Anda di halaman 1dari 21

Drs. G. Djoko Purwanggono, M.

Par
 Pariwisata itu tidak berjalan di

tempat, berubah dari waktu ke

waktu. Itulah Dinamika. Demikian pula

pariwisata di Yogyakarta, berubah

seiring dengan perjalanan waktu


 Kraton Kasultanan Yogyakarta: dulu….dan
kini….
 Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko:
sebelum pemugaran, sesudah pemugaran,
dan kini dikelola oleh PT Taman Wisata.
 Parangtritis: lewat kali naik “gethek”.
 Kaliurang: katanya pernah jadi “taman
bunga”.
 Oleh-oleh/Souvenir: datang melihat/belanja
membayar tiket/donasi $ 1 US samapi ‘jor-
joran” komisi.
 Masih banyak melihat sawah dengan aktifitas
petani sepanjang jalan menuju ke candi
Borobudur (dulu), kini ……..
 Naik becak/andong masih belum ‘sumpeg’ di
kota. Tetapi kini …..
 Malioboro riwayatmu kini : dulu pernah
menjadi ‘tempat nongkrong’ para seniman
mencari inspirasi, masih ada pohon
perindang.
 Dulu belum ada desa wisata, lalu
bermunculan desa wisata…..
- Tapi kini…..apa yang terjadi?
 - segalanya kau tak peduli lagi…
 - yang yang lebih menyakitkan hati…..?
 “Ada simbah disuruh “susuran” untuk
menerima tamu hanya diberi snack, orang
kota ke desa tidak ketemu orang desa”
(benarkah demikian?)
 Perjalanan panggung kesenian dari waktu ke
waktu….?
 Rencana pengelolaan ODTW dan jalur wisata
terpadu, apa kabarmu?
 Dari “bandara” sederhana sampai “bandara”
internasional, dan rencana pembangunan
“bandara” internasional yang baru di Temon,
Kulonprogo. Apakah pariwisata kita (Yogya)
sudah perlu itu?
 Frekuensi penerbangan pada waktu itu masih
sangat terbatas, tetapi sekarang….?
 Yogya sekarang “macet” pada saat weekend ,
long weekend, libur Hari Raya, Liburan. So
what….? Kalau dulu seperti apa?
 Kini akses (volume) jalan < volume
kendaraan.
 Pariwisata di Yogya kini kadang berurusan
dengan “oknum” parkir, becak, pedagang
asongan, “guide liar”, polisi, tour leader,
tour operator, tour guide, dan yang lain yang
“nakal”. Apakah dulu tidak ada? (karena hal
ini juga masuk dalam lingkup akses itu).
Faktor “oknum nakal” dapat menutup
“akses” ke destinasi. Mau….?
 Akses “informasi” untuk layanan pengelolaan
wisatawan waktu itu masih minim, belum
seperti sekarang. Tahu “yogya” dari teman.
 Akses “booking-guide” pun lucu dan wagu
pada waktu itu.
 Duduk di lobby hotel nunggu tamu yang
menginap di hotel itu tidak boleh. Sekarang
kayaknya tidak lagi karena sudah bisa
kooperatif.
 Mobil milik dosen (UGM) disewakan untuk
“narik” wisatawan karena belum banyak
orang punya mobil.
 Kendaraan lebih banyak “non AC”. Nahkan
ada persewaan mobil yang menyewakan
kendaraan plus “kipas” tangan.
 Kendaraan pada waktu itu lebih banyak
dalam kondisi sederhana, tidak seperti
sekarang.
 Hotel lebih banyak “non bintang” dan
losmen. Waktu Ambarrukmo Palace Hotel
“leading”.
 Restoran jumlah dan jenisnya masih sangat
terbatas. Wisatawan lebih banyak makan di
hotel.
 Ndalem Pujokusuman, panggung Theatre
Terbuka Prambanan yang lama, dan ndalem-
ndalem kapangeranan dulu merupakan lokasi
utama untuk “cultural nights attraction”,
atau acara makan malam.
 Money changer sudah ada…
 Beli perangko dan kartu pos pun sudah
ada…dan kayaknya wajib dech…
 Pemandu wisata juga sudah
tersedia…Pemandu Wisata sekarang….
 Sarana komunikasi untuk pengelolaan produk
wisata dan “handling” wisatawan belum
secanggih sekarang.
 Secara kelembagaan belum ada kantor Dinas
Kepariwisataan (“nebeng”). Tk. II/Kota
belum ada
 Sampai pada dekade menjelang tahun 2000
seolah-olah pariwisata itu hanya ngurusi
orang asing (“wong londo”-maksudnya turis
mancanegara). Wisatawan domestik pun
sebenarnya sudah “menggeliat”. Tetapi
sekarang wisatawan domestik, Malaysia,
Singapura, Thailand, nampak tidak sedikit
yang datang.
 Dulu wisatawan yang datang ke Yogya lebih banyak
tidak memiliki reservasi untuk kegiatan tour, sehingga
pemandu wisata “hunting” menemui mereka di
tempat-tempat kedatangan untuk menawari tour
dengan imbalan sekitar 10% dari harga tour. Travel
agent jumlahnya masih sedikit. Tour yang ditawarkan
masih “Seat in coach tour” (Sic), masih sedikit yang
“private”. Tetapi sekarang……….! Bahkan katanya
travel agent ke depan tidak lagi dibutuhkan seiring
dengan kecanggihan teknologi, terutama informasi.
Di sinilah travel agent ditantang agar senantiasa bisa
“exist”, termasuk keberadaan “outlet-outlet” produk
wisata yang lain (hotel, restoran, airline, dll).

 Bagaimana Pemandu Wisata pada waktu itu
melakukan “hunting” tamu? Yaitu dengan antara
lain: meminjam “passanger list”, mengira-ira
wajah mirip “londo”, atau orang “domestik”
yang kira-kira potensial ditawari “produk tour”.
Pihak Hotel pun melakukan hal yang sama untuk
mencari “tamu”.
 Kegiatan tour “over-land” (misalnya ke Bromo)
dulu masih sangat jarang. Sekarang lebih banyak
“overland”. Sejak adanya larangan terbang
dengan penerbangan domestik. Celakanya,
perjalanan darat seperti ini kini dibuat “stress”
oleh “macet”,
 Namun separo lebih telah mengantisipasi
melalui “kereta api”
 Rata-rata lama tinggal wisatawan waktu itu 2
s.d. 3 hari, bahkan bisa lebih. Walau tanpa
tour program yang sudah “fixed”. Tidak ada
program transite tour seperti sekarang.
 Produk lebih banyak dibuat menyesuaikan.
 Masih “tradisional”.
 Pemasaran: “Gethok – Tular”.
 Mestinya sekarang harus lebih mumpuni
berdaya saing, saling, banding yang kuat
dengan SDM dan faktor-faktor pendukung
lainnya (integrated marketing).
 Yogya sebagai daerh tujuan wisata telah
dikenal begitu luas, baik oleh wisatawan
dalam negeri maupun wisatawan
mancanegara.
 Dengan segala daya tarik potensi atraksi,
akses, dan amenitas yang melingkupinya,
mestinya telah membuatnya mampu
menghadirkan produk-produk wisata
unggulan yang kompetitif sesuai dengan
kecenderungan pasar yang sedang dan akan
berjalan.
 Kinidan ke depan, “trend” pariwisata
cenderung mengarah kepada “non-mass
tourism”, dari GIT ke FIT, dan tidak hanya
“something to see, to buy, tetapi juga to
do”.
 Kondisi demikian, mengharuskan adanya
upaya kreatif, inovatif untuk menghadirkan
produk-produk wisata baru yang dapat laku
dijual. Sementara produk-produk wisata
konvensional harus dimodifikasi. Dari sinilah
diversifikasi boleh muncul.
 Pariwisata membutuhkan kesertaan semua
pihak untuk mengolah keunggulan komparatif
menjadi keunggulan kompetitif.
 Diperlukan upaya tekun mengolah diri oleh
semua pihak untuk senantiasa dapat
mengamalkan Sapta Pesona Pariwisata, yang
berjalan paralel atas pemerolehan manfaat
dalam bingkai pemberdayaan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai