Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASI

PERBANDINGAN BIOAVAIBILITAS
SEDIAAN LEPAS-LAMBAT DAN TABLET
BIASA

Oleh :

Kelas : Farmasi A
Kelompok : III (Tiga)
Nama : Agnes Stefany Geby Sahuleka
NIM : 17101105011

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2019
PERBANDINGAN BIOAVAIBILITAS SEDIAAN LEPAS-
LAMBAT DAN TABLET BIASA

I. Tujuan Percobaan
Mengetahui perbedaan ketersediaan hayati (bioavaibilitas) antara sediaan lepas-
lambat dengan tablet biasa

II. Dasar Teori


Bioavailabilitas adalah fraksi obat yang diberikan dan mencapai sirkulasi sistemis.
Bioavailabilitas dinyatakan sebagai fraksi obat yang diberikan dan masuk ke dalam
sirkulasi sistemis serta tidak mengalami perubahan bentuk kimiawi (Harvey, 2009).
Faktor-faktor yang Memengaruhi Bioavailabilitas (Harvey, 2009) :
1. Metabolisme lintas-pertama pada hati
Bila suatu obat diabsorbsi melalui saluran cerna, obat masuk menuju sirkulasi
portal sebelum mencapai sirkulasi sistemis. Jika obat tersebut cepat
dimetabolisme oleh hati, jumlah obat yang tidak berubah (unchanged drug),
yang masuk sirkulasi sistemis, berkurang.
2. Kelarutan obat
Obat-obat yang sangat hidrofilik kurang diabsorbsi karena ketidak-
mampuannya menembus membran sel yang kaya akan lipid. Sebaliknya, obat-
obat yang sangat hidrofobik juga diabsorbsi kurang karena tidak dapat terlarut
dalam cairan tubuh sehingga tidak dapat meraih permukaan sel-sel.
3. Ketidakstabilan kimiawi
Beberapa obat, seperti penicillin G, tidak stabil pada pH isi lambung. Obat
lainnya, seperti insulin, dihancurkan di dalam saluran cerna oleh enzim-enzim
degradatif.
4. Sifat formulasi obat
Absorbsi obat dapat terganggu oleh faktor-faktor yang tidak berhubungan
dengan sifat kimiawi obat.
Penggunaan obat secara oral dengan pemberian dosis berulang dimaksudkan
untuk mendapatkan kadar terapi obat dalam darah dan jaringan untuk jangka waktu
yang lama dan tetap dalam darah tetapi antara KEM (konsentrasi efektif minimum) dan
KEM (konsentrasi toksik minimum).
Beberapa bentuk sediaan dirancang untuk melepaskan obatnya ke dalam tubuh
agar diserap secara cepat seluruhnya, sebaliknya produk lain dirancang untuk
melepaskan obatnya secara perlahan-lahan supaya pelepasannya lebih lama dan
memperpanjang kerja obat. Tipe bentuk obat yang disebutkan terakhir umumnya
dikenal tablet atau kapsul yang kerjanya pelepasan terkendali, lepas lambat dan lepas
tunda. Istilah lepas terkendali dan lain sejenisnya menunjukkan bahwa pelepasan obat
dari bentuk sediaan terjadi sesuai dengan yang direncanakan, dapat diramalkan dan
lebih lambat daripada biasanya (Ansel, 1989).
Sediaan sustained atau sediaan lepas lambat merupakan bagian dari bentuk
controlled relese. Sediaan lepas lambat merupakan sediaan yang menyebabkan obat
lepas ke dalam tubuh dalam waktu yang lama (Ansel, 1989).
Menurut United States Pharmacopoeia edisi 30 tahun 2007, sediaan dengan
pelepasan yang dimodifikasi (modified release dosage form) dibedakan atas pelepasan
yang diperpanjang (extended release) dan lepas tunda (delayed release). Sediaan
dengan pelepasan yang diperpanjang adalah bentuk sediaan yang memungkinkan
frekuensi pemberiannya dapat dikurangi paling sedikit dua kali dibandingkan terhadap
pemberian bentuk sediaan konvensional. Sediaan lepas tunda adalah sediaan yang
melepaskan zat aktifnya pada waktu yang tertunda. Sediaan lepas tunda ditujukan
untuk mendapatkan efek lokal di usus atau untuk melindungi lambung dari efek yang
tidak diinginkan.
Sediaan pelepasan diperpanjang terdiri dari dua jenis, yaitu sustained release
(sustained action = prolong action) atau sediaan lepas lambat dan controlled release
(time release) atau pelepasan terkendali. Pelepasan terkendali adalah sediaan yang
dapat memberikan kendali terhadap pelepasan zat aktif dalam tubuh. 16 Sistem ini
berusaha mengendalikan konsentrasi zat aktif dalam jaringan atau sel target (Robinson,
1976).
Sediaan lepas lambat adalah bentuk sediaan yang diformulasi sedemikian rupa
agar pelepasan zat aktifnya lambat sehingga kemunculan dalam sirkulasi sistemik
diperlambat sehingga profil plasmanya mempunyai waktu yang lama (Robinson,
1976).
Pada prinsipnya pengembangan sediaan lepas lambat umumnya digunakan untuk
pengobatan yang bersifat kontinuitas (berkelanjutan) dan merupakan suatu pengobatan
yang efektif. Sediaan lepas lambat biasanya digunakan untuk pengobatan penyakit
yang pemberiannya dapat beberapa kali dalam sehari (Voigt, 1995).
Penghantaran obat kereseptor atau tempat bekerjanya obat sering terhambat
dengan adanya efek samping obat ataupun karena pelepasan obat tidak sesuai pada
target kerjanya. Untuk itu obat dibuat dalam bentuk controlled relese atau sediaan lepas
lambat terkendali. Sediaan lepas lambat terkendali mengatur pelepasan obat didalam
tunuh yang dimaksudkan untuk mengaktikan obat pada reseptornya (Voigt, 1995).
Pemberian obat dengan sistem pelepasan terkendali juga untuk menjamin kerja
farmakologis yang homogen, mengurangi efek samping obat yang merugikan serta
mampu membuat lebih rendah biaya harian pasien karena lebih sedikit dosis yang harus
digunakan. Sistem pelepasan terkendali tidak bisa diterapkan pada semua jenis obat
karena hanya obat-obat tertentu dan dengan karakteristik tertentu yang memungkinkan
dibuat menjadi sediaan dengan sistem pelepasan terkendali. Diantaranya dengan waktu
paruh eliminasi yang pendek, obat yang memiliki dosis terapi kecil dan untuk obat
dengan jendela terapi yang sempit (Robinson, 1976).
III. Percobaan

1. Alat dan Bahan

a. Bahan
- Sampel urine dari probandus yang telah minum: vitamin C (lepas-lambat)
dan vitamin C (tablet biasa)
- Aquadest
- Vitamin C

b. Alat
- Alat-alat gelas
- Spektrofotometer UV-Vis
- Lumpang dan alu

2. Prosedur Kerja
a. Pembuatan Baku Induk 0,01 % b/v
1) Ditimbang baku vitamin C sebanyak 0,01 gram.
2) Dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL.
3) Ditambahkan dengan aquades sebanyak 50 mL, lalu diaduk sampai larut.
4) Ditambah dengan aquades sampai tanda batas, lalu dikocok sampai homogen.

b. Pembuatan Baku Seri 0.001; 0,0008; 0,0006; 0,0004; dan 0,0002 % b/v
1) Dipipet 1 mL;0,8 mL;0,6 mL;0,4 mL dan 0,2 mL dari baku induk 0,01 %
b/v.
2) Dimasukkan masing-masing ke dalam tabung reaksi.
3) Ditambahkan aquades add sampai 10 mL, lalu dikocok hingga homogen.

c. Pembuatan Kurva Kalibrasi Baku


1) Dipipet larutan baku seri 0.001; 0,0008; 0,0006; 0,0004; dan 0,0002 % b/v
ke dalam kuvet.
2) Diukur absorbansi baku seri pada panjang gelombang 265 nm.
3) Buat persamaan regresi linier Konsentrasi (x) vs Absorbansi (y)
d. Sampling Urine dan Pengukuran Kadar Vitamin C
1) Probandus vitamin C satu kali dosis (catat waktunya) dan berpuasa
semalaman, hanya diperbolehkan minum air yang cukup.
2) Menampung tiap kali mengurine (catat waktu dan volume urine yang keluar).
Tiap kali mengurine dimasukkan dalam wadah yang berbeda dan dilabeli
waktu dan volumenya.
3) Tiap sampel urine dipipet sebanyak 10 mL dan dimasukkan kedalam
tabung reaksi.
4) Ditentukan kadar dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang (λ) 265 nm. Dibandingkan dengan kurva kalibrasi dan
dilakukan perhitungan kadar.

IV. Data Hasil Percobaan


a. Hasil absorbansi baku seri dengan berbagai konsentrasi
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
10 0,115
8 0,286
6 0,091
4 0,086
2 0,083

b. Buat kurva kalibrasi baku vitamin C


c. Hasil absorbansi sampel urine pada waktu yang berbeda

1) Probandus yang telah minum vitamin C (lepas-lambat)


t (waktu) Volume (mL) Absorbansi
12 110 0,930
4 91 2,317
7 108 1,748

2) Probandus yang telah minum vitamin C (tablet biasa)


t (waktu) Volume (mL) Absorbansi
12 118 3,754
4 118 1,651
7 119 0,531

d. Perhitungan kadar vitamin C menggunakan rumus: Y = bx + a

a. Vitamin C lepas lambat

 Jam 12
Y = 0,930
𝑦−0,053
X= 0,0132
0,930−0,053
X= 0,0132
X = 66,439 mg/ml

 Jam 4
Y = 2,317
𝑦−0,053
X= 0,0132
2,317−0,053
X= 0,0132
X = 171,515 mg/ml

 Jam 7
Y = 1,748
𝑦−0,053
X= 0,0132
1,748−0,053
X= 0,0132
X = 128,409 mg/ml
b. Vitamin C tablet biasa
 Jam 12
Y = 3,754
𝑦−0,053
X= 0,0132
3,754−0,053
X= 0,0132
X = 280,375 mg/ml

 Jam 4
Y = 1,651
𝑦−0,053
X= 0,0132
1,651−0,053
X= 0,0132
X = 121,060 mg/ml

 Jam 7
Y = 0,531
𝑦−0,053
X= 0,0132
0,531−0,053
X= 0,0132
X = 36,212 mg/ml

V. Analisa Data

a. Hasil perhitungan kadar vitamin C pada sediaan lepas-lambat dan tablet biasa
Sediaan t (waktu) Absorbansi Kadar (mg/mL)
12 0,930 66,439
Lepas-lambat 4 2,317 171,515
7 1,748 128,409
12 3,754 280,375
Tablet biasa 4 1,651 121,060
7 0,531 36,212

Tentukan jumlah vitamin C tiap sampel dengan rumus : Q = C x V


dimana: Q : Jumlah vitamin C dalam
urine C : Kadar vitamin C
V : Volume urine
b. Hasil perhitungan jumlah vitamin C dalam urine antara sediaan tablet lepas-
lambat dan tablet biasa
t C V Q
Sediaan
(waktu) (konsentrasi) (volume) (jumlah)
12 66,439 110 7,308.29
Lepas-lambat 4 171,515 91 15,607.865
7 128,409 108 13,868.172
12 280,375 118 33,084.25
Tablet biasa 4 121,060 118 14,285.08
7 36,212 119 4,309.228

c. Buat kurva yang menghubungkan t (waktu) dengan Q (jumlah obat)


VI. Pembahasan

Pada praktikum kali ini telah dilakukan percobaan tentang perbandingan


bioavaibilitas sediaan lepas lambat dan tablet biasa menggunakan sampel urine dari
probandus yang telah meminum vitamin C lepas lambat dan tablet biasa.
Vitamin C atau asam askorbat adalah salah satu vitamin yang terbuat dari turunan heksosa
yang larut dalam air dan mudah teroksidasi. Proses tersebut dipercepat oleh panas, sinar, alkali,
enzim serta oleh katalis tembaga dan besi ( Winarno, 2008).
Untuk vitamin C tablet biasa, dapat dilihat bahwa hasilnya adalah kadar vitamin
C dalam sampel urine pertama paling tinggi kemudian kadarnya menurun secara
perlahan sampai di sampel urine yang ketiga. Ini berarti menjelaskan bahwa proses
absorpsi berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan proses eliminasi obat.
Sedangkan pada vitamin C tablet lepas lambat, kadar vitamin C di dalam urine
meningkat dalam sampel urine yang kedua kemudian menurun pada sampel urine
ketiga. Hal ini tidak sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa sediaan lepas
lambat melepaskan dosis terapi awal obat sacara tepat kemudian diikuti pelepasan obat
yang lebih lambat dan konstan atau tetap. Kecepatan pelepasan obat dirancang
sedemikian rupa agar jumlah obat yang hilang dari tubuh karena eliminasi diganti
secara konstan, sehingga dihasilkan kadar obat dalam darah yang merata tanpa perlu
mengulangi pemberian dosis (Shargel, 2005).
Pengukuran kadar vitamin C menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis
dengan menggunakan panjang gelombang 265 nm. Sesuai dengan literatur, bahwa vitamin
C atau asam askorbat banyak dikonsumsi sebagai antioksidan dan penyerapan pada panjang
gelombang 265 nm mampu menyerap absorbansi maksimal pada asam askorbat. Absorbansi
sebanding dengan jumlah partikel, sehingga berdasarkan data tersebut partikel yang paling
banyak terserap berada pada panjang gelombang 265 nm (Gandjar, 2007).

VII. Saran

Sebaiknya praktikan lebih teliti lagi dalam melakukan praktikum agar tidak terjadi
kesalahan pada saat melakukan percobaan dan mematuhi peraturan yang ada di dalam
laboratorium contohnya seperti memakai sepatu tertutup.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H. C., Allen, L. V., and Popovich, N. G., 2005, Pengantar Bentuk Sediaan
Farmasi Edisi IV. UI Press, Jakarta.

Gandjar, I. 2007. Kima Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Harvey, Richard A. dan Pamela C. Champe. 2009. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 4.
Jakarta.

Robinson, J.R., 1987, Sustained Release Through Coating in Lachman, L, Lieberman, H. A,


Pharmaceuticals Dosage Forms Tablets. Vol III, 156-157, New York.

Shargel, L. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Edisi kedua,


Airlangga University Press, Surabaya

Voight, R., 1984, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gadjah Mada University Press.

Winarno. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Utama. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai