Wa0001
Wa0001
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
perkembangan terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan
zat gizi yang cukup dalam jumlah dan kualitas yang lebih banyak, karena pada
umumnya aktivitas fisik yang cukup tinggi dan masih dalam proses belajar.
Apabila asupan zat gizi tidak terpenuhi maka pertumbuhan fisik dan
dampak yang luas negara akan kehilangan sumber daya manusia (SDM) yang
gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup
lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Stunting terjadi mulai janin, masih dalam kandungan dan baru nampak saat
pada empat program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi,
penurunan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta
Menurut UNICEF, tahun 2011 ada 165 juta (26%) balita dengan
balita stunting tertinggi yaitu ada 7,5 juta balita (UNICEF, 2013). Berdasarkan
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi pendek secara
Account, 2015).
Status Gizi (PSG) 2015 untuk kabupaten Bantul (23,1%). Serta angka
masyarakat jika prevalensi nya 20% atau lebih. Karenanya persentase balita
absen. Stunting juga meningkatkan risiko obesitas, karena orang dengan tubuh
pendek berat badan idealnya juga rendah. Kenaikan berat badan beberapa
kilogram saja bisa menjadikan Indeks Massa Tubuh (IMT) orang tersebut naik
(Kusuma, 2013).
bahwa faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6 sampai 59 bulan adalah
berat badan saat lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI, riwayat penyakit
Kekurangan zat gizi pada balita selalu berkaitan dengan konsumsi seperti
energi, protein, yodium, kalsium, zink, dan fe. Energi dibutuhkan pada balita
yaitu untuk metabolisme basal, Specific Dyanamic Action, aktivitas fisik, dan
diperlukan masukan makanan yang mengandung cukup energi dan zat-zat gizi
asupan energi dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di
posyandu Asoka II. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian Sari, et.al (2016)
prevalensi stunting pada kelompok asupan energi rendah, lebih besar 2,78 kali
rusak atau mati, menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk
anak dengan konsumsi protein <80% dari angka kecukupan gizi (AKG) yang
dianjurkan berisiko untuk menjadi stunting 6,4 kali. Hal ini diperkuat dengan
Penelitian Sari, et.al (2016), prevalensi stunting pada kelompok asupan protein
rendah, lebih besar 1,87 kali daripada kelompok asupan protein cukup.
energi dan protein saja, namun juga dipengaruhi oleh konsumsi vitamin dan
mineral. Salah satu mineral yang penting di dalam laju pertumbuhan linier anak
sampai dewasa. Hasil penelitian Sudarsono (2015), tinggi badan ibu, asupan
energi, protein dan iodium (I2) secara signifikan (p< 0,05) berhubungan
dengan kejadian stunting pada balita usia 2-5 tahun di suku bajau Sulawesi
tenggara.
tulang baru dan disfungsi osteoblast (Sari, et.al 2016). Mikhail, (2013) dalam
sehingga menyebabkan terjadinya stunting pada anak usia 0-4 tahun di Mesir.
Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Sari, et.al (2016), prevalensi stunting
pada kelompok asupan kalsium rendah, lebih besar 3,625 kali daripada
Seng adalah mineral esensial yang berperan dalam sintesis, sekresi, dan
besar terhadap kejadian stunting pada anak. Hal ini juga diperkuat
zink antara anak stunting dan non stunting di wilayah Kelurahan Kartasura.
menujukkan ada hubungan yang signifikan antara asupan zat besi dan kejadian
Zink, dan Fe sebagai faktor risiko Kejadian Stunting Pada Balita di Desa
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Zink, dan Fe sebagai faktor risiko Kejadian Stunting Pada Balita di Desa
2. Tujuan khusus
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Responden
protein, yodium, kalsium, zink dan fe sebagai faktor risiko kejadian stunting
pada balita.
2. Bagi Puskesmas
3. Bagi Penulis
energi, protein, yodium, kalsium, zink dan fe sebagai faktor risiko kejadian
E. Keaslian Penelitian
1. Dewi & Adi (2016) meneliti pengaruh konsumsi protein dan seng serta
riwayat penyakit infeksi terhadap kejadian stunting pada anak balita umur
24-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Nusa Penida III. Jenis penelitian
Dewi & Adi adalah studi case-control dengan jenis observasional analitik.
konsumsi protein dan seng serta riwayat penyakit infeksi. Subjek peneliti
ini adalah anak balita yang berusia 24-59 bulan, hasil uji statistik diperoleh
penyakit infeksi (p=0,0039), hasil dari penelitian ini yaitu ada pengaruh
yang bermakna pada konsumsi protein, konsumsi seng dan riwayat penyakit
variabel bebas (Konsumsi Energi, Protein, Yodium, Kalsium, Zink, dan Fe)
yaitu konsumsi protein dan seng serta riwayat penyakit infeksi. Sampel pada
Regresi Logistik.
2. Sari, et.al (2016) meneliti pengaruh asupan protein, kalsium dan fosfor pada
anak stunting dan tidak stunting usia 24-59 bulan. Jenis penelitian yang
sectional. Variabel dependen yaitu anak stunting dan anak tidak stunting.
peneliti ini adalah anak berusia 24-59 bulan, hasil uji statistik diperoleh nilai
p value <0.05, hasil dari penelitian ini yaitu ada pengaruh asupan protein,
kalsium, dan fosfor pada anak stunting dibandingkan anak tidak stunting.
dan kalsium. Variabel dependen yaitu stunting serta sampel penelitian yaitu
3. Roziqo & Nuryanto (2016), meneliti Hubungan Asupan Protein, Zat Besi,
Vitamin C Dan Seng Dengan Kadar Hemoglobin Pada Balita Stunting. Jenis
balita stunting. Variabel independen yaitu asupan protein, zat besi, vitamin
c dan seng. Subjek peneliti ini adalah anak berusia 24-59 bulan, hasil uji
protein dengan kadar hemoglobin pada balita stunting sedangkan asupan zat
besi, vitamin C, dan seng tidak terdapat hubungan dengan kadar hemoglobin
variabel bebas (Konsumsi Energi, Protein, Yodium, Kalsium, Zink, dan Fe)
yaitu asupan protein, zat besi, vitamin c dan seng. Variabel independent
data dengan uji Chi-Square dan Regresi Logistik. Persamaan penelitian ini
adalah variabel independen yaitu konsumsi protein, zat besi dan seng.
Sampel penelitian yaitu anak balita yang berusia 24-59 bulan. Persamaan
Consecutive Sampling.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Balita
World Health Organization (WHO) (2002) mengelompokkan usia anak
dibawah lima tahun (balita) menjadi tiga golongan, yaitu golongan usia bayi
(0-1 tahun), usia bawah tiga tahun (batita) (2-3 tahun), dan golongan pra-
sekolah (4-5 tahun). Masa balita adalah periode perkembangan fisik dan
mental yang pesat. Pada masa ini otak balita telah siap menghadapi berbagai
2017).
nilai gizi tinggi yang sangat penting seperti pada makanan bersumber
penurunan status gizi sehingga anak menjadi kurang gizi. Oleh karena itu,
a. Kesehatan dan gizi yang baik pada ibu hamil, bayi, dan anak prasekolah.
rata-rata pada akhir tahun pertama bertambah 50% (75 cm) dan menjadi dua
kali lipat pada akhir tahun keempat (100 cm). Nilai baku yang sering dipakai
adalah grafik (peta pertumbuhan atau grow chart) yang disusun oleh NCHS
2. Stunting
adanya malnutrisi asupan zat gizi kronis atau penyakit infeksi kronis yang
pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang,
akibat dari gizi yang tidak memadai atau kesehatan. Stunting merupakan
sudah berjalan lama dan memerlukan waktu bagi anak untuk berkembang
transisi makanan anak yang sering tidak memadai dalam jumlah terkena
kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi
Pemenuhan kebutuhan akan zat gizi yang tidak adekuat dalam jangka
otak. Terganggunya pematangan fungsi otak dalam jangka waktu yang lama
dengan malnutrisi.
a. Antropometri
ukuran tubuh. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi
dan tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2008).
b. Ukuran Antropometri
1) Umur
2) Tinggi Badan
tinggi badan untuk balita yang sudah berdiri tegak menggunakan alat
microtoice, yaitu:
b) Tarik pita meteran tegak lurus ke atas sampai angka pada jendela
d) Minta subjek melepaskan alas kaki (sepatu atau sandal), kaos kaki,
pengukuran.
membelakangi dinding.
k) Baca angka tinggi badan pada jendela baca dari arah depan dan mata
l) Angka yang dibaca adalah angka pada garis merah dari angka kecil
m) Catat hasil pengukuran tinggi badan subjek dengan ketelitian 0,1 cm.
c. Indeks Antropometri
linear yang dicapai, dapat digunakan sebagai indeks status gizi atau
dengan standard deviasi unit yang hasilnya di bawah normal. Jadi secara
Tabel 2.1
Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak
Berdasarkan Indeks TB/U
Indeks yang Ambang Batas Kategori Status Gizi
dipakai (Z-Score)
< -3 SD Sangat Pendek (stunted)
Tinggi Badan -3 s/d<-2 SD Pendek (stunting)
menurut Umur -2 s/d +2 SD Normal
(TB/U) >+2 SD Tinggi
Sumber: WHO, 2005
stunting disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor individu yang meliputi
asupan makanan, berat badan lahir, dan keadaan kesehatan; faktor rumah
tangga yang meliputi kualitas dan kuantitas makanan, sumber daya, jumlah
dan struktur keluarga, pola asuh, perawatan kesehatan dan pelayanan; serta
a) Asupan makan
Asupan zat gizi yang lengkap masih terus dibutuhkan anak selama
Makanan yang diberikan harus tepat baik jenis dan jumlahnya hingga
kandungan gizinya. Zat gizi yang dibutuhkan anak ditentukan oleh usia,
jenis kelamin, aktivitas, berat badan, dan tinggi badan. Tubuh anak tetap
serat, vitamin, dan mineral. Penilaian status gizi dengan melihat jumlah
dan jenis zat gizi yang dikonsumsi dapat dilakukan melalui survei
b) Penyakit infeksi
keadaan gizi kurang merupakan timbal balik dan sebab akibat. Penyakit
infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang kurang
yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi dan juga infeksi
2008).
sangat berkaitan erat dengan tingkat kesehatan pada masa bayi baru
lahir. Bayi lahir sehat terkait erat dengan tingkat kesehatan maternal.
seluruh dunia.
d) Usia Anak
Masa balita merupakan usia paling rawan, karena pada masa ini
berisiko tinggi menjadi kurang. Pada usia prasekolah yaitu usia 2-6
tercerin dalam penurunn nafsu makan, padahal dalam masa ini anak-
anak membutuhkan kalori dan zat gizi yang adekuat untuk memenuhi
dan severe stunting lebih tinggi pada anak usia 24-59 bulan, yaitu
sebesar 50% dan 24% dibandingkan anak-anak yang berusia 0-23 bulan.
kebutuhan zat besi, wanita jelas membutuhkan lebih banyak dari pada
Libya (Taguri et.al. 2008), serta Bangladesh dan Indonesia (Semba et.al.
menunjukan bahwa jenis kelamin anak adalah prediktor yang kuat dari
stunting pada anak usia 0-23 bulan. Anak perempuan memiliki risiko
yang lebih rendah dibandingkan anak laki-laki. Dalam hal ini selama
rendah kemungkinan menjadi stunting dari pada laki-laki, selain itu bayi
perempuan dapat bertahan hidup dalam jumlah lebih besar dari pada
f) Genetik
stunting.
seperti diare dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Anak yang
diberikan ASI kurang dari dua tahun lebih berisiko mengalami stunting
dibandingkan dengan anak yang diberikan ASI selama 2 tahun atau lebih.
pada anak yang masih rentan terkena penyakit, oleh sebab itu pada masa
menyusui ini penting untuk anak diberikan ASI dan menghindarkan anak
dari makanan-makanan yang belum bisa dicerna dengan baik oleh tubuh
(Aulia, 2016).
pada balita. Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian Putra (2015)
kejadian stunting.
yang baik dapat menyediakan makanan dengan jenis dan jumlah yang
kesehatan baik fisik maupun psikis. Oleh karena itu, tidak semua anak
dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya, ada anak yang
perbaikan.
penyebab utama masalah gizi pada anak, namun pekerjaan ini lebih
zat gizi, dan pengasuhan /perawatan anak. Ibu yang bekerja di rumah
Dalam hal ini, WHO merekomendasikan status gizi pendek atau stunting
sebagai alat ukur atas tingkat social-ekonomi yang rendah dan sebagai
2012).
5. Konsumsi Makanan
Vitamin dan mineral esensial merupakan zat gizi yang sangat penting
B6, dan asam folat (Vitamin B9). Bila kebutuhannya tidak terpenuhi,
maka akan timbul gangguan terhadap pertumbuhan dan fungsi otak dan
Tabel 2.2
Kategori Tingkat Konsumsi Kelompok atau Perorang
Tingkat Konsumsi Standar
Baik ≥100% AKG
Sedang > 80-99% AKG
Kurang 70-80% AKG
Defisit <70% AKG
Sumber : Supariasa, 2008
Stunting timbul setelah melewati waktu tertentu, pajanan yang
6. Konsumsi Energi
dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada yang di dalam bahan
bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk
cukup pula ke dalam tubuhnya. Manusia yang kurang makan akan lemah
makanan dalam proses-proses yang terjadi dalam tubuh hanya sebagian saja
yang diubah menjadi tenaga, sedang lainnya diubah menjadi panas. Tentang
hal ini diperhatikan saja pada tubuh kita, setelah kita melakukan pekerjaan
fisik yang cukup berat atau cukup lama akan terasa badan kita menjadi
panas. Dalam keadaan kita hanya sedikit melakukan kerja fisik, sebagian
besar energi diubah menjadi panas, dan dalam kita tidak melakukan
pekerjaan fisik maka relatif seluruh energi diubah menjadi panas dan
selanjutnya panas akan keluar dari tubuh (Kartasapoetra, 2012). Anak yang
mengalami kekurangan energi akan berisiko 2,52 kali menjadi anak stunting
metabolisme basal. Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot
(Adriani, 2012).
protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain lemak/gajih dan
minyak, buah lemak (alpokat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari
tanah dan kacang kedele), dan aneka pangan produk turunannya. Pangan
sumber energi yang kaya karbohidrat antara lain beras, jagung, oat, serealia
lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah
(pisang, kurma dan lain-lain) dan aneka produk turunannya. Pangan sumber
energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu, dan aneka
produk lainnya.
7. Konsumsi Protein
separuhnya ada di dalam otot, seperlima di dalam tulang dan tulang rawan,
usia sekolah umur 7-9 tahun: 400 mg untuk laki-laki dan perempuan, umur
10-12 tahun laki-laki adalah 400 mg dan untuk dan untuk perempuan adalah
350 mg. Disarankan untuk memberi protein 1,5-2 g/Kg berat badan anak
jaringan di dalam tubuh termasuk darah, enzim, hormon, kulit, rambut, dan
Dalam hal ini protein disebut sebagai Zat Pembangun (Indra, 2013).
daripada anak dengan jumlah asupan protein yang cukup (Bender, 2002)
dan pada keadaan yang lebih buruk kekurangan protein dalam jangka waktu
AKG. Pangan sumber protein hewani meliputi daging, telur, susu, ikan,
seafood dan hasil olahannya. Pangan sumber protein nabati meliputi kedele,
Secara umum mutu protein hewani lebih baik dibandingkan protein nabati
(Marmi, 2013).
8. Konsumsi Yodium
Yodium adalah salah satu zat gizi mikro yang tergolong ke dalam
penurunan IQ pada anak (Remer et. al. 2006 dalam Rizqiawan, 2015).
terdapat di alam baik di tanah maupun air dan merupakan zat gizi mikro
Hormon tiroid, Tiroksin (T4) dan Triiodotironin (T3) sangat penting dalam
menentukan perkembangan fisik dan mental yang normal pada hewan serta
temperatur tubuh.
berada dalam bentuk ion Yodium, dan besarnya bergantung dari kadar
yodium dalam tanah. Menurut AKG 2013, kebutuhan harian akan yodium
beberapa jenis makanan yang dikonsumsi oleh manusia dan hewan dapat
gram per hari. Jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi pangan sumber
kangkung, bayam, singkong, daun singkong, kol, buncis, ubi jalar dan
9. Konsumsi Kalsium
kalsium di dalam tubuh berkisar anntara 1,5-2% dari berat badan orang
dewasa. Walaupun pada bayi, kalsium hanya sedikit, yaitu 25-30 g. Namun,
setelah usia 20 tahun, secara normal akan terjadi penempatan sekitar 1.200
g kalsium dalam tubuh. Jumlah ini terdiri dari 99% kalsium yang berada di
dalam jaringan keras yaitu pada tulang dan gigi (Hariyati, 2016).
Salah satu fungsi kalsium bagi tubuh adalah sebagai zat gizi untuk
dan berkembang dengan baik (Aprilitasari, 2017). Selain itu juga berfungsi
pembentukan tulang dan gigi. Kalsium dan mineral lain memberi kekuatan
dan bentuk pada tulang dan gigi. Kalsium berfungsi sebagai katalisator
pemecah lemak, lipase pancreas, ekskresi insulin oleh pancreas dan lain-
2010).
baik terjadi dalam keadaan asam. Selain vitamin D, aktivitas fisik dan
terdapat dalam bayam, sayuran lain dan kakao membentuk garam kalsium
stress mental dan stress fisik serta proses menua juga dapat menurunkan
kalsium untuk anak balita usia 12-36 bulan adalah 650 mg/hari. Sumber
kalsium terbagi menjadi dua, yaitu sumber hewani dan sumber nabati.
Sumber hewani antara lain pada ikan, udang, susu, dan produk olahan susu.
pertumbuhan linier jika kandungan kalsium dalam tulang kurang dari 50%
sumber pangan hewani dan tingginya konsumsi sumber fitat yang terdapat
pada pangan nabati, dimana fitat diketahui dapat menghambat absorpsi zink.
bioavailabilitasnya lebih tinggi dari pada sumber zink dari pangan nabati.
protein, sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan sel. Selain itu zat gizi
atau stunting) pada anak balita di Indonesia sekitar 35-50%, bervariasi antar
lebih dari satu zat gizi mikro. Kurang vitamin A (KVA) disertai dengan
11. Konsumsi Fe
Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini
dan aktivitas fisik. Kebutuhan zat besi akan meningkat pada masa
kekebalan tubuh. Respons kekebalan sel oleh limfosit-T akan terganggu jika
sintesis DNA. Sintesis DNA ini disebabkan oleh gangguan enzim reduktase
tubuh.
defisiensi besi dengan fungsi otak: beberapa bagian dari otak mempunyai
kadar besi tinggi yang diperoleh dari transpor besi yang dipengaruhi oleh
pertumbuhan hingga remaja. Kadar besi otak yang kurang dalam darah pada
batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar tiroid, dan kemampuan mengatur
bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk
terjadi dalam tubuh hanya sebagian saja yang diubah menjadi tenaga,
maka sebagian besar energi diubah menjadi panas, dan ketika kita tidak
melakukan pekerjaan fisik maka relatif seluruh energi diubah menjadi panas
dan selanjutnya panas akan keluar dari tubuh (Kartasapoetra, 2012). Anak
yang mengalami kekurangan energi akan beresiko 2,52 kali menjadi anak
kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di posyandu Asoka II. Hal ini
juga diperkuat dengan penelitian Sari, et.al (2016) prevalensi stunting pada
kelompok asupan energi rendah, lebih besar 2,78 kali daripada kelompok
balita menunjukkan hasil bahwa tingkat kecukupan energi antara anak balita
pembangun tubuh dan zat pengatur di dalam tubuh. Salah satu fungsi utama
asam amino dalam satu rantai dan mempunyai berat molekul 21.500
(Kurnia, 2014).
dari pencapaian peak bone mass. Asupan protein rendah terbukti merusak
akuisisi mineral massa tulang dengan merusak produksi dan efek IGF-I.
2016).
yang kekurangan asupan protein mempunyai risiko 3,46 kali akan menjadi
<80% dari angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan berisiko untuk
menjadi stunting 6,4 kali. Hal ini diperkuat dengan penelitian Sari, et.al
yang diserap oleh tiroid maksimum mencapai 2 mg, setelah itu penyerapan
(Sulistyowati, 2015).
protein. Bila karbohidrat dan lemak kurang tersedia untuk energi, tiroksin
energi. Sebaliknya, bila karbohidrat dan lemak terdapat dalam jumlah yang
adekuat, dan juga tersedia asam amino dalam jumlah berlebihan di cairan
2007).
balita usia 2-5 tahun di suku bajau Sulawesi tenggara. Sedangkan Rizqiawan
dengan status gizi (TB/U) hal ini disebabkan zat gizi yang berperan tidak
hanya terbatas dari satu jenis saja melainkan interaksi zat-zat gizi yang
diperlukan tubuh yang terjadi dalam waktu lama. Selain itu zat besi dan
untuk proses metabolisme dan sintesis protein. Kalsium dalam hal ini
berperan penting dalam sekresi hormon, aktivitas enzim kunci dan protein
transmisi impuls saraf dan kontraksi otot, serta sebagai katalisator berbagai
dan tulang. Proses ini melibatkan dua calciumregulating hormone besar dan
reseptornya yaitu PTH dan reseptor PTH, dan 1,25 (OH) 2D dan reseptor
terjadinya stunting pada anak usia 0-4 tahun di Mesir. Hasil penelitian oleh
stunting memiliki rata-rata 284,20 dan non stunting 371,59. Sari, et.al
kelompok asupan kalsium rendah, lebih besar 3,625 kali daripada kelompok
tidak ada perbedaan asupan kalsium antara anak balita stunting dan non
makanan, dan zat anti gizi. Zat anti gizi adalah suatu zat atau senyawa yang
intensitas serta durasi diare, ganguan pada pertumbuhan yang disebut juga
dengan stunting.
tidak ada perbedaan asupan zink antara anak balita stunting dan non
(Sulistyowati, 2015).
Hampir dua per tiga zat besi ditemukan dalam hemoglobin. Zat besi
besi yang disuplay ke sumsum tulang belakang tidak cukup akan terjadi
anemia. Zat besi heme berasal dari hemoglobin dan mioglobin pada daging,
unggas dan ikan. Zat besi heme akan meningkatkan absorbsi 15-35%
daripada besi non heme. Hal ini disebabkan karena besi heme memiliki
transporter besi non heme yaitu divalent metal transporter 1 (DMT1). DMT
1 adalah transporter pada duodenum dan bukan hanya transport besi non
heme saja melainkan transporter mineral lain seperti seng, mangan, tembaga
dan timbal, sehingga penyerapan zat besi non heme juga dipengaruhi oleh
2009).
asupan zat besi dan kejadian stunting pada bayi 24-59 bulan di Kepulauan
Nusa Tenggara.
asupan zat besi dengan stunting. Tidak terdapat hubungan zat besi
B. Kerangka Teori
Genetik Usia
BBLR Jenis Kelamin
C. Kerangka Konsep
berikut:
Konsumsi Energi
Konsumsi Protein
Konsumsi Yodium
Status
Gizi Stunting
Konsumsi Kalsium
Konsumsi Zink
Konsumsi Fe
D. Hipotesis Penelitian
5. Konsumsi zink sebagai faktor risiko kejadian stunting pada balita di Desa
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
risiko dalam kejadian suatu penyakit yaitu konsumsi energi, protein, yodium,
Gambar 3.3.
Skema Rancangan Penelitian Kasus Kontrol
a. Populasi Penelitian
kesimpulannya.
b. Sampel Penelitian
anak usia 2-5 tahun yang bertempat tinggal di Desa Srihardono Pundong,
Bantul.
(𝑍𝛼√2𝑃𝑄+𝑍𝛽√𝑃1 𝑄1 +𝑃2 𝑄2 )²
𝑛= (𝑃1 −𝑃2 )²
Keterangan:
1,64)
Q = 1-P
2
(1,96√2𝑥0,37𝑥0,63+1,64√(0.58𝑥0,42)+(0,16𝑥0,84))
𝑛= (0,58−0,16)²
(1,338+1,008)2
𝑛= 0,176
5,504
𝑛 = 0,176
𝑛 = 31,6 = 32
Tabel 3. 7
Besar Minimal Sampel Berdasarkan Penelitian Sebelumnya
Variabel Variabel P1 P2 ∑ Sumber
Independen Dependen Sampel
Energi TB/U 0,126 0,50 31 Sari et.al,2016
Protein TB/U 0,58 0,16 32 Sari et.al,2016
Yodium TB/U 0,141 0,579 31 Devi, 2012
Kalsium TB/U 0,48 0,18 32 Sari et.al,2016
Zink TB/U 0,129 0,589 31 Dewi, 2016
Fe TB/U 0,53 0,20 32 Rahmawati,2017
dari penelitian payungan dengan judul “Pemberian ASI Eksklusif dan status
imunisasi sebagai faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 2-5 tahun
sehingga diambil sampel terbanyak yaitu 70 anak. Selain itu juga untuk
c. Teknik Sampling
Berikut kriteria inklusi dan eksklusi sampel pada kelompok kasus dan
kontrol.
a. Kelompok kasus
1) Kriteria inklusi
2) Kriteria ekslusi
b. Kelompok kontrol
a) Kriteria inklusi
b) Kriteria eksklusi
penyakit infeksi.
1. Variabel penelitian
1. Variabel Dependen
Kabupaten Bantul.
2. Variabel Independen
1. Status Stunting Keadaan status gizi balita yang diukur indeks TB/U Microtoice 1. Tidak stunting: ≥-2 SD
dan dibandingkan dengan menggunakan baku WHO standar Ordinal 2. Stunting: < -2 SD
antropometri WHO 2005 yang dinilai menggunakan
rumus Z-score. (Sumber: WHO, 2005)
2 Konsumi Konsumsi energi yang dikonsumsi anak balita sehari Kuisoner SQ- Ordinal 1. Baik: ≥80%
Energi dalam gram/hari, yang diperoleh dengan instrument FFQ 2. Kurang: <80%
SQFFQ diolah menggunakan alat bantu Nutrisurvey
2008 lalu dibandingkan dengan AKG 2013 (Sumber: Supariasa,
2008)
3 Konsumsi Konsumsi protein yang dikonsumsi anak balita sehari Kuisoner SQ- Ordinal 3. Baik: ≥80%
Protein dalam gram/hari, yang diperoleh dengan instrument FFQ 4. Kurang: <80%
SQFFQ diolah menggunakan alat bantu Nutrisurvey
2008 lalu dibandingkan dengan AKG 2013 (Sumber: Supariasa,
2008)
4 Konsumsi Konsumsi yodium yang dikonsumsi anak balita sehari Kuisoner SQ- Ordinal 1. Baik: ≥80%
yodium dalam gram/hari, yang diperoleh dengan instrument FFQ 2. Kurang: <80%
SQFFQ diolah menggunakan alat bantu Nutrisurvey
2008 lalu dibandingkan dengan AKG 2013 (Sumber: Supariasa,
2008)
5 Konsumsi Konsumsi kalsium yang dikonsumsi anak balita sehari Kuisoner SQ- Ordinal 1. Baik: ≥80%
kalsium dalam gram/hari, yang diperoleh dengan instrument FFQ 2. Kurang: <80%
SQFFQ diolah menggunakan alat bantu Nutrisurvey
2008 lalu dibandingkan dengan AKG 2013 (Sumber: Supariasa,
2008)
6 Konsumsi zink Konsumsi zink yang dikonsumsi anak balita sehari Kuisoner SQ- Ordinal 1. Baik: ≥80%
dalam gram/hari, yang diperoleh dengan instrument FFQ 2. Kurang: <80%
SQFFQ diolah menggunakan alat bantu Nutrisurvey
2008 lalu dibandingkan dengan AKG 2013 (Sumber: Supariasa,
2008)
7 Konsumsi fe Konsumsi fe yang dikonsumsi anak balita sehari Kuisoner SQ- Ordinal 1. Baik: ≥80%
dalam gram/hari, yang diperoleh dengan instrument FFQ 2. Kurang: <80%
SQFFQ diolah menggunakan alat bantu Nutrisurvey
2008 lalu dibandingkan dengan AKG 2013 (Sumber: Supariasa,
2008)
1. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah identitas anak dan ibu,
konsumsi energi, protein, yodium, kalsium, zink, fe, dan status stunting.
2. Data Sekunder
Bantul.
dilakukannya penelitian.
ibu, usia anak, jenis kelamin anak, umur ibu pendidikan dan pekerjaan
ibu.
zink, dan fe yang dikonsumsi selama satu tahun terakhir yang diperoleh
peneliti dan enumerator selama 30-45 menit dan dibagi menjadi dua tim.
Angka Kecukupan Gizi Tahun 2013 lalu dikategorikan yaitu Baik dan
Kurang.
h. Status Stunting
2) Minta anak melepaskan alas kaki (sepatu atau sandal), kaos kaki,
pengukuran.
cm.
(Standar Deviasi).
F. Instrumen Penelitian
tinggi badan (TB) balita dengan ketelitian 0,1 cm. Selanjutnya data tinggi badan
balita diolah dengan menggunakan WHO Antro 2005, untuk melihat status gizi
energi, protein, yodium, kalsium, zink, dan fe. Selanjutnya diolah dengan
penelitian ini, peneliti melakukan uji kalibrasi microtoice yang akan dilakukan
a. Editing
kelengkapan biodata meliputi nama ibu dan balita, tanggal lahir balita,
makanan (gr) yang dikonsumsi dari setiap jenis makanan yang tersedia
yang sebenarnya.
b. Coding
Coding yang dilakukan guna meneliti kembali setiap data yang ada
2) Status Stunting
dikategorikan menjadi:
a) Analisa Univariat
yodium, kalsium, zink, dan fe). Data yang dihasilkan dapat berupa
𝑓
𝑃 = 𝑛 𝑥100%
Keterangan:
P : Persentase
f : Frekuensi
n : total
b) Analisa Bivariat
silang dengan variabel dependen. Pada tabulasi silang 2x2 akan dicari
(𝑂−𝐸)
𝑋2 = ∑ 𝐸
Keterangan :
X² = Chi-Quadrat
Ʃ = Penjumlahan
c) Analisis Multivariate
hingga hanya terdapat satu variabel atau tidak ada yang bisa
dikeluarkan lagi karena perubahan ODDS Ratio (Exp (B)) > 10%.
H. Jalannya Penelitian
pembimbing.
proposal.
terkait
d. Menganalisis data
pembimbing dua
DIY.
I. Etika Penelitian
berhubungan langsung dengan manusia. Oleh karena itu, segi etika penulisan
1. Informed Concent
responden.
4. Memberikan kompensasi
BAB IV
Yogyakarta. Batas Wilayah desa Srihardono adalah sebelah Utara Desa Patalan
dan Canden Kecamatan Jetis, sebelah Selatan Desa Panjangrejo, sebelah Timur
Bambanglipuro.
desa Srihardono sendiri adalah petani dimana dapat di lihat dari luasnya lahan
pertanian yang ada di sekitar desa Srihardono. Serta, ada juga sebagian kecil
B. Hasil Penelitian
anak usia 2-5 tahun dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.9
kelompok kasus lebih banyak berjenis kelamin laki-laki 54,3% dan pada
Tabel 4.9 menunjukkan bahwa subjek yang memiliki ibu dengan pendidikan
yang memiliki ibu dengan tidak bekerja (IRT) lebih banyak pada kelompok
(48,6%).
Zink, dan Fe
frekuensi tiap variabel yang diteliti, baik variabel dependen (status stunting)
(60%). Konsumsi zink yang kurang terdapat 40 orang (57,1%). Begitu juga
protein, yodium, kalsium, zink, dan fe dengan kejadian stunting pada balita
dari 28 anak dengan konsumsi energi baik sebanyak 19 anak (54,3%) yang
tidak mengalami stunting. Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar
tingkat kepercayaan (CI) =95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,122
dan upper limit (batas atas) = 2,828 mencakup nilai satu, maka besar risiko
Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,000, α=5% bahwa
kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,745. Artinya subjek yang
=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,607 dan upper limit (batas
atas) = 4,690 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna,
tahun 2018.
stunting. Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,001, α=5%
kepercayaan (CI) =95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,451 dan
upper limit (batas atas) = 3,236 mencakup nilai satu, maka besar risiko
kalsium baik sebanyak 21 anak (60%) yang tidak mengalami stunting. Dari
kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,250. Artinya subjek yang
=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,395 dan upper limit (batas
atas) = 3,360 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna,
tahun 2018.
stunting. Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,000, α=5%
stunting 2,909 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang memiliki
=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,705 dan upper limit (batas atas)
= 4,962 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna, dengan
hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,81, α=5% bahwa disimpulkan
stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 0,623. Artinya subjek yang konsumsi
kategori baik. Karena rentang tingkat kepercayaan (CI) =95% dengan lower
limit (batas bawah) = 0,349 dan upper limit (batas atas) = 1,112 mencakup
nilai satu, maka besar risiko tersebut tidak bermakna, dengan demikian
bantul. Hasil ini sesuai dengan hasil uji bivariat yang menujukkan
C. PEMBAHASAN
faktor risiko kejadian stunting dalam penelitian ini juga dipengaruhi oleh
penelitian. Variabel itu adalah karakteristik yang ada pada subyek yaitu
data jenis kelamin, pendidikan ibu, dan pekerjaan ibu. Dari hasil uji
kontrol.
kelamin laki-laki 54,3% dan pada kelompok kontrol lebih banyak berjenis
zat gizi yang diperlukan anak balita baik perempuan ataupun laki-laki
penelitian ini tidak semua faktor dilihat seperti pola asuh dan asupan.
pengetahuan gizi dan pola asuh anak yang tepat akan mencegah terjadinya
formal terutama melalui televisi, surat kabar, radio, dan lain-lain (Al-
Ibu dengan tidak bekerja (IRT) lebih banyak pada kelompok kontrol
Hal ini sejalan dengan penelitian Aridiyah, et.al (2015) menujukkan bahwa
kejadian stunting pada balita antara di desa dan kota. Selain itu status
pekerjaan ibu tergambar bahwa ibu yang berkerja yaitu perempuan yang
berstatus sebagai ibu rumah tangga memiliki peran ganda dalam sebuah
keluarga. Peran utamanya jika ketika memiliki aktivitas lain di luar rumah
seperti bekerja, menuntut pendidikan atau pun aktivitas lain dalam kegiatan
diembannya. Sebagai seorang ibu, ketika memiliki anak yang masih kecil,
et.al 2013).
2. Konsumsi Energi
dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada yang di dalam bahan
bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk
tingkat asupan energi yang kurang sedangkan untuk asupan energi baik
tidak ada (0%). Konsumsi energi yang masih kurang tersebut karena
semua zat gizi yang diperlukan tubuh, di dalam suatu susunan hidangan
dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Konsumsi energi yang
rendah dikarenakan kuantitas atau jumlah asupan yang dimakan anak balita
masih rendah dan jenis makanan yang dikonsumsinya tidak bervariasi dan
3. Konsumsi Protein
separuhnya ada di dalam otot, seperlima di dalam tulang dan tulang rawan,
jaringan di dalam tubuh termasuk darah, enzim, hormon, kulit, rambut, dan
Dalam hal ini protein disebut sebagai Zat Pembangun (Indra, 2013).
tingkat asupan protein yang kurang sedangkan untuk asupan protein baik
tidak ada (0%). Konsumsi protein yang kurang disebabkan oleh sumber
dilihat dari SQFFQ lebih sering anak balita konsumsi tempe, tahu, sayuran,
dan buah sedangkan untuk ikan laut telur, dan susu jarang dikonsumsi.
4. Konsumsi Yodium
Yodium adalah salah satu zat gizi mikro yang tergolong ke dalam
berada dalam bentuk ion Yodium, dan besarnya bergantung dari kadar
yodium dalam tanah. Menurut AKG 2013, kebutuhan harian akan yodium
yang cukup yaitu 7 anak (10,14%). Konsumsi yodium yang kurang ini
disebabkan karena sumber yodium yang dikonsumsi seperti ikan laut yang
jarang dikonsumsi oleh anak dan mungkin terjadi bias data dikarenakan
5. Konsumsi Kalsium
kalsium di dalam tubuh berkisar antara 1,5-2% dari berat badan orang
sekitar 1.200 g kalsium dalam tubuh. Jumlah ini terdiri dari 99% kalsium
yang berada di dalam jaringan keras yaitu pada tulang dan gigi (Hariyati,
2016).
yang cukup yaitu 0 anak (0%). Kurangnya konsumsi kalsium ini mungkin
kurang seperti konsumsi susu masih jarang dan kadang konsumsi susu
yang sachet-an.
6. Konsumsi Zink
Salah satu zat gizi yang harus di konsumsi oleh anak untuk
pertumbuhan yaitu zink. Hal ini karena, zink berperan untuk pertumbuhan
luka. Anak yang dalam proses tumbuh kembang dan anak yang mengalami
2009).
zink yang baik yaitu 14 anak (26,9). Konsumsi zink yang kurang
banyak konsumsi olahan daging seperti bakso dan sumber protein nabati
seperti tahu dan tempe. Konsumsi sumber zink pada anak sekolah di negara
paling baik, karena bioavailabilitasnya lebih tinggi dari pada sumber zink
7. Konsumsi Fe
Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini
dan aktivitas fisik. Kebutuhan zat besi akan meningkat pada masa
asupan zat besi atau fe yang cukup yaitu 15 anak (25%). Konsumsi fe yang
balita seperti hati dan daging yang tinggi akan sumber fe.
tubuh, yaitu ketersediaan zat besi dalam tubuh, bioavailbilitas zat besi, dan
adanya faktor penghambat penyerapan zat besi. Apabila jumlah zat besi
yang berada dalam tubuh menurun maka penyerapan zat besi akan
wanita justru setelah masa menopause cadangan zat besi dalam tubuh
cukup pula ke dalam tubuhnya. Manusia yang kurang makan akan lemah
Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,000, α=5% bahwa
kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,745. Artinya subjek yang
=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,607 dan upper limit (batas
atas) = 4,690 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna,
tahun 2018.
dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di posyandu Asoka
II. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian Sari, et.al (2016) prevalensi
stunting pada kelompok asupan energi rendah, lebih besar 2,78 kali
serta jaringan intra seluler berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur
sel-sel dengan tingkat tinggi sekresi (misalnya sel kelenjar ludah dan
terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang
saat beraktivitas. Hal ini terkait dengan peranannya didalam tubuh, yaitu
esensial bagi pertumbuhan tubuh. Vitamin ini berperan sebagai salah satu
melalui jalur sintesis asam lemak, seperti spingolipid dan fosfolipid. Selain
daripada anak dengan jumlah asupan protein yang cukup (Bender, 2002)
dan pada keadaan yang lebih buruk kekurangan protein dalam jangka
Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,000, α=5% bahwa
kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,745. Artinya subjek yang
=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,607 dan upper limit (batas
atas) = 4,690 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna,
tahun 2018.
risiko 3,46 kali akan menjadi anak stunting dibandingkan dengan anak
gizi (AKG) yang dianjurkan berisiko untuk menjadi stunting 6,4 kali. Hal
ini diperkuat dengan penelitian Sari, et.al (2016), prevalensi stunting pada
kelompok asupan protein rendah, lebih besar 1,87 kali daripada kelompok
yang besar, karena salah satu penyusunan utamanya adalah sulfur. Tubuh
Penelitian oleh Cook dan Menson (1976), Hallberg (1980), dan Latifuddin
daging ayam, ikan, dan telur dapat lebih efektif dalam meningkatkan
misalnya, maka jumlah Fe yang akan diserap dan ditahan tubuh menjadi
lebih besar. Peningkatan penyerapan ini karena adanya Meat, Poultry and
Fish Factors (faktor MPF) yang membuat Fe menjadi lebih larut, sehingga
lebih mudah diserap tubuh. Konsumsi protein yang relatif tinggi dapat
Yodida yang diserap oleh tiroid maksimum mencapai 2 mg, setelah itu
protein. Bila karbohidrat dan lemak kurang tersedia untuk energi, tiroksin
energi. Sebaliknya, bila karbohidrat dan lemak terdapat dalam jumlah yang
adekuat, dan juga tersedia asam amino dalam jumlah berlebihan di cairan
2007).
Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,001, α=5% bahwa
kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,167. Artinya subjek yang
=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,451 dan upper limit (batas
atas) = 3,236 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna,
tahun 2018. Hal ini sejalan dengan Sudarsono (2015), dalam penelitiannya
dengan kejadian stunting pada balita usia 2-5 tahun di suku bajau Sulawesi
tenggara.
perkembangan janin, dan dalam keadaan berat bayi lahir dalam keadaan
untuk berbagai fungsi tubuh. Salah satu fungsi kalsium bagi tubuh adalah
untuk proses metabolisme dan sintesis protein. Kalsium dalam hal ini
berperan penting dalam sekresi hormon, aktivitas enzim kunci dan protein
transmisi impuls saraf dan kontraksi otot, serta sebagai katalisator berbagai
hormone besar dan reseptornya yaitu PTH dan reseptor PTH, dan 1,25
Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,001, α=5% bahwa
kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,250. Artinya subjek yang
=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,395 dan upper limit (batas
atas) = 3,360 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna,
tahun 2018.
menyebabkan terjadinya stunting pada anak usia 0-4 tahun di Mesir. Hasil
kategori stunting memiliki rata-rata 284,20 dan non stunting 371,59. Sari,
pada kelompok asupan kalsium rendah, lebih besar 3,625 kali daripada
pertumbuhan linier jika kandungan kalsium dalam tulang kurang dari 50%
calciuric effect of protein. Hal ini disebabkan karena asupan protein yang
banyak dibuang ke urin. Pada asupan kalsium harian yang rendah (<800
bersifat sinergis terhadap tulang jika keduanya tersedia dalam jumlah yang
cukup dalam diet, dan bersifat antagonis jika asupan kalsium rendah
(Muflihah, 2011)
Salah satu zat gizi yang harus di konsumsi oleh anak untuk
pertumbuhan yaitu zink. Hal ini karena, zink berperan untuk pertumbuhan
luka. Anak yang dalam proses tumbuh kembang dan anak yang
Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,000, α=5% bahwa
stunting 2,909 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang memiliki
=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,705 dan upper limit (batas
atas) = 4,962 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna,
memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi BB/U dan TB/U.
kelompok rawan defisiensi zat besi. Hal ini disebabkan karena kebutuhan
atau rendahnya bioavailabilitas zat besi dari makanan, serta adanya infeksi
Hampir dua per tiga zat besi ditemukan dalam hemoglobin. Zat besi
zat besi yang disuplay ke sumsum tulang belakang tidak cukup akan
terjadi kegagalan produksi hemoglobin dan jumlah sel darah merah dalam
mioglobin pada daging, unggas dan ikan. Zat besi heme akan
duodenum dan bukan hanya transport besi non heme saja melainkan
sehingga penyerapan zat besi non heme juga dipengaruhi oleh beberapa
Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,81, α=5% bahwa
kepercayaan (CI) =95% dengan lower limit (batas bawah) = 0,349 dan
upper limit (batas atas) = 1,112 mencakup nilai satu, maka besar risiko
zat besi di dalam darah yang cukup tinggi yang diperoleh dari asupan gizi
besi non heme yang terdapat pada sayuran dan buah. Zat besi juga terdapat
dalam pangan nabati (non heme iron) yang pada umumnya mempunyai
nilai absorpsi yang lebih rendah dibandingkan dengan absorpsi zat besi
terdapatnya anak balita dengan status stunting pada konsumsi fe yang baik
konsumsi teh. Fosfat dapat membentuk endapan besi tidak larut yang
juga menemukan hubungan yang signifikan antara asupan zat besi dan
Tetapi hal ini sejalan dengan Roziqo (2016), dalam penelitiannya tidak
ada perbedaan asupan zat besi dengan stunting. Tidak terdapat hubungan
zat besi dan hemoglobin pada penelitian ini diperkirakan karena seluruh
subyek dengan asupan rendah zat besi. Selain itu, sumber asupan zat besi
yang lebih rendah, dan mengandung zat anti-gizi yang dapat menghambat
dewasa karena pada masa anak-anak asupan zat besi sangat dibutuhkan
dalam proses pertumbuhan. Anemia gizi besi pada anak usia pra sekolah
eritrosit, imunitas tubuh terhadap infeksi dan mobilisasi cadangan zat besi
(Ridwan, 2012)
bentuk feri menjadi bentuk fero. Zat besi dalam bentuk fero
baik setelah dikontrol variabel konsumsi protein. Hal ini sejalan dengan
pada anak.
suplementasi zinc (Zn) pada anak memberi efek yang positif pada
insiden dan lama terkena sakit diare baik akut maupun kronis. Defisiensi
seng pada bayi dan anak adalah bila terjadi perbaikan pertumbuhan
D. Keterbatasan Penelitian
beberapa anak tidak ingin diukur dan menangis (rewel) pada saat
pengukuran sehingga ibu dari anak tersebut yang mengukur yang belum
matching terhadap usia tetapi untuk jenis kelamin pada penelitian ini tidak
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bantul.
konsumsi kalsium.
B. Saran
terutama zink.
apa saja yang mengandung sumber zat gizi (energi, protein, yodium,
kalsium, zink, dan fe) dan memberikan simulasi kepada orang tua
berhubungan dengan kejadian stunting pada balita seperti pola asuh dan
pengetahuan ibu.