Anda di halaman 1dari 18

ANTIHIPERTENSI

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

Kelompok 1 Page 1
ANTIHIPERTENSI

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA & PEMBAHASAN
2.1 Definisi
2.2 Klasifikasi Penyakit
2.3 Gejala & Tanda
2.4 Patofisiologi
Menurut (Triyanto,2014) Meningkatnya tekanan darah didalam arteri
bisa terjadi melalui beberapa cara yaitu jantung memompa lebih kuat
sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya arteri besar
kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku sehingga mereka tidak dapat
mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut.
Darah di setiap denyutan jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang
sempit dari pada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. inilah yang
terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku
karena arteriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga
meningkat pada saat terjadi vasokonstriksi, yaitu jika arter kecil (arteriola)
untuk sementara waktu untuk mengarut karena perangsangan saraf atau
hormon didalam darah. Bertambahnya darah dalam sirkulasi bisa
menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terhadap
kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam
dan air dari dalam tubuh meningkat sehingga tekanan darah juga
meningkat.
Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung berkurang arteri
mengalami pelebaran, banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan
darah akan menurun. Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut
dilaksanakan oleh perubahan didalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom
(bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara
otomatis). Perubahan fungsi ginjal, ginjal mengendalikan tekanan darah
melalui beberapa cara: jika tekanan darah meningkat, ginjal akan
mengeluarkan garam dan air yang akan menyebabkan berkurangnya
volume darah dan mengembalikan tekanan darah normal. Jika tekanan

Kelompok 1 Page 2
ANTIHIPERTENSI

darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air,


sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali normal.
Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim
yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensin, yang
selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron. Ginjal merupakan
organ peting dalam mengembalikan tekanan darah; karena itu berbagai
penyakit dan kelainan pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya tekanan
darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal
(stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan hipertensi. Peradangan dan
cidera pada salah satu atau kedua ginjal juga bias menyebabkan naiknya
tekanan darah (Triyanto 2014).
Perubahan struktural dan fungsional pada system pembuluh perifer
bertanggung pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan
ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada
gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh
darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya
dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume
secukupnya), mengakibatkan penurunan curah jantung dan meningkatkan
tahanan perifer (Triyanto 2014).

2.5 Manifestasi Klinik


2.6 Diagnosa
2.7 Penatalaksanaan
2.8 pengobatan
2.8.1 Non Farmakologi
Terapi non farmakologi untuk hipertensi yaitu:
 Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan
perubahan gaya hidup, termasuk pengurangan berat badan jika
kelebihan berat badan, konsumsi makanan tinggi serat, rendah
lemak, kaya buah-buahan dan sayuran, pembatasan diet natrium

Kelompok 1 Page 3
ANTIHIPERTENSI

ideal untuk 1,5 g / hari (3,8 g / hari natrium klorida), teratur aktivitas
fisik aerobik, kurangi konsumsi alkohol, berhenti merokok.
 Modifikasi gaya hidup sendiri adalah terapi yang tepat untuk pasien
dengan prehipertensi. Pasien yang didiagnosis dengan hipertensi
stadium 1 atau 2 harus ditempatkan pada modifikasi gaya hidup dan
terapi obat secara bersamaan (Dipiro edisi 7)

2.8.2 Farmakologi
1. Golongan Diuretik
2. Golongan ACEi
Penghambat enzim pengonversi-angiotensin
(Angiotensin Cnverting Enzyme/ ACE) dibedakan atas dua
kelompok yaitu 1) Yang bekerja langsung, contohnya kaptopril
dan lisinopril. 2) Prodrug, contohnya enalapril, kuinapil,
perindopril, ramipil, silazapril, benazepril, fosinopril, dan lain-
lain. Obat ini dalam tubuh diubah menjadi bentuk aktif yaitu
berturut-turut, enalaprilat, kuinaprilat, perindoprilat, ramiprilat,
silazaprilat, benazeprilat, fosinoprilat dan lain-lain (Gunawan,
2009).
a. Mekanisme Kerja
ACE Inhibitor menghambat perubahan angiotensin I
menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan
penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi
bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam
darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE
inhibitor. Vasodilator secara langsung akan menurunkan
tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan
menyebabkan eksresi air dan natrium dan retensi kalium
(Gunawan, 2009).
b. Penggunaan

Kelompok 1 Page 4
ANTIHIPERTENSI

ACE inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang


maupun berat. Bahkan beberapa diantaranya dapat
digunakan pada krisis hipetensi seperti kaptopril dan
enalaprililat. Kombinasi dengan diuretik memberikan efek
sinergistik (sekitar 85% pasien TD-nya terkendali dengan
kombinasi ini). Sedangkan efek hipokalemia diuretik
dicegah. Kombinasi dengan beta bloker memberikan efek
aditif. Kombinasi dengan vasodilator lain, termasuk prazosin
dan antagonis kalsium, memberikan efek yang baik. Tetapi
pemberian bersama penghambat adrenergik lain
menghambat respon adrenergik alfa dan beta (misalnya
klonidin, metildopa, labetolol atau kombinasi alfa dengan
beta bloker) sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan
hipotensi berat dan berkepanjangan (Gunawan, 2009).
ACE inhibitor terpilih untuk hipertensi dengan gagal
jantung kongestif. Obat ini juga menunjukkan efek positif
terhadap lipid darah dan mengurangi resistensi insulin
sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes,
dilipidemia dan obesitas. Obat ini juga sering digunakan
untuk mengurangi proteinuria pada sindrom nefrotik dan
nefropati DM, hipertrofi ventrikel kiri, penyakit jantung
koroner dan lain-lain (Gunawan, 2009).
c. Dosis (Gunawan, 2009)
Obat Dosis Frekuensi Sediaan
(mg/hari) Pemberian
Kaptopril 25-100 2-3x Tab 12,5 dan
25 mg
Benazepril 10-40 1-2x Tab 5 dan 10
mg

Kelompok 1 Page 5
ANTIHIPERTENSI

Enalapril 2,5-40 1-2x Tab 5 dan 10


mg
Fosinopril 10-40 1x Tab 10 mg
Lisinopril 10-40 1x Tab 5 dan 10
mg
Perindopril 4-8 1-2x Tab 4 mg
Quinapril 10-40 1x Tab 5, 10
dan 20 mg
Ramipril 2,5-20 1x Tab 10 mg
Trandolapril 1-4 1x
Imidapril 2,5-10 1x Tab 5 dan 10
mg

d. Efek Samping (Gunawan, 2009)


1) Hipotensi. Dapat terjadi pada awal pemberian, terutama
pada hipertensi dengan aktivitas renin yangtinggi.
Pemberian harus berhati-hati pada pasien dengan
deplesi cairan dan natrium, gagal jantung atau yang
mendapat kombinasi beberapa antihipertensi.
2) Batuk Kering. Merupakan efek samping yang paling
sering terjadi dengan insiden 5-20%, lebih sering pada
wanita dan lebih sering terjadi pada malam hari. Dapat
terjadi segera atau setelah bebeapa lama pengobatan.
Diduga efek samping ini ada kaitannya dengan
peningkatan kadar bradikinin dan substansi P, dan atau
prostaglandin. Efek samping ini bergantung pada
besarnya dosis dan bersifat reversibel bila obat
dihentikan.
3) Hiperkalemia. Dapat terjadi pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal atau pada pasien yang juga

Kelompok 1 Page 6
ANTIHIPERTENSI

mendapat diuretik hemat kalium, AINS, suplemen kalium


atau beta bloker.
4) Rash dan Gangguan pengecapan. Lebih sering terjadi
dengan kaptopril tapi juga dapat terjadi dengan ACEi
yang lain. Diduga karena adanya gugus sulfhidril yang
tidak dimiliki oleh ACEi lain. Gangguan pengecapan
terjadi kira-kira 7% yang mendapat kaptopril.
5) Edema angioneurotik. Terjadi pada 0,1-0,2% pasien
berupa pembengkakan di hidung, bibir, tenggorokan,
laring dan sumbatan jalan napas yang bisa berakibat
fatal. Efek samping yang berat adakalanya memerlukan
pemberian epinefrin, antihistamin atau kortikosteroid.
6) Gagal ginjal akut yang reversibel dapat terjadi pada
pasien dengan stenosis artei renalis bilateral atau pada
satu-satunya ginjal yang befungsi. Hal ini disebkan
dominasi efek ACEi pada arteriol eferen yang
menyebabkan tekanan filtrasi glomerulus semakin
rendah sehingga filtrasi semakin berkurang.
7) Efek Teratogenik. Terutama pada pemberian selama
trimester 2 dan 3 kehamilan. Dapat menimbulkan gagal
ginjal fetus atau kematian fetus akibat berbagai kelainan
lainnya.
3. Golongan ARB
4. Golongan CCB
5. Golongan B-Bloker
Beta-blocker (penyekat beta) adalah salah satu obat
yang digunakan untuk mengobati hipertensi, nyeri dada,
dan detak jantung yang tidak teratur, dan membantu
mencegah serangan jantung berikutnya. Penyekat beta
bekerja dengan memblok efek adrenalin pada berbagai
bagian tubuh. Bekerja pada jantung untuk meringankan

Kelompok 1 Page 7
ANTIHIPERTENSI

stress sehingga jantung memerlukan lebih sedikit darah


dan oksigen meringankan kerja jantung sehingga
menurunkan tekanan darah.

A. Mekanisme

Mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian


ß-blocker dikaitkan dengan hambatan reseptor ß , antara lain
penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas
miokard sehingga menurunkan curah jantung, hambatan
sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat
penurunan produksi angiotensin II, efek sentral yang
mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada
sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron
adrenergik, perifer dan peningkatan biosintesis protasiklin.
Contohnya, acebutolol, atenolol, metoprolol dan propranolol
(Nafrialdi, 2007). Efek samping ß-blocker, antara lain
dekompensasi jantung, bronchokonstriksi, rasa dingin di jari-
jari kaki tangan dan rasa lemah, toleransi glukosa, efek
sentral, gangguan lambung usus, dan penurunan kolesterol-
HDL (Tjay & Rahardja, 2007).
Obat-obat yang menghalangi pengikatan norepinefrin
dan epinefrin (adrenalin) pada reseptornya di syaraf
simpatis, khususnya reseptor β disebut juga dengan β
blocker. Hal ini menghambat efek simpatik normal yang
bertindak melalui reseptor tersebut. β blocker bersifat
mengurangi atau menghilangkan efek stimulasi pada
reseptor beta oleh katekolamin (noradrenalin dan adrenalin)
yang dihasilkan pada ujung postganglion saraf simpatik dan
pada medula suprarenalis. Oleh karena itu β blocker

Kelompok 1 Page 8
ANTIHIPERTENSI

termasuk obat simpatolitik. β blocker disebut juga dengan β-


adrenergic blocking agents.
B. Penggunaan
Pemakaian β blocker dapat memperlambat atau
menurunkan frekuensi denyut jantung, mengurangi kontraksi
otot jantung, menurunkan kontraksi pembuluh darah di
jantung, otak, serta dapat mengurangi produksi zat
berbahaya yang dihasilkan oleh tubuh sebagai respon
terhadap gagal jantung. β blocker mengurangi produksi dari
aqueous humor dalam mata dan oleh karenanya digunakan
untuk mengurangi tekanan dalam mata yang disebabkan
oleh glukoma.
β blocker dapat diberikan pada pasien dengan aritmia
jantung, takikardia dan irama jantung yang tidak teratur,
seperti denyut prematur ventrikel. Juga dapat digunakan
untuk mengobati angina karena dapat menurunkan
kebutuhan oksigen otot jantung. Angina pectoris terjadi
ketika kebutuhan jantung akan oksigen lebih besar dari
pasokan yang tersedia. Beta-blocker juga digunakan untuk
mencegah sakit kepala migrain dan beberapa golongan
penyakit tremor.
C. Dosis

Jenis Obat Dosis (mg/hari) Frekuensi


Pemberian
Kardioselektif Metoprolol 50-100 1-2 kali sehari
Atenolol 25-100 1-2 kali sehari
Bisoprolol 5-10 1 kali sehari
Acebutolol 200-800 2 kali sehari
Non kardioselektif Propanolol 40-180 1-2 kali sehari
Timolol 10-20 2 kali sehari
Carvedilol 6,25-25 (DM 50 2 kali sehari
mg)
Labetalol 200-400 2 kali sehari

Kelompok 1 Page 9
ANTIHIPERTENSI

Nadolol 40-80 1 kali sehari

D. Efek samping
1. Bronko spasme, beta-bloker non-kardioselektif dan tanpa
mengandung sifat AIS sering menyebabkan spasme bronkhus
pasa pasien dengan riwayat asma bronkial atau penyakit paru-
paru kronik.
2. Bradikardi, semua beta-bloker terutama yang tidak mengandung
sifat AIS menyebabkan penurunan denyut jantung kira-kira 10-
15%.
3. Payah jantung, beta-bloker non-kardioselektif dan tanpa
mengandung AIS dapat menyebabkan payah jantung pada
pasien yang sudah menderita gangguan faal jantung.
4. Gangguan susunan saraf pusat, beta-bloker yang larut lemak
seperti propanolol dapat menyebabkan gangguan susunan saraf
pusat seperti agitasi, insomnia, dan depresi
5. Gangguan saluran pencernaan, semua beta-bloker
menyebabkan iritasi lambung, diare atau konstipasi pada pasien
tertentu, indvidual.
E. Golongan Alfa Bloker
a. Mekanisme Kerja
Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penyekat
reseptor α1 selektif. Bekerja pada pembuluh darah perifer
dan menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot
halus, menyebabkan vasodilasi dan menurunkan tekanan
darah. Pada studi ALLHAT doxazosin adalah salah satu
obat yang digunakan, tetapi di stop lebih awal karena
secondary end point stroke, gagal jantung, dan kejadian
kardiovaskular terlihat dengan pemberian doxazosin
dibanding chlorthalidone. Tidak ada perbedaan pada
primary end point penyakit jantung koroner fatal dan infark

Kelompok 1 Page 10
ANTIHIPERTENSI

miokard nonfatal. Data ini menunjukkan kalau diuretik tiazid


superior dari doxazosin (dan barangkali α1-blocker lainnya)
dalam mencegah kejadian kardiovaskular pada pasien
dengan hipertensi.
b. Penggunaan
Penyekat alfa adalah obat alternatif kombinasi dengan
obat antihipertensi primer lainnya. Penyekat α1 memberikan
keuntungan pada laki-laki dengan BPH (benign prostatic
hyperplasia). Obat ini memblok reseptor postsinaptik α1
adrenergik ditempat kapsul prostat, menyebabkan relaksasi
dan berkurang hambatan keluarnya aliran urin.
c. Dosis
Obat Dosis Frekuensi
(mg/hari) Pemberian
Doxazosin 1-8 1
Prazosin 2-20 2 atau 3
Terazosin 1-20 1 atau 2

d. Efek Samping
Efek samping yang tidak disukai dari penyekat alfa
adalah fenomena dosis pertama yang ditandai dengan
pusing sementara atau pingsan, palpitasi, dan bahkan
sinkop 1 -3 jam setelah dosis pertama. Efek samping dapat
juga terjadi pada kenaikan dosis. Episode ini diikuti dengan
hipotensi ortostatik dan dapat di atasi/dikurangi dengan
meminum dosis pertama dan kenaikan dosis berikutnya
saat mau tidur. Hipotensi ortostatik dan pusing dapat
berlanjut terus dengan pemberian terus menerus.
Penggunaannya harus hati-hati pada pasien lansia.
Penyekat alfa melewati hambatan otak-darah dan dapat

Kelompok 1 Page 11
ANTIHIPERTENSI

menyebabkan efek samping CNS seperti kehilangan


tenaga, letih, dan depresi (Depkes RI, 2006).

F. Golongan Penghambat Renin


G. Golongan Vasodilator Langsung
2.9 Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penggunaan obat merupakan proses jaminan mutu resmi
dan terstruktur yang dilaksanakan terus menerus, yang ditujukan untuk
menjamin obat yang tepat, aman dan efektif. Evaluasi penggunaan obat ini
ditinjau dari aspek tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat dosis dan
frekuensi pemberian, karena hanya tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien,
tepat dosis dan frekuensi pemberian yang terjangkau oleh peneliti, dan
kriteria rasional yang lain selain membutuhkan waktu yang lama juga biaya
yang tidak sedikit.

a) Tepat diagnosis.
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis
yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan
obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru. Ketepatan
diagnosis diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium,
dan pemeriksaan penunjang lainnya. Kekeliruan diagnosis akan
mengakibatkan kekeliruan dalam memilih obat yang diperlukan
(Sastramihardja, 1997)

b) Tepat indikasi
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik (Anonim
Ketepatan indikasi berkaitan dengan penentuan perlu tidaknya suatu obat
diberikan pada kasus tertentu (Sastramihardja, 1997)

c) Tepat pemilihan obat


Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Ketepatan jenis obat berkaitan dengan
pemilihan kelas terapi dan jenis obat berdasarkan pertimbangan maanfaat,
keamanan, harga dan mutu. Sebagai acuannya bisa digunakan buku
pedoman pengobatan (Sastramihardja, 1997)

d) Tepat dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap
efek terapi obat (Anonim, 2006). Ketepatan dosis, cara dan lama pemberian
diperoleh dengan mempertimbangkan sifat farmakokinetik dan

Kelompok 1 Page 12
ANTIHIPERTENSI

farmakodinamik obat, kondisi pasien, manifestasi respons individual,


kepatuhan penderita, dan sifat penyakitnya (Sastramihardja, 1997)

e) Tepat cara pemberian


Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan
praktis agar mudah ditaati oleh pasien.

f) Tepat interval waktu pemberian


Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari)
semakin rendah tingkat ketaatan minum obat.

g) Tepat lama pemberian


Lama pemberian obat harus tepat sesuai dengan penyakitnya.

h) Waspada efek samping


Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek
tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi.

i) Penilaian terhadap kondisi pasien


Respons individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih
jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin, dan aminoglikosida.
Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida
sebaiknya dihindarkan karena resiko terjadinya nefrotoksik pada kelompok
ini meningkat secara bermakna.

j) Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
dalam menunjang keberhasilan terapi.

k) Tepat dalam melakukan upaya tindak lanjut


Pada saat memutuskan pemberian terapi harus sudah dipertimbangkan
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau
mengalami efek samping dosis obat perlu ditinjau ulang atau mengganti
obatnya.

l) Obat yang efektif, aman dan mutu terjamin dan terjangkau

Untuk efektif dan aman dan terjangkau digunakan obat-obat dalam


daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan
dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para
pakar dibidang
pengobatan dan klinis.

Kelompok 1 Page 13
ANTIHIPERTENSI

Hipertensi lebih sering terjadi pada perempuan yang berusia lanjut


karena berkurangnya kuantitas hormone estrogen saat menopause yang
memegang peranan penting dalam faktor resiko sehingga dapat
menyebabkan hipertensi (Dian et al., 2009). Insidensi hipertensi meningkat
seiring dengan pertambahan umur. Pasien yang berumur di atas 60 tahun,
50 – 60 % mempunyai tekanan darah lebih besar atau sama dengan
140/90 mmHg. Hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada
orang yang bertambah usianya (Oktora, 2007).

Tabel 1. Gambaran Karakteristik Subjek Evaluasi

No Karakteristik Jumlah Persentase (%)


Responden Responden
1 Jenis kelamin
a. Laki-laki 26 28,26
b. Perempuan 66 71,74
2 Usia (tahun)
a. 18-25 3 3,26
b. 26-35 5 5,43
c. 36-45 10 10,87
d. 46-55 23 25
e. 56-65 51 55,44
3 Tekanan darah
a. Hipertensi derajat 1 43 46,74
b. Hipertensi derajat 2 49 53,26

Tabel 2. Distribusi Penggunaan Antihipertensi Pada Responden Hipertensi


di Puskesmas X
Golongan Jenis Obat Jumlah Obat Persentase
Antihipertensi yang Diresepkan (%)

Diuretik Tiazid Hidroklorotiazid 19 16,10


Diuretik Kuat Furosemid 1 0,85
Diuretik Hemat Kalium Spironolakton 1 0,85
Penghambat Enzim Captopril 56 47,46
Konversi Angiotensin
Penghambat Kanal Amlodipin 41 34,75
Kalsium

Tabel 3. Rasionalitas Pengobatan Hipertensi di Puskesmas X Berdasarkan


Kriteria Tepat Obat

Diagnosis Resep Pedoman Menurut JNC 7 Kesesuaian Obat (%)

Sesuai Tidak sesuai

Kelompok 1 Page 14
ANTIHIPERTENSI

1. Hipertensi 1.Hidroklorotiazid Tunggal antara: HCT/ 43 -


derajat 1 2.Captopril Captopril/ (46,74%)
(n=43) 3.Amlodipin Amlodipin
27
2.Hipertensi 1. Tunggal 1. Tunggal - (29,35%)
derajat 2 • HCT
(n=49) • Captopril
• Amlodipin

2. Kombinasi 2. Kombinasi -
22
• • HCT+Captopril (23,91%)
Hidroklorotiazid+Captopril • HCT+Amlodipin
• • Captopril+Amlodipin
Hidroklorotiazid+Amlodipin • Furosemid+Amlodipin
• Captopril+Amlodipin • Captopril + Spironolakton
• Furosemid+Amlodipin + Amlodipin
• Captopril + Spironolakton
+
Amlodipin

27
Total 65
(29,35%)
(70,65%)

Pengobatan hipertensi yang ditemukan masih ada yang belum


rasional pada kriteria tepat dosis dan frekuensi, hal ini dikarenakan pada
pemilihan obat untuk pasien hipertensi derajat 2, pemberian dosis dan
frekuensi pemakaian antihipertensi yang tidak sesuai. Dampak negatif
penggunaan obat yang tidak rasional sangat beragam dan bervariasi
tergantung dari jenis ketidakrasionalan penggunaannya. Dampak negative
ini dapat saja hanya dialami oleh pasien yaitu berupa efek samping dan
biaya yang mahal maupun oleh populasi yang lebih luas berupa mutu
pengobatan dan pelayanan (Kemenkes RI, 2011).
Faktor yang mempengaruhi kerasionalan penggunaan obat adalah
pola peresepan, pelayanan yang diberikan bagi pasien, dan tersedianya
obat untuk diberikan kepada pasien. Faktor peresepan berpengaruh
langsung pada ketepatan pemberian obat yang akan dikonsumsi oleh

Kelompok 1 Page 15
ANTIHIPERTENSI

pasien. Faktor pelayanan pasien berpengaruh pada ketepatan diagnosis


dan terapi untuk pasien, serta informasi yang seharusnya diterima oleh
pasien agar pasien mengerti akan tujuan terapinya dan paham tentang
penggunaan obatnya. Faktor ketersediaan obat esensial menjadi
penunjang bagi tenaga kesehatan untuk dapat melaksanakan pengobatan
yang rasional (WHO,1993).
Faktor yang menunjang tercapainya penggunaan obat yang rasional
adalah adanya komitmen dari tenaga kesehatan khususnya dokter dan
apoteker untuk menerapkan penatalaksanaan terapi obat dengan efektif
dan efisien sesuai dengan diagnosa pasien. Hal ini juga ditunjang dengan
adanya komunikasi yang baik antar tenaga kesehatan tentang penggunaan
obat yang rasional. Untuk mengatasi masalah penggunaan obat yang tidak
rasional diperlukan beberapa upaya perbaikan, baik di tingkat provider,
yaitu pembuat resep (prescriber), penyerah obat (dispenser), dan pasien/
masyarakat (consumer) hingga sistem kebijakan obat nasional (WHO,
2002; Kardela et al., 2014).
Evaluasi pengobatan hipertensi rawat jalan sebagian besar adalah
perempuan (71,74%), usia 56-65 tahun (55,44%) dan menderita hipertensi
derajat 2 (53,26%). Obat yang digunakan pasien hipertensi yaitu kaptopril
(47,46%), amlodipin (34,75%), hidroklorotiazid (16,10%), furosemid
(0,85%), dan spironolakton (0,85%). Evaluasi rasionalitas penggunaan obat
pada pasien hipertensi berdasarkan pedoman JNC 7 menunjukkan tepat
indikasi sebesar 100%, tepat obat 70,65%, tepat pasien 100%, dan tepat
dosis 98,91%. Secara keseluruhan pengobatan yang memenuhi keempat
kriteria penggunaan obat rasional adalah sebesar 69,56%.

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Kelompok 1 Page 16
ANTIHIPERTENSI

3.2 Saran

Kelompok 1 Page 17
ANTIHIPERTENSI

DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, S., G., 2009, Farmakologi dan Terapi. FKUI, Jakarta, Indonesia.

Triyanto, Endang. 2014. Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita


Hipertensi
Secara Terpadu. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006, Pharmaceutical Care


untuk Penyakit Hipertensi, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
Jakarta.

Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New


York.

Kelompok 1 Page 18

Anda mungkin juga menyukai