UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA APRIL 2016 Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999). Klasifikasi DM ada lima yaitu : (1) DM tipe 1 (disebabkan kerusakan sel β pankreas akibat autoimun, sehingga terjadi defisiensi insulin absolut). (2) DM tipe 2 (disebabkan resistensi insulin ataupun defisiensi insulin relatif). (3) DM tipe lain (defek genetik fungsi sel β, defek genetik fungsi insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, DM karena obat, infeksi, diabetes imunologi dan sindroma genetik lain). (4) DM gestasional pada ibu hamil, (5) pre- diabetes (glukosa puasa terganggu dan toleransi glukosa terganggu) (Anonim, 2005). Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan (Anonim, 2005). Sebagian besar patofisiologi DM dapat dihubungkan dengan efek utama kekurangan insulin yaitu Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah sampai setinggi 300 sampai 1200 mg per 100 ml. Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak sehingga menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler dan pengurangan protein dalam jaringan tubuh, kemudian berdampak hiperglikemi (Tandra, H, 2007). Tanda DM antara lain peningkatan kadar gula darah melebihi normal (>200 mg/dL), HbA1C 6,5% atau lebih, glukosa plasma puasa 126 mg/dl atau lebih, glukosa plasma 2 jam adalah 200 mg/dl atau lebih, dan gula plasma sewaktu 200 mg/dl atau lebih. Sedangkan gejalanya yaitu polyuria (jumlah urin yang dikeluarkan lebih banyak, polydispsia (cepat merasa haus), polyphagia (lapar yang berlebihan), glycosuria (frekuensi urin meningkat), berat badan menurun tanpa sebab, kesemutan pada ujung syaraf ditelapak tangan dan kaki, cepat lelah dan lesu, rabun penglihatan secara tiba-tiba, luka lambat sembuh dan mudah terkena infeksi terutama pada kulit (Tandra, H, 2007), (Triplitt et al, 2015). Tujuan terapi adalah untuk memperbaiki gejala, menurunkan resiko komplikasi mikrovaskular dan makrovaskluar, menurunkan tingkat kematian, dan meningkatkan kualitas hidup penderita (Triplitt et al, 2015). The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes Parameter Kadar Ideal Yang Diharapkan yaitu Kadar Glukosa Darah Puasa 80–120mg/dl, Kadar Glukosa Plasma Puasa 90–130mg/dl, Kadar Glukosa Darah Saat Tidur 100–140mg/dl, Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur 110- 150mg/dl, Kadar Insulin <7 %, Kadar HbA1c <7mg/dl, Kadar Kolesterol HDL >45mg/dl (pria), Kadar Kolesterol HDL >55mg/dl (wanita), Kadar Trigliserida <200mg/dl, Tekanan Darah <130/80mmHg(ADA,2004). Selain itu parameter keberhasilan juga dilihat dari tercapainya tujuan terapi yang telah ditetapkan. Untuk tatalaksana terapi yang dapat dilakukan yaitu dapat berupa terapi Nonfarmakologi: pembatasan jumlah kalori untuk penurunan berat badan, dan memperbanyak aktivitas fisik seperti olahraga- olahraga aerobik. Dan juga Farmakologi: terapi permulaan dengan menggunakan metformin. Namun apabila kurang efektif, dikombinasikan metformin + golongan sulfonilurea; metformin + golongan tiazolidindion; atau metformin + insulin basal. Namun apabila kombinasi ini belum berhasil dapat dijadikan triple therapy yaitu metformin + sulfoniluera + TZD/DPP-4-i/SGLT2-i/GLP-1-RA/insulin;. Dan jika A1C tidak tercapai dalam 3 bulan, diberikan metformin + basal insulin + mealtime insulin/ GLP-1-RA (ADA, 2015). Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral yaitu Sulfonilurea kerjanya Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel β pankreasnya masih berfungsi dengan baik. Meglitinida mekanisme kerjanya Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, Turunan fenilalanin mekanisme kerjanya Meningkatkan kecepatan sintesis insulin oleh pankreas, Biguanida Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati Tidak merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Tiazolidindion Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin. Berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin Inhibitor α-glukosidase kerjanya Menghambat kerja enzim-enzim pencenaan yang mencerna karbohidrat, sehingga memperlambat absorpsi glukosa ke dalam darah. Dan juga mekanisme kerja insulin yaitu membantu transpor glukosa dari darah ke dalam sel (anonim, 2005) Prinsip penggunaan insulin :Persiapkan insulin pen, lepaskan penutup insulin pen (jika insulin menggumpal, putarlah pen insulin sampai gumpalan hilang, jangan dikocok), mengatur ketepatan pen dan jarum dalam mengatur dosis insulin, aktifkan tombol dosis insulin, pilih lokasi bagian tubuh yang akan disuntikkan yaitu suntikkan ke perut, atau lengan atas atau paha, Tidak dianjurkan untuk menyuntik di lokasi yang sama terus menerus, rotasikan posisi,suntikkan jarum pada sudut 900. Sebaiknya disimpan paa suhu 2-8 derajat celcius(anonim,2005). Dosis insulin basal 50% dari DTH subkutan : 50% x 38 U: 19 u ( insulin analog long acting ) Insulin, ada beberapa macam (dipiro,2009) Insulin rapid-acting, contohnya humalog (insulin lispro), novolog (insulin aspart), Apidra (insulin gluisin). insulin short-acting, contohnya humulin R, novolin R. Insulin intermediate-acting, contohnya humulin N, novolin N. Insulin long-acting, contohnya lantus (insulin glargine), levemir (insulin detemir) Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang jaringan subkutis, biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering Streptokokus betahemolitikus dan Stafilokokus aureus. Sellulitis adalah peradangan pada jaringan kulit yang mana cenderung meluas kearah samping dan ke dalam (Herry, 1996). Etiologi Sellulitis bisa disebabkan Infeksi bakteri dan jamur : yaitu oleh Streptococcus grup A dan Staphylococcus aureus, Pada bayi yang terkena penyakit ini dibabkan oleh Streptococcus grup B, Infeksi dari jamur, Tapi Infeksi yang diakibatkan jamur termasuk jarang Aeromonas Hydrophila. S. Pneumoniae (Pneumococcus). Penyebab lain : Gigitan binatang, serangga, Kulit kering, Eksim, Kulit yang terbakar atau melepuh, Diabetes, Obesitas atau kegemukan, Pembekakan yang kronis pada kaki dll (Herry, 1996). Patogenesisnya yaitu S.aureus dan S.pyogenes, stretokokus β-hemolitikus dan kebanyakan disebabkan oleh infeksi polimikrobial masuk ke dalam kulit dan berkembang biak sehingga terjadi inflamasi dengan nekrosis maupun tanpa nekrosis (Fish et al, 2015). Tanda dan gejala. Terdapat eritema atau edema pada kulit. Lesi yang nyeri dan tidak memiliki batas yang jelas, terjadi pembesaran limfe. Malaise, demam, dan menggigil (Fish et al, 2015). Tujuan terapi selulitis adalah untuk eradikasi infeksi dengan cepat dan mencegah komplikasi lebih lanjut (Fish et al, 2015). Untuk tatalaksana terapi ada terapi Farmakologi. Infeksi ringan hingga berat dapat diterapi dengan antibiotik oral (dikloksasiklin, sefaleksin, dan klindamisin). Infeksi berat diterapi dengan nafsilin atau sefazolin dan jika alergi terhadap penisilin diberikan vankomisin atau klindamisin. Untuk selulitis yang disebabkan oleh MRSA diberikan vankomisin, lenzolid, dan daptomisin (Fish et al, 2015). Non farmakologi cepat membersihkan luka yang terbuka, Drainase pada luka, debridement, dan reseksi pada jaringan yang telah mati serta menjaga agar luka tidak bertambah parah. Terapi peralihandari OAD ke insulin : (a) jika pasien DMT 2 yang memiliki kontrol glukosa darah yang tidak baik dengan penggunaan berbagai kombinasi dan golongan OAD; (b) hiperglikemia berbahaya terhadap berbagai sel/sistem organ karena pengaruhnya terhadap sistem imun yang juga mudah terjadi infeksi karena adanya disfungsi fagosit sehingga diperlukan penanganan cepat; (c) adanya variasi KGD (Anonim, 2006). (d) Ketika terjadi penurunan BB cepat, hiperglikemi berat, HbA1c >7,5% atau KGD >250 mg/dl, stres berat, gangguan ginjal berat, kontraindikasi/alergi, riwayat disfungsi pankreas, nutrisi parenteral/suplemen tinggi kalori (Anonim, 2005) selain itu penggantian insulin ke oral antidiabetik dilkakukan apabila kadar gula pasien telah terkontrol dan adanya keinginan dari pasien itu sendiri (ADA, 2015). Prinsip penggantian antibiotik iv ke oral dilakukan apabila intravena dapat diganti peroral, apabila setelah 24-48 jam: Kondisi klinis pasien membaik, tidak ada gangguan fungsi pencernaan, kesadaran baik, Tidak demam (suhu > 36C dan < 38C), disertai tidak lebih dari satu kriteria berikut: Nadi > 90 kali/menit, Pernapasan > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg, Tekanan darah tidak stabil, Leukosit < 4.000 sel/dl atau > 12.000 sel/dl (tidak ada neutropeni) (BINFAR, 2011). DRP pada kasus yaitu adanya kegagalan menerima obat, dikarenakan ketidak patuhan pasien dilihat dari nilai HbA1C pasien 8,5% (normal 4,3-6,3 %). Dosis Lavemir 0,15-0,2 IU/kgBB/hari : 0,2x50=10 IU/hari 1x1 malam hari. Sehingga dosis lavemir pada kasus overdose. Jadi diturunkan menjadi 1x10 UI dari dosis Lavemir 1 x 12 UI. Novorapid juga mengalami overdose. Dimana dosis Novorapid 0,15-0,2 IU/kgBB/hari -> 0,2x50=10 IU/hari 2x sehari (DIH). Jadi dosis Novorapid dari 2 x12 IU diturunkan menjadi 2x5 IU. Selain itu terdapat pemilihan obat tidak tepat yaitu metronidazole yang diganti dengan klaritromisin. Pemilihan obat tidak ada indikasi juga terdapat yaitu pada obat pentoxifyllin. Planning yang dilakukan yaitu terapi farmakologi :Paracetamol tetap diberikan jika demam muncul kembali atau nyeri namun diberikan seperlunya saja, Antibiotik diganti dengan obat klaritromisin dengan dosis 2x250 mg selama 7-14 hari. Penggunaan novorapid dikombinasikan dengan levemir, hal ini karena kombinasi dari 2 jenis insulin ini memberikan hasil penurunan glukosa darah yang lebih efektif dan dapat menurunkan kejadian hipoglikemik pada noktural. Dosis insulin levemir diturunkan menjadi 1x10 UI dan dosis insulin novorapid diturunkan menjadi 2 x 5 UI dan untuk mengatasi mualnya akibat efek samping penggunaan antibiotik klaritomisin diberikan Ranitidin pada dosis 2 x 150 mg (At glance).sedangkan untuk non-DRP tidak terdapat pada kasus. Untuk monitoring yang dilakukan yaitu Monitoring Kepatuhan pasien, nilai HbA1C pasien agar <6,5%, gula darah sewaktu, gula darah puasa, dan gula darah 2 jam setelah OGTT setiap 3 bulan, memonitoring ketat efek samping obat (Triplitt et al, 2015). Dan untuk konseling yang diberikan yaitu diberikan edukasi tentang pola makan yang rendah kalori dan rendah glukosa dengan mengrangi makanan yang banyak mengandung glukosa, mengganti nasi dengan kentang atau beras merah, olahraga yang ringan, mengatasi efek hipoglikemia dengan cara konsumsi permen atau air gula secukupnya, cara pakai insulin, serta pesan untuk menghabiskan antibiotik yang diberikan. Daftar pustaka Anonim, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, halaman 7, 12-13, 19. Tandra, H., 2007, Diabetes, Gramedia, Jakarta, halaman 11-15 Dipiro, J.T., et. al., 2009, Pharmacotherapy : a patophysiologic Approach, seventh edition, Mc Graw-Hill Companies, Inc, USA, American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes. Diabetes Care. 2004;27(Suppl 1):S15- S35. ADA. 2015. Standars of Medical Care in Diabetes. Diabetes care, vol 38; suppl.1 BINFAR. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik. Kemenkes RI, Jakarta. pp 33-34 Fish, DN., Pendland, SL., and Danziger, LH. Skin and Soft-Tissue Infectionsin Dipiro. 2015. Pharmacoteraphy Approach 9thEdition. Mc Graw Hill Medical, New York. pp 459-465 Triplitt, CL., Reasner, CA., and Isley, WL. Diabetes Mellitus in Dipiro. 2015. Pharmacoteraphy Approach 9th Edition. Mc Graw Hill Medical, New York. pp 172-186 Gyssen IC. 2005, Audits for monitoring the quality of Antimicrobial prescription. Dalam: Van der Meer JW, Gould IM, penyunting. Antibiotic policies theory and practice. New York: Kluwer Academic;.h.197-226.