Anda di halaman 1dari 18

KONSTRUKSI GENDER DI… (PUJI LAKSONO)

KONSTRUKSI GENDER DI PESANTREN


(STUDI KUALITATIF PADA SANTRIWATI DI PESANTREN
NURUL UMMAH MOJOKERTO)1

Puji Laksono
Institut KH. Abdul Chalim Mojokerto
Jl. Raya Tirto Wening, Bendungan Jati, Pacet, Mojokerto.
Email: Laksono_puji9@yahoo.com/Pujilaksono@Ikhac.ac.id

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memahami konstruksi gender diantara para
santriwati Pesantren Nurul Ummah Mojokerto. Studi ini menggunakan metode
kualitatif. Teori yang digunakan adalah teori konstruksi sosial dari Peter L. Berger
dan Thomas Luckmann. Hasil tersebut menunjukkan bahwa (1) Konstruksi gender
diantara santriwati bisa dikategorikan menjadi 3, pertama santriwati modernis yang
menilai bahwa semua pekerjaan itu ideal untuk laki-laki maupun perempuan. Kedua,
kategori santriwati modernis-tradisionalis yang menilai tidak semua pekerjaan ideal
untuk laki-laku dan perempuan. Tetapi mereka tidak mempertanyakan adanya
pertukaran peran antara laki-laki dan perempuan dalam batas tertentu. Ketiga,
kategori santriwati tradisionalis, kategori ini tidak setuju dengan pertukaran peran
antara laki-laki dan perempuan. (2) Pandangan terhadap kesetaraan gender
diantara santriwati, beberapa setuju dan tidak setuju. Pertama santriwati modernis
dan tradisionalis-modernis setuju dengan kesetaraan gender. Kedua, kategori
santriwati tradisionalis tidak setuju dengan kesetaraan gender.
Kata-kata kunci: Konstruksi Gender, Pesantren, Santriwati.

Abstracts: The purpose of this research is to understand the gender construction


among santriwati Pesantren Nurul Ummah Mojokerto. This study uses qualitative
methods. The theory used is the social construction theory of Peter L. Berger and
Thomas Luckmann. The results showed that (1). Gender construction among
santriwati can be categorized into 3, first modernist santriwati who judge that all
work is ideal for men and women. Secondly, the traditionalist-modernist santriwati
1
Penelitian LPPM IKHAC Mojokerto 2016.

31
Lakon, Vol. 6, No. 1, Edisi November 2017

category, which assesses not all the ideal work for men and women. But they do not
question if there is a role exchange between men and women within certain limits.
Thirdly, the traditionalist santriwati category, this category does not agree with the
role exchange between men and women. (2). A view of gender equality among
santriwati, some agree and disagree. First, the modernist and traditionalist-
modernist santriwati agree with gender equality. Second, the traditionalist santriwati
category does not agree with gender equality.
Keywords: Gender Construction, pesantren, santriwati.

Pendahuluan masyarakat Muslim_yang didukung


Persoalan gender di Indonesia dapat fatwa ulama_ketika Megawati
dilihat dari aspek kultur agama Islam Soekarnoputri menjadi calon presiden.
sebagai agama mayoritas. Ajaran Perempuan menurut kelompok ini
Islam sendiri sebenarnya menjunjung tidak boleh menjadi pemimpin negara.
tinggi keadilan, kesejajaran, menolak Meskipun sebagian besar masyarakat
segala diskriminasi termasuk atas jenis Muslim lainnya tidak
kelamin. Semangat Islam mempermasalahkan dan didukung
menempatkan perempuan dan laki-laki oleh ulama seperti K.H. Masdar
pada posisi yang sama, yang diukur Mas’udi, K.H. Hasyim Muzadi, dan
menurut Allah hanyalah tingkat K.H. Abdurrahman Wahid.
kualitas taqwa. Namun selama ini Pesantren sebagai salah satu
berkembang pola pikir yang institusi pendidikan agama Islam tentu
membentuk stereotip tentang memiliki peranan penting dalam
subordinasi perempuan. Hal ini sosialisasi gender. Saat ini banyak
kemudian membentuk rumusan berkembang pesantren modern.
tentang bagaimana menjadi Pesantren yang dulu dipandang kolot,
perempuan dengan sikap dan tingkah konservatif, dan tradisionalis kini
laku yang diterjemahkan menjadi banyak merubah diri menjadi
kodrat. Pandangan semacam ini sering pesantren modern. Salah satunya
kali diperkuat dengan legitimasi ajaran adalah pesantren Nurul Ummah Pacet
agama (Faiqoh, 2003:79-80). Seperti Mojokerto. Sebagai pesantren modern,
kasus penolakan dari sebagian sedikit banyak telah mengadopsi nilai-

32
KONSTRUKSI GENDER DI… (PUJI LAKSONO)

nilai modern seperti kesetaraan gender peranannya di sektor publik.


di kalangan santriwatinya. Pesantren Sehubungan dengan latar belakang di
semacam ini banyak mengadopsi atas rumusan masalah dalam
sistem pendidikan modern di satu sisi, penelitian ini adalah: 1) Bagaimana
namun di sisi lain masih konstruksi gender di kalangan
mempertahankan ketradisionalannya. santriwati Pesantren Nurul Ummah
Dalam posisi yang demikian tentu ada Pacet Mojokerto? 2) Bagaimana
konstruksi gender di kalangan santri pandangan tentang kesetaraan gender
yang berbeda. di kalangan santriwati Pesantren Nurul
Kajian tentang gender pada Ummah Pacet Mojokerto?
pesantren penting untuk dilakukan di
Landasan Teori
era globalisasi saat ini. Perkembangan
A. Definisi Konsep
masyarakat Indonesia yang terus 1. Gender
melakukan proses modernisasi, juga Menurut Oakley (2001), gender adalah
diikuti oleh pesantren sebagai salah sebuah bentuk perbedaan peran antara
satu institusi pendidikan Islam dalam laki-laki dan perempuan yang lebih
masyarakat. Pesantren dituntut bersifat perilaku (behavioral
melakukan transformasi sistem differences) yang dikonstruksi secara
pendidikannya agar tidak mengalami sosial dan kultural dan berlangsung
cultural lag di dalam perkembangan dalam sebuah proses yang panjang.
dunia dewasa ini. Seperti Jadi, gender merupakan bentukan
pengintegrasian perekonomian secara sosial, maka penempatannya selalu
regional AFTA (Asean Free Trade berubah dari waktu ke waktu dan tidak
Area), tentu membuka peluang bersifat universal, artinya antara
kesempatan kerja yang luas, serta masyarakat yang satu dengan yang
terjadi tingkat daya saing yang tinggi. lain mempunyai pengertian yang
Keberhasilan dalam persaingan yang berbeda-beda dalam memahami
tinggi tersebut juga sangat tergantung gender. Gender berbeda dengan istilah
pada peran seluruh Sumber Daya seks. Seks merujuk pada perbedaan
Manusia (SDM) baik laki-laki maupun jenis kelamin yang secara biologis
perempuan. Hal ini menjadi peluang melekat pada diri perempuan dan laki-
bagi perempuan untuk meningkatkkan laki (Fakih, 2001:71-72).

33
Lakon, Vol. 6, No. 1, Edisi November 2017

2. Santri dan Pesantren kerja kognitif individu untuk


Menurut Clifford Geerts (1989), santri menafsirkan dunia realitas yang ada,
memiliki definisi yang luas dan karena terjadi relasi sosial antara
sempit. Dalam arti sempit, santri individu dengan lingkunganya atau
adalah seorang murid atau sekolah orang di sekitarnya. Kemudian
agama yang disebut pesantren. individu membangun sendiri
Sedangkan dalam arti luas, santri pengetahuan atas realitas yang
adalah bagian dari pmasyarakat yang dilihatnya berdasarkan pada struktur
memeluk Islam secara benar-benar, pengetahuan yang telah ada
bersembahyang, pergi ke Masjid pada sebelumnya. Konstruktivisme seperti
hari Jum’at dan seterusnya (Geerts, inilah yang disebut Berger dan
1989:268). Kemudian Pesantren oleh Luckmann sebagai konstruksi social
Mujamil Qomar (2002), didefinisikan (Bungin, 2009:194).
Peter L. Berger dan Thomas
sebagai suatu tempat pendidikan dan
Luckmann (1990), mendasari
pengajaran yang menekankan
karyanya dengan sosiologi
pelajaran agama Islam dan didukung
pengetahuan. Kunci dari sosiologi
asrama sebagai tempat tinggal santri
pengetahuan adalah gagasan-gagasan
yang bersifat permanen (Qomar,
tentang “kenyataan” dan
2002).
“pengetahuan”. Kedua gagasan itu
B. Teori Konstruksi Realitas Sosial bisa didefinisikan bahwa “kenyataan”
(Peter L. Berger dan Thomas yang dimaksud adalah suatu kualitas
Luckmann) yang terdapat dalam fenomena-
Penelitian ini menggunakan teori
fenomena yang memiliki keberadaan
konstruksi sosial dari Peter L. Berger
(being) yang tidak bergantung pada
dan Thomas Luckmann (1990). Teori
kehendak atau di luar individu.
ini mengemukakan bahwa diri sebagai
Sedangkan “pengetahuan” yang
konstruksi sosial, dimana individu
dimaksud merupakan kepastian bahwa
merupakan aktor yang aktif dalam
fenomena-fenomena itu nyata (real)
proses sosialisasi dan pembentukan
dan memiliki karakteristik yang
identitas. Konstruksi sosial didasari
spesifik (Berger dan Luckmann,
oleh filsafat konstruktivisme, dimana
1990). Kedua gagasan tersebut, dapat
konstruktivisme dilihat sebagai sebuah
difahami bahwa “kenyataan”

34
KONSTRUKSI GENDER DI… (PUJI LAKSONO)

merupakan suatu realitas objektif, memungkinkan seseorang mengatasi


dimana ia berada di luar individu, suatu situasi secara otomatis.
sebagai fakta sosial yang memaksa. Kebiasaan ini berguna juga untuk
Sedangkan “pengetahuan” merupakan orang lain. Dalam situasi komunikasi
realitas bisa bersifat subjektif yang interpersonal, para partisipan saling
berada pada kesadaran individu. mengamati dan merespon kebiasaan
Sehingga, dari gagasan di atas
orang lain, dan dengan cara seperti ini
Berger dan Luckmann berpandangan
semua partisipan dapat
bahwa realitas sosial memiliki definisi
menggantungkan diri pada kebiasaan
objektif dan subjektif. Masyarakat dan
orang lain. Karena kebiasaan ini,
manusia sebenarnya memiliki ciri-ciri
seseorang dapat membangun
ganda. Di satu pihak masyarakat dan
komunikasi dengan orang lain yang
manusia adalah kondisi yang selalu
disesuaikan dengan tipe-tipe
ada dan hasil reproduksi yang
seseorang, yang disebut sebagai
berkesinambungan dari kegiatan agen
pengekhasan (typication). Dengan
manusia. Di pihak lain manusia adalah
berjalanya waktu, kenyataan
hasil kesadaran dan juga reproduksi
selanjutnya, beberapa kebiasaan
dari kondisi produksi masyarakat
menjadi milik bersama seluruh
(Upe, 2010:62). Terjadi proses
anggota masyarakat, maka
dialektika dalam dunia sosial, individu
terbentuklah lembaga (institution)
merupakan produk masyarakat dan
(Kuswarno, 2009:111-112).
sebaliknya masyarakat merupakan Maka dengan demikian terjadilah
produk manusia. proses eksternalisasi dan objektifikasi,
Masyarakat tercipta (sebagai
dimana manusia membentuk institusi
realitas yang objektif) karena adanya
dan masyarakat, dan manusia juga
berbagai individu yang
yang mempertahankan maupun
mengeksternalisasikan dirinya
mengubahnya. Proses ekternalisasi
(mengungkapkan subjektifitas)
dapat diartikan sebagai usaha diri
masing-masing lewat aktivitasnya.
manusia ke dunia luarnya, baik
Seseorang hidup dalam kehidupanya
kegiatan mental maupun fisik. Hasil
mengembangkan suatu perilaku yang
kegiatan ekternalisasi ini kemudian
repetitif, yang mereka sebut sebagai
berkembang ke proses objektivikasi,
“kebiasaan” (habits). Kebiasaan ini
yaitu hasil ekternalisasi yang

35
Lakon, Vol. 6, No. 1, Edisi November 2017

membentuk relitas objektif yang dipertahankan atau diubah melalui


berada di luar dirinya, yang kemudian tindakan dan interaksi. Dalam studi
dilanjutkan dengan proses internalisasi tentang konstruksi gender santriwati,
yaitu terjadinya penyerapan kembali maka persoalannya adalah bagaimana
dunia objektif ke dalam kesadaran mereka mengkonstruksi realitas,
subjektif, yang mana individu menjadi mengkategorikan (to typify) dirinya
produk dari masyarakat. sendiri, sesama santriwati, dan
Secara keseluruhan, tiga proses
bagaimana mereka mengembangkan
tersebut merupakan dialektika
lembaga pesantren dengan
hubungan antara individu dan struktur
seperangkat nilai, norma dan aturan
sosial, yang mana manusia
yang mereka anut bersama.
berinteraksi dengan satu sama lain Institusi memungkinkan
untuk menghasilkan masyarakat dan berkembangnya suatu peranan (roles)
bahwa produk sosial terus bereaksi atau sekumpulan perilaku yang
kembali terhadap penciptanya, terbiasa (habitual behavior)
membentuk mereka kesadaran dan dihubungkan dengan harapan-harapan
tindakan, dalam rantai tak berujung individu yang terlibat. Ketika
pengaruh timbal balik : Masyarakat seseorang memainkan suatu peranan
adalah produk manusia. Masyarakat yang dia adopsi dari perilaku yang
adalah realitas objektif. Manusia terbiasa, orang lain berinteraksi
adalah produk social (Lewis, 2010 : denganya sebagai suatu bagian dari
208). institusi tersebut ketimbang sebagai
Tesis utama Berger dan Luckmann
individu yang unik. Pada istitusi
adalah manusia dan masyarakat
tersebut juga berkembang apa yang
merupakan proses dialektis.
disebut sebagai hukum (law). Hukum
Masyarakat merupakan produk
ini yang mengatur berbagai peranan.
manusia, namun akan berproses secara
Oleh karena aktor telah menetapkan
terus menerus, sehingga manusia juga
hukum berperilaku, maka institusi
merupakan produk dari masyarakat.
menjadi sebuah kendali sosial. Jika
Meskipun masyarakat terlihat objektif,
kendali sosial ini akan dipertahankan
namun kenyataannya dibangun dalam
dalam waktu lama, maka generasi
subjektifitas individu melalui proses
berikutnya harus diajari untuk
interaksi. Jadi masyarakat tercipta,
berpartisipasi di dalam intitusi oleh

36
KONSTRUKSI GENDER DI… (PUJI LAKSONO)

para generasi tua. Dengan demikian gender dari perspektif budaya Jawa
institusi tersebut akan terlegitimasi dan Bali. Penelitian ini berusaha
dan terpelihara melalui tradisi dan melihat masalah gender dari perspektif
edukasi. Jika suatu institusi bertahan budaya masyarakat Muslim Indonesia
dalam waktu lama, masyarakat dapat dalam hal ini santriwati di pesantren.
lupa bagaimana institusi itu terbentuk
Metode
awalnya. Pada kasus ini, masyarakat
A. Subjek, Waktu, dan Lokasi
dapat mulai membayangkan
Penelitian
bagaimana institusi tersebut selalu
Subjek dalam penelitian ini adalah 8
dapat eksis, kondisi ini akan “menjadi
santriwati di Pesantren Nurul Ummah,
kembali” (came to be) seperti pada
yakni Farah A.I.K. (18), D. Berrillina
awal terbentuknya. Kondisi ini disebut
S. M.I (18), Syifahana A. (17), Nabilla
sebagai “pembendaan” (reification),
R. M. (17), Ayu F.U. (17), Nur Isnaini
dan institusi dikatakan “dibendakan”
(17), Istinganatul M. (17), Dyah A.P.
(reified) (Kuswarno, 2009:111-112).
(16). Informan tersebut diperoleh
C. Penelitian Terdahulu dengan teknik purposif yaitu strategi
Masalah gender di Indonesia sudah mengumpulkan informan sesuai
banyak menjadi bahan penelitian, kriteria terpilih yang relevan dengan
antara lain penelitian dari (1) Sofia masalah penelitian (Bungin,
(2000) dari Universitas Indonesia yang 2003:107). Penelitian ini dilaksanakan
berjudul Stereotipe Gender dalam selama bulan Februari 2016 yang
Cerita Rakyat Indonesia Untuk Bacaan berlokasi di Pesantren Nurul Ummah
Anak-Anak (Studi Kasus Cerita Jl. Kembang Belor, Pacet, Mojokerto.
Rakyat Jawa). (2) Made Tusan
Surayasa (1998) dari Universitas B. Teknik Pengumpulan Data

Indonesia yang berjudul Wanita Dan Penelitian ini menggunakan

Pembangunan Pertanian : Suatu metode kualitatif, yakni penelitian

Analisis Gender Pada Proyek dengan metode kerja ilmiah yang

Pembangunan Pertanian Rakyat mengutamakan bahan atau informasi

Terpadu (P2RT) di Kabupaten yang nantinya akan diuji berdasarkan

Buleleng Bali. Dari kedua penelitian tingkat kualitas data (Setiadi dan

tersebut lebih menekankan pada aspek Kolip, 2011:26). Sehingga teknik

37
Lakon, Vol. 6, No. 1, Edisi November 2017

pengumpulan data yang digunakan Santriwati di pesantren Nurul


adalah pemanfaatan data primer yaitu Ummah pada umumnya sudah
dengan cara observasi terhadap memahami pengertian gender. Mereka
kegiatan santriwati. Selain itu proses memahami gender sebagai perbedaan
pengumpulan data juga dilakukan peran sosial antara laki-laki dan
dengan wawancara kepada santriwati perempuan. Dalam penelitian ini
berkaitan dengan permasalahan yang ditemukan bahwa pandangan
akan diteliti. Proses wawancara ini santriwati tentang gender dapat
dilakukan peneliti dengan membuat dikategorikan menjadi dua kelompok.
janji untuk bertemu secara khusus. Hal ini didasarkan atas pekerjaan yang
ideal untuk laki-laki dan perempuan.
C. Analisa Data
Proses analisis data dilakukan Dari pandangan santriwati tentang

dengan, (1) reduksi data merupakan gender dari aspek pekerjaan dapat

proses pengumpulan data yang dikategorikan sebagai berikut:

diperoleh di lapangan baik melalui a. Santriwati Modernis


observasi maupun wanancara. (2) Kategori santriwati modernis
penyajian data (display). Data yang didasarkan atas pandangannya tentang
telah diperoleh tidak langsung gender dari aspek pekerjaan yang
dipaparkan secara keseluruhan namun setara. Santriwati kategori ini
harus dipilah-pilah sesuai dengan menyatakan bahwa semua pekerjaan
kebutuhan fokus penelitian. (3) ideal untuk laki-laki dan perempuan.
mengambil kesimpulan merupakan Mereka tidak mempermasalahkan
analisis lanjutan dari reduksi data dan pertukaran peran antara laki-laki dan
display data sehingga data dapat perempuan. Seperti yang diungkapkan
disimpulkan. Selanjutnya, ialah oleh Faik (18), bahwa semua
mengadakan pemeriksaan keabsahan pekerjaan lazim dilakukan oleh
data dengan menggunakan metode seorang laki-laki, bahkan mengerjakan
triangulasi. pekerjaan seorang perempuan itu

Temuan Data Dan Pembahasan sangat wajar bagi seorang laki-laki.

A. Temuan Data Begitu juga untuk perempuan, juga

1) Konstruksi Gender Santriwati bisa berkarir di semua pekerjaan.


Namun ia masih memberi

38
KONSTRUKSI GENDER DI… (PUJI LAKSONO)

pengecualian untuk perempuan, yakni feminim, seperti ibu rumah tangga,


perempuan memiliki tuntutan perawat, guru, dokter, dan bidan.
mengurus rumah tangga. Namun mereka tidak
Santriwati modernis dalam hal mempermasalahkan jika terjadi
pertukaran pekerjaan, memandang pertukaran peran antara laki-laki
bahwa hal itu tidak ada masalah. dengan perempuan dalam batas-batas
Seperti yang diungkapkan oleh Faik tertentu. Pandangan tentang gender
(18), ia mengungkapkan bahwa jika seperti ini diungkapkan oleh mayoritas
biasanya laki-laki yang hanya informan dari penelitian ini, yakni 6
berperan menjadi pemimpin dapat dari 8 informan terkategori sebagai
melakukan pekerjaan seorang santriwati tradisionalis-modernis,
perempuan, itu sangat bagus. Karena yakni D. Berrillina S. M.I (18),
laki-laki tidak hanya bisa bekerja, tapi Syifahana A. (17), Nabilla R. M. (17),
juga dapat mengayomi keluarga. Dan Ayu F.U. (17), Nur Isnaini (17),
menurutnya perempuan juga bisa Istinganatul M. (17).
menjadi pemimpin. Ia menilai Dalam hal pekerjaan ideal untuk
pandangan bahwa seorang pemimpin laki-laki dan perempuan. Santriwati
itu harus laki-laki sudah tidak sesuai tradisionalis-modernis memandang
lagi dengan zaman sekarang. bahwa pekerjaan laki-laki harus lebih
tinggi dari pada perempuan. Seperti
b. Santriwati Tradisionalis-
yang diungkapkan Syifahana (17)
Modernis
yang memandang bahwa pekerjaan
Santriwati kategori tradisionalis-
ideal untuk laki-laki adalah yang
modernis ini memiliki pandangan
sifatnya lebih tinggi dari seorang
tentang gender antara tradisional dan
perempuan seperti sopir, montir dan
modern. Mereka menyatakan bahwa
kepala keluarga. Dan ia mengatakan
tidak semua pekerjaan ideal untuk
bahwa pekerjaan untuk perempuan
laki-laki dan perempuan. Pekerjaan
tidak boleh melebihi laki-laki. Hal
untuk laki-laki menurut mereka lebih
serupa diungkapkan oleh Nur Isnaini
bersifat maskulin seperti sopir, tentara,
(17), bahwa pekerjaan yang sesuai
polisi, montir, pilot, kuli dan kepala
untuk laki-laki adalah TNI, dan Polisi.
keluarga. Sedangkan pekerjaan untuk
Karena menurutnya laki-laki biasanya
perempuan lebih ideal bersifat

39
Lakon, Vol. 6, No. 1, Edisi November 2017

memiliki tenaga lebih besar, lebih Santriwati kategori tradisionalis ini


cocok dari sisi fisik dari pada menyatakan bahwa tidak semua
perempuan. Sedangkan untuk pekerjaan ideal untuk laki-laki dan
perempuan pekerjaan yang cocok perempuan. Pekerjaan untuk laki-laki
adalah menjadi guru. Karena menurut mereka lebih bersifat
menurtnya pekerjaan menjadi guru maskulin seperti sopir, tentara, polisi,
waktunya lebih kondisional. Lebih montir, pilot, kuli dan kepala keluarga.
bisa menyesuaikan bagi perempuan Sedangkan pekerjaan untuk
yang kewajibannya mengurus rumah perempuan lebih ideal bersifat
tangga di rumah. feminim, seperti ibu rumah tangga,
Kemudian dalam hal pertukaran perawat, guru, dokter, dan bidan.
peran, santriwati tradisionalis-modern Kategori santriwati tradisionalis ini
memandang bahwa pekerjaan laki-laki juga tidak sepakat dengan pertukaran
dan perempuan bisa dipertukarkan peran antara laki-laki dan perempuan.
dalam batas-batas tertentu. Batasan ini Pandangan tentang gender seperti ini
menurut mereka demi keamanan diungkapkan oleh Dyah (16), bahwa
perempuan. Seperti yang diungkapkan perbedaan yang mencolok antara laki-
oleh Syifahana (17), menurutnya tidak laki dan perempuan adalah tenaganya.
masalah karena untuk zaman sekarang Menurutnya pekerjaan laki-laki lebih
sudah banyak perempuan yang mengandalkan otot dan tenaga. Seperti
mengerjakan pekerjaan laki-laki. Ia sopir, dan yang bekerja di proyek
memberi batasan bahwa ia tidak setuju pembangunan pabrik. Sedangkan
jika seorang perempuan yang untuk perempuan menurutnya
melakukan pekerjaan terlalu berat dan tenaganya terbatas, lebih
melebihi laki-laki. Ia memberi contoh mengandalkan perasaan dan emosinya
jika perempuan yang melakukan sehingga lebih cocok bekerja sebagai
pekerjaan laki-laki seperti sopir, bidan, perawat, konselor, dan guru
montir, sebaiknya tidak dilakukan Badan Konseling.
selama masih ada seorang laki-laki. Dalam hal pertukaran peran antara
Karena menurutnya pekerjaan itu laki-laki dan perempuan, santriwati
rawan pelecehan. tradisionalis juga tidak sepakat.
Seperti yang diungkapkan oleh Dyah
c. Santriwati Tradisionalis

40
KONSTRUKSI GENDER DI… (PUJI LAKSONO)

(16), ia mengungkapkan bahwa ditarik bahwa santriwati modernis dan


adanya gerakan emansipasi tradisionalis-modernis setuju dengan
perempuan, derajat perempuan adanya kesetaraan gender. Artinya ada
sekarang sudah sama seperti laki-laki. 7 dari 8 informan yang menyatakan
Tetapi menurutnya dilihat dari sisi setuju. Seperti Farah A.I.K. (18), D.
manapun, harus ada batasan-batasan Berrillina S. M.I (18), Syifahana A.
antara laki-laki dan perempuan, (17), Nabilla R. M. (17), Ayu F.U.
terutama dalam hal pekerjaan. Seperti (17), Nur Isnaini (17), dan Istinganatul
pekerjaan sopir dan montir yang M. (17). Menurut mereka laki-laki dan
dikerjakan perempuan, menurutnya perempuan memiliki kemampuan
kurang pantas dilihat meskipun untuk yang sama seperti menjadi seorang
alasan ekonomi. Bagitu juga pemimpin. Seperti yang dikemukakan
menurutnya pekerjaan perempuan oleh Nabilla (17), yang
tidak pantas dilakukan oleh laki-laki. mengungkapkan bahwa ia setuju
Seperti pekerjaan memasak kurang karena di pesantren Nurul Ummah
pantas dilihat jika dilakukan oleh laki- semua santrinya diajarkan untuk
laki. menjadi seorang pemimpin, baik itu
laki- laki maupun perempuan. Dan
2) Pandangan Tentang Kesetaraan
bisa mengerjakan semuanya tanpa
Gender
harus memprioritaskan laki- laki.
Santriwati di pesantren Nurul Ummah
Praktek kesetaraan gender juga ia
pada umumnya sudah memahami dan
lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
mengenal adanya kesetaraan gender
Ia menceritakan pengalamannya yang
dalam masyarakat saat ini. Dalam
pernah menjadi seorang pemimpin
penelitian ini, pandangan santriwati
organisasi santri. Sebagai perempuan
bisa dibagi menjadi 2 pandangan,
yang menjadi pemimpin, ia merasa
yakni setuju dan tidak setuju.
memiliki kemampuan yang sama
a. Setuju dengan laki-laki. Ia tidak merasa
Santriwati yang masuk pandangan bahwa semuanya harus di bawah
setuju ini jika dikaitkan dengan naungan laki- laki.
kategori santriwati menurut konstruksi Hal serupa juga diungkapkan oleh
gender yang difahaminya, maka dapat Berillian (18), yang menerangkan

41
Lakon, Vol. 6, No. 1, Edisi November 2017

bahwa di pesantren Nurul Ummah perempuan. Ia menerangkan dalam Al-


mengajarkan kesetaraan gender untuk Qurán sudah disebutkan dengan jelas
santri baik laki-laki maupun mulai status, tugas, kewajiban dan apa
perempuan. Hal ini menurutnya bisa yang harus dilakukan laki-laki dan
dilihat dari organisasi santri yang perempuan. Menurutnya memang
diketuai oleh seorang laki-laki dan sudah seharusnya laki-laki memiliki
juga perempuan. Menurutnya laki-laki tempat yang dominan dan memimpin.
dan perempuan berdiri sendiri dengan Karena sesungguhnya laki-laki adalah
tugas masing-masing. Jadi tidak ada imam bagi istrinya kelak.
yang namanya memprioritaskan laki- Dalam kesehariannya sekarang,
laki. Dyah (16) sudah mempersiapkan diri
untuk mengisi peran sebagai ibu
b. Tidak Setuju
rumah tangga. Seperti halnya sebagai
Santriwati yang masuk pandangan
perempuan yang nantinya menjadi ibu
tidak setuju ini jika dikaitkan dengan
rumah tangga, ia belajar memasak di
kategori santriwati menurut konstruksi
asrama, membekali ilmu-ilmu untuk
gender yang difahaminya, maka dapat
mengendalikan emosi, keadaan baik
ditarik bahwa santriwati tradisionalis
dari lahir batin untuk keluarganya
menyatakan tidak setuju dengan
kelak. Menurutnya kesetaraan gender
adanya kesetaraan gender. Ada 1 dari
memiliki dampak baik dan buruk.
8 informan yang menyatakan tidak
Namun menurutnya peran laki-laki
setuju. Menurut santriwati kategori ini,
dan perempuan tidak dapat
tidak setuju karena peran antara laki-
disetarakan. Kecuali dalam hal
laki dan perempuan sudah diatur
tertentu seperti pendidikan, ekonomi.
dalam agama sehingga tidak boleh
Namun menurutnya kesetaraan gender
disamakan. Seperti Dyah (16), yang
juga tidak langsung dapat mengatasi
menerangkan bahwa kesetaraan
masalah ini. Diperlukan adat istiadat
gender harus dibatasi, karena
dan peraturan-peraturan alam, maupun
menurutnya kesetaraan gender
Al-Qurán dan Hadist yang dapat
sekarang terlalu bebas, bahkan tak ada
dijadikan pedoman agar tidak salah
batasan wilayah antara laki-laki dan
mengambil jalan.
Tabel 1. Analisis Data

42
KONSTRUKSI GENDER DI… (PUJI LAKSONO)

PANDANGAN TENTANG
KONSTRUKSI GENDER SANTRIWATI
KESETARAAN GENDER
Setuju/Tidak
Kategori Peran Sosial Setuju Alasan
1. Semua pekerjaan ideal
untuk laki-laki dan
perempuan.
2. Tidak
mempermasalahkan
Santriwati Modernis pertukaran peran antara
laki-laki dan
perempuan.
1. Tidak semua pekerjaan
Laki-laki
ideal untuk laki-laki
dan
dan perempuan.
perempuan
Pekerjaan untuk laki-
memiliki
laki menurut mereka
kemampuan
lebih bersifat maskulin.
yang sama
Sedangkan pekerjaan
untuk
untuk perempuan lebih
Setuju menjalankan
ideal bersifat feminim.
peran sosial
Santriwati 2. Tidak
seperti
Tradisionalis- mempermasalahkan
menjadi
Modernis jika terjadi pertukaran
seorang
peran antara laki-laki
pemimpin.
dengan perempuan
dalam batas-batas
tertentu.
1. Tidak semua pekerjaan
ideal untuk laki-laki
dan perempuan.
Pekerjaan untuk laki-
Peran antara
laki menurut mereka
laki-laki dan
lebih bersifat maskulin.
perempuan
Sedangkan pekerjaan
sudah diatur
untuk perempuan lebih
Santriwati dalam
ideal bersifat feminim. Tidak Setuju
Tradisionalis agama
2. Tidak sepakat dengan
sehingga
pertukaran peran antara
tidak boleh
laki-laki dan
disamakan.
perempuan.

Pesantren sebagai salah satu institusi


pendidikan agama Islam memiliki
B. Pembahasan peranan penting dalam sosialisasi

43
Lakon, Vol. 6, No. 1, Edisi November 2017

gender. Pesantren Nurul Ummah Pacet Luckmann, santriwati mulai


Mojokerto merupakan salah satu mengalami proses penerimaan definisi
pesantren modern, sedikit banyak situasi yang disampaikan orang lain,
telah mengadopsi nilai-nilai modern baik dari media sosialisasi primer
seperti kesetaraan gender. Santri di seperti keluarga atau orang dekat,
pesantren ini melaksanakan proses maupun media sosialisasi sekunder
pembelajaran di lokasi yang sama. seperti pergaulan keseharian, media
Namun antara santri putra dan putri massa, dan proses pendidikan di
dipisahkan di gedung yang berbeda. pesantren. Santriwati pun pada
Pesantren ini menanamkan nilai akhirnya bersama dengan para
kepada semua santrinya untuk menjadi santriwati lainnya menjalin
seorang pemimpin, baik itu laki-laki pendefinisian yang mengarah pada
maupun perempuan. Hal ini bisa definisi bersama. Di sinilah santriwati
dilihat dari organisasi santri yang membangun sendiri pengetahuan atas
diketuai oleh seorang laki-laki dan realitas yang dilihatnya berdasarkan
juga perempuan. Laki-laki dan pada struktur pengetahuan yang telah
perempuan berdiri sendiri dengan ada sebelumnya. Santriwati mulai
tugas masing-masing. Sehingga tidak melakukan proses eksternalisasi
ada yang namanya memprioritaskan kembali. Para santriwati mulai
laki-laki. melakukan pengungkapan
Meskipun demikian di sisi lain subjektivitas yaitu mengkonstruksi
pesantren ini masih mempertahankan pengetahuan menjadi perempuan
budaya tradisional pesantren, yakni menurut kultur pesantren yang mereka
memberikan batasan-batasan terhadap fahami. Hal ini diperoleh dari
kesetaraan antara laki-laki dan pengetahuan sebelumnya yang
perempuan yang masih dalam batasan kemudian menjadi suatu realitas
norma agama dan masyarakat patriarki objektif sebagai hasil dari proses
pada umumnya. Dalam posisi yang eksternalisasi.
demikian, memunculkan konstruksi Pengetahuan tentang perempuan
gender di kalangan santriwati yang yang dimiliki oleh santriwati menjadi
berbeda. Secara teoritis menurut teori perilaku kebiasaan. Seperti yang
konstruksi sosial Peter L. Berger dan dikemukkan Berger dan Lukcmann,

44
KONSTRUKSI GENDER DI… (PUJI LAKSONO)

bahwa seseorang hidup dalam membentuk kategorisasi santriwati


kehidupannya mengembangkan suatu berdasarkan tipe tindakan mereka
perilaku yang repetitif, yang disebut dalam memaknai posisi perempuan
sebagai “kebiasaan” (habits). Dalam dan laki-laki.
situasi komunikasi interpersonal, para Tipikasi ini akhirnya membentuk
partisipan saling mengamati dan tiga kategori santriwati dalam
merespon kebiasaan orang lain, dan konstruksi gender. Konstruksi gender
dengan cara seperti ini semua dapat dikategorikan menjadi, pertama
partisipan dapat menggantungkan diri santriwati modernis yang menilai
pada kebiasaan orang lain. Karena bahwa semua pekerjaan ideal untuk
kebiasaan ini, seseorang dapat laki-laki dan perempuan. Tidak
membangun komunikasi dengan orang mempermasalahkan pertukaran peran
lain yang disesuaikan dengan tipe-tipe antara laki-laki dan perempuan.
seseorang, yang disebut sebagai Santriwati modernis juga sepakat
pengekhasan (typication). Pemahaman dengan kesetaraan gender karena
pengetahuan tentang perempuan yang peran sosial menurut mereka sama.
dimiliki oleh santri, yang mana Kemudian yang kedua, ada kategori
pesantren di satu sisi mengadopsi santriwati tradisionalis-modernis, yang
nilai-nilai modern seperti kesetaraan menilai tidak semua pekerjaan ideal
gender, dan di sisi lain masih untuk laki-laki dan perempuan.
mempertahankan nilai-nilai tradisional Pekerjaan untuk laki-laki menurut
pesantren, yakni batasan-batasan mereka lebih bersifat maskulin.
terhadap kesetaraan antara laki-laki Sedangkan pekerjaan perempuan lebih
dan perempuan yang masih dalam ideal bersifat feminim. Namun mereka
batasan norma agama dan masyarakat tidak mempermasalahkan jika terjadi
patriarki pada umumnya. Dalam posisi pertukaran peran antara laki-laki
yang demikian, memunculkan dengan perempuan dalam batas-batas
konstruksi gender di kalangan tertentu. Dalam kaitannya dengan
santriwati yang berbeda. Sehingga di kesetaraan gender, santriwati kategori
sini lah dapat dilihat typication dari pertama dan kedua yakni modernis
santriwati. Typication dari tindakan dan tradisionalis-modernis juga
santriwati ini pada akhirnya sepakat dengan kesetaraan gender

45
Lakon, Vol. 6, No. 1, Edisi November 2017

karena peran sosial menurut mereka proses sosialisasi dan pembentukan


sama. identitas tentang perbedaan peran
Kemudian yang ketiga adalah antara laki-laki dan perempuan.
kategori santriwati tradisionalis. Santriwati berusaha menjadi individu
Mereka menilai pekerjaan untuk laki- yang ideal dari proses penyerapan
laki menurut mereka lebih bersifat nilai dan norma sosial pesantren dan
maskulin. Sedangkan pekerjaan untuk masyarakatnya. Nilai dan norma sosial
perempuan lebih ideal bersifat yang ideal tentang peran sosial.
feminim. Kategori ini tidak sepakat Mereka melakukan proses imitasi
dengan pertukaran peran antara laki- perilaku sosial sebagai perempuan
laki dan perempuan. Kategori ini juga yang dikategorikan baik menurut
tidak sepakat dengan kesetaraan konstruksi budaya pesantren dan
gender karena peran antara laki-laki masyarakat tempat mereka tumbuh
dan perempuan sudah diatur dalam dan berkembang. Di tempat
agama sehingga tidak boleh mengemban ilmu inilah santriwati
disamakan. melakukan proses internalisasi,
Konstruksi gender santriwati objektifikasi, dan eksternalisasi
merupakan proses dialektika, seperti pengetahuan tentang gender.
tesis Berger bahwa manusia
Simpulan
berinteraksi dengan satu sama lain
Berdasarkan hasil dari penelitian ini
untuk menghasilkan masyarakat dan
dapat ditarik kesimpulan sebagai
bahwa produk sosial terus bereaksi
berikut :
kembali terhadap penciptanya,
1. Konstruksi gender di kalangan
membentuk mereka kesadaran dan
santriwati dapat dikategorikan
tindakan, dalam rantai tak berujung
menjadi 3, Pertama santriwati
pengaruh timbal balik : Masyarakat
modernis yang menilai bahwa
adalah produk manusia. Masyarakat
semua pekerjaan ideal untuk
adalah realitas objektif. Manusia
laki-laki dan perempuan. Tidak
adalah produk sosial. Pemahaman diri
mempermasalahkan pertukaran
santriwati dibentuk dari konstruksi
peran antara laki-laki dan
sosial pesantren. Dimana santriwati
perempuan. Kedua, kategori
merupakan aktor yang aktif dalam
santriwati tradisionalis-

46
KONSTRUKSI GENDER DI… (PUJI LAKSONO)

modern, yang menilai tidak kategori santriwati tradisionalis


semua pekerjaan ideal untuk tidak setuju dengan kesetaraan
laki-laki dan perempuan. gender karena peran antara
Pekerjaan untuk laki-laki laki-laki dan perempuan sudah
menurut mereka lebih bersifat diatur dalam agama sehingga
maskulin. Sedangkan tidak boleh disamakan.
pekerjaan perempuan lebih
Daftar Pustaka
ideal bersifat feminim. Namun
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian
mereka tidak
Kualitatif : Komunikasi,
mempermasalahkan jika terjadi
Ekonomi, Kebijakan Publik,
pertukaran peran antara laki-
dan Ilmu Sosial Lainnya.
laki dengan perempuan dalam
Jakarta : Kencana.
batas-batas tertentu. Ketiga,
______________. 2009. Sosiologi
kategori santriwati
Komunikasi. : Teori,
tradisionalis, yang menilai
Paradigma, dan Diskursus
pekerjaan untuk laki-laki lebih
Teknologi Komunikasi di
bersifat maskulin. Sedangkan
Masyarakat. Jakarata :
pekerjaan untuk perempuan
Kencana.
lebih ideal bersifat feminim.
Kategori ini tidak sepakat Coffey, Amanda. 2013. Socialization
dengan pertukaran peran antara (Sosialisasi). Dalam : John
laki-laki dan perempuan. Scott (Ed). Sosiologi : The
2. Pandangan tentang kesetaraan Key Concept. Jakarta : PT.
gender di kalangan santriwati, Rajagrafindo Persada.
ada yang setuju dan tidak Faiqoh. 2003. Nyai : Agen Perubahan
setuju. Pertama, santriwati di Pesantren. Jakarta :
kategori modernis dan Kucica.
tradisionalis-modernis setuju Fakih, Mansour. 2001. Analisis
dengan kesetaraan gender. Gender & Transformasi
Karena peran sosial antara Sosial. Yogyakarta : Pustaka
laki-laki dan perempuan Pelajar.
menurut mereka sama. Kedua,

47
Lakon, Vol. 6, No. 1, Edisi November 2017

Geerts, Clifford.1989. Abangan, (Studi Kasus Cerita Rakyat


Santri, dan Priyayi dalam Jawa). Jakarta: Program
Masyarakat Jawa. Jakarta : Studi Kajian Wanita,
Pustaka Jaya. Universitas Indonesia.
Kuswarno, Engkus. 2009. Metode Surayasa, Made Tusan. 1998. Wanita
Penelitian Fenomenologi : dan Pembangunan
Konsepsi, Pedoman, dan Pertanian : Suatu Analisis
Contoh Penelitiannya.. Gender Pada Proyek
Bandung : Widya Pembangunan Pertanian
Padjadjaran. Rakyat Terpadu (P2RT) di
Kabupaten Buleleng Bali.
Lewis, Paul.2010. Peter Berger and
Jakarta. Program Studi
His Critics: The
Kajian Wanita, Universitas
Significance of
Indonesia.
Emergence. . new York.
Upe, Ambo. 2010. Tradisi Aliran
Springer Science &
dalam Sosiologi : Dari
Business Media. Volume.
Filosofi Positivistic ke Post
47. Nomor 3.
Positivistic. Jakarta ;
Qomar, Mujamil. 2002. Pesantren : Rajawali Pers.
Dari Transformasi
Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi.
Jakarta : Erlangga.
Setiadi, Elly M dan Kolip, Usman.
Pengantar Sosiologi
Pemahaman Fakta dan
Gejala Sosial : Teori,
Aplikasi, dan Pemecaha.
Jakarta: Kencana.
Sofia. 2000. Stereotipe Gender dalam
Cerita Rakyat Indonesia
Untuk Bacaan Anak-Anak

48

Anda mungkin juga menyukai