Anda di halaman 1dari 27

Perspektif Masyarakat Minangkabau Terhadap Budaya Matrilineal Di Kota

Medan Di Tinjau Dari Hukum Adat

Studi Kasus Jl. Bromo, Tegal Sari III Medan

Kelas Reguler B

Ketua Kelompok 4 :

Dara Afifa (NIM : 3172111012)

Anggota Kelompok : NIM :

1. Elpika Br. Sitepu 3173311018

2. Renni Harianja 3172111007

3. Ade Soraya Sri Nauli Wate 3173111001

4. Nurhassania Siagian 3171111013

5. Wina Putri Valentina Br. Pinem 3173311054

6. Rina Susi Susanti Purba 3173111020

7. Desti Natalia Zendrato 3173311014

Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Medan

2017/2018
Perspektif Masyarakat Minangkabau Terhadap Budaya Matrilineal Di Kota
Medan Di Tinjau Dari Hukum Adat

Studi Kasus Jl. Bromo, Tegal Sari III Medan

Kelas Reguler B

Ketua Kelompok 4 :

Dara Afifa (NIM : 3172111012)

Anggota Kelompok : NIM :

1. Elpika Br. Sitepu 3173311018

2. Renni Harianja 3172111007

3. Ade Soraya Sri Nauli Wate 3173111001

4. Nurhassania Siagian 3171111013

5. Wina Putri Valentina Br. Pinem 3173311054

6. Rina Susi Susanti Purba 3173111020

7. Desti Natalia Zendrato 3173311014

Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Medan

2017/2018
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Kami yang bertanda tangan dibawah ini:

Ketua : Dara Afifa (3172111012)

Sekretaris : Elpika Br. Sitepu (3173311018)

Bendahara : Renni Harianja (3172111007)

Anggota : Ade Soraya Sri Nauli Wate (3173111001)

Nurhassania Siagian (3171111013)

Wina Putri Valentina (3173311054)

Rina Susi Susanti Purba (3173111020)

Desti Natalia Zendrato (3173311014)

Jurusan : Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan

Fakultas : Ilmu Sosial

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan hasil penelitian dan


pemaparan yang kami tulis benar merupakan hasil karya kami sendiri dan bukan
merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain,yang kami akui sebagai hasil
tulisan atau pikiran kami sendiri. Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan
tulisan/proposal ini merupakan hasil jiplakan atau plagiat maka kami bersedia menerima
sanksi atas perbuatan tersebut.

Demikian pernyataan orisinalitas ini kami buat dan bisa dipergunakan


sebagaimana mestinya.

Medan, Oktober 2017

Ketua Kelompok 4

Dara Afifa

NIM.3172111012
HALAMAN PENGESAHAN
Proposal ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Proposal Mini Riset Pengantar
ICT
Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Medan

Ketua : Dara Afifa (3172111012)

Sekretaris : Elpika Br. Sitepu (3173311018)

Bendahara : Renni Harianja (3172111007)

Anggota : Ade Soraya Sri Nauli Wate (3173111001)

Nurhassania Siagian (3171111013)

Wina Putri Valentina (3173311054)

Rina Susi Susanti Purba (3173111020)

Desti Natalia Zendrato (3173311014)

Akan dipertahankan di hadapan penguji

Medan, Oktober 2017

TIM PENGUJI:

Pembimbing utama Asisten pembimbing

Parlaungan G. Siahaan, S.H., M. Hum Roy Martin Simamora, S.Pd., M.Ed.

NIP. 197510142006041001 NIP.


KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Tuha Yang Maha Esa, atas kasih
dan izin-Nya sehingga proposal mini riset “Perspektif Masyarakat Minangkabau
Terhadap Budaya Matrilineal Di Kota Medan Di Tinjau Dari Hukum Adat ( Studi
Kasus : Jl. Bromo, Tegal Sari III Medan )” dapat terselesaikan dengan baik dan
tepat waktu. Proposal ini disiapkan sebagai pemenuhan dari penugasan pada mata
kuliah Pengantar ICT. Sebagaimana proposal lainnya, penulis memaksudkan
pembuatan makalah ini sebagai jembatan untuk melakukan mini riset yang
sesungguhnya pada populasi maupun sampel-sampel yang berhubungan dengan
proposal ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Parlaungan G. Siahaan,


S.H., M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar ICT dan juga
kepada Bapak Roy Martin Simamora, S.Pd., M.Ed. selaku asisten pembimbing.
Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah
mau berbagi mengenai penyusunan proposal mini riset ini.

Seperti kata pepatah “Tak Ada Gading Yang Tak Retak”, penulis
menyadari bahwa penyusunan proposal mini riset “Perspektif Masyarakat
Minangkabau Terhadap Budaya Matrilineal Di Kota Medan Di Tinjau Dari
Hukum Adat ( Studi Kasus : Jl. Bromo, Tegal Sari III Medan )” jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran kepada para
pembaca guna penyempurnaan proposal ini selanjutnya.

Medan, Oktober 2017

Kelompok 4
ABSTRAK
Kelompok IV. “Perspektif Masyarakat Minangkabau Terhadap Budaya
Matrilineal Di Kota Medan Di Tinjau Dari Hukum Adat”. Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Medan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hukum adat Minangkabau yang


menggunakan garis keturunan ibu (matrilineal). Perempuan dalam adat
Minangkabau memiliki kedudukan yang khas dan penting, yang disebut “umban
puruak” (penyimpanan perbendaharaan rumah tangga). Dalam penelitian ini
peneliti meneliti kedudukan perempuan dalam hukum adat Minangkabau,
penelitian ini menggambarkan bagaimana pola matrilineal dapat memberikan
kedudukan yang tinggi kepada kaum perempuan dalam hukum waris, dan garis
keturunan dalam hukum adat Minangkabau. Pola matrilineal ini sendiri menjadi
identitas yang sangat khas bagi suku Minangkabau.

Kata Kunci: Kedudukan Perempuan, Hukum Waris Adat Minangkabau


Daftar Isi

Halaman Sampul

Halaman Judul

Halaman Pernyataan Orisinalitas

Halaman Pengesahan

Kata Pengantar ................................................................................................. i

Abstrak ............................................................................................................. ii

Daftar Isi........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 4

C. Batasan Masalah .............................................................................. 5

D. Rumusan Masalah ........................................................................... 5

E. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5

F. Manfaat Penulisan ............................................................................ 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................... 7

A. Kajian Teoritis ................................................................................. 7

B. Kerangka Berpikir ........................................................................... 14

BAB III METODOLOGI ................................................................................. 15

A. Metode Penelitian ............................................................................ 15

B. Lokasi Penelitian ............................................................................. 15

C. Populasi dan Sampel Penelitian ....................................................... 15


D. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 15

E. Teknik Analisis Data ....................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum merupakan suatu peraturan yang dibuat dan diakui
keberadaannya dalam kehidupan bermasyarakat guna mengatur tata tertib
bermasyarakat. Kata hukum berasal dari bahasa Arab dan merupakan
bentuk tunggal, kata jamakya adalah “Alkas” yang selanjutnya diambil alih
kedalam bahasa Indonesia menjadi “Hukum”. Satjipto Rahardjo
menjelaskan hukum adalah karya manusia berupa norma-norms berisikan
petunjuk-petunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari
kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan
kemana harus diarahkan. Dalam penggolongan nya menurut isi nya hukum
dibedakan atas Hukum Privat (Sipil) dan Hukum Pidana (hukum negara).
Hukum Privat mencakup antara lain : hukum perorangan, hukum
keluarga, hukum harta kekayaan (waris), dan hukum dagang. Pada
kesempatan ini kelompok kami akan membahas tentang hukum waris
khusus nya pada masyarakat Minangkabau yang memegang budaya
matrilineal. Minangkabau adalah suku asli daerah Sumatera Barat.
Biasanya orang menyebut suku Minangkabau adalah suku Padang dimana
Padang merupakan salah satu daerah yang berada di daerah Sumatera
Barat. Dari hukum adat yang digunakan akan menggambarkan bagaimana
masyarakat adat menjalankan kehidupannya menurut adat yang berlaku.

Kehidupan menurut adat merupakan kehidupan yang


menitikberatkan pada aturan yang diciptakan oleh nenek moyang yang
sifatnya turun-temurun, karena sifatnya yang turun-temurun maka
biasanya aturan ini bentuknya tidak tertulis. Masyarakat adat Minangkabau
memang menggunakan garis keturunan ibu, dimana garis keturunan ibu ini
lahir dari pemikiran bahwa wanitalah yang merupakan sosok penting
dalam keluraga karena wanita merupakan orang yang mendidik anak-
anaknya dalam keluarga.
Garis keturunan ibu (matrilineal) menjadi sorotan utama dari
berbagai pihak, terutama orang-orang yang memandang dari pandangan
hukum islam. Hukum islam sendiri memandang laki-lakilah yang bisa
mewarisi sebagai keturunan. Perbedaan ini juga tidak hanya terdapat
dalam pandangan hukum islam saja, bahkan di dalam hukum adat dari
beberapa daerah juga memiliki perbedaan.

Dengan adanya perbedaan dalam penentuan garis keturunan ini


tentunya menimbulkan perbedaan hak terutama hak waris diantara kaum
laki-laki dan perempuan. Pada suku adat Minangkabau misalnya yang
menggunakan garis keturunan ibu (matrilineal) meletakkan kaum
perempuan menjadi kaum yang sangat penting. Karena perempuan
merupakan orang mempunyai hak untuk memiliki harta waris pusaka
tinggi.Dalam hubungan kekerabatan, perempuan Minangkabau juga
menjadi tonggak utama dalam membentuk hubungan antar
kerabat.Perempuan Minangkabau juga dipercaya sebagai tumpuan
keluarganya dirumah.

Dalam adat Minangkabau sebenarnya juga tidang langsung


menyepelekan kaum lelakinya. Karena dalam adat Minangkabau dikenal
juga yang namanya mamak. Mamak adalah saudara lelaki dari ibu,
biasanya saudara laki-laki tertua dari ibu. Didalam studi pustaka yang
kami lakukan kedudukan Mamak adalah setingkat, sederajat, dan sedarah
dengan ibu. Mamak juga merupakan orang yang berperan sebagai
pemimpin kaum dan pemimpin yang menentukan hasil keputusan rapat
pada rapat kaum.

Mengenai hak waris, masyarakat adat Minangkabau biasanya


memberikan warisannya secara turun temurun kepada kemenakan-
kemenakan mereka. Dari hal ini dapat diuraikan didalam hukum waris
adat, Minangkabau menggunakan sistem kewarisan kolektif dan tidak
mengenal sistem kewarisan perseorangan. Sistem kewarisan kolektif
adalah sistem kewarisan di mana para pewaris mewarisi harta peninggalan
pewaris secara bersama-sama. Dalam adat Minangkabau ada dua bentuk
harta warisan; (1) Pusako tinggi yang merupakan harta warisan turun
temurun; (2) Pusako rendah yang merupakan harta yang diperoleh
sendiri.Saudara laki-laki yang lazim disebut mamak tadi berperan juga
sebagai penyangga atau pelindung dari apa yang sudah diwariskan
kepada saudara perempuannya. Melihat dari teori yang berkembang dan
membandingkannya dengan fakta yang ada, hukum adat minangkabau
menempatkan perempuan sebagai pewaris dan pemilik sah pusaka.
Pewaris merupakan orang yang meneruskan harta peninggalan atau orang
yang mempunyai harta warisan.Sedangkan waris merupakan penunjukkan
orang yang mendapatkan harta warisan atau orang yang berhak atas harta
warisan. Cara pengalihan yaitu dengan proses-proses penerusan harta
warisan dari pewaris kepada waris.

Namun dalam hal ini kami menemukan kasus bahwasannya


Mamak yang seharusnya berperan untuk menjaga harta pusaka yang ada
pada kaum perempuan malah mendominasi dan mengambil alih beberapa
kewenangan-kewenangan strategis yang secara ideal normatif menjadi hak
perempuan. Dan biasanya penyelesaian sengketa ynag terjadi ini dilakukan
secara damai dengan musyawarah dan mufakat sesuai dengan cirikahas
masyarakat adat Minangkabau yang kehidupannya sangat dinamis.

Melihat uraian yang ada diatas dari kenyataan yang ada


sesungguhnya hal ini sangat disayangkan. Karena pihak mamak yang
seharusnya menjadi pelindung dari harta pusaka yang dipegang oleh
perempuan tidak lagi menjalankan kewajibannya. Tidak hanya itu bahwa
seorang anak laki-laki yang menggarap atau memanfaatkan harta pusaka di
anggap bahwa itu sebuah aib karena menurut pembagian harta waris pada
masyarakat Minangkabau yang bisa memamfaatkan atau yang
bertanggung jawab merupakan hak dari kedudukan perempuan tersebut.
Hal ini menggambarkan bahwa mulai ada kelunturan budaya/adat istiadat
dari suku adat Minangkabau sendiri.

Kami menyimpulkan sebenarnya jika ditelisik lebih jauh, dalam


hal kedudukan tidak ada perbedaan yang signifikan dari pihak perempuan
dan pihak laki-laki pada masyarakat adat Minangkabau. Karena baik laki-
laki maupun perempuan memiliki perannya tersendiri dalam hukum adat
yang berlaku.Seperti mamak yang merupakan saudara kandung ibu,
memiliki kedudukan yang sederajat dan setingkat dengan ibu.Namun
memang, dalam hal pembagian hak waris ada perbedaan yang cukup
signifikan diantara keduanya.Maka dari itu hal ini yang sebenarnya
menarik peneliti untuk membahas lebih lanjut mengenai kedudukan
perempuan dalam hukum waris adat Minangkabau.

B. Identifikasi Masalah

Dalam melakukan penelitian mengenai hak waris pada masyarakat


Minangkabau tentu diperlukan adanya identifikasi masalah yang akan
diteliti sehingga dapat memudahkan penelitian karena dapat terarah dan
sistematis. Dengan adanya identifikasi masalah penelitian juga dapat
dilakukan dengan lebih mendalam.

Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini antara lain:

1. Sistem pembagian waris yang memberikan harta pusaka sepenuhnya


kepada perempuan dalam Masyarakat adat Minangkabau.
2. Kedudukan Perempuan yang sudah diabaikan dalam masyarakat adat
Minangkabau dalam kepemilikin harta pusaka tinggi.
3. Sistem kewarisan Minangkabau yang berdasarkan sistem kewarisan
kolektif.
4. Kedudukan mamak yang tidak lagi berfungsi sebagai mana mestinya
dalam adat Minangkabau.
5. Lelaki merupakan orang yang tidak berhak dalam pembagian hak
waris pusaka.
C. Pembatasan Masalah

Melihat luasnya ruang lingkup yang akan dibahas, dalam hal ini
mengharuskan peneliti membatasi masalah agar lebih terarah. Sehingga
memepermudahkan peneliti dalam mencapai tujuan dan memperoleh
manfaat dari penelitian ini.Dalam hal ini peneliti membatasi masalah pada
bagaimana kedudukan perempuan pada pembagian harta waris pada
masyarakat adat Minangkabau dan bagaimana sistem kewarisanpada
Masyarakat adat Minangkabu.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah
penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan perempuan dalam pemilik sah hak waris pusaka


pada masyarakat adat Minangkabaudibandingkan kedudukan Mamak?
2. Bagaimana sistem kewarisan pada masyarakat adat Minangkabau?

E. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian:
1. Mengetahui kedudukan perempuan pada masyarakat adat
Minangkabau.
2. Mengetahui sistem pewarisan adat yang digunakan dalam hukum waris
adat Minangkabau.

F. Manfaat Penulisan
Dalam penelitian yang akan dilakukan, diharapkan dapat membawa
manfaat, yaitu:

1. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan


pertimbangan bagi setiap orang agar menambah pengetahuan terkait
kedudukan perempuan dalam pembagian harta waris pada masyarakat adat
Minangkabau;
2. Penelitian ini diharapkan dapat sebagai pedoman dalam menentukan
perilaku serta sikap masyarakat memahami masyarakat hukum waris adat;

3. Penelitian juga diharapkan mampu menjadi sumbangan ilmu pengetahuan


dalam rangka upaya meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap
hukum adat dan untuk lebih memahami mengenai hukum waris adat.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

a. Hukum Waris Adat Minangkabau

Chairul (1997: 1) mengatkan bahwa Minangkabau merupakan suku


yang unik karena kehidupan masyarakatnya yang disusun dan
diatur menurut tertib hukum ibu. Mulai dari lingkungan hidup yang
kecil, dari keluarga, sampai kepada lingkungan hidup yang paling
atas yaitu sebuah “nagari” kita dapat melihat bahwa faktor turunan
darah menurut garis “ibu” merupakan faktor yang mengatur
organisasi masyarakatnya, walaupun dalam lingkungan yang
terkahir disebutkan yaitu didalam negeri kita masih menjumpai
adanya faktor pengikat yang lain. Kehidupan yang diatur menurut
tertib hukum ibu itulah yang disebut dalam istilah sehari-hari
sebagai kehidupan menurut adat.

Hukum waris Minangkabau merupakan bagian hukum adat


yang banyak seluk-beluk nya. Pada satu pihak lapangan ini
merupakan kelanjutan yang sesuai dengan tertib susunan menurut
hukum ibu, akan tetap ia mempunyai sangkut paut pula bahkan
bertendensi dipengaruhi hukum waris menurut syarak.

Di Minangkabau harta keluarga dipunyai oleh sebuah


paruik ataupun jurai. Walaupun yang memiliki harta pusaka itu
adalah jurai atau paruik akan tetapi pelaksana kuasanya dipegang
oleh orang yang menjalankan kekuasaan keluarga di dalam
persekutuan hukum itu yaitu orang yang mewakili persekutuan
hukum itu kedalam maupun keluar yaitu oleh mammak. Disamping
itu mammak itu sendiri pun dapat juga memperoleh hak genggam
nan bauntuak setelah disetuji oleh jurai keseluruhannya. Hanya

15
16

perlulah diingat disini bahwa mammak yang memegang


pelaksana kuasa dari harto pusako jurainya bukanlah setiap
mammak (saudara laki-laki dari ibu) akan tetapi hanyalah mammak
yang merupakan orang yang dituakan dari mammak-mammak yang
ada, yang dengan perantaraannya hubungan dengan dunia luar
dilaksanakan. Hingga waktu ini bidang waris masih tetap menjadi
persoalan yang ramai. Pengaruh hukum Islam dalam bidang ini
tampak nyata, sehingga di antara kedua garis itulah berada
pemecahan persoalan-persoalan waris tersebut. Perselisihan-
perselisihan, pertengkaran-pertengkaran, bahkan kadang-kadang
sampai kepada perbuatan-perbuatan yang bersifat pidana; di
Minangkabau sebagian berasal dari bidang waris ini. Azhari (2014:
1) mengatakan pranata hukum waris merupakan salah unsur yang
penting dalam kehidupan masyarakat, terlebih pada masyarakat
adat, karena implikasinya yang bersifat langsung terhadap
kelanggengan sistem sosial, baik pada tataran keluarga, karib
kerabat maupun masyarakat pada umumnya.Masyarakat adat
dalam konteks pasal 18B ayat 2 UURI 1945 adalah dalam
pengertian sebagai anggota atau warga dari kesatuan masyarakat
hukum adat.Kesatuan diartikan sebagai simbol yang menandakan
adanya suatu sistem, yang bergerak dan mengatur berbagai unsur
suatu kesatuan masyarakat hukum adat. (Jamin, 2009: 43)

Sedangkan hukum adat sendiri berarti sebagai sistem


aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia
yang berasal dari adat kebiasaan, yang secara turun-temurun
dihormati dan ditaati oleh masyarakat sebagai tradisi bangsa
Indonesia. (Saputra dan Wirawan, 2015:55)

Menurut Soepomo dalam Akhmad (2014:22) mengatakan


hukum adat waris ialah peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan dan mengoperkan barang-barang harta
benda dan barang yang tidak berwujud benda dari suatu
17

angkatan manusia kepada keturunannya.” Seperti dikutip


Soerojo Wignjodipoero, Ter Haar merumuskan bahwa:
“hukum adat waris adalah peraturan-peraturan hukum yang
bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang
akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan
materiil dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi
berikutnya. Proses ini menurut hukum adat tidak terikat oleh
matinya pewaris dan juga tidak disyaratkan masih hidupnya ahli
waris”.
Menurut Djamali (2001:150) hukum waris adalah
ketentuan-ketentuan yang mengatur nasib kekayaan orang setelah
pemilikinya meninggal dunia.Setelah mengetahui definisi dari
hukum waris, adabaiknya melanjutkan kajian dengan memaparkan
mengenai hukum waris adat.Hadikusuma (2003: 8) memaparkan
mengenai stilah hukum adat, beliau mengatakan bahwa hukum adat
berasal dari kata Arab “Huk’m” yang berarti suruhan atau
ketentuan.Dan “Adah” atau Adat artinya kebiasaan yaitu perilaku
masyarakat yang selalu terjadi.Jadi hukum adat dapat diartikan
sebagai hukum kebiasaan.

Dalam masyarakat Minangkabau orang yang mengatur


mengenai hukum adat jika ada sebuah persengketaan antara
pewaris adalah Mamak.Dalam sistem kekerabatan matrilineal yang
dianut di Minangkabau, mamak-lah yang memegang kedudukan
sebagai Kepala Kaum.Salah satu dari mamak inilah yang
memegang kedudukan sebagai kepala penghulu. Beliau jugalah
yang menjadi pemimpin suku, pelindung bagi semua anggota
kaumnya dan sebagai hakim yang akan memutuskan segala sidang
sengketa diantara semua kemanakannya. Mamak-lah yang harus
didengar dan dihormati dalam lingkungan sukunya.(Irna dan
Dsriani,2006:3). Namun, akhir-akhir ini hampir di semua wilayah
Sumatera Barat sebagai daerah asli suku Minangkabau terdapat
kasus dimana mamak (saudara laki-laki dari pihak ibu)
mendominasi dan mengambil alih beberapa kewenangan strategis
18

yang secara ideal normatif menjadi hak perempuan. (Sasmita,


2011: 84)

A.Qodri Azizy dalam Komari (2015: 158) memberikan


konsepsi secara dinamis bahwa hukum Adat Indonesia ini,
lebih tepat disebut “hukum kebiasaan” (customary law) atau
hukum yang hidup di masyarakat (living law), sedangkan dalam
pengertian yang statis hukum adat adalah kebiasaan atau adat-
istiadat bangsa Indonesia yang telah dijadikan sebuah disiplin dan
dikategorikan secara baku. Demikian juga Sorjono Soekanto
juga mengatakan bahwa pada hakekatnya hukum Adat
merupakan hukum kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan yang
mempunyai akibat hukum (seinsollen), berbeda dengan
kebiasaan-kebiaaan belaka, kebiasaan yang merupakan adat
adalah perbuatan-perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk
yang sama.
Dalam adat Minangkabau dikenal yang namanya
persekutuan hukum adat (Keluarga Minang/Paruik).Sairin (2002)
mengatakan bahwa Minangkabau adalah sebutan untuk sebuah
kelompok masayarakat yang mendiami sebahagian besar daerah
Sumatera Barat yang memanjang dari utara keselatan diantara
samudera Indonesia dan gugusan bukit barisan.Salah satu ciri yang
sering dilekatkan pada masyarakatnya adalah kehidupan mereka
yang dinamis. (Yerri, 2007:164-165).

Secara hirarkhis, terdapat lima generasi (limo kali turun)


garis ibu dalam Keluarga Minang (paruik) yaitu: (1) Puyang (ibu
dari moyang), (2) Moyang (ibu dari nenek), (3) Nenek (ibu
dari ibu), (4) Ibu dan (5) Anak itu sendiri. Secara
organisasional paruik terdiri dari jurai-jurai atau gabungan jurai-
jurai. Dalam hal ini suami tidaklah dihitung sebagai anggota
keluarga minang. (Yunus, 2013: 23-24)
19

Hal ini juga yang menyebabkan laki-laki di Minangkabau


tidak memiliki hak atas harta (property). Dampak positif dari
fenomena ini adalah banyaknya laki laki yang pergi dari
kampung halamannya untuk merantau dengan dalih ekonomi.
Meskipun menurut Mochtar Naim (1984: 249-250) banyak
faktor yang menyebabkan laki-laki Minangkabau merantau,
antara lain: faktor fisik (alam), pendidikan, politik, daya tarik
kota dan sebagainya,.
Di sisi lain, bagi laki-laki yang telah berkeluarga
(mempunyai anak dan isteri), tidak begitu canggung dan ragu-
ragu bagi mereka untuk meninggalkan keluarga. Karena isteri
dan anak-anak yang mereka yang ditinggalkan mampu dan
bisa survive dengan harta pusaka isteri mereka di kampung
halamannya. Perempuan Minang yang di tinggalkan oleh
suaminya baik karena cerai maupun meninggal dunia, jarang
mau menikah kembali, kecuali bagi mereka yang belum
mempunyai keturunan atau anak. Bagi perempuan yang sudah
memiliki anak, mereka lebih memilih sebagai single parent.
Tidak jarang, perempuan Minangkabau sebagai single parent
cukup berhasil dalam mendidik anak-anaknya. Hal ini tentu
tidak terlepas jika dihubungkan dengan sistem matrilineal itu
sendiri, dimana anak-anak menjadi jauh lebih dekat kepada
ibunya. (Fatimah, 2012 : 17-18).
Dalam konteks hukum adat menurut Soepono, (dalam
Tutik, 1998: 248-249) hukum waris adalah sekumpulan hukum
yang mengatur proses pengoperan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya. Adapun Van Dijk berpandangan, bahwa hukum waris
menurut hukum adat adalah suatu kompleks kaidah-kaidah yang
mengatur proses penerusan dan pengoperan daripada harta baik
materiil maupun immateriial dari geenrasi ke genarasi berikutnya.
Dari definisi ini memberikan penjelasan bahwa istilah waris
didalam hukum waris adat termuat 3 inti penting, yaitu: (1) proses
20

pengoperan atau hibah (warisan); (2) harta benda materiil dan


immateriil; dan (3) satu generasi ke generasi selanjutnya.
Menurut M.M. Djojodigoeno (dalam Komari, 2015: 159)
hukum waris adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada
peraturan-peraturan. C. Van Vollenhoven juga mengungkakan
bahwa hukum waris adat adalah hukum yang tidak bersumber
kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia
Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi
sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.

Dari beberapa penjelasan yang terdapat diatas kami


menyimpulkan bahwa hukum adat adalah suatu bentuk aturan yang
diambil dari kebiasaan orang-orang terdahulu yang diwarisi secara
turun-temurun.Karena secara turun-temurun aturan ini sifatnya
tidak tertulis.Dan hukuman yang diberikan akibat pelanggaran
hukum adat biasanya diberikan sesuai kesepakatan masyarakat adat
itu sendiri.

b. Sistem Kewarisan

Dalam pelaksanaan hukum kewarisan pada masyarakat


Minangkabau mengguanakan garis keturunan ibu (matrilineal).
Matrinileal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa latin) yang
berarti “ibu”, dan linea (bahasa latin) yang berarti “garis”. Jadi,
matrilinial berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari
pihak ibu. (Yazid, 2014: 137)

Kedudukan perempuan dalam sistem kewarisan


Minangkabau sangtlah penting. Dikatakan penting karena
perempuan-perempuan Minangkabau diharapkan dapat menjaga
keseimbangan hubungan baik dengan kaum kerabat (Bundo
Kandung) dan dapat menjadi tumpuan bagi keluarga di rumah
(limpapeh rumah nan gadang). Keistimewaan lain yang dimiliki
perempuan Adat Minangkabau adalah ia dapat bertindak sendiri
21

dalam perkara pengadilan, untuk membela kepentingan pribadinya.


(Rosnida, 1988: 49)

Menurut Soekanto (2005: 260) ketentuan Hukum Adat


secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem hukum waris Adat
terdiri dari tiga sistem, yaitu :

1. Kewarisan Individual
Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan adalah
sistem kewarisandimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian
untuk dapat menguasai danatau memiliki harta warisan menurut
bagiannya masing-masing.
2. Kewarisan Kolektif
Sistem kewarisan kolektif, harta peninggalan diteruskan dan
dialihkankepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris sebagai
kesatuan yang tidakterbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya.
Ahli waris berhak untukmengusahakan, menggunakan atau
mendapat hasil dari harta peninggalan itu.Harta peninggalan
tersebut merupakan milik bersama (komunal) dari segenapahli
warisnya, oleh karenanya tidak dapat dimiliki oleh perseorangan.
3. Kewarisan Mayorat
Sistem kewarisan mayorat memiliki kesamaan dengan konsep
kewarisankolektif, tetapi perbedaannya terletak pada pemusatan
penguasaan pada anaktertua sebagai pengganti orang
tua.Kedudukan anak tertua pada kewarisanmayorat hanya sebagai
penguasa dalam artian hanya menguasai hartapeninggalan orang
tua yang diamanatkan kepadanya, ia bukanlah pemilik harta
tersebut secara perseorangan.
Marina dan Sukarmini (2009:519) mengungkapkan bahwa
secara mendasar ada 3 unsur pokok dalam konsep hukum
kewarisan yaitu: adanya harta peninggalan atau kekayaan pewaris
yang disebut warisan, adanya pewaris yaitu orang yang menguasai
atau memiliki harta warisan, adanya ahli waris yaitu orang yang
22

menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian harta


warisan.

Pada masyarakat adat Minangkabau menggunakan sistem


kewarisan kolektif dan tidak mengenal yang namanya sistem
kewarisan perseorangan.Ter Haar memberikan contoh dalam
bukunya (1999:204) bilamana di Minangkabau ada seorang
perempuan mati yang mempunyai sawah sebagai milik
perseorangan, maka sawah itu menjadi milik bersama.Dan harta ini
disebut sebagai harta pusaka yang diturunkan kepada
kemenakan.Ketentuan atau peraturan tentang harta pusaka yang
diturunkan kepada kemenakan tersebut masih berlaku hingga kini.
(Zuriati, 2007: 128)

B. Kerangka Berpikir

Penelitian ini dibangun dengan landasan teoritis dan analisis agar


mampu secara menyeluruh memahami dan menjelaskan fenomema terkait
tema penelitian dan objek yang diteliti. Untuk itu, kerangka pemikiran
dalam penelitian disusun dari sejumlah konsepnya antara lain yaitu
pengertian hukum waris adat, pengertian sistem kewarisan, kedudukan
perempuan pada masyarakat adat Minangkabau, pelaksanaan pembagian
harta warisan dalam masyarakat adat Minangkabau.

Menurut analisis kami hukum waris adat merupakan peralihan


harta kekayaaan dari peninggalan pewaris yang telah wafat dalam bertuk
materiil atau immateriil yang penentuannya berdasarkan peraturan-
peraturan maupun norma pada hukum adat tersebut dan akan diserahkan
kepada pihak-pihak garis keturunannya.Pada masyarakat adat di daerah
minangkabau secara teoritis memakaisistem matrilineal, yaitu sistem yang
menarik garis keturunan melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga
dijumpai seorang perempuan sebagai moyangny
BAB III

METODOLOGI

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif


kuantitatif, karena penelitian ini mengembangkan data dari objek yang
diteliti. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah memberikan pernyataan dengan beberapa pilihan alternatif jawaban
bagi responden.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan diKota Medan Kecamatan Medan


Denai. Menurut peneliti di Desa ini belum ada yang melakukan penelitian
yang sama mengenai Hukum Waris Adat Minangkabau.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang didalamnya
terdapat sejumlah subjek yang akan disajikan sebagai sumber data yang
diharapkan dapat memberikan data-data yang dibutuhkan oleh peneliti.
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah sekumpulan
masyarakat yang berada diKecamatan Medan Denai.
2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang dianggap bisa


mewakili seluruh populasi.Dan sampel yang digunaka adalah beberapa
keluarga masyarakat kecamatan Medan Denai yang bersuku Minangkabau.

D. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memeperoleh data yang diperlukan dalam penelitian


Kedudukan Perempuan Sebagai Ahli Waris dalam Pembagian Hak Waris
di Lihat dari Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Adat Minangkabau.

23
Pada penelitian ini peneliti mengguanakan alat pengumpulan data
dengan survei kelapangan.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah


angket, yaitu memberikan jawaban secara tertulis dan dilengkapi dengan
alternatif jawaban kepada responden yang dianggap dapat melengkapi
penelitian itu dengan berbagai pertanyaan tentang penelitian yang
dilakukan.

E. Teknik Analisis Data

Analisis adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan.


Teknis analisis data bertujuan untuk mengolah data agar penelitian dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya. Untuk menganalisis data yang
terkumpul penulis menggunakan tabel frekuensi atau analisis data mix
metod yaitu:
𝐟
P= 𝐍 x 100%

Keterangan:
P = Presentase pertanyaan yang dijawab Responden;
f = Frekuensi jawaban/jumlah responden yang menjawab;
N = Jumlah responden.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Perangin, Efendi. 2011. Hukum Waris. Rajawali Pers. Jakarta.

Simanjuntak, P.N.H. 2015.Hukum Perdata Indonesia.Kencana. Jakarta.

Wiranata, I Gede A.B. 2005.Hukum Adat Indonesia Perkembangannya Dari


Masa Kemasa.PT. Citra Aditya bakti. Bandung.

Manan, Abdul dan Fauzan. 2001. Pokok-Pokok Hukum Perdata.PT.Raja


Grafindo Persada.Jakarta.

Anwar, Chairul. 1997. Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat


Minangkabau. Rineka Cipta.Jakarta.

Djamali, R. Abdoel. 2001. Pengantar Hukum Indonesia.PT.Raja Grafindo


Persada.Jakarta.

Hadikusuma, Hilman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Mandar


Maju. Bandung.

Tutik, Titiek Triwulan. 1998. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum


Nasional.Kencana. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 2005. Hukum Adat Indonesia.PT. Raja Grafindo


Persada.Jakarta.

Bzn, Ter Haar. 1998. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. PT. Pranadya
Paramita. Jakarta.

Rosnida, dkk. 1988. Kedudukan Dan Peranan Wanita Dalam Kebudayaan Suku
Bangsa Di Minangkabau. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Kebudayaan

Putra, Yerri.S. 2007. Minangkabau Dipersimpangan Generasi. Fakultas Sastra


Universitas Andalas. Padang.
Zuriati. 2007. Undang-Undang Minangkabau dalam Perspektif Ulama Sufi.
Insist Press. Padang.

Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda. PT.
Intermasa.Jakarta.

Jamin, Mohammad. 2007. Peradilan Adat. Graha Ilmu.Yogyakarta.

JURNAL:

Asy-Syari‘ah. 2015.Eksistensi Hukum Waris di Indonesia: Antara Adat dan


Syariat . KomariVol. 17. Hal.158

Fatimah, Siti. 2012. Gender Dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau;


Teori, Praktek Dan Ruang Lingkup Kajian. IlmiahKajian Gender.
Hal.17-18

Harries, Akhmad. 2014. Analisis Tentang Studi Komparatif Antara Hukum


Kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Adat. Fenomena, Vol 6.Hal.
22

Marina, Liza. 2009. Perbedaan Perspektif Keadilan tentang Pembagian Harta


Warisan Menurut Hukum Islam, Hukum Perdata Barat, dan
Hukum Adat. Hukum Supremasi. Vol.3. Hal.

Minauli, Irna dkk.2006. Perbedaan Penanganan Kemarahan Pada Situasi


Konflik dalam Suku Jawa, Batak, dan
Minangkabau.Psikologika.Vol. 2.Hal. 3
Saputra, Arwin Rio dan Bintang Wiranwan. 2015. Persepsi Masyarakat
Semende Terhadap Pembagian Harta Warisan Dengan Sistem
Tunggu Tubang.Sosiologi.Vol.15. Hal. 55

Sasmita, Siska .2011. Peran Perempuan Suku Minangkabau yang Menjadi


Kepala Keluarga (Pekka) bagi Penciptaan Ketahanan Pangan
Rumah Tanggadi Kecamatan Padang Timur.Vol. 10.Hal. 84

Tarigan, Azhari Akmal. 2014. Pelaksanaan Hukum Waris di Masyarakat Karo


Muslim Sumatera Utara.Ahkam: Vol. 14. Hal. 1

Yazid, Tantri Puspita. 2014. Representasi Perempuan Minangkabau Dalam


Lirik Lagu Si Nona.PARALLELA.Vol. 1.Hal.137

Yunus, Yasril. 2013. Aktor Kultural Dalam Pemerintahan Terendah Di


Sumatera Barat (Posisi Ninik Mamak Dalam Struktural Adat dan
Penyelenggaraan Pemerintahan Formal).Humanus Vol.12 Hal. 23-24

Anda mungkin juga menyukai