Anda di halaman 1dari 20

BAB I

KONSEP UMUM PENYAKIT OSTEOMIELITIS

A. DEFINISI PENYAKIT
Menurut Reeves, 2001, osteomyelitis adalah infeksi dari jaringan tulang
yang mencakup sumsum dan atau kortek tulang dapat berupa eksogen (infeksi
masuk dari luar tubuh) atau hemotogen (infeksi yang berasal dari dalam tubuh).
Osteomyelitis adalah infeksi jaringan tulang yang mencakup sumsum atau
kortek tulang yang disebabkan oleh bakteri piogenik. Osteomielitis dapat timbul
akut atau kronik. Bentuk akut dicirikan dengan adanya awitan demam sistemik
maupun manifestasi lokal yang berjalan dengan cepat. Osteomielitis kronik
adalah akibat dari osteomyelitis akut yang tidak ditangani dengan baik.
Osteomyelitis paling sering timbul dari patah tulang terbuka, infeksi pada
kaki penderita diabetes, atau terapi bedah pada luka tertutup. Penyebab
osteomyelitis bervariasi, dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, atau berbagai
organisme lain, dan dapat idiopatik seperti osteomyelitis multifocal kronis yang
berulang. Menurut Nophrianthra, 2011, diagnosis dan pengobatan dini
osteomyelitis sangat penting karena kasus yang belum terdiagnosis dapat
menyebabkan osteomyelitis akut menjadi osteomyelitis kronis, tetapi hal ini
tidaklah sederhana untuk mendiagnosa osteomyelitis. Meskipun ada banyak
cara untuk mendapatkan diagnosis tersebut, mulai dari foto polos, CT scan,
sampai MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan tentu saja biopsi untuk
mengetahui jenis bakteri. Organisme terbanyak yang menyebabkan adanya
osteomyelitis adalah Staphylococcus aureus.

B. ETIOLOGI OSTEOMIELITIS

Luka tekanan, trauma jaringan lunak, nekrosis yang berhubungan dengan


keganasan dan terapi radiasi, serta luka bakar dapat menyebabkan atau
memperparah proses infeksi tulang. Faktur compound, prosedur operasi dan luka
tusuk yang dapat melukai tulang pokok sering menyebabkan traumatik
osteomyelitis. Osteomyelitis sering ditemukan pada orang yang lebih tua karena

1
faktor penyebabnya berhubungan dengan penuaan. Infeksi pada tulang tidak lepas
dari peran mikroorganisme, seperti : Staphylococcus aureus, Streptococcus
pyogenes, Pneumococcus, dan Escherichia coli.

C. PATOFISIOLOGI OSTEOMYELITIS
Faktor-faktor yang berperan dalam menimbulkan penyakit yaitu virulensi
organisme dan kerentanan hospes dengan status imun yang rendah. Luka tekanan,
trauma jaringan lunak, nekrosis yang berhubungan dengan keganasan dan terapi
radiasi, luka bakar, faktur compound, prosedur operasi, dan luka tusuk yang dapat
melukai tulang pokok menjadi penyebab awal terjadinya osteomyelitis. Adanya
keadaan-keadaan seperti itu menyebabkan mikroorganisme seperti Staphylococcus
aureus dapat masuk.

Adanya penyakit ini lebih terbatas pada metafisis tulang. Metafisis tulang
adalah daerah melebar yang berada tepat di bawah epifisis tulang, yang mana
lempeng pertumbuhan/growth plate ditemukan. Hal ini terjadi karena pembuluh
darah cenderung melingkari metafisis sehingga memungkinkan terjadinya emboli
dan terinfeksi menyangkut di daerah itu. Lapisan epifisis dapat mencegah
penyebaran infeksi ke sendi sehingga infeksi terkoalisir di metafisis. Itulah
sebabnya mengapa infeksi terjadi pada lapisan metafisis tulang yang mengalami
pertumbuhan pada anak-anak. Tetapi pada orang dewasa terjadi di diafisis. Diafisis
adalah bagian tengah tulang yang berukuran panjang. Emboli yang terinfeksi
menyangkut di dalam pembuluh darah, menyebabkan trombosis. Trombosis adalah
proses koagulasi dalam pembuluh darah yang berlebihan dan dapat menghambat
aliran darah, bahkan menghentikan aliran darah tersebut, sehingga mengakibatkan
nekrosis avaskuler pada bagian korteks tulang. Respon peradangan terhadap infeksi
mengakibatkan suhu tubuh meningkat dan terjadi oedem dan mengakibatkan
terangkatnya periosteum dari tulang sehingga memutuskan lebih banyak suplai
darah. Pengangkatan periosteum ini menimbulkan nyeri hebat, apalagi dengan
adanya tegangan eksudat dibawahnya, infeksi dapat pecah ke subperiosteal
kemudian menembus subkutis dan menyebar menjadi selulitis atau menjalar
melalui rongga subperiosteal ke diafisis. Infeksi juga dapat pecah ke bagian tulang
diafisis melalui kanalis medularis, penjalaran subperiosteal ke arah diafisis akan

2
memasuki pembuluh darah yang ke diafisis sehingga menyebabkan nekrosis
tulang. Tulang yang mengalami nekrosis dikenal sebagai sekuestrum. Tulang
dimana periosteum terangkat melapisi tulang yang mati dikenal dengan
involukrum. Pus mencari jalan keluar dari lapisan tulang baru melalui serangkaian
lubang yang dikenal dengan kloaka.

D. WEB OF CAUSATION OSTEOMYELITIS

Luka tekanan, trauma Faktur compound, prosedur


jaringan lunak, nekrosis yang operasi, dan luka tusuk yang
berhubungan dengan dapat melukai tulang pokok
keganasan dan terapi radiasi,
dan luka bakar

Staphylococcus aureus

Mikroorganisme menyebar dalam darah

Pembuluh darah cenderung melingkari metafisis tulang

Emboli yang terinfeksi Staphylococcus aureus pada pembuluh darah

Trombosis

Nekrosis avaskuler di bagian korteks tulang

Reaksi inflamasi

Pertahanan tubuh menurun

Osteomyelitis

3
Pre operasi Pasca operasi Hospitalisasi

Kerusakan jaringan tulang Mis


Terputusnya Insisi Keterbatasan Inter-
Infeksi berlebihan kontinuitas pergerakan pretasi
Jaringan Port de entry
Abses tulang Imobilisasi
Merangsang nosiseptor Masuknya Kurang
mikroorganisme
Pengetah
Nekrosis tulang dan -uan
pembentukan sequestrum Gangguan Resiko
rasa aman infeksi
nyaman :
Kemampuan bergerak menurun nyeri

Gangguanimobilitas
Gangguan imobilitasfisik
fisik

Kerusakan sel Akumulasi monosit, makrofag, sel T helper, dan fibroblas

Pelepasan mediator nyeri


(histamine, bradykinin, Pelepasan pirogen
endogen, prostaglandin,serotonin, dll)
Merangsang saraf vagus
Merangsang nosiseptor
Sinyal mencapai SSP
Dihantarkan serabut tipe c

Medula spinalis Pembentukan prostaglandin otak

4
Sistem aktivasi reticular Merangsang hipotalamus titik patokan suhu

Hipotalamus Menggigil, meningkatkan suhu basal


dan system limbik

Hipertermia
Otak

Persepsi nyeri

Gangguan rasa
aman nyaman :
nyeri

5
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Osteomyelitis Akut
a. Jika infeksi dibawah oleh darah
biasanya awitannya mendadak.
sering terjadi dengan manifestasi klinis septikemia (mis.
Menggigil, demam tinggi, denyut nadi cepat dan malaise
umum). Gejala sismetik pada awalnya dapat menutupi gejala
lokal secara lengkap.
b. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks tulang
akan mengenai periosteum dan jaringan lunak, dengan bagian
yang terinfeksi menjadi nyeri.
Bengkak.
sangat nyeri tekan.
Pasien menggambarkan nyeri konstan berdenyut yang semakin
memberat dengan gerakan dan berhubungan dengan tekanan pus
yang terkumpul.
c. Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di
sekitarnya atau kontaminasi langsung, tidak akan ada gejala
septikemia. Daerah infeksi membengkak, hangat, nyeri dan
nyeri tekan.
2. Pasien dengan osteomielitis kronik
Ditandai dengan pus yang selalu mengalir keluar dari sinus atau
mengalami periode berulang nyeri, inflamasi, pembengkakan dan
pengeluaran pus, dan hasil laboratorium menunjukkan laju endap darah
meningkat. Infeksi derajat rendah dapat menjadi pada jaringan parut
akibat kurangnya asupan darah.

F. KOMPLIKASI
Penyakit infeksi dapat menimbulkan komplikasi dini dan lanjut. Komplikasi
dini dapat berupa pembentukan abses jaringan lunak dan arthritis septik, sementara
itu komplikasi lanjutnya berupa osteomielitis kronis, fraktur patologis, kontraktur
sendi dan gangguan pertumbuhan tulang. Smeltzer & Bare (2002 : 2387.

6
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut NANDA NIC-NOC, 2015, jenis pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada penderita osteomyelitis adalah :

1. Pemeriksaan darah lengkap yang menunjukkan sel darah putih meningkat


sampai 30.000 disertai laju endap darah ; pemeriksaan titer antibody anti-
staphylococcus ; pemeriksaan kultur darah untuk menentukan bakterinya (50%
POSITIF) dan di ikuti uji sensetivitas. Selain itu,harus diperiksa adanya penyakit
anemia sel sabit yang merupakan jenis osteomeilitis yang jarang terjadi.

2. Kultur darah dan kultur abses untuk menentukan antibiotik yang tepat.

3. Pemeriksaan Radiologis

Pendekatan radiologis pada pasien osteomyelitis kronis dilakukan dengan tujuan


untuk mengetahui daerah tulang yang terinfeksi (panjang infeksi intramedular yang
aktif atau abses pada area yang nekrosis, sequestrum dan fibrosis) dan untuk
mengetahui jaringan kulit yang terlibat (area selulitis, abses dan sinus). Akhirnya
pendekatan radiologis memiliki peranan dalam mendeteksi infeksi aktif dan
menentukan panjang debridement yang diperlukan untuk mengeluarkan bagian
tulang yang nekrosis dan jaringan lunak yang abnormal. Jenis pemeriksaan
radiologis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis osteomyelitis adalah plain
photo, ultrasound, nuclear imaging, CT dan MRI.

Plain photo merupakan pencitraan awal yang digunakan untuk mendiagnosis


osteomyelitis. Modalitas ini tidak mahal, tersedia dimana – mana dan akurat. Dalam
mendeteksi osteomyelitis kronis, sensitivitas plain photo masih tinggi sekitar
90% pada 3 – 4 minggu setelah presentasi , walaupun spesitifitasnya masih rendah
sekitar 30%. Pada plain photo dapat terlihat bone resorption dengan penebalan
dan sklerosis yang mengelilingi tulang. Sequestra menunjukkan adanya penebalan
fragmen yang tidak alami. Plain photo juga berguna dalam mendeteksi adanya
kelainan anatomis (misalnya fraktur, bony variants atau deformitas), benda
asing dan udara dalam jaringan.

7
CT scan sangat sesuai dalam mendeteksi adanya sequestra, hancurnya

kortikal, abses jaringan lunak dan adanya sinus pada osteomyelitis kronis.

Sklerosis, demineralisasi dan reaksi periosteal juga dapat terlihat pada modalitas

ini. CT scan membantu dalam mengevaluasi keperluan untuk tindakan operatif dan

memberikan informasi penting mengenai luasnya penyakit. Informasi ini sangat

berguna dalam menentukan metode operatif yang akan digunakan. CT juga sangat

membantu dalam melaksanakan biopsi tulang. Keuntungan yang paling penting

dari CT scan dapat menunjukkan lesi pada medulla dan infeksi pada jaringan lunak.

CT scan merupakan modalitas standar dalam mendeteksi sequestrum. CT

juga sangat baik dalam menampilkan tulang belakang, pelvis dan sternum.

Magnetic Resonance Imaging (MRI) sangat berguna dalam mendeteksi infeksi

musculoskeletal, dimana setiap batasannya menjadi terlihat. Resolusi spasial yang

ditawarkan oleh MRI sangat berguna dalam membedakan infeksi dari dari tulang

jaringan lunak, dimana hal ini merupakan permasalahan pada pencitraan

radionuklir. Namun MRI, tidak seperti pencitraan radionuklir, tidak terlalu tepat

untuk pemeriksaan seluruh tubuh dan adanya logam yang tertanam kemungkinan

menggambarkan artifak lokal.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS

Beberapa prinsip penataalaksanaan klien osteomielitis yang perlu


diketahui perawat dalam melaksanakan asuhan keperwatan agar mampu
melaksanakan tindakan kolaboratif adalah sebagai berikut :
1. Istirahat dan memberikan analgesik untuk menghilangkan nyeri.
2. Pemberian cairan intravena dan kalau perlu tranfusi darah.
3. Istirahat local dengan bidai dan traksi.
4. Pemberian antibiotic secepatnya sesuai dengan penyebab utama yaitu
staphylococcus aureus sambil menunggu biakan kuman.Antibiotik diberikan
8
selama 3-6 minggu dengan melihat keadaan umum dan endap darah
klien.Antibiotik tetap diberikan hingga 2 minggu setelah endap darah normal.
5. Drainase bedah. Apabila setelah 24 jam pengobatan local dan sistemik
antibiotic gagal (tidak ada perbaikan keadaan umum), dapat dipertimbangkan
drainase bedah. Pada draenase bedah, pus periosteal di evakuasi untuk
mengurangi tekanan intra-useus. Disamping itu, pus jg di gunakan untuk biakan
kuman.Draenase dilakukan selama beberapa hari dan menggunakan NaCL dan
antibiotic.
Daerah yang terkena harus diimobilisasi untuk mengurangi
ketidaknyamanan dan mencegah terjadinya fraktur. Dapat dilakukan rendaman
salin hangat selama 20 menit beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran
darah.

Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi.


Kultur darah, kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi organisme dan
memilih antibiotika yang terbaik. Kadang, infeksi disebabkan oleh lebih dari
satu pathogen.

Begitu spesimen kultur diperoleh dimulai terapi antibiotika intravena,


dengan asumsi bahwa dengan infeksi staphylococcus yang peka terhadap
peningkatan semi sintetik atau sefalosporin. Tujuannya adalah mengontrol
infeksi sebelum aliran darah ke daerah tersebut menurun akibat terjadinya
trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus menerus sesuai waktu sangat
penting untuk mencapai kadar antibiotika dalam darah yang terus-menerus
tinggi. Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang
diberikan bila telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak
telah terkontrol antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3
bulan. Untuk meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama
makanan.

Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibioka, tulang


yang terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik
diangkat dan daerah itu diirigasi secara langsung dengan larutan salin fisiologis
steril. Terapi antibiotika dilanjutkan.

9
Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuvan terhadap
debridemen bedah. Dilakukan sequestrektomi (pangangkatan involukrum
secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus
dilakukan pengangkatan tulang untuk menjalankan rongga yang dalam menjadi
cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang
terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.

Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau
dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan grunulasi atau dilakukan
grafting dikemudian hari. Dapat dipasang drainase berpenghisap untuk
mengontrol hematoma dan membuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan
salin normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi samping dangan
pemberian irigasi ini.

Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan grafit tulang kanselus


untuk merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat
diisi dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flap otot (dimana suatu otot
diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah yang utuh).
Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah, perbaikan asupan
darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi
infeksi. Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan
penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, yang kemudian
memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat
penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang (Smeltzer,
Suzanne C, 2002).

10
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT OSTEOMYELITIS

A. PENGKAJIAN
1. B1 (Breathing) : Pada inspeksi, didapat bahwa klien osteomielitis tidak
mengalami kelainan pernapasan. Pada palpasi toraks, ditemukan taktil
fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi, tidak didapat suara
napas tambahan.
2. B2 (Blood) : Pada inspeksi, tidak tampak iktus jantung. Palpasi
menunjukan nadi meningkat, iktus tidak teraba. Pada auskultasi,
didapatkan S1 dan S2 tunggal, tidak ada mundur.
3. B3 (Brain) : Tingkat kesadaran biasanya kompos mentis.
a. Kepala : Tidak ada gangguan (normosefalik, simetris, tidak
ada penonjolan).
b. Leher : Tidak ada gangguan (simetris, tidak ada penonjolan, reflex
menelan ada).
c. Wajah : Terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi atau
bentuk.
d. Mata : Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis
(pada klien patah tulang tertutup karena tidak terjadi perdarahan).
Klien osteomielitis yang desrtai adanya malnutrisi lama biasanya
mengalami konjungtiva anemis.
e. Telinga : Tes bisik atau Weber masih dalam keadaan normal.
f. Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
g. Mulut dan faring : Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak
terjadi perdarahan, mukosa mulut pucat.
h. Status mental : Observasi penampilan dan tingkah laku klien.
Biasanya status mental tidak mengalami perubahan.
i. Pemeriksaan saraf cranial :
 Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan fungsi penciuman.
 Saraf II. Tes ketajaman penglihatan normal.
 Saraf III,IV,dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat
kelopak mata, pupil isokor.
11
 Saraf V. Klien osteomielitis tidak mengalami paralisis pada otot
wajah dan reflex kornea tidak ada kelainan.
 Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah
simetris.
 Saraf VIII. Tidak ditemukan tuli konduktif dan tuli persepsi.
 Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
 Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
 Saraf XII. Lidah simetris, tidak da deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
4. B4 (Bladder) : Pengkajian keadaan urine meliputi warna, jumlah,
karakteristik dan berat jenis. Biasanya klien osteomielitis tidak mengalami
kelainan pada sistem ini.
5. B5 (Bowel) : Inspeksi abdomen: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi: Turgor baik, hepar tidak teraba. Perkusi: Suara timpani, ada
pantulan gelombang cairan. Auskultasi: Peristaltik usus normal (20
kali/menit). Inguinal-genitalia-anus: Tidak ada hernia, tidak ada
pembesaran limfe, tidak ada kesulitan defekasi. Pola nutrisi dan
metabolisme. Klien osteomielitis harus mengonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-hari, seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C, dan
lainnya untuk membantu proses penyembuhan infeksi tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien dapat membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang
tidak adekuat, terauma kalsium atau protein. Masalah nyeri pada
osteomielitis menebabkan klien kadang mual atau muntah sehingga
pemenuhan nutrisi berkurang. Pola eliminasi: Tidak ada gangguan pola
eliminasi, tetapi tetap perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau
feces. Pada pola berkemih, dikaji frekuensi, kepekatan, warna, bau, dan
jumlah urine.
6. B6 (Bone) : Adanya oteomielitis kronis dengan proses supurasi di tulang
dan osteomielitis yang menginfeksi sendi akan mengganggu fungsi

12
motorik klien. Kerusakan integritas jaringan pada kulit karena adanya luka
disertai dengan pengeluaran pus atau cairan bening berbau khas.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre operatif
1. Nyeri yang berhubungan dengan distensi jaringan oleh akumulasi cairan
proses inflamasi.
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi)
3. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan bengkak
sendi.
4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi tentang
penyakit osteomyelitis.
Post Operatif
1. Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi, insisi dan drainase.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan luka insisi.
3. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi dan
keterbatasan menahan beban berat badan.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

Preoperatif

1. Nyeri yang berhubungan dengan distensi jaringan oleh akumulasi cairan /


proses inflamasi.
Tujuan : Nyeri dapat terkontrol
Kriteria hasil : Melaporkan bahwa nyeri terkontrol, menunjukkan lebih
nyaman dan rileks, waktu istirahat dan aktivitas seimbang.
Intervensi :
a) Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri.
Rasional : Untuk dapat mengidentifikasi rasa nyeri dan
ketidaknyamanan yang dapat berguna dalam penanganan
medik dan intervensi keperawatan.

13
b) Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena menurunkan edema dan
menurunkan nyeri.
c) Jelaskan prosedur sebelum memulai tindakan keperawatan.
Rasional : Memungkinkan pasien untuk siap secara mental untuk
aktivitas juga berpartisipasi dalam mengontrol
ketidaknyamanan.
d) Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif atau aktif.
Rasional : Mempertahankan kekuatan atau mobilitas otot yang sakit
dan memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan yang
cedera.
e) Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh perubahan posisi.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan
lokal dan kelelahan otot.
f) Dorong menggunakan tehnik manajemen stress, latihan nafas dalam.
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol
dan dapat meningkatkan kemampuan koping dalam
manajemen nyeri, yang mungkin menetapkan untuk periode
lebih lama.
g) Berikan obat sesuai indikasi : narkotik dan analgesik non narkotik.
Rasional : Diberikan untuk menurunkan nyeri dan atau spasme otot.

2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi)


Tujuan : Suhu tubuh pasien dalam rentang normal
Kriteria hasil :
- Kulit pasien tidak kemerahan
- Suhu tubuh dalam batas normal (36-37oC)
- Kulit pasien tidak teraba hangat
Intervensi :
a) Pantau suhu pasien (derajat dan pola); perhatikan menggigil
/diaphoresis

14
Rasional : Suhu 38,9o – 41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksius
akut. Pola demam dapat membantu dalam diagnosis; mis,
kurva demam lanjut berakhir lebih dari 24 jam menunjukkan
demam remitten bervariasi hanya beberapa derajat pada arah
tertentu. Menggigil sering mendahului puncak suhu.
b) Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur, sesuai
indikasi
Rasional : Suhu ruangan/ jumlah selimut harus diubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal.
c) Berikan kompres mandi hangat pada lipatan paha dan aksila, hindari
penggunaan alcohol
Rasional : Dapat membantu mengurangi demam. Catatan : penggunaan
air es/alcohol mungkin menyebabkan kedinginan,
Peningkatan suhu secara actual. Selain itu alcohol dapat
mengeringkan kulit
d) Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
Rasional : Adanya peningkatan metabolisme menyebabkan kehilangan
banyak energi. Untuk itu diperlukan peningkatan intake
cairan dan nutrisi
e) Kolaborasi dengan pemberian antipiretik, misalnya ASA (aspirin),
asetaminofen (Tylenol).
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentral
nya pada hipotalamus, meskipun demam mungkin dapat
berguna dalam membatasi pertumbuhan organisme dan
meningkatkan autodestruksi dari sel-sel yang terinfeksi.

3. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan bengkak


sendi.
Tujuan : Mobilitas dan persendian meningkat.
Kriteria hasil : Keikutsertaan dalam perawatan diri sendiri meningkat,
edema berkurang.
Intervensi :

15
a) Awasi TD dengan melakukan aktivitas.
Rasional : Hipotensi postural adalah masalah umum menyertai tirah
baring lama dan dapat memerlukan intervensi khusus (contoh
kemiringan meja dengan peninggian secara bertahap sampai
posisi tegak).
b) Instruksikan pasien untuk bantu dalam rentang gerak pasif atau aktif
pada ekstremitas yang sakit dan yang tak sakit.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk
meningkatkan kontrol pasien dalam situasi dan
meningkatkan kesehatan diri langsung.

c) Berikan atau bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tongkat,
sesegera mungkin.
Rasional : Mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring (contoh
Flebitis) dan meningkatkan penyembuhan dan normalisasi
fungsi organ.
d) Berikan diet tinggi protein, karbohidrat, vitamin dan mineral.
Rasional : Adanya cedera muskuloskeletal, nutrisi yang diperlukan
untuk penyembuhan berkurang dengan cepat.

4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi


tentang penyakit osteomyelitis.
Tujuan : Pasien dapat mengerti tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil : Menyatakan kondisi, prognosis dan pengobatan,
melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan
menjelaskan akan tindakan.
Intervensi :
a) Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.
Rasional : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat
membuat pilihan informasi.
b) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik atau rekreasi.

16
Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi,
memfokuskan kembali perhatian, dan meningkatkan rasa
kontrol diri
c) Diskusikan perlunya keseimbangan kesehatan, nutrisi dan pemasukan
cairan yang adekuat.
Rasional : Memberikan nutrisi optimal dan mempertahankan volume
sirkulasi untuk meningkatkan regenerasi jaringan atau
proses penyembuhan.
d) Tekankan perlunya nutrisi yang baik ; meningkatkan diit tinggi kalori
tinggi protein (TKTP) dan vitamin C.
Rasional : Meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi,
mengurangi kerusakan jaringan tubuh.

Post operatif

1. Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi, insisi dan drainase.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
berkurang.
Kriteria Hasil :Klien akan mengekspresikan perasaan nyerinya, klien dapat
tenang dan istirahat yang cukup, Klien dapat mandiri dalam
perawatan dan penanganannya secara sederhana.
Intervensi :
a) Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri.
Rasional : Untuk dapat mengidentifikasi rasa nyeri dan
ketidaknyamanan yang dapat berguna dalam penanganan
medik dan intervensi keperawatan.
b) Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena menurunkan edema dan
menurunkan nyeri.
c) Jelaskan prosedur sebelum memulai tindakan keperawatan.
Rasional : Memungkinkan pasien untuk siap secara mental untuk
aktivitas juga berpartisipasi dalam mengontrol ketidaknyamanan.

17
d) Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh perubahan posisi.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan
lokal dan kelelahan otot.
e) Dorong menggunakan tehnik manajemen stress, latihan nafas dalam.
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol
dan dapat meningkatkan kemampuan koping dalam
manajemen nyeri, yang mungkin menetapkan untuk periode
lebih lama.
f) Berikan obat sesuai indikasi : narkotik dan analgesik non narkotik.
Rasional : Diberikan untuk menurunkan nyeri dan atau spasme otot.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan luka insisi.


Tujuan : Tidak terjadi resiko perluasan infeksi yang dialami.
Kriteria Hasil : Mencapai waktu penyembuhan.
Intervensi :
a) Kaji luka yang dialami oleh klien
Rasional : Dapat melakukan perawatan luka dengan baik dan mencegah
terjadinya resiko infeksi.
b) Berikan perawatan luka.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dari infeksi/ sepsis lanjut.
c) Ganti balutan dengan rutin, pembersihan dan pengeringan kulit
sepanjang waktu.
Rasional : Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan
media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko
infeksi luka.
d) Edukasi pasien untuk meningkatkan intake nutrisi, terutama kalori dan
protein,
Rasional : Protein dapat mempercepat proses penyembuhan luka dan
kalori merupakan sumber energy bagi tubuh pasien
e) Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin diberikan secara profilaktik sehubungan dengan
peningkatan resiko infeksi.

18
3. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi dan
keterbatasan menahan beban berat badan.
Tujuan : Gangguan mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
Kriteria Hasil : Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang
mungkin, mempertahankan posisi fungsional,
menunjukkan teknik mampu melakukan aktivitas.

Intervensi :

a) Kaji kemampuan gerak klien secara rutin


Rasional : Mengetahui perkembangan anggota gerak klien, terutama
anggota gerak yang terserang infeksi
b) Pertahankan tirah baring dalam posisi yang di programkan.
Rasional : Agar gangguan mobilitas fisik dapat berkurang.
c) Tinggikan ekstremitas yang sakit, instruksikan klien / bantu dalam
latihan rentang gerak pada ekstremitas yang sakit dan tak sakit.
Rasional : Dapat meringankan masalah gangguan mobilitas fisik yang
dialami klien.
d) Beri penyanggah pada ekstremitas yang sakit pada saat bergerak.
Rasional : Dapat meringankan masalah gangguan mobilitas yang
dialami klien.
e) Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif atau aktif.
Rasional : Mempertahankan kekuatan atau mobilitas otot yang sakit
dan memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan yang
cedera.
f) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik atau rekreasi.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi,
memfokuskan kembali perhatian, dan meningkatkan rasa
kontrol diri
g) Kolaborasi dalam melakukan fisioterapi
Rasional : Mengurangi gangguan mobilitas fisik.

19
DAFTAR PUSTAKA

Nophriantha, Made & Firman P. Sitanggang. (2011). Temuan Radiologis pada


Osteomyelitis Kronik. Universitas Udayana, Bagian Radiologi Fakultas
Kedokteran. https://ojs.unud.ac.id

Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta :
MediAction.

PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

Qorahman, Wahyudi. (2014). Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan


pada Klien dengan Osteomielitis di Ruang OK RSUD Dr. Doris Sylvanus
Palangkaraya. Yayasan Eka Harap Palangkaraya, Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan.
https://www.academia.edu/9493839/ASUHAN_KEPERAWATAN_PAD
A_PASIEN_DENGAN_DIAGNOSA_OSTEOMIELITIS_FEMUR_DEX
TRA_KELOMPOK_I_SATU_YAYASAN_EKA_HARAP_PALANGKA
RAYA.

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Volume 2.


EGC: Jakarta

Spiegel, David A. & John Norgrove Penny. (2016). Osteomielitis Kronis pada
Anak. global-help.org. (Diakses pada 15 Juni 2019).

20

Anda mungkin juga menyukai