Anda di halaman 1dari 15

Bab Satu (Chapter One)

Penetapan Tujuan yang Benar (Setting the Right Goal)

Bila seorang pelayan ingin berhasil di hadapan Allah, ia perlu memahami tujuan yang
telah Allah tentukan sebelumnya. Bila pelayan itu tak memahami tujuannya, maka ia tak
punya cara untuk mengukur keberhasilan atau kegagalannya dalam mencapai tujuan itu.1
Ia bisa saja menganggap telah berhasil, padahal sebenarnya ia gagal. Dan ini menjadi
tragedi besar. Ia seperti pelari yang sukses melintasi garis akhir pada lomba lari 800
meter, sambil merayakan kemenangan dengan mengangkat tangannya di hadapan
penonton yang bersorak-sorai, namun tanpa sadar ia sebenarnya mengikuti lomba lari
1600 meter. Karena keliru memahami tujuan, pelari itu gagal. Ia gagal karena
menganggap ia telah memenangi lomba itu. Sehingga, benarlah ungkapan “Yang pertama
akan menjadi yang terakhir.”
Sebagian besar pelayan memiliki tujuan tertentu yang sering dianggap sebagai “visi”
mereka. Mereka bertekad untuk mencapai “visi” itu, berdasarkan panggilan dan karunia.
Setiap orang memiliki panggilan dan karunia unik, apakah itu melayani gereja di satu
kota, menginjili satu daerah, atau mengajarkan kebenaran tertentu. Namun, menurut saya,
tujuan yang diberikan Allah bersifat umum dan berlaku bagi setiap pelayan. Itulah visi
yang besar, yang harus menjadi visi umum yang memberi dorongan di balik setiap visi
khusus. Tetapi, seringkali kenyataanya tidak demikian. Banyak pelayan memiliki visi
tertentu yang tak selaras dengan visi umum dari Allah; juga beberapa pelayan memiliki
visi tertentu yang sebenarnya bertentangan dengan visi umum dari Allah. Ada kalanya,
saya memiliki visi itu, meskipun saya melayani gereja yang tengah bertumbuh.
Apa tujuan atau visi umum yang diberikan Allah bagi setiap pelayan? Kita cari
jawaban dari Matius 28:18-20, sebuah perikop yang terlalu sering dibaca sehingga kita
sering tak paham maksudnya. Kita perhatikan perikop itu ayat demi ayat:

Yesus mendekati mereka dan berkata, “KepadaKu telah diberikan segala kuasa di

1
Dalam buku ini, saya menyebut pelayan dengan menggunakan kata ganti ia atau dia untuk pria dan
wanita. Sebagian besar jabatan pelayan, seperti pendeta, adalah pria. Alkitab meyakinkan saya bahwa
Allah juga memanggil wanita bagi jabatan pelayan, dan saya mengenal beberapa wanita yang melakukan
pelayanan yang sangat efektif. Inilah topik dari bab berjudul Women in Ministry.
sorga dan di bumi” (Matius 28:18).

Yesus menghendaki murid-muridNya agar dapat mengerti bahwa BapaNya telah


mengaruniakan kuasa tertinggi kepadaNya. Sudah tentu, maksud Bapa dulu (dan
sekarang) adalah agar kita menaati Yesus, seperti halnya saat Bapa memberikan kuasa
kepada seseorang. Namun, Yesus adalah unik karena BapaNya memberiNya semua kuasa
di sorga dan di bumi, bukan kuasa yang terbatas; terkadang Yesus memberi kuasa kepada
orang lain. Ingatlah, Yesus adalah Tuhan.
Dengan demikian, setiap orang yang tidak menganggap Yesus sebagai Tuhan tidak
memiliki hubungan benar denganNya. Bagaimanapun juga, Yesus adalah Tuhan. Itu
sebabnya Yesus disebut sebagai “Tuhan” lebih dari 600 kali dalam Perjanjian Baru.
(Yesus disebut sebagai Juruselamat hanya 15 kali).
Karena itu, Paulus mencatat, “Sebab untuk itulah Kristus telah mati dan hidup
kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun orang-orang
hidup” (Roma 14:9, penekanan ditambahkan). Yesus mati dan bangkit kembali untuk
memerintah sebagai Tuhan atas semua orang.

Iman Sejati yang Menyelamatkan (True Saving Faith)

Ketika para penginjil dan pendeta di zaman kini menganjurkan orang-orang yang
belum diselamatkan untuk “menerima Yesus sebagai Juruselamat”, (sebuah frasa yang
tak pernah ada dalam Alkitab), seringkali mereka melakukan kesalahan mendasar dalam
memahami Injil. Sebagai contoh, ketika penjaga penjara di Filipi bertanya kepada Paulus
apa yang harus dilakukannya agar dapat diselamatkan, Paulus tidak menjawab,
”Terimalah Yesus sebagai Juruselamat.” Malahan, Ia berkata, “Percayalah kepada Tuhan
Yesus Kristus, dan engkau akan diselamatkan” (Kisah Para Rasul 16:31, penekanan
ditambahkan). Manusia diselamatkan apabila ia percaya kepada Tuhan Yesus Kristus.
Ingatlah, manusia tidak diselamatkan hanya karena mempercayai doktrin tertentu tentang
keselamatan atau tentang Yesus, tetapi ia diselamatkan ketika ia percaya pada satu
pribadi, yakni Tuhan Yesus Kristus. Terlalu banyak orang berpikir, karena mereka
percaya bahwa kematian Yesus sudah cukup menjadi korban bagi dosa-dosanya, atau
keselamatan adalah melalui iman, atau seratus hal lainnya berkenaan dengan Yesus atau
keselamatan, sehingga mereka sudah memiliki iman. Namun, ternyata mereka tak
memiliki iman. Iblis percaya segala hal tentang Yesus dan keselamatan. Iman yang
menyelamatkan adalah iman dalam Yesus. Siapakah Yesus itu? Dialah Tuhan.
Jelaslah, bila saya percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, saya anggap Dialah Tuhan
dengan cara berserah kepadaNya dari dalam hati saya. Bila tak berserah kepadaNya,
maka saya tak percaya kepadaNya. Bila seseorang berkata, ”Saya percaya ada ular
beracun di sepatuku”, lalu pelan-pelan ia memakai sepatunya, jelas ia tak benar-benar
percaya pada keyakinannya. Orang yang mengaku percaya kepada Yesus namun tidak
menyesali dosa-dosanya dan tidak berserah kepada Tuhan di hatinya, sebenarnya ia tak
mempercayai Yesus. Ia bisa saja percaya kepada Yesus dalam imajinasinya, namun
bukan kepada Tuhan Yesus yang sebenarnya, Pribadi yang memiliki segala kuasa di
sorga dan di bumi.
Dengan kata lain, bila seorang pelayan keliru memahami pesan paling mendasar
tentang Kekristenan, maka sejak awal ia sudah dalam kesulitan. Dalam penilaian Allah,
tiada cara lagi si pelayan itu bisa berhasil, karena ia keliru memahami pesan paling
mendasar yang harus didengar oleh dunia menurut kehendak Tuhan. Ia bisa saja jadi
pendeta di gereja yang sedang bertumbuh, namun ia gagal memenuhi visi umum Tuhan
bagi pelayanannya.

Visi yang Besar (The Big Vision)

Kita kembali ke Matius 28:18-19. Setelah menyatakan kemahakuasaanNya, Yesus


kemudian memberikan perintah:

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala
sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Matius 28:19-20a)

Perhatikan bahwa Yesus memakai kata ”karena itu.” KataNya, ”Karena itu pergilah,
jadikanlah ... murid...”. Dengan kata lain, ”Karena apa yang Aku katakan ... karena Aku
memiliki semua kuasa... karena Akulah Tuhan...manusia tentunya harus taat kepadaKu ...
seperti yang Kuperintahkan kepadamu (dan kamu harus menaatiKu) untuk pergi dan
melakukan pemuridan, dengan mengajari murid-murid agar menaati semua perintahKu.”
Itulah tujuan umum, yaitu visi besar dari Allah bagi semua pelayanan kita, bahwa kita
bertanggung-jawab untuk memuridkan mereka yang menaati semua perintah Kristus.
Itu sebabnya Paulus berkata bahwa kasih karunia Allah telah diberikan kepadanya
sebagai rasul untuk ”menghasilkan ketaatan iman di antara semua orang yang tidak
percaya (Roma 1:5, penekanan ditambahkan). Tujuannya adalah ketaatan, dan cara
menjadi taat dalam iman. Orang yang beriman penuh dalam Tuhan Yesus haruslah
menaati perintah-perintahNya.
Karena itu, pada hari Pentakosta, Petrus berkhotbah, ”Jadi seluruh kaum Israel harus
tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi
Tuhan dan Kristus” (Kisah Para Rasul 2:36). Petrus menginginkan agar para penyalib
Kristus mengetahui bahwa Allah telah menjadikan Yesus sebagai Tuhan dan Kristus.
Tetapi, mereka telah membunuh pribadi yang seharusnya mereka taati sesuai kehendak
Allah! Dengan keyakinan penuh, mereka bertanya, ”Apa yang harus kami lakukan?” dan
jawaban pertama Petrus adalah, ”Bertobatlah”! Yakni, berbalik dari ketidaktaatan kepada
ketaatan. Jadikan Yesus sebagai Tuhan. Lalu Petrus meminta mereka untuk dibaptis
sesuai perintah Kristus. Dalam hal ini, Petrus melakukan pemuridan bagi mereka, para
pengikut yang taat kepada Kristus, dan ia memulai cara tepat dengan pesan yang benar.
Karena itu, setiap pelayan harus sanggup mengevaluasi keberhasilan pelayanannya.
Kita harus bertanya pada diri sendiri, ”Apakah pelayanan saya tengah membawa orang-
orang untuk taat pada semua perintah Kristus?” Bila ya, maka pelayanan saya berhasil.
Bila tidak, maka pelayanan saya gagal.
Seorang penginjil dianggap gagal bila ia hanya meyakinkan orang-orang untuk
”menerima Yesus”, tanpa mengajak mereka untuk menyesali dosa-dosa mereka. Seorang
pendeta dianggap gagal bila ia hanya berupaya menambah jumlah anggota jemaat dan
melakukan kegiatan sosial. Seorang guru dianggap gagal bila ia hanya mengajarkan
”angin doktrin” karismatik terbaru. Seorang rasul dianggap gagal bila ia hanya merintis
sidang gereja baru yang para anggotanya mengaku percaya kepada Yesus, namun tidak
menaatiNya. Seorang nabi dianggap gagal bila ia hanya bernubuat mengenai berkat-
berkat yang akan didapat oleh jemaat.

Kegagalanku (My Failure)

Beberapa tahun lalu, ketika saya menjadi pendeta di sebuah gereja yang lagi
bertumbuh, Roh Kudus bertanya kepada saya sehingga mata saya dibukakan untuk
melihat sejauh mana kegagalan saya dalam memenuhi visi umum dari Tuhan. Ketika
membaca perikop yang menggambarkan tentang kawanan kambing dan kawanan domba
dalam Matius 25:31-46, Roh Kudus bertanya pada saya: ”Andaikata anggota-anggota
jemaat gerejamu meninggal dunia pada hari ini dan berdiri di penghakiman bagi orang-
orang yang tergolong domba dan tergolong kambing, berapa orang yang akan tergolong
domba dan berapa orang yang akan tergolong kambing? Atau, lebih khususnya ”Tahun
lalu, berapa orang jemaatmu yang telah memberi makan saudara-saudara dalam Kristus
yang lapar, memberi minum untuk orang Kristen yang haus, memberi tumpangan kepada
pengikut Kristus yang tak punya perteduhan atau yang sedang bepergian, memberi
pakaian bagi yang tak punya pakaian, atau mengunjungi orang sakit atau orang percaya
yang dipenjara?” Saya sadar, belum banyak yang saya lakukan dari hal-hal yang
disebutkan itu atau hal-hal yang serupa dengan itu, meskipun anggota-anggota jemaat
saya rajin beribadah, memuji dan menyembah, mendengarkan khotbah-khotbah saya dan
memberi persembahan. Jadi, menurut kriteria Kristus, anggota-anggota jemaat itu
tergolong kambing, dan sebagian kesalahan harus saya tanggung, karena saya tidak
mengajarkan kepada jemaat betapa pentingnya tindakan kita di hadapan Tuhan untuk
memenuhi kebutuhan pokok bagi saudara-saudara dalam Kristus. Saya tidak mengajarkan
mereka untuk menaati semua perintah Kristus. Ternyata, saya sadari, saya tidak
mempedulikan perkara yang sangat penting bagi Allah --perintah terbesar kedua, yakni
kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri-- belum lagi perintah Yesus agar kita saling
mengasihi seperti Dia mengasihi kita.
Lebih dari itu, perlahan saya menyadari ternyata saya tengah mengajarkan hal yang
bertentangan dengan tujuan umum dari Tuhan untuk tugas pemuridan, karena saya
mengajari jemaat saya dengan versi ”injil kemakmuran” yang terkenal itu. Walaupun
Yesus menghendaki umatNya untuk tidak mengumpulkan harta di dunia (lihat Matius
6:19-24), dan mencukupkan diri dengan apa yang mereka miliki, walau hanya makanan
dan pakaian (lihat Ibrani 13:5; I Timotius 6:7-8), namun ketika itu saya mengajarkan
jemaat yang kaya di Amerika bahwa Tuhan ingin mereka memiliki harta bahkan lebih
banyak lagi. Sehingga, dalam satu hal, saya mengajarkan orang untuk tidak menaati
Yesus (seperti yang dilakukan oleh ratusan ribu pendeta lain di seluruh dunia).
Ketika menyadari apa yang saya lakukan, saya menyesal dan minta maaf kepada
jemaat saya. Lalu, saya mulai lakukan pemuridan, dengan mengajari jemaat untuk
menaati semua perintah Kristus. Saya lakukan tugas itu dengan rasa takut dan gentar, dan
menduga-duga ada anggota jemaat yang benar-benar tak mau menaati semua perintah
Kristus, yakni mereka lebih memilih menjadi orang Kristen yang hanya mau senang dan
tak mau berkorban. Dugaan saya benar. Ada indikasi, beberapa anggota jemaat tak peduli
dengan penderitaan orang percaya di seluruh dunia, dan tak peduli untuk menyebarkan
Injil kepada orang yang belum pernah mendengarnya. Malahan, mereka hanya peduli
untuk memperoleh lebih banyak lagi untuk kepentingan dirinya. Dalam hal kesucian,
mereka hanya menghindari dosa-dosa yang paling memalukan, dan bahkan dibenci oleh
orang-orang yang belum lahir baru, dan menjalani gaya hidup yang mirip dengan rata-
rata orang Amerika pada umumnya. Namun, mereka nyatanya tidak mengasihi Tuhan,
karena tak mau menaati setiap perintah Yesus, hal yang justru, menurut perkataanNya,
menjadi bukti kasih kita kepadaNya (lihat Yohanes 14:21).
Yang saya kuatirkan ternyata benar --yakni sebagian orang yang mengaku Kristen
ternyata benar-benar tergolong kambing berbulu domba. Saat saya ajak para jemaat untuk
menyangkal diri dan memikul salibnya, sebagian dari mereka marah. Bagi mereka, gereja
hanyalah pengalaman sosial yang di dalamnya ada musik yang merdu, seperti kenikmatan
duniawi di tempat-tempat hiburan dan bar-bar. Mereka hanya menerima khotbah selama
khotbah itu mempertegas keselamatan dan kasih Allah bagi mereka. Tetapi, mereka tak
ingin mendengarkan kehendak Allah buat mereka. Mereka tak mau ada orang
menanyakan tentang keselamatan mereka. Mereka tak bersedia membayar harga dengan
menata hidupnya agar sesuai dengan kehendak Tuhan. Mereka hanya bersedia berkorban
uang, selama mereka yakin bahwa Allah akan membalas korban itu lebih banyak, dan
selama mereka mendapat manfaat langsung dari pemberian itu, seperti uang mereka
dipakai untuk memperbaiki fasilitas gereja.

Saat untuk Menguji Diri Sendiri (A Time for Self-Examination)

Inilah saat tepat bagi tiap pelayan yang sedang membaca buku ini untuk bertanya
kepada diri sendiri, pertanyaan yang sama diajukan oleh Roh Kudus kepada saya: ”Jika
anggota jemaat yang saya layani meninggal dunia sekarang ini dan berdiri di hadapan
penghakiman orang-orang yang tergolong domba dan yang tergolong kambing, berapa
jemaat yang akan tergolong domba dan berapa jemaat yang akan tergolong kambing?”
Ketika seorang pelayan meyakinkan anggota jemaatnya yang tergolong kambing bahwa
ia diselamatkan, sebenarnya pelayan itu sedang mengatakan hal yang menentang
kehendak Allah; seharusnya pelayan itu mengatakan kebenaran kepada anggota jemaat
itu. Dengan demikian, pelayan itu bertindak melawan Kristus. Ia melawan kehendak
Yesus, karena seharusnya ia berkata kepada jemaat yang demikian agar menuruti
perkataan Yesus dalam Matius 25:31-46. Keseluruhan ucapan Yesus dimaksudkan untuk
memberi peringatan kepada mereka yang tergolong kambing. Yesus tak ingin anggota
jemaat beranggapan bahwa mereka sedang menuju ke sorga.
Yesus berkata bahwa semua orang mengenali kita sebagai murid-muridNya melalui
kasih kita kepada sesama kita (lihat Yohanes 13:35). Tentu, Yesus sedang berbicara
mengenai kasih yang melebihi kasih yang saling diperlihatkan oleh orang-orang non-
Kristen; jika tidak demikian, maka murid-muridNya takkan dapat dibedakan dari orang-
orang tak percaya. Jenis kasih yang Yesus sebutkan adalah kasih yang rela berkorban,
ketika kita saling mengasihi bagaimana Ia mengasihi kita, dan kita rela saling berkorban
nyawa kita (lihat Yohanes 13:34; 1 Yohanes 3:16-20). Yohanes juga mencatat bahwa kita
telah berpindah dari maut ke dalam hidup, yaitu dilahirkan kembali, ketika kita saling
mengasihi (1 Yohanes 3:14). Bila ada orang hanya bersungut-sungut, menceritakan
keburukan orang, dan membenci pelayan yang mengajarkan perintah-perintah Kristus,
apakah orang itu menunjukkan kasih sebagai tanda orang yang sudah lahir baru? Tidak,
orang itu tak menunjukkan kasih, maka ia tergolong kambing, dan akan masuk neraka.

Murid-Murid Segala Bangsa (Disciples of All Nations)

Sebelum lanjut, perhatikan lagi Matius 28:19-20, Amanat Agung dan Umum yang
Yesus berikan kepada murid-muridNya, mungkin kita dapat memetik kebenaran lain dari
Amanat itu.

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala
sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Matius 28:19-20a)

Perlu dicatat, Yesus menghendaki pemuridan untuk semua bangsa atau, lebih tepatnya
sesuai dengan bahasa Gerika asli, semua kelompok etnis di dunia. Bila Yesus
memerintahkan pemuridan, saya yakin pasti ada cara untuk mewujudkan hal itu. Kita
dapat membuat semua kelompok etnis di dunia menjadi murid-murid Yesus. Tugasnya
tidak hanya diberikan kepada sebelas murid Yesus itu, tetapi kepada setiap murid sesudah
murid-muridNya itu, karena Yesus meminta kesebelas muridNya untuk mengajari murid-
murid mereka untuk menaati semua yang diperintahkanNya kepada mereka. Jadi,
kesebelas muridNya mengajarkan murid-murid mereka untuk menaati perintah Kristus
demi membuat semua bangsa menjadi murid-muridNya, dan kemudian perintah ini terus
berlanjut untuk setiap murid berikutnya. Setiap murid Yesus harus ambil bagian dengan
cara apapun untuk memuridkan bangsa-bangsa.
Uraian tadi sebagian memperjelas alasan mengapa “Amanat Agung” belum terpenuhi.
Walaupun ada jutaan orang yang mengaku Kristen, sebenarnya hanya sedikit murid yang
sungguh-sungguh menaati Yesus. Sebagian besar orang yang mengaku Kristen tidak
peduli kepada kegiatan pemuridan di setiap kelompok etnis, karena praktis mereka tidak
sungguh-sungguh menaati setiap perintah Kristus. Bila kegiatan pemuridan ini
dibicarakan, maka banyak orang Kristen sering beralasan, ”Itu bukan pelayanan saya”
dan “Saya tak merasa dipimpin ke arah itu.” Banyak pendeta membuat pernyataan yang
sama, layaknya anggota jemaat yang tergolong kambing yang hanya mengutip dan
memilih perintah-perintah Kristus yang hanya cocok dengan agendanya.
Bila setiap orang yang mengaku Kristen benar-benar percaya kepada Tuhan Yesus
Kristus, pastilah semua orang di dunia sudah sejak dulu mendengarkan Injil. Dengan
komitmen bersama dari para murid Kristus, maka hal itu dapat terwujud. Sehingga,
mereka tidak akan membuang-buang waktu dan uang untuk hal-hal yang sementara dan
duniawi, tetapi menggunakan waktu dan uang itu untuk melakukan perintah Tuhan
kepada mereka. Tetapi, ketika pendeta yang taat mengumumkan kehadiran seorang
misionaris yang akan berkhotbah pada ibadah gereja, bisa saja ia menduga jumlah
kehadiran jemaat akan turun. Sehingga, banyak jemaat yang tergolong kambing tetap tak
beranjak dari rumahnya atau pelesir ke mana saja. Mereka tak tertarik untuk menaati
perintah terakhir Tuhan Yesus Kristus. Sebaliknya, jemaat yang tergolong domba selalu
berpengharapan untuk terlibat dalam kegiatan pemuridan bagi semua bangsa.
Hal terakhir terkait dengan Matius 28:18-20 adalah perintah Yesus bagi rasul-
rasulNya untuk membaptis murid-murid mereka, dan mereka menaati perintahNya
dengan sepenuh hati. Murid-muridNya membaptis orang-orang yang bertobat dan
percaya kepada Tuhan Yesus. Tentu, baptisan merupakan identifikasi orang percaya
dengan kematian, penguburan dan kebangkitan kembali. Orang percaya baru itu telah
mati dan dibangkitkan sebagai ciptaan baru dalam Kristus. Sesuai kehendak Yesus,
kebenaran ini diwujudkan dalam pembaptisan setiap orang percaya baru, di mana dalam
pikiran orang percaya baru itu telah terpatri bahwa ia kini adalah pribadi yang baru yang
memiliki sifat baru. Rohnya bersatu dengan Kristus, dan kini ia diberi kekuatan untuk
dapat menaati Allah melalui Kristus yang hidup dalam dirinya. Ia sudah mati atas dosa-
dosanya, namun kini telah dibersihkan dan dihidupkan oleh Roh Kudus. Ia lebih dari
”sekedar diampuni.” Malahan, ia telah diubahkan secara radikal. Jadi, Allah sekali lagi
menunjukkan bahwa orang percaya sejati memiliki perilaku yang jauh berbeda dengan
saat ia mati rohani. Tentu, hal itulah yang dimaksud oleh ucapan Yesus, “Dan ketahuilah,
Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”(Matius 28:20). Apakah tak
selayaknya kita anggap kehadiran Kristus yang selalu bersama seseorang akan
mempengaruhi perilaku orang itu?

Definisi Pemuridan menurut Yesus (Jesus Defines Discipleship)

Kita sudah yakin bahwa tujuan utama Yesus untuk kita adalah agar kita melakukan
pemuridan, yakni memuridkan orang-orang yang bertobat dari dosa-dosa mereka dan
yang mau belajar dan menaati semua perintahNya. Dalam Yohanes 8:32, Yesus
selanjutnya membuat definisi seorang murid:

Jikalau kamu tetap dalam FirmanKu, kamu benar-benar adalah muridKu; dan kamu
akan mengetahui kebenaran, dan kemerdekaan itu akan memerdekakan kamu.

Menurut Yesus, murid sejati adalah orang yang tetap tinggal, atau membuat tempat
tinggalnya, di dalam FirmanNya. Di saat mempelajari kebenaranNya dari FirmanNya,
seorang murid terus-menerus “dibebaskan”, dan konteks berikutnya menunjukkan bahwa
Yesus tengah berbicara tentang pembebasan dari dosa (lihat Yohanes 8:34-36). Sekali
lagi, kita lihat, berdasarkan definisi dari Yesus, murid adalah orang yang mau belajar dan
menaati perintah-perintahNya.
Lalu Yesus berkata,

Dalam hal inilah BapaKu dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan
dengan demikian kamu adalah murid-muridKu.” (Yohanes 15:8, penekanan
ditambahkan).
Jadi, menurut definisi Yesus, murid adalah seorang yang memuliakan Allah lalu
menghasilkan buah. Seseorang yang tak menghasilkan buah bukanlah muridNya.
Lebih khususnya, Yesus mendefinisikan buah-buah sebagai identifikasi dari murid-
murid sejatiNya dalam Lukas 14:25-33. Kita awali dengan membaca ayat 25 saja:

Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam


perjalannNya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka…

Apakah Yesus sudah puas karena orang banyak “berduyun-duyun” mengikutiNya?


Apakah pendeta telah mencapai tujuanNya karena berhasil menambah jumlah jemaatnya?
Yesus belum puas dengan orang banyak yang mengikutiNya, yang mendengarkan
khotbah-khotbahNya, menyaksikan mujizat-mujizatNya, dan kadang mendapat makanan
pemberianNya. Yesus mencari orang yang mengasihiNya dengan segenap hati, pikiran,
jiwa dan kekuatannya. Ia menyukai setiap orang yang menaati perintah-perintahNya. Dan
Ia menyukai murid-murid. Sehingga, Ia berkata kepada orang banyak yang
mengikutiNya:

Jikalau seseorang datang kepadaKu, dan ia tidak membenci bapanya, ibunya,


istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan
nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu (Lukas 14:26).

Tak ada yang keliru dengan ayat itu. Yesus memberi syarat bagi siapapun untuk
menjadi muridNya. Namun, haruskah murid-muridNya membenci orang-orang yang
mereka sangat cintai? Kita tak mungkin membenci mereka, karena Alkitab
memerintahkan kita untuk menghormati orang-tua dan mengasihi suami/istri dan anak-
anak.
Sudah tentu Yesus berbicara dengan memakai hiperbola, yakni ungkapan yang
memberi penekanan. Tetapi, paling kurang, maksud ucapan Yesus kira-kira seperti
berikut, ”Bila kita mau menjadi murid-muridNya, kita harus mengasihiNya di atas
segala-galanya, jauh melebihi kasih kita kepada orang-orang yang sangat kita cintai”.
Sudah sewajarnya bila Yesus berharap demikian karena Dialah Tuhan yang harus kita
kasihi dengan segenap hati, pikiran, jiwa dan kekuatan kita.
Ingat, tugas pelayan adalah memuridkan, yang berarti setiap murid harus
menghasilkan karakter pribadi yang mencintai Yesus di atas segala-galanya, yang
mengasihiNya jauh melebihi cintanya kepada pasangan hidupnya, anak-anaknya dan
orang-tuanya. Adalah baik bila setiap pelayan membaca hal ini dan bertanya kepada
dirinya, ”Bagaimana caranya saya bisa berhasil memuridkan orang seperti itu?”
Bagaimana cara kita mengetahui orang yang mengasihi Yesus? Yesus berkata dalam
Yohanes 14:21: “Barangsiapa yang memegang perintahKu dan melakukannya, dialah
yang mengasihi Aku.” Dapat disimpulkan bahwa orang yang mengasihi Yesus lebih dari
pasangan hidupnya, anak-anaknya dan orang-tuanya adalah juga orang yang menaati
perintah-perintahNya. Menjadi murid Yesus haruslah menaati perintah-perintahNya.

Syarat Kedua (A Second Requirement)

Hari itu, Yesus terus berbicara kepada orang banyak yang mengikutiNya,

Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak dapat menjadi
muridKu (Lukas 14:27).

Inilah syarat kedua yang Yesus tetapkan untuk menjadi muridNya. Apa maksudNya?
Apakah ini berarti murid-murid harus memikul balok-balok kayu besar? Bukan itu
artinya. Yesus lagi-lagi memakai hiperbola.
Mungkin saja, sebagian besar, bisa juga semua, orang dalam rombongan orang Yahudi
yang mengikuti Yesus telah menyaksikan para penjahat yang tengah menanti ajalnya di
kayu salib. Serdadu Romawi menyalibkan para penjahat di sepanjang jalan-jalan besar di
luar gerbang-gerbang kota dengan tujuan untuk memaksimalkan efek penyaliban demi
mencegah timbulnya kejahatan.
Karena itulah, saya menduga, kata-kata “Pikullah salibmu” adalah hal yang biasa di
zaman Yesus. Setiap orang yang disalibkan pernah mendengar kata-kata serdadu
Romawi, “Pikullah salibmu dan ikutilah aku.” Kata-kata ini sangat ditakuti oleh para
terhukum, karena mereka tahu saat itulah tanda dimulainya jam-jam dan hari-hari bagi
penderitaan yang mengerikan. Sehingga, kata-kata tersebut bisa saja menjadi ungkapan
yang berarti, “Terimalah kesulitan yang tak terelakkan dan yang mengikuti jalanmu.”
Saya membayangkan seorang bapak yang berkata kepada anaknya, “Nak, bapak tahu
engkau tak suka menggali lubang pembuangan kotoran. Pekerjaan itu bau dan kotor.
Namun, itu tanggung-jawabmu sekali sebulan, jadi pikullah salibmu. Gali saja lubang
itu.” Saya bayangkan seorang istri yang berkata kepada suaminya, “Sayang, saya tahu
betapa engkau benci membayar pajak kepada bangsa Romawi. Tetapi, hari ini pajak
harus dibayar, dan Penagih Pajak sedang menuju ke rumah kita. Jadi, pikullah salibmu.
Bayar saja pajak itu.”
Memikul salib sendiri sama artinya dengan menyangkali diri, dan Yesus memakai
istilah itu dalam Matius 16:24: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus
menyangkali dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” Dengan kata lain, “Bila
seseorang ingin mencariKu, hendaklah ia meninggalkan agenda kegiatannya, menghadapi
kesulitan yang pasti datang dan yang pasti terjadi sebagai konsekwensi dari
keputusannya, dan mengikuti Aku.”
Jadi, setiap murid sejati harus bersedia menderita demi mengikuti Yesus. Ia telah
menghitung harga sebelum mulai melangkah, dan mengetahui bahwa kesulitan tak dapat
dihindari; ia sudah dilontarkan dengan tekad untuk menyelesaikan perlombaan.
Penafsiran ini didukung oleh perkataan Yesus berikutnya tentang menghitung harga
untuk mengikutiNya. Maksud Yesus digambarkan dalam dua ilustrasi berikut:

Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak
duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk
menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan
tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya,
mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup
menyelesaikannya. Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan
raja lain, tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh
ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh
ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu jauh untuk
menanyakan syarat-syarat perdamaian (Lukas 14:28-32).

Maksud Yesus mungkin tak jelas dalam kalimat “Bila engkau ingin menjadi muridKu,
hitunglah dahulu biayanya, supaya engkau tidak berhenti ketika perjalanan menjadi sulit.
Murid-murid sejati menerima kesulitan yang muncul sebagai hasil mengiringiNya.”

Syarat Ketiga (A Third Requirement)

Hari itu, Yesus membuat satu syarat lagi tentang pemuridan kepada orang banyak:

Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya
dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridKu (Lukas 14:33).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Yesus memakai ungkapan hiperbola. Kita tak perlu
meninggalkan semua harta milik dalam arti kita tak diberikan tempat tinggal, pakaian,
dan makanan. Tetapi, kita harus tinggalkan semua harta milik, dalam arti mengalihkan
harta kita menjadi milik Allah, dan selama kita tak lagi melayani mammon, namun
melayani Allah dengan memakai mammon kita. Tentu, bisa berarti kita berhenti memiliki
harta yang tak perlu dan hidup sederhana dalam pemeliharaan ilahi dan berbagi dengan
sesama kita, seperti yang dilakukan orang-orang Kristen dalam kitab Kisah Para Rasul.
Menjadi murid Kristus berarti mematuhi perintahNya, dan Ia memerintahkan para
pengikutNya untuk tidak mengumpulkan harta di bumi, namun mengumpulkannya di
sorga.
Kesimpulannya, menurut Yesus, bila saya hendak menjadi muridNya, saya harus
menghasilkan buah. Saya harus mengasihiNya di atas segala-galanya, bahkan jauh
melebihi dari hal mengasihi anggota-anggota keluargaku. Saya harus bersedia
menghadapi kesulitan yang tak terhindarkan yang nanti muncul sebagai akibat keputusan
saya untuk mengikutiNya. Dan saya harus melakukan perkataanNya dengan memakai
hasil pendapatan dan harta milik saya. (Dan dalam hal ini, banyak perintahNya perlu
disebutkan, sehingga saya tidak membodohi diri sendiri, seperti yang dilakukan banyak
orang, dengan berkata, “Jika Tuhan meminta saya untuk melakukan sesuatu dengan
semua harta milik saya, saya akan melakukan apapun yang dikatakanNya.”)
Dan sebagai pelayan, kita harus menjadi pengikut-pengikut Kristus yang
berkomitmen! Itulah tujuan yang Tuhan tetapkan! Kita dipanggil untuk menjadi pelayan
pemuridan!
Itulah kebenaran mendasar yang tak dimiliki oleh banyak pelayan di seluruh dunia.
Seperti halnya saya membuat evaluasi dan kesimpulan bagi pelayanan saya, demikian
pula bila para pelayan membuat evaluasi dan kesimpulan pelayanannya, ternyata mereka
tak memiliki kehendak dan harapan dari Tuhan. Ketika saya perhatikan tingkat komitmen
kepada Kristus yang diperlihatkan oleh anggota-anggota jemaat saya, saya agak was-was
bila banyak anggota jemaat tidak termasuk sebagai murid-murid sejati.
Para pendeta, perhatikanlah sidang jemaat kalian. Berapa banyak jemaat kalian yang
dianggap oleh Yesus sebagai murid-muridNya yang memenuhi kriteriaNya yang disebut
dalam Lukas 14:26-33? Para penginjil, adakah pesan yang kalian sampaikan
menyebabkan ada orang yang mau berkomitmen kepada dirinya untuk menaati semua
perintah Kristus?
Sekarang waktunya kita evaluasi pelayanan kita, sebelum kita berdiri di hadapan
Yesus dalam penghakiman evaluasi akhir. Bila anda tak memiliki tujuanNya, lebih baik
anda miliki sekarang juga, bukan nanti. Para pemberita Injil, maukah kalian
melakukannya?

Pemikiran Akhir yang Serius (A Final Sobering Thought)

Jelaslah, Yesus menghendaki semua orang untuk menjadi murid-muridNya, sesuai


ungkapan FirmanNya kepada orang banyak dalam Lukas 14:26-33. Seberapa pentingkah
menjadi murid Yesus? Bagaimana kalau seseorang memilih untuk tidak menjadi
muridNya? Yesus menjawab kedua pertanyaan ini pada akhir dialogNya dalam Lukas 14:

Garam memang baik, tetapi jika garam juga menjadi tawar, dengan apakah ia
diasinkan? Tidak ada lagi gunanya baik untuk ladang maupun untuk pupuk, dan
orang membuangnya saja. Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah
ia mendengar!” (Lukas 14:34-35).2

Perhatikan bahwa ungkapan di atas memiliki kaitan. Dalam Alkitab versi NASB, ayat
34 dimulai dengan kata ”karena itu” (Therefore).
Seharusnya rasa garam itu asin. Rasa asin itu membentuk garam. Bila kehilangan rasa
asinnya, garam itu tak berguna untuk apapun dan “dibuang.”
Apa kaitannya garam dengan hal menjadi murid? Seperti garam yang harus terasa
asin, demikian pula Yesus mengharapkan setiap orang untuk menjadi muridNya. Karena
Dia Allah, kita wajib mengasihiNya lebih dari segalanya dan memikul salib kita. Bila kita
tidak mau menjadi murid-muridNya, kita justru menolak alasan kehadiranNya bagi
kehidupan kita. Sehingga, kita menjadi tak berguna dan pasti “dibuang.” Maka, kita
tidak mendapat jaminan akan ke sorga, kan?
Di lain kesempatan, Yesus berkata kepada murid-muridNya (lihat Matius 5:1):

2
Dalam kutipan buku asli The Disciple-Making Minister, kedua ayat itu berbunyi “Therefore, salt is good;
but if even salt has become tasteless, with what will it be seasoned? It is useless either for the soil or for
the manure pile; it is thrown out. He who has ears to hear, let him hear“ [Luke 14:34-35] sesuai kutipan
dari New American Standard Bible.
Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia
diasinkan? Tidak ada gunanya lagi, selain dibuang dan diinjak-injak orang (Matius
5:13)

Peringatan itu sangat serius. Pertama, hanya orang yang ”asin” (arti kiasan untuk
“ketaatan yang sungguh-sungguh”) dianggap berguna bagi Allah. Orang yang sudah
tawar dianggap “tak berguna”… kecuali dibuang dan diinjak-injak.” Kedua, mungkin
saja orang yang “asin” bisa menjadi “tawar”; jika tidak demikian, maka Yesus
mengganggap tidak perlu mengingatkan murid-muridNya. Kebenaran-kebenaran ini
bertentangan dengan pengajaran kini, yang berkata bahwa seseorang bisa saja menjadi
pengikut Kristus yang pasti-masuk-sorga tetapi tidak mau menjadi murid Kristus, atau
ada pengajaran yang berkata bahwa tak mungkin seseorang kehilangan status
keselamatannya. Pada bab-bab berikut dalam buku ini, kita akan lihat pendapat-pendapat
keliru tersebut secara rinci.

Anda mungkin juga menyukai