Anda di halaman 1dari 14

Fakultas Kedokteran Laporan Tutorial

Universitas Alkhairaat Palu, 20 November 2014

SISTEM NEUROPSIKIATRI
MODUL 3
SUSAH TIDUR

Disusun Oleh:
Nama : Rahmatia Anwar
Stambuk : 12 777 014
Kelompok : II (Dua)
Pembimbing : dr. A. Soraya Tenri Uleng, M.Kes, Sp.KJ
dr. Intje Norma

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. Skenario 2
Seorang wanita 31 tahun, ibu rumah tangga datang ke poliklinik dengan
keluhan susah tidur. Selain itu ia juga mengeluh sesak nafas, jantung berdebar-
debar ,serta leher tegang. Ia juga mengeluhkan pada banyak hal walaupun
sudah berusaha mengontrolnya ini dialami sejak beberapa tahun terakhir.

B. Kata kunci
1. Wanita, 31 tahun
2. Susah tidur
3. Sesak napas
4. Jantung berdebar
5. Leher tegang
6. Sejak beberapa tahun terakhir
BAB II
PEMBAHASAN

DEPRESI (GANGGUAN AFEKTIF)

A. Definisi
Depresi merupakan gangguan mental yang serius yang ditandai dengan
perasaan sedih dan cemas. Gangguan ini biasanya akan menghilang dalam
beberapa hari tetapi dapat juga berkelanjutan yang dapat mempengaruhi
aktivitas sehari-hari (National Institute of Mental Health, 2010).
Depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan munculnya
gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan
bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi, dan
penurunan konsentrasi (World Health Organization, 2010).

B. Epidemiologi
Populasi dewasa dengan depresi sangat berbeda dari populasi dewasa
tanpa gejala depresi. Populasi dengan depresi terdiri dari dewasa muda
dengan jumlah yang cukup besar, wanita, dan single serta seseorang
dengan pendapatan rendah, dibandingkan dengan populasi tanpa depresi.
Pada saat setelah pubertas resiko untuk depresi meningkat 2-4 kali
lipat, dengan 20% insiden pada usia 18 tahun. Perbandingan gender saat
anak-anak 1:1, dengan peningkatan resiko depresi pada wanita setelah
pubertas, sehingga perbandingan pria dan wanita menjadi 1:2. Hal ini
berhubungan dengan tingkat kecemasan pada wanita tinggi, perubahan
estradiol dan testosteron saat pubertas, atau persoalan sosial budaya yang
berhubungan dengan perkembangan kedewasaan pada wanita. 7 Depresi
sering terjadi pada wanita dengan usia 25-44 tahun, dan puncaknya pada
masa hamil. Faktor sosial seperti stres dari masalah keluarga dan
pekerjaan. Hal ini disebabkan karena harapan hidup pada wanita lebih
tinggi, kematian pasangan mungkin juga menyebabkan angka yang tinggi
untuk wanita tua mengalami depresi.
(Depression a treatable disease in National Academy on an Aging Society.
[july 2000]. Available from: http://www.agingsociety.org)

C. Etiologi
1. Faktor biologis
Banyak penelitian menjelaskan adanya abnormalitas biologis pada
pasien-pasien dengan gangguan mood. Pada penelitian akhir-akhir ini,
monoamine neurotransmitter seperti norephinefrin, dopamin, serotonin,
dan histamin merupakan teori utama yang menyebabkan gangguan
mood (Kaplan, et al, 2010).
2. Biogenic amines
Norephinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang
paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood.
a. Norephinefrin
Hubungan norephinefrin dengan gangguan depresi berdasarkan
penelitian dikatakan bahwa penurunan regulasi atau penurunan
sensitivitas dari reseptor α2 adrenergik dan penurunan respon
terhadap antidepressan berperan dalam terjadinya gangguan depresi
(Kaplan, et al, 2010).

b. Serotonin
Penurunan jumlah dari serotonin dapat mencetuskan terjadinya
gangguan depres, dan beberapa pasien dengan percobaan bunuh diri
atau megakhiri hidupnya mempunyai kadar cairan cerebrospinal
yang mengandung kadar serotonin yang rendah dan konsentrasi
rendah dari uptake serotonin pada platelet (Kaplan, et al, 2010).

Penggunaan obat-obatan yang bersifat serotonergik pada


pengobatan depresi dan efektifitas dari obat-obatan tersebut
menunjukkan bahwa adanya suatu teori yang berkaitan antara gangguan
depresi dengan kadar serotonin (Rottenberg, 2010).

3. Gangguan neurotransmitter lainnya


Ach ditemukan pada neuron-neuron yang terdistribusi secara menyebar
pada korteks cerebrum. Pada neuron-neuron yang bersifat kolinergik
terdapat hubungan yang interaktif terhadap semua sistem yang
mengatur monoamine neurotransmitter. Kadar choline yang abnormal
yang dimana merupakan prekursor untuk pembentukan Ach ditemukan
abnormal pada pasien-pasien yang menderita gangguan depresi
(Kaplan, et al, 2010).

4. Faktor neuroendokrin
Hormon telah lama diperkirakan mempunyai peranan penting dalam
gangguan mood, terutama gangguan depresi. Sistem neuroendokrin
meregulasi hormon-hormon penting yang berperan dalam gangguan
mood, yang akan mempengaruhi fungsi dasar, seperti : gangguan tidur,
makan, seksual, dan ketidakmampuan dalam mengungkapkan perasaan
senang. 3 komponen penting dalam sistem neuroendokrin yaitu :
hipotalamus, kelenjar pituitari, dan korteks adrenal yang bekerja sama
dalam feedback biologis yang secara penuh berkoneksi dengan sistem
limbik dan korteks serebral (Kaplan, et al, 2010).
5. Abnormalitas otak
Studi neuroimaging, menggunakan computerized tomography (CT)
scan, positron-emission tomography (PET), dan magnetic resonance
imaging (MRI) telah menemukan abnormalitas pada 4 area otak pada
individu dengan gangguan mood. Area-area tersebut adalah korteks
prefrontal, hippocampus, korteks cingulate anterior, dan amygdala.
Adanya reduksi dari aktivitas metabolik dan reduksi volume dari gray
matter pada korteks prefrontal, secara partikular pada bagian kiri,
ditemukan pada individu dengan depresi berat atau gangguan bipolar
(Kaplan, et al, 2010).

D. Faktor Resiko
1. Jenis Kelamin
Secara umum dikatakan bahwa gangguan depresi lebih sering terjadi
pada wanita dibandingkan pada pria. Pendapat-pendapat yang
berkembang mengatakan bahwa perbedaan dari kadar hormonal wanita
dan pria, perbedaan faktor psikososial berperan penting dalam
gangguan depresi mayor ini (Kaplan, et al, 2010).
2. Umur
Depresi dapat terjadi dari berbagai kalangan umur. Serkitar 7,8% dari
setiap populasi mengalami gangguan mood dalam hidup mereka dan
3,7% mengalami gangguan mood sebelumnya. (Weissman et al, (1991)
dalam Barlow (1995)).

E. Diagnosis
Pedoman diagnosis menurut PPDGJ III
a. Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat) :
 Afek depresif
 Kehilangan minat dan kegembiraan
 Berkurang energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan aktivitas
menurun.
b. Gejala lainnya :
 Konsentrasi dan perhatian kurang
 Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
 Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
 Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
 Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
 Gangguan tidur
 Nafsu makan berkurang
c. Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut
diperlukan masa sekurangkurangnya dua minggu untuk penegakan
diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala
luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
d. Kategori diagnosis episode depresif ringan , sedang, dan berat hanya
digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode
depresif berikutnya harus diklasifikasi pada salah satu diagnosis
gangguan depresi berulang.
1) Episode Depresif Ringan
Pedoman diagnosis:
 Sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala utama depresi
seperti tersebut diatas
 Ditambah sekurang-kurangnya dua dari gejala lainnya
 Tidak boleh ada gejala yang berat
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar
dua minggu
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang
biasa dilakukannya
 Dapat dengan gejala somatik atau tanpa gejala somatik
2) Episode Depresi Sedang
Pedoman diagnosis :
 Sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala utama depresi
seperti pada episode ringan
 Ditambah sekurang-kurangnya ada tiga (dan sebaiknya empat) dari
gejala lainnya
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar dua
minggu
 Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga
 Dapat dengan gejala somatik atau tanpa gejala somatik

3) Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik


Pedoman diagnosis :
 Semua gejala utama depresi harus ada
 Ditambah sekurang-kurangnya empat dari gejala lainnya dan
beberapa diantaranya harus berintensitas berat
 Bila ada gejala penting (misalya agitasi atau retardasi psikomotor)
yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejala secara rinci. Sehingga penilaian
secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat
dibenarkan.
 Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya
dua minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat
cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakan diagnosis dalam
kurun waktu kurang dari dua minggu
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan
sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga kecuali pada taraf yang
sangat terbatas.
4) Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
Pedoman diagnosis :
 Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut episode
depresif berat tanpa gejala psikotik
 Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
memperlihatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka
yang mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal
itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging busuk.
 Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju stupor.

F. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan secara biologis
1. Tricyclic Antidepressants
Obat ini membantu mengurangi gejala-gejala depresi dengan
mekanisme mencegah reuptake dari norephinefrin dan serotonin di
sinaps atau dengan cara megubah reseptor-reseptor dari
neurotransmitter norephinefrin dan seroonin. Obat ini sangat efektif,
terutama dalam mengobati gejala-gejala akut dari depresi sekitar
60% pada individu yang mengalami depresi. Tricyclic
antidepressants yang sering digunakan adalah imipramine,
amitryiptilene, dan desipramine (Reus V.I., 2004).
2. Monoamine Oxidase Inhibitors
Obat lini kedua dalam mengobati gangguan depresi mayor adalah
Monoamine Oxidase Inhibitors. MAO Inhibitors menigkatkan
ketersediaan neurotransmitter dengan cara menghambat aksi dari
Monoamine Oxidase, suatu enzim yang normalnya akan
melemahkan atau mengurangi neurotransmitter dalam sambungan
sinaptik (Greene, 2005).
MAOIs sama efektifnya dengan Tricyclic Antidepressants tetapi
lebih jarang digunakan karena secara potensial lebih berbahaya
(Reus V.I., 2004).
3. Selective Serotonine Reuptake Inhibitors and Related Drugs
Obat ini mempunyai struktur yang hampir sama dengan Tricyclic
Antidepressants, tetapi SSRI mempunyai efek yang lebih langsung
dalam mempengaruhi kadar serotonin. Pertama SSRI lebih cepat
mengobati gangguan depresi mayor dibandingkan dengan obat
lainnya. Pasien-pasien yang menggunakan obat ini akan
mendapatkan efek yang signifikan dalam penyembuhan dengan obat
ini. Kedua, SSRI juga mempunyai efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat-obatan lainnya. Ketiga, obat ini tidak
bersifat fatal apabila overdosis dan lebih aman digunakan
dibandingkan dengan obat-obatan lainnya. Dan yang keempat SSRI
juga efektif dalam pengobatan gangguan depresi mayor yang disertai
dengan gangguan lainnya seperti: gangguan panik, binge eating,
gejala-gejala pramenstrual (Reus, V.I., 2004).
4. Terapi Elektrokonvulsan
Terapi ini merupakan terapi yang paling kontroversial dari
pengobatan biologis. ECT bekerja dengan aktivitas listrik yang akan
dialirkan pada otak. Elektroda-elektroda metal akan ditempelkan
pada bagian kepala, dan diberikan tegangan sekitar 70 sampai 130
volt dan dialirkan pada otak sekitarsatu setengah menit. ECT paling
sering digunakan pada pasien dengan gangguan depresi yang tidak
dapat sembuh dengan obat-obatan, dan ECT ini mengobati gangguan
depresi sekitar 50%-60% individu yang mengalami gangguan
depresi (Reus, V.I., 2004).

b. Pengobatan secara psikologikal


1. Terapi Kognitif
Terapi kognitif merupakan terapi aktif, langsung, dan time limited
yang berfokus pada penanganan struktur mental seorang pasien.
Struktur mental tersebut terdiri ; cognitive triad, cognitive schemas,
dan cognitive errors (C. Daley, 2001).
2. Terapi Perilaku
Terapi perilaku adalah terapi yang digunakan pada pasien dengan
gangguan depresi dengan cara membantu pasien untuk mengubah
cara pikir dalam berinteraksi denga lingkungan sekitar dan orang-
orang sekitar. Terapi perilaku dilakukan dalam jangka waktu yang
singkat, sekitar 12 minggu (Reus, V.I., 2004).
3. Terapi Interpersonal
Terapi ini didasari oleh hal-hal yang mempengaruhi hubungan
interpersonal seorang individu, yang dapat memicu terjadinya
gangguan mood (Barnett & Gotlib, 1998: Coyne, 1976).
Terapi ini berfungsi untuk mengetahui stressor pada pasien yang
mengalami gangguan, dan para terapis dan pasien saling bekerja
sama untuk menangani masalah interpersonal tersebut (Barlow,
1995).
DEPRESI DAN GANGGUAN TIDUR
Etiologi depresi yang dapat dihubungkan dengan gangguan tidur adalah
terganggunya neurotransmiter serotonin. Serotonin berperan dalam
pengontrolan afek, agresivitas, tidur, dan nafsu makan. Neuron serotoninergik
berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak ke korteks serebri,
hipotalamus, ganglia basalis, septum, dan hipokampus. Proyeksinya ke tempat-
tempat ini mendasari keterlibatannya pada gangguan psikiatrik. Ada sekitar 14
reseptor serotonin, namun satu transmiter saja dapat memberikan efek ke
seluruh otak. Percobaan yang dilakukan pada tikus menunjukkan gangguan
pada 5-ht7 dapat mengurangi perilaku depresif dan penurunan durasi REM.
Gangguan regulasi hormon dapat menyebabkan depresi yaitu Cortical-
Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Cortical Axis (CHPA). Mekanisme normalnya
adalah adanya pengalaman buruk sehari-hari akan dicatat dalam korteks serebri
dan sistem limbik sebagai stresor. Bagian otak ini akan mengirim pesan ke
tubuh untuk mempersiapkan diri mengatasi stresor tersebut. Target organnya
adalah kelenjar adrenal. Kelenjar ini akan mensekresikan kortisol untuk
mempertahankan hidup. Kortisol berfungsi dalam mengatur tidur, nafsu makan,
fungsi ginjal, sistem imun, dan semua faktor penting dalam kehidupan. Kadar
kortisol turun pada saat malam sebelum tidur, sedangkan pada saat bangun pagi
akan meningkat sehingga kita bisa bangun dengan segar. Peningkatan kortisol
akan menyebabkan mekanisme umpan balik ke hipotalamus untuk mengurangi
sekresi Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) dan ke kelenjar hipofisis
anterior untuk mengurangi sekresi Adenocorticotrophin Hormone (ACTH).
Sistem CRH merupakan sistem yang paling terpengaruh oleh stresor yang
dialami seseorang pada awal kehidupannya. Stresor yang berulang akan
menyebabkan peningkatan sekresi CRH dan penurunan sensitivitas reseptor
CRH adenohipofisis. Sehingga pada akhirnya sekresi kortisol juga terganggu.
Stresor pada awal kehidupan ini dapat menyebabkan perubahan yang menetap
pada sistem neurobiologik atau dapat membuat jejak pada sistem saraf yang
berfungsi merespon stresor tersebut. Akibatnya seseorang akan rentan terhadap
stresor dan risiko penyakit yang berkaitan dengan stresor menjadi meningkat.
Salah satunya depresi pada saat dewasa.
DAFTAR PUSTAKA

Sadock BJ, Sadock VA, 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis edisi

2. EGC, Jakarta.

Elvira SD, Hadisukanto G, 2010, Buku Ajar Psikiatri, Badan Penerbit FKUI,

Jakarta.

Ganong, W. F., 2000. Fisiologi Kedokteran, terjemahan Adrianto, P., Buku

Kedokteran EGC, Jakarta

Guyton, A.C., dan Hall, J.E., 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Alih bahasa:

Setiawan, I. dan Santoso, A., Penerbit Buku Kedokteran EGC

Jakarta

Mardjono,M.2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat

Maslim R, 2001, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari

PPDGJ-III, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta.

Japardi, Iskandar.2002. Gangguan Tidur. Fakultas USU.

Patlak, M. 2005. Your Guide to Healthy Sleep.U.S. Departement of health and

human Services

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan

Praktik. Edisi 4. Vol 1. Jakarta:EGC


Smith & Segal. 2010. Hoe Much Sleep do You Need? Sleep Cycles & stages, lack

of Sleep, and Getting The Hours You Need.

http://helpguide.org/life/sleeping.htm.

Yosep, I, 2010, Keperawatan Jiwa, Refika Aditama, Bandung.

Amir N. Aspek Neurobiologi Molekuler Depresi. JIWA. 2004;XXXVII:2

Anda mungkin juga menyukai