulmonal. (Muttaqin, 2008)
2.3.3 Hemodinamik paru
Dua faktor yang memengaruhi tekanan arteri pulmonalis, yaitu curah
jantung dan resistensi atau diameter pembuluh darah paru.Sebelum timbul kor
pulmonal, curah jantung normal pada waktu istirahat dan meningkat secara
normal saat berolahraga.Pada waktu terjadi kor pulmonal, tekanan pengisian
tinggi untuk meningkatkan curah jantung kebatas normal.Tekanan arteri paru
meningkat tergantung dari curah jantung dan vasokonstriksi pembuluh darah
akibat hipoksemia.Pada saat timbul gagal jantung kanan, tekana akhir diastolik
meningkat dan curah jantung normal pada waktu istirahat, tapi ketika melakukan
aktivitas fisik, curah jantung tidak mampu naik seperti pada keadaan
normal.Hipoksia menyebabkan penurunan fungsi jantung.Adanya hipertensi
pulmonal dan penurunan fungsi jantung akibat hipoksia akan menyebabkan
kegagalan jantung kanan. (Muttaqin, 2008)
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Penatalaksanaan Keperawatan Non Farmakologi dan Farmakologi
Pada dasarnya adalah mengobati penyakit.Pengobatan terdiri dari :
1. Tirah baring, anjuran untuk diet rendah garam
Tirah baring mencegah memburuknya hipoksemia yang akan lebih
menaikkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Garam perlu dibatasi tetapi tidak
secara berlebihan karena klorida serum yang rendah akan menghalangi usaha
untuk menurunkan hiperkapnia.
2. Tindakan preventif, yaitu berhenti merokok olahraga dan teratur, serta senam
pernapasan sangat bermanfaat walaupun harus dalam jangka panjang. (handz-
superners, 2015)
a) Terapi Oksigen
Terapi oksigen sangat penting, bahkan kadang-kadang perlu ventilator
mekanik bila terjadi retensi CO2 yang berbahaya (gagal napas)
Pada kasus eksaserbasi akut insufisiensi paru, sering pasien perlu dirawat intensif
untuk aspirasi sekret bronkus, pengobatan infeksi paru, bronkodilator,
kortikosteroid, keseimbangan cairan, dan pengawasan penggunaan sedatif.
Klien dengan pulmonary heart disease memiliki tekanan oksigen (PO2) di
bawah 55 mm Hg dan menurun dengan cepat ketika beraktivitas atau
tidur.Terapi oksigen dapat menurunkan vasokonstriksi hipoksemia pulmonar,
kemudian dapat menaikkan cardiac output, mengurangi vasokonstriksi,
Meringankan hipoksemia jaringan, dan meningkatkan perfusi ginjal. Secara
umum, terapi oksigen di berikan jika PaO2 kurang dari 55 mm Hg atau saturasi
O2 kurang dari 88%
Manfaat dari terapi oksigen adalah untuk menurunkan tingkat
gejala dan meningkatkan status fungsional.Oleh karena itu, terapi oksigen penting
di berikan untuk managemen jangka panjang khususnya untuk klien dengan
hipoksia atau penyakit paru obstruktif (PPOK)
b) Diuretik
Diuretik di gunakan pada klien dengan pulmonary heart disease kronis,
terutama ketika pengisian ventrikel kiri terlihat meninggi dan pada edema perifer.
Diuretic berperan dalam peningkatan fungsi dari ventrikel kanan maupun
kiri.Diuretik memproduksi efek hemodinamik yang berlawanan jika tidak di
perhatikan penggunaannya.Volume pengosongan yang berlebihan dapat
menimbulkan penuruna cardiac output.Komplikasi lain dari diuretic adalah
produksi hypokalemic metabolic alkalosis, yang akan mengurangi efektivitas
stimulasi karbondioksida pada pusat pernafasan dan menurunkan ventilasi.
Produksi elektrolit dan asam yang merugikan sebagai akibat dari
penggunaaan diuretic juga dapat menimbulkan aritmia, yang berakibat
menurunnya cardiac output.Oleh karena itu diuretik di rekomendasikan pada
managemen pulmonary heart disease kronis, dengan memperhatikan pemakaian.
Contoh : Aldactone (spironalactone), Anhydrone (Siklotiazida), Aquatag
(Benztiazida), Aquatensin (Metiklotiazida), Lasix (Furosemida), Midamor
(Amilorid), Naqua (Triklormetiazida), Zaroxolyne (Metolazone).
Dosis pemberian diuretic tergantung efek dieresis yang dikehendaki.
c) Vasodilator
Tujuan terapi dengan vasodilator adalah menurunkan hipertensi
pulmonale tetapi sebagian besar berdampak pada sirkulasi sistemik
sehingga akan terjadi hipotensi. Contoh obat vasodilator adalah
ACE-inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitio) =
mengembangkan pembuluh darah arteri dan vena.
Nitroglycerine = mengembangkan pembuluh darah vena saja.
Hidrolacyne = mengembangkan pembuluh darah arteri saja.
d) Digitalis
Adalah obat yang meningkatkan kekuatan dan efisiensi jantung dan
digunakan untuk mengobati layu jantung dan menormalkan lagi denyut
jantung.Dalam kaitannya terhadap pengobatan kor pulmonal hanya bermanfaat
diberikan apabila telah disertai dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Digitalis diberikan terutama bila terdapat gagal jantung kanan, tetapi yang paling
penting adalah mengobati penyakit paru yang mendasarinya.
Dosis pemberian obat digitalis:
1) Jika dalam 2 minggu terakhir klien tidak mendapat terapi digitalis, maka dapat
diberikan digitalis cepat (IV) dengan dosis 0,2-0,4 mg setiap 4-6 jam sampai
dengan total dosis 1,6 mg.
2) Dosis maintenanceny adalah 0,25-0,50 mg/hari.
Beberapa nama obat digitalis adalah digitoksin (paten= Crystodigin,
Digifortis, Lanoxin).
e) Trakeostomi
Kadang-kadang diperlukan trakeostomi untuk membantu aspirasi gurangi ruang
mati
f) Antikoagulan
Antikoagulan dapat mencegah trombosis yang memperberat penyakit paru
obstruktif kronik. Contoh obat antikoagulan oral adalah warfarin, sedangkan yang
melalui IV line adalah Heparin atau Syntrom dan obat jenis Anti-agresi Platelet
(antiplatelet) : AsamvSalisilat (Aspirin/ Aspilet).
g) Pengobatan Lain
Inhibitor karbonik anhidrase (asetasolamid) suatu waktu banyak dipakai pada
pasien hiperkapnia kronik.Tetapi efek sampingnya yang membahayakan adalah
terjadinya asidosis metabolik pada asidosis respiratorik yang telah
ada.Phlebotomy menjadi tatalaksana standar pada polisitemia yang
disebabkan hipoksia kronik.Saat ini belum berhasil dibuktikan adanya perbaikan
onyektif pada pertukaran gas maupun tekanan arteri pulmonalis akibat
phlebotomy.Beberapa ahli mengeluarkan darah vena sebanyak ± 250 mL, untuk
mencegah tromboemboli bila hematokrit atau hipertensi pulmonal sangat tinggi.
2.6.2 Penatalaksanaan Medis
Sasaran pengobatan adalah untuk memperbaiki ventilasi klien dan
mengatasi penyakit paru yang mendasarinya atau mengurangi manifestasi
penyakit jantung.Pada PPOM, pemberian oksigen mungkin diperlukan untuk
memperbaiki pertukaran gas dan mengurangi tekanan arteri pulmonal dan tahanan
vaskular paru. Transpor oksigen yang membaik akan meredakan hipertensi paru
yang menjadi penyebab kor pulmonal. Oleh karena itu, pemberian oksigen
menjadi bagian penting dari pengobatan (Muttaqin, 2008)
Angka ketahanan hidup yang lebih baik dan reduksi tahanan vaskular paru
telah dilaporkan berhasil dalam terapi oksigen kontinu sepanjang waktu untuk
klien dengan hipoksia berat.Perbaikan yang berarti dapat membutuhkan terapi
oksigen selama 4-6 minggu, dan biasanya dilakukan di rumah (Muttaqin, 2008)
Pengkajian periodik gas darah arteri diperlukan untuk menentukan
keadekuatan ventilasi alveolar dan memantau efektivitas terapi oksigen.Ventilasi
dapat diperbaiki dengan hygiene bronchial untuk membuang sekresi yang
menumpuk, pemberian bronkodilator, dan terapi fisik dada.Tindakan selanjutnya
bergantung pada kondisi klien.Jika klien mengalami gagal napas, intubasi
endotrakheal dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.Jika klien mengalami
gagal jantung, hipoksemia dan hiperkapnea harus dihilangkan untuk memperbaiki
fungsi jantung dan keluaran jantung (Muttaqin, 2008)
Tirah baring, pembatasan natrium, dan terapi diuretik juga dilakukan
secara seksama untuk mengurangi edema perifer (menurunkan tekanan arteri
pulmonal melalui penurunan volume darah total) dan kelebihan sirkulasi pada
jantung sebelah kanan (Muttaqin, 2008)
Digitalis mungkin dapat diberikan jika klien juga mengalami gagal
ventrikel kanan, disritmia supraventrikular, atau gagal ventrikel kanan yang tidak
berespons terhadap terapi lain untuk menghilangkan hipertensi paru.Digitalis
harus diberikan dengan sangat hati-hati, karena penyakit jantung-paru tampaknya
dapat meningkatkan kerentanan terhadap toksisitas digitalis. (Muttaqin, 2008)
Pemantauan elektrokardiogram (EKG) mungkin diindikasikan karena
ringginya insiden disritmia pada klien dengan kor pulmonal.Infeksi pernapasan
harus diatasi Karena infeksi tersebut umumnya mencetuskan penyakit jantung
paru.Prognosis klien bergantung pada proses hipertensifnya yang reversible.
(Muttaqin, 2008)
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pada klien dengan penyakit asal COPD dapat diberikan O2. Pemberian O2
sangat dinjurkan untuk memperbaiki pertukaran gas dan menurunkan tekanan
arteri pulmonal dan tahanan vaskuler pulmonal.
2. Bronchial hygiene, diberikan obat golongan bronkodilator.
3. Jika terdapat gejala gagal jantung, maka harus memperbaiki kondisi
hiposemia dan hiperkapnea.
4. Bedrest, diet rendah sodium, dan pemberian diuretic.
5. Digitalis, bertujuan untuk meningkatkan kontraktilitas dan menurunkan
denyut jantung, selain itu juga mempunyai efek digitalis ringan. (Somantri,
2012).
2.7 Prognosis
Prognosis cor pulmonale bergantung pada patologi yang
mendasarinya.Perkembangan cor pulmonale sebagai hasil dari penyakit paru
primer biasanya mempunyaiprognosis yang lebih buruk.Sebagai contoh, pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang berkembang menjadi cor
pulmonale memiliki kesempatan 30% untuk bertahan hidup 5 tahun, namun
apakah cor pulmonale memiliki nilai prognostic yangindependen atau hanya
mencerminkan tingkat keparahan yang mendasari PPOK tersebutatau penyakit
paru lainnya masih belum jelas.Prognosis pada kasus akut karena emboli
paruberat ataupun sindrom gangguan pernapasan akut belum pernah terbukti
bergantung padaada atau tidaknya cor pulmonale, namun dalam satu penelitian
menunjukkan bahwa padakasus emboli paru, kor pulmonal dapat menjadi
prediktor kematian di rumah sakit.Parapeneliti telah mengumpulkan data
demografi, komorbiditas, dan data manifestasi klinis pada582 pasien rawat inap
pada unit gawat darurat maupun unit perawatan intensif dandidiagnosa menderita
emboli paru. (Andriana, 2016)
Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pada pasienemboli paru dengan
hemodinamik yang stabil factor-faktor berikut dapat menjadi predictorindependen
kematian di rumah sakit (Andriana, 2016), yaitu:
1. Usia yang lebih tua dari 65 tahun2.
2. Istirahat total selama lebih dari 72 jam3.
3. Menderita cor pulmonale kronis4.
4. Sinus takikardia5.
5. Takipneu
c) Intervensi Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas yang b.d. Hipoksemia secara
reversible/menetap, refraktori dan kebocoran interstisial pulmonal/alveolar
pada status cedera kapiler paru.
Tujuan : Mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat
untuk keperluan tubuh.
Kriteria hasil :
o Klien tidak mengalami sesak napas.
o Tanda-tanda vital dalam batas normal
o Tidak ada tanda-tanda sianosis.
o Pao2 dan paco2 dalam batas normal
o Saturasi O2 dalam rentang normal
o Intervensi dan Rasional :
Intervensi Rasional
Pantau frekuensi, kedalaman Berguna dalam evaluasi derajat distress
pernapasan.Catat penggunaan otot pernapasan dan/atau kronisnya proses
aksesori, nafas bibir, tidakmampuan penyakit.
bicara/ berbincang.
Tinggikan kepala tempat tidur, bantu Pengiriman oksigen dapat diperbaiki
pasien untuk memilih posisi yang dengan posisi duduk tinggi dan latihan
mudah untuk bernapas. Dorong nafas nafas untuk menurunkan kolaps jalan nafas,
perlahan atau nafas bibir sesuai dispnea dan kerja nafas.
kebutuhan atau toleransi individu.
Awasi secara rutin kulit dan warna Sianosis mungkin perifer (terlihat pada
membrane mukosa. kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir/atau
daun telinga). Keabu-abuan dan diagnosis
sentral mengindikasikan beratnya
hipoksemia.
Dorong mengeluarkan sputum; Kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah
penghisapan bila diindikasikan. sumber utama gangguan pertukaran gas
pada jalan nafas kecil. Penghisapan
dibutuhkan bila batuk tidak efektif.
Auskultasi bunyi nafas, catat area Bunyi nafas mugkin redup karena aliran
penurunan aliran udara dan/atau udara atau area konsolidasi. Adanya mengi
bunyi tambahan. mengindikasikan secret. Krekel basah
menyebar menunjukkan cairan pada
intertisial/dekompensasi jantung.
Palpasi fremitus. Penurunan getaran fibrasi diduga ada
pengumpulan cairan atau udara terjebak.
Awasi tingkat kesadaran/ status Gelisah dan ansietas adalah manifestasi
mental. Selidiki adanya perubahan. umum pada hypoxia, GDA memburuk
disertai bingung/ somnolen menunjukkan
disfungsi sersbral yang berhubungan
dengan hipoksemia.
Evaluasi tingkat toleransi aktifitas. Selama distress pernapasan
Berikan lingkungan yang tenang dan berat/akut/refraktori pasien secara total tak
kalem. Batasi aktifitas pasien atau mampu melakukan aktifitas sehari-hari
dorong untuk tidur/ istirahat dikursi karena hipoksemia dan dispnea. Istirahat
selama fase akut. Mungkinkan pasien diselingi aktifitas perawatan masih penting
melakukan aktifitas secara bertahap dari program pengobatan. Namun, program
dan tingkatkan sesuai toleransi latihan ditujukan untuk meningkatkan
individu. ketahanan dan kekuatan tanpa
menyebabkan dispnea berat, dan dapat
meningkatkan rasa sehat.
Awasi tanda vital dan irama jantung Tachycardia, disritmia, dan perubahan
tekanan darah dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
Kolaborasi
1. Awasi/gambarkan seri GDA dan nadi Paco2 biasanya meningkat (bronchitis,
oksimetri. enfisema) dan pao2 secara umum menurun,
sehingga hipoksia terjadi dengan derajat
lebih kecil atau lebih besar. Catatan: paco2
“normal” atau meningkat menandakan
kegagalan pernapasan yang akan datang
selama asmatik.
b. Berikan oksigen tambahan yang Dapat memperbaiki/mencegah
sesuai dengan indikasi hasil GDA memburuknya hypoxia. Catatan: emfisema
dan toleransi pasien. kronis, mengatur pernapasan pasien
ditentukan oleh kadar CO2 dan mungkin
dieluarkan dengan peningkatan pao2
berlebihan.
3.1 Kesimpulan
Pulmonary Heart Disease atau Cor pulmonal didefinisikan sebagai suatu
perubahan dalam struktur dan fungsi ventrikel kanan yang disebabkan oleh
gangguan utama dari sistem pernapasan.Hipertensi paru adalah hubungan umum
antara disfungsi paru-paru dan jantung di cor pulmonal.Penyakit ventrikel kanan
sisi disebabkan oleh kelainan primer dari sisi kiri ventrikel kanan sisi disebabkan
oleh kelainan primer dari sisi kiri jantung atau penyakit jantung bawaan tidak
dianggap pulmonale cor, tapi pulmonale cor dapat mengembangkan sekunder
untuk berbagai proses penyakit cardiopulmonary.Meskipun pulmonale cor
umumnya memiliki progresif dan perlahan-lahan saja kronis, onset akut atau
pulmonale cor diperburuk dengan komplikasi yang mengancam kehidupan dapat
terjadi.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi semua pihak untuk dapat
lebih mengembangkan ilmu pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
Andriana, A. L. (2016). Cor Pulmonal. Retrieved Oktober 2016, 19, from Scribd:
https://www.scribd.com
Gede, N., & Efenndi, C. (2004). Keperawatan medikal bedah, klien dengan gangguan
sistem pernafsan. Jakarta: Kedokteran EGC.
handz-superners. (2015, Agustus). Kor Pulmonal. Retrieved Oktober Jum'at, 2016, from
DocSlide: http://www.dokumen.tips