Anda di halaman 1dari 10

DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM UPAYA PENCEGAHAN KONFLIK

1
Ahmad Zarkasi, 2Idrus Ruslan, 3Agustam, 4Syafrimen Syafril, 5Azhar Jaafar@Ramli
1, 2, 3, 4
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Indonesia, 5Kolej Yayasan Pahang, Malaysia
Email: 1zarkasi@radenintan.ac.id, 2idrusruslan@radenintan.ac.id, 3agustam@radenintan.ac.id,
4
syafrimen@radenintan.ac.id, 5azhar@kyp.edu.my

Abstrak

Dialog antar umat beragama mempunyai fungsi kritis ke dalam dan ke luar. Dialog demikian
menawarkan realitas baru untuk kemajuan hidup bersama dalam masyarakat, karena terjadi
proses yang dinamis dalam pemahaman keagamaan dan aplikasinya. Penelitian ini bertujuan
untuk melihat dialog antar umat beragama dalam upaya pencegahan konflik. Penelitian
dijalankan menggunakan pendekatan kualitatif (multi case single-site exsploratory case
study). Data primer digali melalui observasi, wawancara secara mendalam (indepth interview)
kepada tokoh desa dan tokoh agama di kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran,
yang memiliki masyarakat dari berbagai komunitas agama (Islam, Kristen, dan Katolik)
secara Snowballing technique. Data sekunder digali melalui analisis dokumen terhadap
berbagai buku, kitab suci agama, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian
ini. Data dianalisis secara kualitatif (tematik) berbantukan software NVIVO 10. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa (i) dialog antar umat beragama berjalan melalui kegiatan
sosial, (ii) adanya kebiasaaan dan kesadaran masyarakat untuk memikul beban bersama
secara bergotong royong, (iii) dukungan tokoh desa dan tokoh agama. Hasil penelitian ini
didiskusikan dengan berbagai teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan bisa dijadikan
sebagai salah satu acuan untuk menciptakan kedamaian, kerukunan, ketentraman,
keharmonisan dan saling menjunjung tinggi prinsip kebersamaan di tengah-tengan
masyarakat majemuk.

Kata Kunci: Dialog antar umat beragama, Pencegahan konflik

1
A. Pengenalan

Satu hal yang terkenal dari masyarakat Indonesia adalah pluralisme agama. Dalam
masyarakat plural, hubungan antar agama bersifat dinamis dan selalu diwarnai oleh pasang
surut, baik dalam skala lokal, regional maupun nasional. Walaupun secara konsep dalam
ajaran agama masing-masing menganjurkan keharmonisan, kedamaian, kerukunan, saling
menghormati, menjunjung tinggi prinsip kebersamaan, namun dalam realitas historis ternyata
konsep-konsep agama tersebut belum dapat terlaksana seperti yang diidam-idamkan oleh
masing-masing penganut agama. Oleh karena itu untuk mewujudkan konsep-konsep agama
tersebut perlu instrumen yang tepat yaitu “dialog”.

Dialog digambarkan sebagai keterbukaan pandangan antara orang-orang yang memiliki


kepedulian terhadap satu sama lain. Dialog antar umat beragama merupakan salah satu wujud
keserasian dan keharmonisan, karena adanya pandangan dan pendekatan positif antara satu
pihak dengan pihak yang lain. Dialog akan menghasilkan pengukuhan keserasian dan saling
pengertian1. Kecenderungan dialog tidak berhenti hanya sebagai suatu gaya hidup, tetapi juga
menjadi suatu pandangan hidup2. Orientasi dialog bukan untuk saling mengalahkan tetapi
untuk memahami antara satu pihak dengan lain dengan baik, mencapai kesepakatan penuh
secara universal. Dialog juga berorientasi sebagai sarana komunikasi untuk menjembatani
jurang ketidaktahuan dan kesalahpahaman dalam budaya yang berbeda, mengungkapkan
pandangan dalam bahasa masing-masing3. Dialog bukan hanya berorientasi untuk hidup
bersama secara damai dengan cara toleransi dengan pemeluk agama lain, melainkan juga
berpartisipasi secara aktif terhadap keberadaan pemeluk agama lain4. Lebih penting lagi
orientasi dialog adalah koesistensi ke pro-eksistensi. Koesistensi mengutamakan terciptanya
toleransi. Pro-eksistensi mencari persamaan doktriner, tradisi, semangat dan sejarah, juga
berupaya mencari unsur-unsur yang meliputi perbedaan dan hal-hal yang menyimpan
konflik.5 Dialog sangat penting untuk mengurangi kesombongan, agresivitas, dan hal-hal
negatif lain dalam cara-cara pemeluk agama melaksanakan tugas penyebaran agama masing-
masing melalui misi dakwah.6 Justru dialog merupakan instrumen utama yang mengantarkan
masyarakat hidup secara terbuka dalam negara demokrasi.

Dialog bukan tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan standar yang dapat
digunakan terhadap peradaban yang ada di dunia. Terlihat perilaku agresif seperti
pembakaran tempat-tampat ibadah dan bertindak anarki, seperti penjarahan dan perusakkan
tempat tinggal. Negara Indonesia yang pluralitas agama, dialog menjadi pilihan alternatif
yang ideal dalam penyelesaian konflik antar umat beragama. Konflik antar umat beragama
bisa berdampak sangat negatif dalam kehidupan sosial masyarakat. Dialog dapat dijadikan
sebagai solusi untuk menyelesaikan fenomena tersebut, dan ndialog bisa dijadikan sebagai
upaya pencegahan sebelum terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Inilah yang dilakukan
oleh masyarakat desa Bangun Rejo Kecamatan Punduh Pidada.
1
Nurcholis Majid, “Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam” dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Passing Over – Melintasi Batas Agama, (Jakarta : Gramedia
Pustaka, 1998), h. 6
2
Ibid h. xiii.
3
Raimundo Panikar, “The Intra Religius Dialogue”, dalam A. Sudiarja (ed), Dialog Intra Religius,
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), h.33.
4
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Op. Cit., h. xv.
5
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Merada Dialektika Idealitas dan Realitas Hubungan
Antaragama. (Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004), h.21.
6
Ibid., h. 30.
2
Desa Bangun Rejo merupakan salah satu desa di kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten
Pesawaran, memiliki komunitas yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik. Pemeluk agama
Islam 1279 jiwa; yang terdiri dari suku Lampung 55% dan suku Jawa 45%. Pemeluk agama
Kristen 120 jiwa keseluruhaannya suku Jawa, dan pemeluk agama Katolik 119 jiwa
keseluruhannya juga suku Jawa.7 Ketiga agama ini jika dilihat berdasarkan kategori agama,
semuanya termasuk dalam kategori agama missi (missionary religions).8 Kesemua agama
yang ada di desa tersebut tergolong missionary religions, dapat dipastikan terdapat doktrin
berupa perintah yang berasal dari kitab suci masing-masing tentang kewajiban untuk
menyebarluaskan keseluruh umat, jika perintah tersebut diabaikan penganutnya akan
mendapat dosa dan sangsi, sebaliknya jika direspon secara positif dan dilaksanakan secara
konsisten, maka pahala dan surga akan menjadi imbalannya. Dalam tataran pelaksanaan
perintah agama tersebut, tidak jarang terjadinya benturan-benturan sehingga konflik atas
nama agama akibat dari penyiaran agama sering terjadi, termasuk juga pada beberapa daerah
di Indonesia.

Justru yang menarik, kehidupan umat beragama di desa Bangun Rejo yang dihuni oleh
ketiga penganut agama missi, namun dalam kehidupan dan pergaulan umat beragama di sana
tampil secara rukun dan tidak pernah terjadi konflik atau pertikaian yang berlatar belakang
agama. Kondisi ini sebagaimana dikemukakan oleh tokoh agama di desa tersebut
“Kehidupan masyarakat disini, mulai dari dulu sampai sekarang, tidak pernah terjadi konflik
yang bermotifkan agama”9. Hal senada dikemukakan oleh tokoh lain; “Bahkan dalam
peringatan hari raya keagamaan, kami sudah terbiasa untuk saling mengunjungi, semua itu
dilakukan oleh masing-masing umat beragama. Selain itu jika ada keluarga yang tertimpa
musibah atau melakukan hajatan, keluarga yang lain turut datang dan ikut membantu” 10.
Selain itu menurut salah seorang warga bahwa “disini kami memiliki rasa persatuan dan
penghormatan yang tinggi, ketika memperingati hari raya besar agama, kami memiliki
kebiasaan untuk memberikan selamat dengan cara berkunjung ke rumah-rumah, hal itu kami
lakukan tanpa canggung”.11 Warga lain juga menyatakan bahwa “seingat saya dari kecil
hingga kini, di sini tidak pernah terjadi gejolak atau keributan yang dilatarbelakangi oleh
agama12. Berdasarkan paparan ini dapat dipahami bahwa di tempat tersebut telah terjadi
dialog antar ummat beragama, sehingga tidak pernah terjadi konflik yang mengatasnamakan
agama. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih dalam dialog antar umat beragama
dalam upaya pencegahan konflik di Desa Bangun Rejo.

B. Metodologi

Penelitian ini dijalankan menggunakan pendekatan kualitatif (multi case single-site


exsploratory case study), yaitu penelitian yang coba menggali fenomena yang ada di dalam

7
Wawancara dengan tokoh, Mantan Kepala Desa Bangunrejo, tanggal 28 Februari 2016.
8
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh missionary religions ; pertama, Universality (keumuman),
tidak terbatas untuk satu bangsa saja seperti Yahudi atau berkasta seperti Hindu. Kedua, Continuity
(keberlangsungan) dalam penyebaran dan penyiaran. Ketiga, Adaptability, kesanggupan dari agama itu untuk
menyesuaikan diri sesuai dengan ajarannya sendiri dengan kondisi dan situasi lingkungan dan zamannya. Lihat;
Hasbullah Bakry, Suatu Perbandingan Mengenai Penyiaran Kristen dan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989),
h. 17.
9
Wawancara dengan Tokoh Agama Desa Bangunrejo, tanggal 27 Februari 2016.
10
Wawancara dengan Patrick Suyanto , Tokoh Agama Kristen desa Bangunrejo, tanggal 27 Februari
2016.
11
Wawancara dengan Wati (warga beragama Islam) , tanggal 27 Februari 2016.
12
Wawancara dengan Thomas Ribut Sampurno , tanggal 27 Februari 2016.
3
masyarakat13 14 15, meneliti berbagai fakta melalui observasi dan wawancara di lapangan, serta
berbagai dokumen berkaitan sebagai data16. Data dimaksud dalam penelitian ini adalah
mengamati berbagai gejala yang ada, dengan melihat interaksi dan komunikasi antar
individu, kelompok yang diwujudkan melalui dialog formal maupun informal pada
masyarakat desa Bangun Rejo, yang terdiri dari masyarakat yang beragama Islam, Katolik
dan Kristen. Data primer digali melalui observasi, dan secara Snow Balling Process melalui
wawancara secara mendalam (indepth interview) kepada tokoh desa dan tokoh agama di
kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran, yang memiliki masyarakat dari berbagai
komunitas agama (Islam, Kristen, dan Katolik). Data sekunder digali melalui analisis
dokumen terhadap berbagai buku, kitab suci agama, dan dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan penelitian ini. Data dianalisis secara secara kualitatif (tematik) berbantukan software
NVIVO 10. Menurut Koentjaraningrat, penelitian exsploratory case study merupakan
penelitian yang bertujuan untuk mengeksplor dan memberikan gambaran secara
komprehensif mengenai individu, gejala, atau kelompok tertentu dan mengungkapkan data
secara alamiyah17.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk dialog antar umat beragama di desa
Bangun Rejo Kecamatan Punduh Pidada Kabupaten Pesawaran adalah ; (i) berjalan melalui
kegiatan sosia. Berbagai pemeluk agama mengadakan kerjasama, dalam melaksanakan
proyek-proyek pembangunan, dalam meningkatkan kehidupan keluarga, proyek bersama
untuk membantu rakyat yang menderita dari kekeringan, kemiskinan, kekurangan makanan,
membantu para pengungsi dan juga meningkatkan keadilan gender, hak-hak asasi manusia
dan perdamaian. (ii) Adanya kebiasaaan dan kesadaran masyarakat untuk memikul beban
bersama secara bergotong royong, (iii) dukungan tokoh desa dan tokoh agama baik secara
formal maupun non formal. Secara formal dukungan berupa ucapan lisan setiap kali mereka
melakukan rapat atau pertemuan agar suasana rukun dan damai agar terus dipelihara.
Dukungan secara non formal dilakukan setiap ada waktu dan kesempatan memberikan
wejangan ataupun nasehat kepada masyarakatnya akan pentingnya kehidupan yang rukun.

Merujuk kepada pendapat Banawiratma, maka setidaknya dapat dipahami bahwa


bentuk dialog antara umat beragama Islam, Kristen dan Katolik yang terjadi di desa Bangun
Rejo adalah dialog dalam kegiatan sosial (Analisis sosial & refleksi etis kontekstual). Dialog
jenis ini dimana komunitas yang terdiri dari berbagai agama mencoba mengartikan kenyataan
hidup yang dialami dan membuat pertimbangan etis 18. Pemeluk agama dapat mengadakan
kerjasama dalam melaksanakan berbagai kegiatan di tengah-tengah masyarakat, yang
diutamakan dalam dialog ini adalah meningkatkan harkat dan pembebasan integral dari umat
manusia. Hal ini terlihat dari penjelasan yang disampaikan oleh tokoh pemerintahan Desa
bahwa meskipun di sini terdiri dari berbagai penganut agama, akan tetapi tidak pernah terjadi
keributan atau pun konflik yang berasal dari agama. Masyarakat disini sudah cukup memiliki

13
Cholid Abu Ahmadi, Metode Penelitian (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), hlm. 41.
14
Creswell, J. W. (2014). Research design: qualitative and quantitave approaches. Thausand Oaks:
SAGE Publication.
15
Yin, R. K. (2013). Applications of case study research. Newbury Park: SAGE Publications.
16
Op Cit., h. 46.
17
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 30.
18
J. B. Banawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc. Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di
Indonesia. (Jakarta : Mizan, 2010), h. 9.
4
toleransi dan saling pengertian, terutama masalah menjalankan praktek pengamalan ibadah
agama, sehingga masing-masing dapat saling menghargai terhadap penganut agama lain19.

Uraian senada juga dikemukakan oleh Zamhari, bahwa meskipun kami memiliki
keyakinan dan agama yang berbeda-beda, tetapi dalam hal sosial kemasyarakatan, seperti
gotong royong, saling mengunjungi disaat ada yang hajatan atau pun ada yang ditimpa
kemalangan, termasuk juga silaturahmi biasa, adalah pemandangan yang lumrah dan sudah
biasa, karena kami menyadari bahwa praktek-praktek tersebut bukanlah bagian dari ibadah
dalam arti yang sempit20. Pada bagian lain tokoh agama Kristen pun memberikan keterangan
bahwa di desa kami sangat jarang terjadi keributan apalagi konflik yang berlatar belakang
agama. Menurutnya hal tersebut dikarenakan masyarakat telah memiliki pemahaman tentang
pentingnya hidup secara damai dan saling mengasihi meskipun berbeda agama21.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa susana keagamaan yang rukun dan saling
toleransi, suasana dialog sosial kemasyarakatan telah berjalan dengan baik. Dalam konteks
ini dialog yang di dilakukan masyarakat adalah kerjasama praksis, sangat berkaitan dengan
teori dialektical pluralism22 dari Anselm Kyongsuk Min, yang memiliki empat karakteristik;
Pertama, sifat konfensionalis yang menekankan pentingnya komitmen dalam beragama,
penegasan keimanan baik secara teologis dan praktis termasuk klaim finalitas, klaim
kebenaran harus ditempatkan dalam konteks dialektika dan tantangan situasi pluralistik.
Kedua, sifat pluralis dalam pengertian masing-masing agama harus dipandang sebagai
totalitas konkrit dan dibiarkan mendefinisikan dirinya sendiri tanpa reduksi dan subordinasi.
Ketiga, historis dialektis dalam pengertian agama-agama memiliki hubungan yang konkrit
dalam proses sejarahnya dalam bentuk deferensiasi, kontradiksi dan rekonsiliasi terhadap
perubahan perspektif dan wawasan manusia. Keempat, solidaritas kemanusiaan menjadi
agenda penting ditengah perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Pelaksanaan
dialog mungkin dilakukan manakala umat beragama itu saling menghargai, menghormati,
saling toleransi serta tidak merasa paling baik apalagi mau menang sendiri. Sebab segala
macam sikap tersebut secara spontan bermakna adanya egoisme yang tidak proporsional
sehingga berarti yang lain menjadi salah. Sikap yang disebut terakhir inilah sesungguhnya
yang harus di hindari bahkan dibuang jauh-jauh oleh umat beragama karena dapat
menghambat dialog antar umat beragama.

Selain memiliki etnis yang berbeda yakni etnis Lampung, Jawa serta Sumatera Selatan,
dalam praktek kesehariannya dapat saling memahami karena di samping menggunakan
bahasa persatuan, masyarakat pendatang (Jawa dan Sumatera Selatan) sudah dapat
beradaptasi dengan cara menggunakan bahasa daerah Lampung. Atas dasar itu pula maka
setidaknya terdapat kedekatan antar masyarakat desa, meskipun mereka berbeda etnis dan
suku. Pola dialog antar agama di sini terjadi dengan apa yang disebut dengan interaksi
simbolik. Teori ini merupakan sisi lain dari pandangan yang melihat individu sebagai produk
yang ditentukan oleh masyarakat. Pola interaksi simbolik dapat diungkapkan dimana mereka
dalam berinteraksi saling memahami dan berusaha untuk menterjemahkan apa yang mereka
rasakan sewaktu berinteraksi. Perilaku tersebut dapat merasakan atau melihat sebuah idiom
atau petatah-petitih baik itu berasal dari nenek moyang mereka atau dari kalimat-kalimat

19
Disarikan hasil wawancara dengan bapak Agus Wahyudhi (Kaur Pemerintahan), tanggal 09 Agustus
2016.
20
Wawancara dengan bapak Zamhari (tokoh agama Islam), tanggal 10 Agustus 2016.
21
Wawancara dengan bapak Sugiantoro (tokoh agama Kristen), tanggal 10 Agustus 2016.
22
Dian Nur Anna, Peran Agama dalam Pembentukan Civil Society di Indonesia dalam Rahmat Fajri
dan Khairullah Zikri (ed.), Ontologi Studi Agama, (Yogyakarta: Belukar,2012), h. 190.
5
bijak, atau juga berasal dari ungkapan-ungkapan yang bernuansa keagamaan. Mereka
berusaha untuk memahami hal tersebut dengan sebaik-baiknya.

Masyarakat, apalagi aparat pemerintahan desa begitu menyadari bahwa meskipun


mereka hidup dalam suasana perbedaan, tetapi nuansa kebersamaan dan kegotong-royongan
begitu melekat dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dikemukakan
oleh Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat bahwa banyak sekali bentuk-bentuk kerjasama
yang dilakukan oleh masyarakat meskipun berlatarbelakang agama yang berbeda, seperti
gotong royong, arisan dan jimpitan23. Selain itu juga telah terbangun suasana saling
menghargai dan menghormati praktek yang dilakukan oleh kelompok lain. Yang dimaksud di
sini adalah ketika umat Islam merayakan ibadah maupun hari raya besar keagamaan, maka
umat Kristen dan Katolik pun menghormati dengan cara memberikan peluang bagi orang
Islam untuk beribadah dengan leluasa. Begitu juga sebaliknya, ketika umat Kristen dan
Katolik beribadah menurut ajaran agama mereka, umat Islam pula menghormati saudaranya
tersebut untuk beribadah.

Itu semua tidak terlepas dari peran tokoh agama dan aparat pemerintahan desa yang
selalu menanamkan kesadaran kepada masyarakat agar dapat menghormati adanya perbedaan
agama. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang pemuda bahwa para tokoh agama
(Islam dan Kristen) juga aparat pemerintahan desa selalu memberikan nasehat ataupun
wejangan kepada masyarakat dalam berbagai kesempatan, seperti di rumah ibadah masing-
masing, pada pelaksanaan pesta perkawinan, maupun pada momen-momen musyawarah
desa, selalu diawali dengan himbauan oleh tokoh agar kiranya tidak mudah terpancing
dengan isu-isu yang tidak bertanggung jawab. Justru sebaliknya, tokoh agama dan tokoh
pemerintahan desa mengajak untuk selalu menggiatkan kegiatan-kegiatan yang sifatnya
kebersamaan seperti arisan, rukun kematian dan gotong royong desa24.

Penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat dan tokoh agama dan pihak
pemerintahan desa telah sama-sama menyadari bahwa hidup beragama tidak hanya
dijalankan dalam ibadah yang sifatnya ritual, tetapi diamalkan, dalam hidup dan kehidupan
masyarakat baik selaku unsur individu maupun unsur sosial yang taat dan saleh berbudi
luhur. Pengamalan tersebut tercermin baik secara pribadi maupun kelompok atau golongan
ditengah-tengah masyarakat. Menurut Said Agil Husin al Munawar, bahwa dalam
menciptakan hidup bersama secara harmonis dikalangan umat yang berbeda agama selalu
terjadi dua bentuk sikap. Pertama, saling menghargai dan menghormati itu berjalan secara
‘tidak sadar’. Artinya seseorang menghormati orang yang beragama lain itu hanya karena
kepentingan politik. Misalnya karena sama-sama mendiami dunia yang satu manusia tidak
pantas jika saling membunuh, saling menindas, saling mengusir atau karena sama-sama satu
bangsa dan negara, maka sepantasnya umat beragama saling rukun demi cita-cita bersama.
Kedua, penghormatan terhadap orang yang menganut agama lain itu muncul bukan hanya
karena kepentingan politik tetapi lebih dari itu, adanya kesadaran bahwa agama-agama yang
dianut manusia di bumi ini memiliki titik temu yang sangat mendasar25.

Bentuk sikap pertama seringkali dibina secara dialog dan mengusahakan saling
tenggang rasa serta ‘menabukan’ masalah sara. Perlu disadari bahwa sikap seperti ini sering
kali lebih dangkal dan rapuh, mudah terpancing jika terusik emosi keagamaannya, bahkan
seringkali mengorbankan cita-cita bersama hanya karena ketersinggungan emosi keagamaan.

23
Wawancara dengan tokoh (Kaur Kesra Desa Bangun Rejo), tanggal 21 Agustus 2016.
24
Wawancara dengan tokoh (Pemuda Muslim Desa Bangun Rejo), tanggal 21 Agustus 2016.
25
Said Agil Husin Al-Munawar, Fiqh Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 59.
6
Pada sisi lain sikap semacam ini lebih memungkinkan untuk tidak jujur dalam kesepakatan
keragaman. Misalnya umat yang lebih kuat dalam bidang politik dan ekonomi melakukan
penindasan terhadap yang lebih lemah meskipun dengan kedok kemanusiaan, perdamaian
dunia, dan macam-macam. Sedangkan bentuk sikap kedua dilatarbelakangi oleh kesadaran
adanya titik temu yang mendasar di antara agama-agama, dikembangkan melalui penggalian
titik temu tersebut dengan mempelajari secara mendalam, agama sendiri dan mengenali
agama lain secara objektif dan tidak prejudis. Sikap seperti ini biasanya selalu
memperlihatkan kejujuran dan tidak mengorbankan kerukunan hanya karena hal-hal
sederhana yang mengganggu hubungan antar agama. Sepertinya sikap kedua ini lebih
prosfektif bagi masa depan umat manusia, sebab menemukan aturan yang berasal dari ajaran
agama itu lebih bisa meresap dan menyejukkan.

Teori tersebut jika dikaitkan dengan kondisi nyata di tempat penelitian, maka dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan dialog antar agama mengambil bentuk yang pertama. Hal itu
dikarenakan rata-rata penduduk berprofesi sebagai petani, dan memiliki pendidikan yang
relatif rendah, sehingga belum sampai pada pemahaman kedua dalam teori tersebut.
Meskipun begitu, segala macam praktek dialog telah terbangun hingga saat ini patut dihargai,
selalu diadakan pembinaan untuk menambah kesadaran sehingga semakin kokoh, timbul
kesadaran akibat terdapat doktrin agama yang mengajarkan untuk hidup secara rukun dan
damai. Selain itu, umat beragama tidak rapuh dalam membangun harmonisasi kehidupan
beragama. Terjadinya dialog antar umat beragama karena adanya komunikasi antar pemeluk
agama Islam, Kristen, dan Katolik dengan baik. Kontan dan komunikasi tersebut terjadi
antara perorangan dan antar kelompok dalam masyarakat. Komunikasi yang positif
menimbulkan interaksi yang bermanfaat. Dalam konteks penelitian ini, sebagaimana yang
telah dipaparkan sebelumnya bahwa telah ada kesadaran untuk menghargai perbedaan
keyakinan masing-masing merupakan faktor yang sangat kuat dalam mendukung pelaksanaan
dialog antar agama. Dengan perkataan lain kebiasaan yang tertanam dalam masyarakat
tersebut adalah masing-masing mampu merasakan apa yang dirasakan oleh warga lain, di
dalam istilah psikologi mereka ini memiliki sifat empati yang tinggi26.

Cara tokoh agama untuk menekankan pentingnya kerukunan adalah melalui ceramah
atau khutbah Jumat atau pada waktu umat sedang beribadah di tempat-tempat ibadah agama.
Sedangkan cara tokoh desa adalah memberikan dukungan tentang pentingnya suasana rukun
melalui forum-forum formal, seperti ketika rapat atau musyawarah di Balai Desa. Selain itu,
faktor kesamaan wilayah dan kesatuan wilayah desa juga merupakan faktor yang cukup
menunjang terhadap dialog antar agama masyarakat. Hal tersebut memunculkan rasa keatuan
hidup dalam sebuah desa, hidup dan berkeluarga sehingga perlu untuk dijadikan senyaman
mungkin, untuk itulah mereka rela bergotong royong dalam rangka kemajuan desa atau
wilayah mereka. Faktor Imitasi juga sangat berperan, yaitu seseorang atau sekelompok
meniru tindakan orang atau kelompok lain. Muasim menginformasikan bahwa mereka sering
meniru terutama dalam bidang pengolahan pertanian kepada mereka yang dianggap memiliki
keahlian dan kreatifitas dalam mengembangkan tanaman pertanian, sehingga hasil panen
lebih bayak27.

Selain faktor imitasi, terdapat pula faktor simpati, yaitu suatu sikap dimana ketika
seseorang tertimpa musibah atau kemalangan, lalu anggota masyarakat yang lain ikut serta

26
Syafrimen, Noriah Mohd. Ishak, Nova Erlina. 2017. Six Ways To Develop Empathy of Educators.
Journal Of Engineering and Applied Sciences. 12 (7): 1687-1691.
27
Wawancara dengan Muasim, Penganut agama Islam, tanggal 21 Agustus 2016.
7
membantu atau turut berbelasungkawa dengan cara mendatangi rumah yang tertimpa
musibah dengan cara memberikan bantuan baik berupa tenaga atau materi sebagai wujud dari
rasa simpati. Begitu pula jika anggota masyarakat lain yang tengah melaksanakan hajatan,
maka anggota masyarakat yang lain turut pula membantu pelaksanaan mulai persiapan
hingga selesainya hajatan dimaksud. Sikap semacam ini dalam ilmu sosiologi disebut dengan
faktor simpati dalam sebuah interaksi 28. Sikap yang telah terbangun tersebut, secara kultural
dapat dikatakan adanya kesediaan semua pihak untuk tidak menggunakan bahasa-bahasa
hasutan, cemoohan dan kata-kata lain yang semakna dengan hal tersebut supaya terbangun
suasana yang rukun dan damai.

D. Kesimpulan

Segala bentuk perbedaan seperti agama dan etnis tidak menjadi hambatan di dalam
masyarakat untuk saling mengasihi. Penelitian ini menunjukkan bahwa dialog antar umat
beragama merupakan salah satu instrumen yang efektif untuk pencegahan konflik di kalangan
masyarakat. Interaksi positif melaui dialog antar agama harus tetap dipelihara dan
dilestarikan secara terus menerus. Agar kemungkinan terjadinya konflik karena perbedaan
agama dan etnis dapat dihindari sebagai usaha preventif. Semua pihak menyadari akan
batasan-batasan, baik yang diperbolehkan maupun yang tidak diperbolehkan dari masing-
masing agama. Dalam konteks ini, pemuka agama dan aparat hendaknya memberikan
pengarahan yang jelas tentang arti dari dialog antar agama yang sebenarnya, sehingga tidak
terjadi pencampur adukkan aqidah (sinkretisme) antara gama sebagai sesuatu yang dilarang
oleh masing-masing agama.

E. Penghargaan

Penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada Lembaga Penelitian dan


Pengabdian kepada masyarakat, Institut Agama Islam Negeri (sekarang Universitas Islam
Negeri) Raden Intan Lampung yang telah memberikan dukungan dana sepenuhnya untuk
penuyelesaian penelitian ini, melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2016,
berdasarkan Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 311 tahun 2016 tentang penetapan judul
penelitian, nama peneliti pada penelitian kelompok dosen IAIN Raden Intan Lampung tahun
2016.

Referensi

A. Rani Usman, Etnis Cina Perantauan Aceh, Jakarta: Yayasan Obor, 2009.
Abdul Jamil Wahab, Manajemen Konflik Keagamaan Analisisi Latar Belakang Konflik
Keagamaan Aktual, Jakarta: Elex Media Komputindo Kompas-Gramedia.
Ali Noer Zaman (Ed). Agama Untuk Manusia. Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2000.
Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural,
Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2005.
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Bandung: Mizan, 1999.
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina,
1999.

28
Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 72.
8
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Merada Dialektika Idealitas dan Realitas Hubungan
Antaragama, Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004.
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Merada Dialektika Idealitas dan Realitas Hubungan
Antaragama, Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004.
Cholid Abu Ahmadi, Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Creswell, J. W. (2014). Research design: qualitative and quantitave approaches. Thausand
Oaks: SAGE Publication.
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama; Perspektif Ilmu Perbandingan Agama,
Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Elga Sarapung dkk. (ed), Dialog: Kritik Dan Identitas Agama, Yogyakarta: Interfidei, 2004.
Eva Rufaida, Model Penelitian Agama dan Dinamika Sosial, Jakarta: Grafindo Persada,
2002.
FX. Armada Riyanto, Dialog Interreligius: Historis, Tesis, Pergumulan, Wajah, Yogyakarta:
Kanisius, 2010.
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali.
Hasbullah Bakry, Suatu Perbandingan Mengenai Penyiaran Kristen dan Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1989.
http://bukusugiyono.blogspot.com/2016/07/uji-keabsahan-data-penelitian-kualitatif.html 27
Jul 2016.
Idrus Ruslan, Hubungan Antar Agama, Bandar Lampung: Aura Printing & Publising, 2014.
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Remaja Rosda
Karya. 2001.
J. B. Banawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc. Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan
Praktik di Indonesia. Jakarta: Mizan, 2010.
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2004.
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1989.
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Passing Over – Melintasi Batas Agama, Jakarta:
Gramedia Pustaka, 1998.
--------dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial,
Jakarta: Paramadina, 1995.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang. 1997.
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Munir Fuady, Sosiologi Hukum Kontemporer Interaksi Hukum, kekuasaan, dan Masyarakat,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.
Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2010.
P. Maurice Borrmans, Pedoman Dialog Kristen-muslim (Sekretariat Untuk Non Kristen),
Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2003.
Paul B. Horton, Sosiologi, Jilid I terj. Aminuddin Ram dkk., Jakarta: Erlangga, 1987.
Piet Yoenanto dalam Jurnal Al-Adyan Jurnal Studi Lintas Agama. Dialog : Panggilan Untuk
Saling Menghormati. Vol. I, No.2, Bandar Lampung, Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, 2006.
Rahmat Fajri dan Khairullah Zikri (ed.), Ontologi Studi Agama, Yogyakarta: Belukar,2012.
Raimundo Panikar, Dialog Intra Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Said Agil Husin Al Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat Press, 2005
Shonhaji, Dialog Intra Religius: Bingkai Teologis Kerukunan dalam Masyarakat Pluri
Religius, dalam Jurnal al-Kalam No. 20, Bandar Lamung: Fakultas Ushuluddin IAIN
Raden Intan Lampung, 1997.
Simon Fisher, Manajeman Konflik Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, Jakarta:
British Council, 2000.

9
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif-Kualitatif, dan R&D,
Bandung: Alfabeta, 2009.
Sutrisno Hadi, Metode Riset, Yogyakarta: UGM Press, 1996.
Syafrimen, Noriah Mohd. Ishak, Nova Erlina. 2017. Six Ways To Develop Empathy of
Educators. Journal Of Engineering and Applied Sciences. 12 (7): 1687-1691.
Trubus Rahardiansah, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Universitas Trisakti, 2005.
W. Montgomery Watt, Islam and Christianity Today: A Contribution to Dialogue, Terjm.
Eno Syafrudien, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1991.
Wawancara dengan Bapak Maryanto, Mantan Kepala Desa Bangunrejo, tanggal 28 Februari
2016.
Wawancara dengan Muslihudin, Tokoh Agama Desa Bangunrejo, tanggal 27 Februari 2016.
Wawancara dengan Patrick Suyanto , Tokoh Agama Kristen desa Bangunrejo, tanggal 27
Februari 2016.
Wawancara dengan Thomas Ribut Sampurno , tanggal 27 Februari 2016.
Wawancara dengan Wati (warga beragama Islam) , tanggal 27 Februari 2016.
Williams Hendricks, Bagaimana Mengelola Konflik, terj. Arif Santoso, Jakarta: Bumi
Aksara, 2012.
Yin, R. K. (2013). Applications of case study research. Newbury Park: SAGE Publications.
Zakiah Darajat dkk, Perbandingan Agama 2, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

10

Anda mungkin juga menyukai