Anda di halaman 1dari 15

Folikulitis

Baiq Nindya Aulia1, Farida Hartati2

1
Mahasiswa Tahap Profesi Fakultas Kedokteran Mataram

2
Bagian Kulit dan Kelamin RSUD Patut Patuh Patju Kabupaten Lombok Barat

Email : aulyacee@gmail.com

Informasi Naskah

Tebal Naskah :15

Jumlah Tabel : 3

Jumlah Gambar : 3

1
Folikulitis
Laporan Kasus

ABSTRAK
Folikulitis adalah peradangan folikel rambut dan dapat melibatkan muara folikel atau
perifolikular folikel rambut. Predileksi pada kepala, ekstremitas, perioral dan paranasal, daerah
kulit yang tertutup atau lembab dan sering terkena gesekan, misalnya aksila dan paha bagian
medial. Faktor predisposisi meliputi lingkungan yang lembab, hygiene buruk, maserasi dan
drainase luka abses.1 Klasifikasi folikulitis dibagi menjadi dua, folikulitis superfisialis dan
folikulitis profunda. Folikulitis superfisialis terdapat didalam epidermis, dengan predileksi pada
anak-anak di scalp, dagu, aksila ektremitas bawah, bokong pada dewasa. Sedangkan folikulitis
profunda mencapai ke subkutan. Predileksi di dagu, dan atas bibir. 2,6
Seorang bayi laki-laki usia 8 hari dibawa oleh orang tuanya karena timbul bintik-bintik
kemerahan pada kepala dan wajah bagian frontal sejak 4 hari yang lalu. Keluhan terjadi awalnya
pada bagian kepala yang berambut dan meluas ke bagian frontal. Bintik tersebut berisi cairan
kekuningan. Tidak ada riwayat demam, pada keluarga kakak pasien pernah mengalami keluhan
serupa.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan bintik-bintik kemerahan diregio kepala yang berambut
dan pada wajah bagian frontal dengan lesi papul eritema batas tegas multiple bentuk krucut
dengan distribusi regional. Penegakkan diagnosis folikulitis pada kasus ini hanya dilakukan
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Rencana pemeriksaan penunjang dengan pengecatan
Gram positif. Terapi yang diberikan adalah antibiotika salep yaitu asam fusidat krim 2% 5 gram
digunakan 2 kali sehari, selama 7-10 hari.

Kata kunci: Folikulitis, infeksi, Staphylococcus aureus, pioderma

2
Pendahuluan

Pioderma merupakan jenis penyakit kulit yang paling sering didapatkan di negara-negara

berkembang, terutama daerah tropis. Sebuah laporan yang ditulis Bowen berdasarkan 18 studi

prevalensi populasi umum di negara-negara berkembang pada tahun 2015 menunjukkan

prevalensi tinggi untuk infeksi kulit (2187%). Dalam penelitian Bowen tersebut pioderma adalah

penyakit yang paling sering ditemukan pada anak (0,2-35%). Pioderma menempati urutan empat

besar jumlah kunjungan rawat jalan di Indonesia. Pioderma pada anak usia dibawah usia 5 tahun

memiliki tingkat prevalensi lebih tinggi dari dewasa.9

Berdasarkan umur, infeksi kulit lebih mudah terjadi pada bayi dan anak dibandingkan

dengan dewasa. Hal ini dikarenakan kulit bayi dan anak memiliki perbedaan apabila

dibandingkan dengan kulit orang dewasa. Walaupun struktur sudah lengkap, namun berbeda

dalam maturitas dan fungsinya. Kulit bayi dan balita lebih tipis, jaringan antar sel lebih longgar,

serta sistem pertahanan tubuh alamiah dan adaptif di kulit belum cukup matang, menyebabkan

kulit dan fungsi proteksi terhadap infeksi lemah. Pada bayi dan anak, infeksi kulit yang paling

sering didapatkan adalah pioderma. Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri

Staphylococcus, Streptococcus atau oleh kedua-duanya. 7,8

Patogenesis infeksi kulit superfisial akibat S. Aureus pada anak dipengaruhi oleh

beberapa faktor, seperti susunan kulit dan fungsi barier kulit, faktor host, virulensi bakteri, serta

adanya mekanisme pertahanan kutaneus host melawan infeksi. Kulit merupakan barrier penting

yang melindungi tubuh dari mikroorganisme patogen dari lingkungan. Susunan kulit pada anak

tersusun atas dasar lapisan yang sama dengan kulit dewasa, di mana terdiri atas lapisan

epidermis, dermis, dan subkutan. Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum, granulosum,

spinosum dan basal epidermis. Lapisan korneum terdiri atas keratinosit yang telah berdiferensiasi

3
akhir di mana tidak memiliki organel dan tinggi mengandung ikatan silang fibril keratin.

Keratinosit mengandung protein yang disebut filagrin, yang membentuk lapisan tahan air,

mikroba dan alergen, serta menjaga integritas kulit, sehingga stratum korneum berfungsi sebagai

penghalang fisik utama kulit. Selain itu, keratinosit juga memproduksi peptida antimikroba

seperti hBD2, hBD3, LL-37 cathelicidin dan RNase yang memiliki aktivitas bakteriostatik atau

bakterisidal. Stratum granulosum, spinosum dan basalis terletak dibawah stratum korneum.

Epidermis selalu mengalami regenerasi saat keratinosit bermigrasi dari stratum basalis ke

stratum korneum. Lapisan dermis terletak di bawah lapisan epidermis, yang tersusun atas fibrous

stroma berserat yang terdiri atas serat kolagen dan elastin. Selain itu, terdapat pula struktur

penunjang kulit seperti kelenjar keringat (eccrine dan apocrine), kelenjar sebaseous dan folikel

rambut. Struktur yang tidak kalah penting adalah vaskulatur kulit yaitu superficial plexus dan

deep plexus. Meskipun barier kulit telah berfungsi secara kompeten sejak lahir pada kondisi bayi

sehat dan sesuai masa kehamilan, kulit anak berbeda dengan kulit orang dewasa dalam

komponen struktural, fungsional, dan komposisinya (Tabel 1). Hal ini terus berkembang selama

tahun-tahun pertama kehidupan.13

Table 1. Perbandingan kulit dewasa dan kulit anak

4
Namun demikian, karena daya simpan air (water-handling) tidak sepenuhnya sempurna

sebelum akhir tahun pertama kehidupan anak, stratum korneum anak mengalami laju kehilangan

air yang lebih tinggi dari stratum korneum dewasa, meskipun lebih terhidrasi daripada kulit

orang dewasa (Tabel 1). Besarnya derajat kehilangan air pada kulit anak, serta tingkat produksi

sebum yang lebih rendah akan meningkatkan risiko kekeringan pada kulit. Oleh sebab itu, kulit

anak memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menjadi kulit kering dan berujung pada

kerentanan terhadap infeksi dan dermatitis kontak iritan. 13

Hal ini mempermudah terjadinya infeksi pada anak yang menyebabkan terjadinya

penyakit kulit seperti folikulitis. Yang kita ketahui patofisiologi terjadinya folikulitis disebabkan

oleh mikroorganisme penyebab memasuki tubuh dan biasanya lewat retakan sawar kulit (serta

tempat luka). Kemudian mikroorganisme tersebut menyebabkan reaksi inflamasi dalam folikel

rambut. 13

Gambar 1. Perbedaan Folikel Rambut Yang Sehat Dan Yang Mengalami Peradangan.

Berikut ini dilaporkan salah satu kasus folikulitis. Pembahasan akan lebih menekankan
faktor risiko dan diagnosa banding.

5
Kasus

Seorang bayi laki-laki usia 8 hari dibawa oleh orang tuanya karena timbul bintik-bintik

kemerahan pada kepala dan wajah bagian frontalsejak 4 hari yang lalu. Keluhan terjadi awalnya

pada bagian kepala yang berambut dan meluas ke bagian frontal. Bintik tersebut berisi cairan

kekuningan. Tidak ada riwayat demam, pasien tidak memiliki riwayat penggunaan obat-obatan

sebelumnya. Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa. Pada keluarga kakak pasien

pernah mengalami keluhan serupa saat masih anak-anak.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan bintik-bintik kemerahan diregio kepala yang berambut

dan pada wajah bagian frontal dengan lesi papul eritema batas tegas multiple bentuk krucut

dengan distribusi regional. Penegakkan diagnosis folikulitis pada kasus ini hanya dilakukan

dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Rencana pemeriksaan penunjang dengan pengecatan

Gram positif. Terapi yang diberikan adalah antibiotika salep yaitu asam fusidat krim 2% 5 gr

digunakan 2 kali sehari, selama 7-10 hari. Lalu memberikan KIE pada orang tua pasien

mengenai kebersihan pada bayi dan menjaga bayi tetap kering tidak lembab. Memberitahu untuk

kembali kontrol 1 minggu kemudian.

6
Gambar 2. Folikulitis pada kepala dan wajah bagian frontal. Lesi berbentuk papul eritema

batas tegas multiple bentuk kerucut dengan distribusi regional.

Gambar 3. Folikulitis pada kepala dan wajah bagian frontal. Lesi berbentuk papul eritema

batas tegas multiple bentuk kerucut dengan distribusi regional.

7
Diskusi

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien pada kasus ini didapatkan
2
diagnosa folikulitis. Folikulitis adalah peradangan pada folikel rambut. Biasanya disebabkan

oleh Staphylococcus aureus. Selain itu terdapat klasifikasi (Table. 2) menurut kedalaman invasi

dan etiologi mikroba.12 Untuk mengetahui jenis mikroba perlunya dilakukan pemeriksaan

penunjang untuk memastikan diagnosa pasti dengan pengecatan gram ataupun dilakukan kultur.

Misalnya pada beberapa kasus folikulitis dermatofit harus dibedakan dari folikulitis S. aureus.

Pada infeksi jamur, rambut biasanya patah atau longgar, dan ada nodul supuratif atau

granulomatosa daripada pustula. Selain itu, pada pencabutan folikulitis dermatofitik rambut

biasanya tidak menimbulkan rasa sakit. Sehingga pentingnya untuk mengetahui penyebab pasti

dengan melakukan pengecatan gram untuk memastikan terapi yang tepat. Pada pasien ini belum

dilakukannya pemeriksaan penunjang sehingga menyebabkan belum bisa menentukan etiologi

dari jenis bakteri yang menyebabkan terjadinya folikulitis.

8
Table 2. Klasifikasi Infeksi Folikulitis

Folikulitis, furunkel dan karbunkel adalah radang pada folikel rambut dan jaringan

disekitarnya, paling sering disebabkan oleh kuman Gram-positif yaitu Staphylococcus aureus.

Staphylococcus aureus merupakan salah satu kuman penyebab yang paling sering menyebabkan

infeksi kulit dan infeksi sistemik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Gama E.C dkk (2016)

ditemukan folikulitis sebanyak 38,4% dan furunkel sebanyak 23,8% merupakan bentuk klinis

pioderma pada dewasa yang paling banyak ditemukan; hal ini mungkin dikarenakan pada orang

dewasa lebih mudah terjadi trauma pada folikel rambut. Trauma itu sendiri sejalan dengan faktor

risiko yang ada dimana didapatkan dari kebiasaan mencukur, menggunakan pakaian ketat dan

berbahan kasar yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit, sumbatan pada folikel rambut

misalnya oleh keringat, sebum, dan makeup, dan dapat juga dihubungkan dengan diabetes

melitus dan infeksi HIV.11 Pada pasien ini masih dikatakan neonatus hal ini terkait dengan

kebiasaan orang tua yang sering menggunakan pakaian yang agak ketat kepada pasien seperti

topi yang ketat dan bahan yang kasar sehingga mengiritasi kulit, lain lagi sistem pertahanan

9
tubuh alamiah dan adaptif yang masih belum cukup matang, menyebabkan kulit dan fungsi

proteksi terhadap infeksi lemah.

Faktor-faktor tertentu diketahui meningkatkan kerentanan termasuk menggunakan air

panas yang terlalu sering, karena Hot-tub folliculitis. Jenis folikulitis ini dialami oleh orang yang

sering berendam dalam air hangat yang terlalu sering, yang mana mendukung pertumbuhan

bakteri Pseudomonas spp. Mencukur rambut sehingga menimbulkan trauma hal ini

menyebabkan bakteri S. aureus ini masuk ke dalam folikel rambut akibat permukaan kulit yang

rusak. Air kolam yang tidak dirawat, penggunaan pakaian yang ketat dan memerangkap panas

dan keringat, selain itu penggunaan sarung tangan karet atau sepatu bot tinggi mengiritasi atau

memblokir folikel seperti penggunaan make up. Luka terinfeksi, terkikis atau luka operasi. Bateri

atau jamur juga dapat menyebar ke folikel rambut terdekat, kondisi medis yang mengurangi

resistensi terhadap infeksi seperti diabetes, leukemia kronis dan HIV/AIDS, kelebihan berat

badan, penggunaan obat-obatan seperti krim steroid atau antibiotik jangka panjang, Gram-

negative folliculitis, adalah folikulitis yang terjadi akibat penggunaan antibiotik jangka panjang

untuk mengatasi jerawat.3 Kulit berminyak atau penyumbatan folikel kulit dan rambut dengan

produk perawatan kulit atau kosmetik dapat mempengaruhi Malassezia folliculitis. Kulit yang

berkeringat juga merupakan faktor risiko dan kerusakan setelah terpapar sinar matahari.4 pada

pasien ini yang menjadi predisposisi terjadinya folikulitis diduga akibat penggunaan pakaian

yang ketat khususnya topi yang sering digunakan dan keringat, dimana diketahui dari anamnesis

pasien berada dirumah dengan ventilasi yang minimal, menyebabkan udara dari luar kedalam

tidak bias masuk dengan baik.

Pada penelitian yang dilakukan Iis Aisyah dkk (2011). dengan studi observasi analitik

mengemukan bahwa terdapat hubungan yang erat kaitannya hygiene pereorangan dan

10
lingkungan dengan kejadian pyoderma, dimana termasuk didalamnya folikulitis. Hasil chi-square

menunjukkan terdapat hubungan antara hygiene perorangan dan lingkungan dengan pyoderma

(p<0,05)5

Pemberian terapi antibiotik topikal dengan penggunaan asam fusidat karena merupakan

salah satu antibakterial steroidal dengan efek bakteriostatik/ bakteriosidik terutama terhadap

kuman Gram-positif. Penggunaan topikal asam fusidat menjadi salah satu pilihan terbaik sebagai

antibiotik spektrum sempit. Karena asam fusidat aktif terhadap Staphylococcus aureus dan

digunakan sebagai antibakteri topikal untuk infeksi kulit dan jaringan lunak. Asam fusidat telah

menunjukkan permeabilitas kulit yang baik dan potensi alergi yang rendah.8

Diagnosis banding folikulitis ada berbagai bentuk folikulitis dan beberapa klasifikasi.

Menurut variabilitas yang cukup besar dari temuan histologis, ada tiga kelompok folikulitis:

folikulitis infeksi, folikulitis tidak menular dan perifolliculitis (Tabel 2). Perifolliculitis, adalah

proses di mana sel-sel inflamasi mengelilingi folikel tanpa menembus ke dalamnya.

Folliculitis biasanya ditandai oleh adanya eritema perifollicular, papula, pustula, dan

vesikel yang dapat dilubangi oleh rambut dalam kasus akut, sedangkan lesi tahap kronis muncul

sebagai hiperkeratosis folikel dengan sumbatan keratin yang menonjol dalam orifice folikel.

Penyakit radang folikel rambut kulit kepala sering bermanifestasi sebagai folikulitis, yang dapat

menyebabkan alopecia cicatricial atau non-cicatricial, tergantung pada apakah infiltrat

perifollicular atau agen etiologi menyisakan folikel rambut. Seringkali sulit untuk membuat

diagnosis folikulitis rambut kulit kepala yang memadai dan biasanya membutuhkan waktu dan

upaya yang cukup untuk mengenali dan mengobati penyakit ini. 10

11
Selain penyebab tidak menular, ada banyak patogen infektif yang dapat menyebabkan

folikulitis, termasuk bakteri, virus, dan jamur. Diabetes mellitus, hiperhidrosis, maserasi, pakaian

ketat, terutama pada orang gemuk, penggunaan kortikosteroid topikal yang tidak memadai dan

senyawa terhalogenasi, produk perawatan kulit dan hidrokarbon topikal, seperti minyak atau ter

(paparan pekerjaan) dapat memicu eksaserbasi folikulitis. Selain itu, pasien dengan gangguan

kekebalan, seperti pasien HIV / AIDS, dapat datang dengan berbagai jenis folikulitis. 10

Dengan demikian, folikulitis dapat diklasifikasikan menurut fitur histologis dan / atau

keberadaan agen mikrobiologis. Ada beberapa pola histopatologis karakteristik folikulitis kulit

rambut kepala.

Tabel 3. Diagnosis banding folikulitis pada kulit kepala

Diagnosis banding folikulitis rambut kepala sangat luas. Sangat penting untuk mengenali

dan mengeluarkan penyakit menular dan untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis dengan analisis

histopatologis. Pemeriksaan berulang, pemeriksaan KOH / atau kultur jamur dan pengambilan

12
sampel jaringan untuk analisis histopatologis sering diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis

folikulitis rambut kulit kepala, yang dapat mewakili beban yang signifikan untuk praktik klinis

sehari-hari. Namun, hanya prosedur diagnostik yang memadai yang menghasilkan diagnosis

yang benar dan hasil terapi yang baik.10

Kesimpulan

Telah dilaporkan suatu kasus folikulitis pada bayi usia 8 hari. Folikulitis adalah

peradangan pada folikel rambut. biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus.2 Faktor-

faktor yang diketahui meningkatkan kerentanan pada pasien ini adalah faktor usia dimana pada

anak terjadi besarnya derajat kehilangan air pada kulit anak, serta tingkat produksi sebum yang

lebih rendah sehingga akan meningkatkan risiko kekeringan pada kulit. Oleh sebab itu, kulit

anak memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menjadi kulit kering dan berujung pada

kerentanan terhadap infeksi seperti S.aureus dan dermatitis kontak iritan. Selain itu penggunaan

pakaian yang ketat dalam hal ini penggunaan topi yang ketat menyebabkan terperangkapnya

panas dan keringat, hal ini yang menimbulkan terjadinya folikulitis. Dari anamnesis juga

diketahui kamar pasien yang berada di tengah ruangan tidak memiliki ventilasi yang baik.

13
Daftar Pustaka

1. BoediardjaAisah S, Sugito Lestari T, dkk. Serba serbi penyakit kulit dan kelamin
sejak neonatal sampai geriatric. Jakarta: BadanPenerbit FKUI 2009.
2. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, edisi 7.
Jakarta: Badan penerbitan FKUI: 2014.
3. Tracy Fenton, Ann Giles. Focus Feature On Folliculitis. July 2015.
4. Marianne HALD, Maiken C. ARENDRUP et.al. Evidence-based Danish Guidelines
for the Treatment of Malasseziarelated Skin Disease. 2015; 95: 12–19. Available from:
https://www.researchgate.net/publication/260371217_Evidence-
based_Danish_Guidelines_for_the_Treatment_of_Malassezia-related_Skin_Diseases
5. Iis Aisyah Sutisna, dkk. Hubungan antara hygiene pereorangan dan lingkungan
dengan kejadian pyoderma. 2010. Available from:
http://sainsmedika.fkunissula.ac.id/index.php/sainsmedika/article/view/55
6. PERDOSKI. Panduan Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan
Venerologi. Jakarta: PERDOSKI: 2017.
7. FAHRIAH, HERRY E. J. DKK. PROFIL PIODERMA PADA ORANG
DEWASA DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RSUP PROF. DR. R. D.
KANDOU MANADO TAHUN 2012. VOLUME 3, NOMOR 1, JANUARI-APRIL 2015
AVAILABLE FROM:
ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/download/7486/7032
8. Priscilia F. Lumataw, HerryPandaleke, dkk. Profil pioderma pada anak di Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periodetahun 2013-2015.
Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016 Available from:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/.../14055

9. Bowen AC, Mahé A, Hay RJ, Andrews RM, Steer AC, Tong SYC, et al. The Global
Epidemiology of Impetigo: A Systematic Review of the Population Prevalence of
Impetigo and Pyoderma. Journal. 2015;3-10. Available
from:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26317533

14
10. LiborijaLugović-Mihić, FrejaBarišić. et. al. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS OF THE
SCALP HAIR FOLLICULITIS. 2011; 50:395-402. Available
from:http;/hrcak.srce.hr/file/125188
11. Hall JC. Dermatologic bacteriology. In: Hall BJ, Hall JC, penyunting. Sauer's Manual
of Skin Diseases (10th ed). Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2010; p. 202-
19
12. Schieke SM & Garg A. Superficial Fungal Infection. In: Wolff K dkk. Fitzpatrick’s
Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 8th Edition. New York: McGraw-Hill;
2012
13. Stamatas GN, et al. Infant skin microstructure assessed in vivo differs from adult skin
in organization and at the cellular level. Pediatr Dermatol. 2010;27(2):125-31.

15

Anda mungkin juga menyukai