Anda di halaman 1dari 2

Suatu pagi saya pergi mengambil pesanan bubur untuk anak saya yang masih 1,5 tahun.

Pulang dari
tempat jualan bubur, istri saya meminta untuk mampir ke tukang jualan snack. Mau cari makanan
ringan untuk anak kami yang lagi doyan banget ngemil. Dengan pertimbangan kalau beli di agen
pasti lebih murah. Jadi bisa lebih meghemat. Meskipun kalau dihitung-hitung bedanya juga tidak
terlalu signifikan. Tapi ya lumayan aja.

Di samping toko snack dulu adalah percetakan. Pernah beberapa kali saya melihat mereka mencetak
sejenis LKS [Lembar Kerja Siswa] buat sekolah. Lebih tepatnya, mungkin, buat lembaga yang
memesan untuk mencetak buku, tidak pasti dari sekolah juga order mereka datang. Dulu, sebelah
percetakan itu ada warnet [warung internet]. Seprtinya dua usaha di dua ruko yang berbeda, tapi
bersebelahan itu, adalah usaha dengan pemilik yang sama. Wah, hebat ya. Bisa punya dua usaha di
tempat yang bersebelahan. Jadi mudah untuk mengontrolnya.

Tapi itu dulu. Usaha warnetnya lebih dulu almarhum, seiring perkembangan smartphone yang
semakin luarbiasa. Orang jadi tidak perlu lagi pergi ke warnet untuk berselancar, main game online
dan kegiatan lain yang dikerjakan dengan memakai koneksi internet. Sekarang semua orang bisa
mengakses internet dalam genggamannya. Maka, tutuplah itu warnet.

Pagi ketika saya mampir ke toko snack itu ruko sebelah juga sudah tidak lagi jadi percetakan. Bisa
jadi tutup juga. Atau paling tidak dia pindah lokasi. Tapi kemudian di pintu rukonya yang tutup itu
tertempel dua poster ‘Dijual Cepat’ dengan nomor telpon di bawahnya. Saya menerka itu pasti
pemiliknya yang menempel poster itu dan nomor telpon yang tercantum tentu nomor telpon
pemiliknya. Tapi adayang ganjil dengan poster itu. Nomor telponnya tidak lagi utuh. Ada bagian
angka yang dihilangkan dengan merobek poster itu. Dan tentu itu adalah langkah yang disengaja.
Kemudian ada tulisan dengan pilox, ‘Sitaan Bag. Jaminan Bank XXX’.

Saya coba menerka dengan membaca tanda-tanda yang tersisa. Jadi, menurut pembacaan saya, ruko
tersebut merupakan jaminan bank. Dijaminkan oleh pemiliknya, tentu saja. Anggap saja pemiliknya
adalah pemilik usaha percetakan tadi. Karena gagal bayar, kemudian ruko yang menjadi jaminan
tadi disita bank. Dan ketika pemiliknya berusaha untuk menyelesaikan masalahnya dengan menjual
ruko tersebut, dan kemudia melunasi hutangnya di bank dari uang hasil penjualan tersebut. Tapi,
pihak bank tidak menghendaki langkah yang diambil pihak pemilik. Jadilah petugasnya merobek
nomor pemilik yang ditempel di poster di atas. Sehingga kalau ada yang berminat, maka mereka
bisa langsung meghubungi bank, bukan pemilik. Ini apa artinya

bank pasti meminjamkan uang di bawah harga jual ruko tersebut. Dengan pertimbangan bank akan
menjaga posisinya tetap aman. Maksudnya. Kalau terjadi gagal bayar, bank bisa saja menjual aset
yang dijaminkan. Karena uang yang dia pinjamkan dulu di bawah harga jual ruko tersebut, jadi
bank gampang saja menjualnya. Bahkan dia bisa jual di bawah harga pasar juga. Tapi pasti di atas
jumlah nominal yang dia pinjamkan. Dengan demikian bank dalam posisi PASTI untung dan
pemilik ruko yang menjaminkan rukonya dalam posisi PASTI RUGI. Kenapa bisa begitu. Pertama,
pemilik sudah pasti megembalikan uang yang dipinjam dengan bunga yang tidak rendah. Apalagi
bank swasta [umumnya menawarkan kemudahan di awal, tapi dengan bunga yang besar dan
biasanya akhirnya memastikan win solution, bukan win-win solution ya]. Kedua, jika gagal bayar.
Maka pemilik ruko akan kehilangan asetnya. Uang yang didapat dari bank dulu tidak senilai dengan
harga jual asetnya. Ketiga gagal bayar, biasanya skemanya aset yang dijaminkan disita dan menjadi
milik atau hak bank untuk mengelolanya. Biasanya bank juga tidak mau memiliki aset itu berlama-
lama. Maka setelah itu bank akan menjual aset tersebut. Sudah pasti untung, karena pemilik ruko
sudah mencicil, kemudian asetnya diambil. Ketika dijual pasti megikuti harga pasar. Maka bank
untung dari cicilan dan hasil jual ruko.
Saya miris dan kasihan. Sepertinya bank hanya ‘memperalat saja’. Dan posisi nasabah dalam posisi
yang pasti rugi. Kalau begitu solusinya pinjam saja ke bank syariah. Hmmm, betulkah ini solusi.
Saya tidak melihatnya sebagai solusi. Dari seorang ustadz erwandi saya tahu banyak bank syariah
membuat akad yang seolah-olah syariah. Pinjam-meminjam dengan memberikan kelebihan yang
dibuatkan perjanjian di awal adalah riba [lebih detilnya dan dalil-dalilnya bisa dicari sendiri ya]. Ini
juga saya alami sendiri. Saya meminjam dari baitul maal untuk keperluan renovasi rumah.
Kemudian saya harus mencicil setiap bulannya dan dihitung-hitung pasti saya membayar lebih.
Akadnya mereka menitip modal usaha. Kemudian, dari ‘usaha’ itu kita bagi hasil. ‘Usaha’-nya tentu
tidak ada. Karena saya meminjam uangnya untuk renovasi rumah. Jadi bagi hasil yang kita bagi itu
apa. Inilah mungkin yang dimaskud Ustadz Erwandi sebagai perbuatan mengelabui, seolah-olah
syariah padahal sama saja dengan konvensional.

Kemudian bagi hasilnya juga tetap, bukan prosentasenya. Tapi nominal bagi hasilnya. Bukankah
dalam usaha lebih pasti naik turunnya, dan tidak stabil. Bayangan saya, dalam usaha, mungkin satu
bulan untung 80 persen, misalnya. Bulan depannya bisa lebih tinggi, bisa juga jauh lebih kurang
dari bulan sebelumnya atau bahkan malah tidak untung. Apa bedanya posisi saya dengan pemilik
ruko di atas yang pinjam dari bank konvensional. Sama-sama PASTI rugi, bukan. Dan posisi
peminjam, sama-sama PASTI untung, kan. Apakah ada bedanya. Tentu saja ada. Hmmm...klo
begitu. Semoga ini pinjaman terakhir. Semoga Allah memudahkan saya mendapatkan rejeki dan
uang yang buanyaaaaak dan barokah. Amien. Karena sudah terlanjur, dengan itikad baik saya
selesaikan hutang-hutang riba saya. Sambil mohon ampun, beristigfar. Dan tidak lagi menambahnya
dengan catatan hutang ribawi yang baru lagi. Amien Allahumma Amien.

Anda mungkin juga menyukai