Anda di halaman 1dari 115

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan

perkembangan terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan

zat gizi yang cukup dalam jumlah dan kualitas yang lebih banyak, karena pada

umumnya aktivitas fisik yang cukup tinggi dan masih dalam proses belajar.

Apabila asupan zat gizi tidak terpenuhi maka pertumbuhan fisik dan

intelektualitas balita akan mengalami gangguan, yang akhirnya akan

menyebabkan mereka menjadi generasi yang hilang (lost generation), dan

dampak yang luas negara akan kehilangan sumber daya manusia (SDM) yang

berkualitas (Welasasih & Wirjatmadi, 2012). Stunting adalah masalah kurang

gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup

lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.

Stunting terjadi mulai janin, masih dalam kandungan dan baru nampak saat

anak berusia dua tahun (Millennium Challenge Account, 2015).

Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan

pada empat program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi,

penurunan prevalensi balita pendek (stunting), pengendalian penyakit menular

dan pengendalian penyakit tidak menular. Upaya peningkatan status gizi

masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu

Universitas Respati Yogyakarta


2

prioritas pembangunan nasional yang tercantum di dalam sasaran pokok

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2015 – 2019. Target

penurunan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta

(dibawah 2 tahun) adalah menjadi 28% (Kemenkes, 2016).

Menurut UNICEF, tahun 2011 ada 165 juta (26%) balita dengan

stunting di seluruh dunia. Indonesia termasuk dalam 5 negara dengan angka

balita stunting tertinggi yaitu ada 7,5 juta balita (UNICEF, 2013). Berdasarkan

hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi pendek secara

nasional adalah 37,2%, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun

2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%) (Kemenkes, 2013). Prevalensi stunting di

Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti

Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%) (Millennium Challenge

Account, 2015).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 diketahui bahwa

persentase stunting di Yogyakarta (19,1%). Hasil Rekapitulasi Pemantauan

Status Gizi (PSG) 2015 untuk kabupaten Bantul (23,1%). Serta angka

prevalensi kejadian stunting tertinggi terdapat di Kecamatan Pundong (19,6%).

Menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan

masyarakat jika prevalensi nya 20% atau lebih. Karenanya persentase balita

pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang

harus ditanggulangi (Kemenkes, 2016).

Balita yang mengalami stunting memiliki risiko terjadinya penurunan

kemampuan intelektual, produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit

Universitas Respati Yogyakarta


3

degeneratif di masa mendatang. Hal ini dikarenakan anak stunting juga

cenderung lebih rentan terhadap penyakit infeksi, sehingga berisiko

mengalami penurunan kualitas belajar di sekolah dan berisiko lebih sering

absen. Stunting juga meningkatkan risiko obesitas, karena orang dengan tubuh

pendek berat badan idealnya juga rendah. Kenaikan berat badan beberapa

kilogram saja bisa menjadikan Indeks Massa Tubuh (IMT) orang tersebut naik

melebihi batas normal. Keadaan overweight dan obesitas yang terus

berlangsung lama akan meningkatkan risiko kejadian penyakit degenerative

(Kusuma, 2013).

Penelitian Zaenal Arifin (2012, dalam Indrawati, 2016), menyatakan

bahwa faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6 sampai 59 bulan adalah

berat badan saat lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI, riwayat penyakit

infeksi, pengetahuan gizi ibu, pendapatan keluarga, dan jarak kelahiran.

Kekurangan zat gizi pada balita selalu berkaitan dengan konsumsi seperti

energi, protein, yodium, kalsium, zink, dan fe. Energi dibutuhkan pada balita

yaitu untuk metabolisme basal, Specific Dyanamic Action, aktivitas fisik, dan

pertumbuhan sebesar 12%. Pertumbuhan yang normal bagi kesehatan

diperlukan masukan makanan yang mengandung cukup energi dan zat-zat gizi

esensial. Kurnia (2014), dalam penelitiannya menemukan ada hubungan

asupan energi dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di

posyandu Asoka II. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian Sari, et.al (2016)

prevalensi stunting pada kelompok asupan energi rendah, lebih besar 2,78 kali

daripada kelompok asupan energi cukup.

Universitas Respati Yogyakarta


4

Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan

kwashiorkor pada anak-anak di bawah lima tahun. Protein sendiri mempunyai

banyak fungsi, diantaranya membentuk dan memelihara jaringan tubuh dalam

masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh, serta mengganti jaringan yang

rusak atau mati, menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk

enzim pencernaan dan metabolisme, mempertahankan kenetralan (asam basa)

tubuh. (Almatsier, 2009). Harahap (2015), dalam penelitiannya menemukan

anak dengan konsumsi protein <80% dari angka kecukupan gizi (AKG) yang

dianjurkan berisiko untuk menjadi stunting 6,4 kali. Hal ini diperkuat dengan

Penelitian Sari, et.al (2016), prevalensi stunting pada kelompok asupan protein

rendah, lebih besar 1,87 kali daripada kelompok asupan protein cukup.

Pertumbuhan pada balita tidak hanya dipengaruhi oleh kekurangan

energi dan protein saja, namun juga dipengaruhi oleh konsumsi vitamin dan

mineral. Salah satu mineral yang penting di dalam laju pertumbuhan linier anak

adalah Yodium. Waterlow JC (1998, dalam Devi, 2012) mengatakan bahwa

yodium diperlukan untuk membentuk hormon tiroksin yang diperlukan oleh

tubuh untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan mulai dari janin

sampai dewasa. Hasil penelitian Sudarsono (2015), tinggi badan ibu, asupan

energi, protein dan iodium (I2) secara signifikan (p< 0,05) berhubungan

dengan kejadian stunting pada balita usia 2-5 tahun di suku bajau Sulawesi

tenggara.

Kalsium juga mempengaruhi pertumbuhan linier, jika kandungan

kalsium dalam tulang kurang dari 50% kandungan normal. Selama

Universitas Respati Yogyakarta


5

pertumbuhan, tuntutan terhadap mineralisasi tulang sangat tinggi, rendahnya

asupan kalsium dapat mengakibatkan rendahnya mineralisasi matriks deposit

tulang baru dan disfungsi osteoblast (Sari, et.al 2016). Mikhail, (2013) dalam

penelitiannya menemukan bahwa kekurangan asupan mikronutrien seperti

kalsium, zink, magnesium, dan vitamin A dapat menghambat pertumbuhan

sehingga menyebabkan terjadinya stunting pada anak usia 0-4 tahun di Mesir.

Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Sari, et.al (2016), prevalensi stunting

pada kelompok asupan kalsium rendah, lebih besar 3,625 kali daripada

kelompok asupan kalsium cukup.

Seng adalah mineral esensial yang berperan dalam sintesis, sekresi, dan

control hormon pertumbuhan (Growth Hormon). Rendahnya sintesis hormon

pertumbuhan dapat menghambat pertumbuhan linier dan diduga menyebabkan

kondisi stunting pada masa balita (Susilo, 2013). Kekurangan asupan Zn

pada penelitian Hidayati (2010) mempunyai risiko 2,67 kali lebih

besar terhadap kejadian stunting pada anak. Hal ini juga diperkuat

dengan penelitian Putra (2012), menujukkan ada perbedaan tingkat konsumsi

zink antara anak stunting dan non stunting di wilayah Kelurahan Kartasura.

Balita merupakan kelompok rawan defisiensi zat besi. Hal

ini disebabkan karena kebutuhan zat besi yang meningkat selama

masa pertumbuhan, rendahnya asupan atau rendahnya

bioavailabilitas zat besi dari makanan, serta adanya infeksi

dan parasite (Roziqo, 2016). Hasil penelitian Bahmat (2010),

Universitas Respati Yogyakarta


6

menujukkan ada hubungan yang signifikan antara asupan zat besi dan kejadian

stunting pada bayi 24-59 bulan di Kepulauan Nusa Tenggara.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang Konsumsi Energi, Protein, Yodium, Kalsium, Zink, dan Fe

sebagai Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita di Desa Srihardono

Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul DIY Tahun 2018.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Apakah Konsumsi Energi, Protein, Yodium, Kalsium,

Zink, dan Fe sebagai faktor risiko Kejadian Stunting Pada Balita di Desa

Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul DIY Tahun 2018?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Konsumsi Energi, Protein, Yodium, Kalsium,

Zink, dan Fe sebagai faktor risiko Kejadian Stunting Pada Balita di Desa

Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul DIY Tahun 2018.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui konsumsi energi di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

Kabupaten Bantul DIY Tahun 2018

b. Mengetahui konsumsi protein di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

Kabupaten Bantul DIY Tahun 2018

c. Mengetahui konsumsi yodium di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

Kabupaten Bantul DIY Tahun 2018

Universitas Respati Yogyakarta


7

d. Mengetahui konsumsi kalsium di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

Kabupaten Bantul DIY Tahun 2018

e. Mengetahui konsumsi zink di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

Kabupaten Bantul DIY Tahun 2018

f. Mengetahui konsumsi fe di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

Kabupaten Bantul DIY Tahun 2018

g. Mengetahui konsumsi protein sebagai faktor risiko kejadian stunting

pada anak balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten

Bantul DIY Tahun 2018

h. Mengetahui konsumsi yodium sebagai faktor risiko kejadian stunting

pada anak balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten

Bantul DIY Tahun 2018

i. Mengetahui konsumsi kalsium sebagai faktor risiko kejadian stunting

pada anak balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten

Bantul DIY Tahun 2018

j. Mengetahui konsumsi zink sebagai faktor risiko kejadian stunting pada

anak balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul

DIY Tahun 2018

k. Mengetahui konsumsi fe sebagai faktor risiko kejadian stunting pada

anak balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul

DIY Tahun 2018

Universitas Respati Yogyakarta


8

l. Mengetahui konsumsi paling dominan sebagai faktor risiko kejadian

stunting pada anak balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

Kabupaten Bantul DIY Tahun 2018

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Responden

Sebagai bahan masukan atau informasi tentang konsumsi energi,

protein, yodium, kalsium, zink dan fe sebagai faktor risiko kejadian stunting

pada balita.

2. Bagi Puskesmas

Memberikan informasi yang berhubungan dengan stunting pada balita

sehingga dapat melakukan upaya-upaya pencegahan untuk menurunkan

prevalensi stunting pada balita di Indonesia khususnya di Daerah Istimewa

Yogyakarta dan sebagai bahan masukan untuk perencanaan program

pencegahan dan penanggulangan stunting pada balita.

3. Bagi Penulis

Penulis ini dapat menambah wawasan penelitian tentang konsumsi

energi, protein, yodium, kalsium, zink dan fe sebagai faktor risiko kejadian

stunting pada anak balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

Kabupaten Bantul DIY Tahun 2018.

E. Keaslian Penelitian

1. Dewi & Adi (2016) meneliti pengaruh konsumsi protein dan seng serta

riwayat penyakit infeksi terhadap kejadian stunting pada anak balita umur

Universitas Respati Yogyakarta


9

24-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Nusa Penida III. Jenis penelitian

Dewi & Adi adalah studi case-control dengan jenis observasional analitik.

Variabel dependen yaitu kejadian stunting. Variabel independen yaitu

konsumsi protein dan seng serta riwayat penyakit infeksi. Subjek peneliti

ini adalah anak balita yang berusia 24-59 bulan, hasil uji statistik diperoleh

konsumsi protein (p=0,0012), konsumsi seng (p=0,0005) dan riwayat

penyakit infeksi (p=0,0039), hasil dari penelitian ini yaitu ada pengaruh

yang bermakna pada konsumsi protein, konsumsi seng dan riwayat penyakit

infeksi terhadap kejadian stunting. Perbedaan penelitian ini adalah pada

penelitian yang akan dilakukan menganalisis dan mengukur hubungan

variabel bebas (Konsumsi Energi, Protein, Yodium, Kalsium, Zink, dan Fe)

sedangkan pada penelitian sebelumnya hanya meneliti tiga variabel bebas

yaitu konsumsi protein dan seng serta riwayat penyakit infeksi. Sampel pada

penelitian sebelumnya diambil menggunakan teknik Systematic Random

Sampling, jumlah sampel pada penelitian ini 32 kasus dan 32 kontrol

sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan teknik

Consecutive Sampling, dan jumlah sampel 34 kasus dan 34 kontrol.

Persamaan penelitian sebelumnya adalah variabel independen yaitu

konsumsi protein dan seng. Variabel dependen yaitu stunting. Persamaan

selanjutnya penelitian yang digunakan menggunakan desain studi case

control dengan jenis Analitik Observasional. Persamaan lainnya terdapat

pada uji bivariat menggunakan Chi-square dan Mulitvariat menggunakan

Regresi Logistik.

Universitas Respati Yogyakarta


10

2. Sari, et.al (2016) meneliti pengaruh asupan protein, kalsium dan fosfor pada

anak stunting dan tidak stunting usia 24-59 bulan. Jenis penelitian yang

digunakan adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan cross

sectional. Variabel dependen yaitu anak stunting dan anak tidak stunting.

Variabel independen yaitu asupan protein, kalsium, dan fosfor. Subjek

peneliti ini adalah anak berusia 24-59 bulan, hasil uji statistik diperoleh nilai

p value <0.05, hasil dari penelitian ini yaitu ada pengaruh asupan protein,

kalsium, dan fosfor pada anak stunting dibandingkan anak tidak stunting.

Perbedaan penelitian ini adalah pada penelitian yang akan dilakukan

menganalisis dan mengukur hubungan variabel bebas (Konsumsi Energi,

Protein, Yodium, Kalsium, Zink, dan Fe) sedangkan pada penelitian

sebelumnya hanya meneliti tiga variabel bebas yaitu asupan protein,

kalsium, dan fosfor. Selain itu jenis penelitian sebelumnya menggunakan

penelitian dengan rancangan Cross Sectional, sampel pada penelitian

sebelumnya diambil menggunakan teknik Simple Random Sampling,

analisis data yang digunakan untuk membandingkan variable independent

dengan dependent adalah dengan uji Chi-Square dan independent t-test

sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan dengan desain

Case-Control, pengambilan sampel dengan teknik Consecutive Sampling

dan menggunakan analisis dengan uji Chi-Square dan Regresi Logistik.

Persamaan penelitian ini adalah variabel independen yaitu konsumsi protein

dan kalsium. Variabel dependen yaitu stunting serta sampel penelitian yaitu

anak balita yang berusia 24-59 bulan.

Universitas Respati Yogyakarta


11

3. Roziqo & Nuryanto (2016), meneliti Hubungan Asupan Protein, Zat Besi,

Vitamin C Dan Seng Dengan Kadar Hemoglobin Pada Balita Stunting. Jenis

penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional dengan

rancangan cross sectional. Variabel dependen yaitu kadar hemoglobin pada

balita stunting. Variabel independen yaitu asupan protein, zat besi, vitamin

c dan seng. Subjek peneliti ini adalah anak berusia 24-59 bulan, hasil uji

statistik diperoleh r=0,499 dan p-0,025 terdapat hubungan antara asupan

protein dengan kadar hemoglobin pada balita stunting sedangkan asupan zat

besi, vitamin C, dan seng tidak terdapat hubungan dengan kadar hemoglobin

pada balita stunting (p>0,05). Perbedaan penelitian ini adalah pada

penelitian yang akan lakukan menganalisis dan mengukur hubungan

variabel bebas (Konsumsi Energi, Protein, Yodium, Kalsium, Zink, dan Fe)

sedangkan pada penelitian sebelumnya hanya meneliti tiga variabel bebas

yaitu asupan protein, zat besi, vitamin c dan seng. Variabel independent

yang akan diteliti adalah kejadian stunting sedangkan variabel pada

penelitian sebelumnya adalah kadar hemoglobin pada balita stunting Selain

itu jenis penelitian ini menggunakan penelitian Observasional dengan

pendekatan Cross Sectional, analisis data yang digunakan untuk

membandingkan variable independent dengan dependent adalah dengan uji

Pearson Test sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan

penelitian Analitik Observasional dengan desain Case-Control. dan analisis

data dengan uji Chi-Square dan Regresi Logistik. Persamaan penelitian ini

adalah variabel independen yaitu konsumsi protein, zat besi dan seng.

Universitas Respati Yogyakarta


12

Sampel penelitian yaitu anak balita yang berusia 24-59 bulan. Persamaan

lainnya adalah sampel pada penelitian ini diambil menggunakan teknik

Consecutive Sampling.

Universitas Respati Yogyakarta


13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Balita
World Health Organization (WHO) (2002) mengelompokkan usia anak

dibawah lima tahun (balita) menjadi tiga golongan, yaitu golongan usia bayi

(0-1 tahun), usia bawah tiga tahun (batita) (2-3 tahun), dan golongan pra-

sekolah (4-5 tahun). Masa balita adalah periode perkembangan fisik dan

mental yang pesat. Pada masa ini otak balita telah siap menghadapi berbagai

stimuli seperti belajar berjalan dan berbicara lebih lancar (Hardinsyah,

2017).

Anak dibawah 5 tahun (balita) merupakan kelompok yang menujukkan

pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan makanan dengan

nilai gizi tinggi yang sangat penting seperti pada makanan bersumber

energi-protein, vitamin (B kompleks, C, dan A), serta mineral (Ca, Fe,

Yodium, Fosfor, dan Zn). Ketidakcukupan zat gizi mengakibatkan

penurunan status gizi sehingga anak menjadi kurang gizi. Oleh karena itu,

untuk pertumbuhan yang baik dibutuhkan:

a. Kesehatan dan gizi yang baik pada ibu hamil, bayi, dan anak prasekolah.

b. Stimulasi yang cukup dalam kualitas dan kuantitas.

c. Keluarga dan KIA-KB mempunyai peran yang penting dalam

pembinaan fisik, mental sosial anak.

Universitas Respati Yogyakarta


14

Selama tahun kedua, angka penambahan berat badan adalah 0,25

kg/bulan. Lalu, menjadi sekitar 2 kg/tahun sampai berusia 10 tahun. Panjang

rata-rata pada akhir tahun pertama bertambah 50% (75 cm) dan menjadi dua

kali lipat pada akhir tahun keempat (100 cm). Nilai baku yang sering dipakai

adalah grafik (peta pertumbuhan atau grow chart) yang disusun oleh NCHS

untuk berat badan dan tinggi badan (Adriani, 2012).

2. Stunting

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier yang disebabkan

adanya malnutrisi asupan zat gizi kronis atau penyakit infeksi kronis yang

berulang ditunjukkan dengan nilai Z-score dengan indikator Tinggi Badan

menurut Umur (TB/U) kurang dari – 2 Standar Deviasi (SD) berdasarkan

standar WHO (World Health Organization) (WHO, 2005).

Stunting dapat didiagnosa melalui indeks antropometri tinggi badan

menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada

pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang,

akibat dari gizi yang tidak memadai atau kesehatan. Stunting merupakan

pertumbuhan linear yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai

akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit.

Stunting didiagnosis melalui pemeriksaan antopometri. Stunting

menggambarkan keadaan kekurangan gizi kronis atau gizi kurang yang

sudah berjalan lama dan memerlukan waktu bagi anak untuk berkembang

serta pulih kembali. Stunting juga dapat menghambat pertumbuhan linier.

Biasanya, pertumbuhan dimulai pada sekitar usia enam bulan sebagai

Universitas Respati Yogyakarta


15

transisi makanan anak yang sering tidak memadai dalam jumlah terkena

penyakit. Terganggunya pertumbuhan bayi dan anak-anak karena kurang

memadai nya asupan makanan dan terjadinya penyakit infeksi berulang,

yang mengakibatkan berkurangnya nafsu makan dan meningkatkan

kebutuhan metabolik (ACC/SCN, 2000).

Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya

kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya:

kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang

kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi

pendek (Anindita, 2012).

Pemenuhan kebutuhan akan zat gizi yang tidak adekuat dalam jangka

waktu yang lama berdampak pada tidak optimalnya perkembangan jaringan

dan otak. Hal ini menyebabkan terjadi keterlambatan pematangan fungsi

otak. Terganggunya pematangan fungsi otak dalam jangka waktu yang lama

berhubungan dengan rendahnya kemampuan kognitif anak berkaitan

dengan malnutrisi.

3. Pengukuran Status gizi

a. Antropometri

Antropometri berasal dari kata anthoropos dan metros. Anthoropos

artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah

ukuran tubuh. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi

adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh

dan tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2008).

Universitas Respati Yogyakarta


16

b. Ukuran Antropometri

Ukuran Antopometri yang sering dipakai antara lain:

1) Umur

Untuk menentukan status gizi seseorang faktor umur sangat

penting. Kesalahan menentukan umur dapat menyebabkan

interpretasi status gizi yang tidak tepat. Batasan umur yang

digunakan adalah tahun umur penuh (completed year) dan untuk

umur 0–2 tahun digunakan bulan umur penuh (completed month).

2) Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan parameter yang penting untuk

keadaan sekarang maupun keadaan yang lalu, apabila umur tidak

diketahui dengan tepat. Selain itu tinggi badan merupakan ukuran

kedua yang penting, sebab dengan menghubungkan berat badan

menurut tinggi badan, faktor umur dapat ditiadakan. Pengukuran

tinggi badan untuk balita yang sudah berdiri tegak menggunakan alat

pengukur tinggi mikrotoa (microtoice) dengan ketelitian 0,1 cm.

Langkah - langkah mengukur tinggi badan menggunakan

microtoice, yaitu:

a) Letakkan microtoice di lantai yang rata pada dinding atau tembok

yang rata dan tegak lurus.

b) Tarik pita meteran tegak lurus ke atas sampai angka pada jendela

baca (garis datar berwarna merah) menunjukkan angka nol.

c) Paku atau tempelkan mikrotoa tepat pada titik paling atas.

Universitas Respati Yogyakarta


17

d) Minta subjek melepaskan alas kaki (sepatu atau sandal), kaos kaki,

dan hiasan rambut yang mengganggu atau mempengaruhi

pengukuran.

e) Posisikan subjek berdiri tegak lurus dibawah microtoice dengan

membelakangi dinding.

f) Posisikan kepala subjek berada di bawah alat geser microtoice dan

pandangan lurus kedepan.

g) Pastikan bagian belakang kepala, punggung, bokong, betis, dan

tumit menempel ke dinding.

h) Posisikan kedua lutut dan tumit rapat

i) Pastikan posisi kepala sudah benar dengan mengecek Frankfort

(cuping telinga sejajar dengan puncak tulang pipi) tegak lurus.

j) Tarik kepala microtoice sampai ke puncak kepala subjek namun

tidak sampai menekan.

k) Baca angka tinggi badan pada jendela baca dari arah depan dan mata

pembaca harus sejajar dengan garis merah.

l) Angka yang dibaca adalah angka pada garis merah dari angka kecil

kearah angka besar

m) Catat hasil pengukuran tinggi badan subjek dengan ketelitian 0,1 cm.

c. Indeks Antropometri

Untuk mengetahui balita stunting indeks yang digunakan adalah

indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U). Tinggi badan merupakan

parameter antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan

Universitas Respati Yogyakarta


18

tulang. Tinggi Badan menurut Umur adalah ukuran dari pertumbuhan

linear yang dicapai, dapat digunakan sebagai indeks status gizi atau

kesehatan masa lampau.

Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat

badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu di bandingkan

dengan standard deviasi unit yang hasilnya di bawah normal. Jadi secara

fisik balita akan lebih pendek dibandingkan balita seumurnya.

Perhitungan ini menggunakan standar Z-score dari WHO 2005.

Z-Score adalah standar deviasi unit yang disarankan dari WHO

untuk memantau pertumbuhan anak balita terhadap baku NCHS

(National Center for Health Statistics) (WHO,2005).

Rumus perhitungan Z-skor adalah:

𝑵𝒊𝒍𝒂𝒊 𝑰𝒏𝒅𝒊𝒗𝒊𝒅𝒖 𝑺𝒖𝒃𝒋𝒆𝒌 –𝑵𝒊𝒍𝒂𝒊 𝑴𝒆𝒅𝒊𝒂𝒏 𝑩𝒂𝒌𝒖 𝑹𝒖𝒋𝒖𝒌𝒂𝒏


𝒁 − 𝒔𝒄𝒐𝒓𝒆 = 𝑵𝒊𝒍𝒂𝒊+𝟏𝑺𝑫 − 𝑵𝒊𝒍𝒂𝒊 𝑴𝒆𝒅𝒊𝒂𝒏 𝑩𝒂𝒌𝒖 𝑹𝒖𝒋𝒖𝒌𝒂𝒏

Berdasarkan nilai Z-score indikator tinggi badan menurut umur

tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut:

Tabel 2.1
Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak
Berdasarkan Indeks TB/U
Indeks yang Ambang Batas Kategori Status Gizi
dipakai (Z-Score)
< -3 SD Sangat Pendek (stunted)
Tinggi Badan -3 s/d<-2 SD Pendek (stunting)
menurut Umur -2 s/d +2 SD Normal
(TB/U) >+2 SD Tinggi
Sumber: WHO, 2005

4. Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Stunting


Menurut UNICEF (1998) pertumbuhan dipengaruhi oleh sebab

langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung diantaranya adalah asupan

Universitas Respati Yogyakarta


19

makan dan keadaan kesehatan, sedangkan penyebab tidak langsung

meliputi ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga, pola pengasuhan

anak, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Sedangkan Menurut Tuft (2001, dalam The World Bank, 2007)

stunting disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor individu yang meliputi

asupan makanan, berat badan lahir, dan keadaan kesehatan; faktor rumah

tangga yang meliputi kualitas dan kuantitas makanan, sumber daya, jumlah

dan struktur keluarga, pola asuh, perawatan kesehatan dan pelayanan; serta

faktor lingkungan yang meliputi infrastruktur sosial ekonomi, layanan

pendidikan dan layanan kesehatan.

a) Asupan makan
Asupan zat gizi yang lengkap masih terus dibutuhkan anak selama

proses tumbuh kembang masih berlanjut karena proses tumbuh

kembang ini dipengaruhi oleh makanan yang diberikan pada anak.

Makanan yang diberikan harus tepat baik jenis dan jumlahnya hingga

kandungan gizinya. Zat gizi yang dibutuhkan anak ditentukan oleh usia,

jenis kelamin, aktivitas, berat badan, dan tinggi badan. Tubuh anak tetap

membutuhkan semua zat gizi utama yaitu karbohidrat, lemak, protein,

serat, vitamin, dan mineral. Penilaian status gizi dengan melihat jumlah

dan jenis zat gizi yang dikonsumsi dapat dilakukan melalui survei

konsumsi makanan (Depkes, 2007).

b) Penyakit infeksi

Menurut Suiraoka (2011) hubungan penyakit infeksi dengan

keadaan gizi kurang merupakan timbal balik dan sebab akibat. Penyakit

Universitas Respati Yogyakarta


20

infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang kurang

dapat mempermudah seseorang terkena penyakit infeksi yang akibatnya

dapat menurunkan nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam

saluran pencernaan atau peningkatan kebutuhan zat gizi oleh adanya

penyakit sehingga kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi.

Adanya hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus,

dan parasit) dengan kejadian malnutrisi. Mereka menekankan interaksi

yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi dan juga infeksi

akan mempengaruhi zat gizi dan mempercepat malnutrisi (Supariasa,

2008).

c) Berat lahir Rendah

Pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan proses panjang

yang berkesinambungan. Derajat kesehatan anak pada masa balita

sangat berkaitan erat dengan tingkat kesehatan pada masa bayi baru

lahir. Bayi lahir sehat terkait erat dengan tingkat kesehatan maternal.

Derajat kesehatan maternal terkait erat dengan tingkat kesehatan pada

usia sekolah. Derajat kesehatan maternal terkait erat dengan tingkat

kesehatan pada usia sekolah. Derajat kesehatan pada periode usia

sekolah sangat terkait dengan kondisi kesehatan anak semasa balita.

Berat lahir memiliki dampak yang besar terhadap pertumbuhan

anak, perkembangan anak dan tinggi badan saat dewasa. Standar

pertumbuhan anak yang dipublikasikan pada tahun 2006 oleh WHO

Universitas Respati Yogyakarta


21

telah menegaskan bahwa anak-anak berpotensi tumbuh adalah sama di

seluruh dunia.

d) Usia Anak

Masa balita merupakan usia paling rawan, karena pada masa ini

balita sering terserang penyakit infeksi sehingga menjadikan anak

berisiko tinggi menjadi kurang. Pada usia prasekolah yaitu usia 2-6

tahun, anak mengalami pertumbuhan yang stabil, terjadi perkembangan

dengan aktifitas jasmani yang bertambah dan meningkatkannya

ketrampilan dan proses berfikir. Pertumbuhan pada usia balita dan

prasekolah lebih lambat dibandingkan pada masa bayi namun

pertumbuhnya stabil. Memperlambatnya kecepatan pertumbuhan ini

tercerin dalam penurunn nafsu makan, padahal dalam masa ini anak-

anak membutuhkan kalori dan zat gizi yang adekuat untuk memenuhi

kebutuhan akan zat gizi mereka (Anisa, 2012).

Penelitian Ramli, et.al. (2009) di Maluku Utara prevalensi stunting

dan severe stunting lebih tinggi pada anak usia 24-59 bulan, yaitu

sebesar 50% dan 24% dibandingkan anak-anak yang berusia 0-23 bulan.

Temuan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Semba,

et.al. (2008) di Indonesia dan Bangladesh dimana bertambahnya usia

anak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting,

dimana anak-anak yang berusia lebih dari 2 tahun lebih kecil

kemungkinannya untuk pulih dari stunting. Hal tersebut menandakan

Universitas Respati Yogyakarta


22

bahwa semakin bertambahnya usia anak semakin tinggi juga risiko

stunting pada anak (Ramli, et.al. 2009).

e) Jenis Kelamin Anak

Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi bagi

seseorang. Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein

dibandingkan wanita. pria lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat

yang biasanya tidak biasa dilakukan oleh wanita. tetapi dalam

kebutuhan zat besi, wanita jelas membutuhkan lebih banyak dari pada

pria. Anak laki-laki lebih sering sakit dibandingkan anak perempuan

tetapi belu dketahui secara pasti kenapa demikian. Pada masyarakat

tradisional, wanita jelas mempunyai status lebih rendah dibandingkan

dengan anak laki-laki sehingga angka kemantian bayi dan lanutrisi

masih tinggi pada wanita (Fitri, 2012).

Dalam dua penelitian yang dilakukan di tiga Negara berbeda, yaitu

Libya (Taguri et.al. 2008), serta Bangladesh dan Indonesia (Semba et.al.

2008), menunjukan bahwa prevalensi stunting lebih besar pada anak

laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Hasil penelitian lain

menunjukan bahwa jenis kelamin anak adalah prediktor yang kuat dari

stunting pada anak usia 0-23 bulan. Anak perempuan memiliki risiko

yang lebih rendah dibandingkan anak laki-laki. Dalam hal ini selama

masa bayi dan masa kanak-kanak, anak perempuan cenderung lebih

rendah kemungkinan menjadi stunting dari pada laki-laki, selain itu bayi

perempuan dapat bertahan hidup dalam jumlah lebih besar dari pada

Universitas Respati Yogyakarta


23

bayi laki-laki dikebanyakan Negara berkembang termasuk Indonesia

(Ramli, et.al. 2009).

f) Genetik

Faktor genetik dianggap berpengaruh terhadap kejadian stunting

karena apabila anak dilahirkan dalam keluarga yang kedua keluarganya

pendek, maka besar kemungkinan anak tersebut akan tumbuh menjadi

stunting.

g) Riwayat pemberian ASI

Eksklusif merupakan salah satu penyebab terjadinya stunting

pada anak balita dan akan menyebabkan terjadinya penyakit infeksi

seperti diare dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Anak yang

diberikan ASI kurang dari dua tahun lebih berisiko mengalami stunting

dibandingkan dengan anak yang diberikan ASI selama 2 tahun atau lebih.

Pemberian ASI berkaitan dengan pencernaan dan sistem kekebalan tubuh

pada anak yang masih rentan terkena penyakit, oleh sebab itu pada masa

menyusui ini penting untuk anak diberikan ASI dan menghindarkan anak

dari makanan-makanan yang belum bisa dicerna dengan baik oleh tubuh

(Aulia, 2016).

Hasil penelitian Chandra et.all (2011) menujukkan bahwa

riwayat pemberian ASI eksklusif bukan merupakan faktor risiko

terjadinya stunting. Hasil penelitian Ansori (2013), juga menujukkan

bahwa ASI eksklusif bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting

pada balita. Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian Putra (2015)

Universitas Respati Yogyakarta


24

bahwa pemberian ASI eksklusif tidak berhubungan signifikan dengan

kejadian stunting.

h) Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Gizi

Pengetahuan mengenai gizi merupakan proses awal dalam

perubahan perilaku peningkatan status gizi, sehingga pengetahuan

merupakan faktor internal yang mempengaruhi perubahan perilaku.

Pengetahuan ibu tentang gizi akan menentukan perilaku ibu dalam

menyediakan makanan untuk anaknya. Ibu dengan pengetahuan gizi

yang baik dapat menyediakan makanan dengan jenis dan jumlah yang

tepat untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak balita

(Ardiyah, et al. 2015).

Pengetahuan orang tua tentang gizi juga dapat membantu

memperbaiki status gizi pada anak untuk mencapai kematangan

pertumbuhan. Pada anak dengan stunting mudah timbul masalah

kesehatan baik fisik maupun psikis. Oleh karena itu, tidak semua anak

dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya, ada anak yang

mengalami hambatan dan kelainan (Gibney, et al. 2009).

i) Pekerjaan Orang Tua

Pekerjaan merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas

dan kuantitas pangan, karena pekerjaan berhubungan dengan

pendapatan. Dengan demikian, terdapat asosiasi antara pendapatan

terhadap gizi. Apabila pendapatan meningkat maka bukan tidak mungkin

Universitas Respati Yogyakarta


25

kesehatan dan masalah keluarga yang berkaitan dengan gizi mengalami

perbaikan.

Faktor ibu yang bekerja nampaknya belum berperan sebagai

penyebab utama masalah gizi pada anak, namun pekerjaan ini lebih

disebut sebagai faktor yang mempengaruhi dalam pemberian makanan,

zat gizi, dan pengasuhan /perawatan anak. Ibu yang bekerja di rumah

tidak memiliki alternative untuk merawat anaknya. Terkadang ibu

memiliki masalah dalam pemberian makanan untuk anak kurang

diperhatikan juga karena ibu merasa sudah merawat anaknya, misalnya

dalam pemberian ASI (Anisa, 2012).

j) Status Ekonomi Keluarga

Dengan adanya pertumbuhan ekonomi dan adanya peningkatan

penghasilan yang berkaitan dengan itu, maka perbaikan gizi akan

tercapai dengan sendirinya. Penghasilan merupakan faktor penting dalam

penentuan kualitas dan kuantitas makanan dalam suatu keluarga.

Terdapat hubungan antara pendapatan dan gizi yang menguntungkan,

yaitu pengaruh peningkatan pendapatan dapat menimbulkan perbaikan

kesehatan dan kondisi keluarga yang menimbulkan interaksi status gizi.

Status ekonomi rumah tangga dipandang memiliki dampak yang

signifikan terhadap probabilitas seorang anak menjadi pendek dan kurus.

Dalam hal ini, WHO merekomendasikan status gizi pendek atau stunting

sebagai alat ukur atas tingkat social-ekonomi yang rendah dan sebagai

Universitas Respati Yogyakarta


26

salah satu indikator untuk memantau ekuitas dalam kesehatan (Anisa,

2012).

5. Konsumsi Makanan

a. Pengertian Konsumsi Makanan

Konsumsi makanan adalah segala sesuatu tentang jenis dan

jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang

dalam jangka waktu tertentu berdasarkan kriteria tertentu (Rizqiawan,

2015). Konsumsi makanan sangat berpengaruh terhadap status gizi

seseorang. Status gizi baik atau optimal terjadi apabila tubuh

memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga

memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan

kerja dan kesehatan. Status gizi terjadi apabila tubuh mengalami

kekurangan satu atau lebih zat gizi (Almatsier, 2009).

Konsumsi makanan merupakan semua jenis makanan dan

minuman yang dikonsumsi tubuh setiap hari. Konsumsi makanan di

hubungkan dengan keadaan gizi masyarakat suatu wilayah atau

individu. Informasi ini dapat digunakan untuk perencanaan pendidikan

gizi khususnya untuk menyusun menu atau intervensi untuk

meningkatkan sumber daya manusia (SDM), mulai dari keadaan

kesehatan dan gizi serta produktivitasnya. Mengetahui konsumsi

makanan suatu kelompok masyarakat atau individu merupakan salah

satu cara untuk menduga keadaan gizi kelompok masyarakat atau

individu bersangkutan (Adriani, 2012).

Universitas Respati Yogyakarta


27

Peran makanan yang bernilai gizi tinggi sangat penting seperti

pada makanan yang mengandung energi, protein (terutama hewani).

Vitamin dan mineral esensial merupakan zat gizi yang sangat penting

bagi pertumbuhan dan kesehatan. Beberapa jenis Vitamin B yang

dibutuhkan untuk tumbuh kembang otak adalah, Vitamin B1, Vitamin

B6, dan asam folat (Vitamin B9). Bila kebutuhannya tidak terpenuhi,

maka akan timbul gangguan terhadap pertumbuhan dan fungsi otak dan

sistem saraf (Adriani, 2012).

b. Penilaian Konsumsi Makanan

Penilaian konsumsi makanan adalah salah satu metode yang

digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok.

Survey Konsumsi Makanan yaitu mempelajari/menelaah jumlah

makanan yang dikonsumsi masuk ke dalam tubuh dan membandingkan

dengan baku kecukupan, sehingga diketahui kecukupan gizi yang

dipenuhi (Hardinsyah, 2017).

Survei konsumsi makanan bertujuan untuk mengetahui

konsumsi makanan seseorang atau kelompok orang, baik secara

kualitatif maupun secara kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif

untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis

bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta

cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut (Supariasa, 2002).

Klasifikasi tingkat konsumsi kelompok atau perorangan berdasarkan

Universitas Respati Yogyakarta


28

Depkes RI (1990) dibagi menjadi 4 dengan cut of points, dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 2.2
Kategori Tingkat Konsumsi Kelompok atau Perorang
Tingkat Konsumsi Standar
Baik ≥100% AKG
Sedang > 80-99% AKG
Kurang 70-80% AKG
Defisit <70% AKG
Sumber : Supariasa, 2008
Stunting timbul setelah melewati waktu tertentu, pajanan yang

relevan secara biologis adalah konsumsi makanan jangka panjang

selama bertahun-tahun sebelum diagnosis penyakit ditegakkan. Oleh

karena itu, instrument yang menangkap data tentang konsumsi makan

dengan menggunakan metode Food Frekuensi Questioner Semi

Kuantitatif (SQ-FFQ). Tujuan SQ-FFQ ini adalah untuk mengukur

konsumsi makanan di masa lalu dan untuk menentukan rangking

perorangan berdasarkan konsumsi makanan bagi penelitian terhadap

keterkaitan (asosiasi) dengan risiko.

6. Konsumsi Energi

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup,

menunjang pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi diperoleh

dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada yang di dalam bahan

makanan. Kandungan kandungan karbohidrat, lemak, dan protein suatu

bahan makanan menentukan nilai energinya (Almatsier, 2009).

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein

dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme,

Universitas Respati Yogyakarta


29

pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan dalam

bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk

lemak sebagai cadangan jangka panjang.

Energi dalam tubuh manusia dapat timbul dikarenakan adanya

pembakaran karbohidrat, protein, lemak, dengan demikian agar manusia

selalu tercukupi energinya diperlukan pemasukan zat-zat makanan yang

cukup pula ke dalam tubuhnya. Manusia yang kurang makan akan lemah

baik daya kegiatan, pekerjaan-pekerjaan fisik maupun daya pemikirannya

karena kurangnya zat-zat makanan yang diterima tubuhnya yang dapat

menghasilkan energi (Kartasapoetra, 2012).

Dalam pengertian makanan sebagai sumber energi ternyata energi

makanan dalam proses-proses yang terjadi dalam tubuh hanya sebagian saja

yang diubah menjadi tenaga, sedang lainnya diubah menjadi panas. Tentang

hal ini diperhatikan saja pada tubuh kita, setelah kita melakukan pekerjaan

fisik yang cukup berat atau cukup lama akan terasa badan kita menjadi

panas. Dalam keadaan kita hanya sedikit melakukan kerja fisik, sebagian

besar energi diubah menjadi panas, dan dalam kita tidak melakukan

pekerjaan fisik maka relatif seluruh energi diubah menjadi panas dan

selanjutnya panas akan keluar dari tubuh (Kartasapoetra, 2012). Anak yang

mengalami kekurangan energi akan berisiko 2,52 kali menjadi anak stunting

dibandingkan anak yang cukup energi (ACC/SCN, 2000).

Aktivitas fisik memerlukan energi diluar kebutuhan untuk

metabolisme basal. Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot

Universitas Respati Yogyakarta


30

tubuh dan sistem penunjangnya. Selama aktivitas fisik, otot membutuhkan

energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-

paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan

oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh

(Adriani, 2012).

Tabel 2.3 Angka Kebutuhan Energi Menurut Golongan Umur


Usia Kebutuhan Energi (kkal)
0-6 bulan 550
7-11 bulan 725
1-3 tahun 1125
4-6 tahun 1600
Sumber: AKG 2013
Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat dan

protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain lemak/gajih dan

minyak, buah lemak (alpokat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari

dan kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air (kacang

tanah dan kacang kedele), dan aneka pangan produk turunannya. Pangan

sumber energi yang kaya karbohidrat antara lain beras, jagung, oat, serealia

lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah

(pisang, kurma dan lain-lain) dan aneka produk turunannya. Pangan sumber

energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu, dan aneka

produk lainnya.

7. Konsumsi Protein

Protein merupakan bagian dari semua sel hidup dan merupakan

bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh protein,

separuhnya ada di dalam otot, seperlima di dalam tulang dan tulang rawan,

sepersepuluh di dalam kulit, dan selebihnya di dalam jaringan lain, dan

Universitas Respati Yogyakarta


31

cairan tubuh (Proverawati, 2009). Angka kecukupan protein (AKP) anak

usia sekolah umur 7-9 tahun: 400 mg untuk laki-laki dan perempuan, umur

10-12 tahun laki-laki adalah 400 mg dan untuk dan untuk perempuan adalah

350 mg. Disarankan untuk memberi protein 1,5-2 g/Kg berat badan anak

sekolah (Adriani, 2012).

Protein terdiri dari asam amino. Disamping menyediakan asam

amino esensial, protein juga menyuplai energi dalam keadaan energi

terbatas dari karbohidrat dan lemak. Asam amino esensial meliputi

Histidine, Isoleucine, Leucine, Lysine, Methionine, Cysteine, Phinilalanine,

Tyrosine, Threonine, Tryptophan dan valine. Pada umumnya empat asam

amino yang defisit dalam makanan anak-anak adalah Lysine,

Methionine+Cysteine, Threonine + Tryptophan (FAO/WHO, 1985). Anak

yang mengalami kekurangan protein akan berisiko 3,46 kali menjadi

stunting (ACC/SCN, 2000).

Protein berfungsi sebagai pembentukan dan perbaikan semua

jaringan di dalam tubuh termasuk darah, enzim, hormon, kulit, rambut, dan

kuku. Protein juga dibutuhkan untuk menggantikan jaringan yang aus,

perkembangan seks, dan metabolisme. Di samping itu, protein berguna

untuk melindungi keseimbangan asam dan basa di dalam darah serta

mengatur keseimbangan air di dalam tubuh. Pada dasarnya, protein

berfungsi sebagai pembangun tubuh (membentuk semua sel-sel jaringan

baru untuk pertumbuhan serta mengganti jaringan yang sudah rusak).

Dalam hal ini protein disebut sebagai Zat Pembangun (Indra, 2013).

Universitas Respati Yogyakarta


32

Protein merupakan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh untuk

pertumbuhan, membangun struktur tubuh (otot, kulit dan tulang) serta

sebagai pengganti jaringan yang sudah usang (Almatsier, 2009). Eratnya

hubungan protein dengan pertumbuhan menyebabkan seorang anak yang

kurang asupan proteinnya akan mengalami pertumbuhan yang lebih lambat

daripada anak dengan jumlah asupan protein yang cukup (Bender, 2002)

dan pada keadaan yang lebih buruk kekurangan protein dalam jangka waktu

yang lama dapat mengakibatkan berhentinya proses pertumbuhan.

Tabel 2.4 Angka Kebutuhan Protein Menurut Golongan Umur


Usia Kebutuhan protein
(g)
0-6 bulan 12
7-11 bulan 18
1-3 tahun 26
4-6 tahun 35
Sumber : Angka Kecukupan Gizi 2013

Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan sebanyak 59,7 % anak

usia sekolah tingkat konsumsi proteinnya kurang dari 80 % berdasarkan

AKG. Pangan sumber protein hewani meliputi daging, telur, susu, ikan,

seafood dan hasil olahannya. Pangan sumber protein nabati meliputi kedele,

kacang-kacangan dan hasil olahannya meliputi tempe, tahu, susu kedele.

Secara umum mutu protein hewani lebih baik dibandingkan protein nabati

(Marmi, 2013).

8. Konsumsi Yodium

Yodium adalah salah satu zat gizi mikro yang tergolong ke dalam

mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Yodium dibutuhkan oleh kelenjar

Universitas Respati Yogyakarta


33

normal tiroid untuk pertumbuhan dan perkembangan. Bahkan kekurangan

yodium ringan dapat berdampak pada kecacatan pendengaran dan

penurunan IQ pada anak (Remer et. al. 2006 dalam Rizqiawan, 2015).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2004), yodium adalah mineral yang

terdapat di alam baik di tanah maupun air dan merupakan zat gizi mikro

yang diperlukan oleh tubuh manusia untuk membentuk hormon tiroksin.

Hormon tiroid, Tiroksin (T4) dan Triiodotironin (T3) sangat penting dalam

menentukan perkembangan fisik dan mental yang normal pada hewan serta

manusia, dalam pembentukan dan perkembangan otak, serta pengaturan

temperatur tubuh.

Yodium diperoleh dari mengkonsumsi makanan dan minuman

berada dalam bentuk ion Yodium, dan besarnya bergantung dari kadar

yodium dalam tanah. Menurut AKG 2013, kebutuhan harian akan yodium

adalah 120 mg/hari pada umur 2-5 tahun.

Zat Goitrogenik adalah zat yang dapat menghambat pengambilan

iodium oleh kelenjar gondok, sehingga konsentrasi iodium dalam kelenjar

menjadi rendah. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada

beberapa jenis makanan yang dikonsumsi oleh manusia dan hewan dapat

bersifat goitrogenik. Konsumsi pangan goitrogenik contoh rata-rata 59.9

gram per hari. Jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi pangan sumber

iodium rata-rata konsumsi pangan goitrogenik lebih tinggi.

Pangan goitrogenik yang paling sering dikonsumsi contoh adalah

kangkung, bayam, singkong, daun singkong, kol, buncis, ubi jalar dan

Universitas Respati Yogyakarta


34

terong. Tingginya konsumsi pangan tersebut karena ketersediaan pangan

tersebut banyak di pasaran dan juga beberapa keluarga mempunyai

pekarangan yang juga ditanami sayuran tersebut (Rizqiawan, 2015).

9. Konsumsi Kalsium

Kalsium adalah salah satu unsur penting dalam tubuh. Jumlah

kalsium di dalam tubuh berkisar anntara 1,5-2% dari berat badan orang

dewasa. Walaupun pada bayi, kalsium hanya sedikit, yaitu 25-30 g. Namun,

setelah usia 20 tahun, secara normal akan terjadi penempatan sekitar 1.200

g kalsium dalam tubuh. Jumlah ini terdiri dari 99% kalsium yang berada di

dalam jaringan keras yaitu pada tulang dan gigi (Hariyati, 2016).

Salah satu fungsi kalsium bagi tubuh adalah sebagai zat gizi untuk

tumbuh, menunjang perkembangan fungsi motorik agar lebih optimal

dan berkembang dengan baik (Aprilitasari, 2017). Selain itu juga berfungsi

pembentukan tulang dan gigi. Kalsium dan mineral lain memberi kekuatan

dan bentuk pada tulang dan gigi. Kalsium berfungsi sebagai katalisator

berbagai reaksi biologik, seperti absorbsi vitamin B12, tindakan enzim

pemecah lemak, lipase pancreas, ekskresi insulin oleh pancreas dan lain-

lain dan mengatur pembekuan darah serta kontraksi otot (Sibagariang,

2010).

Vitamin D meningkatkan absorbsi pada mukosa usus dengan cara

merangsang produksi protein pengikat kalsium. Absorbsi kalsium paling

baik terjadi dalam keadaan asam. Selain vitamin D, aktivitas fisik dan

laktosa juga dapat meningkatkan absorpsi kalsium. Kekurangan vitamin D

Universitas Respati Yogyakarta


35

dalam bentuk aktif menghambat absorbsi kalsium. Asam oksalat yang

terdapat dalam bayam, sayuran lain dan kakao membentuk garam kalsium

oksalat yang tidak larut, sehingga menghambat absorbsi kalsium. Serat,

stress mental dan stress fisik serta proses menua juga dapat menurunkan

efisiensi absorbsi kalsium (Sibagariang, 2010).

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013, kebutuhan

kalsium untuk anak balita usia 12-36 bulan adalah 650 mg/hari. Sumber

kalsium terbagi menjadi dua, yaitu sumber hewani dan sumber nabati.

Sumber hewani antara lain pada ikan, udang, susu, dan produk olahan susu.

Sumber makanan yang mengandung nabati terdapat pada sayuran hijau

seperti sawi, bayam, brokoli, dan daun pepaya (Apritilasari, 2017)

Selama pertumbuhan, tuntutan terhadap mineralisasi tulang sangat

tinggi, asupan kalsium yang sangat rendah dapat menyebabkan

hipokalsemia, meskipun sekresi dari kelenjar paratiroid maksimal, yang

dapat mengakibatkan rendahnya mineralisasi matriks deposit tulang baru

dan disfungsi osteoblas. Defisiensi kalsium akan mempengaruhi

pertumbuhan linier jika kandungan kalsium dalam tulang kurang dari 50%

kandungan normal. Pada bayi, kekurangan kalsium di dalam tulang dapat

menyebabkan rakitis, sedangkan pada anak-anak, kekurangan deposit dapat

menyebabkan terhambatnya pertumbuhan (Sari, et.al 2016).

10. Konsumsi Zink

Zat gizi mikro zink (Zn) juga berperan dalam mendukung

pertumbuhan anak. Konsumsi sumber zink pada anak sekolah di negara

Universitas Respati Yogyakarta


36

berkembang masih tergolong rendah, dapat dilihat dari rendahnya konsumsi

sumber pangan hewani dan tingginya konsumsi sumber fitat yang terdapat

pada pangan nabati, dimana fitat diketahui dapat menghambat absorpsi zink.

Pangan hewani adalah sumber zink yang paling baik, karena

bioavailabilitasnya lebih tinggi dari pada sumber zink dari pangan nabati.

Rendahnya asupan seng dapat memicu terjadinya defisiensi zink.

Anak yang mengalami kekurangan zink akan beresiko 2,67 kali

mengalami stunting (Hidayati, 2013). Vitamin A dan Zn berperan dalam

proses pertumbuhan pada anak, Vitamin A berperan terhadap sintesis

protein, sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan sel. Selain itu zat gizi

mikro zink (Zn) juga berperan dalam mendukung pertumbuhan anak,

dimana zink akan membantu dalam metabolisme vitamin A di dalam tubuh.

Defisiensi vitamin A dan Zn akan mengganggu proses metabolisme di

antara keduanya sehingga dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan dan

gangguan imunitas (Almatsier, 2009).

Salah satu manifestasi defisiensi seng pada anak balita adalah

retardasi pertumbuhan. Prevalensi retardasi pertumbuhan linier (pendek

atau stunting) pada anak balita di Indonesia sekitar 35-50%, bervariasi antar

daerah. Dalam kenyataannya seseorang seringkali mengalami kekurangan

lebih dari satu zat gizi mikro. Kurang vitamin A (KVA) disertai dengan

defisiensi zat besi dan defisiensi zink.

Universitas Respati Yogyakarta


37

Tabel 2.5 Angka Kebutuhan Zink Menurut Golongan


Umur
Usia Kebutuhan Zink
(mg)
0-6 bulan -
7-11 bulan 3
1-3 tahun 4
4-6 tahun 5
Sumber : AKG 2013

11. Konsumsi Fe

Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini

terutama diperlukan dalam hemopobesis (pembentukan darah), yaitu dalam

sintesis hemoglobin (Hb), di samping itu berbagai jenis enzim memerlukan

Fe sebagai faktor penggiat.

Kebutuhan zat besi pada balita dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik

dan aktivitas fisik. Kebutuhan zat besi akan meningkat pada masa

pertumbuhan seperti pada bayi, anak-anak, remaja, kehamilan dan

menyusui. Kebutuhan zat besi juga meningkat pada kasus-kasus pendarahan

kronis yang disebabkan oleh parasit (Masrizal, 2007).

Menurut Almatsier (2009) Fe memegang peranan dalam sistem

kekebalan tubuh. Respons kekebalan sel oleh limfosit-T akan terganggu jika

pembentukan sel-sel berkurang, yang disebabkan oleh karena berkurangnya

sintesis DNA. Sintesis DNA ini disebabkan oleh gangguan enzim reduktase

ribonukleotida yang membutuhkan Fe agar dapat berfungsi dengan baik,

sehingga defisiensi Fe dapat menyebabkan gangguan pada sistem kekebalan

tubuh.

Penelitian di Indonesia menunjukkan peningkatan prestasi belajar

pada anak-anak sekolah dasar bila diberi suplemen besi. Hubungan

Universitas Respati Yogyakarta


38

defisiensi besi dengan fungsi otak: beberapa bagian dari otak mempunyai

kadar besi tinggi yang diperoleh dari transpor besi yang dipengaruhi oleh

reseptor transferin. Kadar besi dalam darah meningkat selama dalam

pertumbuhan hingga remaja. Kadar besi otak yang kurang dalam darah pada

masa pertumbuhan tidak dapat diganti setelah dewasa. Defisiensi besi

berpengaruh negatif terhadap fungsi otak, terutama terhadap fungsi sistem

neurotransmiter (pengantar saraf). Akibatnya, kepekaan reseptor saraf

dopamin berkurang yang dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut.

Daya konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan belajar terganggu, ambang

batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar tiroid, dan kemampuan mengatur

suhu tubuh menurun (Adriani, 2012).

Tabel 2.6 Angka Kebutuhan Fe Menurut Golongan


Umur
Usia Kebutuhan Fe (mg)
0-6 bulan -
7-11 bulan 7
1-3 tahun 8
4-6 tahun 9
Sumber : AKG 2013

12. Hubungan Energi dengan Stunting

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein

dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme,

pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan dalam

bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk

lemak sebagai cadangan jangka panjang. Dalam pengertian makanan

sebagai sumber energi ternyata energi makanan dalam proses-proses yang

Universitas Respati Yogyakarta


39

terjadi dalam tubuh hanya sebagian saja yang diubah menjadi tenaga,

sedang lainnya diubah menjadi panas.

Dalam keadaan melakukan kegiatan fisik yang tidak cukup berat,

maka sebagian besar energi diubah menjadi panas, dan ketika kita tidak

melakukan pekerjaan fisik maka relatif seluruh energi diubah menjadi panas

dan selanjutnya panas akan keluar dari tubuh (Kartasapoetra, 2012). Anak

yang mengalami kekurangan energi akan beresiko 2,52 kali menjadi anak

stunting dibandingkan anak yang cukup energi (ACC/SCN, 2000). Fitri

(2012), dalam penelitiannya menemukan bahwa asupan energi

menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting

berdasarkan data RISKESDAS 2010 di Sumatera. Kurnia (2014), dalam

penelitiannya juga menemukan ada hubungan asupan energi dengan

kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di posyandu Asoka II. Hal ini

juga diperkuat dengan penelitian Sari, et.al (2016) prevalensi stunting pada

kelompok asupan energi rendah, lebih besar 2,78 kali daripada kelompok

asupan energi cukup.

Berbeda dengan Anisa (2012), dalam peneltiannya tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara asupan energi dengan kejadian stunting

pada balita di Kelurahan Kalibaru. Aridiyah, et.al (2015), tidak menemukan

hubungan tingkat kecukupan energi dengan kejadian stunting pada anak

balita menunjukkan hasil bahwa tingkat kecukupan energi antara anak balita

yang berada di daerah pedesaan maupun perkotaan tidak memiliki

hubungan terhadap terjadinya stunting pada anak balita. Hairunis, et.al

Universitas Respati Yogyakarta


40

(2016), dalam penelitiannya juga tidak ada hubungan antara tingkat

konsumsi energi dengan kejadian stunting.

13. Hubungan Protein dengan Stunting

Protein, selain sebagai sumber energi juga berfungsi sebagai zat

pembangun tubuh dan zat pengatur di dalam tubuh. Salah satu fungsi utama

protein dalam tubuh yaitu pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan

(Muchtadi 2009). Di dalam tubuh, terdapat hormon pertumbuhan (growth

hormone) yang juga dinamakan somatotropik hormone (SH) atau

somatotropin yang merupakan molekul protein kecil yang mengandung 188

asam amino dalam satu rantai dan mempunyai berat molekul 21.500

(Kurnia, 2014).

Asupan protein menyediakan asam amino yang diperlukan tubuh

untuk membangun matriks tulang dan mempengaruhi pertumbuhan tulang

karena protein berfungsi untuk memodifikasi sekresi dan aksi osteotropic

hormone IGF-I, sehingga, asupan protein dapat memodulasi potensi genetik

dari pencapaian peak bone mass. Asupan protein rendah terbukti merusak

akuisisi mineral massa tulang dengan merusak produksi dan efek IGF-I.

IGF-I mempengaruhi pertumbuhan tulang dengan merangsang proliferasi

dan diferensiasi kondrosit di lempeng epifsis pertumbuhan dan langsung

mempengaruhi osteoblas. Selain itu, IGF-I meningkatkan konversi ginjal

dari 25 hidroksi-vitamin D3 menjadi aktif hormon 1,25 dihidroksi-

vitamin D3 dan dengan demikian memberikan kontribusi untuk

Universitas Respati Yogyakarta


41

peningkatan penyerapan kalsium dan fosfor di usus (Sari, et.al

2016).

Hidayati, et.al (2010), dalam penelitiannya menemukan anak batita

yang kekurangan asupan protein mempunyai risiko 3,46 kali akan menjadi

anak stunting dibandingkan dengan anak yang asupan proteinnya cukup di

Surakarta. Anindita (2012) dalam penelitiannya juga menemukan hubungan

antara asupan protein dengan stunting pada balita di Semarang. Harahap

(2015), dalam penelitiannya menemukan anak dengan konsumsi protein

<80% dari angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan berisiko untuk

menjadi stunting 6,4 kali. Hal ini diperkuat dengan penelitian Sari, et.al

(2016), prevalensi stunting pada kelompok asupan protein rendah, lebih

besar 1,87 kali daripada kelompok asupan protein cukup.

14. Hubungan Yodium dengan Stunting

Yodium adalah sejenis mineral yang terdapat di alam, baik di tanah,

maupun di air, merupakan zat gizi mikro yang diperlukan untuk

pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup. Yodium dibutuhkan tubuh

untuk sintesis hormone tiroid yaitu tiroksin dan triiodotironin. Dimana

tiroksin diperlukan oleh tubuh untuk mengatur pertumbuhan dan

perkembangan mulai dari janin sampai dewasa (Devi, 2012).

Yodium bebas atau terikat dengan cepat diubah menjadi yodida

dalam saluran gastrointestinal. Penyerapan yodium hampir sempurna dalam

waktu 1-3 jam setelah pencernaan makanan. Sebagian yodida diserap

melalui lambung, tetapi kebanyakan diserap melalui usus halus. Yodida

Universitas Respati Yogyakarta


42

yang diserap oleh tiroid maksimum mencapai 2 mg, setelah itu penyerapan

tiroid menurun. Yodida digunakan untuk sintesis tiroksin dan triidotironin.

Sintesis ini dihambat oleh yodium dalam tiroid yang berlebihan

(Sulistyowati, 2015).

Tiroksin meningkatkan kecepatan metabolisme semua sel, dan

sebagai akibatnya secara tidak langsung mempengaruhi metabolisme

protein. Bila karbohidrat dan lemak kurang tersedia untuk energi, tiroksin

menyebabkan degradasi protein dengan cepat untuk digunakan sebagai

energi. Sebaliknya, bila karbohidrat dan lemak terdapat dalam jumlah yang

adekuat, dan juga tersedia asam amino dalam jumlah berlebihan di cairan

ekstrasel, tiroksin dapat meningkatkan kecepatan sintesis protein. Selama

hormon thyroid cukup dalam tubuh, maka pengaruh hormone pertumbuhan

dari hipofise terhadap efek pertumbuhan menjadi bermakna (Setijowati,

2007).

Sudarsono (2015), dalam penelitiannya menemukan asupan iodium

secara signifikan (p< 0,05) berhubungan dengan kejadian stunting pada

balita usia 2-5 tahun di suku bajau Sulawesi tenggara. Sedangkan Rizqiawan

(2016), dalam penelitiannya tidak menemukan hubungan asupan yodium

dengan status gizi (TB/U) hal ini disebabkan zat gizi yang berperan tidak

hanya terbatas dari satu jenis saja melainkan interaksi zat-zat gizi yang

diperlukan tubuh yang terjadi dalam waktu lama. Selain itu zat besi dan

vitamin A juga dapat mempengaruhi metabolisme iodium dan hormon tiroid

yang juga berperan dalam pertumbuhan.

Universitas Respati Yogyakarta


43

15. Hubungan Kalsium dengan Stunting

Kalsium merupakan salah satu zat gizi esensial yang

dibutuhkan untuk berbagai fungsi tubuh. Salah satu fungsi

kalsium bagi tubuh adalah sebagai zat gizi untuk tumbuh,

menunjang perkembangan fungsi motorik agar lebih optimal dan

berkembang dengan baik (Aprilitasari, 2017). Defisiensi

kalsium akan mempengaruhi pertumbuhan linier jika kandungan

kalsium dalam tulang kurang dari 50% kandungan normal. Kalsium

membentuk ikatan kompleks dengan fosfat yang dapat memberikan

kekuatan pada tulang, sehingga defsiensi fosfor dapat

mengganggu pertumbuhan (Sari, et.al, 2016).

Pada masa pertumbuhan, tubuh memanfaatkan kalsium dalam darah

untuk proses metabolisme dan sintesis protein. Kalsium dalam hal ini

berperan penting dalam sekresi hormon, aktivitas enzim kunci dan protein

dependen kalsium. Konsentrasi kalsium di dalam plasma terutama ion

kalsium bebas sangat hati-hati dipertahankan sedemikian rupa untuk

transmisi impuls saraf dan kontraksi otot, serta sebagai katalisator berbagai

reaksi biologik, seperti absorbsi vitamin B12, tindakan enzim pemecahan

lemak, lipase pankreas, sekresi insulin oleh pankreas, pembentukan dan

pemecahan asetilkolin. Homeostasis kalsium diatur terutama melalui sistem

Universitas Respati Yogyakarta


44

hormonal terpadu yang mengontrol transportasi kalsium dalam usus, ginjal,

dan tulang. Proses ini melibatkan dua calciumregulating hormone besar dan

reseptornya yaitu PTH dan reseptor PTH, dan 1,25 (OH) 2D dan reseptor

vitamin D, serta serum terionisasi kalsium dan calsium-sensing receptor.

Homeostasis serum kalsium berkembang untuk mempertahankan kadar ion

kalsium di ekstraseluler dalam rentang normal dengan mengalirkan kalsium

dari cadangan di tulang (Peacock, 2010).

Mikhail, (2013), dalam penelitiannya menemukan bahwa

kekurangan asupan mikronutrien seperti kalsium, zink, magnesium, dan

vitamin A dapat menghambat pertumbuhan sehingga menyebabkan

terjadinya stunting pada anak usia 0-4 tahun di Mesir. Hasil penelitian oleh

Rahmawati, dkk (2017) menunjukkan asupan kalsium pada kategori

stunting memiliki rata-rata 284,20 dan non stunting 371,59. Sari, et.al

(2016), dalam penelitian nya juga menemukan prevalensi stunting pada

kelompok asupan kalsium rendah, lebih besar 3,625 kali daripada kelompok

asupan kalsium cukup.

Sedangkan hasil penelitian Aprilitasari (2017), dalam penelitiannya

tidak ada perbedaan asupan kalsium antara anak balita stunting dan non

stunting. Tidak adanya perbedaan disebabkan beberapa faktor antara lain

pemilihan bahan makanan yang mengandung tinggi kalsium, cara

pengolahan makanan yang dapat mempengaruhi kandungan kalsium dalam

makanan, dan zat anti gizi. Zat anti gizi adalah suatu zat atau senyawa yang

dapat menghambat penyerapan zat gizi.

Universitas Respati Yogyakarta


45

16. Hubungan Zink dengan Stunting

Salah satu zat gizi yang harus di konsumsi oleh anak

untuk pertumbuhan yaitu zink. Hal ini karena, zink berperan

untuk pertumbuhan dan perkembangan secara normal, melawan

infeksi, dan penyembuhan luka. Anak yang dalam proses tumbuh

kembang dan anak yang mengalami kekurangan gizi mempunyai

risiko yang lebih tinggi untuk mengalami defisiensi. Dalam

proses pertumbuhan, zink berperan dalam sintesis protein yang

dibutuhkan untuk pembentukan jaringan baru, pertumbuhan, dan

perkembangan tulang yang normal. Zink juga berinteraksi

dengan hormon-hormon penting yang terlibat dalam pertumbuhan

tulang (Pediatri, 2009).

Zink erat kaitannya dengan metabolisme tulang, sehingga

zink berperan pada pertumbuhan dan perkembangan. Zink juga

memperlancar efek Vitamin D terhadap metabolisme tulang

melalui stimulasi sintesis DNA dan sel-sel tulang. Zink sangat

penting selama tahap-tahap pertumbuhan cepat dan perkembangan

(Sulistyowati, 2015). Jika, terjadinya defisiensi Zink maka

akibatnya penurunan imunitas terhadap infeksi, peningkatan

intensitas serta durasi diare, ganguan pada pertumbuhan yang disebut juga

dengan stunting.

Universitas Respati Yogyakarta


46

Hidayati (2010), dalam penelitiannya menemukan

kekurangan asupan Zn mempunyai risiko 2,67 kali lebih besar

terhadap kejadian stunting pada anak. Putra (2012), dalam

penelitiannya menujukkan ada perbedaan tingkat konsumsi zink antara anak

stunting dan non stunting di wilayah Kelurahan Kartasura. Supriyanti

(2014), dalam penelitiannya juga menemukan konsumsi Zn memiliki

hubungan yang signifikan dengan status gizi BB/U dan TB/U.

Sedangkan hasil penelitian Aprilitasari (2017), dalam penelitiannya

tidak ada perbedaan asupan zink antara anak balita stunting dan non

stunting. Sama halnya juga dengan Roziqo (2016), dalam penelitiannya

tidak ada perbedaan asupan zink dengan stunting. Tidak terdapat

hubungan zink pada penelitian ini diperkirakan karena seluruh

subyek dengan asupan rendah zink dan zat besi.

17. Hubungan Fe dengan Stunting

Fe merupakan komponen penting dalam tubuh, terutama

sintesis hemoglobin dan transportasi oksigen ke seluruh

tubuh. Balita merupakan

kelompok rawan defisiensi zat besi. Hal ini disebabkan karena

kebutuhan zat besi yang meningkat selama masa pertumbuhan,

rendahnya asupan atau rendahnya bioavailabilitas zat besi

Universitas Respati Yogyakarta


47

dari makanan, serta adanya infeksi dan parasite

(Sulistyowati, 2015).

Hampir dua per tiga zat besi ditemukan dalam hemoglobin. Zat besi

bertanggung jawab untuk memproduksi hemoglobin pada eritroblas, jika zat

besi yang disuplay ke sumsum tulang belakang tidak cukup akan terjadi

kegagalan produksi hemoglobin dan jumlah sel darah merah dalam

pembuluh darah berkurang, sehingga defisiensi zat besi dapat menyebabkan

anemia. Zat besi heme berasal dari hemoglobin dan mioglobin pada daging,

unggas dan ikan. Zat besi heme akan meningkatkan absorbsi 15-35%

daripada besi non heme. Hal ini disebabkan karena besi heme memiliki

tranporter sendiri yaitu haem carrier protein 1 (HCP1), sedangkan

transporter besi non heme yaitu divalent metal transporter 1 (DMT1). DMT

1 adalah transporter pada duodenum dan bukan hanya transport besi non

heme saja melainkan transporter mineral lain seperti seng, mangan, tembaga

dan timbal, sehingga penyerapan zat besi non heme juga dipengaruhi oleh

beberapa mineral tersebut (Sembda RD, 2008).

Fe memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh.

Respons kekebalan sel oleh limfosit-T akan terganggu jika

pembentukan sel-sel berkurang, yang disebabkan oleh karena

berkurangnya sintesis DNA. Sintesis DNA ini disebabkan oleh

gangguan enzim reduktase ribonukleotida yang membutuhkan Fe

agar dapat berfungsi dengan baik, sehingga defisiensi Fe dapat

Universitas Respati Yogyakarta


48

menyebabkan gangguan pada sistem kekebalan tubuh (Alamtsier,

2009).

Putra (2012), dalam penelitiannya menemukan hubungan

asupan fe dengan kejadian stunting pada balita di kelurahan

kartasura. Ardiyah (2015), dalam penelitiannya menemukan

asupan zat besi memiliki hubungan yang signifikan dengan

kejadian stunting di kota mapaun di pedesaan. Bahmat (2015),

dalam penelitiannya juga menemukan hubungan yang signifikan antara

asupan zat besi dan kejadian stunting pada bayi 24-59 bulan di Kepulauan

Nusa Tenggara.

Sedangkan Roziqo (2016), dalam penelitiannya tidak ada perbedaan

asupan zat besi dengan stunting. Tidak terdapat hubungan zat besi

dan hemoglobin pada penelitian ini diperkirakan karena

seluruh subyek dengan asupan rendah zat besi. Selain itu,

sumber asupan zat besi sebagian besar berasal dari protein

nabati yang memiliki bioavailabilitas yang lebih rendah, dan

mengandung zat anti-gizi yang dapat menghambat penyerapan zat

besi, seperti fitat dan polifenol.

B. Kerangka Teori

Status gizi kurang


(Stunting)

Makanan tidak Penyakit


Universitas Respati Yogyakarta
seimbang Infeksi
49

Genetik Usia
BBLR Jenis Kelamin

Status gizi ibu


ketika hamil

- Status gizi dan


kesehatan ibu
- Paritas
- Jarak kelahiran
- Usia hamil
pertama
- Status sosial
Kemiskinan, Pendapatan, Tingkat pendidikan, ekonomi ibu
Kurang ketrampilan, ketersediaan pangan, dan
kesempatan kerja

Krisis ekonomi, politik,


dan sosial

Gambar 2.1. Kerangka Teori


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Kurang (stunting)
(Sumber: Modifikasi UNICEF (1989) dalam Supariasa, dkk (2001), FAO
(2003), Mochtar (1998) dan Anisa (2012)

C. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori, maka kerangka pikirnya adalah sebagai

berikut:

Universitas Respati Yogyakarta


50

Konsumsi Energi

Konsumsi Protein

Konsumsi Yodium
Status
Gizi Stunting
Konsumsi Kalsium

Konsumsi Zink

Konsumsi Fe

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

D. Hipotesis Penelitian

1. Konsumsi energi sebagai faktor risiko kejadian stunting pada balita di

Desa Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul DIY

2. Konsumsi protein sebagai faktor risiko kejadian stunting pada balita di

Desa Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul DIY

3. Konsumsi yodium sebagai faktor risiko kejadian stunting pada balita di

Desa Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul DIY

4. Konsumsi kalsium sebagai faktor risiko kejadian stunting pada balita di

Desa Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul DIY

5. Konsumsi zink sebagai faktor risiko kejadian stunting pada balita di Desa

Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul DIY

6. Konsumsi fe sebagai faktor risiko kejadian stunting pada balita di Desa

Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul DIY

Universitas Respati Yogyakarta


51

Universitas Respati Yogyakarta


52

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat Analitik Observasional yang dilakukan secara Case-

Control dengan pendekatan Retrospective. Untuk melihat status paparan faktor

risiko dalam kejadian suatu penyakit yaitu konsumsi energi, protein, yodium,

kalsium, zink, dan fe (variabel independen) sebagai faktor risiko kejadian

stunting (variabel dependen) pada anak balita di Desa Srihardono Kecamatan

Pundong Kabupaten Bantul.

Gambar 3.3.
Skema Rancangan Penelitian Kasus Kontrol

Universitas Respati Yogyakarta


53

B. Tempat dan Waktu Pengambilan Data

1. Tempat Pengambilan Data

Tempat penelitian dilaksanakan di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

Kabupaten Bantul DIY

2. Waktu Pengambilan Data

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan 20 April -2 Mei 2018.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

a. Populasi Penelitian

Menurut Sugiyono (2013), populasi adalah wilayah generalisasi yang

terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu

yang ditetapkan oleh penelitian untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya.

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh anak

balita sebanyak 144 balita di Desa Srihardono yang mengalami stunting.

b. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi tersebut (Notoatmodjo, 2012). Sampel penelitian ini adalah

anak usia 2-5 tahun yang bertempat tinggal di Desa Srihardono Pundong,

Bantul.

Besar sampel diambil dengan rumus studi kasus kontrol untuk

pengujian hipotesis terhadap OR (Odds Ratio) berdasarkan rumus

Lemeshow 1997 (Notoatmodjo, 2012):

(𝑍𝛼√2𝑃𝑄+𝑍𝛽√𝑃1 𝑄1 +𝑃2 𝑄2 )²
𝑛= (𝑃1 −𝑃2 )²

Universitas Respati Yogyakarta


54

Keterangan:

n = Besar sampel minimum pada kasus dan kontrol

Zα = Tingkat kemaknaan (untuk 95% adalah 1,96)

Zβ = Tingkat kuasa/kekuatan yang diinginkan (untuk 95% adalah

1,64)

P1 = Proporsi pemaparan pada kelompok kasus (berdasarkan proporsi

kalsium penelitian Sari, 2016)

P2 = Proporsi pemaparan pada kelompok kontrol (berdasarkan

proporsi kalsium penelitian Sari, 2016)

P = Proporsi yang diinginkan

Q = 1-P
2
(1,96√2𝑥0,37𝑥0,63+1,64√(0.58𝑥0,42)+(0,16𝑥0,84))
𝑛= (0,58−0,16)²

(1,338+1,008)2
𝑛= 0,176

5,504
𝑛 = 0,176

𝑛 = 31,6 = 32

Tabel 3. 7
Besar Minimal Sampel Berdasarkan Penelitian Sebelumnya
Variabel Variabel P1 P2 ∑ Sumber
Independen Dependen Sampel
Energi TB/U 0,126 0,50 31 Sari et.al,2016
Protein TB/U 0,58 0,16 32 Sari et.al,2016
Yodium TB/U 0,141 0,579 31 Devi, 2012
Kalsium TB/U 0,48 0,18 32 Sari et.al,2016
Zink TB/U 0,129 0,589 31 Dewi, 2016
Fe TB/U 0,53 0,20 32 Rahmawati,2017

Universitas Respati Yogyakarta


55

Berdasarkan perhitungan diatas didapatkan besar sampel 32 anak

dengan perbandingan 1:1 antara kelompok kasus dan kelompok kontrol,

sehingga total sampel sebanyak 64 anak. Penelitian ini merupakan bagian

dari penelitian payungan dengan judul “Pemberian ASI Eksklusif dan status

imunisasi sebagai faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 2-5 tahun

di Desa Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul DIY Tahun

2018”. Dari kedua judul didapatkan sampel terbesar sebanyak 70 anak

sehingga diambil sampel terbanyak yaitu 70 anak. Selain itu juga untuk

pemilihan sampel kontrol dilakukan matching (persamaan) terhadap

kelompok umur dengan disamakan umur ±3 bulan pada masing-masing

individu pada kelompok kasus (Rambitan, et.al 2014).

c. Teknik Sampling

Teknik sampling untuk mendapatkan kelompok kasus dan kontrol

menggunakan teknik consecutive sampling. Pada consecutive sampling,

dilakukan dengan memilih sampel yang memenuhi kriteria peneliti sampai

kurun waktu tertentu sehingga besar sampel yang diperlukan terpenuhi.

Berikut kriteria inklusi dan eksklusi sampel pada kelompok kasus dan

kontrol.

a. Kelompok kasus

Berikut kriteria inklusi dan eksklusi sampel pada kelompok kasus:

1) Kriteria inklusi

a) Anak yang berusia 2-5 tahun

b) Anak mengalami stunting

Universitas Respati Yogyakarta


56

c) Panjang Lahir anak ≥ 48 cm

d) Diizinkan oleh orang tuanya untuk mengikuti penelitian

dengan bersedia menandatangani Informed Consent.

2) Kriteria ekslusi

a) Anak yang mengalami gangguan mental, cacat fisik dan

mempunyai riwayat penyakit infeksi.

b. Kelompok kontrol

Berikut kriteria inklusi dan eksklusi sampel pada kelompok kontrol:

a) Kriteria inklusi

a) Anak yang berusia 2-5 tahun

b) Tidak mengalami stunting

c) Panjang lahir anak ≥ 48 cm

d) Diizinkan oleh orang tuanya untuk mengikuti penelitian dengan

bersedia menandatangani informed consent.

b) Kriteria eksklusi

a) Anak yang mengalami gangguan mental, cacat fisik dan riwayat

penyakit infeksi.

D. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel penelitian

1. Variabel Dependen

Variabel dependen adalah variabel yang terikat/terpengaruh.

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah kejadian

Universitas Respati Yogyakarta


57

stunting pada balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

Kabupaten Bantul.

2. Variabel Independen

Variabel independen adalah variabel bebas/tidak terpengaruh.

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah

konsumsi energi, protein, yodium, kalsium, zink, dan fe.

Universitas Respati Yogyakarta


58

2. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Tabel 3.8 Variabel dan Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Kriteria Objektif

1. Status Stunting Keadaan status gizi balita yang diukur indeks TB/U Microtoice 1. Tidak stunting: ≥-2 SD
dan dibandingkan dengan menggunakan baku WHO standar Ordinal 2. Stunting: < -2 SD
antropometri WHO 2005 yang dinilai menggunakan
rumus Z-score. (Sumber: WHO, 2005)
2 Konsumi Konsumsi energi yang dikonsumsi anak balita sehari Kuisoner SQ- Ordinal 1. Baik: ≥80%
Energi dalam gram/hari, yang diperoleh dengan instrument FFQ 2. Kurang: <80%
SQFFQ diolah menggunakan alat bantu Nutrisurvey
2008 lalu dibandingkan dengan AKG 2013 (Sumber: Supariasa,
2008)
3 Konsumsi Konsumsi protein yang dikonsumsi anak balita sehari Kuisoner SQ- Ordinal 3. Baik: ≥80%
Protein dalam gram/hari, yang diperoleh dengan instrument FFQ 4. Kurang: <80%
SQFFQ diolah menggunakan alat bantu Nutrisurvey
2008 lalu dibandingkan dengan AKG 2013 (Sumber: Supariasa,
2008)
4 Konsumsi Konsumsi yodium yang dikonsumsi anak balita sehari Kuisoner SQ- Ordinal 1. Baik: ≥80%
yodium dalam gram/hari, yang diperoleh dengan instrument FFQ 2. Kurang: <80%
SQFFQ diolah menggunakan alat bantu Nutrisurvey
2008 lalu dibandingkan dengan AKG 2013 (Sumber: Supariasa,
2008)

Universitas Respati Yogyakarta


59

5 Konsumsi Konsumsi kalsium yang dikonsumsi anak balita sehari Kuisoner SQ- Ordinal 1. Baik: ≥80%
kalsium dalam gram/hari, yang diperoleh dengan instrument FFQ 2. Kurang: <80%
SQFFQ diolah menggunakan alat bantu Nutrisurvey
2008 lalu dibandingkan dengan AKG 2013 (Sumber: Supariasa,
2008)
6 Konsumsi zink Konsumsi zink yang dikonsumsi anak balita sehari Kuisoner SQ- Ordinal 1. Baik: ≥80%
dalam gram/hari, yang diperoleh dengan instrument FFQ 2. Kurang: <80%
SQFFQ diolah menggunakan alat bantu Nutrisurvey
2008 lalu dibandingkan dengan AKG 2013 (Sumber: Supariasa,
2008)
7 Konsumsi fe Konsumsi fe yang dikonsumsi anak balita sehari Kuisoner SQ- Ordinal 1. Baik: ≥80%
dalam gram/hari, yang diperoleh dengan instrument FFQ 2. Kurang: <80%
SQFFQ diolah menggunakan alat bantu Nutrisurvey
2008 lalu dibandingkan dengan AKG 2013 (Sumber: Supariasa,
2008)

Universitas Respati Yogyakarta


60

E. Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis data yang Dikumpulkan

1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah identitas anak dan ibu,

konsumsi energi, protein, yodium, kalsium, zink, fe, dan status stunting.

2. Data Sekunder

Data sekunder mencakup gambaran umum anak balita di Desa

Srihardono Kecamatan Pundong, Bantul, data wilayah Desa Srihardono.

2. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:

a. Penelitian dilaksanakan di Desa Srihardono Kecamatan Pundong,

Bantul.

b. Tenaga pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu peneliti dan

dibantu oleh tenaga enumerator sebanyak 3 orang. Kriteria enumerator

adalah mahasiswa Gizi Semester V dan VI karena sudah mengambil

mata kuliah Manajemen Data.

c. Sebelum melakukan pengambilan data, peneliti melakukan apersepsi

kepada tenaga enumerator untuk menyamakan persepsi tentang tujuan

dilakukannya penelitian.

d. Cara pengambilan sampel penelitian dengan cara mendatangi rumah-

rumah sesuai data yang diperoleh dari Puskesmas.

e. Memberikan informed consent untuk ditandatangani sebagai bukti

bahwa ibu bersedia menjadi responden.

Universitas Respati Yogyakarta


61

f. Karakteristik sampel diperoleh melalui wawancara langsung dengan

responden menggunakan kuesioner yang meliputi identitas anak dan

ibu, usia anak, jenis kelamin anak, umur ibu pendidikan dan pekerjaan

ibu.

g. Konsumsi energi, protein, yodium, kalsium, zink, dan fe

Data konsumsi energi, protein, yodium, kalsium, zink dan fe dilakukan

wawancara dengan responden yaitu ibu atau pengasuh yang mengerti

dengan makan balita untuk mengetahui jumlah rata-rata konsumsi

makanan dan minuman bersumber energi, protein, yodium, kalsium,

zink, dan fe yang dikonsumsi selama satu tahun terakhir yang diperoleh

melalui metode semiquantitative food frequency dengan menggunakan

form semiquantitative food frequency, wawancara dilakukan oleh

peneliti dan enumerator selama 30-45 menit dan dibagi menjadi dua tim.

Setelah hasil wawancara diperoleh maka akan diolah menggunakan

program Nutrisurvey 2008 kemudian hasilnya dibandingkan dengan

Angka Kecukupan Gizi Tahun 2013 lalu dikategorikan yaitu Baik dan

Kurang.

h. Status Stunting

Data stunting dilakukan dengan mengukur tinggi badan anak

menggunakan microtoice dengan ketelitian 0,1 cm kemudian dihitung

menggunakan rumus Z-score dengan indikator Tinggi Badan menurut

Umur (TB/U) dan hasilnya dibandingkan dengan standar baku WHO

2005.Langkah-langkah mengukur tinggi badan anak, sebagai berikut:

Universitas Respati Yogyakarta


62

1) Memeriksa alat yang dipakai sebelum digunakan

2) Minta anak melepaskan alas kaki (sepatu atau sandal), kaos kaki,

dan hiasan rambut yang mengganggu atau mempengaruhi

pengukuran.

3) Posisikan anak berdiri tegak lurus dengan memperhatikan bagian

belakang kepala, punggung, bokong, betis, dan tumit menempel

kedinding serta pandangan lurus kedepan

4) Tarik kepala microtoice sampai ke puncak kepala anak namun tidak

sampai menekan kepala dan kemudian baca hasilnya.

5) Catat hasil pengukuran tinggi badan subjek dengan ketelitian 0,1

cm.

6) Setelah mengetahui tinggi badan anak kemudian dimasukan ke

dalam rumus Z-score sesuai indeks Tinggi Badan menurut Umur

(TB/U) dan hasilnya dibandingkan dengan standar baku WHO 2005

yang dikategorikan menjadi 2 yaitu stunting jika nilai Z-score <-2

SD (Standar Deviasi) dan tidak stunting jika nilai z-score ≥-2 SD

(Standar Deviasi).

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk pengumpulan data

dalam sebuah penelitian (Notoatmodjo, 2012). Instrumen penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah microtoice, form semiquantitative food

frequency, dan kuesioner identitas. Microtoice digunakan untuk mengukur

tinggi badan (TB) balita dengan ketelitian 0,1 cm. Selanjutnya data tinggi badan

Universitas Respati Yogyakarta


63

balita diolah dengan menggunakan WHO Antro 2005, untuk melihat status gizi

berdasarkan standar baku WHO-2005 (Z-skor tinggi badan menurut umur).

Form semiquantitative food frequency digunakan untuk mengetahui konsumsi

energi, protein, yodium, kalsium, zink, dan fe. Selanjutnya diolah dengan

menggunakan Nutrisurvey 2008 dan dibandingkan dengan AKG 2013. Dalam

penelitian ini, peneliti melakukan uji kalibrasi microtoice yang akan dilakukan

di UPT Metrologi Legal Yogyakarta.

G. Pengolahan dan Analisis Data

1. Teknik Pengolahan Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan dan diolah dengan

menggunakan computer, menurut Notoatmodjo (2012) perlu di ingat bahwa

peranan dalam computer dalam pengolahan dan analisis data hanyalah

sebagai alat, sehingga kita dapat mengandalkan sepenuhnya pada komputer.

Pengolahan data pada penelitian ini sebagai berikut:

a. Editing

Hasil wawancara atau pengamatan dari lapangan harus dilakukan

penyuntingan (editing) terlebih dahulu. Secara umum editing

merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian wawancara.

Editing dilakukan guna meneliti kembali kelengkapan data diantaranya

kelengkapan biodata meliputi nama ibu dan balita, tanggal lahir balita,

serta untuk mengecek kembali frekuensi makan, URT dan berat

makanan (gr) yang dikonsumsi dari setiap jenis makanan yang tersedia

dalam form Semi Quantitative Food Frequency berdasarkan hasil

Universitas Respati Yogyakarta


64

wawancara dengan responden. Hal ini dilakukan agar data tersebut

memenuhi kriteria yang diharapkan atau pemeriksaan kembali data yang

sudah dikumpulkan untuk melihat apakah sudah sesuai dengan data

yang sebenarnya.

b. Coding

Coding yang dilakukan guna meneliti kembali setiap data yang ada

kemudian memberikan kode pada kategori yang telah tersedia untuk

memudahkan dalam pengolahan data (Notoatmodjo, 2012). Adapun

klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Konsumsi energi, protein, yodium, kalsium, zink, dan fe

Hasil wawancara terhadap ibu kemudian dilakukan dengan

mengategorikan sebagai berikut:

a) Konsumsi Baik, diberikan kode 1

b) Konsumsi Kurang, diberikan kode 2

2) Status Stunting

Hasil data pengukuran tinggi badan anak dibandingkan dengan

standar baku WHO 2005 dimasukan dalam rumus Z-score kemudian

dikategorikan menjadi:

a) Tidak stunting diberikan kode 1

b) Stunting, diberikan kode 2

c. Entry data (memasukan data)

Universitas Respati Yogyakarta


65

Memasukkan dan memindahkan data-data tersebut dimana

sebelumnya sudah di coding ke dalam master tabel dengan

menggunakan program komputer.

d. Cleaning data (Pembersihan data)

Cleaning adalah kegiatan pengecekan kembali data yang sudah

dimasukkan apakah ada kesalahan atau tidak. Pengecekan kembali

dilakukan dengan mengevaluasi ulang data yang telah dimasukkan.

b. Teknik Analisis Data

Adapun teknik analisis data yang dilakukan adalah:

a) Analisa Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo,

2012). Analisis ini digunakan untuk melihat gambaran distribusi

frekuensi tiap variabel yang diteliti, baik variabel dependen (status

stunting) maupun variabel independen (konsumsi energi, protein,

yodium, kalsium, zink, dan fe). Data yang dihasilkan dapat berupa

kategorik sesuai dengan hasil ukur yang terdapat dalam definisi

operasional. Hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk distribusi

frekuensi dengan menggunakan rumus:

𝑓
𝑃 = 𝑛 𝑥100%

Keterangan:

P : Persentase

f : Frekuensi

Universitas Respati Yogyakarta


66

n : total

b) Analisa Bivariat

Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen yaitu hubungan konsumsi energi,

protein, yodium, kalsium, zink dan fe sebagai faktor risiko kejadian

stunting pada balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten

Bantul DIY Tahun 2018.

Pada analisi tingkat bivariate, tiap variabel independen ditabulasi-

silang dengan variabel dependen. Pada tabulasi silang 2x2 akan dicari

OR (Odds Ratio) untuk mengetahui hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen. Selain itu juga dilakukan uji

statistik yaitu menggunakan uji Chi-Square. Jika p value<0,05 berarti

ada hubungan yang bermakna secara statistik. Analisa data dilakukan

dengan menggunakan program SPSS 18.

Adapun analisa data yang dilakukan untuk menguji hipotesis dengan

menggunakan uji “Chi-Square”. Rumus yang digunakan yaitu:

(𝑂−𝐸)
𝑋2 = ∑ 𝐸

Keterangan :

X² = Chi-Quadrat

O = Frekuensi yang diperoleh berdasarkan data

Ʃ = Penjumlahan

E = frekuensi yang diharapkan

Universitas Respati Yogyakarta


67

c) Analisis Multivariate

Multiple Regression Logistik merupakan analisis hubungan antara

beberapa variabel independen dengan satu variabel dependen. Uji ini

dilakukan apabila terdapat dua atau lebih variabel independen yang

berhubungan secara bermakna dengan variabel dependen pada uji

bivariat. Uji ini bertujuan untuk melihat variabel independen yang

paling dominan berhubungan dengan variabel dependen.

Langkah pertama yaitu menyeleksi variabel independen yang layak

masuk dengan (memiliki tingkat signifikansi (sig.) atau p value <

0,025) pada uji multivariat dalam regresi logistik sederhana yaitu

dengan melakukan satu persatu regresi sederhana antara masing-

masing variabel independen terhadap variabel dependen. Setelah

dilakukan seleksi kandidat, kemudian diurutkan variabel mana yang

memiliki nilai signifikansi p-value < 0,25. Kemudian memasukkan

variabel tersebut dalam regresi logistik ganda. Subvariabel yang

memiliki p-value terbesar dikeluarkan dari model atau tabel. Ulangi

hingga hanya terdapat satu variabel atau tidak ada yang bisa

dikeluarkan lagi karena perubahan ODDS Ratio (Exp (B)) > 10%.

Nilai OR terbesar pada variabel independen merupakan variabel yang

paling dominan berhubungan dengan variabel dependen.

H. Jalannya Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Srihardono Kecamatan Pundong Bantul

DIY dengan tahapan sebagai berikut:

Universitas Respati Yogyakarta


68

1. Tahap Persiapan Penelitian

a. Menetapkan judul penelitian dengan melakukan konsultasi dengan

pembimbing.

b. Mengurus surat izin studi pendahuluan.

c. Melakukan studi pendahuluan ke Puskesmas Pundong Bantul untuk

mendapatkan informasi serta data yang dibutuhkan dalam menyusun

proposal.

d. Menyusun proposal penelitian dan kuisioner penelitian dengan arahan

pembimbing satu dan pembimbing kedua.

e. Melaksanakan seminar proposal

f. Melakukan perbaikan dan penggandaan hasil proposal

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Mengurus perizinan untuk melakukan penelitian kepada pihak yang

terkait

b. Melakukan pengumpulan data

c. Melakukan pengolahan data

d. Menganalisis data

e. Penyusunan penelitian dibawah arahan pembimbing satu dan

pembimbing dua

3. Tahap Akhir penelitian

a. Setelah data terkumpul kemudian tabulasi data dan dianalisis data.

b. Menganalisa data untuk kebenaran teori tentang konsumsi energi,

protein, yodium, kalsium, zink dan fe sebagai faktor risiko kejadian

Universitas Respati Yogyakarta


69

stunting pada balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong Bantul

DIY.

c. Penyusunan Skripsi (hasil penelitian).

d. Konsultasi hasil penelitian pada pembimbing I dan II

e. Melakukan perbaikan atau revisi hasil penelitian yang telah dilakukan

f. Pengumpulan hasil penelitian

I. Etika Penelitian

Menurut Notoatmodjo (2012), etika dalam penelitian merupakan hal yang

sangat penting dalam pelaksanaan sebuah penelitian, mengingat penelitian ini

berhubungan langsung dengan manusia. Oleh karena itu, segi etika penulisan

harus diperhatikn karena manusia mempunyai hak asasi dalam kegiatan

penelitian. Masalah etika dalam penelitian meliputi:

1. Informed Concent

Informed Concent merupakan bentuk persetujuan antara penelitian

dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.

Informed Concent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan

memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan

Informed Concent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan

penelitian, mengetahui dampaknya, persetujuan penelitian dapat menjawab

setiap pertanyaan yang diajukan subjek berkaitan dengan prosedur

penelitian, kerahasiaan terhadap identitas dan informasi yang diberikan oleh

responden.

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian

Universitas Respati Yogyakarta


70

Peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas dan

kerahasiaan identitas subjek. Peneliti menggunakan coding dengan

pengganti identitas responden.

3. Keadilan dan inklusivitas (keterbukaan)

Menjelaskan prosedur penelitian dan menjamin bahwa semua subjek

penelitian memperoleh perlakukan yang sama tanpa membedakan gender,

agama, etnis dan sebagainya. Setelah dilakukan evaluasi dan pengumpulan

data, peneliti memberikan imbalan berupa cedera mata atau kenang-

kenangan kepada responden sebagai ucapan terima kasih

4. Memberikan kompensasi

Ucapan terima kasih, diwujudkan dalam bentuk souvenir yang

bermanfaat bagi responden.

Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu mengajukan

ethical clearance di Komisi Etik Kesehatan Universitas Respati

Yogyakarta. Surat ethical clearance yang telah dikeluarkan dari Komisi

Etik dengan No: 045.4/FIKES/PL/I/2018.

Universitas Respati Yogyakarta


71

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Srihardono merupakan salah satu desa yang terdapat pada

Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewah

Yogyakarta. Batas Wilayah desa Srihardono adalah sebelah Utara Desa Patalan

dan Canden Kecamatan Jetis, sebelah Selatan Desa Panjangrejo, sebelah Timur

Sriharjo Kecamatan Imogiri, dan sebelah Desa Mulyodadi Kecamatan

Bambanglipuro.

Luas wilayah Desa Srihardomo sebesar ±687 ha. Mayoritas penduduk di

desa Srihardono sendiri adalah petani dimana dapat di lihat dari luasnya lahan

pertanian yang ada di sekitar desa Srihardono. Serta, ada juga sebagian kecil

penduduknya yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), pedagang,

industry rumah menengah dan lain-lain.

Desa Srihardono terdiri dari 36 dusun, yaitu Sawahan, Candi, Monggang,

Tangkil, Baran, Piring, Pundong, Jonggrangan, Gulon, Paten, Pranti,

Potrobayan, Tulung, Klisat, Nangsri, Seyegan, Ganjuran, Bodowaluh, Boto,

Ndowi, Derso, Dempet, Kopek, Tapang, Sroyo, Kembangkerep Ganjuran,

Kembangkerep Sayegan, Sayegan, Morogaten, Santan, Dogunan, Kambilplang,

Podang, Dasilan, Sragan, Baran dan Menang.

Universitas Respati Yogyakarta


72

B. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Subjek dan Responden

Penelitian ini bersifat Analitik Observasional yang dilakukan secara

Case-Control dengan pendekatan Retrospective. Subjek pada penelitian ini

adalah pada anak usia 2- 5 tahun di Desa Srihardono Kecamatan Pundong,

selain itu juga untuk pemilihan subjek kontrol dilakukan matching

(persamaan) terhadap kelompok umur dengan disamakan umur ±3 bulan

pada masing-masing individu pada kelompok kasus. Sehingga untuk umur

memiliki proporsi yang sama. Subjek yang diteliti memiliki beberapa

karakteristik yang meliputi jenis kelamin dan umur sampel. Karakteristik

anak usia 2-5 tahun dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.9

Tabel 4.9 Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin dan


Responden berdasarkan Pendidikan dan Pekerjaan
Variabel Kasus Kontrol
N % n %
Jenis Kelamin
- Laki-laki 19 54.3 13 37,1
- Perempuan 16 45,7 22 62,9
Pendidikan Ibu
- Tidak Sekolah 0 0,0 1 2,9
- Tamat SD 6 17,1 2 5,7
- Tamat SMP 7 20,0 8 22,9
- Tamat SMA/SMK 19 54,3 21 60
- Tamat Perguruan 3 8,6 3 8,6
Tinggi
Pekerjaan Ibu
- Ibu Rumah Tangga 17 48,6 18 51,4
- Pegawai Negeri 1 2,9 0 0,0
- Pegawai Swasta 1 2,9 2 5,7
- Wiraswasta 5 14,3 8 22,9
- Lainnya 11 31,4 7 20,0
sumber: Data Primer 2018

Universitas Respati Yogyakarta


73

Berdasarkan pada Tabel 4.9 menunjukkan bahwa dari 70 sampel, pada

kelompok kasus lebih banyak berjenis kelamin laki-laki 54,3% dan pada

kelompok kontrol lebih banyak berjenis kelamin perempuan 62,9%.

Responden dalam penelitian ini adalah ibu balita. Berdasarkan pada

Tabel 4.9 menunjukkan bahwa subjek yang memiliki ibu dengan pendidikan

tamat SMA/SMK lebih banyak pada kelompok kontrol 21 orang (60,0%)

dari pada kelompok kasus sebanyak 19 orang (54,3%). Sedangkan subjek

yang memiliki ibu dengan tidak bekerja (IRT) lebih banyak pada kelompok

kontrol 18 orang (51,4%) dari pada kelompok kasus sebanyak 17 orang

(48,6%).

2. Distribusi Frekuensi Konsumsi Energi, Protein, Yodium, Kalsium,

Zink, dan Fe

Analisa univariat dilakukan untuk melihat melihat gambaran distribusi

frekuensi tiap variabel yang diteliti, baik variabel dependen (status stunting)

maupun variabel independen (konsumsi energi, protein, yodium, kalsium,

zink, dan fe).

Universitas Respati Yogyakarta


74

Table 4.10 Distribusi Frekuensi Konsumsi Energi, Protein, Yodium,


Kalsium, Zink, dan Fe
Variabel n %
Konsumsi Energi
Kurang 42 60
Baik 28 40
Konsumsi Protein
Kurang 39 53,7
Baik 31 44,3
Konsumsi Yodium
Kurang 52 74,3
Baik 18 25,7
Konsumsi Kalsium
Kurang 42 60
Baik 28 40
Konsumsi Zink
Kurang 40 57,1
Baik 30 42,9
Konsumsi Fe
Kurang 45 64,3
Baik 25 35,7
Total 70 100

Berdasarkan Tabel 4.10 diketahui paling banyak subjek yang memiliki

konsumsi energi kurang yaitu 42 orang (60%). Konsumsi protein kurang

terdapat 39 orang (53,7%). Untuk konsumsi yodium kurang terdapat 52

responden (74,3%). Konsumsi kalsium yang kurang terdapat 42 orang

(60%). Konsumsi zink yang kurang terdapat 40 orang (57,1%). Begitu juga

dengan konsumsi fe yang kurang terdapat 45 orang (64,3%).

3. Hubungan Konsumsi Energi, Protein, Yodium, Kalsium, Zink, dan Fe


dengan Kejadian Stunting
Analisa bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen yaitu hubungan konsumsi energi,

Universitas Respati Yogyakarta


75

protein, yodium, kalsium, zink, dan fe dengan kejadian stunting pada balita

di Desa Srihardono Kecamatan Punding Kabupaten Bantul DIY. Tabel 4.11

menujukkan hasil analisis bivariat.

Tabel 4.11 Hubungan Konsumsi Energi, Protein, Yodium, Kalsium,


Zink, dan Fe dengan Kejadian Stunting

Variabel Kejadian Stunting p value OR (CI 95%)


Kasus Kontrol
n % N %
Konsumsi Energi
Kurang 26 74,3 16 45,7 0,015 1,781
Baik 9 25,7 19 54,3 (1,122-2,828)
Konsumsi Protein
Kurang 28 80 11 31,4 0,000 2,745
Baik 7 20 24 68,6 (1,607-4,690)
Konsumsi Yodium
Kurang 32 91,4 30 57,1 0,001 2,167
Baik 3 8,6 15 42,9 (1,451-3,236)
Konsumsi Kalsium
Kurang 28 80 14 40 0,001 2,25
Baik 7 20 21 60 (1,395-3,630)
Konsumsi Zink
Kurang 24 82,9 11 31,4 0,000 2,909
Baik 6 17,1 24 68,6 (1,705-4,962)
Konsumsi Fe
Kurang 19 54,3 26 74,3 0,81 0,623
Baik 16 45,7 9 25,7 (0,349-1,112)
Total 35 100 35 100

Berdasarkan tabel 4.11 diketahui 42 anak dengan konsumsi energi

kurang sebanyak 26 anak (74,3%) yang mengalami stunting. Sedangkan

dari 28 anak dengan konsumsi energi baik sebanyak 19 anak (54,3%) yang

tidak mengalami stunting. Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar

0,015, α=5% bahwa disimpulkan ada hubungan yang bermakna antar

konsumsi energi dengan kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar

1,781. Artinya subjek yang konsumsi energi kategori kurang mempunyai

Universitas Respati Yogyakarta


76

risiko mengalami stunting 1,781 kali lebih besar dibandingkan dengan

subjek yang memiliki konsumsi energi kategori baik. Karena rentang

tingkat kepercayaan (CI) =95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,122

dan upper limit (batas atas) = 2,828 mencakup nilai satu, maka besar risiko

tersebut bermakna, dengan demikian konsumsi energi merupakan faktor

risiko dengan kejadian stunting pada balita di Desa Srihardono Kecamatan

Pundong tahun 2018.

Diketahui 39 anak dengan konsumsi protein kurang sebanyak 28 anak

(80%) yang mengalami stunting. Sedangkan dari 31 anak dengan konsumsi

protein baik sebanyak 24 anak (68,6%) yang tidak mengalami stunting.

Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,000, α=5% bahwa

disimpulkan ada hubungan yang bermakna antar konsumsi protein dengan

kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,745. Artinya subjek yang

konsumsi protein kategori kurang mempunyai risiko mengalami stunting

2,745 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang memiliki

konsumsi protein kategori baik. Karena rentang tingkat kepercayaan (CI)

=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,607 dan upper limit (batas

atas) = 4,690 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna,

dengan demikian konsumsi protein merupakan faktor risiko dengan

kejadian stunting pada balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

tahun 2018.

Diketahui 52 anak dengan konsumsi yodium kurang sebanyak 32 anak

(91,2%) yang mengalami stunting. Sedangkan dari 18 anak dengan

Universitas Respati Yogyakarta


77

konsumsi yodium baik sebanyak 15 anak (42,9%) yang tidak mengalami

stunting. Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,001, α=5%

bahwa disimpulkan ada hubungan yang bermakna antar konsumsi yodium

dengan kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,167. Artinya

subjek yang konsumsi yodium kategori kurang mempunyai risiko

mengalami stunting 2,157 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek

yang memiliki konsumsi yodium kategori baik. Karena rentang tingkat

kepercayaan (CI) =95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,451 dan

upper limit (batas atas) = 3,236 mencakup nilai satu, maka besar risiko

tersebut bermakna, dengan demikian konsumsi yodium merupakan faktor

risiko dengan kejadian stunting pada balita di Desa Srihardono Kecamatan

Pundong tahun 2018.

Diketahui 40 anak dengan konsumsi kalsium kurang sebanyak 28 anak

(80%) yang mengalami stunting. Sedangkan dari 28 anak dengan konsumsi

kalsium baik sebanyak 21 anak (60%) yang tidak mengalami stunting. Dari

hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,001, α=5% bahwa

disimpulkan ada hubungan yang bermakna antar konsumsi kalsium dengan

kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,250. Artinya subjek yang

konsumsi kalsium kategori kurang mempunyai risiko mengalami stunting

2,250 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang memiliki

konsumsi kalsium kategori baik. Karena rentang tingkat kepercayaan (CI)

=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,395 dan upper limit (batas

atas) = 3,360 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna,

Universitas Respati Yogyakarta


78

dengan demikian konsumsi kalsium merupakan faktor risiko dengan

kejadian stunting pada balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

tahun 2018.

Diketahui 40 anak dengan konsumsi zink kurang sebanyak 29 anak

(82,9%) yang mengalami stunting. Sedangkan dari 30 anak dengan

konsumsi zink baik sebanyak 24 anak (68,6%) yang tidak mengalami

stunting. Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,000, α=5%

bahwa disimpulkan ada hubungan yang bermakna antar konsumsi zink

dengan kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,909. Artinya

subjek yang konsumsi zink kategori kurang mempunyai risiko mengalami

stunting 2,909 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang memiliki

konsumsi zink kategori baik. Karena rentang tingkat kepercayaan (CI)

=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,705 dan upper limit (batas atas)

= 4,962 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna, dengan

demikian konsumsi zink merupakan faktor risiko dengan kejadian stunting

pada balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong tahun 2018.

Diketahui 45 anak dengan konsumsi fe kurang sebanyak 26 anak

(74,3%) yang tidak mengalami stunting. Sedangkan dari 25 anak dengan

konsumsi fe baik sebanyak 16 anak (45,7%) yang mengalami stunting. Dari

hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,81, α=5% bahwa disimpulkan

tidak ada hubungan yang bermakna antar konsumsi fe dengan kejadian

stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 0,623. Artinya subjek yang konsumsi

fe kategori kurang sebagai faktor protektif untuk mengalami stunting 0,623

Universitas Respati Yogyakarta


79

kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang memiliki konsumsi fe

kategori baik. Karena rentang tingkat kepercayaan (CI) =95% dengan lower

limit (batas bawah) = 0,349 dan upper limit (batas atas) = 1,112 mencakup

nilai satu, maka besar risiko tersebut tidak bermakna, dengan demikian

konsumsi fe merupakan bukan faktor risiko melainkan faktor protektif

dengan kejadian stunting pada balita di Desa Srihardono Kecamatan

Pundong tahun 2018.

4. Hasil Analisa Multivariat Pembuatan Model Antara Konsumsi


Protein, Konsumsi Kalsium, Dan Konsumsi Zink Dengan Kejadian
Stunting.
Analisa multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang

paling dominan berhubung dengan kejadian stunting pada balita di Desa

Srihardono Kecamatan Pundong Bantul. Analisa multivariat dilakukan

dengan menggunakan uji statistic regresi logistic berganda (multiple logistic

regretion) model prediksi meliputi pemilihan kandidat pemodelan dan

pembuatan model analisa multivariat.

a. Pemilihan Kandidat model

Sebelum dilakukan analisis multivariat, terlebih dahulu dilakukan

analisis bivariat terhadap masing-masing variable independen dan

variabel dependen yang bertujuan untuk mengetahui variabel mana

yang dapat dijadikan kandidat model yang akan dimasukkan ke dalam

analisa multivariat. Apabila hasil uji bivariat memiliki nilai

probabilitas (p-value) < 0,25, maka variable tersebut dapat dimasukkan

ke dalam pemodelan multivariate, dan sebaliknya. Hasil analisis

Universitas Respati Yogyakarta


80

bivariat antara variabel independen dan variabel dependen dapat dilihat

pada tabel 4.12

Tabel 4.12 Analisa Bivariat Antara Variabel Indepeden Dan


Variabel Dependen
Variabel p-value Kandidat
Konsumsi Energi 0,015 Kandidat
Konsumsi Protein 0,000 Kandidat
Konsumsi Yodium 0,001 Kandidat
Konsumsi Kalsium 0,001 Kandidat
Konsumsi Zink 0,000 Kandidat
Konsumsi Fe 0,81 Tidak Kandidat

b. Pembuatan model faktor penentu variabel mana yang paling


berhubungan dengan Kejadian Stunting.
Pada tahap ini, dilakukan analisis multivariat dengan tujuan untuk

mendapatkan model terbaik dalam menentukan determinan (faktor

penentu) kejadian stunting pada balita di desa Srihardono Kecamatan

Bantul. Analasis multivariate yang digunakan adalah uji regresi logistic

berganda model prediksi. Apabila hasil uji menunjukkan bahwa terdapat

variabel yang memiliki nilai probabilitas (p-value) > 0,05, maka

variabel tersebut harus dikeluarkan dari pemodelan. Variabel yang

dikeluarkan dari pemodelan dilakukan secara bertahap sesuai dengan

nilai probabilitas variabel tertinggi. Setelah dikeluarkan, dilakukan uji

regresi logistik kembali hingga tidak terdapat variabel yang memiliki

nilai probabilitas (p-value) > 0,05. hasil pembuatan model faktor

penentu dapat dilihat pada table 4.13.

Universitas Respati Yogyakarta


81

Tabel 4.13 Hasil Analisis Multivariat Uji Regresi Logistic


Berganda Antara Variabel Independen Dengan Variabel
Dependen
Variabel Model 1 Model 2 Model 4 Model 5
Konsumsi Energi 0,080 0,134 - -
Konsumsi Protein 0,002 0,001 0,001 0,000
Konsumsi Yodium 0,100 - - -
Konsumsi Kalsium 0,093 0,023 0,008 -
Konsumsi Zink 0,002 0,002 0,001 0,000

Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa terdapat 2

variabel yang memiliki nilai probabilitas (p-value) < 0,05 meliputi

konsumsi protein (0,000), dan konsumsi zink (0,000). hasil ini

menujukkan bahwa variabel-variabel tersebut memiliki hubungan yang

signifikan terhadap kejadian stunting pada balita di desa Srihardono

Kecamatan Pundong Bantul. Hasil pembuatan model faktor penentu

dapat dilihat pada table 4.14.

Tabel 4.14 Hasil Analisa Multivariat Pembuatan Model Antara


Konsumsi Protein Dan Konsumsi Zink Dengan Kejadian Stunting
Vairabel Koefisien P OR 95% C.I.
value Lower Upper
Konsumsi protein 3,014 .000 20,378 3,969 104,625
Konsumsi zink 3,179 .000 24,032 4,610 125,286

Berdasarkan table 4.14 diatas, dapat diketahui bahwa konsumsi

protein, dan konsumsi zink memiliki hubungan yang signifikan terhadap

kejadian stunting pada balita di desa srihardono kecamatan pundong

bantul. Hasil ini sesuai dengan hasil uji bivariat yang menujukkan

bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi protein dan

konsumsi zink terhadap kejadian stunting pada balita di Desa

Srihardono Kecamatan Pundong Bantul.

Universitas Respati Yogyakarta


82

Berdasarkan hasil analisis, diperoleh nilai koefisien B dan OR

(Odds Ratio), dimana konsumsi zink merupakan variabel yang memiliki

nilai koefisien B (3,179) dan OR (24,032) paling tinggi jika

dibandingkan dengan variabel lainnya. Hasil ini menujukkan bahwa

konsumsi zink merupakan variabel yang paling dominan berhubungan

dengan kejadian stunting pada balita di desa srihardono kecamatan

pundong bantul. Nilai OR (Odds Ratio) pada konsumsi zink

menujukkan bahwa balita dengan konsumsi zink yang kurang

mempunyai peluang 24,032 kali untuk mengalami kejadian stunting

dibandingkan balita dengan konsumsi zink yang baik setelah dikontrol

variabel konsumsi protein dan konsumsi kalsium.

C. PEMBAHASAN

1. Karakteristik subjek penelitian

Konsumsi energi, protein, yodium, kalsium, zink dan fe sebagai

faktor risiko kejadian stunting dalam penelitian ini juga dipengaruhi oleh

beberapa variabel yang berpotensi sebagai condfounding factor hasil

penelitian. Variabel itu adalah karakteristik yang ada pada subyek yaitu

data jenis kelamin, pendidikan ibu, dan pekerjaan ibu. Dari hasil uji

statistic yang dilakukan terhadap variabel-variabel tersebut tidak ada

perbedaan yang bermakna secara statistic antara kelompok kasus dan

kontrol.

Bahwa dari 70 sampel, pada kelompok kasus lebih banyak berjenis

kelamin laki-laki 54,3% dan pada kelompok kontrol lebih banyak berjenis

Universitas Respati Yogyakarta


83

kelamin perempuan 62,9%. Secara global, risiko anak laki-laki dan

perempuan untuk tubuh menjadi stunting hampir sama (UNICEF, 2013),

hal tersebut dapat disebabkan karena tidak adanya perbedaan kebutuhan

zat gizi yang diperlukan anak balita baik perempuan ataupun laki-laki

karena sama-sama termasuk dalam masa pertumbuhan, sehingga laju

pertumbuhan cenderung sama hingga umur 8 tahun (Rahayu, 2011).

Perbedaan status gizi antara anak perempuan dan laki-laki

kemungkinan disebabkan karena perbedaan pola aktivitas fisik anak dan

jaringan penyusun tubuh. Umumnya pada anak laki-laki lebih aktif

sehingga membutuhkan energi yang lebih banyak dan apabila energi

kurang ini lah yang menyebabkan terjadinya stunting (Suharidewi, 2017).

Ibu dengan pendidikan tamat SMA/SMK lebih banyak pada

kelompok kontrol 21 orang (60,0%) dari pada kelompok kasus sebanyak

19 orang (54,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian Kusuma (2013)

menujukkan bahwa pendidikan ibu tidak terbukti sebagai faktor risiko

stunting. Pendidikan orang tua tidak menjadi faktor risiko stunting

disebabkan karena faktor risiko terjadinya stunting banyak, dimana dalam

penelitian ini tidak semua faktor dilihat seperti pola asuh dan asupan.

Pendidikan orang tua mempunyai pengaruh langsung terhadap pola

pengasuhan anak yang kemudian akan mempengaruhi asupan makan anak.

Orang tua dengan pendidikan yang lebih baik cenderung memiliki

pengetahuan dan kemampuan mengimplementasikan pengetahuan yang

lebih baik dibanding orang tua dengan pendidikan rendah. Penerapan

Universitas Respati Yogyakarta


84

pengetahuan gizi dan pola asuh anak yang tepat akan mencegah terjadinya

malnutrisi, misalnya dalam pemberian makanan pendamping yang tepat

usia (Kusuma, 2013). Semakin tinggi pendidikan ibu semakin tinggi

kemampuan ibu untuk menyerap pengetahuan praktis dan pendidikan non

formal terutama melalui televisi, surat kabar, radio, dan lain-lain (Al-

Rahmad, et.al 2013)

Ibu dengan tidak bekerja (IRT) lebih banyak pada kelompok kontrol

18 orang (51,4%) dari pada kelompok kasus sebanyak 17 orang (48,6%).

Hal ini sejalan dengan penelitian Aridiyah, et.al (2015) menujukkan bahwa

pekerjaan ibu tidak menujukkan hubungan yang signifikan terhadap

kejadian stunting pada balita antara di desa dan kota. Selain itu status

pekerjaan ibu tergambar bahwa ibu yang berkerja yaitu perempuan yang

berstatus sebagai ibu rumah tangga memiliki peran ganda dalam sebuah

keluarga. Peran utamanya jika ketika memiliki aktivitas lain di luar rumah

seperti bekerja, menuntut pendidikan atau pun aktivitas lain dalam kegiatan

sosial akan berdampak terhadap pola asuh anak-anak mereka. Dengan

peran ganda ini, seorang wanita dituntut untuk dapat menyeimbangkan

perannya sebagai seorang ibu ataupun peran-peran lain yang harus

diembannya. Sebagai seorang ibu, ketika memiliki anak yang masih kecil,

dirinya merupakan tempat bergantung bagi anak-anaknya (Al-Rahmad,

et.al 2013).

Universitas Respati Yogyakarta


85

2. Konsumsi Energi

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup,

menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi diperoleh

dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada yang di dalam bahan

makanan. Kandungan karbohidrat, lemak, dan protein suatu bahan

makanan menentukan nilai energinya (Almatsier, 2009).

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein

dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme,

pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan dalam

bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk

lemak sebagai cadangan jangka panjang.

Penelitian Roziqo (2016) diketahui dari 20 anak (100%) dengan

tingkat asupan energi yang kurang sedangkan untuk asupan energi baik

tidak ada (0%). Konsumsi energi yang masih kurang tersebut karena

kuantitas makanan yang dikonsumsi. Kuantitas menujukkan jumlah

masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh dan menujukkan adanya

semua zat gizi yang diperlukan tubuh, di dalam suatu susunan hidangan

dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Konsumsi energi yang

rendah dikarenakan kuantitas atau jumlah asupan yang dimakan anak balita

masih rendah dan jenis makanan yang dikonsumsinya tidak bervariasi dan

kebanyakan makanan yang dikonsumsi bukan makanan mengandung

sumber energi yang adekuat seperti sumber protein yang menyumbang

asupan energi yang besar.

Universitas Respati Yogyakarta


86

3. Konsumsi Protein

Protein merupakan bagian dari semua sel hidup dan merupakan

bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh protein,

separuhnya ada di dalam otot, seperlima di dalam tulang dan tulang rawan,

sepersepuluh di dalam kulit, dan selebihnya di dalam jaringan lain, dan

cairan tubuh (Proverawati, 2009).

Protein berfungsi sebagai pembentukan dan perbaikan semua

jaringan di dalam tubuh termasuk darah, enzim, hormon, kulit, rambut, dan

kuku. Protein juga dibutuhkan untuk menggantikan jaringan yang aus,

perkembangan seks, dan metabolisme. Di samping itu, protein berguna

untuk melindungi keseimbangan asam dan basa di dalam darah serta

mengatur keseimbangan air di dalam tubuh. Pada dasarnya, protein

berfungsi sebagai pembangun tubuh (membentuk semua sel-sel jaringan

baru untuk pertumbuhan serta mengganti jaringan yang sudah rusak).

Dalam hal ini protein disebut sebagai Zat Pembangun (Indra, 2013).

Penelitian Roziqo (2016) diketahui dari 20 anak (100%) dengan

tingkat asupan protein yang kurang sedangkan untuk asupan protein baik

tidak ada (0%). Konsumsi protein yang kurang disebabkan oleh sumber

protein yang dikonsumsi balita kurang bervariasi dimana lebih banyak

mengkonsumsi sumber protein nabati dibandingkan dengan protein hewani

dilihat dari SQFFQ lebih sering anak balita konsumsi tempe, tahu, sayuran,

dan buah sedangkan untuk ikan laut telur, dan susu jarang dikonsumsi.

Universitas Respati Yogyakarta


87

4. Konsumsi Yodium

Yodium adalah salah satu zat gizi mikro yang tergolong ke dalam

mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Yodium dibutuhkan oleh kelenjar

normal tiroid untuk pertumbuhan dan perkembangan. Bahkan kekurangan

yodium ringan dapat berdampak pada kecacatan pendengaran dan

penurunan IQ pada anak (Rizqiawan, 2015).

Yodium diperoleh dari mengkonsumsi makanan dan minuman

berada dalam bentuk ion Yodium, dan besarnya bergantung dari kadar

yodium dalam tanah. Menurut AKG 2013, kebutuhan harian akan yodium

adalah 120 mg/hari pada umur 2-5 tahun.

Penelitian Rizqiawan (2015) diketahui 62 anak (89,86%) dengan

asupan yodium kurang lebih banyak dibandingkan dengan asupan yodium

yang cukup yaitu 7 anak (10,14%). Konsumsi yodium yang kurang ini

disebabkan karena sumber yodium yang dikonsumsi seperti ikan laut yang

jarang dikonsumsi oleh anak dan mungkin terjadi bias data dikarenakan

sumber yodium seperti garam tidak dimasukkan dan tidak dihitung.

5. Konsumsi Kalsium

Kalsium adalah salah satu unsur penting dalam tubuh. Jumlah

kalsium di dalam tubuh berkisar antara 1,5-2% dari berat badan orang

dewasa. Walaupun pada bayi, kalsium hanya sedikit, yaitu 25-30 g.

Namun, setelah usia 20 tahun, secara normal akan terjadi penempatan

sekitar 1.200 g kalsium dalam tubuh. Jumlah ini terdiri dari 99% kalsium

Universitas Respati Yogyakarta


88

yang berada di dalam jaringan keras yaitu pada tulang dan gigi (Hariyati,

2016).

Penelitian Rizqiawan (2015) diketahui 69 anak (100%) dengan

asupan kalsium kurang lebih banyak dibandingkan dengan asupan kalsium

yang cukup yaitu 0 anak (0%). Kurangnya konsumsi kalsium ini mungkin

disebabkan kuantitas dan sumber kalsium yang dikonsumsi anak balita

kurang seperti konsumsi susu masih jarang dan kadang konsumsi susu

yang sachet-an.

Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan

gangguan pertumbuhan, tulang kurang kuat, mudah bengkok dan rapuh.

Pada usia > 50 tahun kekurangan kalsium dapat menyebabkan

osteoporosis. Sebagian besar kalsium diabsorbsi oleh tubuh digunakan

untuk klasifikasi tulang, suatu proses yang dimungkinkan karena ada

vitamin D. sekitar sepertiga dari kalsium tulang digunakan sebagai

cadangan untuk menjaga kadar kalsium dalam plasma darah apabila

dikehendaki (Sulistyowati, 2015).

6. Konsumsi Zink

Salah satu zat gizi yang harus di konsumsi oleh anak untuk

pertumbuhan yaitu zink. Hal ini karena, zink berperan untuk pertumbuhan

dan perkembangan secara normal, melawan infeksi, dan penyembuhan

luka. Anak yang dalam proses tumbuh kembang dan anak yang mengalami

kekurangan gizi mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mengalami

defisiensi. Dalam proses pertumbuhan, zink berperan dalam sintesis

Universitas Respati Yogyakarta


89

protein yang dibutuhkan untuk pembentukan jaringan baru, pertumbuhan,

dan perkembangan tulang yang normal. Zink juga berinteraksi dengan

hormon-hormon penting yang terlibat dalam pertumbuhan tulang (Pediatri,

2009).

Penelitian Supriyanti (2014) diketahui dari 38 anak (73,1%) Tingkat

konsumsi zink kurang lebih banyak dibandingkan dengan tingkat konsumsi

zink yang baik yaitu 14 anak (26,9). Konsumsi zink yang kurang

disebabkan karena kurang konsumsi sumber zink seperti daging lebih

banyak konsumsi olahan daging seperti bakso dan sumber protein nabati

seperti tahu dan tempe. Konsumsi sumber zink pada anak sekolah di negara

berkembang masih tergolong rendah, dapat dilihat dari rendahnya

konsumsi sumber pangan hewani dan tingginya konsumsi sumber fitat

yang terdapat pada pangan nabati, dimana fitat diketahui dapat

menghambat absorpsi zink.

Zat gizi mikro zink (Zn) juga berperan dalam mendukung

pertumbuhan anak. Konsumsi sumber zink pada anak sekolah di negara

berkembang masih tergolong rendah, dapat dilihat dari rendahnya

konsumsi sumber pangan hewani dan tingginya konsumsi sumber fitat

yang terdapat pada pangan nabati, dimana fitat diketahui dapat

menghambat absorpsi zink. Pangan hewani adalah sumber zink yang

paling baik, karena bioavailabilitasnya lebih tinggi dari pada sumber zink

dari pangan nabati (Almatsier, 2009).

Universitas Respati Yogyakarta


90

7. Konsumsi Fe

Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini

terutama diperlukan dalam hemopobesis (pembentukan darah), yaitu

dalam sintesis hemoglobin (Hb), di samping itu berbagai jenis enzim

memerlukan Fe sebagai faktor penggiat (Hardiansyah, 2017)

Kebutuhan zat besi pada balita dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik

dan aktivitas fisik. Kebutuhan zat besi akan meningkat pada masa

pertumbuhan seperti pada bayi, anak-anak, remaja, kehamilan dan

menyusui. Kebutuhan zat besi juga meningkat pada kasus-kasus

pendarahan kronis yang disebabkan oleh parasit (Masrizal, 2007).

Penelitian Kurnia (2014) diketahui bahwa asupan zat besi atau fe

terdapat 47 anak (75%) yang kurang lebih banyak dibandingkan dengan

asupan zat besi atau fe yang cukup yaitu 15 anak (25%). Konsumsi fe yang

kurang disebabkan karena sumber fe yang masih kurang dikonsumsi oleh

balita seperti hati dan daging yang tinggi akan sumber fe.

Tiga faktor utama yang mempengaruhi penyerapan zat besi oleh

tubuh, yaitu ketersediaan zat besi dalam tubuh, bioavailbilitas zat besi, dan

adanya faktor penghambat penyerapan zat besi. Apabila jumlah zat besi

yang berada dalam tubuh menurun maka penyerapan zat besi akan

meningkat. Pada laki-laki penyerapan zat besi akan meningkat setelah

pertumbuhan terhenti dan akan memasuki masa dewasa. Sebaliknya pada

wanita justru setelah masa menopause cadangan zat besi dalam tubuh

Universitas Respati Yogyakarta


91

meningkat dan penyerapan justru menurun karena tidak mengalami

menstruasi (Adriani, 2012).

8. Hubungan Konsumsi Energi Dengan Kejadian Stunting

Energi dalam tubuh manusia dapat timbul dikarenakan adanya

pembakaran karbohidrat, protein, lemak, dengan demikian agar manusia

selalu tercukupi energinya diperlukan pemasukan zat-zat makanan yang

cukup pula ke dalam tubuhnya. Manusia yang kurang makan akan lemah

baik daya kegiatan, pekerjaan-pekerjaan fisik maupun daya pemikirannya

karena kurangnya zat-zat makanan yang diterima tubuhnya yang dapat

menghasilkan energi (Kartasapoetra, 2012).

Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,000, α=5% bahwa

disimpulkan ada hubungan yang bermakna antar konsumsi protein dengan

kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,745. Artinya subjek yang

konsumsi protein kategori kurang mempunyai risiko mengalami stunting

2,745 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang memiliki

konsumsi protein kategori baik. Karena rentang tingkat kepercayaan (CI)

=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,607 dan upper limit (batas

atas) = 4,690 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna,

dengan demikian konsumsi protein merupakan faktor risiko dengan

kejadian stunting pada balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

tahun 2018.

Hal ini sejalan dengan Fitri (2012), dalam penelitiannya menemukan

bahwa asupan energi menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap

Universitas Respati Yogyakarta


92

kejadian stunting berdasarkan data Riskesdas 2010 di Sumatera. Kurnia

(2014), dalam penelitiannya juga menemukan ada hubungan asupan energi

dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di posyandu Asoka

II. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian Sari, et.al (2016) prevalensi

stunting pada kelompok asupan energi rendah, lebih besar 2,78 kali

daripada kelompok asupan energi cukup.

Pertumbuhan balita adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel

serta jaringan intra seluler berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur

tubuh sebagian atau keseluruhan, sehingga dapat diukur dengan satuan

panjang. Dimana bertambahnya ukuran dan jumlah sel itu mengalami

metabolisme sel yang memerlukan ATP (energi). Beberapa sel, terutama

sel-sel dengan tingkat tinggi sekresi (misalnya sel kelenjar ludah dan

pencernaan) dan sel-sel dalam tahap pertumbuhan (misalnya sel germinal

berkembang), menggunakan hingga 75% dari ATP yang dihasilkan hanya

untuk memproduksi senyawa kimia baru (Riyantika, 2014).

Energi dibutuhkan untuk mempertahankan hidup guna menunjang

proses pertumbuhan dan melakukan aktivitas. Kekurangan energi akan

terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang

dikeluarkan sehingga tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif.

Bila terjadi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan

(Almatsier, 2009). Secara umum, golongan vitamin B berperan penting

dalam metabolisme di dalam tubuh, terutama dalam hal pelepasan energi

saat beraktivitas. Hal ini terkait dengan peranannya didalam tubuh, yaitu

Universitas Respati Yogyakarta


93

sebagai senyawa koenzim yang dapat meningkatkan laju reaksi

metabolisme tubuh terhadap berbagai jenis sumber energi. Vitamin B6,

atau dikenal juga dengan istilah piridoksin, merupakan vitamin yang

esensial bagi pertumbuhan tubuh. Vitamin ini berperan sebagai salah satu

senyawa koenzim A yang digunakan tubuh untuk menghasilkan energi

melalui jalur sintesis asam lemak, seperti spingolipid dan fosfolipid. Selain

itu, vitamin ini juga berperan dalam metabolisme nutrisi danmemproduksi

antibodi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap antigen atau

senyawaasing yang berbahaya bagi tubuh (Hutapea, 2012).

9. Hubungan Konsumsi Protein Dengan Kejadian Stunting

Protein merupakan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh untuk

pertumbuhan, membangun struktur tubuh (otot, kulit dan tulang) serta

sebagai pengganti jaringan yang sudah usang (Almatsier, 2009). Eratnya

hubungan protein dengan pertumbuhan menyebabkan seorang anak yang

kurang asupan proteinnya akan mengalami pertumbuhan yang lebih lambat

daripada anak dengan jumlah asupan protein yang cukup (Bender, 2002)

dan pada keadaan yang lebih buruk kekurangan protein dalam jangka

waktu yang lama dapat mengakibatkan berhentinya proses pertumbuhan.

Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,000, α=5% bahwa

disimpulkan ada hubungan yang bermakna antar konsumsi protein dengan

kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,745. Artinya subjek yang

konsumsi protein kategori kurang mempunyai risiko mengalami stunting

2,745 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang memiliki

Universitas Respati Yogyakarta


94

konsumsi protein kategori baik. Karena rentang tingkat kepercayaan (CI)

=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,607 dan upper limit (batas

atas) = 4,690 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna,

dengan demikian konsumsi protein merupakan faktor risiko dengan

kejadian stunting pada balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

tahun 2018.

Hal ini sejalan dengan Hidayati, et.al (2010), dalam penelitiannya

menemukan anak batita yang kekurangan asupan protein mempunyai

risiko 3,46 kali akan menjadi anak stunting dibandingkan dengan anak

yang asupan proteinnya cukup di Surakarta. Anindita (2012) dalam

penelitiannya juga menemukan hubungan antara asupan protein dengan

stunting pada balita di Semarang. Harahap (2015), dalam penelitiannya

menemukan anak dengan konsumsi protein <80% dari angka kecukupan

gizi (AKG) yang dianjurkan berisiko untuk menjadi stunting 6,4 kali. Hal

ini diperkuat dengan penelitian Sari, et.al (2016), prevalensi stunting pada

kelompok asupan protein rendah, lebih besar 1,87 kali daripada kelompok

asupan protein cukup.

Pertumbuhan balita tidak lepas dari pertumbuhan tulang.

Pertumbuhan tulang dimulai oleh sintesis kartilago, yang kemudian

mengalami osifikasi. Sintesis kartilago membutuhkan sulfur dalam jumlah

yang besar, karena salah satu penyusunan utamanya adalah sulfur. Tubuh

memperoleh sebagian besar sulfur melalui katabolisme asam amino, maka

diperlukan asupan protein yang adekuat untuk proses pertumbuhan anak

Universitas Respati Yogyakarta


95

(Anshori, 2013). Asupan protein menyediakan asam amino yang

diperlukan tubuh untuk membangun matriks tulang dan mempengaruhi

pertumbuhan tulang karena protein berfungsi untuk memodifikasi sekresi

dan aksi osteotropic hormone IGF-I, sehingga, asupan protein dapat

memodulasi potensi genetik dari pencapaian peak bone mass. Asupan

protein rendah terbukti merusak akuisisi mineral massa tulang dengan

merusak produksi dan efek IGF-I. IGF-I mempengaruhi pertumbuhan

tulang dengan merangsang proliferasi dan diferensiasi kondrosit di

lempeng epifsis pertumbuhan dan langsung mempengaruhi osteoblas.

Selain itu, IGF-I meningkatkan konversi ginjal dari 25 hidroksi-vitamin D3

menjadi aktif hormone 1,25 dihidroksi-vitamin D3 dan dengan demikian

memberikan kontribusi untuk peningkatan penyerapan kalsium dan fosfor

di usus (Sari et.al, 2016).

Dalam berbagai penelitian telah diperlihatkan pula, protein hewani

dapat meningkatkan ketersediaan biologis Fe, khususnya Fe dalam bentuk

nonheme (jenis Fe yang banyak terdapat dalam bahan makanan nabati).

Penelitian oleh Cook dan Menson (1976), Hallberg (1980), dan Latifuddin

(1998) yang mempelajari pengaruh berbagai 8 jenis protein terhadap

tingkat penyerapan Fe nonheme memperlihatkan, protein dari daging sapi,

daging ayam, ikan, dan telur dapat lebih efektif dalam meningkatkan

ketersediaan biologis Fe. Jika kita mengonsumsi makanan itu bersama

dengan daun singkong atau bayam (sebagai sumber Fe nonheme),

misalnya, maka jumlah Fe yang akan diserap dan ditahan tubuh menjadi

Universitas Respati Yogyakarta


96

lebih besar. Peningkatan penyerapan ini karena adanya Meat, Poultry and

Fish Factors (faktor MPF) yang membuat Fe menjadi lebih larut, sehingga

lebih mudah diserap tubuh. Konsumsi protein yang relatif tinggi dapat

meningkatkan Ca dan Zn, meskipun ekskresi Zn dalam urine menjadi

meningkat (Nenende, 2014).

10. Hubungan Konsumsi Yodium Dengan Kejadian Stunting

Yodium adalah sejenis mineral yang terdapat di alam, baik di tanah,

maupun di air, merupakan zat gizi mikro yang diperlukan untuk

pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup. Yodium dibutuhkan tubuh

untuk sintesis hormone tiroid yaitu tiroksin dan triiodotironin. Dimana

tiroksin diperlukan oleh tubuh untuk mengatur pertumbuhan dan

perkembangan mulai dari janin sampai dewasa (Devi, 2012).

Yodium bebas atau terikat dengan cepat diubah menjadi yodida

dalam saluran gastrointestinal. Penyerapan yodium hampir sempurna

dalam waktu 1-3 jam setelah pencernaan makanan. Sebagian yodida

diserap melalui lambung, tetapi kebanyakan diserap melalui usus halus.

Yodida yang diserap oleh tiroid maksimum mencapai 2 mg, setelah itu

penyerapan tiroid menurun. Yodida digunakan untuk sintesis tiroksin dan

triidotironin. Sintesis ini dihambat oleh yodium dalam tiroid yang

berlebihan (Sulistyowati, 2015).

Tiroksin meningkatkan kecepatan metabolisme semua sel, dan

sebagai akibatnya secara tidak langsung mempengaruhi metabolisme

protein. Bila karbohidrat dan lemak kurang tersedia untuk energi, tiroksin

Universitas Respati Yogyakarta


97

menyebabkan degradasi protein dengan cepat untuk digunakan sebagai

energi. Sebaliknya, bila karbohidrat dan lemak terdapat dalam jumlah yang

adekuat, dan juga tersedia asam amino dalam jumlah berlebihan di cairan

ekstrasel, tiroksin dapat meningkatkan kecepatan sintesa protein. Selama

hormon thyroid cukup dalam tubuh, maka pengaruh hormone pertumbuhan

dari hipofise terhadap efek pertumbuhan menjadi bermakna (Setijowati,

2007).

Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,001, α=5% bahwa

disimpulkan ada hubungan yang bermakna antar konsumsi yodium dengan

kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,167. Artinya subjek yang

konsumsi yodium kategori kurang mempunyai risiko mengalami stunting

2,157 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang memiliki

konsumsi yodium kategori baik. Karena rentang tingkat kepercayaan (CI)

=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,451 dan upper limit (batas

atas) = 3,236 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna,

dengan demikian konsumsi yodium merupakan faktor risiko dengan

kejadian stunting pada balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

tahun 2018. Hal ini sejalan dengan Sudarsono (2015), dalam penelitiannya

menemukan asupan iodium secara signifikan (p< 0,05) berhubungan

dengan kejadian stunting pada balita usia 2-5 tahun di suku bajau Sulawesi

tenggara.

Gejala kekurangan yodium adalah malas dan lamban, kelenjar tiroid

membesar, pada ibu hamil dapat mengganggu pertumbuhan dan

Universitas Respati Yogyakarta


98

perkembangan janin, dan dalam keadaan berat bayi lahir dalam keadaan

cacat mental yang permanen serta hambatan pertumbuhan yang dikenal

kreatinisme. Pada kekurangan yodium, konsentrasi hormone tiroid

menurun dan hormone perangsang-tiroid/TSH meningkat agar kelenjar

tiroid mampu menyerap lebih banyak yodium. Bila kekurangan yodium

berlanjut, sel kelenjar tiroid membesar dalam usaha meningkatkan

pengambilan yodium oleh kelenjar tersebut. Pertumbuhan balita yang

diketahui bertambah jumlah dan ukuran sel. Dimana hormone tiroksin

yang dikeluarkan kelenjar tiroid berfungsi meningkatkan laju oksidasi

dalam sel-sel tubuh sehingga mitokondria sel-sel tubuh membesar baik

bentuk maupun jumlahnya, dan meningkatkan permeabilitas membrane

mitokondria sehingga memudahkan masuk keluarnya zat-zat yang terlibat

dalam kegiatan respirasi dan pemindahan energi (Sulistyowati, 2015).

Metabolisme iodium ternyata diperngaruhi oleh status

zat-zat gizi ini. Defisiensi energi-protein menghambat

metabolisme iodium melalui pengaruh defisiensi energi-

protein pada sistem endokrin yaitu terhadap berat kelenjar,

struktur histologi, dan fungsi kelenjar tiroid walaupun dalam

jangka waktu yang cukup lama. Mikronutrien lain seperti

vitamin A, selenium (Se) dan zinc (Zn) berpengaruh terhadap

sintesa hormon tiroid. GAKI dilaporkan berkaitan dengan

defisiensi protein-energi, defisiensi Vitamin A dan anemia.

Universitas Respati Yogyakarta


99

Suplementasi vitamin A dilaporkan meningkatkan efikasi

iodium. Defisiensi selenium merupakan bagian tak terpisahkan

pada enzim glutation peroksidase (GSH-Px) yang berpengaruh

pada deiodinasi T4 menjadi T3. Zat gizi besi (Fe) berkaitan

dengan iodium. Walaupun mekanisme molekuler peran Fe dengan

iodium belum begitu jelas, namun beberapa penelitian

menunjukkan korelasi antara kedua mineral tersebut.

Defisiensi Fe diduga berperan dalam metabolisme iodium dalam

sel tiroid dan defisiensi Fe juga menurunkan efikasi

profilaksis iodium. Sintesa hormon tiroid membutuhkan

kehadiran Fe dan katalisa enzim tiroperoksiadse (TPO). Anemia

zat gizi besi (AGB) menurunkan konsentrasi tiroksin dalam

plasma. Di samping itu, penanggulangan defisiensi gizi besi

dilaporkan meningkatkan efikasi iodium (Kyedneh, 2014).

11. Hubungan Konsumsi Kalsium Dengan Kejadian Stunting

Kalsium merupakan salah satu zat gizi esensial yang dibutuhkan

untuk berbagai fungsi tubuh. Salah satu fungsi kalsium bagi tubuh adalah

sebagai zat gizi untuk tumbuh, menunjang perkembangan fungsi motorik

agar lebih optimal dan berkembang dengan baik (Aprilitasari, 2017).

Defisiensi kalsium akan mempengaruhi pertumbuhan linier jika

kandungan kalsium dalam tulang kurang dari 50% kandungan normal.

Kalsium membentuk ikatan kompleks dengan fosfat yang dapat

Universitas Respati Yogyakarta


100

memberikan kekuatan pada tulang, sehingga defisiensi fosfor dapat

mengganggu pertumbuhan (Sari, et.al, 2016).

Pada masa pertumbuhan, tubuh memanfaatkan kalsium dalam darah

untuk proses metabolisme dan sintesis protein. Kalsium dalam hal ini

berperan penting dalam sekresi hormon, aktivitas enzim kunci dan protein

dependen kalsium. Konsentrasi kalsium di dalam plasma terutama ion

kalsium bebas sangat hati-hati dipertahankan sedemikian rupa untuk

transmisi impuls saraf dan kontraksi otot, serta sebagai katalisator berbagai

reaksi biologik, seperti absorbsi vitamin B12, tindakan enzim pemecahan

lemak, lipase pankreas, sekkresi insulin oleh pankreas, pembentukan dan

pemecahan asetilkolin. Homeostasis kalsium diatur terutama melalui

sistem hormonal terpadu yang mengontrol transportasi kalsium dalam

usus, ginjal, dan tulang. Proses ini melibatkan dua calciumregulating

hormone besar dan reseptornya yaitu PTH dan reseptor PTH, dan 1,25

(OH) 2D dan reseptor vitamin D, serta serum terionisasi kalsium dan

calsium-sensing receptor. Homeostasis serum kalsium berkembang untuk

mempertahankan kadar ion kalsium di ekstraseluler dalam rentang normal

dengan mengalirkan kalsium dari cadangan di tulang (Peacock, 2010).

Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,001, α=5% bahwa

disimpulkan ada hubungan yang bermakna antar konsumsi kalsium dengan

kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,250. Artinya subjek yang

konsumsi kalsium kategori kurang mempunyai risiko mengalami stunting

2,250 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang memiliki

Universitas Respati Yogyakarta


101

konsumsi kalsium kategori baik. Karena rentang tingkat kepercayaan (CI)

=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,395 dan upper limit (batas

atas) = 3,360 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna,

dengan demikian konsumsi kalsium merupakan faktor risiko dengan

kejadian stunting pada balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong

tahun 2018.

Hal ini sejalan dengan Mikhail, (2013), dalam penelitiannya

menemukan bahwa kekurangan asupan mikronutrien seperti kalsium, zink,

magnesium, dan vitamin A dapat menghambat pertumbuhan sehingga

menyebabkan terjadinya stunting pada anak usia 0-4 tahun di Mesir. Hasil

penelitian oleh Rahmawati, et.al (2017) menunjukkan asupan kalsium pada

kategori stunting memiliki rata-rata 284,20 dan non stunting 371,59. Sari,

et.al (2016), dalam penelitian nya juga menemukan prevalensi stunting

pada kelompok asupan kalsium rendah, lebih besar 3,625 kali daripada

kelompok asupan kalsium cukup.

Selama pertumbuhan, tuntutan terhadap mineralisasi tulang sangat

tinggi, asupan kalsium yang sangat rendah dapat menyebabkan

hipokalsemia, meskipun sekresi dari kelenjar paratiroid maksimal, yang

dapat mengakibatkan rendahnya mineralisasi matriks deposit tulang baru

dan disfungsi osteoblas. Defisiensi kalsium akan mempengaruhi

pertumbuhan linier jika kandungan kalsium dalam tulang kurang dari 50%

kandungan normal. Pada bayi, kekurangan kalsium di dalam tulang dapat

Universitas Respati Yogyakarta


102

menyebabkan rakitis, sedangkan pada anak-anak, kekurangan deposit

dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan (Sari et.al, 2016).

Peningkatan asupan protein akan meningkatkan ekskresi kalsium di

urin dan menyebabkan keseimbangan kalsium negatif. Efek ini disebut

calciuric effect of protein. Hal ini disebabkan karena asupan protein yang

tinggi akan menigkatkan laju filtrasi glomerolus sehingga resorpsi kalsium

di dalam tubulus ginjal akan berkurang, dengan demikian kalsium lebih

banyak dibuang ke urin. Pada asupan kalsium harian yang rendah (<800

mg/hr), asupan protein 20% lebih tinggi berasosiasi dengan penurunan

jumlah kalsium yang diabsorpsi sebanyak 23%. Protein dan kalsium

bersifat sinergis terhadap tulang jika keduanya tersedia dalam jumlah yang

cukup dalam diet, dan bersifat antagonis jika asupan kalsium rendah

(Muflihah, 2011)

12. Hubungan Konsumsi Zink Dengan Kejadian Stunting

Salah satu zat gizi yang harus di konsumsi oleh anak untuk

pertumbuhan yaitu zink. Hal ini karena, zink berperan untuk pertumbuhan

dan perkembangan secara normal, melawan infeksi, dan penyembuhan

luka. Anak yang dalam proses tumbuh kembang dan anak yang

mengalami kekurangan gizi mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk

mengalami defisiensi. Dalam proses pertumbuhan, zink berperan dalam

sintesis protein yang dibutuhkan untuk pembentukan jaringan baru,

pertumbuhan, dan perkembangan tulang yang normal. Zink juga

Universitas Respati Yogyakarta


103

berinteraksi dengan hormon-hormon penting yang terlibat dalam

pertumbuhan tulang (Pediatri, 2009).

Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,000, α=5% bahwa

disimpulkan ada hubungan yang bermakna antar konsumsi zink dengan

kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 2,909. Artinya subjek

yang konsumsi zink kategori kurang mempunyai risiko mengalami

stunting 2,909 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang memiliki

konsumsi zink kategori baik. Karena rentang tingkat kepercayaan (CI)

=95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,705 dan upper limit (batas

atas) = 4,962 mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna,

dengan demikian konsumsi zink merupakan faktor risiko dengan kejadian

stunting pada balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong tahun 2018.

Hal ini sejalan dengan Hidayati (2010), dalam penelitiannya

menemukan kekurangan asupan Zn mempunyai risiko 2,67 kali lebih

besar terhadap kejadian stunting pada anak. Putra (2012), dalam

penelitiannya menujukkan ada perbedaan tingkat konsumsi zink antara

anak stunting dan non stunting di wilayah Kelurahan Kartasura.

Supriyanti (2014), dalam penelitiannya juga menemukan konsumsi Zn

memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi BB/U dan TB/U.

Zink erat kaitannya dengan metabolisme tulang, sehingga zink

berperan pada pertumbuhan dan perkembangan. Zink juga memperlancar

efek Vitamin D terhadap metabolisme tulang melalui stimulasi sintesis

DNA dan sel-sel tulang. Zink sangat penting selama tahap-tahap

Universitas Respati Yogyakarta


104

pertumbuhan cepat dan perkembangan (Sulistyowati, 2015). Jika,

terjadinya defisiensi Zink maka akibatnya penurunan imunitas terhadap

infeksi, peningkatan intensitas serta durasi diare, ganguan pada

pertumbuhan yang disebut juga dengan stunting.

Rendahnya asupan zink dalam tubuh dapat menghambat efek

metabolit hormone pertumbuhan atau growth hormone sehingga sintesis

dan sekresi IGF-1 (Insulin Like Growth Factor-1) berkurang. Rendahnya

IGF-1 tersebut dapat menurunkan pertumbuhan epifisis tulang panjang

sehingga mengalami stunting (Damayanti, 2016).

Interaksi Zn dengan besi pertama kali terjadi di usus.

Zn berkompetisi dengan besi untuk dapat diserap di usus.

Bila Zn lebih banyak jumlahnya maka Zn akan diserap lebih

banyak dibanding Fe. Setelah diserap di usus, besi dan Zn

akan dibawa oleh transferin ke darah, jaringan, hati, dan

sebagainya. Dalam keadaan normal transferin akan membawa

besi kurang dari 50%. Pada kasus kelebihan besi, transferrin

akan mengikat lebih dari 50% besi yang akan mengakibatkan

tempat ikatan untuk Zn tinggal sedikit, sehingga Zn tidak

bisa dibawa oleh transferrin (Kusudaryati, 2014).

13. Hubungan Konsumsi Fe Dengan Kejadian Stunting

Fe merupakan komponen penting dalam tubuh, terutama sintesis

hemoglobin dan transportasi oksigen ke seluruh tubuh. Balita merupakan

Universitas Respati Yogyakarta


105

kelompok rawan defisiensi zat besi. Hal ini disebabkan karena kebutuhan

zat besi yang meningkat selama masa pertumbuhan, rendahnya asupan

atau rendahnya bioavailabilitas zat besi dari makanan, serta adanya infeksi

dan parasite (Sulistyowati, 2015).

Hampir dua per tiga zat besi ditemukan dalam hemoglobin. Zat besi

bertanggung jawab untuk memproduksi hemoglobin pada eritroblas, jika

zat besi yang disuplay ke sumsum tulang belakang tidak cukup akan

terjadi kegagalan produksi hemoglobin dan jumlah sel darah merah dalam

pembuluh darah berkurang, sehingga defisiensi zat besi dapat

menyebabkan anemia. Zat besi heme berasal dari hemoglobin dan

mioglobin pada daging, unggas dan ikan. Zat besi heme akan

meningkatkan absorbsi 15-35% daripada besi non heme. Hal ini

disebabkan karena besi heme memiliki transporter sendiri yaitu haem

carrier protein 1 (HCP1), sedangkan transporter besi non heme yaitu

divalent metal transporter 1 (DMT1). DMT 1 adalah transporter pada

duodenum dan bukan hanya transport besi non heme saja melainkan

transporter mineral lain seperti seng, mangan, tembaga dan timbal,

sehingga penyerapan zat besi non heme juga dipengaruhi oleh beberapa

mineral tersebut (Sembda, 2008).

Fe memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh. Respons

kekebalan sel oleh limfosit-T akan terganggu jika pembentukan sel-sel

berkurang, yang disebabkan oleh karena berkurangnya sintesis DNA.

Sintesis DNA ini disebabkan oleh gangguan enzim reduktase

Universitas Respati Yogyakarta


106

ribonukleotida yang membutuhkan Fe agar dapat berfungsi dengan baik,

sehingga defisiensi Fe dapat menyebabkan gangguan pada sistem

kekebalan tubuh (Alamtsier, 2009).

Dari hasil uji statistic diperoleh p-value sebesar 0,81, α=5% bahwa

disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antar konsumsi fe

dengan kejadian stunting. Begitu juga hasil OR sebesar 0,623. Artinya

subjek yang konsumsi fe kategori kurang sebagai faktor protektif untuk

mengalami stunting 0,623 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek

yang memiliki konsumsi fe kategori baik. Karena rentang tingkat

kepercayaan (CI) =95% dengan lower limit (batas bawah) = 0,349 dan

upper limit (batas atas) = 1,112 mencakup nilai satu, maka besar risiko

tersebut tidak bermakna, dengan demikian konsumsi fe merupakan bukan

faktor risiko melainkan faktor protektif dengan kejadian stunting pada

balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong tahun 2018.

Konsumsi fe merupakan faktor protektif artinya dimana konsumsi

fe yang kurang tetapi tidak mengalami stunting menjukkan balita

mempunyai cadangan zat besi yang mencukupi pada saat kandungan

sampai usia dua tahun sehingga berpengaruh positif. Dimana cadangan

zat besi di dalam darah yang cukup tinggi yang diperoleh dari asupan gizi

selama ini hingga masa pertumbuhan sekarang (Arifin, 2013).

Tidak adanya hubungan antara asupan fe dengan kejadian stunting

disebabkan jenis asupan fe yang dikonsumsi seperti lebih banyak asupan

besi non heme yang terdapat pada sayuran dan buah. Zat besi juga terdapat

Universitas Respati Yogyakarta


107

dalam pangan nabati (non heme iron) yang pada umumnya mempunyai

nilai absorpsi yang lebih rendah dibandingkan dengan absorpsi zat besi

yang berasal dari pangan hewani (heme iron). Dengan demikian,

terdapatnya anak balita dengan status stunting pada konsumsi fe yang baik

dapat disebabkan oleh keadaan tersebut. Terdapat pula beberapa faktor

penghambat dan pendukung penyerapan fe yaitu tannin yang terdapat

dalam teh dapat menghambat penyerapan fe yang hampir setiap anak

konsumsi teh. Fosfat dapat membentuk endapan besi tidak larut yang

menyebabkan besi tersebut tidak dapat diserap (Almatsier, 2009).

Hal ini tidak sejalan dengan Putra (2012), dalam penelitiannya

menemukan hubungan asupan fe dengan kejadian stunting pada balita di

kelurahan kartasura. Ardiyah (2015), dalam penelitiannya menemukan

asupan zat besi memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian

stunting di kota maupun di pedesaan. Bahmat (2015), dalam penelitiannya

juga menemukan hubungan yang signifikan antara asupan zat besi dan

kejadian stunting pada bayi 24-59 bulan di Kepulauan Nusa Tenggara.

Tetapi hal ini sejalan dengan Roziqo (2016), dalam penelitiannya tidak

ada perbedaan asupan zat besi dengan stunting. Tidak terdapat hubungan

zat besi dan hemoglobin pada penelitian ini diperkirakan karena seluruh

subyek dengan asupan rendah zat besi. Selain itu, sumber asupan zat besi

sebagian besar berasal dari protein nabati yang memiliki bioavailabilitas

yang lebih rendah, dan mengandung zat anti-gizi yang dapat menghambat

penyerapan zat besi, seperti fitat dan polifenol.

Universitas Respati Yogyakarta


108

Kebutuhan asupan zat besi lebih tinggi dibandingkan pada orang

dewasa karena pada masa anak-anak asupan zat besi sangat dibutuhkan

dalam proses pertumbuhan. Anemia gizi besi pada anak usia pra sekolah

dapat menyebabkan tertundanya perkembangan fisik dan mental serta

menurunnya resistensi terhadap penyakit. Defisiensi fe dapat pula

menyebabkan peningkatan kejadian infeksi dan memperberat sakitnya

disebabkan adanya imunokompoten tubuh dan dapat mengganggu proses

tumbuh kembang anak (Bahmat, 2015).

Interaksi vitamin A dengan zat besi bersifat sinergis,

hal ini terlihat ketika pemberian vitamin A dapat menurunkan

prevalensi anemia dan memperbaiki utilisasi zat besi

dibandingkan hanya dengan suplementasi vitamin A saja atau

dengan zat besi saja. Vitamin A mempunyai banyak peran di dalam

tubuh, antara lain untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel progenitor

eritrosit, imunitas tubuh terhadap infeksi dan mobilisasi cadangan zat besi

dari seluruh jaringan (Semba, 2008)

Zat besi dengan tembaga merupakan dua jenis logam yang

saling berkaitan. Interaksi yang terlihat jelas antara zat

besi dan tembaga adalah pada protein yang mengandung

tembaga, yaitu ceruloplasmin. Ceruloplasmin merupakan enzim

yang disintesis pada hati dan mengandung 6 atom tembaga pada

strukturnya sehingga hampir 90 persen tembaga yang ada dalam

Universitas Respati Yogyakarta


109

tubuh terkandung pada protein ini. Berdasarkan penelitian

yang telah dilakukan ternyata ceruloplasmin memiliki fungsi

ferroksidase, yaitu mengubah Fe (II) menjadi Fe (III)

sehingga memudahkan proses absorpsi oleh transferrin

(Ridwan, 2012)

Protein ini berperan penting dalam proses absorpsi zat

besi dan telah dikonfirmasi pada pasien aceruloplasmin.

Aceruloplasmin merupakan kelainan genetic metabolisme zat

besi yang diindikasikan dengan tingginya kandungan ferritin

dalam serum akibat ketiadaan ceruloplasmin. Pasien yang

mengalami aceruloplasmin dijumpai adanya deposit zat besi

pada ganglia otak dan hati serta tingginya stres oksidatif

pada otak pasien aceruloplasminemia. Hubungan yang ada antara

ketiadaan ceruloplasmin dan patologi yang dihasilkannya

membuktikan peranan penting ceruloplasmin terhadap absorpsi

zat besi (Kono, 2006)

Zat besi non-heme banyak dijumpai pada sumber pangan

nabati, dan merupakan sumber zat besi terbesar masyarakat di

negara berkembang, termasuk di Indonesia. Vitamin C dapat

meningkatkan penyerapan zat besi bila dikonsumsi pada waktu

bersamaan, karena vitamin C akan mengubah zat besi dari

Universitas Respati Yogyakarta


110

bentuk feri menjadi bentuk fero. Zat besi dalam bentuk fero

lebih mudah diserap, selain itu vitamin C membentuk gugus

zat besi-askorbat yang tetap larut pada pH lebih tinggi di

dalam duodenum (Almatsier, 2009)

14. Faktor Dominan Yang Berhubungan dengan Stunting

Faktor dominan yang berhubungan dengan stunting diperoleh

berdasarkan analisa multivariat. Analisa multivariat yang digunakan

adalah analisis regresi logistic ganda karena variabel dependen bersifat

kategorik. Dan proses analisis multivariat hanya ada 2 variabel yang

secara bermakna berhubungan dengan stunting yaitu konsumsi protein

dan konsumsi zink.

Dari variabel tersebut, dengan melihat nilai OR setiap variabel maka

dapat disimpulkan bahwa yang paling dominan berhubungan dengan

stunting pada balita (24-59 bulan) adalah konsumsi zink karena

memiliki OR paling besar yaitu 24.032 artinya balita yang

mengkonsumsi zink kategori kurang berpeluang menjadi stunting

sebesar 24,032 kali dibandingkan balita mengkonsumsi zink kategori

baik setelah dikontrol variabel konsumsi protein. Hal ini sejalan dengan

Hidayati (2010), dalam penelitiannya menemukan kekurangan asupan

Zn mempunyai risiko 2,67 kali lebih besar terhadap kejadian stunting

pada anak.

Zink adalah salah satu trace-mineral atau mineral mikro yang

penting untuk semua bentuk kehidupan, termasuk tanaman, hewan, dan

Universitas Respati Yogyakarta


111

mikroorganisme. Gejala klinis zink pertama kali dilaporkan tahun 1961,

bahwa pada anak-anak, jumlah zink yang diserap sangat sedikit

sehingga mereka mengalami kegagalan untuk tumbuh dengan baik.

Zink berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan selain itu

zink terlibat dalam metabolism zat gizi makro seperti karbohidrat,

protein, dan lemak (Hardinsyah, 2017).

Dalam proses pertumbuhan, zinc (Zn) berperan dalam sintesis

protein yang dibutuhkan untuk pembentukan jaringan baru,

pertumbuhan, dan perbaikan tulang yang normal. Pemberian

suplementasi zinc (Zn) pada anak memberi efek yang positif pada

pertumbuhan (Agustian, 2009). Zinc berhubungan dengan hormon-

hormon penting yang terlibat dalam pertumbuhan tulang seperti

somatomedin-c, osteocalcin, testosterone, hormone tiroid dan insulin.

Zinc juga berfungsi memperlancar efek vitamin D terhadap

metabolisme tulang dengan stimulasi sintesis DNA di sel-sel tulang,

sehingga zinc erat kaitannya dengan metabolisme tulang dan sangat

penting dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan (Anindita, 2012).

Zink berperan juga dalam fungsi kekebalan tubuh manusia. Bayi

marasmus yang dapat suplementasi zink akan memperlihatkan

peningkatan respon pertahanan tubuh. Anak-anak di negara

berkembang yang mendapat suplementasi zink menunjukkan penurunan

insiden dan lama terkena sakit diare baik akut maupun kronis. Defisiensi

Universitas Respati Yogyakarta


112

seng pada bayi dan anak adalah bila terjadi perbaikan pertumbuhan

setelah suplementasi zink (Bahmat, 2015).

D. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan pada penelitian ini adalah saat pengukuran tinggi

badan anak, yang memungkinkan hasil pengukuran tidak valid, dikarenakan

beberapa anak tidak ingin diukur dan menangis (rewel) pada saat

pengukuran sehingga ibu dari anak tersebut yang mengukur yang belum

mempunyai keterampilan dan saat anak masih dalam menangis yang

menyebabkan anak tidak berdiri dengan tegak dan membutuhkan waktu

yang lama agar anak dapat anak diukur kembali.

Selain itu keterbatasan penelitian ini adalah dalam faktor

coufounding dimana untuk meminimalisir faktor tersebut dilakukan

matching terhadap usia tetapi untuk jenis kelamin pada penelitian ini tidak

melakukan matching dikarenakan proporsi jumlah balita anak jenis kelamin

perempuan lebih banyak.

Universitas Respati Yogyakarta


113

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Konsumsi energi merupakan sebagai faktor risiko kejadian stunting

sebesar 1,781 kali pada anak balita di Desa Srihardono Kecamatan

Pundong Kabupaten Bantul.

2. Konsumsi protein merupakan sebagai faktor risiko kejadian stunting

sebesar 2,745 kali pada anak balita di Desa Srihardono Kecamatan

Pundong Kabupaten Bantul.

3. Konsumsi yodium merupakan sebagai faktor risiko kejadian stunting

sebesar 2,167 kali pada anak balita di Desa Srihardono Kecamatan

Pundong Kabupaten Bantul.

4. Konsumsi kaslium merupakan sebagai faktor risiko kejadian stunting

sebesar 2,250 kali pada anak balita di Desa Srihardono Kecamatan

Pundong Kabupaten Bantul.

5. Konsumsi zink merupakan sebagai faktor risiko kejadian stunting

sebesar 2,909 kali pada anak balita di Desa Srihardono Kecamatan

Pundong Kabupaten Bantul.

6. Konsumsi fe bukan merupakan sebagai faktor risiko kejadian stunting

pada anak balita di Desa Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten

Bantul.

Universitas Respati Yogyakarta


114

7. Konsumsi zink paling dominan sebagai faktor risiko kejadian stunting

sebesar 24,032 kali pada anak balita di Desa Srihardono Kecamatan

Pundong Kabupaten Bantul setelah dikontrol konsumsi protein dan

konsumsi kalsium.

B. Saran

1. Bagi Ibu Balita

Diharapkan kepada ibu-ibu Perlu adanya perbaikan status gizi balita

dengan peningkatan konsumsi energi, protein, yodium, kalsium, zink,

dan fe untuk mengurangi risiko terjadinya stunting pada balita. serta

mengkonsumsi zink sangat menentukan pertumbuhan dan

perkembangan balita selanjutnya sehingga perlu adanya perbaikan

konsumsi baik dari kuantitas maupun kualitas sumber makanan

terutama zink.

2. Bagi Puskesmas Pundong

Puskesmas Pundong diharapkan dapat memberikan edukasi kepada

orang tua atau pengasuh berupa penyuluhan mengenai bahan pangan

apa saja yang mengandung sumber zat gizi (energi, protein, yodium,

kalsium, zink, dan fe) dan memberikan simulasi kepada orang tua

tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan energi dalam sehari

dengan tepat yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing

anak serta memberikan konseling kepada orang tua apabila memiliki

kesulitan dalam memberikan makanan pada anak.

Universitas Respati Yogyakarta


115

3. Bagi Penelitian Selanjutnya

Diharapkan peneliti selanjutnya agar meneliti faktor lain yang

berhubungan dengan kejadian stunting pada balita seperti pola asuh dan

pengetahuan ibu.

Universitas Respati Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai