Anda di halaman 1dari 16

MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora, IAIN Purwokerto


Juli-Desember, Vol. 3, No. 2, 2018
DOI: 10.24090/maghza.v3i2.2128

Problematika Seputar Kodifikasi Al-Qur'an


(Sebuah Kajian Kesejarahan Perspektif Kesarjanaan Muslim
dan Analisis Kritis Kesarjanaan Barat)

Munawir
Institut Agama Islam Negeri Purwokerto
Jl. Jend. A. Yani No. 40-A Purwokerto 53126
Emai: munawir.0510@gmail.com

Abstrak
Secara historis, perjalanan pembukuan Al-Qur'an memang tidak sekompleks
pembukuan hadis. Namun bukan berarti bahwa proses kodifikasi Al-Qur'an tidak
menarik untuk dikaji. Dalam hal ini, ada beberapa pertanyaan yang tetap relevan untuk
diajukan; apakah Al-Qur'an yang ada sampai saat ini masih asli? Bagaimanakah
susunan Al-Qur'an yang sebenarnya? Apakah ada standar baku susunan Al-Qur'an yang
disepakati umat Islam di seluruh dunia? Pertanyaan-pertanyaan seputar kodifikasi Al-
Qur‟an seperti ini seringkali muncul, karena dalam perjalanannya Al-Qur‟an -dalam
kapasitasnya sebagai sebuah kitab (lembaran kertas) terjilid yang di dalamnya terdapat
dictum berbahasa Arab yang oleh umat Islam dianggap sebagai wahyu Allah- proses
kodifikasinya tidak lagi normatif, melainkan sangat historis, karena terkait dengan
berbagai macam discourse/wacana (sosial, politik, dan lain-lain) yang melingkupinya.
Dalam konteks ini, kajian historis dan analitis seputar kesejarahan kodifikasi Al-Qur‟an
perlu dihadirkan, dan makalah ini ditulis dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut.
Melalui kajian historis berdasarkan tuturan kesarjanaan muslim tentang sejarah
kodifikasi Al-Qur‟an dari masa Nabi SAW sampai standardisasinya dalam bentuk
bacaan dan tulisan, yang kemudian dilengkapi dengan analisis kritis berdasarkan tuturan
kesarjanaan Barat, ditemukan bahwa standardisasi (khususnya) bentuk “tulisan” Al-
Qur‟an dalam rasm Uṡmānī merupakan produk budaya, dan karenanya ia terbuka dan
memungkinkan untuk ditashih, dikritik, atau bahkan direvisi dengan temuan-temuan
data yang lebih valid. Hal ini bukan berarti desakralisasi terhadap Al-Qur‟an, melainkan
sebagai konsekuensi logis keberadaan rasm Uṡmānī sebagai sesuatu yang merupakan
bentukan manusia.
Kata Kunci: Sejarah, Kodifikasi, dan Al-Qur‟an

Abstract
Historically, the bookkeeping of the Koran is not as complicated as the books of Hadith.
But that does not mean that the codification process of the Qur'an is not interesting to
learn. In this case, there are a number of questions that remain relevant to convey; Is the
Qur'an still true today? What is the true structure of the Qur'an? Are there standard
standards for Koran arrangements agreed upon by Muslims throughout the world?
These questions about the codification of the Qur'an often arise, because in the course of
the Qur'an, in its capacity as a book (a piece of paper) is bound where there are dictums
in Arabic that Muslims consider to be revelations from God - the codification process is
no longer normative, but very historical, because related to various types of discourses
(social, political, etc.) that surround it. In this context, historical and analytic studies of
the historical codification of the Qur'an need to be presented, and this paper was written
to meet those needs. Through the study of history based on Muslim scholarship about
the history of the Qur'anic codification from the time of the Prophet Saw. to
standardization in the form of reading and writing, which was then supplemented with
148
critical analysis based on Western scholarship, it found that standardization "writing"
the Qur'an in rasm Uṡmānī cultural products, and therefore open and allow for tashih,
criticism, or even revision with more valid data findings. This does not mean the
desecration of the Qur'an, but as a logical consequence of the existence of rasm Uṡmānī
as something which is a human form.
Keywords: History, Codification, and Qur'an
A. PENDAHULUAN dipertanyakan dan dibahas kapan pun, di
mana pun, dan bahkan oleh siapa pun.

S
ecara historis perjalanan
pembukuan Al-Qur'an memang B. SEJARAH KODIFIKASI AL-
tidak sekompleks pembukuan QUR’AN
1
hadis. Namun bukan berarti bahwa proses
Kodifikasi Al-Qur‟an (jam‟ul Qur‟ān)
kodifikasi Al-Qur'an tidak menarik untuk
dalam pembahasan ini dimaksudkan sebagai
dikaji. Dalam hal ini ada beberapa pertanyaan
proses penyampaian, pencatatan dan
yang tetap relevan untuk diajukan; apakah Al-
penulisan Al-Qur‟an sampai dihimpunnya
Qur'an yang ada sampai saat ini masih asli?
catatan-catatan serta tulisan-tulisan tersebut
Bagaimanakah susunan Al-Qur'an yang
dalam satu „mushaf‟2 secara lengkap dan
sebenarnya? Apakah ada standar baku
tersusun secara tertib.3
susunan Al-Qur'an yang disepakati umat
Dalam berbagai literatur, penggunaan
Islam di seluruh dunia? Dan lain-lain.
istilah jam‟ul Qur‟ān (pengumpulan Al-
Pertanyaan-pertanyaan seputar kodifikasi Al-
Qur‟an)4 lebih sering digunakan dari pada
Qur‟an seperti ini wajar, karena dalam
istilah kitābāt Al-Qur‟ān (penulisan Al-
perjalanannya, Al-Qur‟an -dalam pengertian
Qur‟an)5 ataupun tadwīn Al-Qur‟ān
kapasitasnya sebagai sebuah kitab atau 6
(pembukuan Al-Qur‟an). Para ulama‟ yang
lembaran kertas terjilid dan tertulis di
memakai istilah jam‟ul Qur‟ān
dalamnya dictum berbahasa Arab yang oleh
umat Islam dianggap sebagai wahyu Allah -
proses kodifikasinya tidak lagi normatif,
2 Mengenai lafaz ‘muṣḥaf’ ini, para ulama
melainkan sangat historis, karena terkait
berpendapat bahwa ia boleh dibaca muṣḥaf dan
dengan berbagai macam discourse/wacana dapat pula dibaca miṣḥaf. Dibolehkannya dibaca
(sosial, politik, dan lain-lain) yang muṣḥaf, karena bacaan asli, sedangkan miṣḥaf,
karena untuk meringankan bacaan; dari ẓammah ke
melingkupinya, sehingga selalu layak untuk kasrah. Ibrāhīm al-Ibyāry, Pengenalan Sejarah al-
Qur’an, terj. Saad Abdul Wahid (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1993), hlm. 69.
3 Hasanuddin AF., Anatomi al-Qur’an:
Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap
1 Kodifikasi al-Qur'an dikatakan tidak Istimbath Hukum Dalam al-Qur’an (Jakarta: PT. Raja
sekompleks hadis karena pada kasus al-Qur'an Grafindo Persada, 1995), hlm. 44.
tidak ada tenggang waktu antara masa turun,
4 Subḥi al-Ṣāliḥ, Mabāḥiṡ Fī Ulūm al-Qur’ān
penulisan, dan kodifikasinya, bahkan Nabi SAW
sendiri telah menunjuk beberapa sahabatnya untuk (t.tp.: Dār al-Ilm Li al-Malāyin, t.th.), hlm. 65.
menjadi penulis wahyu sementara hadis tidak 5 Muḥammad Sālim Maḥisin, Tārikh al-Qur’ān
demikian, antara masa turun hingga kodifikasinya
al-Karīm (t.tp.: tp. , t.th.), hlm. 127.
melalui tahapan proses yang panjang, sehingga
memunculkan keraguan terhadap keotentikannya 6 Aḥmad ‘Adil Kamāl, Ulūm al-Qur’ān (t.tp.: t.p.,

sebagaimana para pemikir Barat. t.th.), hlm. 34.


149
mengartikannya dengan Al-jam‟u fī Al-ṣudūr diwahyukan kepada Muhammad dipelihara
(yaitu proses penghafalan Al-Qur‟an) dan Al- dalam ingatan Nabi SAW dan para
jam‟u fī Al-suṭūr (yaitu proses pencatatan dan sahabatnya. Tradisi hafalan yang kuat di
penulisan Al-Qur‟an). Sekalipun terdapat kalangan masyarakat Arab telah
perbedaan penggunaan istilah sebagaimana memungkinkan terpeliharanya Al-Qur‟an
paparan di atas, dalam prakteknya istilah- dalam cara semacam ini. Jadi, setelah
istilah tersebut mengandung maksud yang menerima suatu wahyu (sebagaimana
sama, yaitu proses penyampaian, pencatatan diperintahkan Al-Qur‟an), 8 Nabi SAW
hingga penghimpunan catatan-catatan tersebut kemudian menyampaikanya kepada para
ke dalam satu mushaf. pengikutnya yang kemudian
Berdasarkan pendekatan historis menghafalkannya.
tradisonal (pendekatan yang menggunakan Pada masa ini, Nabi SAW merupakan
sumber-sumber agama), maka proses Sayyid Al-Ḥuffāẓ,9 sementara para sahabat
pengumpulan Al-Qur‟an (jam‟ul Qur‟ān) seolah berlomba penuh antusias menghafal
menjalani tiga fase, yaitu: setiap ayat Al-Qur‟an yang dibacakan dan
disampaikan Nabi SAW kepada mereka.
1. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa
Selanjutnya mereka mengajarkannya kepada
Nabi SAW
istri, anak, dan keluarga mereka. 10
Unit-unit wahyu yang diterima Adanya antusiasme yang tinggi dari
Muhammad SAW pada faktanya, dipelihara para sahabat untuk menghafal Al-Qur‟an ini,
dari kemusnahan dengan dua cara utama: 1) tidak heran apabila banyak hadis
menyimpannya ke dalam dada manusia menginformasikan tentang keberadaan
(menghafalkannya), dan 2) merekamnya mereka (sekalipun dengan nama dan jumlah
secara tertulis di atas berbagai jenis bahan yang beragam). Di antara mereka yang sering
untuk menulis (pelepah korma, tulang- disebut adalah Ubay bin Ka‟ab (w. 642),
belulang, dan lain-lain).7 Jadi, ketika para Mu‟āż bin Jabal (w. 639), Zaīd bin Ṡābit, dan
ulama berbicara tentang jam‟ Al-Qur‟ān pada
masa Nabi SAW, maka yang dimaksudkan
dengan ungkapan ini adalah pengumpulan
wahyu yang diterima oleh Nabi SAW melalui
8 Lihat QS. al-Māidah: 67, QS. Al-A’raf:2, QS. Al-
Ḥijr: 94, dan lain-lain.
kedua cara tersebut, baik sebagian ataupun 9 Sayyid al-Ḥuffāẓ artinya penghulu dari segala
seluruhnya. penghafal al-Qur’an. Muhammad Abd al-Aẓīm al-
Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān Fī Ulūm al-Qur’ān (Mesir:
a. Pemeliharaan Al-Qur’an dengan Cara Isa al-Bābi al-Ḥalabi, t.th.), hlm. 241.
Menghafalkannya 10 Antusiasme para sahabat dalam menghafal

al-Qur’an ini tidak hanya keinginan pribadi tetapi


Berdasarkan paparan sejarah, pada Nabi juga melakukan berbagai cara untuk
mulanya bagian-bagian Al-Qur‟an yang merangsang mereka menghafal wahyu-wahyu yang
telah diterimanya, sebagaimana dijelaskan dalam
beberapa hadis, di antaranya adalah yang
diriwayatkan Uṡmān bin Affān bahwa Rasulullah
pernah bersabda: “Yang terbaik di antara kamu
7 Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥis Fī Ulūm al- adalah mereka yang mempelajari al-Qur’an dan
Qur’ān (t.tp.: tp., T.th.), hlm. 179. kemudian mengajarkannya”.
150
Abū Zaīd Al-Anṣārī (w. 15 H.).11 Sementara Qur‟an secara tertulis, bisa ditemukan dalam
dalam berbagai laporan lainnya, muncul kisah masuknya Umar bin Khaṭṭāb, empat
nama-nama selain keempat sahabat tersebut. tahun menjelang hijrahnya Nabi SAW ke
Mereka yang juga sering disebut dalam Madinah. Jika kisah ini dapat dipercaya, maka
riwayat adalah Uṡmān bin Affān, Tamīm Al- menunjukkan bahwa sejak semula telah
Dārī (w. 660), Abdullāh bin Mas‟ūd (w. 625), terdapat upaya yang dilakukan secara serius
Sālim bin Ma‟qil (w. 633), Ubādah bin Ṣāmit, dan sadar di kalangan sahabat Nabi SAW
Abū Ayyūb (w. 672), dan Mu‟jam Al- untuk merekam secara tertulis pesan-pesan
Jāriyah, 12 bahkan Al-Suyūṭī, dalam Al-Itqān ketuhanan yang diwahyukan kepadanya. 14
menyebutkan lebih dari 20 nama sahabat yang Selaras dengan ini, adalah pendapat W.
terkenal sebagai penghafal Al-Qur‟an.13 Montgomery Watt yang menyatakan bahwa
Pada titik ini, timbul permasalahan pencatatan Al-Qur‟an pada masa Nabi SAW
apakah tiap-tiap pengumpul Al-Qur‟an itu adalah sesuatu yang logis.15 Hal ini, di
menyimpan dalam ingatannya keseluruhan samping didasarkan pada analisis historis,
wahyu Ilahi yang diterima Muhammad atau juga (bahkan) didasarkan pada ayat-ayat Al-
hanya sebagian besar darinya? Jika dilihat Qur‟an itu sendiri. Dari sudut pandang
dari peran tulisan ketika itu, dapat sejarah, Watt menyimpulkan bahwa tradisi
dikemukakan bahwa penghafalan Al-Qur‟an tulis-menulis sudah dikenal luas dalam
merupakan tujuan utama yang terpenting – masyarakat, terutama masyarakan Mekah dan
bahkan sepanjang sejarah Islam; sementara Madinah. Kedua kota ini merupakan pusat
perekamannya dalam bentuk tertulis selalu perdagangan, para pedagangnya sudah banyak
dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan melakukan transaksi jual beli dalam bentuk
tersebut. Dengan demikian, dapat dipastikan tulisan. Oleh karena itu, Watt meragukan
bahwa tidak ada satu pun unit wahyu yang pendapat sebagian pakar yang menyatakan
tidak tersimpan dalam dada (ingatan) para bahwa Nabi SAW adalah seorang yang ummi
pengumpul Al-Qur‟an ketika itu. (dalam pengertian: tidak bisa membaca dan
b. Pemeliharaan Al-Qur’an dengan Cara menulis).16 Kata ummi, dalam beberapa ayat
Menuliskannya
Penulisan pada masa Nabi SAW
merupakan langkah kedua dalam
14 Kesimpulan semacam ini juga mendapat
pemeliharaan dan pelestarian unit-unit wahyu justifikasi dari al-Qur’an sendiri. Nama-nama yang
yang diterima oleh Nabi SAW (Al-Qur‟an). digunakan untuk merujuk pesan Ilahi yang dibawa
Muhammad, seperti al-Qur’ān, al-Kitāb, atau al-
Informasi paling awal tentang penyalinan Al- waḥy, secara tersamar mengungkapkan suatu
gambaran latar belakang tertulis.
15 Dikutip dari M. Quraish Shihab dkk., Sejarah
dan Ulumul Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000),
11 Dikutip dari Taufiq Adnan Amal, hlm. 26.
Rekonstruksi …, hlm. 130. 16 Kata ummi berasal dari bahasa Ibrani
12 Ibid. “ummot h-‘olam”, menyeberang ke bahasa Arab
13 Jalāluddīn al-Suyūṭi, al-Itqān Fī ‘Ulūm al- ummi dapat berarti “pribumi/native”. Dengan
Qur’an (Beirūt: Dār al-Fikr, t.th.), hlm. 74. demikian, nabi Muhammad SAW seorang ummi
berarti beliau bukan seorang Yahudi, tetapi seorang
151
Al-Qur‟an menurut Watt, kurang tepat bila dipastikan bahwa unit-unit wahyu yang
diartikan “buta huruf”, tetapi lebih tepat diterima Nabi SAW telah dipelihara dan
diartikan dengan “orang-orang yang tidak dilestarikan dalam bentuk tulisan. 21
memiliki kitab suci tertulis”. 17 Sedangkan Pada titik ini, masalah yang muncul
argumentasi Qur‟ani, Watt menyebutkan adalah sejauh mana rekaman-rekaman tertulis
adanya beberapa ayat yang mengisyaratkan Al-Qur‟an itu memiliki bentuk seperti Al-
pentingnya pencatatan, terutama dalam urusan Qur‟an yang kita kenal dewasa ini? Masalah
perdagangan. 18 ini memang pelik, karena di satu sisi, meski
Terlepas apakah kesimpulan Watt di unit-unit wahyu telah ditulis pada masa Nabi
atas benar atau salah, yang jelas dalam SAW, tetapi Nabi SAW sendiri tidak pernah
literatur-literatur Islam banyak disebutkan mempromulgasikan suatu kumpulan tertulis
bahwa keberadaan para penulis wahyu sudah Al-Qur‟an yang lengkap dan resmi (dalam
dikenal secara umum. Di antara mereka satu mushaf).22 Sedangkan di sisi lain, adalah
adalah Abū Bakar Al-Ṣiddīq, Umar bin merupakan satu hal pasti bahwa Nabi SAW
Khaṭṭāb, Uṡmān bin Affān, Alī bin Abī Ṭālib, sendirilah yang merangkai berbagai bagian
Mu‟āwiyah, Khālid bin Walīd, Ubay bin atau ayat Al-Qur‟an yang diwahyukan
Ka‟ab, Zaīd bin Ṡābit, Ṡābit bin Qais, Amr kepadanya dan menetapkan susunannya
bin Fuhairah, Amr bin „Ăṣ, Abū Mūsā Al- secara pasti dalam surat-surat yang ada
Asy‟arī, dan Abū Dardā‟.19 Bahkan, Abū (tauqīfī). Oleh karena itulah, ketika dibuka
Abdullāh Al-Zanjanī (salah satu sarjana kumpulan Al-Qur‟an para sahabat, maka yang
Syi‟ah terkemuka abad ke-20) menyebut 34 ditemukan adalah perbedaan yang cukup
nama sahabat Nabi SAW yang ditugaskan signifikan dalam susunan surat bukan susunan
mencatat wahyu.20 Berdasarkan hal ini, dapat ayat.
2. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa
Abū Bakar
nabi yang berasal dari bangsanya sendiri, yaitu
Arab. Ibid. Pada masa kekhalifahan Abū Bakar,
17 lebih jauh, di antara alasan historis bahwa terjadilah kekacauan di kalangan umat Islam
Nabi SAW bukan seorang ummi, menurut Watt
adalah Nabi SAW seorang kepercayaan Khadijah
untuk menjalankan misi dagangnya ke luar negeri,
tentu transaksi tertulis tidak dapat dihindarkan,
pimpinan ekspedisi ke Nakhlah diberikan surat 21 Bukti lain tentang terdapatnya usaha serius
rahasia dari Nabi SAW, dan redaksi “Muḥammad bin dari kalangan sahabat merekam wahyu dengan
Abdullāh” dalam perjanjian Hudaibiyah ditulis tulisan adalah adanya mushaf-mushaf sahabat,
langsung oleh Nabi SAW, karena Ali (sebagai juru seperti muṣḥaf Ubay bin Ka’ab, muṣḥaf Ibnu Mas’ūd,
tulis) tidak mau mengganti redaksi pertama. Ibid. muṣḥaf Abū Mūsa al-Asy’arī, dan muṣḥaf Miqdād
18 Di antaranya QS. al-Baqarah: 282-283. bin Aswad. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi …, hlm.
Selaras dengan Watt, Schwally juga menunjukkan 159-160.
beberapa bagian al-Qur’an yang menyiratkan 22 Hal ini menurut al-Zarqānī ada beberapa
perekaman wahyu secara tertulis, seperti QS. al- alasan: i) tidak adanya faktor pendorong
Ankabūt: 48, QS. al-Furqān: 4-5, QS. al-Kahfi: 109, dibukukannya al-Qur’an, ii) al-Qur’an diturunkan
dan QS. Luqmān: 27. secara berangsur-angsur, dan iii) selama proses
19 Ṣubḥi al-Sāliḥ, Mabāḥiṡ…, hlm. 68. turunnya al-Qur’an, masih terdapat kemungkinan
adanya mansukh. Muḥammad Abd al-Azīm al-
20 Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 132. Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān…, hlm. 132.
152
yang ditimbulkan oleh orang-orang murtad di Umar bin Khaṭṭāb, sebagai khalifah kedua. Di
bawah pimpinan Musailamah Al-Każżāb.23 masa Umar bin Khaṭṭāb, mushaf itu
Hal ini mengakibatkan terjadinya perang diperintahkan untuk disalin ke dalam
Yamāmah yang terjadi pada tahun 12 H. lembaran (ṣaḥīfah). Umar tidak
Dalam peperangan tersebut, banyak sahabat menggandakan lagi ṣaḥīfah itu, karena
penghafal Al-Qur‟an yang meninggal hingga memang hanya untuk dijadikan naskah
mencapai 70 orang, bahkan dalam satu orisinil, bukan sebagai bahan hafalan. Setelah
riwayat disebutkan 500 orang.24 Sementara seluruh rangkaian penulisan selesai, naskah
umat Islam yang gugur dalam peperangan tersebut diserahkan kepada Ḥafṣah binti Umar
tersebut kurang lebih berjumlah 1.200 (istri Rasulullah SAW) untuk disimpan. 28
orang.25 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
Tragedi Yamāmah ini menggugah hati Umar bin Khaṭṭāb sebagai penggagas
Umar bin Khaṭṭāb untuk meminta kepada intelektual (Intellektuelle Urheber),
khalifah Abū Bakar agar Al-Qur‟an segera sedangkan Abū Bakar merupakan orang yang
dikumpulkan dan ditulis dalam sebuah memerintahkan pengumpulan (dalam
mushaf. Umar khawatir Al-Qur‟an akan kapasitasnya sebagai penguasa) dan
berangsur-angsur hilang bersamaan dengan menunjuk pelaksana teknis, serta menerima
meninggalnya para penghafalnya. Sekalipun hasil pekerjaan berupa muṣḥaf Al-Qur‟ān.29
pada awalnya ragu terhadap gagasan Umar Berdasarkan paparan di atas, minimal
ini, tetapi akhirnya Abū Bakar menerimanya, terdapat dua motif yang bisa diajukan
kemudian memerintahkan Zaīd bin Ṡābit kaitannya dengan praktek pengumpulan Al-
untuk segera mengumpulkan Al-Qur‟an dan Qur‟an pada masa Abū Bakar. Pertama, motif
menulisnya26 dalam satu mushaf. 27 didasarkan pada kenyataan bahwa Nabi SAW
Setelah Abū Bakar wafat, mushaf belum mengumpulkan Al-Qur‟an dalam suatu
terjaga dengan ketat di bawah tanggung jawab mushaf tunggal hingga wafatnya. Kedua,

23 Hasanuddin AF, Anatomi…, hlm. 50.


28 Mushaf Abū Bakar yang akhirnya disimpan
H}afs}ah ini, memiliki ciri-ciri penulisan sebagai
24 Muḥammad Abd al-Azīīm al-Zarqanī, berikut: 1) seluruh ayat al-Qur’an ditulis dan
Manāhil al-‘Irfān…, hlm. 249. dikumpulkan dalam satu mushaf berdasarkan
25 Aḥmad ‘Adil Kamāl, Ulūm al-Qur’ān, hlm. 38. penelitian yang cermat dan seksama, 2) tidak
termasuk di dalamnya ayat-ayat yang mansukh, dan
26 Sumber utama dalam penulisan al-Qur’an 3) seluruh ayat yang ditulis di dalamnya telah
tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis dan diakui kemutawatirannya. Hasanuddin AF, Anatomi
dicatat di hadapan Nabi SAW. Di samping itu, untuk al-Qur’an…, hlm. 55.
lebih hati-hati, catatan-catatan serta tulisan-tulisan 29 Dalam hal ini, ada riwayat versi lain yang
tersebut harus dipersaksikan oleh dua orang saksi
yang adil. Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an…, hlm. menyatakan bahwa pengumpulan al-Qur’an itu,
55. pada dasarnya merupakan inisiatif Abū Bakar
sendiri, ada juga pendapat bahwa Umar lah
27 Selengkapnya, rekaman dialog antara Abū pengumpul pertama al-Qur’an, dan tidak
Bakar, Umar bin Khab, dan Zaid bin S|a>bit dapat ketinggalan pula adanya sejumlah laporan yang
dilihat pada al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, juz 5 ingin mengharmoniskan kedua sudut pandang
(Beirūt: Dār al-Ṭibā’at al-Munirriyyat, t.th.), hlm. tersebut. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm.
314-315. 147.
153
motif yang didasarkan pada kenyataan dikatakan memiliki pengetahuan Al-Qur‟an
wafatnya sejumlah penghafal Al-Qur‟an pada yang meyakinkan, yaitu Abdullāh bin Ḥafsh
pertempuran Yamāmah yang menimbulkan ibn Gānim dan Sālim bin Ma‟qil. 31 Dengan
kecemasan Umar bin Khaṭṭāb akan hilangnya demikian, pengaitan motif pengumpulan Al-
bagian-bagian Al-Qur‟an. Untuk motif Qur‟an pada masa Abū Bakar dengan
pertama, memang dapat dipastikan bahwa gugurnya sejumlah besar penghafal Al-
Nabi SAW sama sekali tidak meninggalkan Qur‟an dalam pertempuran Yamāmah sangat
kodeks Al-Qur‟an dalam bentuk lengkap dan sulit dipertahankan.32
resmi yang bisa dijadikan pegangan bagi umat
3. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa
Islam, tetapi untuk motif kedua, terdapat Uṡmān bin Affān
beberapa kritik yang ditujukan kepadanya.
Telah jelas bahwa terdapat upaya serius dan Pada masa pemerintahan Uṡmān bin
sadar di kalangan sahabat Nabi SAW untuk Affān, banyak di antara para sahabat
memelihara wahyu dalam bentuk tertulis, penghafal Al-Qur‟an yang tinggal berpencar
seraya tetap berpatokan pada petunjuk- di berbagai daerah. Hal ini disebabkan daerah
petunjuknya tentang komposisi kandungan Islam waktu itu sudah semakin meluas. Lebih
kitab suci tersebut. Jadi, wafatnya sejumlah dari itu, para pemeluk agama Islam di
penghafal Al-Qur‟an barangkali bukan masing-masing daerah tersebut mempelajari
merupakan alasan utama untuk mencemaskan serta menerima bacaan Al-Qur‟an dari
hilangnya bagian-bagian Al-Qur‟an.30 sahabat ahli qirā‟at yang tinggal di daerah
Di samping itu, kritikan yang lebih bersangkutan. Penduduk Syām misalnya,
tajam dikemukakan oleh para pemikir Barat. berguru dan membaca Al-Qur‟an dengan
Sebagaimana keterangan di atas, bahwa qirā‟at Ubay bin Ka‟ab, penduduk Kuffah
jumlah penghafal yang gugur pada peristiwa pada Abdullāh bin Mas‟ūd, sementara
Yamāmah sebanyak 70 orang (bahkan penduduk Baṣrah pada Abū Mūsū Al-
menurut riwayat lain 500 orang). Namun Asy‟arī. 33
ketika nama-nama para penghafal Al-Qur‟an Perlu diketahui, bahwa versi qirā‟at
ditelusuri dalam daftar orang-orang yang yang dimiliki dan diajarkan oleh masing-
gugur (seluruhnya berjumlah 1200 orang) masing sahabat ahli qirā‟at tersebut satu sama
ternyata hanya ditemukan sejumlah kecil lain berlainan. Hal ini rupanya menimbulkan
nama yang mungkin menghafal banyak Al-
Qur‟an. L. Caetani bahkan menunjukkan yang
gugur ketika itu hampir seluruhnya pengikut 31 Ibid., hlm. 148.
baru Islam. Sementara Schwally menyebutkan 32 Ibid., hlm. 147-148. Mengenai kritikan

bahwa dari pemeriksaannya terhadap daftar semacam ini Kamaluddin Marzuki memberikan
tanggapan bahwa kekhawatiran Umar tidak semata-
nama-nama penghafal Al-Qur‟an yang gugur, mata karena terbunuhnya 70 orang penghafal al-
ia hanya menemukan dua orang yang bisa Qur’an, tetapi kekhawatiran yang lebih besar adalah
jika terjadi pertempuran-pertempuran selanjutnya,
akan memakan jumlah korban yang lebih banyak.
Kamaluddin Marzuki, Membahas Rasm…, hlm. 73.
30 Ibid. 33 Hasanuddin AF., Anatoni al-Qur’an…, hlm. 56.
154
dampak negatif di kalangan umat Islam waktu sampai akhir hayatnya, setelah itu Marwān
itu, yaitu masing-masing di antara mereka bin Al-Hākam (w. 65 H) wali kota Madinah
saling membanggakan versi qirā‟at mereka, saat itu, memerintahkan untuk mengambil
dan saling mengaku bahwa versi qirā‟at mushaf tersebut dan membakarnya. 38
mereka lah yang paling baik dan benar. 34 Secara umum, ada empat ciri yang
Situasi seperti ini sangat mencemaskan dimiliki mushaf Al-Qur‟an yang ditulis pada
khalifah Uṡmān bin Affān, karenanya ia masa Uṡmān bin Affān, yaitu: 39
segera mengundang para pemuda sahabat, 1. Ayat-ayat Al-Qur‟an yang tertulis di
baik dari golongan Ansar maupun Muhājirīn. dalamnya, seluruhnya berdasarkan
Akhirnya, dari mereka diperoleh suatu riwayat mutawatir dari Nabi SAW
kesepakatan, agar mushaf yang ditulis pada 2. Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat yang
masa Abū Bakar disalin kembali menjadi mansūkh
beberapa mushaf dengan dialek Quraisy. 35 3. Surat-Surat maupun ayat-ayatnya telah
Dalam hal ini, Uṡmān bin Affān menunjuk disusun dengan tertib sebagaimana Al-
suatu tim yang terdiri atas empat orang Qur‟an sekarang ini
sahabat pilihan, yaitu; Zaid bin Sābit,
4. Tidak terdapat di dalamnya yang tidak
Abdullāh bin Zubair, Sa‟īd bin Al-„Āṣ, dan tergolong kepada Al-Qur‟an, seperti
Abdurraḥmān bin Al-Ḥaris bin Hisyām.36 tulisan sahabat Nabi SAW sebagai
Setelah tim ini menyelesaikan tugasnya, penjelas.
Uṡmān bin Affān segera mengembalikan
5. Mushaf-mushaf yang ditulis pada masa
mushaf orisinal kepada Hafṣah, kemudian
Uṣmān tersebut, mencakup tujuh huruf
beberapa mushaf hasil kerja tim tersebut (sab‟at Al-aḥruf) diturunkannya Al-
dikirim ke berbagai kota untuk dijadikan Qur‟an.
rujukan, terutama ketika terjadi perselisihan
tentang qirā‟at Al-Qur‟ān, sementara Mengenai pengumpulan Al-Qur‟an
mushaf-mushaf lainnya yang ada pada saat itu pada masa Uṡmān bin Affān ini, sebagaimana
diperintahkan oleh Uṡmān bin Affān untuk pada masa Abū Bakar, juga terdapat beberapa
dibakar.37 kritikan yang bisa diajukan. Penyebutan
Adapun mushaf yang ditulis pada masa mushaf Ḥafṣah sebagai basis kodifikasi
Abū Bakar tetap tersimpan pada Hafṣah Usman dinilai sebagai suatu yang meragukan.
Perjalanan historis mushaf tersebut (dari Abū
Bakar ke Umar bin Khaṭṭāb kemudian ke
H}afs}ah sebagai warisan) lebih
34 Gambaran mengenai hal ini, sebagaimana 40
menunjukkan karakter personalnya. Suatu
terlihat oleh H}uz|aifah bin al-Yama>n, ketika ia
tengah memimpin penduduk Siria dan Iraq dalam
suatu ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan.
Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 196.
35 Ibid., hlm. 197. 38 Aḥmad ‘Adil Kamāl, Ulūm al-Qur’ān, hlm. 44.
36 M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulum al- 39 Muhammad Sālim Maḥisīn, Tārikh …, hlm.
Qur’an, hlm. 30. 149.
37 Ibid. 40 Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 149.
155
mushaf orisinil (resmi) yang pengumpulannya bahasa ini bukanlah dialek suku atau suku-
diotorisasi khalifah tentunya tidak logis suku tertentu.43
apabila jatuh ke pemilikan pribadi Hafs}ah,
sekalipun ia merupakan putri Khalifah Umar C. MUSHAF NON STANDAR DAN
dan istri Nabi SAW.41 Di samping itu, adanya MUSHAF STANDAR
keterangan yang menyebutkan bahwa mushaf
1. MUSHAF NON STANDAR
tersebut diminta oleh Marwān bin Al-Hakam
untuk dimusnahkan, karena adanya bacaan- Adapun yang dimaksud dengan mushaf
bacaan yang tidak lazim sehingga non standar di sini adalah mushaf-mushaf
menyebabkan perselisihan, jelas selain mushaf Usmani. Telah terbukti –
menunjukkan mushaf Ḥafṣah tidak memadai sebagaimana keterangan di atas- bahwa pada
sebagi basis utama untuk kodifikasi Uṣmān.42 masa-masa awal telah ada upaya serius dan
Akan tetapi, hal ini tidak menafikan sadar di kalangan sahabat Nabi SAW untuk
kemungkinan penggunaannya (bukan sebagai merekam Al-Qur‟an secara tertulis, sehingga
sumber utama) bersama mushaf-mushaf memunculkan beberapa mushaf Al-Qur‟an.44
lainnya dalam upaya pengumpulan tesebut. Dengan didasarkan pada kitab Maṣāḥif karya
Di samping itu, pemilihan Uṣmān Ibnu Abī Dāwud dan sejumlah manuskrip
terhadap dialek Quraisy juga mendapat lainnya, Arthur Jeffery mengklasifikasikan
sorotan. Berdasarkan argumen sebagian mushaf-mushaf tersebut ke dalam dua
ulama, bahwa pemilihan Uṣmān terhadap kategori utama, yaitu; mushaf primer dan
dialek Quraisy, karena Nabi SAW dan para mushaf skunder. 45 Mushaf primer adalah
pengikut awal berasal dari suku Quraisy, mushaf-mushaf independen yang
sehingga mereka tentunya telah membaca Al- dikumpulkan secara individual oleh sejumlah
Qur‟an dalam dialek suku tersebut. Namun sahabat Nabi SAW. Mushaf primer ini
penelitian terakhir tentang bahasa Al-Qur‟an berjumlah 15 kodeks, yaitu:
menunjukkan bahwa ia kurang lebih identik
a. Muṣḥaf Sālim bin Ma‟qīl
dengan bahasa yang digunakan dalam syair-
b. Muṣḥaf Umar bin Khaṭṭāb
syair pra Islam. Bahasa ini merupakan lingua
franca (lazimnya disebut „Arābiyyah) yang c. Muṣḥaf Ubay bin Ka‟ab
dipahami oleh seluruh suku di jazirah Arab, d. Muṣḥaf Ibnu Mas‟ūd
dan merupakan satu-kesatuan bahasa, karena
kesesuaiannya yang besar dalam masalah
leksikal maupun gramatik. Oleh sebab itu, 43 Ibid., hlm. 200.
44 Eksistensi mushaf sahabat (pra Usmani) ini

bisa diketahui dari tulisan para mufassir dan filolog


awal, ketika merereferensi mushaf-mushaf tersebut
dengan ungkapan-ungkapan; “dalam beberapa
mushaf lama” (fī ba’ḍ al-Maṣāḥif), “mushaf Basrah”
(dinisbatkan kepada kota), ataupun “muṣhaf Ibnu
41 W. Montgomery Watt, Richard Bell: Mas’ūd” (dinisbatkan kepada pemiliknya). Dikutip
Pengantar al-Qur’an (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 36. dari Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi …, hlm. 157.
42 Ibid. 45 Ibid., 158.
156
e. Muṣḥaf Alī bin Abī Ṭālib sekitar empat mushaf sahabat yang berhasil
f. Muṣḥaf Abū Mūsā Al-Asy‟arī memapankan pengaruhnya di kalangan
masyarakat Islam. Keempat sahabat itu adalah
g. Muṣḥaf Hafṣah binti Umar
Ubay bin Ka‟ab (kumpulan Al-Qur‟annya
h. Muṣḥaf Zaid bin Ṡābit
berpengaruh di sebagian besar Siria),
i. Muṣḥaf Ā‟isyah binti Abū Bakar Abdullāh bin Mas‟ūd (kumpulan Al-
j. Muṣḥaf Ummu Salāmah Qur‟annya mendominasi Kuffah), Abū Mūsā
k. Muṣḥaf Abdullāh bin Amr Al-Asy‟arī (mushafnya berpengaruh di
Bashrah), dan Miqdād bin Aswad (mushafnya
l. Muṣḥaf Ibnu Abbās
diikuti masyarakat Hims). 46
m. Muṣḥaf Ibn Al-Zubair
n. Muṣḥaf Ubaid bin Umair 2. MUSHAF STANDAR

o. Muṣḥaf Anas bin Mālik Mushaf standar di sini maksudnya


Sedangkan mushaf skunder adalah adalah mushaf Usmani. Mengenai mushaf
mushaf generasi selanjutnya yang sangat Usmani ini, di samping proses kesejarahannya
bergantung (didasarkan) pada mushaf-mushaf di atas, ada beberapa hal yang juga menarik
primer serta mencerminkan tradisi bacaan untuk dibahas lebih lanjut.
kota-kota besar. Mushaf skunder ini 1. Karakteristik Mushaf Usmani
berjumlah 13 mushaf, yaitu:
Dalam hal ini, ada sejumlah pendapat
a. Muṣḥaf Alqama ibn Qais yang menyatakan bahwa susunan surat dalam
b. Muṣḥaf Al-Rabi‟ bin Khutsam mushaf Usmani (menempatkan surat-surat
c. Muṣḥaf Al-Ḥāris bin Suwaid panjang terlebih dahulu kemudian baru surat-
surat pendek) adalah bersifat ijtihadi.47
d. Muṣḥaf Al-Aswd bin Yazīd
Gambaran seperti ini, tampak jelas terekam
e. Muṣḥaf Ḥittān dalam pernyataan Al-Ya‟qūbi: “Uṡmān bin
f. Muṣḥaf Ṭalhah bin Muṣarrif Affān mengkodifikasikan Al-Qur‟an,
g. Muṣḥaf Al-A‟masy menyusun, dan mengumpulkan surat-surat

h. Muṣḥaf Sa‟īd bin Jubair


i. Muṣḥaf Mujāhid
46 Keempat mushaf di atas, banyak mempunyai
j. Muṣḥaf Ikrimah
perbedaan dengan mushaf Usmani, baik dari segi
k. Muṣḥaf Aṭā‟ bin Abī Rabi‟ah vokalisasi bentuk konsonan, pemberian titik-titik
diakritis pembeda lambang-lambang konsonan,
l. Muṣḥaf Ṣāliḥ bin Kaisān penambahan/pengurangan kata, dan lain-lain.
Untuk lebih jelasnya lihat Ibid., hlm. 160-189.
m. Muṣḥaf Ja‟far Al-Ṣādiq 47 Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh

Mālik bin Anas, Abū Bakar al-Baqillānī, dan Abū al-


Dari semua mushaf di atas H}usain Ah}mad bin Faris. Di samping itu, ada juga
(primer/skunder), dalam tenggang waktu yang berpendapat sebaliknya, seperti Abū Bakar al-
Anbari, Abū Ja’far al-Nuhas, dan al-Thibi. Pendapat
sekitar 20 tahun (mulai wafatnya Nabi SAW ini diikuti oleh jumhur. Hasanuddin AF., Anatomi al-
sampai pengumpulan Al-Qur‟an), hanya Qur’an…, hlm. 76-78.
157
panjang dengan surat-surat panjang dan surat- bahwa nama-nama surat yang beragam itu
surat pendek dengan surat-surat pendek”. telah memasyarakat.49
Dengan demikian, sistem penyusunan surat 2. Stabilitasi Teks dan Bacaan Al-
dalam mushaf Uṣmān pada dasarnya sama Qur’an Mushaf Usmani
dengan model penyusunan sahabat-sahabat
a. Stabilitasi Teks Al-Qur’an
lainnya, seperti Alī bin Abī Ṭālib, Ibnu Mushaf Usmani
Mas‟ūd, dan Ubay bin Ka‟ab, kecuali Ibnu
Proses stabilitasi teks Al-Qur‟an ini
Abbās yang menyusun secara kronologis. 48
diawali dengan standardisasi mushaf Usmani
Sekalipun sistem penyusunan surat Al-
dan dicapai dengan upaya eksperimental
Qur‟an dalam mushaf Usmani dimulai dari
untuk menyempurnakan aksara Arab.
yang surat panjang ke arah surat yang pendek,
Memang, upaya ini pada akhirnya mencapai
namun terdapat dua tempat di mana sistem ini
titik puncak pada penghujung abad ke-3/9 H
mengalami inkonsistensi yaitu; pertama,
dan berhasil memaparkan bentuk teks Al-
surat pendek Al-Fātiḥah ditempatkan paling
Qur‟an yang lebih memadai. Namun, sebelum
awal di depan surat paling panjang (Al-
itu terdapat masalah serius yang harus
Baqarah) dan kedua, penempatan surat
dihadapi.
terpendek (surat Al-„Aṣr) bukan pada
Sebagaimana paparan di atas, bahwa
penghujung mushaf.
alasan utama di balik kodifikasi Al-Qur‟an
Jumlah keseluruhan surat dalam mushaf
pada masa Uṡmān bin Affān adalah perbedaan
Usmani adalah 114 surat dengan nama-nama
tradisi teks dan bacaan yang mengarah kepada
yang beragam. Dalam hal ini, tidak ada
perpecahan politik umat Islam, akan tetapi
kesepakatan formal di kalangan ulama
karena ketidaksempurnaan aksara Arab yang
mengenai penamaan surat-surat tersebut,
digunakan untuk menyalin Al-Qur‟an waktu
sekalipun sekuensi (tata urutannya) telah
itu, maka langkah tersebut tidak langsung
ditetapkan secara definitif dalam mushaf
mencapai hasil yang diidealkan.
Usmani. Dengan demikian, dapat ditegaskan
Bentuk aksara-aksara atau ortografi
bahwa nama-nama yang diberikan kepada
Arab lama (scriptio defectiva) yang
surat-surat itu bukanlah bagian dari Al-
digunakan untuk menyalin Al-Qur‟an ketika
Qur‟an. Tidak jelas kapan munculnya nama-
itu (tidak adanya tanda-tanda vokal dan
nama surat yang beragam itu, namun dapat
adanya sejumlah konsonan berbeda dalam
dikemukakan dugaan bahwa segera setelah
akasara dilambangkan dengan simbol-simbol
adanya kodifikasi Al-Qur‟an, timbul
yang sama), masih membuka peluang bagi
kebutuhan untuk pemberian nama-nama surat
seseorang untuk membaca teks kitab suci
guna mempermudah perujukannya dan sekitar
secara beragam. Hal ini bisa dilacak pada
pertengahan abad ke –8 dapat dipastikan
berbagai perbedaan bacaan yang eksis dalam
qirā‟at Al-sab‟ah dan berbagai bacaan non

48 Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 211. 49 Ibid., hlm. 212.


158
Usmani lainnya. Sebagai contoh; kerangka mengakibatkan munculnya perbedaan makna
konsonantal (bentuk grafis) dalam yang signifikan, tetapi dalam beberapa kasus
Qs. Al-Baqarah: 259, telah dibaca ‫وُـ ْىـ ِشـ ُزهَا‬ lainnya bisa juga memunculkan perbedaan
(nunsyizuhā) dalam qirā‟at Āṣim yang makna yang signifikan (khususnya dalam
diriwayatkan Ḥafsh, sementara dalam qirā‟at penyimpulan hukum). Sebagai contoh,
Nāfi‟ yang diriwayatkan Warsy dibaca ‫وُـ ْىـ ِشـ ُزهَا‬ rangkaian konsonan‫يـطهزوا‬ (QS. Al-
(nunsyiruhā). Perbedaan pemberian titik Baqarah:222), oleh Hamzah, Al-Kisā‟ī, dan
diakritis ini sama sekali tidak mempengaruhi „Āṣim (riwayat Syu‟bah) dibaca ‫يـَطهّزوا‬
makna keseluruhan ayat, karena kedua kata (yaṭṭahharnā), sedangkan Ibnu Kaṡīr, Nāfi‟,
itu memiliki makna sinonim, yakni Abū Amr, dan „Āṣim (riwayat Ḥafṣ)
“membangkitkan”. 50 Demikian pula kerangka membacanya sebagai ‫( يَـْطهُزوا‬yaṭhurnā).
konsonantal ‫ يـزتـد‬QS. Al-Māidah: 54); dalam Makna bacaan pertama adalah bersuci
qira‟at pertama dibaca ‫( يَـزتَـ َّدد‬yartadda), (larangan mencampuri istri yang haid hingga
sedangkan dalam qira‟at kedua dibaca ْ ‫ َيـْزتَـ ِد‬. mereka bersuci (mandi) setelah haid.
(yartadid). Perbedaan ini pun tidak memiliki Sementara, makna bacaan kedua adalah suci
efek apa pun terhadap makna ayat, karena (larangan menggauli istri yang sedang haid
merupakan masalah asimilasi hingga darah haid berhenti. Dengan demikian,
51
(mumaāṡalah). dari semua penjelasan di atas, dapat dikatakan
Jika ilustrasi di atas, merupakan bahwa penyebab timbulnya perbedaan bacaan
perbedaan pemberian titik diakritis terhadap Al-Qur‟an adalah tulisan yang digunakan
kerangka konsonantal yang sama, maka untuk menyalin mushaf usmani ketika itu.53
berikut ini adalah ilustrasi perbedaan Lebih jauh, adanya perbedaan
vokalisasi. Sebagai contoh lafaz ‫واتـخذ وا‬
ِ (QS. pembacaan teks Al-Qur‟an (yang disalin
Al-Baqarah:125). Dalam riwayat H}afsh} dengan scriptio defectiva), memunculkan
terbaca ‫واتـخذ وا‬
ِ (wattakhażū), sedangkan gagasan penyempurnaan rasm Al-Qur‟ān.54
dalam riwayat Warsy terbaca ‫واتـ َخذ وا‬ Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat
(wattakhiżū). Dalam kasus ini pun tidak
terjadi perbedaan makna yang mendasar,
selain masalah pernyataan langsung (kalām
mubāsyir/kalimat langsung) atau pelaporan 53 Namun kesimpulan seperti ini, tidak
diterima mayoritas sarjana Islam. Menurut
suatu tindakan (kalām ghairu merekaberbagai perbedaan bacaan (qirā’at
52
mubāsyir/kalimat tidak langsung). Memang mutawātir hingga masyhūr) merupakan bacaan
yang bersumber dari Nabi SAW dan karenanya
ilustrasi-ilustrasi perbedaan pemberian titik- memiliki otoritas ilahiyah. Hal ini didasarkan pada
prinsip bahwasejumlah besar pembaca (qurrā’) al-
titik diakritis ini, baik untuk kerangka Qur’an yang tersebar di berbagai wilayah Islam
konsonantal maupun vokalisasi tidak tidak mungkin bersepakat pada suatu kekeliruan.
Dengan demikian, teks tertulis hanya memiliki
peran yang sangat terbatas. Taufiq Adnan Amal,
Rekonstruksi…, hlm. 276.
50 Ibid., hlm. 274. 54Rasm di sini artinya kesatuan atau pola yang
51 Ibid. digunakan Usmān bin Affān bersama sahabat-
sahabat lainnya dalam penulisan al-Qur’an.
52 Ibid. Hasanuddin AF., Anatomi al-Qur’an…, hlm. 79.
159
tentang para pelakunya. Namun, pada konsonan mati (sukūn), tidak dibubuhkan
umumnya disebutkan bahwa pada masa tanda apa pun. 57 Tanda-tanda vokal ini, dalam
kekhalifahan Mu‟āwiyah bin Abī Sufyān penulisan mushaf diberi warna yang berbeda
(661-680), langkah ke arah penyempurnaan dari warna hurufnya. Menurut sebagian
tersebut mulai dilakukan. 55 Ziyād bin riwayat, tidak seluruh huruf dalam mushaf
Sāmiyah (w. 673) yang ketika itu sebagai diberi tanda vokal, tanda-tanda ini hanya
Gebernur Basrah, meminta Abū Aswad Al- dibubuhkan pada huruf-huruf terakhir tiap
Du‟alī (605-688) agar menciptakan tanda- kata, atau pada huruf-huruf tertentu yang
tanda baca dan membubuhkannya ke dalam berpeluang terhadap kekeliruan. 58
mushaf untuk menghindari berbagai Pada masa kekhalifahan Abbasiyah,
kekeliruan pembacaan. Al-Du‟alī sendiri, tanda-tanda vokal yang diciptakan Al-Du‟alī,
secara tidak langsung telah memenuhi kemudian disempurnakan lebih jauh oleh Al-
permintaan Zaid, sebagaimana dalam suatu Khalīl bin Aḥmad (715-786), seorang pakar
peristiwa ketika Al-Du‟alī mendengar sendiri bahasa Basrah dan merupakan sarjana
seseorang keliru membaca bagian Al-Qur‟an pertama yang menyusun kamus bahasa Arab
(QS. 9:3): ‫ئ مهَ الم ْش ِزكيهَ ورسىله‬
ٌ ‫بز‬ ّ .
ِ ‫إن هللا‬ serta pengembang aturan-aturan persajakan.59
Kekeliruan pembacaan dalam ayat ini Penyempurnaan yang dilakukan Al-Khalīl
terletak pada vokalisasi kata rasūluhu menjadi adalah membubuhkan huruf alif kecil di atas
rasūlihi, yang mengakibatkan adanya huruf untuk tanda vokal a, huruf ya‟ kecil di
perubahan makna sangat substansial. Ketika bawah untuk vokal i, huruf waw kecil di
bagian Al-Qur‟an itu dibaca secara benar depan huruf untuk vokal u, menggandakan
“rasūluhu”, maka maknanya adalah tanda-tanda vokal ini untuk melambangkan
“Sesungguhnya Allah dan rasul-Nya berlepas vokal rangkap (tanwīn), membubuhkan
diri dari orang-orang yang musyrik. Tetapi, kepala huruf ha di atas huruf untuk tanda
ketika kata itu dibaca “rasūlihi”, maka sukun. Sementara untuk tanda konsonan
maknanya akan berubah menjadi rangkap (syaddah), ditempatkan kepala huruf
“Sesungguhnya Allah berlepas diri dari sin.60 Dari tanda-tanda vokal yang
orang-orang yang musyrik dan dari rasul- diintroduksi Al-Khalīl inilah, kemudian
Nya”. 56 dilakukan penyempurnaan akhir, sehingga
Dalam langkah penyempurnannya, mengambil bentuk yang dikenal dewasa ini.
rasūluhu kemudian memperkenalkan tanda- Adapun untuk tanda-tanda pembeda
tanda vokal yang penting, yakni titik di atas konsonan, upaya pengintroduksiannya mulai
huruf untuk vokal a (fatḥah), di bawah huruf dilakukan pada masa pemerintahan Abd Al-
untuk vokal i (kasrah), titik di sela-sela atau Mālik bin Marwān (685-705) dari bani
di depan huruf untuk vokal u (ḍammah), dua
titik untuk vokal rangkap (tanwīn), dan untuk
57 Ibid.
58 Ibid.
55 Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…,hlm. 280. 59 Ibid., hlm. 281-282.
56 Ibid., hlm. 281. 60 Ibid.
160
Umāyah. Seorang gubernur Irak waktu itu, bacaan non-Usmani. Dari sini, pada dasarnya
Al-Ḥajjaj bin Yūsuf (w.714) demi umat Islam terpecah ke dalam dua gerakan
menghilangkan berbagai kekeliruan (pro dan penentang standardisasi teks/bacaan
pembacaan Al-Qur‟an, menugaskan dua ahli Al-Qur‟an), namun akhirnya keduanya sama-
bahasa terkenal ketika itu; Naṣr ibn „Āṣim (w. sama mencapai tujuannya dalam bentuk
708) dan Yaḥyā bin Ya‟mūr (w. 747) – kompromi. 62 Pada tataran praktis, teks
keduanya adalah murid Al-Du‟alī- Usmani berhasil memapankan diri sebagai
menyempurnakan pekerjaan gurunya, yaitu satu-satunya teks Al-Qur‟an yang disepakati
mengupayakan pembedaan konsonan- (textus receptus), sementara dalam teori,
konsonan bersimbul sama dengan bentuk-bentuk riwayat bacaan non-Usmani
mengintroduksi titik-titik diakritis untuk juga diakui keberadaannya sebagai bacaan Al-
pembedaan tersebut.61 Sebagai contoh, Qur‟an.
kerangka konsonan ha, supaya bisa dibaca Namun dalam perkembangannya,
kha diberi satu titik di atasnya, atau satu titik bentuk kompromi seperti ini tidak bertahan
di bawahnya untuk melambangkan jim, dan lama. Kecenderungan yang kuat ke arah
konsonan dasar yang tidak bertitik penyeragaman (univikasi) bacaan Al-Qur‟an
merepresentasikan konsonan ha‟. Demikian semakin mengental dengan penerimaan teks
pula, pembubuhan titik-titik diakritis pada Usmani sebagai satu-satunya teks Al-Qur‟an
konsonan-konsonan lainnya, sebagaimana pada dataran praksis. Kecenderungan tersebut
yang kita kenal saat ini. Dalam tahapan ini, ditandai dengan sikap Imam Mālik bin Anas
titik-titik diakritis ini diwarnai dengan tinta yang menolak secara tegas terhadap
yang sama untuk menulis huruf, sehingga bisa keabsahan penggunaan bacaan Ibnu Mas‟ūd
dibedakan dari titik-titik yang diintroduksi Al- dalam shalat, sekitar abad 2 H. 63 Kondisi ini
Du‟alī untuk vokalisasi teks. Dalam tahapan terus berlanjut, hingga tahap selesainya proses
ini pula, bisa dikatakan bahwa permasalahan penyempurnaan aksara Arab abad ke-3 H.
seputar aksara Arab telah terselesaikan. Sekitar awal abad ke-4 H berbagai keragaman
b. Stabilitasi Bacaan Al-Qur’an bacaan mulai disaring dengan textus receptus
Mushaf Usmani sebagai batu uji. 64 Hasilnya, dengan dukungan
penuh otoritas politik, ortodoksi Islam
Sebagaimana standardisasi Al-Qur‟an
mushaf Usmani dilakukan dengan stabilitasi
teks, maka eksisnya stabilitasi teks ini juga
mengarah pada stabilitasi bacaan Al-Qur‟an. 62 Ibid., hlm. 305.
Adanya pemusnahan seluruh bentuk teks non- 63 Ibid, hlm. 306.
Usmani, ternyata tidak menghilangkan 64 Adapun kriteria-kriteria yang dibangun

keseluruhan tradisi pembacaannya. Sebagian adalah keselarasan bacaan dengan teks mushaf
Usmani, keselarasan dengan kaedah bahasa Arab,
umat Islam masih tetap memelihara bacaan- dan mutawatir (prinsip tentang transmisi suatu
bacaan melalui mata rantai periwatyatan yang
independen dan otoritatif dalam skala yang sangat
luas, sehingga menafikan kemungkinan terjadinya
kesalahan). Al-Suyuṭī, al-Itqān Fī Ulūm al-Qur’ān,
61 Ibid. hlm. 77.
161
membatasi dan menyepakati eksistensi penghafal Al-Qur‟an yang gugur di medan
qirā‟ah sab‟ah65 yang dihimpun Abū Bakar perang.
Ah}mad bin Mūsā Al-Abbās ibn Mujāhid (w. Pada masa Umar bin Khaṭṭāb, penulisan
935) sebagai bacaan-bacaan otentik. 66 Al-Qur‟an dilakukan untuk menyalin mushaf
yang ditulis pada masa Abū Bakar, menjadi
D. SIMPULAN beberapa mushaf dengan tertib ayat maupun
suratnya, sebagaimana yang ada sekarang ini.
Berdasarkan semua penjelasan di atas,
Faktor pendorongnya adalah untuk
ternyata sejarah pembukuan Al-Qur‟an tidak
menghilangkan perpecahan di kalangan umat
sesederhana yang diasumsikan umumnya
Islam yang disebabkan perbedaan qirā‟at Al-
umat Islam. Sebab dalam proses itu, ada
Qur‟ān di antara mereka.
problem transmisi dari tradisi lisan ke tradisi
Dari ketiga proses kesejarahan ini,
tulis. Secara umum, ada perbedaan esensial
mengantarkan mushaf Usmani kepada
antara penulisan Al-Qur‟an yang dilakukan
standardisasi dan stabilitasi, baik teks dan
pada masa Nabi SAW dengan penulisan Al-
bacaannya, hingga tetap eksis sampai saat ini.
Qur‟an yang dilakukan pada masa Abu Bakar,
Namun dari proses tersebut, juga tidak
ataupun Umar bin Khaṭṭāb.
menutup kemungkinan meninggalkan
Pada masa Nabi SAW, penulisan Al-
sejumlah masalah mendasar, baik dalam
Qur‟an dilakukan untuk mencatat dan menulis
ortografi teks maupun pemilihan bacaannya.
setiap wahyu Al-Qur‟an yang diturunkan
Dalam konteks ini, barangkali relevan
kepada Nabi SAW, dengan menertibkan ayat-
dimunculkannya gagasan tentang
ayatnya dalam surat-surat tertentu sesuai
desakralisasi rasm Usmānī. Bukankah suatu
dengan petunjuk Nabi SAW.
bentuk “tulisan” merupakan produk budaya,
Pada masa Abū Bakar, penulisan Al-
yang berhak dikritisi sekaligus direvisi (edit)?
Qur‟an dilakukan untuk menghimpun dan
Demikian, lontaran asumsi yang dikemukana
menyalin kembali catatan-catatan Al-Qur‟an
para penggagas desakralisasi tersebut.
yang ada ke dalam satu mushaf, dengan tertib
surat-suratnya menurut urutan turunnya E. DAFTAR PUSTAKA
wahyu. Faktor pendorongnya adalah
kekhawatiran akan adanya kemungkinan AF., Hasanuddin, Anatomi Al-Qur‟an:
hilangnya sesuatu dari Al-Qur‟an, Perbedaan Qira‟at dan Pengaruhnya
dikarenakan banyaknya para sahabat Terhadap Istimbath Hukum Dalam Al-
Qur‟an, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995

Al-Bukhārī, Saḥīḥ Al-Bukhārī, juz 5, Beirūt:


65 Disepakatinya qirā’ah sab’ah sebagai bacaan Dār Al-Ṭibā‟at Al-Munirriyyat, t.th.
otentik ini, di samping karena memenuhi kriteria-
kriteria di atas, juga pada faktanya qirā’ah sab’ah
mencerminkan sistem-sistem pembacaan al-Qur’an Al-Ibyarī, Ibrāhīm, Pengenalan Sejarah Al-
yang populer dan berlaku di berbagai wilayah Qur‟an, terj. Saad Abdul Wahid, Jakarta:
utama Islam.
PT. Raja Grafindo Persada, 1993
66 Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 308.
162
Kamāl, Aḥmad „Ādil, Ulūm Al-Qur‟ān, t.kp.:
t.p., t.th.

Maḥisīn, Muḥammad Sālim, Tārikh Al-


Qur‟ān Al-Karīm, t.kp.: tp. , t.th.

Mannā‟, Khalīl Al- Qaṭṭān, Mabāḥiṡ Fī Ulūm


Al-Qur’ān, t.kp.: tp., t.th.

Al-Ṣāliḥ, Subḥi, Mabāḥiṡ Fī Ulūm Al-


Qur’ān, t.kp.: Dār Al-Ilm Li Al-
Malāyin, t.th.

Shihab, M. Quraish dkk., Sejarah dan Ulumul


Qur‟an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000

Al-Suyūṭī, Jalāluddīn, Al-Itqān Fī „Ulūm Al-


Qur’ān, Beirūt: Dār Al-Fikr, t.th.

Watt, W., Montgomery, Richard Bell:


Pengantar Al-Qur‟an, Jakarta: INIS, 1998

Al-Zarqānī, Muḥammad Abd Al-Aẓīm,


Manāhil Al-„Irfān Fī Ulūm Al-Qur’ān,
Mesir: Isā Al-Bābi Al-Ḥalabī, t.th.

163

Anda mungkin juga menyukai