Anda di halaman 1dari 26

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS

PROGRAM STUDI KONSERVASI


UNIVERSITAS HASANUDDIN

TUGAS MAKALAH KOMUNIKASI


PERANAN KOMUNIKASI DALAM HUBUNGAN DOKTER
DENGAN TEMAN SEJAWAT

Oleh :
Meita Ultrani Tangkudung

Dosen :
Prof.DR.Drg.Burhanuddin dg. Pasiga., M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah.........................................................................2

1.2 Tujuan Penulisan....................................................................................5

1.3 Contoh Kasus.........................................................................................5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi Terapeutik..........................................................................7

2.2 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


2.2.1. Bab III Konsil Kedokteran Indonesia........................................8

2.2.2 Bab VII Peneyelenggaraan Praktik Kedokteran..................9


2.2.3 Bab VIII Disiplin Dokter dan Dokter Gigi ........................ 14
2.3 Kerjasama Dokter dengan Teman Sejawat menurut KKI.....................17
BAB 3 PEMBAHASAN

Pembahasan.....................................................................................................23

BAB 4 PENUTUP

Kesimpulan......................................................................................................25

Saran................................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan adalah suatu hal yang sangat penting bagi setiap manusia. Kesehatan
memang bukanlah segalanya, tetapi segalanya tidak akan berguna tanpa kesehatan.
Terganggunya kondisi kesehatan akan otomatis membuat seseorang mencari pengobatan untuk
mengobati penyakitnya. Kesehatan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia di samping
sandang, pangan dan papan. Tanpa hidup yang sehat, hidup manusia tanpa arti dan makna,
sebab dalam keadaan sakit, manusia tidak akan mungkin dapat melakukan aktivitas atau
kegiatan sehari-hari dengan baik. Selain itu orang yang sakit, dalam hal ini disebut pasien,
yang tidak dapat menyembuhkan sakit yang di deritanya, tidak ada pilihan lain kecuali
memeinta pertolongan dari orang yang dapat membantu menyembuhkan penyakitnya, yaitu
dokter.(1,2,3)
Dokter harus memberikan pertolongan medis meskipun tanpa persetujuan pasien, yang
dengan sendirinya menimbulkan hubungan antara dokter dan pasien yang unik karena meliputi
bukan hanya dalam hubungan medis tetapi juga dalam hubungan hukum maupun non-hukum
(moral, etika, kesopanan, kesusilaan, dan ketertiban), hubungan ekonomi, dan hubungan sosial.
Pola hubungan dokter dan pasien telah mengalami pergeseran dari zaman ke zaman.
Terdapat suatu pergeseran paradigma, dimana dokter bukan lagi dianggap sebagai dewa
manusia atau orang suci, tetapi telah menjadi figur manusia biasa. Hubungan antara dokter dan
pasien yang dulunya menganut pola paternalistik berubah menjadi hubungan yang bersifat
kontraktual. Kondisi dan situasi saat ini telah menempatkan dokter dalam peran sebagai
pelaku ekonomi yaitu sebagi penyedia layanan dan jasa yang diberikan tidak memuaskan
pasien, maka pasien pun berhak utnuk menyampaikan keluhan bahkan sampai tuntutan
pengadilan.(4)
Kasus malpraktek ataupun dugaan malpraktek dapat dicegah dengan membangun
komunikasi yang baik antara dokter dan pasien, dimana kedua belah pihak memahami hak dan
kewajibannya masing-masing. Dokter sebagai pemberi jasa pelayanan medis memahami dan
menghormati hak pasien dan menjalankan profesinya sesuai dengan standar profesi medis dan
pelayanan medis, dan dilain pihak pasien sebagai penerima jasa pelayanan medis wajib
memelihara kesehatannya sesuai anjuran/nasehat dokter yang merawatnya dan berkewajiban
melaksanakan aturan-aturan yang telah disepakatai bersama antara pasien dan dokter, juga
harus menegakkan hak-haknya sebagai pasien.(5)
Pertumbuhan pengetahuan ilmiah yang berkembang pesat disertai aplikasi klinisnya
membuat pengobatan menjadi kompleks. Dokter secara individu tidak bisa menjadi ahli untuk
semua penyakit yang diderita oleh pasiennya, sedangkan perawatan harus tetap diberikan
sehingga membutuhkan bantuan dokter spesialis lain dan profesi kesehatan yang memiliki
ketrampilan khusus seperti perawat, ahli farmasi, fisioterapis, teknisi laboratorium, pekerja
sosaial, dan lainnya. Seorang dokter sebagai anggota profesi kesehatan, diharapkan
memperlakukan profesi kesehatan lain sebagai anggota keluarga dibandingkan orang lain,
bahkan sebagai teman. Deklarasi Geneva dari WMA juga memuat janji “ kolega saya akan
menjadi saudara saya”.(4)
Adanya komunikasi disebabkan oleh karena adanya kebutuhan akan mempertahankan
kelangsungan hidup dan kebutuhan akan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Rasa ingin
tahu memaksa manusia untuk berkomunikasi. Komunikasi merupakan kebutuhan yang sangat
fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat.(5)
Dalam pengobatan, pasien terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan dokter
mengenai keluhan penyakit yang dideritanya. Konsultasi dalam pengobatan memegang
peranan yang sangat penting bagi kesembuhan pasien.(1)
Pertumbuhan pengetahuan ilmiah yang berkembang pesat disertai aplikasi klinisnya
membuat pengobatan menjadi kompleks. Dokter secara individu tidak bisa menjadi ahli untuk
semua penyakit yang diderita oleh pasiennya, sedangkan perawatan tetap harus diberikan
sehingga membutuhkan bantuan dokter spesialis lain dan profesi kesehatan yang memiliki
keterampilan khusus seperti perawat, ahli farmasi, fisioterapis, teknisi laboratorium, pekerja
social dan lainnya.(4,6)
Seorang dokter sebagai anggota profesi kesehatan, diharapkan memperlakukan profesi
kesehatan lain lebih sebagai anggota keluarga dibandingkan sebagai orang lain, bahkan sebagai

teman.
 Sebagai balasan atas kehormatan yang diberikan masyarakat dan kepercayaan yang

diberikan oleh pasien, maka profesi kesehatan harus membangun standar perilaku yang tinggi
untuk anggotanya dan prosedur pendisiplinan dalam menyelidiki tuduhan adanya tindakan
yang tidak benar dan jika perlu menghukum yang berbuat salah. Kewajiban untuk melaporkan
kolega yang melakukan tindakan yang tidak kompeten, mencelakakan, perbuatan tidak
senonoh ditekankan dalam Kode Etik Kedokteran Internasional yang dikeluarkan oleh WMA
menyatakan: ”Dokter harus berusaha keras untuk menyatakan kekurangan karakter dan
kompetensi dokter ataupun yang terlibat dalam penipuan atau kecurangan”. Penerapan prinsip
ini tidaklah mudah, di satu sisi seorang dokter mungkin menyerang reputasi koleganya karena
motif yang tidak benar seperti karena rasa iri atau terhina oleh koleganya. Dokter juga merasa
sungkan atau ragu untuk melaporkan tindakan koleganya yang tidak benar karena simpati atau
persahabatan. Konsekuensi pelaporan tersebut dapat berakibat kurang baik bagi yang melapor,
yang tertuduh atau bahkan dari kolega lain.(4)

1.2 Tujuan Penulisan


1. Bagaimana hubungan antara dokter dan teman sejawat ?
2. Bagaimana peran Hukum Kedokteran di Indonesia dalam mengatur hubungan antara
dokter dan teman sejawat ?

1.3 Contoh Kasus


Seorang laki-laki berusia 54 tahun, memiliki pekerjaan sebagai buruh bangunan datang
ke praktek dokter gigi spesialis dengan keluhan sakit gigi pada gigi belakang bawah dan
ingin mencabut giginya. Berdasarkan pemeriksaan klinis gigi belubang hingga saluran akar
dengan suspect pulpitis ireversible. Rencana perawatannya yaitu dengan tindakan
perawatan saluran akar. Pasien mengaku tidak mampu membiayai perawatan. Sebagai
tindakan pertama, dokter gigi memberikan premedikasi pada pasien. Satu bulan kemudian,
pasien datang kembali dengan keluhan yang sama.

Berdasarkan hasil rontgen foto dan pemeriksaan klinis, dokter gigi melakukan
penjelasan mengenai pilihan perawatan apa saja yang cocok untuk kasus pasien, dimulai dari
rencana perawatan saluran akar, mengenai kesediaan waktu yang harus dipenuhi dan biaya
perawatan, serta tindakan alternatif lain dengan melakukan mumifikasi. Setelah mendapatkan
penjelasan rencana perawatan, pasien mempertimbangkan dan memutuskan untuk menolak
dilakukan perawatan saluran akar dan meminta untuk dirujuk ke RSGM dengan memanfaatkan
fasilitas BPJS.
Setelah melengkapi rekam medik, dokter gigi memberikan informed consent dan surat
rujukan ke RSGM untuk dilakukan tindakan lanjutan setelah mumifikasi. Sebulan kemudian
pasien datang kembali dengan keluhan rasa sakit yang lebih hebat. Setelah dijelaskan oleh
dokter gigi spesialis yang bersangkutan, pasien merasa tidak terima dengan hasil kerja dokter
gigi spesialis tersebut dan pasien pun melakukan komplain walaupun dokter gigi tersebut sudah
meminta maaf dan menjelaskan dengan baik dan sopan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

KOMUNIKASI TERAPEUTIK
Komunikasi merupakan suatu proses yang melibatkan source atau komunikator,
message atau pesan, dan komunikan atau receiver. Pesan ini mengalir melalui suatu media
yang kemudian dalam prosesnya bisa terjadi berbagai hambatan, inilah yang biasa dikenal
dengan noise. Manusia senantiasa mengadakan komunikasi karena manusia membutuhkan
transaksi dalam hidup ini. Modus utama sebuah komunikasi adalah transaksional, karenanya

komunikasi sering mengundang feedback dari para komunikannya. (5)

Prinsip komunikasi adalah sebagai berikut :(6)

1. Komunikasi hanya bisa terjadi apabila terdapat pertukaan pengalaman yang sama antara
pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi. Artinya informasi yang disampaikan
mampu ditangkap oleh si penerima pesan dengan sempurna.
2. Jika daerah tumpang tindih menyebar dan menutupi lingkaran tersebut, maka makin besar
kemungkinannya tercipta suatu proses komunikasi yang mengena.
3. Jika daerah tumpang tindih mengecil dan menjauhi sentuhan kedua lingkaran, atau
cenderung mengisolasi lingkaran masing-masing, maka komunikasi yang terjadi sangat
terbatas. Bahkan besar kemungkinan gagal dalam menciptakan komunikasi yang efektif.
Secara sederhana, prinsip komunikasi adalah bagaimana pesan kita sampai pada penerima

pesan. (6)

Komunikasi terapeutik adalah gambaran suasana ketika berkomunikasi dengan pasien,


dimana dokter mendapatkan gambaran yang jelas dan alami tentang kondisi pasien yang akan
atau sedang dirawat mengenai tanda dan gejala yang ditampakkan serta keluhan yang
dirasakan. Tujuannya supaya hubungan dokter dan pasien menjadi efektif dalam rangka
mencapai kesembuhan.

UU NO 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN (7)


A. BAB III KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA
1. Pasal 4
(1) Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi dibentuk
Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil
Kedokteran Gigi.
(2) Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab kepada Presiden.
2. Pasal 5
Konsil Kedokteran Indonesia berkedudukan di ibukota negara Republik
Indonesia.
3. Pasal 6
Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan,
penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik
kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.
4. Pasal 7
(1) Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai tugas :
a). Melakukan registrasi dokter dan dokter gigi
b) . Mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; dan
c) . Melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran
yang dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-
masing.
(2) Standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi yang disahkan Konsil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan bersama oleh Konsil
Kedokteran Indonesia dengan kolegium kedokteran, kolegium kedokteran
gigi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi institusi pendidikan
kedokteran gigi, dan asosiasi rumah sakit pendidikan.

5. Pasal 8
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konsil
Kedokteran Indonesia mempunyai wewenang :
1. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi;
2. Menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi;
3. Mengesahkan standar kompetensi dokter dan dokter gigi;
4. Melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi;
5. Mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi;
6. Melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai
pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi; dan
7. Melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi
oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika
profesi.

B. BAB VII PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN


1. Pasal 36 Surat Izin Praktik
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia
wajib memiliki surat izin praktik.
2. Pasal 37
(1) Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh
pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik
kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.
(2) Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.
(3) Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
3. Pasal 38
(1) Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36, dokter atau dokter gigi harus :
1. Memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter
gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31,
dan Pasal 32;
2. Mempunyai tempat praktik; dan
3. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
(2) Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :
1. Surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi masih
berlaku; dan
2. Tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin
praktik.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan
Peraturan Menteri.
4. Pasal 39 Pelaksanaan Praktik
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter
atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan,
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan
pemulihan kesehatan.
5. Pasal 40
(1) Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik
kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter
gigi pengganti.
(2) Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dokter atau dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.
6. Pasal 41
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan
menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran.
(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan kesehatan,
pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter atau
dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran.
7. Pasal 42
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter
gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran
di sarana pelayanan kesehatan tersebut.
8. Pasal 44 Standar Pelayanan
(1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib
mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan menurut
jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan.
(3) Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
9. Pasal 45 Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
3. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara
tertulis maupun lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko
tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

10. Pasal 46 Rekam Medik


(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib
membuat rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi
setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan
petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.
11. Pasal 47
(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan
milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi
rekam medis merupakan milik pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan
dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
11. Pasal 48 Rahasia Kedokteran
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
wajib menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan
pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan
Peraturan Menteri.
12. Pasal 50 Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
hak:
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur


operasional;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;
dan
d. Menerima imbalan jasa.
13. Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
14. Pasal 52 Hak dan Kewajiban Pasien
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak :
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.

15. Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban :
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
3. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
4. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

C. BAB VIII DISIPLIN DOKTER DAN DOKTER GIGI


1. Pasal 55 Majelis kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(1) Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan
praktik kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia.
(2) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga
otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia.
(3) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menjalankan
tugasnya bersifat independen.
2. Pasal 56
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertanggung jawab kepada
Konsil Kedokteran Indonesia.
4. Pasal 57
(1) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia berkedudukan di ibu
kota negara Republik Indonesia.
(2) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi dapat dibentuk
oleh Konsil Kedokteran Indonesia atas usul Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia.
4. Pasal 58
Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas
seorang ketua, seorang wakil ketua, dan seorang sekretaris.

5. Pasal 59
(1) Keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas
3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi
masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi
rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum.
(2) Untuk dapat diangkat sebagai anggota Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia harus dipenuhi syarat sebagai berikut :
1. warga negara Republik Indonesia;
2. sehat jasmani dan rohani;
3. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
4. berkelakuan baik;
5. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65
(enam puluh lima) tahun pada saat diangkat;
6. bagi dokter atau dokter gigi, pernah melakukan praktik kedokteran paling
sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki surat
tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi;
7. bagi sarjana hukum, pernah melakukan praktik di bidang hukum paling
sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki pengetahuan di bidang hukum
kesehatan; dan
8. cakap, jujur, memiliki moral, etika, dan integritas yang tinggi serta
memiliki reputasi yang baik.
6. Pasal 64
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas :
a. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran
disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan
b. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin
dokter atau dokter gigi.
7. Pasal 65
Segala pembiayaan kegiatan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
dibebankan kepada anggaran Konsil Kedokteran Indonesia.

8. Pasal 66 Pengaduan
(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat
mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia.
(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
1. identitas pengadu;
2. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu
tindakan dilakukan; dan
3. alasan pengaduan.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan
hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak
yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
9. Pasal 67 Pemeriksaan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan
keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.
10. Pasal 68
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi.
11. Pasal 69 Keputusan
(1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter,
dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan tidak
bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
(3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :
1. pemberian peringatan tertulis;
2. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
3. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.
KERJASAMA DOKTER DENGAN TEMAN SEJAWAT MENURUT KKI(3,5)

1. Merujuk Pasien


Pada pasien rawat jalan, karena alasan kompetensi dokter dan keterbatasan fasilitas
pelayanan, dokter yang merawat harus merujuk pasien pada sejawat lain untuk
mendapatkan saran, pemeriksaan atau tindakan lanjutan. Bagi dokter yang menerima
rujukan, sesuai dengan etika profesi, wajib menjawab/memberikan anjuran tindakan akan
terapi dan mengembalikannya kepada dokter yang merujuk. Dalam keadaan tertentu
dokter penerima rujukan dapat melakukan tindakan atau perawatan lanjutan dengan
persetujuan dokter yang merujuk dan pasien. Setelah selesai perawatan dokter rujukan

mengirim kembali kepada dokter yang merujuk.
 Pada pasien rawat inap, sejak awal

pengambilan kesimpulan sementara, dokter dapat menyampaikan kepada pasien


kemungkinan untuk dirujuk kepada sejawat lain karena alasan kompetensi. Rujukan
dimaksud dapat bersifat anjuran, rawat bersama atau alih rawat. Pada saat meminta
persetujuan pasien untuk dirujuk, dokter harus memberi penjelasan tentang alasan, tujuan
dan konsekuensi rujukan termasuk biaya, seluruh usaha ditujukan untuk kepentingan
pasien. Pasien berhak memilih dokter rujukan, dan dalam rawat bersama harus ditetapkan

dokter penanggung jawab utama.
 Dokter yang merujuk dan dokter penerima rujukan,

harus mengungkapkan segala informasi tentang kondisi pasien yang relevan dan

disampaikan secara tertulis serta bersifat rahasia.
 Jika dokter memberi pengobatan dan

nasihat kepada seorang pasien yang diketahui sedang dalam perawatan dokter lain, maka
dokter yang memeriksa harus menginformasikan kepada dokter pasien tersebut tentang
hasil pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan penting lainnya demi kepentingan pasien.
2. Bekerjasama dengan sejawat
Dokter harus memperlakukan teman sejawat tanpa membedakan jenis kelamin, ras,
kecacatan, agama/kepercayaan, usia, status social atau perbedaan kompetensi yang dapat
merugikan hubungan profesional antar sejawat. Seorang dokter tidak dibenarkan
mengkritik teman sejawat melalui pasien yang mengakibatkan turunnya kredibilitas
sejawat tersebut. Selain itu tidak dibenarkan seorang dokter memberi komentar tentang
suatu kasus, bila tidak pernah memeriksa atau merawat secara langsung.
3. Bekerjasama dalam tim
Asuhan kesehatan selalu ditingkatkan melalui kerjasama dalam tim multidisiplin. Apabila
bekerja dalam sebuah tim, dokter harus :

 Menunjuk ketua tim selaku penanggung jawab.


 Tidak boleh mengubah akuntabilitas pribadi dalam perilaku keprofesian dan asuhan

yang diberikan.


 Menghargai kompetensi dan kontribusi anggota tim.


 Memelihara hubungan profesional dengan pasien


 Berkomunikasi secara efektif dengan anggota tim di dalam dan di luar tim.
 Memastikan agar pasien dan anggota tim mengetahui dan memahami siapa yang
bertanggung jawab untuk setiap aspek pelayanan pasien.
 Berpartisipasi dalam review secara teratur, audit dari standar dan kinerja tim, serta
menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja dan

kekurangan tim.

 Menghadapi masalah kinerja dalam pelaksanaan kerja tim dilakukan secara terbuka dan
sportif.
4. Memimpin Tim
Dalam memimpin sebuah tim, seorang dokter harus memastikan bahwa :
 Anggota tim telah mengacu pada seluruh acuan yang berkaitan dengan pelaksanaan dan

pelayanan kedokteran


 Anggota tim telah memenuhi kebutuhan pelayanan pasien


 Anggota tim telah memahami tanggung jawab individu dan tanggung jawab tim untuk
keselamatan pasien. Selanjutnya, secara terbuka dan bijak mencatat serta
mendiskusikan permasalahan yang dihadapi
 Acuan dari profesi lain dipertimbangkan untuk kepentingan pasien
 Setiap asuhan pasien telah terkoordinasi secara benar, dan setiap pasien harus tahu siapa
yang harus dihubungi apabila ada pertanyaan atau kekhawatiran.
 Pengaturan dan pertanggungjawaban pembiayaan sudah tersedia
 Pemantauan dan evaluasi serta tindak lanjut dari audit standar pelayanan kedokteran
dan audit pelaksanaan tim dijalankan secara berkala dan setiap kekurangan harus
diselesaikan segera


 Sistem sudah disiapkan agar koordinasi untuk mengatasi setiap permasalahan dalam
kinerja, perilaku atau keselamatan anggota tim dapat tercapai
 Selalu mempertahankan dan meningkatkan praktek kedokteran yang benar dan baik.

5. Mengatur dokter pengganti


Ketika seorang dokter berhalangan, dokter tersebut harus menentukan dokter pengganti
serta mengatur proses pengalihan yang efektif dan komunikatif dengan dokter pengganti.
Dokter pengganti harus diinformasikan kepada pasien. Dokter harus memastikan bahwa
dokter pengganti mempunyai kemampuan, pengalaman, pengetahuan, dan keahlian untuk
mengerjakan tugasnya sebagai dokter pengganti. Dokter pengganti harus tetap
bertanggung jawab kepada dokter yang digantikan atau ketua tim dalam asuhan medis.
6. Mematuhi Tugas
Seorang dokter yang bekerja pada institusi pelayanan/ pendidikan kedokteran harus
mematuhi tugas yang digariskan pimpinan institusi, termasuk sebagai dokter

pengganti.
 Dokter penanggung jawab tim harus memastikan bahwa pasien atau keluarga

pasien mengetahui informasi tentang diri pasien akan disampaikan kepada seluruh anggota
tim yang akan memberi perawatan. Jika pasien menolak penyampaian informasi tersebut,
dokter penanggung jawab tim harus menjelaskan kepada pasien keuntungan bertukar
informasi dalam pelayanan kedokteran.
7. Pendelegasian Wewenang
Pendelegasian wewenang kepada perawat, mahasiswa kedokteran, peserta program
pendidikan dokter spesialis, atau dokter pengganti dalam hal pengobatan atau perawatan
atas nama dokter yang merawat, harus disesuaikan dengan kompetensi dalam
melaksanakan prosedur dan pemberian terapi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dokter yang mendelegasikan tetap menjadi penang¬gung jawab atas penanganan pasien
secara keseluruhan.
BAB III
PEMBAHASAN

Komunikasi merupakam cara yang sangat efektif merubah perilaku pasien.


Komunikasi yang baik mampu menurunkan tingkat kecemasan pasien dan mampu menutupi
kelemahan dokter. Pengetahuan dan ketrampilan yang kurang memadai pada diri dokter
mampu ditutupi dengan kemapuan komunikasi yang baik. Hal ini merupakan modal yang
berharga dalam pelayanan keperawatan. Pasien dalam tatanan pelayanan belum pernah
menanyakan berapa nilai akademik yang dokter peroleh di pendidikan atau apakah dokter bisa
melakukan tindakan perawatan ini. (5)
Hal yang dirasakan dan dilihat oleh pasien bagaimana saudara menyampaikan pesan
itu kepada pasien, karena dari hal tersebut, pasien akan mengasumsikan bahwa saudara
mempunyai kognitif dan ketrampilan yang memeadai. Satu hal penting yang harus diperhatikan
saat melakaukan komunikasi yaitu terpitusnya maksud pesan yang disamapaikan. Pesan yang
telh dirancang sedemikian rupa dengan harapam mampu mengubaha perilaku klien, namun
pada kenyataannya belum sesuai dengan harapan. Kendala itu merupakan bentuk
penyimpangan proses komuniaksi yang bisa terjadi pada diri dokter maupun diri klien.(5)

Informasi-informasi
 diberikan pasien dalam kegiatan konsultasi merupakan acuan

dokter dalam menetukan obat yang tepat bagi pasien, sehingga kesembuhan pasien akan
tergantung dari lengkap atau tidaknya informasi yang diberikan pasien kepada dokter. Dokter
juga melakukan pengamatan terhadap pasien di saat konsultasi sedang berlangsung, yaitu
bagaimana sikap pasien berbicara, duduk di hadapan dokter ketika berkonsultasi, gerakan
tangan ketika berbicara, mimik wajahnya, dan perilaku lainnya. (1)
Komunikasi non-verbal yang dilakukan pasien ketika sedang berkonsultasi dengan
dokter dapat digunakan dokter sebagai informasi pendukung mengenai pasien. Melalui
komunikasi non-verbal, hal-hal yang tidak diutarakan secara langsung oleh pasien ketika
berkonsultasi dengan dokter dapat diketahui sehingga hal-hal yang tidak diutarakan secara
langsung oleh pasien ketika berkonsultasi dengan dokter dapat diketahui sehingga dokter dapat
menentukan jenis obat yang cocok dengan pasien.(1)

Ada beberapa hambatan dalam komunikasi yaitu : (5)


a. Hambatan Fisik
Hal menyangkut ruang, fisik, lingkungan
b. Hambatan Biologis
Hambatan karena ketidaksempurnaan anggota tubuh
c. Hambatan Intelektual
Hambatan yang berhubungan dengan kemampuan pengetahuan
d. Hambatan Psikis
Hambatan yang menyangkut faktor kejiwaan , emosional, tidak saling percaya, penilaian
menghakimi
e. Hambatan Kultural
Hambatan yang berkaitan dengan nilai budaya dan Bahasa
Selain itu ada beberapa faktor penghambat komunikasi, yaitu status sosial, status psikologis,
sosial budaya, prasangka, hambatan semantis, lingkungan, dan hambatan mekanis. (5)
Komunikasi efektif dokter dengan pasien adalah kunci pada perawatan dan diagnosis
yang akurat dan lebih awal pada pasien dengan nyeri. Menurut kesimpulan yang dirangkum
oleh American Society of Internal Medicine, komunikasi yang baik ternyata berhasil
menurunkan angka keluhan dan tuntutan hukum terhadap dokter. Sebagian pasien
mengeluhkan layanan dokter bukan karena kemampuan dokter tersebut kurang namun karena
mereka merasa kurang diperhatikan. Dokter hendaknya bersedia mendengarkan dengan baik
(8)
dan tidak menunjukkan sikap tergesa-gesa.

Pasien yang puas merupakan aset yang sangat berharga karena apabila pasien puas,
maka mereka akan memakai terus-menerus jasa pilihannya, tetapi jika pasien merasa tidak puas
mereka akan memberitahukan dua kali lebih hebat kepada orang lain tentang pengalaman
buruknya. (8)
Dalam bidang pengobatan, para dokter dan masyarakat menyadari bahwa tidak
mungkin dokter menjamin upaya pengobatan akan selalu berhasil sesuai yang diinginkan
pasien atau keluarga. Yang dapat diberikan dokter adalah upaya maksimal. Hubungan dokter
dengan pasien ini dalam perjanjian hukum perdata termasuk kategori perikatan berdasarkan
daya upaya/usaha maksimal (inspanninngsverbintenis). (9)
Dalam bidang pengobatan jelas ada hubungan atau persetujuan antara pasien dan
keluarga pasien dengan satu dokter atau beberapa dokter. Di satu pihak pasien atau keluarga
pasien memerlukan kepandaian dan ketrampilan dokter untuk mengatasi maslaah kesehatannya
atau keluarganya, sedangkan dipihak lain dokter mempunyai kepandaian dan ketrampilan yang
dapat diberikannya untuk kesembuhan pasien. Dengan demikian akibat persetujuan ini akan
terjadi “perjanjian” antara dua pihak. Akibat persetujuan dan perjanjian ini akan terjadi
“perikatan” antara pasien dan dokter. Dalam undang-undang dijelaskan yang dimaksud dengan
perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih, dimana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu dari pihak yang lain, sedangkan pihak yang lain itu berkewajiban memenuhi
tuntutan itu. (9)

Persetujuan teraupetik tidak selamanya berjalan mulus. Kadang dapat terjadi salah satu
pihak tidak mau melanjutkan transaksi pengobatan. Umumnya yang tidak mau melakukan
transaksi ini adalah dari pihak pasien atau keluarganya. Pada pasien berobat jalan, jika tidak
lagi berkunjung untuk pemeriksaan ulang merupakan tindakan pemutusan ikatan. Pembatalan
persetujuan alangkah baiknya dilakukan secara resmi. Dalam lembaran khusus dinyatakan
bahwa dokter telah menjelaskan keadaan pasien dan tindakan yang diperlukan, namun pasien
dan keluarga menolak perawatan tersebut dengan segala resiko di luar tanggung jawab dokter.
Lembaran pembatalan ini memepuanyai kekuatan hukum yang kuat. (9)
Apakah mungkin pihak dokter memutuskan persetujuan tersebut? Jawabnya bisa saja.
Bila dokter menghadapi pasien yang tidak kooperatif dan tidak yakin lagi mengenai upaya
pengobatannya, amka dokter dapat angkat tangan dan meminta pasien berobat ke dokter lain,
dengan menyertakan resume akhir untuk dokter yang akan melanjutkan pengobatan dan
perawatan. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata.
Hubungan dan kinerja teman sejawat (3,5)
Seorang dokter harus melindungi pasien dari risiko diciderai oleh teman sejawat lain,
kinerja maupun kesehatan. Keselamatan pasien harus diutamakan setiap saat. Jika seorang
dokter memiliki kekhawatiran bahwa teman sejawatnya tidak dalam keadaan sehat untuk
praktek, dokter tersebut harus mengambil langkah yang tepat tanpa penundaan, kemudian
kekhawatiran tersebut ditelaah dan pasien terlindungi bila diperlukan. Hal ini berarti seorang
dokter harus memberikan penjelasan yang jujur mengenai kekhawatiran terhadap seseorang
dari tempat ia bekerja dan mengikuti prosedur yang berlaku.
Jika sistem setempat tidak memadai atau sistem setempat tidak dapat menyelesaikan
masalah dan seorang dokter masih mengkhawatirkan mengenai keselamatan pasien, maka
dokter harus menginformasikan badan pengatur terkait.

Menghormati teman sejawat (3,5)


Seorang dokter harus memperlakukan teman sejawatnya dengan adil dan rasa hormat.
Seorang dokter tidak boleh mempermainkan atau mempermalukan teman sejawatnya, atau
mendiskriminasikan teman sejawatnya dengan tidak adil.
Seorang dokter harus tidak memberikan kritik yang tidak wajar atau tidak berdasar
kepada teman sejawatnya yang dapat mempengaruhi kepercayaan pasien dalam perawatan atau
terapi yang sedang dijalankan, atau dalam keputusan terapi pasien.
Berbagi informasi dengan teman sejawat (3,5)
Berbagi informasi dengan teman sejawat lain sangatlah penting untuk keselamatan dan
keefektifan perawatan pasien. Ketika seorang dokter merujuk pasien, dokter tersebut harus
memberikan semua informasi yang relevan mengenai pasiennya, termasuk riwayat medis dan
kondisi saat itu. Jika seorang dokter spesialis memberikan terapi atau saran untuk seorang
pasien kepada dokter umum, maka ia harus memberitahu hasil pemeriksaan, terapi yang
diberikan dan informasi penting lainnya kepada dokter yang ditunjuk untuk kelangsungan
perawatan pasien, kecuali pasien tersebut menolak.
Jika seorang pasien belum dirujuk dari dokter umum kepada dokter spesialis, dokter
spesialis tersebut harus menanyakan kepastian pasien tersebut untuk memberitahu dokter
umumnya sebelum memulai terapi, kecuali dalam keadaan gawat darurat atau saat keadaan
yang tidak memungkinkan. Jika dokter spesialis tersebut tidak memberitahu dokter umum yang
merawat pasien tersebut, dokter spesialis tersebut harus bertanggung jawab untuk menyediakan
atau merencanakan semua kebutuhan perawatan.
BAB IV
KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan
Komunikasi terapeutik adalah gambaran suasana ketika berkomunikasi dengan
pasien, dimana dokter mendapatkan gambaran yang jelas dan alami tentang kondisi pasien
yang akan atau sedang dirawat mengenai tanda dan gejala yang ditampakkan serta keluhan
yang dirasakan. Tujuannya supaya hubungan dokter dan pasien menjadi efektif dalam rangka
mencapai kesembuhan.
Seorang dokter harus melindungi pasien dari risiko diciderai oleh teman sejawat lain,
kinerja maupun kesehatan. Keselamatan pasien harus diutamakan setiap saat. Seorang dokter
harus memperlakukan teman sejawatnya dengan adil dan rasa hormat. Seorang dokter tidak
boleh mempermainkan atau mempermalukan teman sejawatnya, atau mendiskriminasikan
teman sejawatnya dengan tidak adil. Berbagi informasi dengan teman sejawat lain sangatlah
penting untuk keselamatan dan keefektifan perawatan pasien.
Dalam bidang pengobatan, para dokter dan masyarakat menyadari bahwa tidak
mungkin dokter menjamin upaya pengobatan akan selalu berhasil sesuai yang diinginkan
pasien atau keluarga. Yang dapat diberikan dokter adalah upaya maksimal.
4.2. Saran
1. Kemampuan berkomunikasi dengan baik harus dimiliki setiap dokter gigi spesialis,
sehingga mampu melihat gejala, memahami rasa sakit yang muncul, bisa menentukan
perawatan apa yang tepat setelah berkomunikasi dengan pasien.
2. Dalam melakukan tindakan perawatan, dokter gigi spesialis harus mengetahui dan
mengikuti SOP (Standard Operating Procedures) yang ada.
3. Menghindari kesalahan atau kelalaian yang mungkin terjadi selama prosedur
perawatan. Oleh karena itu dokter gigi spesialis sharus memahami dan memutuskan
perawatan yang tepat dengan usaha yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dyana Utami, Komunikasi Terapeutik Dokter Dan Pasien Dalam Pengobatan


Homeopati Di Pusat Pengobatan Al Jawad Pekanbaru, Jom FISIP (2) No. 1; 2015,
p.1-15
2. Endang Fourianalistyawati, Komunikasi Yang Relevan Dan Efektif Antara Dokter
Dan Pasien, Jurnal Psikogenesis (1) No. 1; 2012, p. 82-7. Available from
https://www.researchgate.net/publication/320100052_Komunikasi_yang_Relevan_da
n_Efektif_antara_Dokter_dan_Pasien
3. Bamsdwi, Komunikasi Dokter Dengan Sejawat.
Sumber http://pustaka.uns.ac.id/?menu=news&option=detail&nid=150
4. Achmad Arman S., Peran Komunikasi Dalam Menjalankan Profesi Dokter Yang
Berkualitas Di Masyarakat. UNS Library; 2016.
5. Abdul Muhith, Aplikasi Komunikasi Terapeutik Nursing & Health. Penerbit ANDI.
Jakarta; 2016, p. 13-36, 286-99.
6. Bahar Azwar, Sang Dokter, Kesaint Blanc. Bekasi; 2002, p. 59-69.
7. Niki Sae, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. CV Eko Jaya. Jakarta; 2004.
8. Tiara Wahyuni.dkk, Hubungan Komunikasi Dokter–Pasien Terhadap Kepuasan Pasien
Berobat Di Poliklinik RSUP DR. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.
2013;2(3)
9. Jusuf Hanafiah,dkk, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta, p. 38-43.

Anda mungkin juga menyukai