Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Beras Ketan Putih

Ketan merupakan salah satu varietas padi yang merupakan tumbuhan

semusim (Maimunah (2003) “dalam” Hasanah (2007)). Asal padi terlupakan

karena sejarahnya sangat tua. Mungkin berasal dari asia tengah. Beberapa

umur kultur di Jawa, tidak dapat diketahui dengan pasti. Jumlah varietas yang

terkenal ada sekitar ribuan. Suatu jenis terkenal ialah forma glutinosa, ketan,

terdapat dalam bentuk butir-butir merah, putih dan hitam (Ulandari, 2015).

Beras ketan (Oryza sativa glutinosa) merupakan salah satu varietas dari

padi dan termasuk famili Graminae (Kirk dan Othmer, 1954). Beras ketan bila

dimasak nasinya mempunyai sifat sangat mengkilap, sangat lekat dan

kerapatan antara butir nasi tinggi sehingga volume nasinya sangat kecil,

(Setyawardani, 2008) Menurut Juliano (1967), butir beras tersusun dari

endosperm, aleuron dan embrio. Dalam aleuron dan embrio terdapat protein,

lemak, mineral dan beberapa vitamin, sedangkan endosperm hampir

seluruhnya terdiri dari pati. Pati (C6h10o5) adalah cadangan makanan yang

terdapat di dalam biji atau umbi tumbuh-tumbuhan. Pati juga terdapat pada

bagian tumbuh-tumbuhan yang berwarna hijau. Beras ketan mempunyai sifat

yaitu butir patinya berwarna gelap dan lunak, sedangkan beras biasa butir

patinya seperti pecahan kaca dan keras (Setyawardani, 2008).


Menurut Hesseltine (1979), pati merupakan butir atau granula yang

berwarna putih, mengkilat, tidak mempunyai bau dan rasa. Granula pati

dibentuk dari lapisan air. Unit glukosa pada pati membentuk dua jenis

polimer, yaitu polimer lurus atau linier dan polimer bercabang. Polimer linier

membentuk amilosa dan polimer bercabang membentuk amilopektin. Amilosa

adalah polisakarida yang terdiri dari glukosa yang membentuk rantai linier

melalui ikatan α – 1,4 – glukosida. Amilopektin adalah molekul hasil

polimerasi unit-unit glukosa anhidrous melalui ikatan α – 1,4 – glukosida dan

cabang α -1,6 – glukosida (Setyawardani, 2008).

Kandungan amilopektin dan amilosa yang terdapat dalam pati berbeda

untuk setiap jenis tanaman. Rata-rata pati mengandung 22-26% amilosa dan

78-74% amilopektin, (Setyawardani, 2008). Biasanya berdasarkan kandungan

amilosa dan amilopektinnya, beras dibedakan dari beras ketan. Beras ketan

adalah beras yang mengandung sedikit amilosa yaitu kira-kira 1-2%,

sedangkan beras biasa mengandung 12-37% amilosa. Kandungan amilopektin

pada beras ketan 76-77% (Setyawardani, 2008).


Menurut Steens (1988) “dalam” (Ulandari, 2015), taksonomi beras ketan

putih masih termasuk dalam spesies tanaman padi memiliki taksonomi

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Class : Angiopermae

Ordo : Gramminales

Family : Graminie

Genus : Oryza

Spesies : Oryza sativa L.

Varietas : Oryza sativa L. Var. Forma glutinous.

(Ulandari, 2015).

Gambar 1. Beras ketan putih


Uraian Tumbuh Padi banyak varietasnya yang ditanam di sawah dan di

ladang,sampai ketinggian 1.200 m. Tanaman semak semusim ini berbatang

basah, tingginya 50 cm -1,5 m. Batang tegak, lunak, beruas, berongga, kasar,

warna hijau. Daun tunggal berbentuk pita yang panjangnya 15-30 cm, lebar

mencapai 2 cm (Rustriningsih, 2007). Menurut Maimunah (2003) “dalam”

Hasanah (2007), tumbuhan ini mempunyai lidah tanaman yang panjang 1 – 4

mm dan bercangkap dua. Helaian daun berbentuk garis dengan panjang 15 –

80 cm, kebanyakan memiliki tepi kasar, mempunyai malai dengan panjang 15

– 40 cm yang tumbuh ke atas dengan akar yang menggantung. Malai ini

bercabang-cabang dan biasanya cabang tersebut kasar (Ulandari, 2015).

Akar bersifat hangat dan manis. Berkhasiat menghilangkankeringat,

membunuh cacing (antelmintik) dan sebagai penawar racun. Selaput biji (kulit

ari) bersifat manis, netral, serta masuk meridian limpa dan lambung.

Berkhasiat memelihara lambung, memperkuat limpa, meningkatkan nafsu

makan, dan antineuritis. Pati beras berkhasiat sebagai pelembut kulit, peluruh

kencing, dan pendingin (Ulandari, 2015).

Biji mengandung karbohidrat, dextrin, arabanoxylan, xylan, phytin,

glutein, enzim (phytase, lypase, diastase), dan vitamin B1 (Dalimartha,2001

“dalam” Rustriningsih, 2007). Menurut Suhardjo (1986) “dalam” Hasanah

(2007), kadar lemak dalam beras ketan tidak terlalu tinggi yaitu rata-rata 0,7

% dan kandungan asam lemak yang terbanyak adalah asam oleat, asam

palmitat, akan tetapi kandungan vitamin dan mineral beras ketan sangat
rendah. Vitamin yang terkandung dalam beras ketan adalah thiamin,

riboflavin dan niacin. Sedangkan nilai mineral yang terkandung dalam beras

ketan adalah besi, kalsium, fosfor dan lain-lain (Ulandari, 2015).

Tabel 1. Komposisi Kimia Beras Ketan Putih dalam 100 gram bahan

Komponen Jumlah

Kalori (kal) 362.00

Protein (gr) 6.70

Lemak (gr) 0.70

Karbohidrat (gr) 79.40

Kalsium (mg) 12.00

Besi (mg) 0.80

Vitamin B1 (mg) 0.16

Air (gr) 12.00

Sumber : Direktorat Gizi, 1981” dalam” Ulandari, 2015

Komposisi kimiawinya diketahui bahwa karbohidrat penyusun utama

beras ketan adalah pati. Ketan (sticky rice) baik yang putih maupun

merah/hitam, sudah dikenal sejak dulu. Padi ketan memiliki kadar amilosa di

bawah 1% pada pati berasnya. Patinya didominasi oleh amilopektin, sehingga

jika ditanak sangat lengket. Kandungan karbohidrat beras ketan sangat tinggi

dibanding protein, lemak dan vitamin. Karbohidrat mempunyai peranan


penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa,

warna, tekstur dan lain-lain. Zat makanan utama yang terkandung dalam beras

ketan adalah pati. Pati merupakan homopolimer glukosa dan ikatan glikosida

(Ulandari, 2015).

B. Tinjauan Umun Tentang Jamur

Jamur merupakan kelompok organisme yang terdapat di daerah tropik,

subtropik, kutub utara, maupun Antartika. Jamur juga dapat ditemukan di

darat (terestrial), perairan tawar, laut, mangrove, dan di bawah permukaan

tanah. Jamur dapat hidup sebagai saprofit, parasit dan dekomposer. Jamur

saprofit hidup dan makan dari bahan organik yang sudah mati atau busuk,

sehingga mengubah susunan bahan organik tersebut. Jamur sebagai parasit

tumbuh pada organisme hidup yang lain. Jamur juga dapat

bersimbion/berasosiasi dengan tumbuhan (Paramitha, 2012).

Jamur merupakan organisme eukariotik yang memiliki membran inti,

tidak memiliki klorofil, memiliki dinding sel yang tersusun atas kitin, bersifat

heterotrof, serta bereproduksi secara seksual (spora) ataupun aseksual

(miselium) (Paramitha, 2012).

Berdasarkan struktur tubuhnya, Jamur digolongkan ke dalam tumbuhan

tingkat rendah (Thallophyta), tetapi jika dilihat dari ada tidaknya klorofil

maka jamur dikelompokkan tersendiri, tidak dijadikan satu kelompok dengan

tumbuhan yang lain (Syaifurrisal, 2014).


Berdasarkan morfologi, fungi dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu

khamir (yeast), kapang (mold), dan cendawan (mushroom). Khamir

merupakan fungi uniselular yang dikelompokkan ke dalam filum Ascomycota

dan Basidiomycota, Kapang dan cendawan (mushroom) merupakan fungi

multiselular Kapang memiliki bentuk berupa filamen, sedangkan cendawan

memiliki tubuh buah (Paramitha, 2012).

Jamur sangat berperan dalam kelangsungan hidup manusia, hewan,

tumbuhan dan mikroorganisme lainnya, karena Jamur merupakan agen utama

dalam mengurai suatu bahan organik yang ada di alam menjadi unsur-unsur

sederhana. Bagian penting dari tubuh fungi adalah hifa, karena hifa berfungsi

menyerap nutrien dari lingkungan serta membentuk struktur untuk reproduksi

(Anna Rahayu, 2015).

Jamur mengekskresikan enzim-enzim ekstraselular ke lingkungan untuk

memecah nutrien pada substrat sehingga nutrien tersebut dapat diserap Jamur

melalui dinding selnya (Paramitha, 2012).

Jamur memerlukan oksigen untuk hidupnya (bersifat aerobik). Habitat

(tempat hidup) jamur terdapat pada air dan tanah. Cara hidupnya bebas atau

bersimbiosis, tumbuh sebagai saprofit atau parasit pada tanaman, hewan dan

manusia. Jamur mendapatkan makanan secara heterotrof dengan mengambil

makanan dari bahan organik. Bahan organik disekitar tempat tumbuhnya

diubah menjadi molekul sederhana dan diserap langsung oleh hifa, oleh

karena itu jamur tidak seperti organisme heterotrof lainnya yang menelan
makanan kemudian mencernanya sebelum diserap. Setiap jamur memerlukan

tingkat kadar air dan temperatur yang spesifik untuk perkecambahan dan

perkembangan. Untuk berkembang jamur akan menghancurkan nutrien

dengan bantuan aktivitas enzimnya dan menghasilkan air yang

memungkinkan peningkatan kolonisasi (Syaifurrisal, 2014).

C. Pertumbuhan Jamur

Definisi pertumbuhan dalam mikrobiologi adalah pertambahan volume

sel, karena adanya pertambahan protoplasma dan senyawa asam nukleat yang

melibatkan sistesis DNA dan pembelahan mitosis. Jamur hidup sebagai

saprofit, parasit dan simbiont. Sebagai saprofit aktivitas jamur berperan dalam

siklus nutrien di tanah, sebagai parasit jamur tumbuh pada organisme hidup

yang lain dan sebagai simbion jamur dapat mempengaruhi kehidupan tanaman

tertentu (anna Rahayu, 2015).

Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jamur adalah :

1. Substrat

Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi jamur. Nutrien baru

dapat dimanfaatkan sesudah jamur mengekskresi enzim-enzim

ekstraseluler yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks dari

substrat tersebut menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Jamur

yang tidak dapat menghasilkan enzim sesuai komposisi substrat dengan


sendirinya tidak dapat memanfaatkan nutrin-nutrien dalam substrat

tersebut.

2. Kelembaban

Pada umumnya fungi tingkat rendah seperti Rhizopus atau Mucor

memerlukan lingkungan dengan kelembapan nisbi 90%, sedangkan

kapang Aspergillus, Penicillium, Fusarium, dan banyak hypomycetes

lainnya dapat hidup pada kelembapan nisbi yang lebih rendah, yaitu 80%.

Dengan mengetahui sifat-sifat jamur ini penyimpanan bahan pangan dan

materi dapat dicegah kerusakannya.

3. Suhu

Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk

pertumbuhan, fungi dapat dikelompokkan sebagai jamur psikrofil yang

mampu tumbuh pada kisaran suhu 0-30 0C, mesofil yang mampu tumbuh

pada kisaran suhu 25-37 0C, dan termofil yang mampu tumbuh pada

kisaran suhu 40-74 0C.

4. Derajat keasaman (pH)

pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan jamur , karena

enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan

aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya fungi dapat hidup dengan pH

dibawah 7.0 (Anna Rahayu, 2015).


D. Reproduksi jamur

Jamur mempunyai alat reproduksi yang berfungsi untuk berkembang

biak, reproduksi jamur berlangsung melalui dua cara, bergantung pada jenis

dan keadaan lingkungan dimana fungi berada. Dua cara umum yang diketahui

adalah cara aseksual dan cara seksual

1. Reproduksi Aseksual

Reproduksi aseksual hampir dilakukan oleh semua klas jamur

walaupun caranya berbeda-beda bergantung pada klasnya. Pada

Phycomycetes pembiakan seksual terjadi diawali dengan pembentukan

sporangiospora, yaitu spora yang dibentuk dalam kantong yang disebut

sporangium (kotak spora). Pada ordo tingkat rendah sporangiospora tidak

berdinding. Pada golongan jamur yang tingkatannya lebih tinggi lagi akan

membentuk konidia ini adalah spora yang dibentuk melalui frakmentasi ujung

hifa. Pada umumnya konidia pada ujung-ujung hifa tertentu yang disebut

konidiofor atau tangkai konidi. Konidi ada yang bersel satu ada pula yang

bersel lebih dari satu, dan bahkan memanjang hampir menyerupai miselium.

Konidiofor mempunyai bentuk yang berbeda-beda, dari yang paling sederhana

sampai ke yang kompleks

2. Reproduksi Seksual

Reproduksi ini berlangsung dengan bermacam cara bergantung dari

kelasnya, khusus untuk Deuteromycetes (fungi imperfek), pembiakan

seksual belum diketahui. Pada Phycomycetes yang paling sederhana,


pembiakannya dengan persatuan antara dua gamet yang sama dalam sifat

morfologi dan disebut isogamet. Proses persatuannya disebut isogami.

Pada jamur yang lebih tinggi tingkatannya terjadi persatuan antara dua sel

kelamin yang tidak sama morfologinya dan ini disebut heterogamet.

Proses pertemuannya disebut heterogami atau anisogami. Gamet-gamet

yang berukuran kecil adalah sel jantan disebut antheridium dan yang

betina berukuran lebih besar disebut oogonium. (anna Rahayu, 2015)

Berdasarkan alat reproduksi seksual, jamur diklasifikasikan dalam 5

filum, yaitu Chytridiomycota, Glomeromycota, Zygomycota, Ascomycota

dan Basidiomycota (Paramitha, 2012).

a. Chytridiomycota

Golongan Chytridiomycota bersifat uniseluler, berkoloni dan

memiliki alat gerak yang terletak pada bagian posterior. Hifa

Chytridiomycota senositik, septum akan mulai dibentuk apabila fungi

akan membuat alat reproduksi sporangium. Reproduksi seksual

berlangsung dengan cara kopulasi. Chytridiomycota banyak terdapat di

tanah sebagai saprofit yang hidup pada bahan organik

b. Zygomycota

Jamur ini hidup sebagai saprofit dan parasit. Hifa yang

menyusun jamur ini bersifat senositik (tidak bersekat) sedangkan

dindingnya tersusun atas kitin. Contoh jamur Zygomycetina antara lain

adalah Rhizopus sp.


c. Ascomycota

Jamur ini hidup sebagai saprofit dan parasit. Ascomycota

memiliki hifa yang bersekat-sekat dan bercabang-cabang. Contoh jamur

Ascomycota adalah Saccharomyces sp., Penicillium sp., Aspergillus sp,

dan Neurospora sp.

d. Basidiomycota

Jamur ini memiliki bentuk uniseluler dan multiseluler.

Basidiomycota memiliki hifa yang bersepta. Spora seksualnya adalah

basidium sedangkan spora aseksualnya adalah konidia. (anna Rahayu,

2015)

e. Glomeromycota

Dikenal sebagai Arbuscular Mycorrhizal, merupakan kelompok

jamur yang belum diketahui reproduksi seksualnya.

E. Tinjauan umum Aspergillus sp

Kapang Aspergillus sudah dikenal sejak tahun 1729 dan pertama kali

ditemukan oleh pendeta Florentine dan seorang mikologis P. A. Michel

dengan ragam spesies yang mampu beradaptasi pada berbagai kondisi

lingkungan. Spesies dari genus Aspergillus tersebar secara luas dan di

antaranya dapat bersifat menguntungkan maupun merugikan bagi manusia.

Beberapa kapang dapat menghasilkan enzim dan asam organik yang dapat

digunakan dalam industri fermentasi pangan sedangkan lainnya mampu


menghasilkan senyawa beracun yang bersifat toksik, mutagenik, karsinogenik,

seperti jenis Aspergillus flavus, A. parasiticus, A. ochareus, A. niger,

fumigatus. Aspergillus flavus dan A. parasiticus diketahui mampu

menghasilkan mikotoksin jenis aflatoksin. Namun yang paling banyak dan

dominan adalah Aspergillus flavus. Seperti halnya mikroorganisme jenis

kapang yang lain, taksonomi Aspergillus sangat kompleks dan terus

berkembang. Umumnya genus dapat dengan mudah diidentifikasi berdasarkan

karakteristik konidiofor, tetapi spesies ini diidentifikasi dan terdiferensiasi

secara kompleks. Krishnan et al. (2009) menyebutkan bahwa Aspergillus sp.

Tergolong dalam filum Ascomycota dan famili Trichomaceae, sedangkan

spesiesnya dibedakan berdasarkan karakteristik morfologi dan warna. Koloni

Aspergillus dapat tumbuh dengan cepat serta memiliki variasi warna dari

putih, kuning, kuning kecoklatan, hijau, coklat, sampai hitam (Sa’diah, 2012).
Klasifikasi taksonomi Aspergillus sp :

Super kingdom : Eukaryota

Kingdom : Fungi

Sub kingdom : Dikarya

Phylumn : Ascomycota

Subphilum : Pezizomycotina

Classis : Eurotiomycetes

Sub classis : Eurotiomycetidae

Ordo : Eurotiales

Familia : Trichocomaceae

Genus : Aspergillus (Ghofur, 2006)

Gambar .1 Aspergillus sp (Ghofur 2006)

Menurut Sukma dkk. (2010), miselia kapang Aspergillus sp. Mulai

tumbuh pada hari ke dua inkubasi berupa koloni-koloni kecil yang menyebar

pada permukaan media berwarna putih kekuningan. Miselia membentuk koloni


lebih luas dan kompak serta berwarna cokelat krem pada hari ke enam. Sumanti

dkk. (2003) menyatakan spora Aspergillus sp. berukuran kecil dan ringan, tahan

terhadap keadaan kering, memiliki sel kaki yang tidak begitu jelas terlihat,

memiliki konidia spora non septa dan membesar menjadi vesikel pada ujungnya

dan membentuk sterigmata tempat tumbuhnya konidia. Konidia dari Aspergillus

sp. memiliki ukuran diameter 1,5 – 2,4 µm, berdinding halus, berbentuk

panjang hingga elips dan striate. Secara mikrokopis, konidiofor biasanya

panjang, kolumnar, tidak berwarna (hialin) dan halus sehingga menimbulkan

vesikel bulat biseriate (Syaifurrisal, 2014)

Aspergillus sp tumbuh secara cepat, menghasilkan hifa aerial dengan

panjang ciri struktur konidia yang khas, konidiofora panjang dengan vesikel

terminal yang fialidnya menghasilkan rantai konidia yang bertumbuh secara

basipetal.(Ghofur, 2006) . Percobaan in vitro yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa aleuroconidia dapat dengan mudah terlepas dari hifa.

Kemampuan aleuroconidia untuk berkecambah dengan cepat ke dalam jaringan

hifa invasif dapat menjadi faktor yang mematikan Aspergillus sp, selain dari

konidia istirahat dan perkecambahan yang selanjutnya sangat penting untuk

pembentukan infeksi (Syaifurrisal, 2014)


Sifat patogen muncul apabila ada faktor predisposisi yaitu: - Kondisi

umum yang kurang baik, adanya penyakit lain, misalnya

a. Tuberkolosis,karsinoma

b. Diabetes mellitus

c. Pengobatan imunosupresif

Defisiensi system imun Faktor resiko yang terjadi pada tubuh manusia

pada umumnya dapat mempermudah invasi jamur ke dalam jaringan tubuh

dan jamur tersebut dapat tumbuh dengan subur sehingga menyebabkan

timbulnya penyakit (Ghofur, 2006)

F. Tinjauan Aspergillus flavus

Adapun penamaan Aspergillus flavus pertama kali diperkenalkan oleh

Johann Heinrich Friedrich pada tahun 1809. Awalnya kapang ini merupakan

spesies aseksual berupa konidia dan sklerotia, namun penemuan terbaru

menyebutkan bahwa Petromyces flavus dikenal sebagai tahap seksual dari

A.flavus. Berikut penamaan Aspergillus flavus.

Kingdom : Fungi : Ascomycota

Kelas : Eurotiomycetes

Ordo : Eurotiales

Famili : Trichomaceae

Genus : Aspergillus

Spesies : Aspergillus flavus(Sa’diah, 2012)


Gambar .2 Aspergillus flavus (Sa’diah 2012).

Aspergillus merupakan kapang dari filum Ascomycota, terdiri atas

konidiofor, vesikel, fialid dan konidia. Koloni Aspergillus flavus yang

ditumbuhkan pada medium Czapek’s Dox mencapai diameter 3--7 cm dalam

waktu 7 hari, dan berwarna hijau kekuningan. Kepala konidia berbentuk bulat.

Konidiofor berwarna hialin, kasar dan dapat mencapai panjang 1 mm. Vesikel

berbentuk semibulat hingga bulat, dan berdiameter 10--65 μm. Fialid

terbentuk langsung pada vesikula atau pada metula, dan berukuran (6--10) x

(4--5,5) μm. Konidia berbentuk semibulat hingga bulat, berdiameter 3,5--4,5

μm, hijau pucat, dan berduri (Paramitha, 2012).

Ciri makroskopis A. flavus memiliki karakteristik warna hijau

kekuningan, permukaan seperti kapas, tidak terdapat garis-garis radial atau

kosentris dan tidak terdapat tetes eksudat (Anna Rahayu, 2015).

Ciri mikroskopis menunjukkan bahwa koloni A. flavus memiliki kepala

konidia bulat yang merekah menjadi beberapa kolom, konidiofor berwarna

hialin dan kasar, vesikula berbentuk bulat, konidia berbentuk bulat dan
berduri. Hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis koloni A. flavus

sesuai dengan buku identifikasi (Anna Rahayu, 2015).

Aspergillus flavus umumnya tumbuh sebagai saprofit pada tanaman dan

hewan yang sudah mati di dalam tanah berfungsi sebagai pendaur ulang

nutrisi. Pada tanaman, kapang ini dapat menginfeksi jagung, gandum, kedelai,

kacang tanah, dan biji kapas dengan kondisi yang mendukung

pertumbuhannya. Infeksi tanaman oleh serangga dan burung dapat

menimbulkan kerusakan tanaman yang memungkinkan kontaminasi lanjutan

oleh kapang. Namun beberapa penemuan dalam Hedayati et al. (2007)

membuktikan bahwa spora kapang A.flavus dapat pula ditemukan pada udara

terbuka dan air. Untuk kontaminasi kapang dalam air, tidak mudah

menghilangkan kontaminasi dengan proses perlakuan air pada umumnya

dimana kontaminasi dapat terjadi mulai dari sumber air hingga dalam proses

penyaringan dan penjernihan. Aspergillus flavus memiliki hifa berseptum dan

miselium bercabang umumnya tidak berwarna, koloni kompak, konidiofor

kasar dan relatif panjang muncul dari kaki sel. Secara mikroskopik, ciri-ciri

A.flavus ditandai dengan konidiofor yang berdinding tebal, tidak berwarna,

panjang kurang dari 1 mm, vesikel panjang saat muda lalu menjadi subglobos

atau globos dengan variasi diameter antara 10 sampai 65 mm, pialida dapat

berupa uniseriat atau biseriat, panjang cabang utama bisa lebih dari 10 mm

sedangkan yang kedua lebih dari 5 mm (Sa’diah, 2012).


Kapang Aspergillus flavus dikenal sebagai kapang kuning kehijauan

yang dapat tumbuh pada suhu 12–48oC dengan aw minimal 0.8. Namun suhu

optimal untuk pertumbuhannya adalah 25–42oC. Suhu pertumbuhan yang

ideal dapat berkontribusi pada terbentuknya patogen dari Aspergillus flavus

kepada manusia. Adapun pertumbuhan dan perkecambahan konidia yang ideal

dapat terjadi pada kondisi aw lebih rendah dari 0.9 dan akan terhambat jika

aw kurang dari 0.75. Vujanovic et al. (2001) dalam (Sa’diah, 2012)

menyebutkan bahwa A.flavus dapat tumbuh dengan baik dengan kondisi aw

antara 0.86 dan 0.96 (Sa’diah, 2012).

A .flavus merupakan kapang mesofit yang membutuhkan RH minimal

80–90% untuk pertumbuhan dan germinasi spora dan 85% untuk sporulasi.

Sebagai kapang mesofilik, A.flavus memiliki suhu pertumbuhan minimum 6–

8oC, optimum 36–38oC, dan maksimum 44–46oC. Kondisi lingkungan yang

mempengaruhi pertumbuhan Aspergillus flavus antara lain konsentrasi

oksigen, kadar air, unsur makro (karbon, nitrogen, fosfor, kalium, dan

magnesium), unsur mikro (besi, seng, tembaga, mangan, dan molybdenum),

cahaya, kelembaban, serta keberadaan kapang lain. Penurunan konsentrasi

oksigen dapat menurunkan produksi aflatoksin karena A. flavus sebagai

kapang penghasil aflatoksin menjadi bersifat aerobik obligat. Namun

rendahnya kandungan oksigen tidak menyebabkan kematian pada miselia dan

spora. Pada kondisi lingkungan tertentu A.flavus dapat menghasilkan toksin

yang disebut aflatoksin. Kemampuan kapang membentuk dan menimbun


aflatoksin tergantung pada beberapa faktor yaitu potensi genetik kapang,

persyaratan lingkungan (substrat, kelembaban, suhu, pH), dan lamanya kontak

antara kapang dengan substrat (Sa’diah, 2012).

G. Tinjauan media PDA (Potato dextrose agar)

Potato dextrose agar merupakan salah satu media yang baik digunakan

untuk membiakkan suatu mikroorganisme, baik itu berupa cendawan/fungsi,

bakteri, maupun sel mahluk hidup. Media PDA merupakan jenis media biakan

dan memiliki bentuk/ konsistensi padat (solid). Potato dextrose agar

merupakan paduan yang sesuai untuk menumbuhkan biakan (Winda, 2009).

Media potato dextrose agar (PDA) berfungsi sebagai media kapang

(jamur) dan khamir. Selain itu PDA digunakan untuk enumerasi yeast dan

kapang dalam suatu sampel atau produk makanan. PDA mengandung sumber

karbohidrat dalam jumlah cukup yaitu terdiri dari 20% ekstrak kentang dan

2% glukosa sehingga baik untuk pertumbuhan kapang dan khamir tetapi

kurang baik untuk pertumbuhan bakteri. Komposisinya PDA berupa kentang

(4 g/L (berasal dari 200 gr kentang)), dektrose (15 g/L) dan aquades 1L.

karakteristik media PDA terdiri dari :

1. Komposisi Media PDA (Potato Dextrose Agar) :

a. Potato extract : 40,0 gram

b. Dextrose : 20,0 gram

c. Agar : 15,0 gram

Anda mungkin juga menyukai