Anda di halaman 1dari 12

PERANGKAT DASAR TARBIYAH

Banyak hal yang ikut menunjang keberhasilan tarbiyah. Keseluruhannya perlu dikenali agar menjadi
perhatian bagi setiap murabbi. Secara umum alat bantu dalam proses tarbiyah adalah manajemen.
Dengan beberapa jenis manajemen diharapkan tarbiyah akan berjalan efektif menuju kepada tujuan,
dan terjauhkan dari penyimpangan.

Kegiatan tarbiyah pada dasarnya memerlukan manajemen, sebagai alat bantu mencapai tujuan yang
diharapkan. Paling tidak ada empat manajemen yang bisa menunjang keberhasilan tarbiyah, yaitu :
manajemen personal, manajemen kelompok, manajemen murabbi, dan manajemen interaksi. Berikut
akan dibahas satu per satu secara lebih rinci.

A. Manajemen Personal

Manajemen personal adalah proses pengelolaan personal sejak merekrut dan memulai proses tarbiyah.
Tujuan manajemen pada tingkatan ini ada dua :

a. Memastikan kesiapan mutarabbi untuk mengikuti proses tarbiyah, yang ditandai dengan
pemenuhan syarat-syarat peserta pada diri mutarabbi sesuai tahapannya

b. Memahami berbagai kondisi di sekitar mutarabbi guna membentuk hubungan yang baik antara
murabbi dan mutarabbi setelah berada dalam proses tarbiyah

Prinsip Manajemen Personal

1. Pengenalan kondisi umum mutarabbi

Mutarabbi harus dikenali kondisinya untuk memastikan adanya syarat-syarat peserta dalam dirinya. Jika
akan masuk pada tahap pertama, maka dalam diri mutarabbi tersebut sudah dipenuhi syarat-syarat
peserta tahap pertama. Jika akan masuk pada tahap kedua, harus dipastikan bahwa ia telah memiliki
syarat-syarat sebagai peserta tahap kedua.

Selain untuk mengetahui adanya syarat-syarat tersebut, pengenalan kondisi mutarabbi ini juga
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengenali lebih dalam berbagai hal dalam dirinya, sehingga akan
memudahkan dalam pengelolaan. Hal-hal yang secara umum perlu diketahui dari mutarabbi antara lain :

a. Tingkat pemahaman dan pengamalan keagamaan

b. Kondisi sosial ekonomi

a. Usia

b. Latar belakang keluarga

c. Tingkat intelektualitas

d. Tingkat pendidikan

e. Kecenderungan ruhiyah
f. Kepekaan emosional

g. Kecenderungan aktivitas

h. Kafa’ah yang dimiliki mutarabbi

Dengan mengetahui berbagai macam kondisi yang ada pada diri mutarabbi tersebut sejak awal, maka
seorang murabbi akan bisa menyimpulkan apakah seseorang tepat mengikuti kegiatan tarbiyah tahap
pertama ataukah tahap kedua. Selain itu, akan lebih memudahkan pengelolaan tarbiyah di waktu-waktu
selanjutnya. Di sisi lain, pengenalan ini bagian penting untuk menentukan apakah tarbiyah bagi personal
tersebut menggunakan metode halaqah tarbawiyah atau tarbiyah fardiyah.

2. Pengenalan latar belakang aktivitas mutarabbi

Untuk mutarabbi yang akan masuk ke tahap pertama, di antara hal yang perlu dikenali misalnya :

a. Apakah ia pernah terlibat dalam komunitas ideologis non-Islam?

b. Jika pernah terlibat, sejauh mana intensitas dan keterikatannya?

c. Apakah ia pernah memberikan loyalitas kepada sebuah gerakan tertentu?

d. Apa latar belakang organisasi keagamaannya selama ini?

e. Apa afiliasi partai politiknya?

f. Apa latar belakang organisasi kemasyarakatannya?

g. Apakah ia memiliki “cacat” yang akan berpengaruh bagi organisasi, baik secara politik maupun
amni (keamanan)?

Untuk mutarabbi yang akan masuk tahap kedua, perlu dimengerti misalnya :

a. Siapa murabbi pada tahpa sebelumnya?

b. Sejauh mana keterlibatan mutarabbi dalam kegiatan dakwah selama ini?

c. Materi-materi apa saja yang pernah diterima?

d. Kegiatan-kegiatan apa saja yang pernah diikuti?

e. Kecenderungan apa yang spesifik pada mutarabbi?

Di antara cara yang bisa digunakan untuk mengetahui latar belakang ini adalah dengan perbincangan
ringan, investigasi langsung kepada mutarabbi, atau informasi dari murabbi sebelumnya, dan orang-
orang yang mengenalnya.
Pengenalan yang detail tentang kondisi khusus personal semakin memantapkan keputusan apakah ia
dianggap layak dimasukkan ke dalam forum tarbiyah tahap pertama atau ke tahap kedua. Sekaligus juga
memantapkan pilihan, apakah model halaqah tarbawiyah tepat bagi personal tersebut atau model
tarbiyah fardiyah.

3. Memilih anasir pengubah

Setelah mendapatkan berbagai macam gambaran kondisi umum maupun khusus personal yang akan
direkrut ke dalam suatu kelompok tarbiyah, maka tinggal menetukan pilihan siapa di antara mereka
yang dianggap layak dan siap mengikuti kegiatan tarbiyah tahap pertama dan tahap kedua.

Yang terpilih dari sekian banyak personal untuk mengikuti program tarbiyah adalah yang memiliki
kriteria sebagai anasir (unsur) pengubah. Artinya, kita melakukan tarbiyah bukanlah mencetak orang-
orang yang puas dengan mendapatkan materi-materi tarbiyah karena dianggap telah memenuhi
kebutuhan rohani mereka. Tarbiyah adalah kegiatan mencetak anasir pengubah, agar mereka menjadi
dai yang siap mengemban amanah perubahan di tengah-tengah masyarakat.

B. Manajemen Kelompok

Setelah dikenali hal yang umum maupun khusus dari mutarabbi, kemudian mulai dilakukan pemilihan
model pembinaan yang tepat. Sebagian bisa dibina dengan model halaqah tarbawiyah, namun sebagian
yang lain, karena posisi atau kondisinya, lebih tepat menggunakan model tarbiyah fardiyah.

Bagi personal yang akan dibina dalam bentuk halaqah tarbawiyah, langkah berikutnya adalah dipilihkan
kelompok yang tepat. Rosululloh saw mengajarkan agar menempatkan manusia sesuai posisinya
(anzilunnas manazilahum). Manajemen kelompok ini memiliki tiga tujuan pokok :

a. Menentukan bentuk pembinaan yang paling tepat bagi setiap personal yang telah terpilih, apakah
dengan halaqah tarbawiyah atau tarbiyah fardiyah

b. Membentuk kelompok tarbiyah sesuai tahapannya, dengan memilihkan anggota yang


memungkinkan secara teoritis untuk menjadi sebuah kelompok halaqah tarbawiyah yang solid, dinamis
dan produktif

c. Menghindari munculnya kendala dalam proses tarbiyah yang disebabkan oleh kesalahan dalam
penentuan metode pembinaan dan pembentukkan kelompok

Penentuan Model Tarbiyah

a. Tarbiyah Fardiyah : Merekrut Kader “Khas”

Ada kalanya, personal-personal tertentu setelah disyurokan dalam organisasi dakwah dinyatakan lebih
tepat dikelola secara fardiyah, bukan dalam kelompok halaqah tarbawiyah. Untuk tipe personal yang
seperti ini, perlu diagendakan dalam administrasi tersendiri sehingga memudahkan dalam upaya
pengelolaan nantinya.
Di antara alasan memilih model tarbiyah fardiyah bagi seorang personal adalah karena posisinya yang
amat terkenal di masyarakat (sebagai figur yang diterima oleh semua kalangan), apabila diketahui
keterlibatannya dalam sebuah proses tarbiyah, akan menyulitkan dirinya. Atau bisa jadi dia adalah
seorang pejabat teras yang memerlukan kerahasiaan dan keamanan tinggi, yang apabila diketahui
keterlibatannya dalam sebuah aktivitas khusus dikhawatirkan akan memunculkan masalah bagi dirinya.
Tarbiyah fardiyah mampu menghijab peserta tarbiyah sehingga tidak menimbulkan kerawanan amniyah
(keamanan) mutarabbi tersebut.

Program tarbiyah fardiyah dilaksanakan dengan metode individual, seorang mutarabbi dibimbing oleh
murabbi dengan intensif melalui berbagai macam metode dan sarana sehingga mencapai tujuan dan
muwashafat tarbiyah sesuai tahapannya. Jika dalam halaqah tarbawiyah para mutarabbi berada dalam
sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa personal, maka pada metode tarbiyah fardiyah satu
kelompok terdiri hanya satu orang mutarabbi saja.

b. Halaqah Tarbawiyah : Membentuk Tarbiyah Berkelanjutan

Pemilihan kelompok ini amat menentukan perjalanan tarbiyah berikutnya. Oleh karena itu, dalam
membentuk sebuah kelompok tarbiyah hendaknya diperhatikan beberapa kedekatan berikut:

1. Kedekatan mustawa (tingkatan) ruhi, fikri, dan amali

Kendati sama-sama peserta tarbiyah tahap pertama, akan tetapi masing-masing mutarabbi memilih
kapasitas yang berbeda-beda dari segi ruhaniyah, fikriyah dan amaliyah. Pengenalan kondisi mutarabbi
amat penting untuk mengetahui kapasitas mereka, sehingga bisa dipilihkan kelompok yang tak terlalu
jauh berbeda kapasitas antara satu dan yang lainnya.

Hal ini penting untuk memudahkan pengelolaan materi dan kegiatan tarbiyah. Kapasitas ruhiyah yang
terlalu jauh rentangnya antara satu person dan person lainnya akan membuat suasana
ketidakkompakan, yang bisa berakibat terhambatnya perkembangan seseorang. Demikian juga jarak
kapasitas fikriyah yang terlalu jauh akan menyulitkan pemberian materi. Kapasitas amaliyah yang
berbeda nyata antara satu person dan person lainnya akan membuat person yang tidak aktif cenderung
menjadi penonton dan apatis terhadap forum.

2. Kedekatan kondisi sosial dan ekonomi

Sekalipun tidak vital, tetapi akan punya peluang menjadi sebuah kendala apabila rentang kemampuan
sosial dan ekonomi dalam satu kelompok tarbiyah berbeda secara nyata. Oleh karena itu dalam pemiliha
kelompok, factor ini penting untuk menjadi perhatian, agar sebagaian tidak merasa “lebih rendah” yang
berakibat minder dengan yang lainnya.

Kelompok pekerja kasar dan buruh sebaiknya dijadikan satu, terpisah dari kelompok dosen dan para
doctor. Kelompok petani lebih senang bergaul dengan sesama mereka, demikian pula pebisnis. Factor ini
penting dalam upaya kekompakan kelompok.
3. Kedekatan usia

Sebaiknya, mutarabbi yang masih sekolah di SLTP/sederajat dikelompokkan dengan sesama mereka atau
dengan yang seusia. Demikian pula mutarabbi yang sekolah di SMU/sederajat bisa dicarikan kelompok
yang sepadan usianya. Para mahasiswa semester awal akan lebih pas berada pada kelompok yang
rentang semesternya tak terlalu jauh antara satu dan yang lainnya.

4. Kedekatan lokasi

Sekalipun sekadar masalah teknis, tetapi jika factor lokasi tidak disertakan sebagai bahan pertimbangan
akan bisa mengganggu kelancaran program tarbiyah. Peserta dalam satu kelompok hendaknya berada
dalam lokasi yang layak jangkau satu dan yang lainnya. Tentu saja perlu diperhatikan pula factor alat dan
kemudahan transportasi. Semua itu demi kelancaran perjalanan kelompok tersebut.

Jarak yang terlalu jauh bisa membuat peluang mmutarabbi datang terlambat, kelelahan dalam
perjalanan, kesulitan transportasi, dsb. Hal ini harus diantisipasi sejak awal dengan memilihkan
kelompok yang dekat.

Selain pertimbangan teknis tersebut, ada pertimbangan strategis berkaitan dengan kedekatan lokasi,
yaitu proyek penggarapan lahan dakwah kewilayahan. Artinya, apabila mutarabbi berasal dari satu desa
atau kecamatan yang sama, maka laboratorium dakwah bagi mereka juga di desa atau kecamatan
tersebut. Hal ini sekaligus merupakan proyeksi perluasan aspek kewilayahan, upaya untuk penajaman
dan pengkonsentrasian dakwah di wilayah tersebut.

5. Kedekatan waktu keterlibatan

Sebaiknya mutarabbi yang baru saja bergabung dikelompokkan sesama mereka, atau jika pun bersama
dengan kelompok yang telah berjalan, hendaknya tidak telalu jauh perbedaan waktu keterlibatannya.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga suasana kelompok agar tetap kompak, tidak ada yang tertinggal
jauh dalam materi dan kegiatan, serta sebagai bentuk penghormatan terhadap seluruh personal yang
ada. Jika ada penambahan personal di tengah perjalanan (karena mutasi, misalnya) hendaknya factor
waktu keterlibatan ini menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan kelompok.

C. Manajemen Murabbi

Sifat-sifat dan Akhlak Murabbi

Sifat-sifat yang harus ditampilkan oleh setiap murabbi, secara garis besar bisa dibagi menjadi dua
bagian, yaitu sifat fitriyah dan sifat muktasabah (bentukan). Yang termasuk dalam kategori sifat fitriyah
adalah :

1. Potensi ma’nawiyah, yaitu potensi jiwa yang digerakkan oleh iman, diformat oleh Islam dan
dibimbing oleh ihsan
2. Potensi ilmiyah, yaitu kecerdasan intelektual yang membuatnya senantiasa bersikap obyektif,
memutuskan persoalan secara cepat, tepat, kritis dan kreatif

3. Potensi jasadiyah, yang memungkinkan seseorang melaksanakan beban-beban tarbiyah dengan


benaar, energik, terencana dan berkelanjutan hingga tuntas

Sedangkan sifat muktasabah adalah kemampuan pribadi yang bisa dipelajari dan ditumbuhkembangkan
terbagi menjadi dua bagian :

1. Potensi teoritis dan tsaqofah, meliputi wawasana keislaman secara umum, wawasana keislaman
secara khusus, dan wawasana kehidupan secara umum yang membuatnya mempu membimbing
mutarabbi menuju jalan yang lurus

2. Potensi praktis dan amaliyah, meliputi aspek dakwah, aspek harakah dan tanzhim, serta aspek
leadership, yang menyebabkannya memiliki kemampuan dalam mengelola kegiatan tarbiyah secara
terampil sehingga bisa menjadi murabbi yang produktif dalam pembinaan.

Adapun akhlak sebagai murabbi dari setiap tahap tarbiyah ini tentu saja akhlak Islam keseluruhannya.
Hanya saja, ada beberapa perhatian penting bagi setiap murabbi untuk menetapi beberapa karakter
berikut :

1. Berusaha menampilkan keteladanan yang maksimal di depan mutarabbi dan masyarakat secara
umum dalam berbgai bidang kehidupan

2. Senantiasa mendekatkan diri kepada Alloh melalui aktivitas ibadah lillaahi wahdah

3. Menjaga kerapian, keindahan, dan kebersihan dalam berpakaian atau berpenampilan secara
umum

4. Senantiasa berusaha untuk meningkatkan kapasitas keilmuan

5. Melaksanakan pertam kali syiar-syiar ubudiyah yang dibebankan kepada mutarabbi

6. Menebarkan kasih sayang dan lemah lembut kepada mutarabbi

7. Menampilkan sikap kedewasaan dalam bermuamalah dengan mutarabbi

8. Menampilkan kepribadian yang kuat, bersemangat tinggi, dan berdedikasi penuh keikhlasan

9. Mendoakan mutarabbi di luar pengetahuan mereka, untuk kebaikan mereka dan keluarga
mereka di dunia dan di akhirat

10. Senantiasa siap memperbaiki kekurangan diri dalam berbagai hal.

Kemampuan Khas Murabbi

Selain sifat dan akhlak, murabbi masih dituntut memiliki sejumlah kemampuan khas berikut :
1. Kemampuan berbahasa Arab

Tentu menjadi ideal apabila murabbi mampu berbahasa Arab, karena sumber agama Islam berbahasa
Arab. Selain itu, berbagai rujukan standar keislaman juga berbahasa Arab. Apabila murabbi memiliki
kemampuan berbahasa Arab, diharapkan akan menjadi akselerator bagi mutarabbi dalam memahami
Islam.

2. Kemampuan berbahasa Indonesia

Bahasa komunikasi dalam kegiatan tarbiyah adalah bahasa Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi
murabbi untuk memahami kaidah berbahasa. Dengan kemampuan berbahasa ini, akan memudahkan
murabbi menyampaikan pesan materi. Semakin banyak kosa kata serta gaya bahasa yang dikuasai
murabbi, semakin lancar dan menarik pembicaraannya.

3. Kemampuan menulis dengan huruf Arab

Selain karena di antara materi-materi tarbiyah menggunakan bahasa Arab, lewat tulisan Arab
tersebut tarbiyah juga bermaksud menumbuhkan kedekatan perasaan mutarabbi terhadap khazanah
keilmuan dan kebudayaan Islam. Dengan ditulis secara benar, bagus, indah dan mudah dibaca,
memudahkan mutarabbi menyalin dan memahami tulisan. sebaliknya, jika tulisan murabbi salah, hal itu
dapat tertularkan pada para mutarabbi secara turun-temurun.

4. Kemampuan menulis dengan huruf latin

Di antara materi tarbiyah ada yang disampaikan dalam bahasa Indonesia, sehingga murabbi perlu
menuliskannya di papan tulis atau whiteboard. Tulisan yang bagus dan mudah dibaca akan membantu
mutarabbi memahami isi dan pesan materi. Murabbi yang tulisannya jelek, harus berlatih agar memiliki
tulisan yang bagus dan indah dilihat.

5. Kemampuan berbicara

Hendaknya murabbi mampu berbicara dengan teratur, logis (sistematik), dan mudah dipahami.
Kelemahan murabbi dalam hal berbicara antara lain : terlalu cepat dalam berbicara, tidak jelas vocal
atau ucapan, kurang kerasnya volume suara, atau terlalu banyak jeda. Murabbi dituntut mampu
berbicara tidak terlalu cepat namun juga tidak terlalu lambat, vocal yang kelas, volume tak terlalu keras
dan tidak terlalu lemah, serta memiliki intonasi yang tepat.

6. Kemampuan beretorika
Retorika dalam berbicara didukung oleh beberapa hal, diantaranya adalah vocal yang jelas, intonasi
yang tepat, nada suara yang enak, volume suara yang pas, bahasa yang menarik, kosa kata yang tepat,
ilustrasi yang mengena, mimik wajah yang sesuai, dan gerakan anggota tubuh yang serasi.

7. Kemampuan mendengarkan pembicaraan

Murabbi harus siap mendengarkan masukan, pertanyaan, atau bahkan kritikan mutarabbi. Murabbi
bukanlah seorang pembicara yang hanya berbicara. Ia adalah seorang Pembina, yang berbicara pada
suatu kesempatan, dan pada kesempatan yang lain ia mendengarkan pembicaraan mutarabbi. Murabbi
harus bisa menjadi pendengar yang baik terhadap permasalahan mutarabbinya.

8. Kemampuan menyegarkan suasana

Kadang-kadang suasana di forum tarbiyah demikian tegang mencekam, padahal pada saat itu tengah
membicarakan hal-hal yang ringan-ringan saja. Suasana yang monoton seperti ini kurang kondusif bagi
mutarabbi. Oleh karena itulah diperlukan inisiatif murabbi untuk menyegarkan suasana (tatkala forum
mulai terasa penat dan jenuh) berupa, antara lain, selingan-selingan ringan dan humor-humor/anekdot
cerdas. Apalagi jika suasana ruangan tidak mendukung, dengan model forum yang tegang, akan
mempercepat terjadinya kelelahan dan kejenuhan mutarabbi.

9. Kemampuan berkomunikasi

Di antara hal yang amat vital dalam proses tarbiyah adalah adanya kelancaran berkomunikasi antara
murabbi dan mutarabbi, atau sebaliknya. Murabbi harus berkomunikasi secara efektif, yakni sebuah
komunikasi di mana penerima menginterpretasikan pesan yang diterima sebagaimana dimaksudkan
oleh pengirim, tidak ada bias dan kerancuan. Hangatnya komunikasi, lancarnya saluran pembicaraan
antara kedua belah pihak, sangat besar nilainya bagi proses tarbiyah. Murabbi harus mengawali
komunikasi dengan mutarabbinya.

10. Kemampuan bercerita

Di antara metode tarbiyah Rosululloh saw terhadap para sahabat adalah dengan kisah, bahkan
tarbiyah dari Alloh melalui Al Quran juga banyak dengan kisah. Menceritakan kisah kepahlawanan Islam
merupakan bagian utuh dari tarbiyah. Kemampuan murabbi bercerita secara baik menjadi daya tarik
bagi mutarabbi dalam mengikuti forum tarbiyah.

11. Kemampuan memimpin forum

Kadang-kadang dalam forum syuro atau diskusi terjadi kemacetan pembicaraan, atau didominasi
oleh satu orang saja. Murabbi harus mampu memimpin forum sehingga forum menjadi hidup dan
terarah. Murabbi perlu memiliki kecakapan untuk mengarahkan forum sehingga seluruh mutarabbi
memiliki kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan mengeksplorasi gagasan serta ide-idenya.

12. Kemampuan merespon dan menyelesaikan masalah

Tatkala pada diri mutarabbi mulai muncul keterbukaan (misalnya ia mulai bercerita tentang
permasalahan pribadi kepada murabbi), murabbi harus meresponnya (misalnya dengan cara berempatik
sekaligus membantu mencari alternative pemecahannya). Murabbi tak boleh mengelak dari berbagai
permasalahan hidup para mutarabbi.

Peningkatan Potensi Murabbi

Keberhasilan tarbiyah amat bergantung pada kapasitas murabbi. Apabila murabbi bersikap statis tidak
berupaya menambah kemampuan dan potensi diri, lantas dengan cara apa mereka bisa meningkatkan
kapasitas mutarabbi? Oleh karena itu, menjadi hal yang logis apabila murabbi harus senantiasa
meningkatkan potensi diri. Di antara potensi yang harus senantiasa dijaga dan bahkan ditingkatkan
adalah :

1. Potensi kerohanian (ruhaniyah), yang dengan itu para murabbi akan menebarkan kesejukan
iman, kehangatan ukhuwah, kecerahan wajah dan penampilan

2. Potensi keilmuan, dengan memperbanyak belajar berbagai keilmuan yang bermanfaat, baik ilmu
keislaman, ilmu sosial, maupun alam

3. Potensi keilmuan khusus, seperti bagaimana menulis dengan bagus dan rapi, baik dengan huruf
Arab maupun latin; bagaimana berbicara dengan lancar dan tertib (sistematik); bagaimana
menyampaikan materi dengan logis dan menarik

4. Potensi wawasan kontemporer, baik dalam wacana perpolitikan, perekonomian, sastra dan
budaya, olahraga, teknologi, maupun bidang-bidang lain, dengan mengikuti berbagai berita actual dari
peristiwa local hingga internasional

5. Potensi seni dan keindahan, dengan menguatkan kecenderungan terhadap nila-nilai estetika,
menjaga dan memperbaiki penampilan diri agar senantiasa indah serta menyenangkan

6. Potensi manajerial, dengan mempelajari teori-teori manajemen, hingga mampu


mengaplikasikannya dalam proses tarbiyah

7. Potensi kepemimpinan, dengan memperbaiki gaya memimpin, mempelajari seni kepemimpinan,


serta berusaha mengaplikasikannya dalam berhubungan dengan mutarabbi

8. Potensi tanggung jawab, dengan semakin mendalamnya perasaan “memiliki”, sehingga


muncullah sikap rahmah: keinginan untuk menjaga, melindungi, membersamai, di samping sikap
melatih, mendorong, dan menghukum

9. Potensi kekuatan fisik, sehingga tidak sakit-sakitan, tidak lemah semangat, tidak mudah lelah.
C. Manajemen Interaksi

Setelah mutarabbi berada dalam sebuah kelompok tarbiyah dengan murabbi yang telah difinitif,
perhatian berikutnya adalah bagaimana terbangun suatu interaksi positif dalam kelompok tersebut
sehingga mereka bisa saling memberikan kemanfaatan secara optimal satu dengan yang lainnya. Pada
dasarnya tarbiyah adalah peristiwa : interaksi murabbi dan mutarabbi; interaksi mutarabbi, materi dan
kegiatan; interaksi antarmutarabbi; interaksi mutarabbi, lingkungan dan sarana-sarana.

Oleh karena itu, amat penting untuk diperhatikan bagaimana membangun sebuah pola interaksi positif
dalam kelompok tarbiyah. Di antara prinsip manajemen interaksi adalah :

1. Membangun kepercayaan awal

Pertemuan pertama dalam sebuah kelompok antarra murabbi dan para mutarabbi merupakan titik awal
yang banyak menentukan keberhasilan program tarbiyah. Jika pada pertemuan awal itu antarmutarabbi
belum saling mengenal, maka diperlukan waktu untuk saling membuka diri, berkenalan dan memahami.
Demikian juga jika antara murabbi dan mutarabbi belum saling mengenal, forum awal adalah ta’aruf dan
saling membuka diri.

Pada saat pertemua pertama tersebut murabbi harus tampil percaya diri. Niatkan diri dengan ikhlas
karena Alloh untuk memulai tarbiyah, membimbing umat meraih kejayaan Islam. Perhatikan penampilan
diri agar tampak indah dan rapi. Persiapkan bahan pembicaraan awal untuk membuka dan mengawali
forum tarbiyah. Persiapkan diri pula secara teknis untuk menghindari kesalahan atau semacam “cacat”
dalam permulaan.

2. Membangun kedekatan murabbi dan mutarabbi

Setelah memiliki pengenalan yang cukup terhadap mutarabbi, murabbi berkewajiban menjalin
hubungan yang baik dan dekat dengan para mutarabbi. Hubungan yang harmonis semacam ini akan
menjadi factor pendukung yang amat signifikan bagi keberhasilan program tarbiyah. Harapan dari
kedekatan hubungan murabbi dan mutarabbi adalah adanya musharahah (keterbukaan), musyawarah
dan musyarakah (keterlibatan) mutarabbi.

Keterbukaan tidak mungkin diharapkan dari mutarabbi, apabila ia merasa ada sekat dalam berhubungan
dengan murabbi. Demikian pula syura akan sulit muncul dari mutarabbi jika tidak ada kedekatan
hubungan dengan murabbinya. Kalaupun mmuncul keterbukaan dan syura, bisa jadi hanya mujamalah
(basa-basi) dan tak bermuara dari kedalaman hati.

Untuk membina kedekatan hubungan ini, para murabbi hendaknya memperhatikan beberapa perangkat
berikut :

a. Ikhlas karena Alloh, dalam berhubungan dengan mutarabbi

b. Bersahabat, dalam berhubungan dengan mutarabbi

c. Lembut,hidupkan suasana dialogis dalam forum


d. Munculkan suasana ukhuwah dalam kelompok (dengan melaksanakan syiar serta hak-hak
ukhuwah)

e. Perhatikan mutarabbi, termasuk pada hal-hal yang tampak sepele (seperti menghafal nama,
memanggil dengan namanya secara benar, menanyakan kondisi anak dan atau keluarganya)

3. Membangun komunikasi efektif

Di antara cirri-ciri komunikasi efektif adalah :

a. Komunikasi harus mudah dimengerti

b. Komunikasi harus lengkap sehingga tidak menimbulkan keraguan

c. Komunikasi harus tepat waktu dan tepat sasaran

d. Komunikasi dengan landasan saling kepercayaan

e. Komunikasi perlu memperhatikan situasi dan kondisi

Komunikasi antara murabbi dan mutarabbi bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, artinya tidak
terbatas hanya di forum pertemuan rutin tarbiyah saja. Murabbi bisa menyempatkan waktu untuk
mengunjungi rumah mutarabbi, dan sebaliknya mutarabbi mengunjungi rumah murabbi. Mereka
senantiasa menjaga komunikasi timbale balik untuk memperdekat jarak psikologis keduanya.

Di antara hambatan bagi terbangunnya komunikasi yang baik antara murabbi dan mutarabbi adalah :

a. Kesan “keangkuhan” murabbi, atau “kesakralan” murabbi di hadapan mutarabbi

b. Perasaan hati yang tidak enak terhadap murabbi (pada mutarabbi), dan sebaliknya

c. Jauhnya jarak tempat tinggal antara murabbi dan mutarabbi

d. Persepsi mutarabbi terhadap murabbi, dan sebaliknya

e. Kesibukan masing-masing pihak sehingga tidak menyempatkan waktu untuk membangun


komunikasi yang sehat

f. Sifat-sifat ketertutupan kedua belah pihak.

Manajemen Kegiatan pada Halaqah Tarbawiyah

Kegiatan sama halnya dengan materi, adalah sebuah saran mencapai tujuan. Kegiatan dalam program
tarbiyah harus dikelola secara sungguh-sungguh dan professional sehingga bisa mengantarkan
mutarabbi ke gerbang kepahaman yang utuh dan menyeluruh sesuai target yang diinginkan. Antara
materi dan kegiatan dalam program tarbiyah bukan sesuatu terpisah satu dan yang lainnya, bahkan
keduanya merupakan satu rajutan. Kegiatan yang dipilih harus disesuaikan dengan tahap pembinaan
yang tengah berlangsung.
Kegiatan dalam program tarbiyah bisa bersifat tarqiyah (peningkatan kapasitas) bisa pula bersifat
tadribiyah (peningkatan kerja). Untuk kegiatan tarqiyah bisa berupa kegiatan individual, bisa pula
kegiatan bersama.

Kegiatan Tarqiyah Individual

Kegiatan individual ini dikerjakan oleh setiap individu dalam kelompok tarbiyah. Bentuk dan frekuensi
kegiatan disesuaikan dengan tahap pembinaannya dan sebaiknya ada kesepakatan bersama terlebih
dahulu dalam kelompok tersebut. Murabbi berkewajiban mengarahkan bentuk kegiatan yang akan
disepakati mutarabbi dalam kelompok, untuk kemudian memantau pelaksanaan dan mengevaluasi
hasilnya. Di antara kegiatan individual untuk mutarabbi adalah sebagai berikut : Tilawah Al Quran,
Hafalan Al Quran, Hafalan Hadits, Shalatberjamaah, Hafalan doa, Shalat malam, Puasa sunnah, Olahraga,
Infaq, dan Shalat sunnah rawatib

Anda mungkin juga menyukai