Kraton Kasultanan Yogyakarta: dulu….dan kini…. Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko: sebelum pemugaran, sesudah pemugaran, dan kini dikelola oleh PT Taman Wisata. Parangtritis: lewat kali naik “gethek”. Kaliurang: katanya pernah jadi “taman bunga”. Oleh-oleh/Souvenir: datang melihat/belanja membayar tiket/donasi $ 1 US samapi ‘jor- joran” komisi. Masih banyak melihat sawah dengan aktifitas petani sepanjang jalan menuju ke candi Borobudur (dulu), kini …….. Naik becak/andong masih belum ‘sumpeg’ di kota. Tetapi kini ….. Malioboro riwayatmu kini : dulu pernah menjadi ‘tempat nongkrong’ para seniman mencari inspirasi, masih ada pohon perindang. Dulu belum ada desa wisata, lalu bermunculan desa wisata….. - Tapi kini…..apa yang terjadi? - segalanya kau tak peduli lagi… - yang yang lebih menyakitkan hati…..? “Ada simbah disuruh “susuran” untuk menerima tamu hanya diberi snack, orang kota ke desa tidak ketemu orang desa” (benarkah demikian?) Perjalanan panggung kesenian dari waktu ke waktu….? Rencana pengelolaan ODTW dan jalur wisata terpadu, apa kabarmu? Dari “bandara” sederhana sampai “bandara” internasional, dan rencana pembangunan “bandara” internasional yang baru di Temon, Kulonprogo. Apakah pariwisata kita (Yogya) sudah perlu itu? Frekuensi penerbangan pada waktu itu masih sangat terbatas, tetapi sekarang….? Yogya sekarang “macet” pada saat weekend , long weekend, libur Hari Raya, Liburan. So what….? Kalau dulu seperti apa? Kini akses (volume) jalan < volume kendaraan. Pariwisata di Yogya kini kadang berurusan dengan “oknum” parkir, becak, pedagang asongan, “guide liar”, polisi, tour leader, tour operator, tour guide, dan yang lain yang “nakal”. Apakah dulu tidak ada? (karena hal ini juga masuk dalam lingkup akses itu). Faktor “oknum nakal” dapat menutup “akses” ke destinasi. Mau….? Akses “informasi” untuk layanan pengelolaan wisatawan waktu itu masih minim, belum seperti sekarang. Tahu “yogya” dari teman. Akses “booking-guide” pun lucu dan wagu pada waktu itu. Duduk di lobby hotel nunggu tamu yang menginap di hotel itu tidak boleh. Sekarang kayaknya tidak lagi karena sudah bisa kooperatif. Mobil milik dosen (UGM) disewakan untuk “narik” wisatawan karena belum banyak orang punya mobil. Kendaraan lebih banyak “non AC”. Nahkan ada persewaan mobil yang menyewakan kendaraan plus “kipas” tangan. Kendaraan pada waktu itu lebih banyak dalam kondisi sederhana, tidak seperti sekarang. Hotel lebih banyak “non bintang” dan losmen. Waktu Ambarrukmo Palace Hotel “leading”. Restoran jumlah dan jenisnya masih sangat terbatas. Wisatawan lebih banyak makan di hotel. Ndalem Pujokusuman, panggung Theatre Terbuka Prambanan yang lama, dan ndalem- ndalem kapangeranan dulu merupakan lokasi utama untuk “cultural nights attraction”, atau acara makan malam. Money changer sudah ada… Beli perangko dan kartu pos pun sudah ada…dan kayaknya wajib dech… Pemandu wisata juga sudah tersedia…Pemandu Wisata sekarang…. Sarana komunikasi untuk pengelolaan produk wisata dan “handling” wisatawan belum secanggih sekarang. Secara kelembagaan belum ada kantor Dinas Kepariwisataan (“nebeng”). Tk. II/Kota belum ada Sampai pada dekade menjelang tahun 2000 seolah-olah pariwisata itu hanya ngurusi orang asing (“wong londo”-maksudnya turis mancanegara). Wisatawan domestik pun sebenarnya sudah “menggeliat”. Tetapi sekarang wisatawan domestik, Malaysia, Singapura, Thailand, nampak tidak sedikit yang datang. Dulu wisatawan yang datang ke Yogya lebih banyak tidak memiliki reservasi untuk kegiatan tour, sehingga pemandu wisata “hunting” menemui mereka di tempat-tempat kedatangan untuk menawari tour dengan imbalan sekitar 10% dari harga tour. Travel agent jumlahnya masih sedikit. Tour yang ditawarkan masih “Seat in coach tour” (Sic), masih sedikit yang “private”. Tetapi sekarang……….! Bahkan katanya travel agent ke depan tidak lagi dibutuhkan seiring dengan kecanggihan teknologi, terutama informasi. Di sinilah travel agent ditantang agar senantiasa bisa “exist”, termasuk keberadaan “outlet-outlet” produk wisata yang lain (hotel, restoran, airline, dll). Bagaimana Pemandu Wisata pada waktu itu melakukan “hunting” tamu? Yaitu dengan antara lain: meminjam “passanger list”, mengira-ira wajah mirip “londo”, atau orang “domestik” yang kira-kira potensial ditawari “produk tour”. Pihak Hotel pun melakukan hal yang sama untuk mencari “tamu”. Kegiatan tour “over-land” (misalnya ke Bromo) dulu masih sangat jarang. Sekarang lebih banyak “overland”. Sejak adanya larangan terbang dengan penerbangan domestik. Celakanya, perjalanan darat seperti ini kini dibuat “stress” oleh “macet”, Namun separo lebih telah mengantisipasi melalui “kereta api” Rata-rata lama tinggal wisatawan waktu itu 2 s.d. 3 hari, bahkan bisa lebih. Walau tanpa tour program yang sudah “fixed”. Tidak ada program transite tour seperti sekarang. Produk lebih banyak dibuat menyesuaikan. Masih “tradisional”. Pemasaran: “Gethok – Tular”. Mestinya sekarang harus lebih mumpuni berdaya saing, saling, banding yang kuat dengan SDM dan faktor-faktor pendukung lainnya (integrated marketing). Yogya sebagai daerh tujuan wisata telah dikenal begitu luas, baik oleh wisatawan dalam negeri maupun wisatawan mancanegara. Dengan segala daya tarik potensi atraksi, akses, dan amenitas yang melingkupinya, mestinya telah membuatnya mampu menghadirkan produk-produk wisata unggulan yang kompetitif sesuai dengan kecenderungan pasar yang sedang dan akan berjalan. Kinidan ke depan, “trend” pariwisata cenderung mengarah kepada “non-mass tourism”, dari GIT ke FIT, dan tidak hanya “something to see, to buy, tetapi juga to do”. Kondisi demikian, mengharuskan adanya upaya kreatif, inovatif untuk menghadirkan produk-produk wisata baru yang dapat laku dijual. Sementara produk-produk wisata konvensional harus dimodifikasi. Dari sinilah diversifikasi boleh muncul. Pariwisata membutuhkan kesertaan semua pihak untuk mengolah keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Diperlukan upaya tekun mengolah diri oleh semua pihak untuk senantiasa dapat mengamalkan Sapta Pesona Pariwisata, yang berjalan paralel atas pemerolehan manfaat dalam bingkai pemberdayaan masyarakat.