1
DAFTAR ISI
2
DETASEMEN KESEHATAN WILAYAH SURABAYA
RUMKITBAN 05.08.03 SIDOARJO
SURAT KEPUTUSAN
KEPALA RUMKITBAN 05.08.03 SIDOARJO
Nomor : SK / 14 / XII / 2018
TENTANG
1
3. Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat Nomor 74 tahun
2014 tanggal 2 Desember 2014 Tentang organisasi
tugas kesehatan komando daerah militer diantaranya
organisasi tugas rumah sakit.
4. Rencana Strategis Rumkitban 05.08.03 Sidoarjo
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KESATU : Surat Keputusan kepala Rumkitban 05.08.03 Sidoarjo
tentang Kebijakan Pelatihan Bantuan Hidup Dasar dan
Lanjutan Rumkitban 05.08.03 Sidoarjo.
KEDUA : Kebijakan pelatihan Bantuan Hidup Dasar ditujukan
kepada semua staf Rumkitban 05.08.03 Sidoarjo
sedangkan untuk pelatihan Bntuan Hidup Lanjutan
ditujukan untuk tim Code Blue.
KETIGA : Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pelatihan
Bantuan Hidup Dasar dan lanjutan dilakukan oleh komite
medik dan komite keperawatan.
KEEMPAT : Surat Ketetapan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan
apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan
dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Sidoarjo
Pada Tanggal : 03 Desember 2018
Kepala Rumkitban 05.08.03 Sidoarjo
2
DETASEMEN KESEHATAN WILAYAH SURABAYA Lampiran Keputusan Kepala Rumkitban 05.08.03 Sidoarjo
RUMKITBAN 05.08.03 SIDOARJO Nomor : SK / 14 / XII / 2018
Tanggal : 03 Desember 2018
Ditetapkan di Sidoarjo
Pada Tanggal : 03 Desember 2018
Kepala Rumkitban 05.08.03 Sidoarjo
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. DEFINISI
1. BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Supporl, disingkat BLS)
adalah suatu tindakan penanganan yang dilakukan dengan
sesegera mungkin dan bertujuan untuk menghentikan proses yang
menuju kematian.
AHA (American Hearth Association) Guidelines 2015
mengumumkan perubahan prosedur CPR (Cardio Pulmonary
Resuscitation) yang sebelumnya menggunakan A-B-C (Airway-
Breathing - Circulation) sekarang menjadi C-A-B (Circulation -
Airway - Breathing).
a. C (Circulation) : Mengadakan sirkulasi buatan dengan
kompresi jantung paru.
b. A (Airway) : Menjaga jalan napas tetap terbuka
c. B (Breathing) : Ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
Indikasi Basic life support (BLS) dilakukan pada pasien-
pasien dengan keadaan sebagai berikut :
a. Henti Nafas (respiratory arrest)
Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada
dan aliran udara pernapasan dari korban / pasien. Henti napas
merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan
Hidup Dasar.
Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk ke
datam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat
mensirkulasikan darah ke otak dari organ vital lainnya, jika pada
keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat
agar korban dapat tetap hidup dan mencegah henti jantung.
4
b. Henti Jantung (cardiac arrest)
Pada saat terjadi henti jantung secara langsung akan
tefadi henti sirkulasi. Henti sirkulasi ini akan dengan cepat
menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.
Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan
tanda awal akan terjadinya henti jantung.
5
B. TUJUAN
Tindakan Basic life support (BLS) memiliki berbagai macam
tujuan, diantaranya yaitu :
1. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi oksigenasi organ -
organ vital (otak, jantung dan paru)
2. Mempertahankan hidup dan mencegah kematian
3. Mencegah komplikasi yang bisa timbul akibat kecelakaan
4. Mencegah tindakan yang dapat membahayakan korban
5. Melindungi orang yang tidak sadar
6. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.
7. Memberikan bantuan ekstemal terhadap sirkulasi dan ventilasi
dari korban yang mengalami henti jantung atau henti napas
melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP).
6
BAB II
RUANG LINGKUP
7
B. Ruang Lingkup BHL
Bantuan Hidup Lanjut (BHL) merupakan tindakan yang
dilakukan secara simultan dengan bantuan hidup dasar dengan tujuan
memulihkan dan mempertahankan fungsi sirkulasi spontan sehingga
perfusi dan oksigenasi jaringan dapat segera dipulihkan dan
dipertahankan. BHL memiliki tiga tahapan, yaitu terapi obat dan
cairan, electrokardiografi, dan terapi fibrilasi.
1. Obat – obatan dan Cairan
Dalam kasus henti jantung, terapi obat dan cairan
merupakan terapi yang paling penting setelah teknik kompresi
dada dan defibrilasi. Walaupun terapi obat dan cairan itu penting,
pemberiannya jangan sampai mengganggu tindakan kompresi
dada dan ventilasi. Dalam melakukan terapi obat dan cairan
tentunya harus dipikirkan juga jalur masuknya obat dan cairan.
Jalur yang sering digunakan dalam resusitasi adalah jalur
intravena dan intraosseous. Di bawah ini akan dijelaskan
mengenai terapi obat dan cairan yang meliputi jalur masuknya
obat dan cairan dan jenis obat serta cairan yang digunakan
dalam bantuan hidup lanjut.
a. Jalur obat – obatan dan cairan
1) Jalur Intravena Perifer
Pemberian obat-obatan dan cairan melalui jalur
intravena perifer sangat penting untuk dilakukan.
Tindakan ini harus dilakukan tanpa mengganggu
kompresi, airway management, atau terapi defibrilasi.
Apabila sudah terdapat jalur vena sentral, maka
pemberian obat-obatan dan cairan lebih baik melalui
jalur vena sentral. Jika belum terpasang jalur vena
sentral, pemasangan jalur vena perifer harus dilakukan
sesegera mungkin. Lokasi pemasangan jalur vena
perifer yang dianjurkan adalah vena antecubital, jugular
eksternal, atau femoralis.
8
Jika pemasangan jalur vena perifer sulit untuk
dilakukan, penyuntikan adrenalin pertama secara
intravena dapat dilakukan. Penyuntikan dilakukan
menggunakan jarum kecil di vena perifer. Pemberian
obat melalui vena perifer kemudian harus dilanjutkan
dengan pemberian 20 ml bolus cairan dan atau elevasi
ekstremitas yang terpasang kateter selama 10-20 detik
agar kerja obat dapat lebih dipercepat.
2) Jalur Intraosseous
Apabila kanulasi intravena sulit dilakukan, maka
pemberian obat-obatan dan cairan melalui jalur
intraosseous dapat dilakukan, terutama pada anak-
anak. Jalur intraosseous ini merupakan jalur
administrasi obat sementara selama resusitasi terjadi.
Setelah keadaan darurat teratasi, maka jalur
intraosseous ini harus segera diganti dengan jalur
intravena, baik itu vena perifer atau vena sentral.
Angka kesuksesan pemasangan jalur
intraosseous pada orang dewasa terbilang cukup
rendah, namun masih dapat dilakukan pada tibia dan
pada distal radius dan ulna. Jarum spinal yang rigid dan
berukuran 16-18 gauge dengan stylet atau jarum
khusus spinal dapat digunakan pada distal femur dan
anterior proksimal tibia. Jika melakukan pemasangan
jalur intraosseous di tibia, maka jarum ditusukkan 2-3
cm dibawah tuberositas tibia dengan sudut 90° menuju
bagian tengah tulang atau sedikit inferior untuk
menjauhi epifisis. Pemasangan dikatakan berhasil jika
jarum dapat berdiri tegak tanpa penyangga dan
sumsum tulang dapat diaspirasi melalui jarum yang
terpasang.
9
Jalur intraosseous ini sangat efektif untuk
pemberian cairan kristaloid, koloid, maupun darah.
Namun, pemberian obat-obatan melalui jalur ini akan
sedikit lebih lambat dibandingkan dengan jalur
intravena sehingga dosis obat yang diberikan harus
sedikit lebih banyak dibandingkan dengan dosis yang
dianjurkan dalam pemberian melalui jalur intravena.
Jalur intraosseous tidak dapat digunakan terus
menerus sebagai jalur untuk pemberian obat dan cairan
karena dapat meningkatkan resiko terjadinya
osteomyelitis dan sindrom kompartemen. Sehingga
sesegera mungkin harus dipindah ke jalur intravena.
Jalur intraosseous ini juga kontra indikasi pada pasien
yang memiliki riwayat hipertensi pulmonal, insufisiensi
pulmonal berat, dan right-to-left shunts karena dapat
mengakibatkan terjadinya fatemboli.
3) Jalur Endotrakeal
Dalam beberapa kasus resusitasi jantung-paru,
terkadang pemasangan kateter pada vena perifer atau
intraosseous secara cepat sulit untuk dilakukan
sehingga jalur endotrakeal ini dapat dijadikan alternatif.
Jalur endotrakeal dapat dilakukan selama terdapat pipa
endotrakeal dan pasien tidak sedang menggunakan
10
laryngeal mask airway (LMA). Hanya beberapa obat
yang dapat diberikan melalui jalur intrapulmonum.
Obat-obatan itu meliputi lidokain, epinephrine, atropine,
naloxone, dan vasopressin (kecuali natrium
bikarbonat). Jalur intrapulmonum ini tidak
direkomendasikan untuk rutin dilakukan pada keadaan
darurat. Jalur yang direkomendasikan dalam resusitasi
jantung-paru adalah jalur intravena dan intraosseous.
Pemberian obat melalui jalur intrapulmonum ini
memiliki kecepatan yang kurang efektif dibanding jalur
intravena atau intraosseous serta jumlah obat yang
masuk secara sistemik melalui jalur ini tidak konsisten.3
Sehingga dosis yang diberikan 3-10 kali lebih banyak
dibanding dengan dosis yang dianjurkan untuk jalur
intravena. Obat-obatan tersebut kemudian dilarutkan
dalam 10 ml normal salin.4 Obat-obatan selain yang
disebutkan sebelumnya tidak boleh diberikan melalui
jalur endotrakeal karena dapat menyebabkan
kerusakan pada mukosa atau alveolar.
Dosis atropine yang diberikan menurut
rekomendasi AHA 2010 ada 0.1 mg IV untuk mencegah
terjadinya bradikardia paradoksal. Namun pada AHA
2015, dikatakan bahwa tidak ada cukup bukti yang
mendukung penggunaan atropine secara rutin untuk
mencegah terjadinya bradikardia pada intubasi
pediatrik darurat.
Penelitian terbaru menyatakan bahwa
menggunakan atropine dengan dosis kurang dari 0.1
mg tidak meningkatkan kemungkinan terjadinya
bradikardia atau aritmia.
Pemberian obat intra jantung sudah tidak
dianjurkan selama RJP karena manfaat yang sedikit
11
namun memiliki resiko tinggi terjadinya komplikasi.5
Jalur intra jantung ini dapat menyebabkan
pneumotoraks, cedera arteri koronaria, dan gangguan
kompresi jantung yang lama. Selain itu, jika
penyuntikan obat tidak sengaja mengenai otot jantung
dapat menyebabkan disritmia intraktabel. Pemasangan
jalur intra jantung menggunakan jarum panjang dan
tipis, melalui intracostal space ke-5 di parasternal ke
dalam ruang jantung.
12
sentral adalah vena kava superior melalui vena
jugularis interna kanan.
Cara pemasangan kateter vena sentral melalui
vena jugularis interna kanan dimulai dengan melakukan
prosedur asepsis pada daerah yang akan dipasang
kateter vena sentral sambil mempersiapkan alat yang
dibutuhkan untuk memasang kateter vena sentral.
Setelah itu, putar kepala pasien kearah kiri, palpasi
arteri karotis dengan sebelah tangan dan memasukkan
jarum kateter tepat pada lateral arteri karotis, dalam
bidang paramedian, 45° kaudal, menembus kulit pada
puncak segitiga yang dibentuk oleh dua bagian otot
sternokleidomastoideous. Emboli udara harus dicegah
pada semua kanulasi vena sentral dengan upaya
sebagai berikut: kepala pasien sedikit lebih rendah. Jika
pasien sadar hendaknya diminta menahan nafas,
sedangkan untuk pasien tidak sadar hendaknya
mendapat ventilasi tekanan positif dan pada saat
diskoneksi yang tidak dapat dihindarkan, bagian
terbuka hendaknya ditutup dengan jari atau keran.
13
b. Obat – obatan
Obat-obatan yang digunakan dalam BHL ini seperti
yang sudah disebutkan sebelumnya memiliki banyak jenis.
Namun, obat-obatan yang penting untuk diberikan dalam BHL,
yaitu adrenalin, amiodaron, atropine, lidokain, kalsium,
magnesium, dan natrium bikarbonat.
1) Adrenalin
Adrenalin atau epinefrin merupakan obat yang
harus segera diberikan pada pasien yang mengalami
henti jantung selama kurang dari dua menit dan
disaksikan.
Adrenalin termasuk golongan katekolamin yang
bekerja pada reseptor alfa dan beta sehingga
menyebabkan vasokonstriksi perifer melalui reseptor
alfa adrenergik. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa pemberian adrenalin dengan dosis tinggi pada
penderita henti jantung dapat memberikan perbaikan
klinis (Return of Spontaneous Circulation) dibandingkan
dengan pemberian dengan dosis standar.
Indikasi pemberian adrenalin adalah pada pasien
dengan asistol dan PEA (Pulseless Electrial Activity)
dan fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi
yang gagal dengan terapi defibrilasi. Adrenalin pada
kasus asistol atau PEA diberikan sejak siklus pertama
dan diulang setiap 2 siklus berakhir. Sedangkan pada
kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa
nadi, adrenalin diberikan setelah defibrilasi pertama
gagal (setelah defibrilasi kedua dan diulang kembali
setiap 2 siklus berakhir).
Dosis yang diberikan untuk dewasa adalah 0.5-
1.0 mg secara intravena atau dapat diencerkan dengan
akuades menjadi 10 ml. Dosis yang digunakan pada
14
anakanak yaitu 10 mcg/kgBB. Adrenalin juga dapat
diberikan intratrakea melalui pipa endotrakea (1 ml
adrenalin 1:1.000 diencerkan dengan 9 ml akuades
steril). Pemberiannya dapat diulang setelah 3-5 menit
pemberian pertama dengan dosis sama seperti dosis
pertama. Setelah ROSC, untuk mencapai tekanan
darah adekuat, adrenalin dapat diberikan 1-20
mcg/menit lewat infus kateter sentral sesegera
mungkin.
Menurut AHA 2015, penelitian acak terhadap
orang dewasa di luar rumah sakit mendapatkan bahwa
penggunaan epinefrin berkaitan dengan peningkatan
ROSC dan ketahanan hidup bagi pasien yang akan
memasuki rumah sakit, tapi tidak berkaitan untuk
pasien yang akan dipulangkan. Penggunaan epinefrin
sewaktu serangan jantung merupakan hal yang wajar
namun pemberiannya bukan sebuah keharusan karena
rekomendasi tentang pemberian epinefrin selama
serangan jantung telah diturunkan sedikit pada Kelas
Rekomendasi.
Pemberian adrenalin memiliki efek yang
merugikan, yaitu takiaritmia, hipertensi berat setelah
tindakan resusitasi, dan nekrosis jaringan jika terjadi
ekstravasasi. Pemberian adrenalin yang
dikombinasikan dengan vasopressin tidak menimbulkan
gejala klinis yang lebih baik dibandingkan dengan
pemberian adrenalin itu sendiri, sehingga pemberian
adrenalin sebaiknya tidak perlu dikombinasikan dengan
vasopressin.
2) Amiodaron
Amioidaron merupakan anti-aritmia yang
memiliki efek pada kanal natrium, kalium, kalsium, dan
15
juga memblokade reseptor alfa dan beta adrenergik.
Amiodaron sendiri memiliki farmakokinetik dan
farmakologik yang kompleks. Penelitian menunjukkan
bahwa pemberian amiodaron setelah pemberian
adrenalin dapat meningkatkan ROSC dibandingkan
dengan tidak diberikan amiodaron. Amiodaron diberikan
kepada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel
takikardi tanpa nadi. Obat ini diberikan diantara fibrilasi
ketiga dan keempat pada pasien yang tidak merespon
dengan pemberian vasopressor dan terapi defibrillator.
Dosis pemberian amiodaron adalah sebagai
berikut: 300 mg bolus untuk pemberian pertama kali
dan kemudian dapat ditambah 150 mg. Selanjutnya,
pemberian amiodaron dapat dilanjutkan dengan
pemberian melalui infus dengan dosis pemberian 15
mg/kgBB selama 24 jam. Pemberian amiodaron ini juga
dapat dipertimbangkan sebagai profilaksis kambuhnya
fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel. Amiodaron
memiliki efek hipotensi dan bradikardi, sehingga
pemberiannya perlu diperhatikan.
3) Atropine
Sulfas atropine meningkatkan konduksi
atrioventricular dan automatisitas nodus sinus dengan
efek vagolitik. Atropine diindikasikan pada kasus
bradikardia yang disertai dengan hipotensi, ventricular
ektopi, atau gejala yang berhubungan dengan iskemia
miokardium. Atropine juga dapat diberikan sebagai
terapi pada second-degree heart block, third-degree
heart block, dan irama idioventricular lambat. Atropin
sering digunakan pada kasus henti jantung dengan
elektrokardiografi (EKG) asistol atau PEA.
16
Tidak ada penelitian yang menunjukkan secara
pasti penggunaan atropine meningkatkan prognosis
pada kasus henti jantung irama asistol atau bradisitolik.
Penanganan kasus asistol atau PEA yang paling efektif
adalah dengan melakukan kompresi dada, ventilasi,
dan epinefrin karena dapat meningkatkan perfusi arteri
koroner dan oksigenasi miokardium. Henti jantung
dengan irama asistol memiliki prognosis yang lebih
buruk dibandingkan dengan irama lainnya. Oleh karena
atropine memiliki efek samping yang sangat sedikit,
maka penggunaan atropine pada kasus henti jantung
dapat dipertimbangkan selain penggunaan epinefrin
dan oksigenasi. Namun penggunaan secara rutin pada
kasus henti jantung tidak direkomendasikan.
Dosis yang direkomendasikan pada kasus
bradikardia untuk dewasa adalah 0.5 mg IV setiap 3-5
menit dengan total dosis yang diberikan 3 mg. Untuk
anakanak dapat diberikan dengan dosis 0.02 mg/kgBB
dengan minimum dosis 0.1 mg dan dosis maksimal 1
mg (anak-anak), 3 mg (remaja) yang dapat diulang
setiap 35 menit. Dosis pemberian atropine pada kasus
irama tanpa denyut untuk orang dewasa adalah 1 mg
IV setiap 3-5 menit dengan total dosis 3 mg. Perlu
diperhatikan juga bahwa pemberian atropine dapat
menyebabkan irama sinus takikardia setelah resusitasi.
4) Kalsium
Kalsium memegang peranan penting dalam
aktivitas saraf dan otot normal. Kalsium biasanya
diberikan pada pasien dengan hiperkalemia,
hipokalsemia, dan overdosis obat kalsium channel
blocker. Kalsium sangat diperlukan pada kasus henti
jantung karena disosiasi elektromekanis setelah gagal
17
memulihkan sirkulasi spontan dengan pemberian
adrenalin. Kalsium ini juga diperlukan bila henti jantung
disebabkan oleh karena obat-obatan yang menekan
otot jantung. Sumber lain mengatakan pemberian
kalsium pada kasus henti jantung tidak dapat
mengembalikan sirkulasi spontan dan juga tidak
meningkatkan angka survival rate di rumah sakit
sehingga pemberian kalsium pada kasus henti jantung
tidak direkomendasikan. Efek samping dari pemberian
kalsium ini adalah kemungkinan meningkatkan cedera
miokardiak dan otak dengan kematian sel-sel
miokardiak dan otak serta dapat mengakibatkan
nekrosis jaringan dengan ekstravasasi.
Dosis yang biasanya digunakan pada resusitasi
orang dewasa adalah 5-10 ml dari 10% kalsium klorida
dihidrat. Atau dapat juga menggunakan sediaan
kalsium glukonas dengan dosis 10 ml dari 10% kalsium
glukonas.
5) Lidokain
Lidokain termasuk dalam golongan natrium
channel blocker yang biasanya digunakan sebagai
alternatif anti-aritmia. Pemberian lidokain tidak dapat
meningkatkan ROSC secara konstan dan tidak
berhubungan dengan perbaikan klinis pasien untuk
dapat dipulangkan dari rumah sakit. Dibandingkan
amiodaron, efektivitas lidokain sedikit lebih rendah
dalam pencapaian ROSC pada pasien dengan fibrilasi
ventrikel atau ventrikel takikardi yang tidak respon
terhadap RJP, defibrilasi, dan vasopressor.
Dosis pemberian lidokain dibagi menjadi sebagai
berikut: dosis awal diberikan 1 mg/kgBB bolus yang
dapat ditambah 0.5 mg/kgBB selama resusitasi.
18
Pemberian infus lidokain untuk ROSC tidak
direkomendasikan. Efek samping dari pemberian
lidokain adalah bicara tidak jelas (slurred speech),
penurunan kesadaran, kejang, hipotensi, bradikardi,
dan asistol.
Menurut AHA 2015, tidak terdapat cukup bukti
untuk mendukung penggunaan lidokain secara rutin
setelah serangan jantung. Namun, inisiasi atau
kelanjutan lidokain dapat dipertimbangkan segera
setelah ROSC dari serangan jantung akibat fibrilasi
ventrikel atau takikardi ventrikel. Penelitian pada pasien
yang selamat dari serangan jantung menunjukkan
adanya penurunan dalam insiden fibrilasi ventrikel atau
takikardi ventrikel berulang, namun tidak menunjukkan
manfaat maupun kerugian jangka panjang.
6) Magnesium
Magnesium merupakan vasodilator dan berperan
sebagai kofaktor dalam regulasi natrium, kalium, dan
kalsium melewati membrane sel. Magnesium tidak
dapat mengembalikan sirkulasi spontan pada pasien
dengan henti jantung dan juga tidak memberikan
perbaikan klinis atau neurologis sehingga pemberian
magnesium tidak direkomendasikan. Magnesium
diberikan pada kasus hipomagnesemia, hypokalemia,
henti jantung yang disebabkan oleh toksisitas digoxin,
kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa
nadi, dan torsade de pointes.
Dosis yang diberikan adalah 5 mmol magnesium
yang dapat diulang 1 kali kemudian diberikan intravena
sebanyak 20 mmol/4 jam. Efek samping yang dapat
ditimbulkan adalah dapat menyebabkan lemah otot dan
19
gagal napas pada penggunaan kalsium yang
berlebihan.
7) Natrium Bikarbonat
Natrium bikarbonat merupakan larutan alkalin
yang bercampur dengan ion hydrogen membentuk
asam karbonat lemah. Pada kasus henti jantung,
resusitasi jantung-paru yang efisien dan ventilasi yang
adekuat dapat mengurangi penggunaan natrium
bikarbonat. Sebagian besar penelitian menyatakan
tidak ada keuntungan dari pemberian natrium
bikarbonat pada pasien henti jantung sehingga
pemberian natrium bikarbonat secara rutin pada pasien
dengan henti jantung tidak direkomendasikan.
Dosis awal pemberian natrium bikarbonat adalah
1 mmol/kg yang diberikan selama 2-3 menit. Pemberian
obat ini dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
analisis gas darah untuk memantau koreksi asidosis
metabolik, sehingga pemberian bikarbonat selanjutnya
bisa digunakan rumus seperti berikut :
Dosis bikarbonat = defisit basa x 0.25 berat
badan.
Pemberian natrium bikarbonat dipertimbangkan
diberikan pada pasien dengan hyperkalemia, terapi
asidosis metabolik yang sudah terdokumentasi, terapi
pada overdosis trisiklik anti depresan, dan protracted
arrest (lebih dari 15 menit). Efek samping pemberian
natrium bikarbonat adalah alkalosis metabolik,
hypokalemia, hypernatremia, hyperosmolar. Pemberian
natrium bikarbonat kontraindikasi pada kasus asidosis
intraseluler karena dapat semakin memperparah
asidosis jika karbon dioksida yang dihasilkan natrium
bikarbonat masuk kedalam sel. Natrium bikarbonat dan
20
adrenalin atau kalsium tidak boleh dicampurkan
bersamaan karena dapat saling menginaktivasi,
mengendap, dan menyumbat jalur intravena.
c. Cairan
Pemberian cairan IV selama resusitasi darurat dan
bantuan hidup paska resusitasi memiliki tujuan sebagai
berikut:
1) Mengembalikan volume darah sirkulasi normal setelah
kehilangan cairan, penggunaan kombinasi larutan yang
mengandung elektrolit, koloid, dan sel darah merah. Infus
garam isotonik atau koloid yang cepat dan masif dapat
menyelamatkan nyawa, terutama pada kasus perdarahan
luar atau dalam yang berat.
2) Mengekspansi volume darah sirkulasi normal setelah henti
jantung dengan cairan kira-kira 10% volume darah
taksiran (10 ml/kgBB) guna mengganti volume darah
relatif akibat vasodilatasi, penimbunan di vena, dan
kebocoran kapiler.
3) Mempertahankan jalur intravena terbuka untuk pemberian
obat dan sekaligus memberikan hidrasi dasar dan
kebutuhan glukosa.
4) Mengatur cairan intravena dalam tubuh agar memperoleh
komposisi darah optimal, yaitu kadar elektrolit,
osmolaritas, dan tekanan osmotik koloid normal, albumin
serum (3-5 gr/dl); hematokrit (30-40%), dan glukosa
serum (100-300 mg/dl).
Pada pasien syok hipovolemik tanpa henti jantung, atau
pada masa paska henti jantung, diperlukan monitoring tekanan
arteri, aliran urin, dan tekanan vena sentral untuk menuntun
penggantian volume. Jenis cairan yang dipilih, yaitu kristaloid
21
(Ringer Laktat dan NaCl 0.9%) atau koloid, yang dapat
diberikan secara tunggal atau kombinasi.
2. Elektrokardiografi
Alat pantau elektrokardiografi (EKG) adalah alat pantau
standar yang wajib disediakan di masing-masing unit gawat darurat
karena diagnostik henti jantung mutlak harus ditegakkan melalui
pemeriksaan EKG. Gambaran EKG sangat menentukan langkah-
langkah terapi pemulihan yang akan dilakukan. Ada tiga pola EKG
pada henti jantung, yaitu asistol ventrikel, Pulseless Electrical
Activity (PEA), dan fibrilasi ventrikel.1, 3
a. Asistol Ventrikel
Asistol ventrikel merupakan ketiadaan denyut jantung
dengan gambaran EKG yang isoelektris. Paling sering
disebabkan oleh hipoksia, asfiksia, dan blok jantung.1
22
EMD merupakan salah satu jenis dari PEA dimana
terdapat gambaran ketiadaan denyut dengan EKG agonal (aneh
atau abnormal) atau kadang relatif normal tetapi tidak terdapat
pola QRS yang khas. Mekanisme kontraksi tidak efektif
sehingga denyut nadi tidak teraba. Disosiasi
pseudoelektromekanik merupakan keadaan dimana denyut nadi
tidak teraba namun masih ditemukan denyut jantung pada
gambaran EKG dengan ETCO2 yang tinggi. Disosiasi
pseudoelektromekanik memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan dengan EMD.
Irama ventricular escape adalah adanya denyut ventrikel
setelah hilangnya nodus atrial sehingga gambaran EKG akan
menunjukkan adanya gelombang QRS disertai dengan tidak
adanya gelombang Irama bradiasistolik merupakan irama
jantung yang terdapat irama ventricular kurang dari 60 kali per
menit pada dewasa atau tidak adanya denyut jantung.
Sedangkan irama idioventrikular postresusitasi dikarakterisasi
dengan adanya aktivitas gelombang yang teratur yang terlihat
segera setelah dilakukan cardioversion pada kasus dimana
sebelumnya tidak ada denyut yang teraba.
23
Gambar Irama Ventricular Escape
c. Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan gerak getar
ventrikel jantung secara kontinu dan tidak teratur sehingga tidak
bisa memompakan darah ke seluruh tubuh. Gambaran EKG
akan tampak osilasi yang khas kompleks QRS. Irama jantung ini
paling sering menyebabkan kematian jantung mendadak.
Penyebab dari fibrilasi ventrikel dibedakan menjadi dua,
primer dan sekunder. Mekanisme dari penyebab tersebut masih
belum diketahui dengan pasti. Penyebab primer yang paling
sering adalah iskemik otot jantung, reaksi obat, tersengat listrik,
dan kateterisasi pada jantung yang iritatif. Sedangkan penyebab
sekunder adalah usaha resusitasi pada asistol karena asfiksia,
tenggelam, dan akibat perdarahan.
d. Takikardi Ventrikel
Takikardi ventrikel merupakan takikardi yang bersumber
dari ventrikel. Potensi menjadi aritmia yang fatal sangat tinggi
akibat menurunnya curah jantung dan gagal sirkulasi. Definisi
dari takikardi ventrikel adalah ventrikular ekstrasistol yang timbul
berurutan dengan kecepatan >100 kali/menit, takikardi ventrikel
juga memiliki kompleks QRS yang lebar.
24
Gambar Takikardi Ventrikel
3. Terapi Fibrilasi
Terapi fibrilasi merupakan usaha untuk segera mengakhiri
disaritmia takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel menjadi irama
sinus normal dengan menggunakan syok balik listrik. Syok balik
listrik menghasilkan depolarisasi serentak semua serat otot jantung
dan setelah itu jantung akan berkontraksi spontan, asalkan otot
jantung mendapatkan oksigen yang cukup dan tidak menderita
asidosis.
Terapi fibrilasi diindikasikan untuk pasien dengan fibrilasi
ventrikel atau takikardi ventrikel. Fibrilasi ventrikel merupakan irama
yang sering muncul pada kasus henti jantung. Penanganan yang
paling efektif untuk henti jantung dengan irama tersebut adalah
dengan defibrilasi. Jantung yang terfibrilasi akan mengkonsumsi
oksigen lebih banyak sehingga akan memperburuk iskemia
miokardium. Defibrilasi harus dilakukan sesegera mungkin, karena
semakin lama fibrilasi dibiarkan, maka semakin sulit untuk
dilakukan defibrilasi dan banyak kerusakan sel jantung yang
ireversibel sehingga semakin kecil kemungkinan resusitasi akan
berhasil.
Defibrillator menyalurkan energi listrik dalam dua bentuk,
yaitu monofasik dan bifasik. Gelombang monofasik menyalurkan
energi hanya searah dari satu elektroda ke elektroda lainnya.
Gelombang bifasik membalikkan arah energi dengan mengubah
polarisasi elektroda dari bagian dimana energi tersebut disalurkan
sehingga gelombang monofasik membutuhkan energi yang lebih
besar dibandingkan gelombang bifasik. Gelombang bifasik
biasanya digunakan pada implantable cardioverter defibrillator
25
(ICD) yang kemudian dapat diadaptasi menjadi eksternal
defibrillator.
Terdapat hubungan antara ukuran tubuh dan energi yang
dibutuhkan untuk defibrilasi. Anak-anak membutuhkan energi yang
lebih sedikit dibanding dewasa dengan serendah-rendahnya 0.5
J/kgBB. Namun, ukuran tubuh tidak terlalu berpengaruh pada
dewasa. Beberapa studi menunjukkan bahwa defibrilasi yang
sukses dengan menggunakan energi yang rendah (160-200 J).
Penelitian yang dilakukan di luar dan di rumah sakit menunjukkan
bahwa terdapat kesuksesan defibrilasi yang sama ketika
menggunakan 200 J atau lebih rendah dari itu dibandingkan
dengan menggunakan 300 J atau lebih.
Pada defibrillator yang menggunakan gelombang bifasik,
dikenal ada dua jenis gelombang bifasik yaitu biphasic truncated
exponential waveform dan rectilinear biphasic waveform. Pada
AED, energi yang disalurkan akan diatur secara otomatis oleh alat.
Sedangkan pada manual defibrillator, akan diberikan range energi
yang efektif. Untuk defibrillator dengan jenis biphasic truncated
exponential waveform, maka energi yang disediakan berkisar
antara 150-200 J dengan tingkat kesuksesan lebih dari 90%.
Sedangkan untuk defibrillator jenis rectilinear biphasic waveform,
energi yang disediakan 120 J dengan tingkat kesuksesan yang
sama dengan biphasic truncated exponential waveform.
Gelombang monofasik direkomendasikan pemberian energi
sebesar 360 Joule untuk dewasa, sedangkan gelombang bifasik
direkomendasikan pemberian energi sebesar 200 Joule. Energi
dapat ditingkatkan bertahap apabila keadaan takikardi ventrikel
atau fibrilasi ventrikel tidak membaik setelah kejutan pertama. Tipe
bifasik lebih direkomendasikan untuk melakukan cardioversion
karena tipe bifasik memberikan tingkat kesuksesan yang sama
dengan menggunakan lebih sedikit energy. Penggunaan
gelombang bifasik lebih direkomendasikan dibandingkan dengan
26
gelombang monofasik karen penggunaan defibrillator dengan
energi besar akan meningkatkan potensi kerusakan otot jantung.
Sebelum memulai terapi fibrilasi, defibrillator harus diperiksa
dan dicoba terlebih dahulu kemampuannya memberikan energi
mulai dari rendah hingga tinggi. Pedal defibrillator luar (dada) untuk
dewasa memiliki diameter 14 cm, sedangkan untuk anak-anak
memiliki diameter 8 cm, dan untuk bayi memiliki diameter 4.5 cm.
Pedal defibrillator dalam (jantung) pada dada terbuka dewasa
adalah 6 cm, untuk anak-anak 4 cm, dan untuk bayi 2 cm. Lokasi
pedal defibrillator diletakkan dengan posisi anterior-lateral dengan
satu pedal diletakkan di ICS keenam pada midaxillary line kiri,
sedangkan pedal lainnya diletakkan di ICS kedua parasternal
kanan. Jika penderita memiliki payudara besar, pedal kiri dapat
diletakkan di bawah payudara dengan menghindari jaringan
payudara terkena kejutan.
27
Gambar Algoritma Resusitasi Henti Jantung
28
BAB III
TATA LAKSANA
29
ibu jari berada di sekitar mulut, angkat rahang ke atas dengan
jari-jari anda, dan ibu jari bertugas untuk membuka mulut
dengan mendorong dagu kea rah depan sembari mengangkat
rahang. Pastikan anda tidak menggerakkan kepala atau leher
korban ketika melakukannya.
30
Jika korban tidak bernapas tetapi nadi teraba (henti napas), berikan
bantuan napas sebanyak 10-12 x/menit. Pastikan jalan napas
bebas dari sumbatan. Jika korban tidak bernapas, nadi tidak ada
dan pasien tidak respon, maka dikatakan henti jantung. Segera
lakukan Resusitasi jantung Paru (RJP).
6. Langkah-langkah RJP
a) Letakkan korban pada permukaan datar dank eras untuk
memastikan bahwa korban mendapat penekanan yang
adekuat.
b) Pastikan dada korban terbuka untuk meyakinkan penempatan
tangan yang benar dan untuk melihat recoil dada.
c) Letakkan tangan dibagian tengah dada korban, tumpukan salah
satu pangkal tangan pada daerah setengah bagian bawah
tulang dada dan tangan yang lain di atas tangan yang bertumpu
tersebut.
d) Lengan harus lurus 900 terhadap dada korban, dengan bahu
penolong sebagai tumpuan atas.
e) Tekan dada dengan kecepatan 100-120 x/menit, dengan
kedalaman minimal 5 cm tetapi tidak boleh lebih dari 6 cm.
f) Selama melakukan penekanan, pastikan bahwa dinding dada
diberikan kesempatan untuk mengembang kembali ke
bentuknya semula (recoil penuh).
g) Berikan 2 kali bantuan napas setiap selesai melakukan 30 kali
penekanan dada, dengan durasi selama 1 detik untuk tiap
pemberian napas. Pastikan dada mengembang untuk tiap
pemberian bantuan napas.
31
7. Evaluasi
a) Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pernapasan setiap 5
siklus RJP ( 1 siklus terdiri dari 30 kompresi : 2 ventilasi)
b) Jika nadi tidak teraba, lanjutkan RJP 30:2 selama 5 siklus
c) Jika nadi teraba periksa pernapasan
d) Jika tidak ada napas lakukan napas buatan 10-12 x/menit (l
tiupan tiap 5-6 detik)
e) Jika nadi dan napas ada letakkan korban pada posisi recovery.
f) Evaluasi nadi, 'tanda-tanda sirkulasi' dan pernapasan tiap 2
menit.
32
Langkah 3
Penolong I
Mengiyakan
Menyelesaikan siklus 30 kompresi di ikuti 2 tiupan napas
Langkah 4
Penolong I
Evaluasi nadi dan tanda-tanda sirkulasi
Penolong 2
Menentukan posisi kompresi dada (saat penolong I mengevaluasi
nadi dan tanda-tanda sirkulasi)
Langkah 5
Penolong I
Jika nadi tidak teraba (bila nadi sulit di evaluasi dan tidak ada tanda-
tanda sirkulasi perlakukan sebagai henti jantung), katakana 'nadi
tidak teraba' lanjutkan RJP.
Langkah 6
Penolong 2
Lakukan kompresi dada
Selesaikan 30 kompresi
Langkah 7
Penolong I
Berikan 2 tiupan napas (setelah penolong 2 menyelesaikan tiap 30
kompresi dada) tanpa menghentikan kompresi dada.
Langkah 8
Ulangi siklus RJP
Penolong I : berikan 2 tiupan
Penolong 2 : lakukan 30 kompresi dada
33
Langkah - Langkah Perpindahan Peran
Langkah I
Penolong 2 (yang melakukan kompresi dada)
Meminta pergantian
Langkah 2
Penolong I
Berikan 2 tiupan napas setelah penolong 2 menyelesaikan 30
kompresi dada.
Pindah ke dada korban
Tentukan posisi kompresi dada.
Langkah 3
Penolong 2
Pindah ke kepala korban
Evaluasi nadi dan tanda-tanda sirkulasi
Jika nadi tidak teraba (bila nadi sulit di evaluasi dan tidak ada tanda-
tanda sirkulasi perlakukan sebagai henti jantung), katakan 'nadi tidak
teraba, lanjutkan RJP'
Langkah 4
Ulangi siklus RJP
Penolong I : lakukan 30 kompresi dada
Penolong 2 : berikan 2 tiupan napas
EVALUASI
Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pemapasan setiap 5 siklus
RJP 30:2
Jika nadi tidak teraba (bila nadi sulit di tentukan dan tidak dapat
tanda-tanda sirkulasi, perlakuan sebagai henti jantung), lanjutkan
RJP 30:2
Jika nadi teraba periksa pernapasan
Jika tidak ada napas, lakukan napas buatan 10-12x/menit (1 tiupan
tiap 5-6 detik)
Ulangi sampai 10-12 kali tiupan/rnenit.
34
Jika nadi dan napas ada, letakkan korban pada posisi recovery.
Evaluasi nadi, 'tanda-tanda sirkulasi' dan pernapasan tiap 2 menit.
35
3) Tungkai kanan tetap di pertahankan dalam posisi tersebut 90 0 pada
sendi lutut.
4) Monitor nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pernapasan setiap beberapa
menit.
36
ALGORITMA BHD
Lakukan RJP
30 kompresi 2 ventilasi
Gunakan AED segera
setelah tersedia
AED tersedia
37
B. Langkah – Langkah Bantuan Hidup Lanjut (BHL)
1. Komponen BHL
a. Pengamanan jalan nafas menggunakan alat bantu
b. Ventilasi yang adekuat
c. Pembuatan akses jalur intravena atau jalur alternatif untuk
induksi obat
d. Mengintepretasikan hasil EKG
e. Mengupayakan sirkulasi spontan dengan cara defibrilasi jantung
dan penggunaan obat emergensi yang sesuai indikasi
2. Peralatan
a. Oropharyngeal airway (OPA) atau nasopharyngeal airway
(NPA)
b. Resucitation bag dan sungkup muka atau mesin ventilator.
c. ETT dengan laringoskop, laryngeal mask airway atau
supraglotic airway device
d. Defibrillator, baik otomatis maupun manual yang memiliki
monitor irama jantung
e. Medikamentasa emergensi dan cairan infus
38
3. Prosedur
39
BAB IV
PENUTUP
Ditetapkan di Sidoarjo
Pada Tanggal : 03 Desember 2018
Kepala Rumkitban 05.08.03 Sidoarjo
40