Anda di halaman 1dari 4

Urosepsis adalah Sepsis yang disebabkan oleh dekomposisi dan absorpsi substansi yang berasal dari

saluran kemih sehingga terjadi bakteremia simtomatik yang menyebabkan syok dan kematian akibat
bakteri berasal dari traktus urinarius yang merupakan komplikasi dari ISK (Johnson. CC, 1991). Pasien yang
beresiko tinggi urosepsis adalah pasien berusia lanjut, diabetes dan immunosupresif seperti penerima
transplantasi, pasien dengan AIDS, pasien yang menerima obat-obatan antikanker dan imunosupresan.3
Etiologi Secara umum dikatakan urosepsis merupakan komplikasi dari beberapasituasi antara lain (1)
tindakan instrumentasi pada traktus genitourinaria (2)abses renal (3) pielonefritis akut (4) Infeksi akibat
obstruksi saluran kemihatau pasien dengan gangguan kekebalan imunitas (5) bakteriuri akibat
pemasangan kateter pada obstruksi dan pasien dengan gangguan kekebalan imunitas (Naber,2001). Selain
itu urosepsis disebabkan oleh bakteri gram negatif (seperti Escherichia coli, 52%; Enterobacteriaceae, 22%;
Pseudomonas aeruginosa, 4%), bakteri gram positif (seperti Enterococcus Sp, 5%; Staphylococcus aureus,
10%) (Johnson. CC, 1991).
Patofisiologi penyakit urosepsis yaitu akibat masuknya endotoksin suatu komponen lipopolisakarida dari
dinding sel bakteri masuk ke dalam sirkulasi darah. Lipopolisakarida ini terdiri dari komponen lipid yang akan
menyabakan aktivasi sel-sel makrofag atau monosit sehingga menghasilkan beberapa sitokin antara lain TNF
α dan interleukin I (IL I) (Danielle,2000). Gejala urosepsis lebih sering diawali dengan adanya infeksi saluran
kemih 1.Sakit saat BAK; 2. Sering BAK karena rasa ingin BAK terus-menerus; 3. Sakit pinggang; 4. Demam
dan sakit pada sudut kostovertebral; 5. Enuresis diurnal ataupun nokturnal; 6. Sama seperti bakteraemia,
tetapi menunjukkan kondisi yang lebih berat. Bukti klinis infeksi ditambah bukti respon sistemik terhadap
infeksi. Respon sistemik ini dapat bermanifestasi 2 atau lebih kondisi berikut : Temperatur > 38°C atau <
36°C Denyut nadi > 90 kali / min Frekuensi pernafasan > 20 kali /min or PaCO2 < 32 mmHg (< 4.3 kPa.
(Johnson. CC, 1991).
Urosepsis yang terjadi pada tuan Anjasmara pada kasus terlihat dari beberapa parameter data lab yang
dihasilkan. suhu badan pasien diatas normal, peningkatan frekuensi denyut nadi diatas normal dan juga
peningkatan nilai respiration rate diatas normal tanda-tanda vital ini mengindikasikan bahwa pasien
mengalami infeksi. Sedangkan pada pemeriksaan laboratorium dengan sampel darah hasil yang didapatkan
yaitu adanya nilai leukosit sebesar 22000 dihari pertama dan 21500 pada hari kedua, hal ini juga menandakan
adanya infeksi. Kemudian dilihat dari nilai LED juga mengalami peningkatan yang signifikan yang mana jika
terdapat peningkatan nilai LED hal inin menandakan adanya infeksi akut atau kronis yang dialami oleh pasien
(Anonim,2011).
Adapun tujuan dalam terapi urosepsis yaitu menetapkan patogen, mengeliminasi sumber infeksi,
inisiasi awal dan terapi mikrobial yang agresif, menghentikan kemungkinan terjadinya shock sepsis, serta
menghindari terjadinya kegagalan organ. Sedangkan untuk keberhasilan terapi didapat jika tujuan terapi yang
telah di tetapkan telah tercapai dan pasien dalam kondisi yang membaik dibuktikan dengan data laboratorium.
Mekanisme obat gentamisin yaitu Antibiotik golongan aminoglikosida yang bersifat bakteriostatik dengan
berikatan secara irreversibel pada sub unit 30S dari ribosom dan karena itu menyebabkan gangguan yang
kompleks pada sintesis protei. Adapun tanda ketoksikan dalam pemakain gentamisin yaitu adanya efek
nefrotoksik dan juga adanya efek ototoksik. (M.J, Neal).
Gentamisin merupakan antibiotik dengan spektrum luas dan bakterisidal yang memiliki mekanisme
menghambat pembentukan asam nukleat dengan mengikat ribosom 30S bersifat nefrotoksik, ototoksik, dan
paralisis otot, dam reaksi alergi. Absorbsi dari gentamisin bersifat sangat polar, distribusi mencapai jaringan
rendah dan penetrasi cairan tubuh bervariasi, konsentrasi pada CSF tidak adekuat, dan lebih cepat
diekskresikan melalui urin terutama di glomerulus (Harvey, RA. 2012) Vd dewasa 0,2=0,3 L/kg, waktu paruh
gentamisin yaitu 1,5-3 jam, waktu puncak IM: 30-90 menit, IV: 30 menit setelah infus, dan diekskresi melalui
urin dalam bentuk utuh (Lacy,CF.,2008). Gentamisin tidak larut dalam etanol, larut dalam air, dalam aseton
dan dalam kloroform dalam eter dan dalam benzene. Gentamisin adalah garam sulfat atau campuran
garamnya dari antibiotik yang dihasilkan oleh pembiakan Micromonospora purpurea. PH nya yaitu : 3,5 – 5,5 ;
tahan terhadap pemanasan dengan autoklaf (Anonim,1995). TDM pada gentamisin dapat dilakukan setelah
30 menit pemberian IV. Selain iitu juga dapat dilakukan dengan pengambilan sampel pada waktu hingga 6 jam
setelah pemberian (A,J Roberts).
Tujuan TDM yaitu individualisasi dosis obat agar konsentrasi obat dalam jendela/rangeterapetik yang
efektif. Keuntungan dari TDM ini adalah 1 Mengevaluasi pemberian sejumlah dosis yang diberikan; 2.
Menghindari toksisitas; 3. Membedakan penyebab dari kegagalan terapi, apakah disebabkan dari
farmakokinetik atau dari farmakodinamik; 4. Efektif dalam pembiayaan, maksudnya adalah jika kita lihat untuk
kondisi jangka panjang. Kekurangan dari TDM untuk di indonesia yaitu alat yang digunakan mahal dan juga
dalam pelaksanaannya membutuhkan tenaga yang ahli dalam mengimpretasikan data dan kurangnya
komunikasi dengan tenaga klinis lainnya (Abdelrahim,2008).
Pada kasus pasien didiagnoasa mengalami urosepsis dilihat dari parameter beberapa data lab yang
dihasilkan.Adanya infeksi terlihat pada tanda-tanda vital pasien yaitu peningkatan suhu badan diatas normal,
peningkatan frekuensi denyut nadi diatas normal serta peningkatan nilai respiration rate diatas normal. Pada
pemeriksaan laboratorium dengan sampel darah dihasilkan nilai leukosit sebesar 22000 dihari pertama dan
21500 dihari kedua, nilai tersebut diatas normal yang menandakan adanya infeksi. Nilai LED mengalami
peningkatan yang signifikan dari nilai normal. Jika terjadi peningkatan nilai LED menunjukkan adanya infeksi
akut atau kronis (Anonim,2011).
Assessment pada kasus ini yaitu adanya DRP dan non DRP nya. Adapun DRP pada kasus ini dosis
yang diberikan kurang, (subdose). Sedangkan untuk obat yang dipakai yaitu gentamisin, konsentrasi optimal
dari gentamisin pada 5-10 µg/ml untuk konsentrasi waktu puncak dan 0,5-2 µg/ml pada waktu sebelum
pemberian dosis berikutnya. Sedangkan jika dilihat pada kasus, pemberian dosis sebesar 80 mg setelah
dilakukan perhitungan maka didapatkan Cpssmax atau konsentrasi optimal (maksimal) hanya sebesar 3,5
µg/ml, dimana hal ini mengindikasikan bahwa efek terapetik yang diharapkan dari pengobatan belum tercapai.
Sehingga pada kasus ini perlunya ada penyesuaian dosis, yang awalnya sebesar 3 x 80 mg (sehari 240 mg)

𝐶𝑝𝑠𝑠 max 𝑔𝑒𝑛𝑡𝑎𝑚𝑖𝑠𝑖𝑛 𝑟𝑒𝑓𝑒𝑟𝑒𝑛𝑠𝑖


Perhitungan penyesuaian dosis : x D iv (pada kasus)
𝐶𝑝𝑠𝑠 max 𝑔𝑒𝑛𝑡𝑎𝑚𝑖𝑠𝑖𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠

5 µ𝑔/𝑚𝑙
: x 80 mg = 114,28 mg
3,5 µ/𝑚𝑙

Setelah dilakukan perhitungan seperti diatas maka butuh penyesuaian dosis menjadi 3 x 114,28 mg
(sehari 342.84 mg) agar efek terapetik yang diinginkan dapat tercapai. Sedangkan untuk non DRP pada kasus
ini tidak terdapat adanya non DRP.
Setelah diketahui DRP dan juga Non DRP pada kasus maka dilakukan care plan kepada pasien yaitu
dengan cara gentamisin tetap diberikan dengan penyesuaian dosis menjadi 3 x 114,28 mg. Dan karena suhu
pasien pada hari ketiga masih tinggi dan belum normal maka untuk parasetamol tetap diberikan. Infus RL juga
tetap diberikan guna mengatasi resusitasi cairan karena saat demam atau suhu badan tinggi, pasien bisa
mengalami dehidrasi sehingga membutuhkan asupan cairan dari luar. Monitoring yang dapat dilakukan yaitu
monitoring penggunaan antibiotik gentamisin, monitoring data-data lab, monitoring efek samping obat
terutama efek samping dari penggunaan gentamisin. Efek samping gentamisin yaitu nefrotoksik sehingga
perlu monitoring pemantauan kadar BUN, elektorilit dan kretainin pasien agar tetap berada di dalam rentang
normal dan tidak terjadi kerusakan ginjal akibat pemberian gentamisin, monitoring apakah pasien masih
terinfeksi bakteri dan monitoring kepatuhan pasien dalam meminum obat . sedangkan untuk konseling yang
diberikan yaitu adanya edukasi mengenai non farmakologi yang harus dilakukan oleh pasien, kepatuhan
pasien dalam meminum obat dan juga mengingatkan pasien dalam menjaga kebersihan badan.
Proses dari TDM meliputi pre analisis, analisis dan juga post analisis dan pengaturan lingkungan. Pre
analisis ini meliputi penggalian masalah klinis yang dihadapi oleh pasien.Tahap analisis terdiri dari tiga
komponen tahapan yaitu untuk tahap pertama preparasi sampel kemudian tahap kedua melakukan analisis
dengan menggunakan metode yang sesuai, dan yang tahap ketiga memverifikasi hasil analisis. Post analisis
yaitu mencari solusi dari masalah awal yang sudah didapatkan dengan menghubungkan hasil yang sudah
didapat dari proses analisis. Adapun pada proses TDM apoteker dapat melakukan dimulai dari penerimaan
borang, verifikasi kelengkapan barang, preparasi sampel, proses analisis sampel, hingga interpretasi hasil
yang diperoleh. TDM banyak diterapkan di dalam pengobatan untuk obat dengan indeksterapi sempit, variasi
kinetika sangat besar, atau obat yang konsentrasinya dalam plasma banyak terkait dengan efek klinis yang
ditimbulkan atau timbulnya efek samping. Beberapa obat yang memiliki kisar terapi sempit dan idealnya
menjalani TDM antara lain golongan antiepilepsi (fenitoin, karbamazepin, asam valproat), antibiotika
golongan aminoglikosida (gentamicin, vancomicin, kanamicin), litium, dan obat-obat anti retroviral (obat
HIV) (Birkett et al, 1997). Glikosida Jantung (Folia Digitalis, Digoxin, Digitoxin, Lanatoside C, Ouabaine);
Antikonvulsan (Phenytoin, Carbamazepin, Phenobarbital, Primidon, Ethosuximide, Valproic acid,
Clonazepam); Antidepresan (Amitriptylin, Nortriptylin, Imipramin); Antiaritmia (Quinidin, Procainamid,
Lignoraine, Disopyramide, Mexilitine); Obat-obat lain (Litium, Teofilin, Salisilat) (Roberts, J a)
Daftar pustaka
1. Roberts J a., Norris R, Paterson DL, Martin JH. Therapeutic drug monitoring of antimicrobials. Br J Clin
Pharmacol. 2012;73(1):27–36
2. Harvey, RA. 2012. Lippincott’s Illustrated Review: Pharmacology. Lippincott Williams & Wilkins,pp.399-401
3. Lacy, CF., Armstrong, LL., Goldman, MP., Lance, LL. 2008. Drug Information Handbook 17th Edition.
Lexicomp. USA
4. Naber KG, Bergman B, Bishop MC, Johansen TEB, Botto H, Lobel B (ed). European Association of
Urology : Guidelines on Urinary and Male Genital Tract Infections. 2001.
5. Johnson. CC, MD. Definitions, Classification and Clinical Presentation of Urinary Tract Infections. Med. Clin
of North Am 1991; 75:2. 241-52.
6. Anonim, 2011, Pedoman Interpretasi Data Klinik, 9-24, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
7. Gale,Danielle RN, MS. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Jakarta: EGC
8. Abdelrahim, H. E. A. (2008) Therapeutic Drug Monitoring Service In Malaysia: Current Practice and Cost
Evaluation. Malaysia.
BLOK PENGOBATAN RASIONAL
SKENARIO IV

DERITAKU BELUM BERAKHIR………………..

Nama : Rahma Okta Susanti


NIM : 16811035

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016

Anda mungkin juga menyukai