Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Hampir 400 orang per 100,000 populasi diatas usia 45 tahun terserang stroke untuk
pertama kali di Amerika Serikat, Eropa dan Australia. Stroke merupakan disabilitas yang
sering didapatkan pada populasi dewasa dan membutuhkan beaya perawatan kesehatan
yang makin meningkatDobkin BH 2005. Di Surabaya, di Bangsal Saraf RSU Dr Soetomo,
penderita stroke masih merupakan peringkat pertama, meskipun di RS Dr Soetomo telah
tersedia Unit Stroke dengan kapasitas 16 TT dan juga adanya beberapa penderita stroke
yang dirawat di Graha Amerta.
Santoso B, 2004,menyatakan walaupun stroke adalah penyakit penyebab kematian
tersering nomor tiga setelah penyakit jantung dan kanker, namun stroke sebagai penyebab
kecacatan adalah penyakit yang tidak tertandingiSantoso B,2004.
Dalam penatalaksanaan rehabilitasi penderita stroke pada saat ini, pada umumnya masih
‘dipusatkan’ pada rehabilitasi fisik penderita, dan penanganan untuk gangguan
kognisinya belum sepenuhnya dikerjakan.
Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai gangguan kognisi pada penderita stroke,
dengan harapan untuk mengenal gangguan kognisi apa saja yang dapat diderita penderita
dan selanjutnya dapat dilaksanakan rehabilitasi kognitif – cognitive rehabilitation – pada
penderita, sehingga tercapai Quality of Life (QoL) seoptimal mungkin.

PENGERTIAN

Kognisi
Batasan mengenai kognisi sering kabur dan membingungkan.Dorland’s Illustrated
Medical Dictionary(1974) menyatakan kognisi meliputi semua aspek dari menerima-
perceiving, berfikir-thinking, dan mengingat – remembering.Sedangkan The American
Illustrated Medical Dictionary(1974) menekankan proses untuk mengerti-understanding
dan memberi alasan. Dan the New Webster’s Dictionary(1975) memberi batasan kogisi
sebagai: “coming to know or knowing knowledge” . Pada glosari buku ajar the
Comprehensive Texkbook of Psychiatri (1975) mengatakan bahwa kognisi adalah suatu
proses mental dan menjadi sadar, yang merupakan salah satu fungsi ego, yang terkait erat
dengan kebijaksanaanBenton F,1994.
Frank Benton,1994,dalam bukunya The Neurology of Thinking,memberikan batasan
sebagai berikut:’cognition is the process by which information is manipulated in the
brainBenton F,1994
David B. Arciniegas dan Thomas P.Beresford, dalam bukunya Neuropsychiatry, An
introductory approach, 2001, memberikan batasan kognisi adalah semua mental proses
yang terkait dengan berfikir. Lebih spesifik lagi kognisi adalah suatu proses esensial
dimana sesuatu obyek dapat diketahui, seperti persepsi, atensi, memori, pengenalan,
berbahasa, imajinasi, pemberian alasan –reasoning, perencanaan, dan judgment.

1
Kognisi adalah suatu proses yang memungkinkan masukan sensorik, mengingat kejadian
dan prosedur, membuat generalisasi, analogi, dan menerangkan, dan memungkinkan
untuk berkomunikasiArciniegasDB& Beresford TP,2001.
Arciniegas DB dan Beresford TP, 2001 membagi Kognisi ini menjadi :
1. Kognisi Dasar – Basic Cognition
2. Kognisi Komplek – Complex Cognition

Stroke
Batasan Stroke menurut WHO,1989:
Stroke ‘rapidly developing clinical sign of focal or global disturbance of cerebral
function with symptoms lasting 24 hours or longer leading to death with no apparent
cause other than vascular origin,

Rehabilitasi penderita Stroke

Proses rehabilitasi penderita Stroke, dengan sendirinya harus menyangkut proses


rehabilitasi pada umumnya, dan menurut Barnes MP, 2003, rehabiliatasi adalah suatu
proses pembelajaran – education- dari penderita yang mengalami disabilitas dengan
tuntunan yang tepat yang membantu individu untuk cope dengan keluarga, teman,
pekerjaan dan kesenangannya secara semandiri mungkinBarnes mp,2003.
Selanjutnya Barnes MP menyebutkan proses rehabilitasi meliputi:
1. Suatu proses pembelajaran
2. Perhatian dipusatkan pada individu yang mengalami disabilitas dalam suatu program
yang telah dilaksanakan
3. Peran kunci yang terkait adalah keluarga, teman, dan kolega
4. Suatu proses yang memperlukan tujuan yang jelas dan terukur
5. Suatu proses multidisiplin
6. Suatu proses yang berdasarkan konsep disabilitas (aktivitas) dan handicap (patisipasi)

Santoso B, 2004 menyatakan sasaran program rehabilitasi medik pada stroke sebagai
berikut:
1. Mencegah, mengenal dan menangani kondisi kondisi medik penyerta stroke,
termasuk mencegah serangan ulang stroke, memperbaiki hidrasi dan nutrisi
2. Memaksimalkan kemandirian fungsional melalui beberapa program latihan
3. Memfasilitasi terjadinya adaptasi kehidupan psikologis dan sosial penderita dan
keluarga
4. Mendorong re-intertgrasi dalam kehidupan di masyarakt dan tempat kerja
5. Memperbaiki kualitas hidup (QoL) penderita

Selanjutnya Santoso B,2004, berpesan: “Program Rehabilitasi Medik aktif dapat dimulai
apabila keadaan penderita stabil, tidak ada komplikasi dan tidak ada kondisi medis yang
membahayakan jiwa penderita (life-threathening) “

2
Rehabilitasi Kognitif
Adalah terapi yang dirancang untuk meningkatkan kemapuan funsuinal dengan
memperbaiki kapasitas individu untuk memproses dan meng-interpretasikan informasi
yang diterima . Domain tradisional dari rehabilitasi kognitif adalah atensi, memori, gnosis
( persepsi atau recognization), praksis, memberi alasan (reasoning), dan kontrol
eksekutif .
Pendekatan rehabilitasi kognitif sama dengan pendekatan rehabilitasi lainnya, ialah
restoratif ( restorative) dan kompensatori (compesatory). Terapi restoratif kognitif
berdasarkan prinsip bahwa “latihan” berulang pada sirkit yang terkait dengan fungsi
kognitif akan membuat ketrampilan baru yang kemudian akan memperbaiki gangguan
yang disebabkan karena cidera.
Terapi restoratif kognitif diperkirakan jaringan saraf yang tidak mengalami kerusakan
akan mengadakan reorganisasi (neuroplasticity) untuk menggantikan fungsi jaringan
yang rusak.
Tujuan rehabilitasi kognitif menurut Brauwer dkk adalah untuk memperbaiki fungsi
kognitif yang mengalami gangguan akibat kerusakan otakBrauwer dkk, 2002.
Sedangkan terapi kompesatori kognitif (compensatory cognitive therapy) menempatkan
kembali mekanisme yang dahulu diperlukan untuk kemapuan tertentu, dengan
mensubtitusi jaras funsional atau menggunakan teknik adapatasi, atau peralatan, metoda
alternatif untuk memperoleh tujuan yang diinginkanAbrams GM,2003
Pada saat ini kebanyakan rehabilitasi pada penderita stroke ditujukan pada rehabilitasi
fisiknya, hanya beberapa aspek kognitif saja yang ditangani, seperti gangguan fungsi
berbahasanya.

3
BAB II
PENGENALAN DASAR GANGGUAN KOGNITIF

Pengenalan Dasar Gangguan Kognisi

Stroke dapat menimbulkan berbagai gejala dapat menimbulkan berbagai macam gejala,
mulai dari yang berat dan nyata, sampai dengan yang ringan dan samar.
Hal ini terutama berlaku kalau stroke menimbulkan gejala fungsi luhur, seperti gangguan
berbahasa, memori, visuo-spatial, kognisi dan emosi. Gejala gejala ini juga disebut
sebagai gangguan perilaku –behavioral disorder—ini dapat berwujud sebagai berbagai
macam sindroma yang sering membingungkan keluarga penderita dan tidak jarang
membuat dokter yang merawatnya putus asa; atau kadang berupa afasia jargon dengan
kekacauan bicara, sehingga penderita disangka mengidap gangguan kejiwaan; atau gejala
hemisferium kanan yang menyebabkan penderita berubah perilaku dan mendapat
pengobatan tanpa merinci gejala yang ada sehingga gejala bertambah berat; atau timbul
sindroma amnestik yang samar-samar dan tidak tampak secara obyektif; atau dapat pula
timbul gejala fungsi eksekutif dan yang payah bila timbul demensia vaskular.
Masalah tersebut menyesatkan diagnosis dan akibatnya penangannya, terutama dibidang
rehabilitasinya dan dengan sendirinya akan merugikan penderita; hal ini semestinya tidak
terjadi bilamana pemeriksaan dan evaluasi dilakukan lebih cermatKusumoputro S,1989
Kognisi Dasar – Basic Cognition

Elemen dasar kognisi termasuk arousal, attention, language, memory, praxis dan
recognitionArcienegas DB&Beresford TP,2001 dan hal ini serupa yang dikemukakan oleh D Frank
Benson, 1994, yang menyebutkan sebagai sebagai basic mental control, yang terdiri dari
alertness, attention, dan mental tone; akan tetapi tidak memasukkan bahasa, memori,
praksis dan pengenalan
Arousal, atau tingkat kesadaran, merupakan aktivitas dari formasio reticularis , yang
terletak dibatang otak dan komponen thalamus dan lesi pada daerah ini akan
menyebabkan gangguan kesadaran
Attention – atensi kemampuan untuk memfokuskan aktivitas kesadaran pada rangsangan
atau melakukan tugas. Attensi diperlukan untuk fungsi fungsi lain seperti konversasi,
membaca, melihat TV, atau merangkai fikiran. Gangguan atensi dapat berupa hilangnya
atensi selektif – selective attention atau phasic attention, atensi yang dipertahankan –
sustained attention., atau keduanya.
Atensi selektif merupakan fungsi dasar yang lebih penting dari atensi yang
dipertahankan. Atensi selektif ini adalah suatu proses dimana seseorang dapat memilah
milah target stimulus dimana harus mendapat perhatian..Secara klinis, fungsi ini
diperlihatkan dengan kemampuan untuk memusatkan perhatian pada stimulus yang
bermakna dan relevan dilingkungan orang tersebut dan menyingkirkan stimulus yang
tidak relevan. Atensi selektif ini tergantung dari tingkat kesadaran otak , yang mendapat
masukan dari formasio retikularis, akan tetapi juga membutuhkan fungsi thalamus,
hipokampus, dan lobus prefrontalis yang baik, yang menyaring rangsangan informasi
sensorik dan kognitif dan relevan dengan kebutuhan emosional, motivasional dan
kepentingannya. Disamping itu , atensi seletif ini melibatkan pula jaringan-network-yang

4
komplek yang terdiri dari formasio retikularis, hipokampus, lobus frontalis dan juga
lobus parietalis kanan untuk menyaring dan memusatkan perhatian, dan kemudian
menagkap informasi tersebut dan memberikan respons yang sesuai..
Atensi yang dipertahankan ( atau konsentrasi) tergantung pada atensi yang
dipertahankan , begitu kita memusatkan perhatian pada suatu stimulus, pemusatan
perhatian ini akan di dipertahankan pada kurun waktu tertentu. Dan fungsi ini tidak hanya
tergantung dari konsentrasi saja akan tetapi juga harus bebas dari pengalihan perhatian.
Secara klinis, atensi yang dipertahankan ini dapat diketahui dengan kemampuannya
untuk mempertahankan atau memusatkan perhatian, misalnya dengan Trail Making Test.
Meskipun atensi yang dipertahankan ini fungsi kognitif dasar, akan tetapi sangat
tergantung dengan interaksi antara formasio retikularis, struktur sub-korteks, struktur
medial temporal, lobus frontalis dan lobus parietalis kanan.
Kerusakan pada setiap tempat dari net-work ini dapat menyebabkan mengganggu atensi
yang dipertahankan dan menyebabkan gangguan fungsional, baik pengurangan
konsentrasi atau mudah sekali mengalihkan perhatian.
Jenis dan derajat gangguan atensi bervariasi tergantung dari lokasinya dan derajat
gangguan yang menyebabkannya, gangguan ini pada umumnya disebabkan karena
masalah neurologik dan masalah medik lainnya
Berbahasa terjadi bila timbul komunikasi simbolik ( verbal, tertulis atau bahasa tubuh)
dan gangguan berbahasa ini sering dijumpai pada penderita stroke.
Memori adalah suatu proses mental yang memungkinkan seseorang untuk menyimpan
pengalaman dan persepsinya dan kemudian menceriterakan kembali selang beberapa
waktu.
Praxis adalah kemampuan untuk meng-intergrasikan comprehension dan execution dari
sesuatu tugas. Dengan sendirinya apraksia ( bila ringan disebut dispraksia ) adalah
gangguan untuk melaksanakan ketrampilan yang bertujuan,yang disebabkan oleh karena
sesuatu sebab, meskipun fungsi motorik, sensorik, komprehensinya baik. Secara klinik
apraksia merupakan kegagalan untuk mengintergrasikan dan melaksanakan tugas spesifik
yang diperintahkan.
Praksis merupakan fungsi dari hemisfere dominan
Gnosis, berarti pengetahuan, dan istilah agnosia yang dikemukan oleh Freud pada tahun
1891, pada monograf awalnya mengenai afasia, yang berarti tidak mempunyai
pengetahuan
Agnosia adalah gangguan pengenalan, dimana seseorang kehilangan kemampuan untuk
menerima, melakukan intergrasi dan memberi arti terhadap stimulus sensorik yang
diterimanya.
Sesudah sepintas kita mengenal kognisi dasar pendekatan selanjutnya adalah mengenal
apa yang dimaksud dengan kognisi komplek, yang fungsinya sangat tergantung dari
keutuhan kognisi dasar.

Kognisi Komplek – Complex Cognition

Kognisi komplek ini dapat dibagi menjadi tiga ranah, fungsi eksekutif, “intelegensi
sosial”, dan motivasi.
Fungsi eksekutif adalah kumpulan kemampuan yang mencakup katagorisasi dan
abstraksi, pencarian memori secara sistematik dan pemanggilan kembali informasi,

5
informasi, memecahkan permasalahan, mengatur diri sendiri, bebas dari pengaruh
eksternal, menjaga kelancaran pergeseran antara informasi yang masuk atau mengatur
perilaku, penggunanaan bahasa untuk memandu perilaku, dan menciptakan perilaku
motorik.
Fungsi fungsi ini dan hubungannya dengan fungsi kognitif dasar seperti mempelajari
bahasa baru, dan ketrampilan visuospatial, menyusun suatu fungsi yang kita kenal
sebagai “intelegensi”
Gangguan fungsi kognitif misalnya dialami oleh penderita dementia ( misalnya pada
demensia frontotemporal dan demensia Alzheimer yang lanjut), stroke, cidera kepala dan
skizofrenia
Sedangkan ranah kedua dari kognisi komplek ini, intelengensi sosial, adalah kumpulan
kemampuan yang terkait dengan pengetahuan dan perilaku sosial, termasuk kesadaran
sosial, menahan amarah atau agresivitas, nafsu seksual dan lapar, mengupayakan perilaku
yang cantik dan mengembangkan rasa empati kepada individu lainnya.Kemampuan ini
menyebabkan seseorang akan dapat bersosialisasi,bermasyarakat dengan baik dan benar.
Sedangkan motivasi, ranah ketiga dari kognisi komplek adalah kemampuan untuk
mengintergrasikan fungsi eksekutif dan intelegensi sosial dengan emosi, dan hasilnya
untuk mengembangkan dan memberi arahan pada perilaku.
Sirkit neuronal dari komplek kognisi ini rumit, fungsi eksekutif dikelola oleh sirkit
prefrontal dorsolateral, intelegensi sosial diatur oleh sirkit lateral orbitofrontal, dan
motivasi dan kesadaran emosi merupakan fungsi dari sirkit anterior cingulate.
Struktur Lateral Serebral ( Spesialisasi Hemisfere)

Kematangan otak – Brain Maturation – ini terjadi melalui suatu perkembangan otak
secara ontogenetik sewaktu berumur muda. Proses perkembangan ini disebut
“lateralisasi” yang berarti bahwa dalam proses perkembangan terjadi pergeseran fungsi.
Hemisfere kiri akan menjadi pusat berbahasa –language—dan memori verbal, hingga
disebut sebagai hemisfere dominan.Sedangkan hemisfere kanan akan menjadi pusat bagi
fungsi visuospatial dan visuomotor, serta memori visual.
Dengan demikian terjadilah suatu – hemispheric specialization-- yang artinya hemisfere
kiri dan hemisfere kanan pada manusia mempunyai fungsi berbeda dan otak menjadi –
asimetri—dalam fungsi

Tabel 1. Perbedaan antara Hemisfere Kiri dan Kanan Prins RII D,2004
Hemisfere Kiri Hemisfere Kanan

Perbedaan Anatomis

Lebih banyak subs.grisea Lebih banyak subs.grisea


Lebih banyak hubungan interdaerah Lebih banyak hubungan an-
tar daerah
Daerah temporal lebih besar Daerah prefrontal lebih besar

Perbedaan Pengolahan

Pengkodifikasian terarah Pengkodifikasian terpencar

6
Perhatian selektif langsung Perhatian terpencar
Pengolahan serial (berurutan) Pengolahan paralel (bersama)
Lebih analitis Lebih holistik
Memperhatikan detil Lebih sintesis

Perbedaan Fungsional

Tugas berbahasa Tugas ruang visual


Praksis (pemograman pola Koordinasi program gerak
gerakan berurutan) serentak

Tabel 2. Perbedaan Hemisfere Kiri dan KananDePorter B, 1996,Kusumoputro S et al,1989

Belahan Otak Kiri Belahan Otak Kanan

Pola Berfikir

Analitis Intuitif
Linear Holistik
Bertahap Garis besar
Menyelesaikan masalah
sekaligus

Kemampuan

Verbal Kewaspadaan
Berbicara dan berbahasa Mengenal diri dan orang lain
Mengucapkan kata dan kalimat Mengenal situasi dan kondisi
Mengerti pembicaraan setempat
Menyebutkan nama benda dan orang Mengenal kontak mata
Mengulang kata dan kalimat Mampu memberi dan mene-
Membaca rima
Menulis Mengendalikan emosi
Berhitung Menghayati kesenian dan
keindahan
Memahami kiasan dan ibarat
Berkhayal dan berspekulasi
Bergaya bahasa (pragmatik)
 lagu kalimat, penekanan,
isyarat .

Belahan otak kiri bersifat sempit, tajam, teratur dan langkah demi langkah, sedangkan
belahan otak kanan bersifat luas, garis besar, jauh kedepan dan sekaligus. Kedua belahan

7
otak ini saling bekerja sama, saling menompang dan saling berkonsultasi, namun
demikian belahan yang satu lebih berpengaruh dalam melakukan tugas tertentu

GANGGUAN KOGNISI PADA STROKE

Stroke Belahan Otak Kiri(SBOKi) dan Stroke Belahan Otak Kanan(SBOKa)

Fungsi belahan otak kiri dan belahan otak kanan berbeda, sehingga bila terkena serangan
stroke terdapat perbedaan yang signifikan dalam kemampuan kognitifnya. Perbedaan ini
berpengaruh besar terhadap pengertian dan proses belajar penderita terhadap program
rehabilitasi medik yang diberikanSantoso B, 2004.
Bagan sindroma BOKi dan BOKa dapat dilihat pada bagan dibawah ini

Bagan 1. Syndroma of the Left and theRight Hemisfere

Left Hemisfere Right Hemisfere

Aphasia Attentional and emotional disturbance


Apraxia Neglect
Alexia Motor impersistence
Agraphia Anosognosia
Gerstmann Syndrome Emotional flatness
Right-left confusion Visuospatial problems:
Acalculia Constructional apraxia
Finger agnosia Dressing apraxia
Agraphia Prosopagnosia
Amusia

SBOKa sering menunjukkan gangguan persepsual visuo-motor, gangguan memori visual


dan left-sided neglect. Akan tetapi ketrampilan verbalnya masih tetap baik, sehingga
adanya gangguan perceptual visuo-motor tidak segera nampak. Penderita menunjukkan
gejala gejala impulsif dan didalam melakukan kegiatan sehari harinya secara tidak
terkoordinasi dengan baik dan dia juga kehilangan insight terhadap masalah-nya,
sehingga bisa membahayakan dirinya sendiri. Penderita tidak bisa belajar dari kesalahan
yang diperbuat. Gangguan sensibilitas baik superficial maupun dalam pada SBOKa juga
lebih sering didapat dari SBOKi. Didalam hal ini edukasi kepada keluarga merupakan
sesuatu hal yang penting diberikan demi keselamatan penderita
Sedangkan pada SBOKi masalah utamanya adalah didalam hal berkomunikasi
/merupakan sesuatu hal yang penting diberikan demi keselamatan penderita
Sedangkan pada SBOKi masalah utamanya adalah didalam hal berkomunikasi
/berbahasa.
Gangguan berbahasa –language disorders—biasanya disebut afasia, sering gangguan
berbahasa akibat SBOKi ini dinamakan gangguan komunikasi lingusistik, sedangkan
gangguan komunikasi pragmatik yang lebih menekankan pada kesukaran menggunakan
bahasa menurut situasi dan kondisi letak lesinya dikaitkan dengan BOKa.Kusumoputra S,1992 \

8
Stroke dengan Sindroma Belahan Otak Kiri

Sindroma Aphasia

Afasia adalah kumpulan gangguan berbahasa yang terkait dengan lesi neuroanatomi
spesifik Arcienegas DB & Beresford TP 2001. Istilah “afasia” untuk menyatakan gangguan berbahasa
akibat kelainan otak pertama kali dikemukakan oleh Empericus, 200 tahun SM. Namun
istilah ini tadinya digunakan dalam arti filsafah dan bukan dalam arti patologik. Sebagai
istilah medik, afasia mulai dipakai oleh Trousseau pada tahun 1864Eldridge,1968.
Beberapa tipe afasia yang sering dijumpai pada penderita stroke adalah:
 Afasia Broca – bicara telegrafik atau mutisme (non-fluent), pengertian auditorik
positif (intact comprehension), penamaan ( +/-) , pengulangan (-) , menulis nega-
tif, gangguan membaca ( +/-)
Lesi daerah operculum frontalis lobus dominan; biasanya disertai hemiparesa ka-
nan.
Bilamana afasia Broca ini terjadai pasca stroke yang hanya pada korteks,
prognosanya untuk kelancaran berbahasa lebih baik bila dibandingkan dengan lesi
yang juga terjadi pada sebelah dalam ( misalnya basal ganglia atau capsula
interna)
 Afasia Wernicke – fluen tetapi dengan kesalahan, kadang dengan parafasia,
penamaan (-) , pengertian auditorik( -) , pengulangan (-), membaca dan menulis
terganggu
Patologi : postero-superior lobus temporalis / girus temporalis superior; kadang
terkait dengan quandranopsia superior
 Afasia Konduksi – fluen tetapi dengan kesalahan, penamaan (-/+), kadang akibat
parafasia, pengertian auditorik (+), pengulangan (-), membaca (+), meskipun
membaca dengan suara keras sering bermasalah, menulis terganggu, kadang (=)
Kelaianan pada lobus parietalis antero-inferior atau girus supramarginal atau
fasikulus arcuatus, dan dapat terkait dengan hilangnya sensorik kortikal, paresis
dan gangguan yojadana penglihatan
 Afasia Global – semua modalitas terganggu, bicara spontan telegrafik atau
mutisme, penamaan (-), pengertian auditorik (-), pengulangan (-), membaca (-)
dan menulis (-)
Laesi pada hemisfere dominan, terutama arteria serebri media; biasanya disertai
hemiplegia atau hemiparesa kontralateral.
 Afasia Transkortikal – gejala utama untuk membedakan afasia ini adalah
kemampuan untuk mengulang bahasa yang diujarkan normal malahan suprior
dibandingkan dengan modalitas bahasa lainnya. Istilah transkortikal afasia
digunakan untuk menunjukkan kemampuan mengulang yang baik, meskipun
bicara spontannya buruk,
a) Afasia Trancortical Motorik – bicara spontan nonfluen, akan tetapi agak
berbeda dengan afasia Broca. Pada ATM curah verbalnya disatris, terbata
bata, mengulang –ulang, bahkan gagap. Terdapat kesukaran untuk
memulai sebuah konversasi; pengertian auditorik relatif normal,

9
pengulangan baik sampai normal, penamaan kurang, membaca kurang,
dan menspontan adalah menulis kurang
Lesi: didaerah suplementary motor area atau yang ada hubungannya
jaringan ke daerah operculum frontalis
b) Afasia Transkortikal Sensorik – seperti afasia Wernicke akan tetapi
pengulangan baik dan adanya ekholalia . Bicara spontan fluen dengan
parafasia neologistik dan semantik, seringkali tampak pembicaraan yang
kosong. Juga sering terdapat sirkumlokusi. Adanya sirkumlokusi ini perlu
dibedakan dari penderita demensia yang juga menunjukkan gejala
tersebut. Perbedaannya terletak pada adanya parafasia pada ATS,
sedangkan pada penderita demensia tidak terdapat parafasia. Yang paling
menonjol adalah ekholalia, pengertian auditorik kurang sekali,
kemampuan pengulangan yang baik pada ATS ini yang membedakannya
dari sindroma Wernicke; penamaan kurang, membaca dan menulis kurang
Lesi didaerah girus angularis
c) Afasia Transkortikal Campuran – seperti afasia global tetapi pengulangan
tetap baik
Lesi di border zone daerah frontal dan parietal
d) Anomia –masalah utam adalah word – finding diffuculties
Laesi tidak konsisten, sering terjadi pada girus angularis hemisfere yang
dominan dan dapat terkait dengan aleksia atau agrafia
e) Afasia subkortikal – biasanya dimulai dengan periode mutism, kemudian
wicara yang abnormal (hipofonia dan kesukaran artikulasi), akhirnya
berbagai gambaran afasia , dengan gangguan beberapa modalitas ber-
bahasa sementara itu pengulangan masih mungkin
Patologi: variabel, tetapi tetap didaerah subkortikal, prognosa untuk
penyembuhan baik bila lesi subkortikal secara keseluruhan, dan lebih jelek
bila lebih ektensif pada daerah kortikal ( daerah kortikal juga terlibat).
f) Amelodia – “ motor aprosodia” atau datar, wicara monoton, dengan tidak
adanya kemampuan untuk menghasilkan melodi, irama, bilamana
mencaci, jarang menggunakan bahasa tubuh (gesture), dan pengurangan
gerakan otot wajah; meskipun aprosodia semacam ini berbeda atau hanya
menunjukkan kerusakan elemen prosodia bahasa pada hemisfere non
dominan
Laesi daerah non-dominan operkulum frontalis non-dominan; dapat
disertai dengan depresi ; penderita yang kelihatan depresi semacam ini
perlu pemeriksaan neuroimajing dan kemungkinan pada daerah ini
dijumpai “silent” infraction.
g) Verbal Dysdecorum – berkurangnya kemampuan untuk memonitor dan
mengontrol isi ujaran; sering terjadi konfabulasi; sering tampak seolah
sosialisasi tidak tepat.
Lesi patologis konveksitas frontal lateral non-dominan; sering berobat ke
dokter kedokteran jiwa dengan keluhan tidak mampu berteman ; sering
sulit diobati, tetapi penyebab dasarnya harus dicari untuk mencegah hal
hal yang kurang baik

10
Kurang lebih dari separoh dari stroke hemisfere kiri dengan hemiparesa kanan disertai
oleh sindroma afasia. Namun tidak jarang sindroma afasia merupakan manifestasi
tunggal pada stroke. Afasia pada stroke dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan
letak lesi (anterior atau posterior) serta luas lesi seperti pada afasia global. Hanya
beberapa bentuk gangguan berbahasa ini letaknya di belahan otak kanan, seperti pada:
amelodia dan verbal dysdecorum.Selain itu sindroma pada afasia sering dipakai untuk
menentukan terapi dan rehabilitasinya

Sindroma ApraksiaKirshner HS,1986


Apraksia adalah hilangnya kemampuan untuk melakukan aktifitas terampil motorik yang
bertujuan meskipun tidak terdapat gangguan fungsi motorik sebagai akibat kerusakan
otak.
Tipe apraksia menurut pembagian tradisional dari Liepmann:
1. Ideomotor apraxia
2. Ideational apraxia
3. Limb-kinetic apraxia

Ideomotor apraxia merupakan apraksia yang sering dijumpai dan paling mudah dime-
ngerti . Liepmann mengatakan pada penderita apraksia ideomotor penderita tidak dapat
melaksanakan tugas yang diberikan . Penderita gagal untuk melakukan gerakan atau
melaksanakannya dengan kaku, dan kurang trampil, dan sering menggunakan bagian
tubuhnya sebagai suatu obyek, Misalnya, mengepalkan tangannya untuk berfungsi
sebagai palu atau menyisi rambutnya dengan jari tangannya.
Lesi yang menyebabkan apraksia ini antara lain lesi pada area Wernicke, fasikulus
arcuatus , lesi pada daerah premotor kiri dan didaerah korpus kalosum

Ideational apraxia, bentuk apraksia ini lebih rumit dari apraksia ideomotor dan ada tiga
batasan mengenai apraksia ideasional ini.
 Menurut Liepman dan Pick, apraksia ideasional adalah ketidak mampuan untuk
melakukan gerakan sequential motorik, meskipun setiap langkah yang terpisah
dapat dilakukannya secara baik. Penderita demensia sering kesulitan melakuak
gerakan sequensial
 Menurut DeRenzi dkk, apraksia ideasional adalah kesulitan untuk memanipulasi
obyek aktual
Kesulitan pengenalan, seperti pada agnosia, mempengaruhi performansnya
dengan obyek aktual; kelainan ini akibat penyakit korteks difus atau lesi serebral
bilateral
 Sedangkan Heilmann, menerangkan tiga kasusnya yang gagal untuk melaksana-
kan jawaban motorik yang diperintahkan, meskipun secara verbal dapat
diceriterakan, dapat meniru gerakan pemeriksa, memanipulasi obyek secara baik.
Dan Heilman mengatakan defisit ini akibat diskoneksi antara area Wernicke dan
pusat visuokinestik motor engran di parietal kiri.

Limb-Kinetic Apraxia,kesukaran untuk menggunakan salah satu anngota badanya ,


biasanya extrimitas atasnya, meskipun penderita tidak mengalami kelumpuhan. Kesulitan

11
ini tampak pada waktu melakukan pantomin atau pada waktu melakukan manipulasi
obyek secara actual. Kebanyakan penulis keadaan ini menggambarkan gangguan pada
disfungsi motorik traktus piramidalis meskipun nyata tidak ada kelemahan. Misalnya
terjadi pada waktu penyembuhan defisit motorik pasca stroke.

Stroke dengan Sindroma Otak Belahan Kanan

Stroke dapat menyerang arteria pada hemisfere kanan sehingga menimbulkan gejala
gejala SOBKa , antara lain yang nyata hemiparesis, hemipestesia atau hemianopsia,
semuanya sebelah kiri.
Pada kepustakaan lama, seorang dengan hemiparesa kiri selalu diberi “cap” sebagai
seseorang yang sulit “diatur”,”maunya sendiri”. “berperilaku yang impulsif” dsb; tetapi
para pakar belum dapat menjelaskan secara ini mengapa hal tersebut terjadi.
Dimasa kini, dengan pengamatan dan pengalaman para pakar pada ”split brain”, maka
tabir rahasia hemisfere kanan ini mulai terungkap – walaupun baru sedikit Hemisfere
kanansering disebut “minor” atau “non-dominan” hemisfere, karena tidak melayani
fungsi berbahasa pada individu kinan dan juga kebanyakan pada individu kidal. Dan
kenyataannya , hemisfere minor ini, mempunyai berbagai fungsi yang penting Kirshner
HS,1986
.Lesi pada BOKa menyebabkan terjadinya sindroma behavioral yang penting yang
dapat diketahui dengan pemeriksaan ditempat praktek. Perhatian pada fungsi BOKa pada
pemeriksaan status mental sama pentingnya dengan pemeriksaan fungsi berbahasa dalam
menentukan lokalisasi lesi di otak.Kenyataannya BOKa yang dahulu dianggap sebagai
hemisfere “kuno” dan “silent” ini ternyata mempunyai peranan cukup besar dalam
kemampuan persepsi mulai dari tingkatan rendah sampai tingkatan luhur.
Hemisfer kanan –BOKa, pada aspek tertentu lebih terorganisasi secara difus dan kurang
rapi dalam pembagian dibandingkan dengan hemisfer kiri. Hal ini menyebabkan adanya
‘perubahan’ perilaku pada penderita SBOKa yang sukar ditelusuri penyebabnya
(perubahan tidak usah berarti sebagai penyimpangan perilaku)
Keterkaitan atara berbagai fungsi yang erat menyebabkan sukar untuk mencari gangguan
fungsi yang mana menyebabkan perubahan perilaku tadi. Namun demikian, pada setiap
penderita dengan gangguan BOKa perlu dicoba untuk merinci gejala gejala yang ada,
supaya penanganannya dapat juga dilakukan secara rinci menurut gejala tersebut. Sampai
saat ini belum ada cara evaluasi –tes pemeriksaan—yang cukup ampuh untuk sindroma
BOKa, meskipun demikian beberapa kepustakaan baru telah ditulis, misalnya tulisan
Reni I.I. Dharmaperwira –Prins yang berjudul Gangguan gangguan Komunikasi
Disfungsi Hemisfere Kanan dan Pemeriksaan Komunikasi Hemisfere Kanan (PKHK),
2004.
Berikut ini akan dibahas berbagai gangguan hemisfer kanan mulai dari tingkatan rendah
(lower order perceptual deficit) sampai yang luhur (higher cognitive impairment).

 Gangguan Visuospatial

a) Hemispatial neglect – pengabaian separuh ruangan sisi kiri, menyebabkan


penderita tidak memahami apa yang terjadi pada sisi tadi dan tidak melakukan
respons terhadap stimulus tersebut. Hal ini dapat diamati dari perbuatannya atau
dari hasil gambar yang dibuatnya ( gambar sisi kiri tidak lengkap: gambar jam

12
misalnya, angka angkanya berada dikanan), atau bila menggambar sepeda roda
yang berada disebelah kiri tidak tergambar,atau bila penderita diminta membagi
dua garis horizontal , maka pemabgiannya cenderung ke arah kanan
Korelasi anatomik gangguan ini ialah kelainan pada parietal kanan, namun dapat
juga terjadi pada daerah frontal atau subkortikal
Penanganannya lebih diarahkan pada kompensasi ketimbang penyembuhan;
dimana prinsipnya ialah latihan menimbulkan kewaspadaan yang dilakukan
secara berulang ulang.
b) Visual memory deficits—terjadi karena kelainan pada parietal kanan. Defisit
orientasi ruang menimbulkan disorientasi geografi, membaca peta dan mengenal
situasi. Gangguan imajinasi visual—visual imagery—pada sindroma hemisfer
kanan ini sangat penting pada proses berfikir dan mempebgaruhi kemampuan
memori visual. Defisit memori visual ini sering dihubungkan dengan
prosopagnosia atau tidak mampu mengenali wajah. Hal ini tidak jarang
menimbulkan kekecewaan atau sikap menyendiri dari penderita, karena penderita
dianggap oleh orang disekitarnya sebagai seorang yang tidak mau kenal
(sombong) atau dianggap sebagai bingung
c) Defisit visuokonstruksi( Contructional disabilty)—dapat berujud sebagai tidak
mampu mengkopi gambar, menyusun balok, atau menyusun model dengan korek
api. Korelasi anatomi lesi hemisfere kanan terutama bagian posterior. Kelainan
pada hemisfer kiri juga dapat menyebabkan tidak mampu menggambar, hanya
gambarnya berbeda
d) Anosognosia
e) Environmental agnosia
f) Facial recognition dan prosopagnosia
 Defisit membaca dan menulis – kesulitan membaca dan menulis dapat didasarkan
adanya gejala hemineglect atau visuospatial. Jadi tidak mampu baca tulis ini perlu
dirinci lebih lanjut, apakah penyebabnya linguistik ataukah perseptual
 Defisit Afek dan Prosodi – Affective dan Emotion Alteration gangguan ini
berwujud sebagai efek yang datar dan berbicara monoton (aprosody) Sering
disebut sebagai indefference reaction. Penderita tidak dapat mengenali perubahan
pada wajah seseorang yang dalam keadaan emosional seperti marah, sedih,
gembira dsb. Dan juga tidak mampu mengadakan perubahan ekpresi pada
wajahnya sendiri pada berbagai situasi, seperti kalau sedang marah , gembira atau
sedih (altered emosional facial expression). Letak lesi bagian anterior hemisfere
kanan
 Defisit Bahasa – walaupun kemampuan berbahasa berada di hemisfer kiri
(linguistik), tetapi hemisfere kanan mempunyai peranan dalam kemampuan
berbahasa dari aspek para dan ekstralinguistik yang disebut sebagai komunikasi
pragmatik. Gangguan komunikasi pragmatik pada sindroma hemisfere kanan ini
dapat berwujud sebagai gejal seperti berikut:
a) Gangguan komunikasi non verbal – berupa gangguan gangguan pada lagu
kalimat, isyarat, tatap mata dan ekspresi wajah. Penderita dengan gangguan
ini akan bebicara secara monoton, tanpa ada tatapan muka, perubahan wajah
dan gerak gerik tangan.

13
b) Gangguan kemampuan konversasi berupa gangguan inisiatif konversasi,
pemberian peluang –turn taking—dan penggunaan kata. Penderita dengan
sindroma ini sukar memuali suatu pembicaraan, tidak memberi peluang pada
lawanbicaranya dan mewnggunakan terlalu banyak atau terlalu sedikit kata
kata pada waktu berbicara.
c) Gangguan dalam konteks pembicaraan. Penderita menunjukkan kesukaran
dalam mempertahankan suatu konteks pembicaraan, mudah teralih dan
berbicara masalah lain
d) Gangguan penggunaan bahasa, dimana penderita tidak mampu menggunakan
bahasa sesuai kondisi dan situasi. Ia akan menggunakan bahasa anak terhadap
lawan bicaranya yang lebih tua,misalnya ia akan berbicara keras keras pada
situasi rapat formal
Dapat ditarik kesimpulan SBOKi akan menimbulkan gangguan tatabahasa,
sedangkan SBOKa akan menyebabkan gangguan gaya bahasa
 Dressing disturbance-penderita tidak mampu mengenakan pakaian dengan benar;
hal ini dapat disebabkan karena gangguan hemispatial neglect, akan tetapi dapat
pula karena adanya gangguan orientasi dirinya. Lesinya terletak dilobus parietalis.
 Gangguan Kognisi Luhur. Sindroma hemisfere kanan ini menyebabkan pula
gejala kognitif seperti:
a) Kesukaran mengorganisasikan informasi secara efisien dan terarah,
b) Cenderung memberikan jawaban yang impulsif
c) Kesukaran membedakan apa yang perlu dan apa yang tidak perlu
d) Cenderung untuk mengkaitkan peristiwa eksternal dengan dirinya secara
berlebihan
e) Cenderung memberi arti harafiah
f) Kurang peka terhadap komunikasi pragmatik

Stroke pada hemisfer kanan dapat memenimbulkan hemiparesa atau hemiplegia kanan
dan dapat disertai dengan gangguan visuospatila tersebut diatas atau/dan SBOKa lainnya.
Gejala visuospatial sukar dikenali karena tidak nampak. Biasanya dikenali dari tingkah
laku penderita seperti sering tidak mengenali teman atau lingkungannya, sering
membentur benda yang berada disisi kanannya kalau berjalan, pembicaraannya monoton
dan acuh tak acuh dengan penyakitnya
Penderita stroke BOKa ini biasanya tidak tekun berobat, sehingga penyembuhannya
lambat, bersifat impulsif, tidak peduli dan terlalu berani

Stroke dan Gangguan Memori


Gangguan memori atau defisit memori merupakan gangguan fungsi luhur yang paling
luas cakupannya. Mulai dari benign forgetfulness yang terjadi terutama pada mereka
yang berusia lanjut dan masih tergolong wajar, beberapa individu yang mengalami
benign forgetfulness ini dapat menetap, atau mungkin berubah menjadi Mild Cognitive
Impairment (MCI) dan beberapa diantara pada penderita yang mempunyai faktor risiko
stroke akan berubah menjadi Vascular Mild Cognitive Impairment (VMCI).Beberapa
individu yang ,mengalami gangguan cognitive ringan ini akhirnya dapat berubah
menjadi Dementia Alzheimer, Dementia Vascular atau Dementia campuran

14
Stroke dapat menimbulkan gangguan memori (amnesia), baik yang menetap, sepintas
maupun amnesia parsial dan beberapa diantaranya secara progresif lambat akan jatuh
kedalam keadaan Demensia Vaskular (DVa)

Stroke dan Amnesia


Stroke dapat menimbulkan sindroma amnestik, baik yang menetap maupun yang
sepintas, dan sindroma amnesia parsial.
Sindroma Amnestik. Lesi vaskuler biasanya mengenai arteri serebri posterior
bilateral yang melibatkan lobus temporal. Pada fase akut akan terjadi konfuse dan disusul
oleh sindroma amnestik.
Pasien tidak dapat mengingat kejadian atau peristiwa yang baru terjadi beberapa
menit, jam, hari atau bulan yang lalu (defisit memori baru). Tetapi ia tetap ingat peristiwa
masa lalu (memori lama masih utuh) dan juga ia dapat mengingat nomor telpon yang
baru diberikan beberapa detik yang lalu (memori segera masih utuh), walaupun akan
dilupakan lagi. Pada amnesia ini kemampuan untuk belajar hal baru terganggu (new
learning ability). Jadi kemampuan untuk mengadakan konsolidasi terganggu, sehingga
informasi yang diterima tidak dapat masuk dalam memori baru atau lama.
Dampak negatif pasien dengan amnesia ini ialah adanya upaya kompensasi untuk
mengisi “kelupaan” tadi dengan melakukan konfabulasi. Juga karena sering lupa ini
pasien tidak mempunyai kepercayaan diri sepenuhnya lagi. Bahkan dapat menimbulkan
perubahan perilaku yang secara sepintas tidak dapat dipahami sebabnya. Tetapi fungsi
kognitif masih tetap baik. Ia dapat melakukan pekerjaan sebagaimana biasanya, bahkan
dapat menunjukkan kemajuan.
Amnesia Global Sepintas. Amnesia ini termasuk dalam sindroma amnestik
sepintas yang penyebabnya belum diketahui pasti, tetapi sering dikaitkan dengan stroke.
Gejalanya sama seperti sindroma amnestik, hanya perjalanan penyakitnya sepintas antara
1 sampai 24 jam dan terutama terjadi pada orang berusia di atas 50 tahun. Gejala khasnya
ialah tiba-tiba pasien amnesia dapat menjadi bingung dan bertanya berulang-ulang
“dimana saya?”, “sya sedang apa”.
Sindroma Amnesia Parsial. Sindrom ini lebih mengenai amnesia untuk golongan
memori tertentu dan berkaitan dengan kelainan kortikal. Pasien dengan stroke
hemisferium kiri akan mengalami amnesia terutama untuk memori verbal dan stroke pada
hemisferium kanan terdapat defisit memori nonverbal. Jadi sering amnesia jenis ini
terjadi bersamaan dengan gejala amnesia dan agnosia.

VASKULAR COGNITIVE IMPAIRMENT

Bebagai lesi vaskular dapat terkait dengan gangguan kognitif dan istilah vaskular tidak
sinonim dengan iskemik, dalam hal ini vaskular dapat diartikan secara luas dalam
hubungannya dengan abnormalitas pembuluh darah. Berbagai lesi parenkim, seperti
perubahan difus substansia alba atau gliosis, dapat oleh karena vaskular dan vaskular.
Pendapat dari O’Brien JT dkk, 2003, menekankan pentingnya small artery ischemic
vascular disease (SIVD) yang menyatakan ada perbedaan mengenai gangguan kognitif
vaskular bila dibandingkan dengan pendapat terdahulu; oleh karena Multi Infarct
Dementia (MID) lebih jarang ditemukan bila dibandingkan dengan SIVD. Mekanisme

15
primer vascular pada subcortical ischemic vascular disease adalah dari SIVD. Infark
sempurna dan tidak sempurna berasal dari lesi ini.(Lihat Gambar dibawah)

Gambar 1 . Mekanisme patofisiologi pada vascular cognitive impairment


MID = Multi-Infarct Dementia SIVD= Subcortical Ischemic Vascular Disease

O’Brien JT dkk,2003 mengemukakan Vascular Mild Cognitive Impairment (VCI) adalah


semua gangguan kognitif yang ringan sampai yang berat yang disebabkan oleh gangguan
serebrovaskular dan dalam hal ini termasuk vascular cognitive impairment without
dementia dan vascular mild cognitive impairment
Sebelumnya Bowler dan Hachinski pada World Congress Neurology, 2001 dan
Erkinjuntti dan Gauther pada tahun 2002, juga telah mengemukakan konsep mengenai
Vascular Cognitive Impairment bila didapatkan hal hal sebagai berikut: adanya kealainan
vaskular sebagai penyebab, gangguan kognitif pada semua tingkata penurunan kognitif,
tidak perlu dijumpai adanya dementia akan tetapi otak berada dalam keadaan berisiko
(brain at risk)

Vascular Mild Cognitive Impairment (VCMI)

Adalah gangguan kognitif ringan –MCI—yang disebabkan karena gangguan vaskular


dan seperti kita kriteria MCI ditegakkan bila dijumpai hal hal seperti berikut:
 Keluhan memori yang dikeluhkan oleh penderita, keluarga maupun dokter
keluarganya

16
 Aktivitas sehari hari (ADL) masih normal—otonom masih dapat hidup sendiri
 Didapatkan gangguan pada beberapa aktivitas seharian yang komplek
 Fungsi kognitif global normal
 Gangguan memori obyektif atau gangguan pada salah satu fungsi kognitif dan
terbukti dengan skor 1,5-2,0 dibawah umur semestinya
 Clinical Dementia Rating score (CDR score)= 0,5 dan Global Deterioration Scale
(GDS) =3
 Tidak dijumpai dementia menurut kriteria DSM IV, NINCDS

DEMENSIA
Demensia adalah suatu keadaan klinis yang dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit atau kelainan di otak. Penyakit dan kelainan tersebut yang disebut sebagai
dementing disease sudah banyak diuraikan dan dibahas. Tetapi masalah demensianya
masih belum mendapat perhatian, terutama cara deteksi dininya. Belum ada kesepakatan
yang sama dalam hal deteksi ini sehingga sering menyesatkan.
Memang di Indonesia belum ada “phobia of alzheomer’s disease” sehingga cara
deteksi demensia yang disepakati bersama belum mendesak. Tetapi populasi usia lanjut
yang bertambah dan angka kejadian stroke yang meningkat, mungkin suatu ketika hal
deteksi demensia ini perlu.
Ada banyak penyakit yang dapat mendasari terjadinya demensia. Demensia yang
terjadi dapat bersifat progresif dan menetap, tetapi banyak pula demensia yang reversible
dan yang secara potensial dapat pulih (potentially recoverable). Diagnosis diferensial
untuk ini dapat diringkaskan sebagai berikut (Feldman and Cummings, 1981) :
1. Primary dementing illness :
a. Cortical dementias (Alzheimer and Pick)
b. Subcortical dementias (Parkinsonism and Multi Infarct Dementia)

2. Pseudodementias :
Psychiatric disorders
3. Potentially recoverable dementias :
Post-anoksik
Post-traumatik
Post-ensefalitik
Post-excessive electroconvulsive therapy.
4. Reversible dementias :
Berbagai jenis kelainan serebral (tumor, sistemik, obat, toksin, defisiensi, endokrin,
infeksi, vaskuler)

Penetapan Demensia
Demensia adalah suatu keadaan klinis dan hanya dapat didiagnosis secara klinis
pula. Pendekatan pertama pasien yang diduga menderita demensia ialah evaluasi klinis.
Pemeriksaan laboratorium kimiawi, biologi, imajing atau psikologi memang diperlukan,
tetapi tidak dapat menggantikan ekspertis dan pendapat klinis dokter.
Demensia secara primer adalah diagnosis perilaku (behavioral diagnosis) sehingga
evaluasi medis harus mencakup suatu penetapan bagaimana kemampuan pasien dalam

17
kehidupan sehari-hari, riwayat hidup pasien dan pemeriksaan neurologis serta status
fungsi luhur.
Menurut Cummings dan Benson (1983) definisi demensia, adalah : “an acquired
persistent impairment of intellectual function with compromise in at least three of the
following spheres of mental activity : language, memory, visuospatial skills, emotion or
personality, and cognition (abstraction, calculation, judgment, etc).”
Dari kriteria tersebut maka evaluasi fungsi luhur dapat dipakai untuk menetapkan
diagnosis demensia. Bagi para neurologist, penetapan fungsi luhur dapat dilakukan
dengan pemeriksaan Strub-Black, tetapi bagi para dokter bukan neurologist dapat dipakai
Status Mini Fungsi Luhur (modifikasi The Mini-Mental Status oleh Folstein et al, 1975)..
Dasarnya ialah menetapkan fungsi bahasa, memori, visospatial dan kognisi; hanya fungsi
emosi tidak ditetapkan dalam status mini mental tadi.

Stroke dan Demensia

Demensia vascular (DVa) adalah merupakan sesuatu masalah yang komplek dan
kekomplekan pada DVa adalah berkenan dengan aspek epidemiologi, neuropatologi,
neuropsikologi, gambaran klinik dan terapinya.
Beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosa DVa telah dikemukakan antara lain
menurut DSM-IV seperti tertera dibawah ini:
1. penurunan fungsi kognitif multiple termasuk gangguan memori/dayaingat, disertai
sedikitnya terdapat gangguan salah satu fungsi kognitif berikut:aphasia,
apraksia, agnosia serta gangguan dalam melaksanakan pekerjaanya
2. penurunan fungsi kognitif harus berat sehingga mengganggu pekerjaan, atau
hubungan social, sehingga menggambarkan adanya penurunan fungsi yang
sebelumnya masih baik
3. tidak terdapat delirium, meskipun demensia dapat terjadi bersamaan dengan
delirium
4. penyebab demensia dapat terkait dengan keadaan umum, termasuk penyalah
gunaan bahan bahan ( termasuk toksin) atau gabungan factor-faktor tersebut
Stroke dapat menimbulkan demensia vaskuler antara lain yang disebut sebagai “multi-
infarct-dementia” (MID). Gejala-gejala MID yang disebabkan oleh stroke yang bersifat
mikroangiopati ini sering tidak tampak khas. Kelainan terutama terjadi subkortikal.
Berbeda dari demensia kortikal maka MID ini menunjukkan gangguan memori dan
visuospatial yang ringan, tanpa gangguan bahasa dan bukti nyata adanya apraksia.
Gejala-gejala demensia berlangsung secara bertahap, pelan-pelan tetapi makin lama
makin progresif.
Suatu evaluasi untuk MID ini ialah Hachinski Ischemia Score (nilai iskemia
Hachinski). Evaluasi dapat dilakukan secara berkala, seperti terpapar dibawah .
Pemeriksaan dengan HIS lebih praktis, sederhana dan mudah digunakan dan bermanfaat
untuk mengelompokan penyebab demensia menjadi dua kelompok ialah demensia
vaskular dan demesia non vascular
Jumlah skor adalah 18 dengan kesimpulan bila pada pemeriksaan didapatkan skor HIS
lebih besar dari angka 7 maka diduga adalah DVa, sedangkan pada skor HIS dibawah 4
maka kemungkinan penyebabnya adalah proses degeneratif

18
Nilai HIS buka suatu skala linear oleh karena itu nilai 18 bukan berati demensia lebih
berat atau lebih pasti DVa atau sebaliknya . HIS tidak dapat membedakan demensia
vaskuler murni dengan demensia campuran. Namun demikian nilai HIS dibawah 4 mem-
punyai ketepatan untuk demensia Alzheimer pada 87% kasus. Sada beberapa hambatan
pada pemeriksaan HIS, diantaranya adalah untuk mengetahui awal awitan / awitan
penurunan kognitif ; hal ini sering terjadi oleh karena ternyata hanya 50% caregiver yang
mengetahui adanya fungsi kognitif / memori yang menurun secara mendadak, dan 30%
menurun secara insidious dan progresif

Skor Iskemik Hachinski (HIS)

Nomer Gambaran Klinis Skor

1. Onset mendadak 2
2. Perburukan bertahap 1
3. Perjalanan berfluktuasi 2
4. Kebingungan nocturnal 1
5 Kepribadian relatif baik 1
6. Depresi 1
7. Keluhan somatic 1
8. Emosi tidak tetap 1
9. Hypertensi 1
10. Riwayat Stroke 2
11. Bukti hubungan artero- 1
dengan atheroskeloris
12 Keluhan neurologis fokal 2
13. Tanda neurologis fokal 2
Demensia vascular adalah suatu demensia yang disebabkan oleh kerusakan otak akibat
dari gangguan serebrovaskular termasuk mekanisme konvensional atau pendapat yang
baru ( lihat gambar ).
Menurut NINDS- AIREN demensia vascular adalah gangguan fungsi kognitif yang
terjadi minimal sesudah 3 bulan pasca stroke
Tipe gangguan kognitif yang diamati pada penderita dengan DVa menggambarkan
ukuran pembuluh darah yang terlibat, daerah dimana otak terjadi infark / iskemik, luas
kerusakan dan waktu serangan dengan penilaian yang dilakukan .
Bila hemisfere otak terkait maka timbul keluhan dan gejala petunjuk yang dapat
digunakan untuk menentukan daerah mana yang mengalmi kerusakan, seperti pada Tabe
dibawah iniCumming JL et al,2002

Tabel Gangguan Kognitive pd Penderita DVa

19
Pembuluh Darah Sindroma Klinik

Hemisfere Kiri
 Arteria Serebri Anterior Akinetic neoplasma (transient)
Transcortical motor aphasia
Executive dysfunction
Disinhibition
Callosal apraxia
 Arteria Serebri Media Broca’s aphasia
Sympathetic apraxia
Conduction aphasia
Parietal apraxia
Wernicke’s aphasia
Anomic aphasia
Global aphasia
Transcortical sensory aphasia
Gerstmann’s syndrome (agraphia, acalculia,
right-left disorientation, finger agnosia)
Angular gyrus syndroma (Gerstman’s syn-
drome plus alexia,anomia, constructional
disturbance)
 Arteria Serebri Posterior Alexia without agraphia
Hemichromatopia
Homonymous hemianopsia

Hemisfere Kanan
 Arteria Serebri Anterior Callosal apraxia
 Arteria Serebri Media Excecutive aprosodia
Receptive aprosodia
Amusia
Unilateral (left neglect)
Dressing disturbance
Constructional disturbance
 Arteria Serebri Posterior Prosopagnosia
Environmental agnosia
Hemichromatopsia

DIAGNOSA GANGGUAN KOGNITIF PADA STROKE

20
Untuk menegakan diagnosa gangguan kognitif pada gangguan pembuluh darah otak pada
umumnya, dan pada serangan otak pada khususnya , tidak jauh berbeda secara umum
dengan penegakan gangguan kognitif otak lainnya.
Akan tetapi memang ada kekhususan penentuan diagnosa baik untuk tujuan menentukan
lokalisasi lesi, yang kemudian dilanjutkan dengan penanganan rehabilitasi kognitifnya
nantinya.
Dokter umum dapat memakai pemerikan sederhana seperti pemeriksaan MMSE (Mini
Mental State Examination), dan dapat dilengkapi dengan CDT (Clock Draw Test),
pemeriksaan CDT memeriksa area yang tidak secara penuh dievaluasi oleh MMSE,
diantaranya perencanaan dan kemampuan konstruksional
sedang dokter ahli dibidang stroke dapat menggunakan petunjuk pemeriksaan ‘The
Mental Status Examination in Neurology’ menurut Strub & Black

Sebagai suatu contoh penentuan diagnosa neurobehavioral terhadap masalah ini, kami
lampirkan pemeriksan yang dilakukan pada kelainan yang terjadi pada hemisfere kanan

21
Gambar 2. Criterion Test Battery

Pemeriksaan gangguan komunikasi disfungsi hemisfere kanan, dapat dapat digunakan


petunjul dari Reni I.I. Dharmaperwira – Prins ysng telah diterbitkan Djambatan, th 2004.

22
BAB III
TATA LAKSANA GANGGUAN KOGNITIF PADA STROKE

 Pencegahan
Langkah pertama semestinya adalah promosi kesehatan, seperti lazimnya bila
kita mengupayakan supaya masyarakat tidak mengalami masalah kesehatan.
Demikian pula seberlum terjadi gangguan kognitif yang diakibatkan karena
gangguan vascular pembuluh darah otak, penyuluhan oleh tenaga kesehatan
mengenai hal yang terkait dengan kelainan vascular, cara hidup sehat dsb
hendaknya diberikan. Peringatan bahaya rokok terhadap kesehatan yang
terpapang dipapan iklan merupakan salah satu bentuk promosi kesehatan
Prevensi primer kesehatan ditujukan pada masyarakat yang mempunyai risiko
terhadapan gangguan pembuluh darah; sedangkan prevensi sekunder
diperuntukan bagi mereka yang pernah mengalami gangguan pembuluh darah,
misalnya pernah mengalami serangan jatung, stroke dsb.

 Terapi non farmakologis

Peranan rehabilitasi medis


Baik didalam gangguan kognitif yang ringan, misalnya pada mild vascular
cognitive impairment sampai dengan pada DVa, rehabilitasi medik semestinya
dapat mengambil bagian dalam suatu tim multidisiplin didalam menangani per-
masalahan gangguan vascular pembuluh darah otak pada umumnya dan stroke
pada khususnya.
Pada saat ini, setidaknya menurut persepsi penyusun makalah ini, belum dapat di-
laksanakan secara optimal, hal tersebut antara lain oleh karena keterbarasan SDM,
kurang ‘mesranya’ hubungan inter dan antar disiplin yang menatalaksana
penderita.

 Terapi farmakologis
Penggunanaan obat-obatan untuk stroke dengan sendirinya tergantung dari jenis
stroke yang kita hadapi dan dengan maksud apa terapi farmakologis ini
digunakan,sepintas akan kita paparkan penggunaan obat pada gangguan kognitif
pada stroke dan masalah yang terkaitCumming JL,2003
Tabel . Terapi pharmakologik pada gangguan kognitif stroke

Stroke prevention
 Coumadin (only disorders with risk of recurrent emboli such as atrial fibrillation)
 Platelet anti-aggregants:
- Aspirin (50-325 mg/day)
- Aspirin (30-325 mg/day) plus dipyridamole (400 mg) extended-release
tablets
- Clapidogrel (75 mg/day)
- Ticlopidine (500 mg/day

Psychotropic agent

23
 Psychostimulants
 Antidepressants
 Antipsychotics
 Mood-stabilizing agents
 Anxiolytics
 Sedative-hypnotics

Nootrophic
 Piracetam (Nootrophyl)
 CDP-Choline ( Nicholin)

Cholinesterase inhibitors
 Donepenzil
 Rivastigmine
 Dll

Management of stroke-related physical disturbance


 Anti-spascity agents
 Anti-incotinence (spastic bladder) agents
 Antiparkinsonian agents
 Treatment of pseudobulbar disease

Treatment of cerebrovascular disease risk factor


 Antihyepertensive
 Cholesterol lowering agents
 Cardiac agents (anti arrythmics, digitalis etc.)

KESIMPULAN

Telah dikemukan mengenai gangguan kognitif pada stroke, untuk mengingatkan kembali
bahwa pada penderita stroke bukan saja faktor sensorimotorik / masak fisiknya yang
harus ditangani. Kualitas hidup penderita tidak hanya ditentukan oleh penyembuhan
fisiknya saja, faktor kognitif juga menentukan QoL dan diperlukan penanganan
multidisiplin untuk penanganan penderita, supaya tercapai kesembuhan penderita secara
holistik.

DAFTAR PUATAKA

24
Arciniegas, D.B., & Beresford, T.P. (2001).Neuropsychiatry: Anintroductory
approach. Cambridge: Cambridge University Press.

Benton, A.L. 1994. Neuropsychological Assessment. Annual Review of


Psychology. 45, 1 (Jan. 1994), 1–23.
DOI:https://doi.org/10.1146/annurev.ps.45.020194.000245.[6]

Dobkin, B. Barnes, M., and Bogousslavsky, J. (2005). Recovery after stroke.


Cambridge: Cambridge University Press.

Gilroy J. Basic Neurology. Third Edition. Mc Graw Hill. New York, 2000 ;
225 -306

Kelompok studi serebrovaskuler & Neurogeriatri, PERDOSSI : Guideline


Stroke 2000 Seri Pertama, Jakarta, Mei 2000.

National Institute of Neurological Disorders and Stroke: Classification of


cerebrovascular disease III. Stroke 1990, 21: 637-76.

Santoso B.,dkk. (2004). Proceedings: Updating Physical Medicine and


Rehabilitation towards2010. Bali

Setyopranoto I., Lamsudin R. dan Dahlan P. 2000. Peranan Stroke Iskhemik


Akut terhadap Timbulnya Gangguan Fungsi Kognitif di RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta. B. Neurosains. 2:227-234

World Health Organizations: Stroke 1989. Recommendations on stroke


prevention, diagnosis anf therapy. Stroke 1989, 20: 1407-31.

Zhu L., Fratiglioni L., Guo Z., Torres H.A., Winblad B and Viitanen M.
1998. Association of Stroke With Dementia, Cognitive Impairment, and
Functional Disability in the Very Old : A Population-Based Study. Stroke.
29;2094-2099

25

Anda mungkin juga menyukai