Anda di halaman 1dari 21

BAB I.

PENDAHULUAN

Tingginya angka merokok pada masyarakat akan menjadikan kanker paru


sebagai salah satu masalah kesehatan di Indonesia,seperti masalah keganasan
lainnya. Peningkatan angka kesakitan penyakit keganasan, seperti penyakit kanker
dapat dilihat dari hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang pada 1972
memperlihatkan angka kematian karena masih sekitar 1.01% menjadi 4.5% pada
1990. Data yang dibuat WHO menunjukkan bahwa kanker paru adalah jenis
penyakit keganasan yang menjadi penyebab kematian utama pada kelompok
kematian akibat keganasan, bukan hanya pada laki-laki tetapi juga pada
perempuan. Buruknya prognosis penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan
jarangnya penderita datang ke dokter ketika penyakitnya masih berada dalam
stadium awal penyakit. Hasil penelitian pada kanker paru pascabedah
menunjukkan bahwa, rerata angka tahan hidup 5 tahunan stage I sangat jauh
berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage II, apalagi jika dibandingkan
dengan staging lanjut yang diobati adalah 9 bulan (Jusuf A, dkk., 2005).
Kanker paru adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan
penanganan dan tindakan yang cepat dan terarah. Penegakkan diagnosis penyakit
ini membutuhkan ketrampilan dan sarana yang tidak sederhana dan memerlukan
pendekatan multidisiplin kedokteran. Penyakit ini membutuhkan kerja sama yang
erat dan terpadu antara ahli paru dengan ahli radiologi diagnostik, ahli patologi
anatomi, ahli radiologi terapi dan ahli bedah toraks, ahli rehabilitasi medik dan
ahli – ahli lainnya. Pengobatan atau penatalaksanaan penyakit ini sangat
bergantung pada kecakatan ahli paru untuk mendapatkan diagnosis pasti.
Penemuan kanker paru pada stadium dini akan sangat membantu penderita, dan
penemuan diagnosis dalam waktu yang lebih cepat memungkinkan penderita
memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dalam perjalanan penyakitnya
meskipun tidak dapat menyembuhkannya. Pilihan terapi harus dapat segera
dilakukan, mengingat buruknya respons kanker paru terhadap berbagaijenis
pengobatan. Bahkan dalam beberapa kasus penderita kanker paru membutuhkan
penanganan sesegera mungkinmeski diagnosis pasti belum dapat ditegakkan.
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup

1
keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun kegansan dari luar paru
(metastasis tumor di paru). Yang dimaksud dengan kanker paru ialah kanker paru
primer adalah tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma
bronkus (bronchogenic carcinoma). Menurut konsep masa kini kanker adalah
penyakit gen. Sebuah sel normal dapat menjadi sel kanker apabila oleh berbagai
sebab terjadi ketidak seimbangan antara fungsi onkogen dengan gen tumor
supressor dalam proses tumbuh dan kembangnya sebuah sel. Perubahan atau
mutasi gen yang menyebabkan terjadinya hiperekspresi onkogen dan/atau
kurang/hilangnya fungsi gen tumor supresor menyebabkan sel tumbuh dan
berkembang tak terkendali. Perubahan ini berjalan dalam beberapa tahap atau
yang dikenali dengan proses multistep carcinogenesis. Perubahan pada
kromosom, misalnya hilangnya heterogeniti kromosom atau LOH juga diduga
sebagai mekanisme ketidak normalan pertumbuhan sel pada sel kanker. Dari
berbagai penelitian telah dapat dikenal beberapa onkogen yang berperan dalam
proses karsinogenesis kanker paru, antar lain gen myc, gen k-ras sedangkan
kelompok gen tumor supresor antaralain, gen p53, gen rb. Sedangkan perubahan
kromosom pada lokasi 1p, 3p dan 9p sering ditemukan pada sel kanker paru
(Jusuf A, dkk., 2005).

2
BAB II. KANKER PARU

2. 1. DEFENISI KANKER PARU


Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru
mencakup keganasan yang berasal dari paru maupun keganasan dari luar paru
(metastasis tumor di paru). Kanker paru primer menurut pedoman dokter paru
Indonesia (PDPI) adalah tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau
karsinoma bronkus (Jusuf A, dkk., 2005).
2.2. EPIDEMIOLOGI
Kanker paru jenis karsinoma sel kecil pada tahun 2009 terdiagnosis sekitar
35.110 Kasus barudan tahun 2010 terdiagnosis 222.500 kasus baru (116.750 pada
pria dan 105.770 pada wanita) dari kanker bronkus dan kanker paru di Amerika
Serikat (AS). Kanker paru diprediksi akan menyebabkan 157.300 kematian
(86.200 pada pria dan 71.100 pada wanita). Sekitar 15,8% dari semua pasien
kanker paru yang dapat bertahan hidup sampai 5 tahun atau lebih setelah
terdiagnosis (Ettinger, et al., 2011; Kalemkerian GP, et al., 2011).
Data epidemiologi kanker paru di Indonesia belum ada. Jumlah kasus
tumor ganas intratoraks cukup sering ditemukan. Kekerapan kanker paru di RS
Persahabatan adalah 0,06 % dari jumlah penderita rawat jalan dan 1,6% untuk
penderita rawat inap. Laporan dari laboratorium patologi anatomi menunjukkan
angka yang rendah, kemungkinan karena kesulitan mendapatkan jaringan untuk
pemeriksaan patologi anatomi (Jusuf A, dkk., 2005).
2.3. KLASIFIKASI
World Health Organization (WHO) membagi kanker paru menjadi 2 kelas
utama berdasarkan sifat biologis, terapi, dan prognosis yaitu kanker paru jenis
karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) dan kanker paru jenis karsinoma sel kecil
(KPKSK). Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil merupakan lebih dari 85
% kasus kanker paru meliputi 2 tipe utama yaitu karsinoma non-skuamosa
(termasuk adenokarsinoma, karsinoma sel besar, tipe sel lain) dan karsinoma sel
skuamosa (epidermoid). Kanker paru jenis karsinoma sel kecil merupakan 15%
dari semua kanker paru (Ettinger, et al., 2011; Kalemkerian GP, et al., 2011).

3
2.4. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO KANKER PARU
Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker paru
belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat
karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain
seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain (Amin, 2006). Dibawah ini akan
diuraikan mengenai faktor resiko penyebab terjadinya kanker paru:
a. Merokok
Menurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan paling
penting yaitu 85 % dari seluruh kasus. Rokok mengandung lebih dari 4000 bahan
kimia, diantaranya telah diidentifikasi dapat menyebabkan kanker. Kejadian
kanker paru pada perokok dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang
rokok yang diisap setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti
merokok (Stoppler,2010).
b. Perokok pasif
Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara perokok
pasif, atau mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain di dalam ruang
tertutup, dengan risiko terjadinya kanker paru. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa pada orang-orang yang tidak merokok, tetapi mengisap asap
dari orang lain, risiko mendapat kanker paru meningkat dua kali. Diduga ada
3.000 kematian akibat kanker paru tiap tahun di Amerika Serikat terjadi pada
perokok pasif (Stoppler,2010).
c. Polusi udara
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara, tetapi
pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek. Kematian akibat
kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan
dengan daerah pedesaan. Bukti statistik juga menyatakan bahwa penyakit ini lebih
sering ditemukan pada masyarakat dengan kelas tingkat sosial ekonomi yang
paling rendah dan berkurang pada mereka dengan kelas yang lebih tinggi. Hal ini,
sebagian dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok sosial ekonomi yang
lebih rendah cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka,
tempat udara kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi. Suatu karsinogen

4
yang ditemukan dalam udara polusi (juga ditemukan pada asap rokok) adalah 3,4
benzpiren (Stoppler, 2010).
d. Paparan zat karsinogen
Beberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon, arsen,
kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat menyebabkan
kanker paru. Risiko kanker paru di antara pekerja yang menangani asbes kira kira
sepuluh kali lebih besar daripada masyarakat umum. Risiko kanker paru baik
akibat kontak dengan asbes maupun uranium meningkat kalau orang tersebut juga
merokok (Amin, 2006).
e. Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap
betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya risiko terkena
kanker paru (Amin, 2006).
f. Genetik
Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko lebih
besar terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik molekuler
memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gen-gen penekan tumor
memiliki arti penting dalam timbul dan berkembangnya kanker paru. Tujuan
khususnya adalah pengaktifan onkogen (termasuk juga gen-gen K-ra dan myc)
dan menonaktifkan gen-gen penekan tumor (termasuk gen rb, p53, dan CDKN2)
(Stoppler,2010).
g. Penyakit paru
Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif kronik
juga dapat menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan penyakit paru obstruktif
kronik berisiko empat sampai enam kali lebih besar terkena kanker paru ketika
efek dari merokok dihilangkan (Stoppler, 2010).
2.5. PATOGENESIS
Penelitian epidemiologis Hwang SJ dkk menunjukkan hubungan antara
riwayat keluarga dan peningkatan risiko kanker paru berdasarkan bukti kerentanan
pejamu. Kerentanan dan risiko untuk terjadi kanker paru juga meningkat pada
sindroma kanker yang diturunkan akibat mutasi suatu germ-line langka pada p53,
retinoblastoma, germ-line pada gen epidermal growth factor receptor (EGFR) dan

5
berbagai gen lain. Kerentanan dan risiko terhadap kanker paru juga meningkat
seiring dengan berkurangnya kemampuan perbaikan DNA. Gambar 1
menjelaskan alur patogenesis kanker paru (Herbst RS, 2008).
Perubahan kromosomal sangat penting dalam onkogen dan gen supresor
tumor. Gen supresor tumor diketahui berhubungan dengan sindroma kanker
familial sudah banyak diteliti pada kanker paru. Supresor tumor retinoblastoma
gene (Rb) dan p53 terbukti dapat terinaktivasi secara universal pada KPKSK dan
p53 juga sering diinaktivasi pada KPKBSK. Beberapa neuropeptida, faktor
pertumbuhan, dan kemokin yang diinduksi oleh rokok tembakau mengalami
peningkatan pada tumor paru dan kultur sel. Efek autokrin dan parakrin dalam
proses angiogenesis, invasi jaringan, pengarahan metastasis, dan modulasi
imunitas sudah banyak diteliti. Epidermal growth factor receptor meregulasi
beberapa proses tumorigenik yang penting, termasuk proliferasi, apoptosis,
angiogenesis, invasi, dan beberapa ligannya sering diproduksi secara berlebih
pada perkembangan dan progresi KPKBSK paru (Miller Y.E., 2005).

Gambar 1. Alur patogenesis kanker Paru


Keterangan: LOH:loss of heterozygosity, PCNA: Proliferating cell nuclear
antigen,Bcl-2: B-cell lymphoma 2.

6
2.6. PENDERAJATAN KANKER PARU
Sistem staging internasional untuk kanker paru sudah direvisi dan
diadopsi oleh American Joint Committee on Cancer (AJCC) dan Union
Internationale Contrele cancer. Sistem staging kanker paru direvisi oleh
International Association of the Study of Lung Cancer (IASLC). Sistem staging
terbaru yang sudah direvisi ini dapat diperoleh dari AJCC (edisi 7). Pedoman
Nationale comprehencive cancer network (NCCN) menggunakan sistem staging
AJCC (edisi 7) yang sudah direvisi (Ettinger, et al., 2011).
Klasifikasi TNM banyak digunakan sebagai pedoman untuk
memperkirakan prognosis dan menjadi dasar untuk menentukan terapi yang akan
diberikan pada tumor padat. Sistem ini memiliki banyak tujuan yaitu memberikan
petunjuk dalammenilai prognosis,membantu merencanakan terapi,mengevaluasi
hasil terapi, membantu pertukaran informasi antar institusi, dan membantu dalam
penelitian kanker pada manusia (Fukui T.et al., 2008). Deskripsi skema klasifikasi
TNM dipaparkan pada tabel 1 (huruf yang dicetak tebal menunjukkan perubahan
dari edisi 6 untuk kategori tertentu). Pengelompokan staging KPKBSK yang
sudah direvisi adalah: (Goldstraw F, 2009; Tsim S. et al, 2010)
TX Tumor primer tidak dapat dinilai, atau tumor ditemukan dari adanya sel
ganas dalam sputum atau bilasan bronkus tetapi tidak nampak pada
gambaran hasil pencitraan atau bronkoskopi
T0 Tidak ada bukti adanya tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Lebar terbesar tumor ≤ 3 cm, dikelilingi paru atau pleura viseral, tanpa
bukti bronkoskopi adanya invasi yang terletak lebih proksimal dari
bronkus lobaris (tidak ada bronkus utama)
T1a Tumor dengan lebar terbesar ≤ 2 cm
T1b Tumor dengan lebar terbesar > 2 cm tetapi ≤ 3 cm
T2 Tumor > 3 cm tetapi ≤ 7 cm atau tumor dengan gambaran sebagai berikut:
Melibatkan bronkus utama, ≥ 2 cm distal dari carina
Menginvasi pleura visceral

7
Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif yang meluas
ke regio hilus tetapi tidak melibatkan paru secara keseluruhan
T2a Tumor dengan lebar terbesar > 3 cm tetapi ≤ 5 cm
T2b Tumor dengan lebar terbesar > 5 cm tetapi ≤ 7 cm
T3 Tumor > 7 cm atau secara langsung menginvasi: dinding dada (termasuk
tumor sulkus superior), diafragma, nervus phrenikus, pleura mediastinalis,
perikardium parietal; atau tumor pada bronkus utama < 2 cm distal carina
tetapi tanpa keterlibatan dari carina; atau adanya atelektasis atau
pneumonitis obstruktif pada keseluruhan paru atau adanya nodul paru
yang terpisah pada lobus yang sama
T4 Tumor semua ukuran yang menginvasi: mediastinum, jantung, pembuluh
darah besar, trachea, nervus laringeus rekuren, esofagus, corpus vertebrata,
carina; nodul tumor terpisah pada lobus ipsilateral
N Linfonodi regional
NX Limfonodi regional tidak dapat diperiksa
N0 Tidak ada metastasis ke limfonodi regional
N1 Metastasis pada limfonodi peribronkial dan/ atau ipsilateral serta
limfonodi intrapulmonal, termasuk adanya keterlibatan melalui perluasan
langsung
N2 Metastasis pada limfonodi mediastinum ipsilateral dan/ atau subcarina
N3 Metastasis pada limfonodi mediastinum kontralateral, hilus kontralateral,
skalenus ipsilateral atau kontralateral, atau supraclavicula
M Metastasis jauh
MX Metastasis jauh tidak dapat diperiksa
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Metastasis jauh
M1a Nodul tumor terpisah pada lobus kontralateral; tumor dengan nodul pleura
atau efusi pleura(atau perikardium) maligna
M1b Metastasis jauh

8
2.7. DIAGNOSIS KANKER PARU
2.7.1. Anamnesis
Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit
paru lainnya, terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis
akan didapat keluhan utama dan perjalanan penyakit, serta faktor – faktor lain
yang sering sangat membantu tegaknya diagnosis. Keluhan utama dapat berupa:
 batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen)
 batuk darah
 sesak napas
 suara serak
 sakit dada
 sulit / sakit menelan
 benjolan di pangkal leher
sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa
nyeri yang hebat.
Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat metastasis di
luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran
hepar atau patah tulang kaki. Ada pula gejala dan keluhan yang tidak khas seperti:
 berat badan berkurang
 nafsu makan hilang
 demam hilang timbul
 sindrom paraneoplastik, seperti "Hypertrophic pulmonary osteoartheopathy",
trombosis vena perifer dan neuropatia (Jusuf A, dkk., 2005).
2.7.2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan jasmani harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Hasil
yang didapat sangat bergantung pada kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor
paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada
pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai
akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan
memberikan hasil yang lebih informatif. Pemeriksaan ini juga dapat memberikan
data untuk penentuan stage penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor diluar

9
paru. Metastasis keorgan lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar,
pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrakranial dan
terjadinya fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang (Jusuf A, dkk., 2005).
Pada gambar dibawah ini dapat kita lihat alur deteksi dini kanker paru

Gambar 2. Alur deteksi dini kanker paru (Jusuf A, dkk., 2005).


2.7.3. Gambaran radiologis
Pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang
mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis, serta
penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan radiologi
paru yaitu Foto toraks PA/lateral, bila mungkin CT-scan toraks, bone scan, bone
survey, USG abdomen dan Brain-CT dibutuhkan untuk menentukan letak
kelainan, ukuran tumor dan metastasis.
a. Foto toraks
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor
dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah
tepi yang ireguler, disertai identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto
tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi
perikar dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan KGB untuk

10
menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja (Jusuf A. dkk.,
2005).
Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker paru pada seorang penderita
penyakit paru dengan gambaran yang tidak khas untuk keganasan penting
diingatkan. Seorang penderita yang tergolong dalam golongan resiko tinggi
(GRT) dengan diagnosis penyakit paru, harus disertai follow-up yang teliti.
Pemberian OAT yang tidak menunjukan perbaikan atau bahkan memburuk
setelah 1 bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker paru, tetapi lain
masalahnya pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian
antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor
dibalik pneumonia tersebut. Bila foto toraks menunjukkan gambaran efusi pleura
yang luas harus diikuti dengan pengosongan isi pleura dengan punksi berulang
atau pemasangan WSD dan ulangan foto toraks agar bila ada tumor primer dapat
diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila cairan bersifat produktif, dan/atau
cairan serohemoragik (Jusuf A, dkk., 2005).
b. CT-Scan toraks
Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik
daripada foto toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil
dari 1 cm secara lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga
tergambar secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus,
tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak masif dan telah terjadi
invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi
dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan stage
juga lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian
juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner.
Pemeriksaan CT-Scan toraks dengan kontras sebaiknya diminta hingga suprarenal
untuk mendeteksi ada/tidak pembesaran KGB suprarenal dan lesi metastasis di
hepar. Penggunaan CT scan multislice sangat bermanfaat untuk tumor paru
ukuran kecil atau letaknya superposisi dengan organ lain. Pada print-out CT scan
hendaknya dibuat marker diameter tumor-tumor yang terpanjang pada nodul yang
terukur (measurable noduls). Interpretasi radiologist hendaknya menjelaskan
lokasi tumor, ukuran tumor untuk nodul-nodul yang terukur, keterlibatan KGB

11
dan kelainan lain yang dapat disimpulkan sesuai dengan sistem TNM versi 7
untuk kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) (Jusuf A, dkk.,
2005).
c. Pemeriksaan radiologik lain
Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan toraks adalah tidak mampu
mendeteksi telah terjadinya metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan
radiologik lain, misalnya Brain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala /
jaringan otak, bone scan dan/atau bone survey dapat mendeteksi metastasis
diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat melihat ada tidaknya
metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam rongga perut.
Positron emission tomography (PET) belum menjadi prosedur diagnostik yang
rutin dan tidak diindikasikan untuk mengevaluasi tumor primer kecuali pada
kasus nodul soliter. PET lebih berperan untuk menentukan keganasan pada KGB
mediastinum sebagai konfirmasipembacaan CT-Scan toraks terutama jika ukuran
KGB <1 cm. Indikasi PET lain adalah menilai downstaging, rekurensi dan evaluasi
pengobatan (Jusuf A, dkk., 2005).
2.7.4. Pemeriksaan khusus
a. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan tujuan diagnostik sekaligus dapat
dihandalkan untuk dapat mengambil jaringan atau bahan agar dapat dipastikan ada
tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada tidaknya masa intrabronkus atau perubahan
mukosa saluran napas, seperti terlihat kelainan mukosa tumor misalnya,
berbenjol-benjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif, mudah berdarah. Tampakan
yang abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan biopsi tumor/dinding bronkus,
bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.Penggunaan endobronchial ultrasound
(EBUS) mempunyai kelebihan dari bronkoskop konvensional karena dapat
menunjukkan secara tepat lokasi tumor yang menempel di dinding luar bronchial
sehingga mempermudah tindakan transbronchial needle aspiration (TBNA) (Jusuf
A, dkk., 2005).

12
b. Biopsi aspirasi jarum
Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan, misalnya
karena amat mudah berdarah, atau apabila mukosa licin berbenjol, maka
sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi jarum, karena bilasan dan biopsi bronkus saja
sering memberikan hasil negatif (Jusuf A, dkk., 2005).
c. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)
TBNA di karina, atau trakea 1/1 bawah (2 cincin di atas karina) pada
posisi jam 1 bila tumor ada dikanan, akan memberikan informasi ganda, yakni
didapat bahan untuk sitologi dan informasi metastasis KGB subkarina atau
paratrakeal (Jusuf A, dkk., 2005).
d. Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)
Jika lesi kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana untuk
fluoroskopik maka biopsi paru lewat bronkus (TBLB) harus dilakukan.
e. Transtorasic Needle Aspiration (TTNA)
Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm, TTNA dilakukan
dengan bantuan flouroskopi atau USG. Namun jika lesi lebih kecil dari 2 cm dan
terletak di sentral dapat dilakukan TTNA dengan tuntunan CT-scan. Spesimen
yang diperoleh adalah bahan pemeriksaan sitologi (Jusuf A, dkk., 2005).
f. Biopsi Transtorakal (Transthoraxic Biopsy, TTB)
Jika lesi kecil dan TTNA tidak memberikan hasil yang representatif
sebaiknya dilakukan TTB dengan alat core biopsy dan selalu dilakukan dengan
tuntunan CT-scan. Pengambilan sampel dengan teknik ini akan memberikan hasil
yang lebih informatif. Spesimen yang diperoleh adalah bahan pemeriksaan
histopatologi (Jusuf A, dkk., 2005).
g. Aspirasi Jarum Halus (AJH)
Aspirasi jarum halus (AJH) atau fine needle aspiration (FNA) dapat
dilakukan bila terdapat pembesaran KGB atau teraba masa yang dapat terlihat
superfisial. Dari teknik yang sangat sederhana dengan tingkat risiko paling rendah
(Jusuf A, dkk., 2005).
h. Biopsi lain
Biopsi jarum halus dapat dilakukan bila terdapat pembesaran KGB atau
teraba masa yang dapat terlihat superfisial. Biopsi KBG harus dilakukan bila

13
teraba pembesaran KGB supraklavikula, leher atau aksila, apalagi bila diagnosis
sitologi/histologi tumor primer di paru belum diketahui. Biopsi Daniels dianjurkan
bila tidak jelas terlihat pembesaran KGB suparaklavikula dan cara lain tidak
menghasilkan informasi tentang jenis sel kanker. Punksi dan biopsi pleura harus
dilakukan jika ada efusi pleura (Jusuf A, dkk., 2005).
i. Torakoskopi medik
Dengan tindakan ini massa tumor di bagaian perifer paru, pleura viseralis,
pleura parietal dan mediastinum dapat dilihat dan dibiopsi (Jusuf A, dkk., 2005).
j. Sitologi sputum
Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan murah.
Kekurangan pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer, penderita batuk
kering dan tehnik pengumpulan dan pengambilan sputum yang tidak memenuhi
syarat. Dengan bantuan inhalasi NaCl 3% untuk merangsang pengeluaran sputum
dapat ditingkatkan. Caralain ialah pengumpulan sputum menurut cara
Saccomanno yaitu pengambilan spesimen dari sputum yang dikumpulkan pada
pagi hari dan melalui prosedur khusus. Sputum ditampung dalam wadah yang
berisi etil alkohol 50 % dengan polietilen glikol, dihomogenisasi dengan blender,
kemudian dilakukan pemusingan (centrifuge) dan bahan yang diambil adalah
sedimen yang berada pada dasar tabung.
Semua bahan yang diambil dengan pemeriksaan tersebut di atas harus
dikirim ke laboratorium Patologi Anatomik untuk pemeriksaan sitologi/histologi.
Bahan berupa cairan harus dikirim segera tanpa fiksasi, atau dibuat sediaan apus,
lalu difiksasi dengan alkohol absolut atau minimal alkohol 90%. Semua bahan
jaringan harus difiksasi dalamformalin 4% (Jusuf A, dkk., 2005).
2.7.5 Pemeriksaan invasif lain
Pada kasus kasus yang rumit terkadang tindakan invasif seperti Torakoskopi
dan tindakan bedah mediastinoskopi, torakoskopi, torakotomi eksplorasi dan
biopsi paru terbuka dibutuhkan agar diagnosis dapat ditegakkan. Tindakan ini
merupakan pilihan terakhir bila dari semua cara pemeriksaan yang telah
dilakukan, diagnosis histologis / patologis tidak dapat ditegakkan. Pada pusat
layanan dengan fasilitas lengkap dan tidak mempunyai masalah finansial,
mediastinoskopi selalu dilakukan pada kasus dengan stage dini (stage I dan II)

14
untuk menilai KGB mediastinal. Di Indonesia penilaian KGB mediastinal menjadi
paket tindakan torakotomi terutama torakotomi eksplorasi. Dengan semakin
banyaknya sarana kesehatan di luar negeri yang dapat melakukan PET dan bahkan
semakin berkembang menjadi PET-Scan (PET+CT-Scan) yang lebih sensitif dan
spesifik menilai KGB mediastinal tampaknya mediastinoskopi mulai jarang
dilakukan.Semua tindakan diagnosis untuk kanker paru diarahkan agar dapat
ditentukan jenis histologis, derajat (staging), tampilan (tingkat tampil,
"performance status").Sehingga jenis pengobatan dapat dipilih sesuai dengan
kondisi penderita (Jusuf A, dkk., 2005).
2.7.6. Pemeriksaan lain
Penggunaan petanda ganas atau biomarker secara umum adalah untuk
menentukan risiko, skrining, diagnosis banding, prognosis, prediksi dan
pemantauan. Namun demikian untuk dapat digunakan dalam klinik, biomarker
harus memenuhi beberapa kriteria dasar yaitu 1) tujuan penggunaan harus
ditentukan secara jelas; 2) nilai perbedaan dalam keluaran (outcome) antara
populasi positif dan negatif harus cukup untuk dapat mengubah keputusan klinik
berdasarkan hasil identifikasi atau pengukuran petanda ganas; 3) perkiraan nilai
tersebut harus dapat dipercaya dan divalidasi (teknik yang digunakan harus stabil,
reprodusibel dan akurat, studi klinik harus didisain secara tepat dan analisis studi
harus dapat dipertanggung jawabkan secara statistik) (Tanoerahardjo F.S, 2013).
a. Carcinoembryonic antigen (CEA)
Carcinoembryonic antigen (CEA) merupakan oncofetal protein, biasanya
tidak didapatkan pada orang dewasa. CEA disebut juga antigen spesifik untuk
adenocarcinoma pada saluran cerna yang ditemukan pada tahun 1965.
Peningkatan produksi kadar CEA disebabkan de-repression of CEA-encoding
genes. Pada kanker paru kadar CEA meningkat dan mempunyai korelasi dengan
respons pengobatan Small Cell Lung Cancer (SCLC) maupun Non Small Cell
Lung Cancer (NSCLC). Kadar CEA pada serum perokok lebih tinggi
dibandingkan bukan perokok. Beberapa kelainan nonmalignansi yang kadar CEA
tinggi adalah sirosis, hepatitis, ikterus obstruktif, colitis ulserativa, bronchitis dan
emfisema. Kadar cut off dari CEA yaitu 3.2 ng/ml dengan sensitifitas 69 % dan
spesifisitas 68 % (Okamura K, 2013; Tanoerahardjo F.S, 2013)

15
b. Neuron Spesific Enolase (NSE)
Neuron Spesific Enolase (NSE) subunit γ terdapat dalam konsentrasi tinggi
pada sel neuron, sel neuroendokrin dan tumor neurogenik. Selain itu juga terdapat
pada jaringan otot polos, trombosit, sel epitel Henle, sel macula densa ginjal, sel
epitel bronkhus dan pneumocyte tipe 2. Kadar serum >100 μg/L kemungkinan
kecurigaan paling besar adalah SCLC dari diagnosis bandingnya (tumor
neuroendokrine yang lain, kanker hati, limfoma dan seminoma). Peningkatan
kadar sedang penyakit paru jinak, kanker pankreas, kanker gaster, kanker
colorectal dan kanker payudara. Pengukuran NSE dikombinasi dengan ProGRP
perbaikan diagnostik. Sangat berguna untuk monitoring terapi maupun deteksi
kekambuhan pada penyakit SCLC setelah terapi. Peningkatan kadar NSE dalam
serum ditemukan pada 75% kasus SCLC dan 14% kasus NSCLC. Pemantauan
kadar NSE serum secara berkala selama dan setelah pengobatan dapat
memberikan gambaran perkembangan kanker atau kekambuhan. Cut off
konsentrasi NSE yaitu >20.21 ng/ml dengan sensitivitas 86% dan spesifitas 67 %.
Tabel 1. Konsentrasi NSE pada orang sehat, non-malignant lung disease (NMLD),
Smallcell lung carcinoma (SCLC) and non-small cell lung carcinoma
(NSCLC)( Mahmood et al, 2011)

c. Cytokeratin fragment 21.1 (CYFRA 21.1)

Tissue Polypeptide Antigen (TPA) merupakan produk degradasi dari


sitoskeleton yang dulu disebut sebagai sitokeratin. Pemeriksaan TPS menilai
kadar cytokeratin fragmen 8, 18 dan 19. CYFRA 21-1 adalah fragmen CK19
merupakan marker sitoskeleton yang banyak digunakan saat ini. TPS dan CYFRA

16
21-1 sangat bermanfaat dalam mengelola kasus NSCLC. Penelitian Mumbarkar
dkk pada 133 kasus NSCLC mendapatkan nilai sensitivitas TPS, CYFRA21-1 dan
NSE sebesar 94% sedangkan sensitivitas CEA sebesar 54%. Spesifisitas TPS,
CYFRA 21-1 dan NSE sebesar 95% sedangkan spesifisitas CEA hanya 56%. Lim
dkk (2009) menyimpulkan sekalipun CEA tidak spesifik ataupun akurat untuk
skrining namun dalam penelitiannya pada 217 pasien asimptomatik yang kadar
CEA tinggi diikuti selama 2 tahun ternyata 7,4% menderita berbagai keganasan.
Nilai cut off yaitu > 3.5 ng/ml dengan sensitifitas 43 % dan spesifisitas 89 %.
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa CYFRA21-1 merupakan petanda ganas
yang dapat digunakan untuk pemantauan pengobatan dan prognosis penyakit.
Penelitian terbaru mendapatkan miRNA berperan pada tumorigenesis kanker paru
dan dapat digunakan untuk membedakan SCLC dan NSCLC (Okamura K, 2013;
Tanoerahardjo F.S, 2013).
d. Pro-gastrin-releasing Peptide (proGRP)
Pro-gastrin-releasing Peptide (proGRP) merupakan prekursor gastrin-
releasing peptide (GRP) yang diproduksi oleh neuroendokrin pada SCLC.
ProGRP merupakan penanda untuk SCLC yang baik dengan spesifisitas 95 %.
Kadar ProGRP > 200 ng/L dugaan kuat adanya kanker paru SCLC tanpa adanya
gangguan fungsi ginjal. ProGRP dapat digunakan untuk diagnosis banding SCLC
dari kanker paru lainnya, sebagai penanda tunggal ProGRP lebih unggul dari
NSE, untuk monitoring SCLC atau deteksi kekambuhan penyakit setelah
pengobatan (Ahn J, 2013)
e. Squamous cell carcinoma antigen (SCC-ag)
Squamous cell carcinoma antigen (SCC-ag) suatu protein sitoplasmik
dengan BM 48 KD.Kadarnya meningkat pada squamous cell carcinomas (SCC)
pada serviks, kepala dan leher, paru, esofagus dan anus. Mino dkk. kadar serum
SCC-ag meningkat pada 59% dari 76 penderita SCC paru dan hanya 20% dari
penderita dengan tipe sel yang lain. Kadar penderita SCC : 3,6 kali lebih tinggi
dibandingkan orang sehat dan penderita kanker paru tipe lain atau penyakit paru
jinak. tidak dapat digunakan untuk skrining pada NSCLC. Nilai cut off yaitu 3.9
ng/ml dengan sensitifitas 44.3 % dan spesifisitas 95.9 % ( Kim et al, 1996; Alissa,
2007).

17
2.8. PENATALAKSANAAN
2.8.1.Pembedahan
Pembedahan pada kanker paru bertujuan untuk mengangkat tumor secara
total berikut kelenjar getah bening disekitarnya. Hal ini biasanya dilakukan pada
kanker paru yang tumbuh terbatas pada paru yaitu stadium I (T1 N0 M0 atau T2
N0 M0), kecuali pada kanker paru jenis SCLC. Pembedahan dapat juga dilakukan
pada stadium lanjut, akan tetapi lebih bersifat paliatif. Pembedahan paliatif
mereduksi tumor agar radioterapi dan kemoterapi lebih efektif, dengan demikian
kualitas hidup penderita kanker paru dapat menjadi lebih baik. Pembedahan untuk
mengobati kanker paru dapat dilakukan dengan cara :
a. Wedge Resection, yaitu melakukan pengangkatan bagian paru yang berisi
tumor, bersamaan dengan margin jaringan normal.
b. Lobectomy, yaitu pengangkatan keseluruhan lobus dari satu paru.
c. Pneumonectomy, yaitu pengangkatan paru secara keseluruhan. Hal ini
dilakukan jika diperlukan dan jika pasien memang sanggup bernafas dengan
satu paru (Wibisono, 2010).
2.8.2. Radioterapi
Radioterapi dapat digunakan untuk tujuan pengobatan pada kanker paru
dengan tumor yang tumbuh terbatas pada paru. Radioterapi dapat dilakukan pada
NCLC stadium awal atau karena kondisi tertentu tidak dapat dilakukan
pembedahan, misalnya tumor terletak pada bronkus utama sehingga teknik
pembedahan sulit dilakukan dan keadaan umum pasien tidak mendukung untuk
dilakukan pembedahan. Terapi radiasi dilakukan dengan menggunakan sinar X
untuk membunuh sel kanker. Pada beberapa kasus, radiasi diberikan dari luar
tubuh (eksternal). Tetapi ada juga radiasi yang diberikan secara internal dengan
cara meletakkan senyawa radioaktif di dalam jarum, dengan menggunakan kateter
dimasukkan ke dalam atau dekat paru-paru. Terapi radiasi banyak dipergunakan
sebagai kombinasi dengan pembedahan atau kemoterapi (Wibisono, 2010).
2.8.3. Kemoterapi
Kemoterapi pada kanker paru merupakan terapi yang paling umum diberikan pada
SCLC atau pada kanker paru stadium lanjut yang telah bermetastasis ke luar paru
seperti otak, ginjal, dan hati. Kemoterapi dapat digunakan untuk memperkecil sel

18
kanker, memperlambat pertumbuhan, dan mencegah penyebaran sel kanker ke
organ lain. Kadang-kadang kemoterapi diberikan sebagai kombinasi pada terapi
pembedahan atau radioterapi. Penatalaksanaan ini menggunakan obat-obatan
(sitostatika) untuk membunuh sel kanker. Kombinasi pengobatan ini biasanya
diberikan dalam satu seri pengobatan, dalam periode yang memakan waktu
berminggu-minggu atau berbulan-bulan agar kondisi tubuh penderita dapat pulih
(Wibisono, 2010).

19
DAFTAR PUSTAKA
Ahn J., Cho J., 2013. Current Serum Lung Cancer Biomarkers. Molecular
Biomarkers & Diagnosis. http://dx.doi.org/10.4172/2155-9929.S4-001.
( diunduh 11 Januari 2015)
Alissa K., Greenberg, Lee M.S., 2007. Biomarkers For Lung Cancer: Clinical
Uses. http://www.pubfacts.com/detail/17534168/Biomarkers-for-lung-
cancer:-clinical-uses. ( diunduh 11 Januari 2015)
Amin, Z., 2006. Kanker Paru. Dalam: Sudoyo, A.W., Setryohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M.K., Setiati, S. Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: 1015-21.
Jusuf A, dkk., 2005. Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil pedoman
nasional untuk diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; .p.1.
Ettinger, et al., 2011. NCCN guidlines for patients: non-small cell lung cancer
version 3.2011. National comprehensive cancer network. Available at
:http://www.nccn.com/cancer-guidelines.html. (diakses 1 Desember 2014)
Fukui T., Mori S., Hatooka S., Shinoda M., Mitsudomi T., 2008. Prognostic
Evaluation Based on a New TNM Staging System Proposed by the
International Association for the Study of Lung Cancer for Resected Non-
Small Cell Lung Cancer. J Thorac Cardiovasc Surg.pp:1343-48.
Goldstraw F., 2009. Staging manual in thoracic oncology. Ed1st.Orange
Park:International Association for the Study of Lung Cancer Inc.p.55-6.
Herbst, RS, et al., 2008. Lung cancer. N Engl J Med. p:1367-80.
Kalemkerian, GP, et al., 2011. NCCN guidlines version 3.2011 panel members
small cell lung cancer. National comrehensive cancer network. Available at:
http://www.nccn.com/cancer-guidelines.html. (diakses 1 Desember 2014)
Okamura K., Takayama K., Izumi M., Harada T., Furuyama K., Nakanishi Y.,
2013. Diagnostic Value of CEA and CYFRA 21-1 Tumor Markers in
Primary Lung Cancer, Lung Cancer, Vol.80, Issue 1, p.45-49.
Mahmood S.R., Alam J.M., Hussain A., Alam S.M., 2011. Determination Of
Neuron Specific Enolase (NSE) In Small Cell Lung Carcinoma (SCLC)
And Non-Small Cell Lung Carcinoma (NSCLC) Patients. Pakistan Journal
of Pharmacology, Vol.28, No.1, p. 23-32
Miller, YE., 2005. Pathogenesis of lung cancer. Am J Respir Cell Mol Biol.p:
216–23
Stoppler, M.C.2010.Lung Cancer. Available from : http://www.emedicinehealth/
(diakses 1 Desember 2014)
Kim Y.C., Park K.O., Choi I. S., Kim H. J., Lim S. C., Bom H.S., 1996. A
Comparison of Serum CYFRA 21-1 and SCC Ag in the Diagnosis of
Squamous Cell Lung Carcinoma. The Korean Journal of Internal Medicine,
Vol.11, No.1, p.50-57.
Tanoerahardjo F.S., 2013. Petanda Ganas Kanker Paru.
http://www.rsparurotinsulu.org/halkomentar-17-petanda-ganas-kanker-
486.html. (diunduh 23 Desember 2014).

20
Tsim S., O’Dowd C.A., Milroy R., Davidson S., 2010. Staging of non-small cell
lung cancer. Respiratory Medicine. pp1767-74.
Wibisono, M.J., Winariani., Hariadi, S., 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.
Edisi I. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR.. p.88-109.

21

Anda mungkin juga menyukai