PENDAHULUAN
Yogyakarta dikenal dengan julukan sebagai kota pelajar, kota budaya serta kota
pariwisata. Julukan tersebut tersemat bukan tanpa alasan. Salah satunya tentu saja karena kota
ini merupakan salah satu kota yang kaya akan budaya dan tradisi, obyek wisata potensial,
selain itu juga merupakan salah satu tujuan masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia
untuk menuntut ilmu mengingat banyaknya sekolah dan universitas ternama yang berada di
kota ini. Meskipun demikian, sebagaimana kota-kota besar lainnya di Indonesia, Kota
Yogyakarta juga belum sepenuhnya terbebas dari problematika perkotaan, termasuk salah
Pemukiman, pemukiman kumuh didefinisikan sebagai pemukiman yang tidak layak huni
karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas
bangunan serta sarana dan prasarana tidak memenuhi syarat. Secara umum, pemukiman
kumuh merupakan sebuah pemukiman dengan tingkat kepadatan populasi tinggi di wilayah
perkotaan yang umumnya dihuni oleh penduduk miskin/ MBR (masyarakat berpenghasilan
rendah)
menghadapi masalah permukiman kumuh yang jauh lebih serius dibandingkan wilayah/
kabupaten lainnya di DIY mengingat padatnya penduduk di wilayah ini yang sangat timpang
jika dibandingkan dengan ketersediaan tanah/ lahan untuk mendirikan permukiman yang
layak huni. Dari total 413,67 hektar kawasan kumuh yang tersebar di 5 Kabupaten dan
1
Kotamadya di Provinsi DIY, kota Yogyakarta menyumbang kawasan kumuh yang terluas
Sebagai salah satu isu yang krusial, Pemerintah Kota Yogyakarta meresponnya dengan
Yogyakarta no 216 tahun 2016. Menurut SK tersebut, dari total 14 kecamatan di Kota
Yogyakarta, 13 diantaranya diklasifikasikan sebagai daerah kumuh (berat dan sedang). Dari
total 13 kecamatan tersebut, ada 36 kelurahan dan 229 RW yang dikategorikan sebagai
wilayah kumuh. Untuk lebih detailnya, dapat dilihat dari tabel dibawah ini
(Ha)
Kelurahan RW
1
Slide Penanganan Kawasan Kumuh DIY Melalui SATKER Pengembangan Kawasan Permukiman dan
Penataan Bangunan DIY. Yogyakarta 23 April 2015
2
3 Umbulharjo Giwangan (RW 1,6,8,9,12,13) 6 6
Sorosutan (RW 17
1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,17) 75,2
1,2,3,5,6,8,10,11,12,14,15,16,17,18)
3
Cokrodiningratan (RW 5,6,7,8,9,10,11) 7
Sumber : Surat Keputusan (SK) Walikota Yogyakarta nomor 216 tahun 2016
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan dari total 14 kecamatan yang ada di wilayah kota
Yogyakarta, hanya 1 kecamatan yang tidak tergolong wilayah kumuh, yakni Kecamatan
Kraton. Jika dicermati, persebaran sebagian besar pemukiman Kumuh di Kota Yogyakarta
berada pada kawasan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS), mengingat Kota Yogyakarta
dilewati 3 sungai besar yakni Code, Winongo dan Gajahwong. Hampir semua wilayah yang
sepanjang tepian sungai dan kondisi permukiman tersebut sebagian besar masuk dalam
kawasan kumuh maka peran pemerintah sangat penting membuat suatu progam yang dapat
membenahi kondisi tersebut. Selain untuk mengendalikan dampak negatif dari adanya
permukiman kumuh (kemiskinan, kriminalitas, kualitas kesehatan yang buruk, dll), juga
karena masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh di sepanjang sungai sangat rentan
Salah satu program pemerintah untuk mengatasi persoalan pemukiman kumuh yaitu
Perkotaan (PNPM MP) yang memberikan peluang bagi peran serta masyarakat untuk menata
kembali lingkungan hidup mereka dan menstrukturkan kembali tatanan sosial dan ekonomi
4
mereka2. Di program ini, masyarakat dituntut aktif dan partisipatif untuk menata lingkungan
mereka menjadi lebih baik dan layak huni. Melalui lembaga di tingkat kelurahan yang
bernama Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang bekerjasama dengan Lurah/ Kades,
masyarakat belajar merumuskan dan memutuskan langkah-langkah yang perlu dan harus
dilakukan dalam rangka menata kembali lingkungan mereka. Pada intinya, PLPBK
harus/ mutlak melibatkan peran serta seluruh komponen masyarakat, dimana selama ini
Salah satu contoh wilayah di Kota Yogyakarta yang telah berhasil menata lingkungan
deretnya. Kelurahan Ngampilan telah berhasil mempercantik dirinya dan bahkan kini
Keberhasilan penataan melalui program PLPBK ini rupanya tidak hanya sukses melakukan
pembangunan fisik. Dari hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti, keberhasilan
penataan ini juga berdampak pada perubahan perilaku warga yang menjadi lebih peduli
dengan lingkungan sekitarnya. Perubahan-perubahan ini diasumsikan tidak lepas dari peran
aktif dan partisipatif dari masyarakat selama berlangsungnya program penataan dari PLPBK.
Oleh karenanya, penelitian ini hadir untuk mengidentifikasi modal sosial apa yang dimiliki
oleh warga di kelurahan Ngampilan sehingga menjadi faktor penentu keberhasilan program
melaksanakan pembangunan fisik, namun juga diikuti dengan perubahan perilaku warga
menjadi lebih peduli dengan lingkungannya, oleh karenanya penelitian ini hadir untuk
mengidentifikasi social capital atau modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat di Kelurahan
2
Dikutip dari Pedoman Teknis Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK). Kementerian
Pekerjaan Umum, DIrektorat Jenderal Cipta Karya
5
Ngampilan yang kemudian menjadi faktor pendukung keberhasilan pelaksanaaan program
2. Apa saja bentuk modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat Ngampilan?
Ngampilan dan untuk melihat bentuk-bentuk modal social yang dimiliki oleh masyarakat
Pemahaman terhadap modal sosial yang dimiliki oleh warga kampung Ngampilan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi apabila nantinya ada
penelitian mengangkat tema yang serupa dengan penelitian yang dijalankan ini.
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan tambahan ilmu pengetahuan
6
Memberikan pertimbangan dan masukan kepada pembuat kebijakan agar pada
proses penataan permukiman kumuh dapat memanfaatkan modal sosial yang ada
pada masyarakat