Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

Peristiwa Arab Spring

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Sejarah Dunia

Dosen Pengampu :

Karsiwan, M.Pd

Nama Npm
M. AFIF ZUHAD 1701080017

JURUSAN TADRIS ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


FAKULTAS TARBIAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas berkat
rahmat-Nya dapat menyusun makalah pada mata kuliah Sejarah Dunia.
Khususnya tentang pembahasan “Peristiwa Arab Spring”
Makalah ini dibuat dalam rangka meningkatkan pembelajaran mata kuliah
Sejarah Dunia. Pemahaman tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di penjuru
dunia, sekaligus memperdalam wawasan bagi kita semua.
saya juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Karsiwan, M. Pd. selaku
Dosen pengampu mata kuliah Sejarah Dunia, Institut Agama Islam Negeri
Metro. Serta teman-teman dan didak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada
sumber-sumber inspirasi makalah ini.
Makalah ini, tentunya masih jauh dari kesempurnaan, karena saya juga
masih dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu kritik, koreksidan
saran, sangat say harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
para pembaca. Terima kasih atas perhatiannya dan jikalau ada kesalahan kata
maupun tulisan say mohon maaf.

Metro, 08 September 2019

Penulis
M. AFIF ZUHAD

i
DAFTAR ISI

JUDUL

KATA PENGANTAR ....................................................................................

DAFTAR ISI ....................................................................................................

BAB I ...............................................................................................................

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang
1. 2. Rumusan Masalah
1. 3. Tujuan

BAB II

PEMBAHASAN

2. 1. Pengertian Arab spring


2. 2. Negara-negara Terkait Arab Spring
2. 2.1. Tunisia
2. 2.2. Mesir
2. 2.3. Libya
2. 2.4. Yaman
2. 2.5. Suriah
2. 3. Dampak Positif dan Negatif Adanya The Arab Spring
2. 3.1. Dampak Positif
2. 3.2. Dampak Negatif

BAB III

PENUTUP

3. 1. Kesimpulan
3. 2. Saran

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini, orang Islam khususnya banyak yang sibuk dengan
persoalannya masing-masing. Padahal saudara-saudara sesama Islam di Timur
Tengah sana banyak yang tumbang akibat kejahatan dan ketidak
berperikemanusiaan pemimpinya. Bagaimana tidak miris melihat tempat yang
paling bersejarah bagi umat Islam ternyata menjadi tempat yang sangat tidak
bermoral dan kaji itu.Sebut saja Arab Spring. Arab Spring adalah peristiwa di
mana Negara-negara Arab seperti Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah
melakukan aksi besar-bsaran untuk menumbangkan rezim penguasa yang
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya sendiri.
Manipulasi politik, kehidupan yang sekuler dan liberal, meresa menjadi
penguasa yang tidak peduli akan kesejahteraan dan nyawa rakyatnnya sendiri.
Begitu miris bila tahu ternyata pemimpin yang Kita pilih adalah orang yang
akan membuat Kita kehilangan harga diri, kesejahteraan bahkan yawa
sekalipun. Arab Spring, awal di mana Rakyat secara massal ingin melakukan
revolusi dengan menyerahkan nyawa mereka.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, Pemakalah merumuskan


beberapa masalah yaitu sebagai berikut:
1. Apa pengertian The Arab Spring?
2. Negara mana saja yang terkait The Arab Spring?
3. Apa saja dampak positif dan negative dari adanya The Arab Spring?

1.3 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini mengacu pada rumusan masalah
yaitu:

1. Mahasiswa mengetahui apa pengertian The Arab Spring


2. Mahasiswa tahu Negara mana saja yang terkait dengan The Arab
Spring
3. Mahasiswa mengetahui dampak Positif dan negative dari adanya
kejadian The Arab Spring

2
BAB II
PEMBAHASAN

2. 1. Pengertian The Arab Spring

Arab Spring merupakan istilah lain yang diberikan terhadap “Revolusi


Dunia Arab” dalam bahasa arab disebut“al -Thawrat al-Arabiyyah” atau “Ar-
Rabii’ Al-‘Arabiyyu”,merupakan serangkaian peristiwa gelombang revolusi,
demonstrasi dan protes dalam skala besar yang dimulai di dunia arab pada tanggal
18 Desember 2010. Dalam peristiwa Arab Spring, para penguasa diktator dipaksa
untuk menurunkan jabatan mereka di berbagai negara seperti Tunisia, Mesir, dan
Libya. Pemberontakan sipil bermunculan di Bahrain dan Suriah.Aksi protes dalam
skala besar pecah di Iraq, Yordania, Kuwait, Maroko dan Sudan.Aksi Protes
dalam skala kecil meletus di Arab Saudi, dan Oman.Perang saudara di Libya dan
pemberontakan di Mali merupakan pelopor terjadinya gelombang Arab Spring di
Afrika Utara.Dan menular ke negara Libya, Lebanon dan negara-negara Timur
Tengah lainnya.

Para masyarakat yang melakukan kegiatan revolusi di Timur Tengah dan


Afrika Utara menggunakan berbagai macam teknik perlawanan terhadap
kekuasaan diktator absolut di negara mereka masing-masing seperti demonstrasi,
penyerangan langsung melawan pasukan pro pemerintah, pawai dan menggalang
massa melalui media jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat di negara-negara yang mengalami revolusi dunia arab
mendapat perlawanan keras baik itu dari pasukan pemerintah maupun masyarakat
yang cenderung berpihak pada penguasa.

Adanya kekuasaan diktator, monarki absolut, pelanggaran hak asasi


manusia, korupsi, pengangguran, kemiskinan, serta naiknya harga pangan
merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya fenomena Arab Spring.

Pemicu utama dalam terjadinya peristiwa Arab Spring berasal dari satu
orang yang bernama Sidi Bouzid yang kemudian di susul oleh Mohammed
Bouzizi yang membakar diri sendiri sebagai bentuk protes terhadap kekuasaaan
diktator di Tunisia. Peristiwa ini disaksikan oleh masyarakat di negara-
negara lain di Timur Tengah dan Afrika Utara yang kemudian memicu revolusi
dunia arab.

Arab Spring merupakan fenomena yang mengubah wilayah di beberapa


negara Timur Tengahdan Afrika bertransformasi dari sistem kekuasaan diktator
menjadi sistem kekuasaan rakyat (demokrasi). Hancurnya kekuasaan diktator di
beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara menimbulkan suka cita luar
biasa bagi masyarakat di masing-masing negara yang mengalami fenomena ini.
Ringkas kata Arab Spring merupakan revolusi, perubahan sosial secara radikal,
cepat, dan cenderung menggunakan kekerasan sehingga menimbulkan konflik
berdarah.

2. 2. Negara-Negara Terkait The Arab Spring

2.2.1 Tunisia

Setelah Revolusi Melati pecah dan berhasil menumbangkan rezim


Zainal Abidin Ben Ali bersama para koleganya, Tunisia merupakan
negara pasca-Arab Spring yang paling menjanjikan transisinya
dibanding negara-negara lainnya. Hal ini dikuatkan oleh dukungan
militer (tidak seperti di Mesir) yang menahan diri untuk tetap berada di
luar lanskap politik.Pemilu pada 23 Oktober 2011, yang memunculkan
an-Nahdhah sebagai juara, adalah pemilu paling bersih dalam sejarah
Tunisia. Sampai detik tulisan ini dibuat, belum ada tanda-tanda partai
Islamis itu absah dianggap telah “membajak” revolusi dengan
menggantinya dengan “sistem” Islam.
Tentu saja, pemilu hanyalah satu titik mula menuju jalan panjang
Tunisia ke depan. Pemerintahan presiden baru, Munshif Marzuqi (dari
CFR—faksi sekuler-kiri) dan Perdana Menteri Hamadi Jebali (sekjen an-
Nahdhah) harus mengawal transisi menuju demokrasi.
Tantangan berikutnya yang sangat rumit adalah penyusunan
konstitusi. Seperti halnya yang terjadi di Mesir, penyusunan konstitusi
sempat menjadi ajang perdebatan antar faksi politik, bahkan sejak
sebelum pemilu: apakah konstitusi yang ditulis dahulu ataukah pemilu

1
yang digelar lebih awal. Masyarakat Tunisia memilihi solusi kompromi:
pemilu dahulu, tapi itu untuk membentuk dewan penyusun konstitusi
dengan mandat satu tahun. Hal ini untuk menghindari “tirani” mayoritas
dalam memonopoli konstitusi.
Pasca pemilu Tunisia juga masih menghadapi dua kecemasan.
Pertama, dari faksi sekuler (duniawi) mengenai an-Nahdhah. An-
Nahdhah memang cukup mengagetkan banyak elite politik Tunisia: tiba-
tiba muncul dan memenangkan pemilu dengan manajemen yang well-
organized, kampanye yang menyentuh publik secara langsung,
dan branding yang jelas-suatu hal yang kurang ada dalam faksi sekuler.
Kedua, adalah kecemasan Islamis terhadap kaum sekuler “kiri” yang
berusaha memberi stigma negatif dan memarginalisasi an-Nahdhah. Dua
kekhawatiran yang muncul dari dua pihak yang berbeda ini tentu saja
meninggikan tensi politik Tunisia pasca revolusi.
Betapapun, hasil pemilu yang memenangkan an-Nahdhah itu
cukup menjadi bukti bahwa dukungan rakyat Tunisia kepada Islamis
bahkan lebih besar dari yang semula diperkirakan. Faksi sekuler-hingga
tulisan ini dibuat-menunjukkan sikap ksatria, tidak seperti yang kita lihat
di Mesir. Statemen yang paling anti-Islamis justru datang bukan dari
partai politik, melainkan dari organisasi feminis yang menyatakan bahwa
an-Nahdhah akan menghapus hukum liberal keseteraan jender. Kendati
demikian, para pengusung sekularisme tidak punya pilihan lain kecuali
harus menerima hasil pemilu yang demokratis dan bersih. Kaum sekuler
harus beradaptasi untuk bisa hidup berdamping dengan Islamis dalam
medan politik Tunisia.
An-Nahdhah sendiri pun tidak menampakkan tanda-tanda akan
“membajak” demokrasi-setidaknya hingga tulisan ini dibuat. An-
Nahdhah justru tidak ingin memonopoli kekuasaan, yakni dengan
berupaya membagi kekuasaan (power sharing) dengan partai sekuler.
An-Nahdhah mengajak dua partai sekuler (CFR dan at-Takatul) ke
dalam aliansi yang mengontrol 138 kursi dari jumlah total 271 kursi di
majelis kontitusi. An-Nahdhah, meski memperoleh suara yang jauh
jaraknya dengan runner up hasil pemilu, berusaha membagi kekuasaan

2
menteri dengan partai-partai lainnya. An-Nahdhah hanya meminta
“jatah” kementrian yang punya posisi penting seperti kementiran dalam
negeri, luar negeri, dan keadilan.An-Nahdhah membagi jatah kementrian
semacam ekonomi, pertahanan, dan urusan perempuan kepada CFR. Hal
ini membuktikan bahwa an-Nahdhah, setidaknya untuk sementara, bisa
dipercaya tidak akan memonopoli kuasa dengan mengganti rezim
Tunisia ke arah Islamisme.
Di atas segalanya, prospek demokrasi di Tunisia ini adalah yang
paling cerah dibanding negara-negara lain yang terkena dampak Arab
Spring. Tidak ada masalah besar yang menghadang transisi demokrasi:
tidak seperti Mesir yang terlibat perpecahan antara Islamis, militer, dan
sekuler-liberal, atau Libya, Yaman, dan Suriah yang mengalami
bentrokan antar warga sipil sendiri dan melibatkan sentimen sektarian
serta tribalis.

2.2.2 Mesir

Pada akhir Juni 2012, hasil pilpres Mesir diumumkan secara resmi.
Dr Muhammad Mursi, kandidat dari al-Ikhwan al-Muslimun (IM),
mengalahkan Ahmad Syafiq, kandidat dari rezim lama sekaligus mantan
perdana menteri terakhir Hosni Mubarak.

Itu adalah pertamakalinya dalam sejarah, IM menempatkan


wakilnya di tampuk kuasa nomor satu.Selama ini, IM merupakan
gerakan oposisi (partai pengkritik, penetang parting yang sedang
berkuasa).Di hampir semua negara Arab pun demikian.Pada pertengahan
abad lalu pun IM masuk dalam daftar hitam organisasi terlarang. Mereka
baru bisa bergerak leluasa, dan membentuk partai besar sejak Mubarak
sudah lengser. Praktis, IM belum punya pengalaman mengendalikan
pemerintahan.

Pada bulan-bulan pertama, hampir tiada masalah berarti antara IM


vis a vis kelompok sekuler. Bahkan kedua faksi itu bahu-membahu
menentang hegemoni orang-orang rezim lama (fulul) yang masih

3
bercokol di pemerintahan.Mursi bahkan sempat dielu-elukan tersebab
sumbangsihnya dalam memediasi konflik Israel-Hamas di Gaza.

Namun, IM dengan Mursinya tampak tak bisa dengan mudah


membendung anasir rezim lama di pemerintahan dan memuaskan
kalangan sekuler-kiri. Riak-riak mulai muncul di penghujung tahun
2012.

Dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Mursi pada 22 November


2012 membuat friksi politik di Mesir menajam. Faksi-faksi politik Mesir
terpolarisasi ke dalam dua kubu: Islamis vs non-Islamis. Dominasi
Islamis, baik oleh IM atau Salafi, digugat keras. Saat itu, rezim IM
bersikukuh untuk tidak mencabut dekritnya. Argumen utama IM adalah,
dekrit itu muncul karena dua motif: (1) membentengi Dewan
Konstituante (al-Lajnah at-Ta’sisiyah) dari Mahkamah Konstitusi dan
lembaga yudikatif yang berisi orang-orang dari rezim lama dan (2)
mempercepat pembentukan konstitusi baru.

Ringkas cerita, Presiden Muhammad Mursi yang diberi mandat


untuk mewujudkan tujuan revolusi dipandang gagal merealisasikannya.
Yang terjadi malah, menurut oposisi, kontrarevolusi: bukan demokrasi,
melainkan kediktatoran, otoritarianisme Islamis. Polarisasi sosial amat
panas.Rezim IM di Mesir didakwa oleh kelompok oposisi sebagai Firaun
baru.Dari sisi sebaliknya, para pendukung IM menyebut El Baradai
(pemimpin Front Penyelamatan Nasional atau Jabhah al-Inqazh al-
Wathaniy) sebagai penghasut dan pemecahbelah persatuan.

Konstitusi yang ditawarkan oleh rezim IM sebelumnya memang


menang dalam referendum.Namun itu belum menyelesaikan masalah,
justru memicu banyak demonstrasi.Kaum muda revolusi yang tentu saja
dibayangi oleh oposisi tidak puas.Yang jelas, legitimasi IM di
pemerintahan saat itu mulai mengalami defisit.Bukti yang paling
gamblang adalah keikutsertaan masyarakat Mesir dalam referendum
konstitusi itu hanya 32 persen.Ini tentu saja menjadi justifikasi bagi

4
oposisi dan kaum muda untuk menggugat validitas dan legalitas
konstitusi bentukan IM.

Lalu, ringkas cerita lagi, Muhammad Mursi akhirnya harus lengser


keprabon, pada 3 Juli 2013. Pada Ahad (30/06), tepat setahun masa
jabatan Mursi, jutaan orang berdemo di Alun-Alun Tahrir,
menyuarakan irhal, irhal (pergilah, hengkanglah). Dewan Militer
mengultimatum. Mursi pun bersikeras bertahan. Akhirnya, Mursi mau
tak mau tetap harus legawa: secara de facto kekuasaannya telah tercopot.

Gelombang protes yang meledak sejak Ahad itu adalah yang


terbesar dalam sejarah Mesir-konon, menurut media anti-Mursi,
gelombang massa itu lebih besar daripada saat Revolusi 25 Januari.
Gerakan protes itu terencana rapi. Disebut dengan “Tamarrud”
(Pembangkangan).Tersebab besarnya suara penuntutan mundur itu, mau
tak mau, pilihan yang paling membawa maslahat bagi rakyat Mesir
adalah Mursi harus legawa turun takhta.

Diberitakan, Mursi sempat teguh pendirian tidak akan memenuhi


tuntutan para demonstran. Sementara
penggerak tamarod (pemberontakan) yang dipromotori Gerakan Pemuda
6 April itu berkumpul di Tahrir, massa pro-Mursi berhimpun di Rabi’ah
al-‘Adawiyah. Mursi, Ikhwanul Muslimin (IM), dan para pendukungnya
meneriakkan “syar’iyyah, syar’iyyah” (legitimasi, legitimasi).

Namun justifikasi yang disuarakan Mursi dan pendukungnya


tampaknya kalah kuat dari argumen kontra-Mursi. Jubir gerakan
Tamarod Mahmud Badr mengklaim telah mengumpulkan lebih dari 22
juta tanda tangan (petisi) menentang Mursi. Itu jumlah yang melebihi
jumlah pemilih Mursi pada pemilu tahun lalu, 13,23 juta.

Apalagi, Dewan Militer memberi ultimatum. Tak terelakkan,


ultimatum itu memerosokkan Mursi dalam jurang dilema. Beberapa
menteri mengundurkan diri. Bahkan koalisi Partai Keadilan dan

5
Kebebasan, yakni Partai An-Nur, mendesak Mursi segera mengadakan
pemilu.

Namun takdir sudah menentukan bahwa IM mesti hengkang dari


tampuk kuasa. Sejak Mursi lengser, para pendukungnya masih belum
bisa menerima kenyataan. Berpusat di Rabi’ah al-‘Adawiyyah, para
pendukung Mursi menggerakan protes besar menuntut
dikembalikannya legitimasi. Sampai kini pun tampak bahwa para
pendukung Mursi masih menggelar demo. Mereka belum bisa
menerima.

Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) tampaknya masih hati-
hati, wait and see, meski belakangan dikabarkan bahwa AS sudah
menarik bantuan rutin tahunannya kepada Mesir. AS dan UE tampak
masih gamang, sebab belum kentara seberapa besar kekuatan yang
diprediksi akan memenangkan pemilu ke depan.

Siapa yang salah dalam tragedi berdarah pascalengsernya Mursi?


Pertanyaan ini tak mudah dijawab. Masing-masing memiliki saham
dalam “aksi dan reaksi”. Persoalannya begini: militer turun tangan sebab
pendukung Mursi demo berpekan-pekan, dan para Ikhwani demo dalam
skala yang semakin besar sebab militer terdapati menewaskan para
demonstran. Kehidupan publik tentu saja terganggu. Para pendukung
Mursi ngotot, meski sadar juga bahwa yang kontra-Mursi juga banyak.
Memang secara formal mereka hendak demo dengan damai (ihtijaj
silmiy). Tapi tetap ada sebagian yang provokatif, membawa anak-anak,
bahkan pakai kekerasan—yang ini, banyak disorot media kontra-Ikhwan.
Dalam tensi yang begitu panas, apalagi orang wataknya beda-beda, tentu
yang emosional akan jadi seperti “api disiram bensin”: mudah tersulut
kemarahannya.

Lalu Al-Azhar mengajak islah, rekonsiliasi, kompromi; antara


pemerintahan hasil kudeta (yang secara de facto memang dihegemoni
militer) dengan pendukung Mursi.Ini agar bentrokan tak berlarut-larut
dan korban tak terus berjatuhan. Tapi pendukung Mursi menolak: tiada

6
rekonsiliasi sebelum Mursi dikembalikan ke takhta kuasanya. Mereka
tetap demo. Tentu saja, pemerintah sebagai penjaga stabilitas negara dan
keamanan tak bisa diam. Road map untuk membentuk pemerintahan
baru, dan penyegeraan pemilu jadi terhambat.

Maka militer turun untuk membubarkan demonstrasi.Pendukung


Mursi memilih tetap melawan.Bagi mereka, perlawanan itu
“jihad”.Akibatnya, tentu banyak korban berjatuhan. Bila ada sedikitnya
ratusan korban tewas dari pendukung Mursi, ada puluhan tewas dari
pihak aparat. Di sini ada pertanyaan penting: Kalau demonya damai,
mengapa ada puluhan aparat polisi yang tewas juga? Dua pertanyaan ini
kurang disorot dan sudah dicari jawabnya di media pro-Ikhwan.

Namun demikian, presiden terpilih Muhammad Mursi gagal


melakukan konsolidasi politik.Hal ini dimanfaatkan oleh kelompok
oposisi yang didukung oleh militer untuk menggalang revolusi jilid II,
yang mereka sebut Tamarrud, 30 Juni 2013.

Presiden Mursi yang terpilih secara demokratis kemudian dikudeta


oleh militer dengan alasan demi menjaga stabilitas negara. Jenderal
Abdel Fatah As-Sisi, yang sebenarnya diangkat oleh Mursi untuk
menopang kekuasannya yang pro Islam, justru menunjukkan wajah
aslinya sebagai militer binaan AS yang akan terus menjaga kepentingan
AS di negara yang berbatasan langsung dengan Israel ini.

Dengan manipulasi demokrasi yang dilakukan, Jenderal As-Sisi


kini mengokohkan dirinya sebagai diktator baru Mesir.Hal ini juga
menunjukkan bahwa tujuan-tujuan Arab Spring di Mesir telah
mengalami kegagalan.

2.2.3 Libya

Kendati Muammar al-Qadhafi telah tiada, bukan berarti perjalanan


Libya “baru” untuk menempuh kehidupan yang demokratis akan
berjalan mulus. Pemerintahan Qadhafi yang sangat lama itu menyisakan

7
kekhawatiran akan intervensi Barat dan bahwa Libya akan dibawa
mengikuti demokrasi ala Barat.

Hingga terjadi Arab Spring di Libya pada tahun 2011, AS tidak


memiliki pengaruh apapun di negeri yang kaya minyak ini.Qaddafi
adalah agen setia Inggris. Dengan datangnya Musim Semi Arab serta
jatuhnya Hosni Mubarak di Mesir dan Zainal Abidin Ben Ali di Tunisia,
perubahan sosial dengan cepat meluas melintas batas hingga ke
Libya.Memahami bahwa Qaddafi tidak diinginkan lagi oleh rakyat
Libya, Inggris memutuskan berlepas tangan dari Qaddafi dan
menyiapkan pengganti.

Dengan adanya justifikasi stigma bahwa “ada pelanggaran HAM


berat” dilakukan oleh Qaddafi, terbitlah Resolusi PBB Nomor 1973
tentang Zona Larangan Terbang (No Fly Zone). Bahkan bukan sekadar
larangan terbang belaka, tetapi Barat dalam hal ini AS dan
sekutunya North Atlantic Treaty Organization (NATO) justru balik
membombardir Libya.

Puluhan negara yang tergabung dalam NATO menggempur Libya


hingga porak-poranda.Qaddafi dinyatakan “tewas”.Pemerintahan
(definitif) bubar. Pemerintah sementara tak digubris.Perampokan harta
Qaddafi berkedok pembekuan aset-asetnya di luar negeri pun menjadi
fenomena. Pergolakan senjata bermotif saling klaim SDA di internal
negeri terus berlanjut.Libya kini ibarat ladang yang ditinggal
pemiliknya, menjadi rebutan banyak orang.Libya berubah menjadi
(failed state) negara gagal yang berantakan.

Kontrol Pemerintah atas produksi minyak kini telah beralih ke


tangan milisi yang didukung Barat. Libya benar-benar terpecah menjadi
serpihan kekuatan yang dibagi-bagi ke beberapa kelompok milisi atas
nama suku, daerah, golongan islamis dan non-islamis. Mereka
setidaknya mengerucut pada dua faksi besar sehingga ibaratnya Libya
memiliki dua pemerintahan dengan Perdana Menteri, parlemen dan
angkatan bersenjatanya sendiri-sendiri.

8
AS justru mulai mendukung kekuatan ketiga: aset lama CIA,
Jenderal Khalifa Haftar. AS berupaya menempatkan dia sebagai diktator
baru Libya. Haftar memutuskan hubungan dengan Gaddafi pada tahun
1980 dan tinggal bertahun-tahun di Langley, Virginia, dekat kantor pusat
CIA. Di sana ia dilatih oleh CIA, dan telah mengambil bagian dalam
berbagai upaya perubahan rezim Libya oleh Amerika, termasuk batalnya
upaya penggulingan Gaddafi pada tahun 1996.

Pada tahun 1991 New York Times melaporkan bahwa Haftar


ditengarai menjadi salah satu di antara 600 tentara Libya yang dilatih
oleh pejabat intelijen Amerika dalam bidang sabotase dan keterampilan
gerilya lainnya. Ia dengan rapi sedang dipersiapkan sesuai kebutuhan
Amerika, dibarengi antusiasme Presiden Reagan untuk menggu-lingkan
Kolonel Gaddafi.

Kini, pasukan Haftar sedang berlomba-lomba dengan kelompok Al


Qaeda Ansar al-Sharia untuk menguasai kota terbesar kedua Libya,
Benghazi. Ansar al-Sharia adalah kelompok islamis yang dipersalahkan
oleh Amerika atas pembunuhan brutal Duta Besar AS Stevens.

Dengan demikian, kekuatan bersenjata di Libya terdistribusi di


antara Haftar dan Konferensi Nasional.Ada tiga tantangan besar yang
menghadang prospek demokrasi Libya.

Pertama, Libya adalah negara Arab sangat konservatif yang


membangun sendi-sendinya dari loyalitas tribalis/kesukuan.
Ketidaksiapan mereka untuk menerima kultur demokrasi diyakini akan
menghambat proses demokrasi di negeri mantan koloni Itali itu.

Pemerintahan baru Libya juga tampak mesti berhutang budi pada


Barat yang sudah membantu amat banyak dalam menumbangkan
Qadhafi. Prancis dan Inggris mendapat perlakuan khusus dalam
perdagangan minyak Libya.Jangan lupa pula, Qatar juga turut ambil
bagian dalam memasok bantuan kepada pasukan revolusi, meski kurang
begitu terdengar di media. Qatar bahkan dicemaskan akan mencampuri

9
urusan Libya dengan memperkuat pengaruh Islamis di Libya ke
depannya. Ini menandakan, Libya belumlah bisa bebas menentukan
sendiri demokrasi yang dikehendakinya.

Kedua, tantangan dari faksi-faksi Islamis. Pengaruh Islamisme,


yang mungkin dipengaruhi juga oleh suksesnya Islamis di Mesir dan
Tunisia, mulai tumbuh merebak. Abdel Fattah Younis, mantan loyalis
Qadhafi yang membantu pemberontakan di Benghazi, diduga kuat
berasal dari Islamis militan. Sementara itu, Abdel Hakim Belhaj, kepala
Dewan Militer Tripoli, adalah mantan pemimpin gerakan Islam Libya
yang memiliki kedekatan dengan al-Qaeda. Islamis Libya cukup tegas
mengutarakan keberatannya kepada NTC agar tidak membawa Libya
dengan berkiblat ke sekularisme Barat.

Ketiga, kepentingan minyak oleh Barat.Gelagat ke arah itu cukup


tampak bila membandingkan kasus Libya ini dengan, misalnya, campur
tangan Barat dalam krisis Suriah dan Yaman yang miskin minyak.
Memang, Barat sangat vokal mencampuri urusan Libya atas nama
mandat dari DK PBB. Tapi di luar itu, kita tidak bisa mengabaikan
begitu saja fakta bahwa Libya adalah penghasil minyak terbesar di
Afrika dan rangking ke-9 di seluruh dunia. Khawatirnya adalah, nantinya
Prancis, Inggris, dan AS akan meminta “imbalan jasa” atas bantuannya
kepada pasukan oposisi menumbangkan rezim Qadhafi.

2.2.4 Yaman

Sejak dekade 60-an, pertarungan sengit terjadi antara Amerika


Serikat dan Inggris di Yaman.Yaman, secara historis adalah negara yang
berada dalam pengaruh Inggris.AS mulai kepincut menanamkan
pengaruhnya di Yaman setelah menjadi otak dalam kudeta as-Salal tahun
1962. Republik Yaman lalu diumumkan. Inggris terus berusaha
mengendalikan daerah selatan Yaman hingga kemudian didirikanlah
republik di sana pada 30 Nopember 1967.

10
Inggris berusaha mengambil alih kembali apa yang sudah direbut
oleh AS dengan mendatangkan agennya, Ali Abdullah Saleh pada 1978
di Yaman Utara. Pada akhirnya Inggris dapat mengontrol Yaman
sepenuhnya melalui unifikasi Yaman oleh Ali Abdulah Saleh pada 22
Mei 1990.
Lepas dari pengaruh AS sekian lama, akhirnya AS mendapatkan
momentum untuk kembali menanamkan pengaruhnya di Yaman ketika
meletus berbagai protes rakyat di Yaman dan tuntutan revolusi pada
tahun 2011 untuk menjatuhkan rezim Ali Abdullah Saleh yang loyal
kepada Inggris yang sudah lama berkuasa.
Jatuhnya rezim Ali Abdullah Saleh tentunya menggembirakan AS.
Berikutnya AS memandang adanya kemungkinan melemah-kan
pengaruh Inggris di Yaman setelah lepas dari anteknya, Ali Abdulah
Saleh.
Setelah tekanan yang intens dan terjadi perdebatan politik, Saleh
menyetujui kesepakatan GCC pada akhir November 2011. Saleh
akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada Abdrabuh Mansur
Hadi,wakil presiden Yaman. Saleh berusaha menegosiasikan transfer
kekuasaan dengan pihak oposisi sebagai imbalan janji kekebalan dari
penuntutan.
Meskipun Saleh akan secara resmi mengundurkan diri sebagai
presiden dan pemilu akan berlangsung pada bulan Februari 2012,
transisi politik di Yaman sama sekali bukan merupakan perubahan
rezim. Kesepakatan itu memberikan Saleh mundur dengan bermartabat.
Tapi orang harus bertanya mengapa Saleh menyetujui kesepakatan itu
setelah menolak untuk menandatangani perjanjian yang sama pada
berbagai kesempatan sebelumnya? Tampaknya Saleh sudah
mempersiapkan diri dengan mewariskan rezim yang tetap dibawah
kontrol keluarganya.
Pasca Rezim Saleh, rezim itu penuh dengan anggota keluarganya.
Anaknya Ahmed Ali Saleh, masih tetap memiliki kontrol atas angkatan
bersenjata. Perjuangan di Yaman akan terus berlanjut karena Saleh
berupaya untuk mendikte kebijakan Yaman dari balik layar. Meskipun

11
secara resmi ia tidak lagi berkuasa. Yaman adalah contoh lain dimana
pribadi mungkin telah berganti tetapi rezim tetap berkuasa. Hal ini
membuat bangsa ini tetap tidak stabil.
Masalah terbesar dengan Yaman adalah perjuangan Anglo-
Amerika yang sedang berlangsung. Sekretaris Luar Negeri Inggris
Deputi Urusan Timur Tengah, Evan Louis ketika bertemu dengan Duta
Besar Yaman di London pada tanggal 24 November 2009 menjelaskan
mengenai situasi di Yaman: “Apa yang terjadi di Yaman adalah
perpanjangan perang (proxy war).”
Amerika telah menggunakan perang melawan teror untuk
melemahkan Ali Abdullah Saleh, dengan menuduh Yaman menjadi
tempat berkembang bagi Al Qaeeda. Ali Abdullah Saleh mencoba
menenangkan Amerika dengan sejumlah jaminan keamanan .Saleh
memberikan kesempatan bagi Amerika melakukan serangan pesawat
tak berawak di negeri itu.

2.2.5 Suriah

Bashar Al-Assad terus melakukan pembantaian terhadap rakyatnya


sendiri, sementara masyarakat internasional hanya menonton. Respon
masyarakat internasional sebagian besar hanyalah retorika. Disaat
banyak yang menyerukan pemecatan Assad, Amerika malah
menyerukan rezim Assad untuk melakukan reformasi.
Suriah kerap digambarkan sebagai negara yang tidak
memperdulikan aturan-aturan internasional dan mendukung militan
Hizbullah dan Palestina. Namun, yang luput dari pengawasan umum
adalah bahwa pemerintah Amerika selalu memandang Suriah sebagai
wakil Amerika yang penting yang dibutuhkan di wilayah tersebut.
Suriah telah menjaga kepentingan-kepentingan Amerika, diantaranya
tindakan penangkapan dan penyiksaan terhadap rakyatnya sendiri.
Di Irak, Suriah memainkan peran aktif dalam menginfiltrasi kaum
Islamis dan memberikan informasi intelijen berharga kepada pasukan
koalisi pimpinan AS. Termasuk kepada Pasukan Penangkis Suriah

12
(SDF) di Lebanon yang menjamin perlindungan kepentingan-
kepentingan Amerika dibawah Perjanjian Taif tahun 1989.
Amerika telah mendorong oposisi Suriah untuk memelihara dialog
dengan rezim Bashar al-Assad. Mempersiapkan road map reformasi
dengan tetap mempertahankan Assad. Hilary Clinton menjelaskan sikap
Amerika dalam wawancara dengan media Italia Di Mezz’Ora (mei
2011) : “Yang kami tahu adalah bahwa mereka (rezim Assad) masih
memiliki kesempatan melakukan agenda reformasi. Tak seorang pun
percaya Qaddafi akan melakukan hal itu. Orang percaya ada
kemungkinan jalan ke depan bagi Suriah. Jadi kami akan terus
bergabung dengan semua sekutu kami untuk terus untuk menekankan
dengan sangat keras pada masalah itu.”
Amerika mencoba menjaga Assad tetap berkuasa, namun sekaligus
mendukung pihak oposisi.Sebagai persiapan jika rezim Assad gagal
mempertahankan kekuasaannya. Oposisi Suriah secara terbuka mencari
intervensi internasional. Dalam pertemuan di Antalya, Turki, pada Juni
2011 oposisi Suriah berkumpul meminta Barat untuk membantu Suriah
seperti yang dilakukan di Libya. Amerika juga menyerukan pihak
oposisi bersatu sehingga dewan penguasa baru dapat terbentuk.
Selanjutnya Amerika akan berhubungan dengan dewan penguasa baru
ini, seperti Dewan Transisi Nasional di Libya.

2.3 Dampak Positif dan Negatif Adanya The Arab Spring


2.3.1 Dampak Positif

Arab Spring akan semakin menguatkan Timur-Tengah sebagai


salah satu episentrum baru pembangunan ekonomi dunia. Kebangkitan
politik Timur-Tengah memunculkan harapan baru bagi masyarakat
Timur-Tengah untuk dapat menikmati potensi ekonomi mereka.Pada
sisi politik Arab Spring juga memberikan pengaruh yang signifikan
pada pergeseran peta kekuatan politik dan pertahanan di kawasan
Timur-Tengah. Ketidak mampuan back-up Eropa dan Amerika Serikat
kepada Israel akibat dilumpuhkan oleh kebangkrutan ekonominya
masing-masing, akan membuat Israel terisolasi di kawasan tersebut.

13
Mengingat demokrasi yang muncul dari Arab Spring tentu akan
menyalurkan kemarahan masyarakat Arab terhadap Israel selama
puluhan tahun yang berhasil diredam oleh tiran-tiran mereka.

Arab Spring sejauh ini telah memunculkan rezim baru yang


dominan berasal dari gerakan-gerakan Islam.Demokrasi Tunisia
dimenangkan oleh Partai Islam Moderat Annahdah sedangkan
Demokrasi Mesir memunculkan Partai Kebebasan dan Keadilan yang
menjadi sayap politik organisasi Islam Moderat Ikhwanul Muslimin.
Sementara negara-negara Arab lainnya memiliki kecenderungan yang
sama. Sebelumnya Turki dengan Partai Islam Moderatnya, Partai
Keadilan dan Pembangunan berhasil menjadi rezim baru yang dicintai
rakyat Turki

2.3.2 Dampak Negatif

Perang terbuka di Timur Tengah secara signifikan akan membawa


dampak pelik dan negatif bagi masyarakat internasional secara umum.
Keamanan energi menjadi sektor yang paling terkena dampak. Sebagai
ladang minyak terbesar di dunia, di mana Arab Saudi dan negara-
negara Teluk memasok lebih dari 45 persen minyak dunia, pasar akan
merespons negatif terhadap perang Timur Tengah. Ketika terjadi Arab
Spring yang melanda dunia Arab tiga tahun lalu, harga minyak dunia
bahkan mencapai lebih 120 dolar AS/barel.
Stabilitas keamanan internasional jelas terimbas. Indonesia juga
tidak lepas dari kemungkinan itu, lebih-lebih kita sebagai negara
pengimpor minyak.Dampak lanjutannya, keamanan nasional di
berbagai negara menjadi melemah dan sangat rentan bagi munculnya
gejolak sosial. Rakyat yang terhimpit oleh mahalnya kebutuhan pokok
yang melambung akibat harga minyak dan dolar AS yang naik, sangat
mudah meluapkan kemarahannya.
Bagi Indonesia, hal semacam ini harus sigap diantisipasi karena
dampak langsung akan dirasakan oleh negeri ini jika perang benar-
benar pecah. Setiap hari Indonesia mengimpor minyak mentah rata-

14
rata 300-400 ribu barel/hari. Stabilitas ekonomi, sosial, keamanan, dan
energi ditumpukan pada tersedianya energi tak terbarukan ini.Lain
cerita jika kita pengekspor minyak.
Walhasil, harapan mewujudkan tata dunia baru yang damai dan
sejahtera akan sia-sia belaka. Perang, di manapun, hanya menjadikan
rakyat tak berdosa dan tak mengerti apa pun, harus menanggung dosa.
Mereka pihak pertama yang menjadi korban adu canggih persenjataan
modern. Mestinya, dengan kecanggihan teknologi senjata dan
berlebihnya uang dari minyak seperti Arab Saudi dan negara-negara
Teluk, diperuntukkan bagi kemaslahatan kesejahteraan dan
perdamaian dunia, bukan malah untuk menghancurkan perdamaian
dunia.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
The Arab Spring merupakan suautu peristiwa di mana beberapa
Negara Arab malakukan revolusi di negaranya. Namun, Arab spring
bukanlah Revolusi yang dilakukan dengan damai, penuh amukan masa dan
aparat polisis, militer, dan adu domba yang dilakukan oleh orang Barat.
Tindakan sewenang-wenang dan ketidak kemanusiaan membuat rakyat di
negara seperti Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah melkukan amuk
masal untuk menumbangkan rezim yang berkuasa. Hal ini tentu menjadi
kesempatan bagi Negara barat untuk melakukan manipulasi politik, mencari
celah di mana dengan keikut campuran mereka, mereka dapat menguasai
negara-negara tersebut karena kehausan barat akan kekayaan yang ada.

3.2 Saran
Pemakalah berharap agar para pembaca makalah ini serta mahasiswa
dapat mengenal dan memahami lebih dalam mengenai The Arab Springyang
dulunya menjadi pusat peradaban Islam Dunia, agar tahu betapa kerasnya
dunia politik di tempat-tempat yang sangat bersejarah bagi umat islam itu.

16
DAFTAR PUSTAKA

Manhire, Toby. The Arab Spring. London: Guardian Books 2012.

http://www.hizb-australia.org/culture/political-analysis/4027-arab-spring-
anniversary-an-update-on-the-latest-developments(translated by Riza). Di akses
pada 08/09/2019, 09.00 WIB.

http://www.kompasiana.com/margianta/arab-spring-amerika-serikat-dan-masa-
depan-demokrasi_559a57c70523bdd408a31136. Di akses pada 08/09/2019, 09.15
WIB.

http://www.bimbie.com/kekuatan-baru-di-dunia.html. Di akses pada 08/09/2019,


10.00 WIB.

17

Anda mungkin juga menyukai