Anda di halaman 1dari 18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Keagenan

Teori keagenan adalah hubungan antara dua belah pihak atau lebih,

dimana satu pihak (agent) setuju bertindak dengan persetujuan pihak lain

(principal). Teori keagenan telah digunakan untuk menjelaskan hubungan

kompleks antara berbagai instansi pemerintah. Menurut Fadzil dan Nyoto (2011)

Pemerintahan yang dipimpin oleh pemerintah daerah dan dipilih oleh mayarakat

yang diharapkan akan mengakomodasi keinginan masyarakat dalam

menyelenggarakan pelayanan publik yang bertindak tidak sesuai dengan

kepentingan masyarakat (Nurdin, 2014).

Pemerintah daerah sebagai agen dan masyarakat sebagai prinsipal

melakukan tindakan dengan penuh kesadaran bagi mereka sendiri dan

memandang bahwa pemerintah daerah tidak dapat dipercaya untuk bertindak

sebaik-baiknya bagi masyarakat. Menurut Lane (2000) dalam organisasi publik,

teori keagenan dapat juga diterapkan. Agency theory beranggapan bahwa banyak

terjadi information asymmetry dan ini berdampak pada penyelewengan atau

korupsi oleh agen. Dan sebagai konsekuensinya, pemerintah daerah harus dapat

meningkatkan akuntabilitas atas kinerjanya sebagai mekanisme check and

balances karena pemerintah memiliki lebih banyak informasi mengenai sumber

daya yang dimiliki daerah dalam bentuk Anggaran Pemerintah Belanja Daerah

(APBD)/Anggaran Pemerintah Negara (APBN) dibandingkan dengan masyarakat.

1
Asimetri informasi ini dapat mengakibatkan konflik antara kedua pihak (agency

problem) (Sudarsana, 2013). Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh

pemerintah untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat adalah dengan

memperlihatkan hasil dari kinerja pemerintah yang sudah tercapai (Osborne dan

Gaebler, 1992 dalam Akbar dan Pilcher, 2012). Dengan menunjukkan hasil

kinerja, maka agency problem yang mungkin terjadi dapat dikurangi, karena

masyarakat sebagai principal dapat melihat dan mengukur hasil kinerja Pemda.

Menurut Carr dan Brower (2000) dalam penelitiannya model keagenan yang

sederhana mengasumsikan dua pilihan dalam kontrak : (1) behavioral-based,

yakni prinsipal harus memonitor perilaku agen dan (2) outcome-based, yaitu

adanya insentif yang memotivasi agen untuk mencapai kepentingaan prinsipal.

2.1.2 Kinerja Pemerintah Daerah

Tujuan pengukuran kinerja keuangan menurut Bastian (2006), yaitu sebagai

laporan operasi kegiatan pemerintah yang bertujuan untuk menilai kinerja

keuangan organisasi dalam hal efisiensi dan efektifitas serta memonitor biaya

aktual dengan biaya yang dianggarkan. Pengukuran kinerja ini dimaksudkan

untuk mengetahui capaian kinerja yang telah dlakukan organisasi dan sebagai alat

untuk pengawasan serta evaluasi organisasi. Mandell (1997) dan Vago (2008)

mengungkapkan bahwa dengan melakukan pengukuran kinerja, pemerintah

daerah memperoleh informasi yang dapat meningkatkan kualitas pengambilan

keputusan sehingga akan meningkatkan pelayanan yang diberikan masyarakat.

Pengukuran kinerja akan memberikan umpan balik sehingga terjadi upaya

perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai tujuan di masa mendatang Bastian

2
(2006). Berdasarkan hal tersebut, dalam melakukan pengukuran kinerja perlu

memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pemerintah daerah

adalah karakteristik pemerintah daerah. Selain karakteristik pemerintah daerah,

peneliti menggunakan variabel hasil pemeriksaan audit BPK dalam mengukur

keterkaitan dengan kinerja keuangan pemerintah daerah. Hal tersebut diperlukan

untuk menghindari adanya berbagai macam tindak kecurangan dalam pelaksanaan

kegiatan pemerintahan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan

Negara menyebutkan bahwa pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah,

analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional

berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan,

kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara. Hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat berupa temuan audit, opini audit maupun

kesimpulan audit. Penelitian Virgasari (2009) dan Indrarti (2011) menggunakan

opini audit dalam menjelaskan hasil audit BPK. Berdasarkan penelitian tersebut,

peneliti menggunakan opini audit BPK dalam memproksikan hasil pemeriksaan

audit.

2.1.3 Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP)

Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-

individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber daya publik

dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang

menyangkut pertanggungjawabannya sebagai instrumen untuk kegiatan control

3
terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik (Azlina, 2011).

Akuntabiltas mengacu pada kepada siapa organisasi (pekerja individu)

bertanggung jawab dan untuk organisasi (pekerja individu harus bertanggung

jawab dalam bentuk pertanggung jawaban. Standar Akuntansi Pemerintahan

sangat penting untuk transparansi dan akuntabilitas suatu organisasi publik

(Patton dan Bean, 2001).

Menurut Mardiasmo (2002) menjelaskan bahwa pengertian akuntabilitas

merupakan sebagai kewajiban pemegang amanah (agent) untuk memberikan

pertanggungjawaban, menyajikan melaporkan dan mengungkapkan segala

aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi

amanah (principal) yang memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban

tersebut.

Akuntabilitas merupakan salah satu unsur dari perwujudan good

governance yang sedang dilakukan di Indonesia, karena menurut Suyanto (2010)

akuntabilitas merupakan kunci dari konsep good governance, untuk mendukung

hal tersebut diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban

yang tepat, jelas, dan terukur, dan berlangsung secara berdaya guna, berhasil

guna, bersih dan bertanggungjawab serta bebas dari kolusi, korupsi, dan

nepotisme. Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah adalah perwujudan

kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan

keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran

dan tujuan yang telah ditetapkan melalui system pertenggungjawaban secara

periodik (BPKP, 2007).

4
2.1.4 Karakteristik Pemerintah Daerah

Karakteristik merupakan ciri-ciri khusus yang mempunyai sifat khas

(kekhususan) sesuai dengan perwatakan tertentu yang membedakan sesuatu

(orang) dengan sesuatu yang lain. Suhardjanto dan Yulianingtyas (2010)

mendefinisikan karakteristik pemerintah daerah merupakan ciri-ciri khusus yang

melekat pada pemerintah daerah, menandai sebuah daerah, dan membedakannya

dengan daerah lain. Hasibuan (2009) dalam Sumarjo (2010) menemukan bahwa

terdapat pengaruh karakteristik perusahaan terhadap kinerja suatu perusahaan. Hal

tersebut dapat diterapkan pada sektor publik, dimana karakteristik daerah dapat

menjadi prediktor yang baik dalam mengukur kinerja pemerintah daerah. Dengan

demikian, perbedaan karakteristik antar daerah satu dengan daerah lainnya

diasumsikan dapat mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah.

Karakteristik pemerintah daerah dapat berupa ukuran daerah,

kesejahteraan, functional differentiation, umur daerah, latar belakang pendidikan

kepala daerah, leverage daerah, tingkat kekayaan daerah, tingkat ketergantungan

daerah, belanja daerah, status daerah, dan (Suhardjanto et al., 2010).

2.1.5 Kemakmuran Pemerintah Daerah

Kemakmuran (wealth) pemerintah daerah dapat dinyatakan dengan jumlah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Abdullah, 2004 dalam Sumarjo, 2010).

Kemakmuran Pemerintah Daerah menggambarkan tingkat kemakmuran daerah

tersebut (Sinaga, 2011). Menurut Undang-Undang No.33 Tahun 2004, Pendapatan

Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah asli yang digali di daerah

tersebut untuk digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam

5
membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil

ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari

pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang

dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah (Nugroho, 2012).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan tulang punggung pembiayaan

daerah. Kemampuan suatu daerah dalam menggali PAD akan mempengaruhi

perkembangan dan pembangunan daerah tersebut. Di samping itu semakin besar

kontribusi PAD terhadap APBD, maka akan semakin kecil pula ketergantungan

terhadap bantuan pemerintah pusat. Sumber keuangan yang berasal dari PAD

lebih penting dibanding dengan sumber yang berasal dari luar PAD. Hal ini

karena PAD dapat dipergunakan sesuai dengan kehendak dan inisiatif pemerintah

daerah demi kelancaran penyelenggaraan urusan daerahnya (Juliawati, et al,

2012). Dengan lancarnya penyelenggaraan urusan daerah maka Pemda akan

memiliki kinerja yang baik dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat

(Sudarsana, 2013).

2.1.6 Status Daerah

Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) RI Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1)

disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur undang-undang.

Status daerah merupakan suatu pengakuan nasional sebuah daerah sebagai suatu

kabupaten atau kota. Kabupaten dan kota adalah pembagian wilayah administratif

di Indonesia setelah provinsi. Secara umum, pemerintah kota dengan sumber dana

yang lebih baik akan mempunyai kemungkinan yang lebih baik pula dalam

6
pelaksanaan pemerintahan daerah karena dukungan sumber daya tersebut untuk

mencapai sasaran pemerintah daerah, sehingga mampu menciptakan kinerja yang

lebih baik (Herningsih, 2013).

Status daerah mempengaruhi kelengkapan pengungkapan dikarenakan

adanya perbedaan karakteristik masyarakat dan struktur pendapatan yang dapat

berimplikasi pada kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih kuat,

sehingga pemerintah daerah yang berstatus kota akan cenderung mematuhi

standar akuntansi (Abdullah, 2006). Maka dari itu status daerah berpengaruh pada

pendapatan suatu daerah, sehingga masyarakat juga ikut berpartisipasi dalam

pengawasan anggaran dengan tujuan transparansi atau keterbukaan dalam

anggaran. Di era globalisasi ini, pengetahuan masyarakat mengenai

terselenggaranya pemerintah daerah di setiap kabupaten/kota semakin meningkat

sehingga pemerintah harus mengembangkan daerah masing-masing seperti

potensi daerah.

2.1.7 Tingkat Ketergantungan pada Pusat

Pada penelitian Mustikarini dan Fitriasasi (2012), tingkat ketergantungan

dengan pusat dinyatakan dengan besarnya Dana Alokasi Umum (DAU). Dana

Alokasi Umum (DAU), adalah dana yang berasal dari Anggaran Pemerintah

Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan

antara daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara

pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya

penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Green

7
(2005) dalam tulisannya menyatakan bahwa desentralisasi di Indonesia lebih

kepada desentralisasi administrasi daripada desentralisasi fiskal, hal ini

dikarenakan Pemerintah Pusat masih membagi Pendapatan Negara untuk

kebutuhan Pemda. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan di

dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah

secara leluasa dapat menggunakan dana ini apakah untuk memberi pelayanan

yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lainnya.

Penggunaan DAU ditetapkan oleh daerah. Penggunaan DAU dan

penerimaan umum lainnya dalam APBD harus tetap pada kerangka pencapaian

tujuan pemberian otonomi kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan dan

kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, seperti pelayanan di bidang

kesehatan dan pendidikan (Sudarsana, 2013).

2.1.8 Belanja Modal Daerah

Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja

Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi 1 tahun anggaran akan menambah

aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat

rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum.

Belanja daerah digunakan untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah seperti

peralatan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Secara teoritis ada tiga cara untuk

memperoleh aset tetap tersebut, yakni dengan membangun sendiri, menukarkan

dengan aset tetap lain, dan membeli. Namun, untuk kasus di pemerintahan,

biasanya cara yang dilakukan adalah dengan cara membeli. Proses pembelian

yang dilakukan umumnya melalui sebuah proses lelang atau tender yang cukup

8
rumit (Abdullah, 2006). Aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja

modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh

pemerintah daerah. Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh

pemerintah daerah, sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang

memberikan dampak jangka panjang secara finansial (Abdulah, 2006).

2.1.9 Opini Audit

Audit adalah bentuk dari pembuktian indepeden yang dilakukan oleh ahli

auditor yang menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan

perusahaan. Opini audit merupakan pernyataan auditor terhadap kewajaran

laporan keuangan dari entitas yang telah diaudit. Kewajaran ini menyangkut

materialitas, posisi keuangan, dan arus kas. Keyakinan publik pada keandalan

laporan keuangan yang dihasilkan secara internal bergantung secara langsung

pada validasi oleh auditor ahli yang independen.

Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan BPK tersebut berupa opini,

temuan, kesimpulan atau dalam bentuk rekomendasi. Terdapat lima opini yang

dikeluarkan oleh BPK RI, yaitu unqualified (wajar tanpa pengecualian/WTP),

unqualified opinion with modified wording (Opini wajar tanpa pengecualian dengan

paragraph penjelas/WTP-DPP), qualified (wajar dengan pengecualian/ WDP),

adverse (tidak wajar /TW), dan disclamer (tidak memberikan pendapat/TMP). Dari

kelima opini tersebut opini terbagus adalah unqualified yang berarti bahwa laporan

LKPD telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material,

informasi laporan keuangan bisa digunakan oleh pemakai laporan keuangan.

Sedangkan opini terjelek adalah tidak wajar karena informasi laporan keuangan

(LKPD) tidak diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material, sehingga

9
informasi dalam laporan keuangan tidak dapat dipakai oleh penggunanya. Dan

berbeda dengan disclamer terjadi bila auditor menolak memberikan pendapat, kondisi

ini disebabkan karena lingkup audit yang dibatasi atau karena laporan keuangan tidak

dapat diaudit sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan Negara (SPKN), sehingga

baik opini adverse maupun disclaimer tidak dapat digunakan oleh pengguna laporan

keuangan. Penelitian yang dilakukan Bernstein (2000) menyimpulkan antara

pengukuran kinerja Pemda dan system pengawasan termasuk audit kinerja dan

evaluasi program.

2.1.10 Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EKPPD)

Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD) merupakan

suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja

penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menggunakan sistem pengukuran

kinerja (Permendagri No. 73 Tahun 2009). Tujuan dari adanya Evaluasi Kinerja

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yaitu untuk mengetahui keberhasilan

penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam mengelola daerahnya dan hasil yang

dicapai. Pelaksanaan EKPPD meliputi pengukuran kinerja penyelenggaraan

pemerintahan provinsi, penentuan peringkat, dan penentuan status kinerja

penyelenggaraan pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota secara nasional

(Sudarsan, 2013). Sumber informasi dari Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan

Pemerintah Daerah (EKPPD) antara lain, laporan pertanggungjawaban

pelaksanaan APBD, informasi keuangan daerah dan laporan kinerja instansi

pemerintah. Hasilnya digunakan pemerintah untuk program pengembangan

kapasitas peningkatan kinerja dan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan

daerah, terutama kepada daerah-daerah yang memiliki prestasi kinerja rendah.

10
Pemerintah mempersiapkan pemberian penghargaan (award) kepada daerah yang

mempunyai prestasi kinerja tertinggi secara nasional ataupun yang berkinerja

tinggi selama 3 tahun berturut-turut (Juknis EKPPD, 2014 dalam Sedyaningsih,

2014). Peraturan menteri dalam negeri Nomor 73 tahun 2009 pasal 17

menyebutkan Total Indeks komposit kinerja penyelenggaraan pemerintahan

daerah merupakan penjumlahan hasil penilaian yang meliputi, indeks capaian

kinerja dan indeks kesesuaian materi.

Peraturan menteri dalam negeri Nomor 73 tahun 2009 Pasal 32 menyebutkan

1) Pemeringkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dan

kabupaten/kota secara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31

ayat (2) disusun berdasarkan peringkat, skors dan status.

2) Pemeringkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh

Direktur Jenderal Otonomi Daerah selaku Ketua Tim Teknis Nasional

EPPD berdasarkan hasil Rapat Kerja Tim teknis Nasional.

3) Peringkat, skors dan status sebagaimana pada ayat (1) terdiri atas:

a. Provinsi, kabupaten dan kota di atas 10 (sepuluh) tahun;

b. Provinsi, kabupaten dan kota berusia diatas 3 (tiga) tahun dan dibawah

10 (sepuluh) tahun:

c. Kabupaten dan kota di dalam wilayah provinsi otonomi khusus berusia

di atas 3 alga) tahun; dan

d. Provinsi, kabupaten dan kota berusia di atas 3 (tiga) tahun dan dibawah

10 (sepuluh) tahun dalam:

1. Penyelenggaraan urusan wajib;

11
2. Penyelenggaraan bidang pengelolaan keuangan daerah dan aset

daerah;

3. Penyelenggaraan bidang perencanaan pembangunan daerah; dan

4. Penerapan standar pelayanan minimal.

4) Pemeringkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaiman

dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah

kepada Menteri Dalam Negeri untuk dijadikan bahan dalam pemberian

peringkat kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi,

kabupaten dan kota secara nasional.

5) Pemberian peringkat kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri setelah

mempertimbangkan hasil Sidang Tim Nasional EPPD (Kemendagri,

2015).

2.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam

bentuk pertanyaan (Sugiyono, 2014:94)

2.2.1 Pengaruh Kemakmuran Pemerintah Daerah pada Kinerja Keuangan


Pemerintah Kabupaten/Kota

Pendapatan Asli Daerah merupakan modal dasar pemerintah daerah dalam

membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil

ketergantungan dana dari pemerintah pusat yang bersumber dari penerimaan

daerah asli yang digali di daerah tersebut (Nugroho, 2012). Pendapatan Asli

Daerah menjadi salah satu tolak ukur kemampuan dan cermin kemandirian daerah

12
(Nurdin, 2014). Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan peningkatan

kemandirian Pemerintah Daerah akan mempengaruhi meningkatnya Pendapatan

Asli Daerah, ini menandakan Pemerintah Daerah berhasil membuat dan

melaksanakan kebijakan/program guna meningkatkan penerimaan daerah (Nurdin,

2014). Menurut Christiaens (1999) dalam Syafitri (2012), Kemakmuran

Pemerintah Daerah berhubungan positif dengan peningkatan pengungkapan. Dari

uraian diatas didukung oleh penelitan (Julitawati 2012) juga menemukan bahwa

Pendapatan Asli daerah (PAD) berpengaruh terhadap kinerja keuangan

pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan hasil penelitian Marfiana (2013)

menunjukkan PAD tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah

daerah kabupaten/kota. Karena pemerintah daerah dengan aset dan kekayaan yang

besar pasti memiliki tekanan yang lebih besar pula dari masyarakat untuk lebih

baik dalam mengelola dan menggunakan segala sumber daya yang dimilikinya itu

guna perbaikan kinerja. Oleh karena itu, hipotesis pada penelitian ini adalah:

H1: Kemakmuran Pemerintah Daerah berpengaruh pada kinerja keuangan


Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

2.2.2 Status Daerah berpengaruh pada Kinerja Keuangan Pemerintah


Daerah Kabupaten/Kota

Status daerah merupakan suatu otonomi yang diberikan antara pusat

kepada daerah dengan dibedakannya antara otonomi yang bersifat khusus dan

istimewa untuk diberi kewenangan mengatur daerah kabupaten maupun kota.

Kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih kuat, sehingga Pemerintah

Daerah yang berstatus sebagai Kota akan cenderung mematuhi standar akuntansi

(Nugroho, 2012).

13
Dalam UUD RI Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1) disebutkan bahwa “Negara

mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus

atau bersifat istimewa yang diatur undang-undang. Analisis atas pengaruh

status/jenis daerah dalam penelitian ini perlu untuk memberikan bukti bahwa

kelengkapan pengungkapan wajib berkaitan dengan status daerah sebagai kota

atau kabupaten (Abdullah, 2006).

Pandangan bahwa jenis daerah mempengaruhi kelengkapan pengungkapan

dikarenakan adanya perbedaan karakteristik masyarakat dan struktur pendapatan

berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda pula (Abdullah, 2006). Masyarakat

kota memiki kontrol sosial yang lebih kuat (Abdullah, 2006). Dengan adanya

kontrol sosial tersebut, tuntutan gencar dilakukan oleh masyarakat kepada

pemerintah agar terselenggara pemerintahan yang baik sejalan dengan

meningkatnya pengetahuan masyarakat serta adanya pengaruh globalisasi

menuntut adanya keterbukaan (Hermningsih, 2009). Berdasarkan uraian tersebut,

dapat ditarik sebuah logika bahwa daerah yang berstatus kota akan lebih

melakukan pengungkapan wajib sesuai dengan SAP. Berdasarkan uraian diatas,

maka hipotesis penelitian dirumuskan dalam format hipotesis alternatif sebagai

berikut:

H2: Status Daerah berpengaruh pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota

2.2.3 Pengaruh Tingkat Ketergantungan pada Pemerintah Pusat terhadap


Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota

Tujuan pemberian Dana Perimbangan adalah agar dapat mengurangi

kesenjangan fiskal antara pemerintah dengan daerah dan antar daerah dan

14
meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah. DAU

diberikan pemerintah pusat untuk membiayai kekurangan dari pemerintah daerah

dalam memanfaatkan PADnya. DAU ini bersifat Block Grant yang artinya

penggunaan DAU diserahan kepada pemerintah daerah sesuai dengan prioritas,

kepentingan, dan kebutuhan daerah masing-masing yang bertujuan untuk

meningkatkan pelayanan publik dalam rangka melaksanakan otonomi daerah

(Nugroho, 2012).

Dana Perimbangan merupakan dana transfer yang diberikan kepada Pemda

dalam rangka pemerataan agar tidak terjadi ketimpangan pendapatan antar Pemda,

tidak terdapat effort yang dilakukan Pemda untuk mendapatkan Dana

Perimbangan. Tingginya persentase jumlah dana perimbangan mengindikasikan

bahwa Pemda tidak mandiri dalam mengelola pendapatannya dan dapat

menyebabkan penilaian akuntabilitas kinerja semakin rendah karena persentase

Dana Perimbangan yang tinggi mengindikasikan bahwa Pemda tidak mampu

dalam merencanakan dan menjalankan program/kegiatan untuk mengoptimalkan

PAD (Nurdin , 2014).

Penelitian sebelumnya yang menggunakan variabel ketergantungan pada

kinerja pemerintah pusat adalah (Julitawati et. al 2012) menemukan bahwa Dana

Perimbangan berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan Pemerintah

Kabupaten/Kota, dari uraian di atas, maka hipotesis pada penelitian ini adalah:

H3: Tingkat Ketergantungan pada Pemerintah Pusat berpengaruh pada Kinerja


Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

15
2.2.4 Pengaruh Belanja Modal Daerah pada Kinerja Keuangan Pemerintah
Kabupaten/Kota

Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang bermanfaat

lebih dari satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan

berakibat menambah belanja yang bersifat rutin. Belanja modal yang besar

merupakan cerminan dari banyaknya infrastruktur dan sarana yang dibangun.

Sehingga semakin banyak pembangunan yang dilakukan akan meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat sehingga kinerja daerah akan lebih baik (Sudarsana,

2013). Semakin tinggi belanja, Pemda seharusnya memberikan pelayanan yang

lebih baik dan berkualitas kepada masyarakatnya. Merujuk kepada hal ini,

seharusnya semakin tinggi tingkat pelayanan yang diberikan, semakin tinggi

keinginan Pemda untuk mengungkapkan informasi pelayanan pada website Pemda

(Martani, 2012).

Penelitian yang menggunakan variabel belanja daerah dilakukan oleh

Mustikarini dan Fitriasari (2012) menunjukkan bahwa belanja daerah berpengaruh

negatif signifikan terhadap skor kinerja, hal ini berarti bahwa semakin besar

belanja daerah maka semakin kecil skor kinerja. Menurut Sudarsana (2013)

dimana belanja modal tidak berpengaruh terhadap skor kinerja Pemda, sedangkan

penelitian (Nugroho 2012) menghasilkan bahwa belanja modal berpengaruh

negatif terhadap pertumbuhan kinerja keuangan daerah secara langsung.

Berdasarkan uraian diatas maka apakah belanja yang telah terealisasi sudah

sesuai dengan tujuan dalam program/kegiatan yang telah direncanakan, maka

hipotesis dalam penelitian ini adalah:

16
H4: Belanja Modal Daerah berpengaruh pada Kinerja Keuangan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota

2.2.5 Pengaruh Opini Audit pada Kinerja Keuangan Pemerintah


Kabupaten/Kota

Setiap tahun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selalu melakukan audit

atas laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) dan memberikan opini sesuai

dengan hasil laporan tersebut. Opini auditor sering dijadikan sebagai pengukuran

kinerja suatu daerah dalam pengelolaan keuangan daerahnya yang berasal dari

pihak eksternal, sehingga seringkali terdapat gejala di daerah terkesan memburu

predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Opini audit BPK merupakan kasus-

kasus yang ditemukan BPK terhadap laporan keuangan Pemda atas pelanggaran

yang dilakukan suatu daerah pada ketentuan pengendalian intern maupun pada

ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Semakin banyak pelanggaran yang

dilakukan oleh Pemda mencerminkan semakin buruknya kinerja Pemda tersebut.

Dengan kata lain, semakin banyak opini Tidak Wajar dan Tidak Memberikan

Opini, maka menunjukkan semakin rendahnya kinerja suatu Pemda (Sudarsana,

2013). Adanya opini ini menyebabkan BPK akan meminta adanya peningkatan

pemeriksaan dan koreksi. Sehingga, semakin banyak jumlah opini Tidak Wajar

dan Tidak Memberikan Opini maka akan semakin rendah kinerja keuangan

pemerintah daerah (Nugroho, 2012).

Penelitian yang menghubungkan temuan audit dengan kinerja pemerintah

daerah pernah dilakukan oleh Mustikarini dan Fitriasari (2012) yang

menghasilkan bahwa semakin besar jumlah temuan audit BPK pada suatu

pemerintah daerah maka semakin rendah kinerja keuangan pemerintah daerah itu.

17
Sedangkan penelitian Virgasari (2009) dan Indrarti (2011) menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara opini audit BPK terhadap kinerja keuangan pemerintah

daerah. Dengan mengacu pada penelitian diatas dapat dirumuskan dalam

hipotesis terakhir penelitian ini.

H5: Opini Audit berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah


Kabupaten/Kota.

18

Anda mungkin juga menyukai